Anda di halaman 1dari 11

KONSEP ONTOLOGI, EPISDEMIOLOGI, dan AKSIOLOGI

Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu Keperawatan

OLEH :
KELOMPOK IV :
1. EMILIUS DAY LENA
2. HANGRY B. NAWAMATARA
3. RUT NOMLENI

NIM : (01.11.00486)
NIM : (01.11.00489)
NIM : (01.11.00514)

KELAS

: KEPERAWATAN. A

SEMESTER

: III (TIGA)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


CITRA HUSADA MANDIRI KUPANG
2012/2013

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami juga tak lupa ucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
dalam menyelesaikan makalah ini.
Akhir kata kami mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak untuk
penyempurnaan makalah ini karena kami merasa bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna.

Kupang, September 2012

Penulis

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.

LATAR BELAKANG
Dalam makalah ini akan memaparkan tentang cabang-cabang dalam filsafat,
yang pertama di sebut landasan ontologis; cabang ini menguak tentang objek apa
yang di telaah ilmu. (Mudyahardjo, 2010).
Apa yang hakiki dari objek tersebut? Bagaimana hubungan antara objek tadi
dengan daya tangkap manusia (sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang
menghasilkan pengetahuan? Kedua di sebut dengan landasan epistimologis;
berusaha menjawab bagaimna proses yang memungkinkan di timbanya pengetahuan
yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya?. (Mudyahardjo, 2010).
Hal-hal apa yang harus di perhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang
benar?

Apa

yang

disebut

kebenaran

itu

sendiri?

Apakah

kriterianya?

Cara/tehnik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang


berupa ilmu? Sedang yang ketiga, di sebut dengan landasan aksiologi; landasan ini
akan menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan.
Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode
ilmiah dengan norma-norma moral/professional. (Mudyahardjo, 2010).
Jadi untuk membedakan jenis pengetahuan yang satu dari pengetahuanpengetahuan lainnya.Kita harus mengetahuan jawaban-jawaban dari ketiga
pertanyaan ini maka dengan mudah kita dapat membedakan berbagai jenis
pengetahuan yang terdapat dalam khasanah kehidupan manusia. Hal ini
memungkinkan kita mengenali berbagai pengetahuan yang ada seperti ilmu, seni dan
agama serta meletakkan mereka pada tempatnya masing-masing yang saling
memperkaya kehidupan kita. (Mudyahardjo, 2010).
Tanpa mengenal ciri-ciri tiap pengetahuan dengan benar maka bukan saja kita
dapat memanfaatkan kegunaanya secara maksimal namun kadang kita salah
dalammenggunakannya.Ilmu di kacaukan dengan seni, ilmu dikonfrontasikan
dengan agama, bukankah tak ada anarki yang lebih menyedihkan dari itu.
(Mudyahardjo, 2010).
1.2.

RUMUSAN MASALAH

1.2.1
1.2.2
1.2.3
1.3.

Apa yang dimaksudkan dengan ontologi?


Apa yang dimaksudkan dengan epistomologi?
Apa yang dimaksudkan dengan aksiologi?

Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Untuk meningkatkan pola pikir ilmiah tentang konsep ontologi,
1.3.2

epistomologi dan aksiologi.


Tujuan khusus
1. Untuk meningkatkan pemahaman tentang ontologi.
2. Untuk meningkatkan pemahaman tentang epistemologi.
3. Untuk meningkatkan pemahaman tentang aksiologi.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 ONTOLOGI
Ontologi merupakan asas dalam menetapkan batas ruang lingkup wujud yang
menjadi objek dan penelaah serta penafsiran tentang hakikat realitas. Ontologi meliputti

permasalahan apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan dengan
pengetahuan itu, yang tidak terlepas dari pandangan tentang apa dan bagaimana ilmu
itu. (Muhadjir, 2001).
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan
tertentu.

Ontologi membahas tentang yang ada universal, menampilkan pemikiran

semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap
kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus ; menjelaskan yang ada yang meliputi
semua realitas dalam semua bentuknya. (Muhadjir, 2001).
1. Objek Formal
Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan
kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, telaahnya akan menjadi
kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme,
naturalisme, atau hylomorphisme. (Muhadjir, 2001).
2.

Metode dalam Ontologi


Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu :
(Muhadjir, 2001).
abstraksi fisik, menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek;
abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi ciri sesuatu yang
sejenis

Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari


semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi
metaphisik.
Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan
menjadi 2, yaitu : (Muhadjir, 2001).

Pembuktian a priori Pembuktian


A priori disusun dengan meletakkan term tengah berada lebih dahulu dari
predikat; dan pada kesimpulan term tengah menjadi sebab dari kebenaran
kesimpulan.

Contoh: Sesuatu yang bersifat lahir. Badan itu sesuatu yang lahiri, badan itu
fana. (Muhadjir, 2001).
pembuktian a posteriori secara ontologi,
Term tengah ada sesudah realitas kesimpulan; dan term tengah
menunjukkan akibat realitas yang dinyatakan dalam kesimpulan hanya saja cara
pembuktian a posterioris disusun dengan tata silogistik sebagai berikut.
(Muhadjir, 2001).
Contoh : (Muhadjir, 2001).
Gigi geligi itu gigi geligi rahang dinosaurus.
Gigi geligi itu gigi geligi pemakan tumbuhan.
Dinausaurus itu pemakan tumbuhan.
Bandingkan tata silogistik pembuktian a priori dengan a posteriori.
Yang apriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan predikat
dan term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan ; sedangkan yang a
posteriori di berangkatan dari term tengah di hubungkan dengan subjek, term
tengah menjadi akibat dari realitas dalam kesimpulan. (Muhadjir, 2001).
2.2.

