Anda di halaman 1dari 11

BAB II

KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Miskonsepsi
Berg mengatakan bahwa setiap individu memiliki interpretasi berbeda terhadap
sebuah konsep. Interpretasi itu merupakan sebuah konsepsi, dan konsepsi tersebut dapat
sesuai dengan pendapat para ahli sains, namun dapat juga bertentangan. Jika konsepsi
siswa tersebut melatarbelakangi siswa dalam memahami suatu konsep, maka konsep
siswa tersebut disebut miskonsepsi (Marifah,2012).
Miskonsepsi (salah konsep) adalah konsep yang tidak sesuai dengan pengertian
ilmiah atau pengertian yang diterima oleh para pakar dalam bidang itu. Osborne memberi
beberapa nama, yaitu ada yang menyebutnya childrens science, misconception,
alternative framework, alternative conception, atau childrens idea, namun istilah
miskonsepsi seringkali lebih banyak mewakili semua istilah tersebut. Dalam pengertian
lain miskonsepsi adalah kepercayaan yang tidak sesuai dengan penjelasan yang diterima
umum dan memang sudah terbukti sahih tentang sesuatu. Berikut merupakan definisi
miskonsepsi menurut beberapa tokoh:
1) Saleem Hasan
Miskonsepsi sebagai struktur kognitif (pemahaman) yang berbeda dari
pemahaman yang telah ada dan diterima di lapangan, dan struktur kognitif ini
dapat mengganggu penerimaan ilmu pengetahuan yang baru.
2) Kustiyah
Miskonsepsi adalah kesalahan dalam memahami suatu konsep yang
ditunjukkan dengan kesalahan dalam menjelaskan dalam bahasanya sendiri.
3) Feldsine
Miskonsepsi adalah suatu kesalahan dan hubungan yang tidak benar
antara konsep-konsep.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa miskonsepsi adalah
suatu gagasan dari sebuah pengertian yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau
interpretasi hubungan konsep-konsep tidak dapat diterima.

B. Penyebab Miskonsepsi
Miskonsepsi yang dialami setiap siswa di sekolah bisa berlainan dengan
penyebab yang berbeda-beda. Pada satu kelas dapat terjadi bermacam-macam
miskonsepsi dengan penyebab miskonsepsi berbeda pula. Oleh karena itu, sangat
penting bagi guru untuk mengenali miskonsepsi dan penyebabnya yang terjadi pada
siswa. Menurut filosofi konstruktivisme, pengetahuan siswa dikontruksi atau
dibangun oleh siswa sendiri. Proses konstruksi tersebut diperoleh melalui interaksi
dengan benda, kejadian dan lingkungan. Pada saat siswa berinteraksi dengan
lingkungan

belajarnya,

siswa

mengkonstruksi

pengetahuan

berdasarkan

pengalamannya. Oleh karena itu, ketika proses kontruksi pengetahuan terjadi pada
siswa, sangat besar kemungkinan terjadinya kesalahan dalam proses mengkontruksi
karena secara alami siswa belum terbiasa mengkontruksi pengetahuan sendiri secara
tepat.

Apalagi jika tidak didampingi sumber informasi yang jelas dan akurat.

Kontruksi pengetahuan siswa tidak hanya dilakukan sendiri tetapi juga dibantu oleh
konteks dan lingkungan siswa, diantaranya teman-teman di sekitar siswa, buku teks,
guru dan lainnya. Jika aspek-aspek tersebut memberikan informasi dan pengalaman
yang berbeda dengan pengertian ilmiah maka sangat besar kemungkinan terjadinya
miskonsepsi pada siswa tersebut. Oleh karena itu, aspek-aspek tersebut merupakan
penyebab terjadinya miskonsepsi pada siswa. Aspek-aspek yang dapat menyebabkan
terjadinya miskonsepsi adalah siswa itu sendiri, guru, dan metode pembelajaran yang
digunakan guru di kelas (Hammer, 2006).
a. Siswa
Banyak siswa yang memiliki konsep awal atau prakonsepsi tentang suatu
konsep sebelum siswa tersebut mengikuti pembelajaran di sekolah. Konsep awal
tersebut diperoleh siswa dari pengalaman sehari-hari dan informasi dari lingkungan
sekitar siswa. Konsep awal tersebut kadang-kadang mengandung miskonsepsi.
b. Guru
Miskonsepsi dapat terjadi karena miskonsepsi yang terjadi pada guru. Guru
yang tidak menguasai bahan ajar atau memiliki pemahaman yang tidak benar tentang
suatu konsep akan menyebabkan siswa mengalami miskonsepsi. Masih banyak guru
di sekolah, baik di SD, SMP, maupun SMA, yang mengalami miskonsepsi.
c. Metode Pembelajaran
Masih banyaknya guru melaksanakan pembelajaran IPA hanya dengan
berbicara dan menulis saja atau dengan kata lain guru melaksanakan pembelajaran

dengan metode ceramah. Namun, walaupun guru melaksanakan pembelajaran IPA


dengan metode eksperimen atau demonstrasi, hal tersebut belum menjamin tidak akan
terjadi miskonsepsi pada siswa karena pemilihan guru terhadap metode pembelajaran
dan pelaksanaannya di kelas sangat berpengaruh terhadap terjadinya miskonsepsi
pada siswa. Oleh karena itu, guru perlu memahami dan memiliki keterampilan dalam
memilih metode pembelajaran yang akan dilaksanakannya.
C. Kiat Mengatasi Miskonsepsi
Ada banyak cara untuk membantu siswa mengatasi miskonsepsi. Secara
umum kiat yang tepat untuk membantu siswa mengatasi miskonsepsi adalah mencari
bentuk kesalahan yang dimiliki siswa itu, mencari sebab-sebabnya, dan menemukan
cara yang sesuai untuk mengatasi miskonsepsi tersebut. Hal pertama yang harus
dilakukan guru adalah memahami kerangka berpikir siswa. Dengan memahami apa
yang dipikirkan siswa dan apa gagasan siswa diharapkan guru dapat mengetahui
penyebab miskonsepsi dan menemukan cara mengatasi miskonsepsi tersebut
(Hammer.2006).
Hal yang dapat dilakukan guru adalah :
a) memberi kesempatan pada siswa untuk mengungkapkan gagasan dan
pemikirannya mengenai bahan yang sedang dibicarakan secara lisan atau
tertulis;
b) memberi pertanyaan kepada siswa tentang konsep yang biasanya membuat siswa
bingung dan siswa diminta menjawab secara jujur; dan
c) mengajak siswa untuk berdiskusi tentang bahan tertentu yang biasanya
mengandung miskonsepsi, dan guru membiarkan siswa berdiskusi dengan bebas.
Selanjutnya, guru menemukan cara mengatasi miskonsepsi berdasarkan
penyebabnya seperti yang diuraikan pada bagian sebelumnya.
a. Kiat Mengatasi Miskonsepsi yang Disebabkan oleh Siswa
Kemampuan siswa dalam bidang studi tidak sama. Sebagian siswa memiliki
kelemahan dalam bidang biologi. Siswa tidak dapat menangkap konsep biologi yang
diajarkan guru secara lengkap