EPISTEMOLOGI
Epistemologi membicarakan sumber pengetahuan dan bagaimana cara
memperoleh pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan
kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan dengan sarana apakah kita dapat
memperoleh pengetahuan. Jika kita mengetahui batas-batas pengetahuan, kita tidak
akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat di ketahui.
Memang sebenarnya, kita baru dapat menganggap mempunyai suatu pengetahuan.
(Tafsir, 2010).
Setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemologi. Kita mungkin
terpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin
sampai kepada kesimpulan bahwa apa yang kita punyai hanyalah kemungkinankemungkinan dan bukannya kepastian, atau mungkin dapat menetapkan batas-batas
antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan
bidang-bidang yang tidak memungkinkannya. Manusia tidak lah memiliki
pengetahuan yang sejati, maka dari itu kita dapat mengajukan pertanyaan
bagaimanakah caranya kita memperoleh pengetahuan. (Tafsir, 2010).

Metode-metode untuk memperoleh pengetahuan : (Tafsir, 2010).


a. Empirisme
Empirisme adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara
memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, bapak
empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan akalnya
merupakan jenis catatan yang kosong (tabula rasa), dan di dalam buku catatan
itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke, seluruh sisa
pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan
ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama-pertama dan
sederhana tersebut. (Tafsir, 2010).
Ia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan,yang secara pasif
menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita
betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada pengalamanpengalaman inderawi yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan sebagai atomatom yang menyusun objek-objek material.Apa yang tidak dapat atau tidak perlu
di lacak kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-tidaknya
bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang aktual. (Tafsir, 2010).
b. Rasionalisme
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal.
Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman
paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut
rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan
bukannya di dalam diri barang sesuatu.Jika kebenaran mengandung makna
mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka
kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh
dengan akal budi saja. (Tafsir, 2010).
c. Fenomenalisme
Bagi Kant para penganut empirisme benar bila berpendapat bahwa semua
pengetahuan di dasarkan pada pengalaman-meskipun benar hanya untuk sebagian.
Tetapi para penganut rasionalisme juga benar, karena akal memaksakan bentukbentuknya sendiri terhadap barang sesuatu serta pengalaman. (Tafsir, 2010).
d. Intusionisme
Menurut Bergson, intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui secara
langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan
pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari
pengetahuan intuitif. (Tafsir, 2010).

Menurut sutrisno hadi 1989 perkembangan ilmu pengetahuan tidak terlepas


dari dua motif yaitu : (Tafsir, 2010).
Dorongan ingin tahu yang di miliki semua manusia yg normal
Kegunaan praktis yaitu pengetahuan yang di peroleh dari perenungan dan
penyelidikan-penyelidikan.
Cara cara alternatif yang untuk tahu dapat di golongkan menjadi 5 cara
pendekatan yaitu: (Tafsir, 2010).
1. Revelasi : cara jalan berdasarkan pengalaman pribadi
2. Otoritas :

cara

tahu di turunkan dari orang yang berkuasa ke

bawahannya.
3. Intuisi : mungkin tak lebih dari hubungan diluar kesadaran yang memberi
pesan kepada pengamat apa yang di lihat atau di alami.
4. Common sense : diperoleh lewat pengalaman secara tak sengaja dan
bersifat kebetulan.
5. Sains : proses memdapatkan pengetahuan lewat ilmu.

2.3.

AKSIOLOGI
Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi
reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan
gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kamanusiaan itu
sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu
manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat
kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana
yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan
hidup itu sendiri. (Muhadjir, 2001).

Jadi pada dasarnya apa yang menjadi kajian dalam bidang aksiologi adalah
berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan; untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu
itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidahkaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan
moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi
metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional. (Tafsir, 2010).

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat di tarik kesimpulan :
1

Ontologis; cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu?
Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut ?bagaimana hubungan
antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa
dan mengindera) yang membuakan pengetahuan?

Epistemologi berusaha menjawab bagaimana proses yang memungkinkan


di timbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Halhal apa yang harus di perhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang
benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya?
Cara/tehnik/sarana

apa

yang

membantu

kita

dalam

mendapatkan

pengetahuan yang berupa ilmu?.


Aksiologi menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di
pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan
kaidah-kaidah

moral?

Bagaimana

penentuan

objek

yang

ditelaah

berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik


prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan normanorma moral.
3.2 Saran
Diharapkan dengan adanya makalah ini semoga menambah pemahaman pembaca
tentang definisi ontologi, epistemologi dan aksiologi.

DAFTAR PUSTAKA

Mudyahardjo, Redja. 2010. Filsafat Ilmu Pendidikan. Bandung : PT Rremaja Rosdakarya.


Muhadjir, Noeng. 2001. Filsafat Pengantar Ilmu Kedokteran. Yogjakarta : Penerbit Rake
Sarasin.
Tafsir, Ahmad. 2010. Filsafat Umum. Bandung : PT Rremaja Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai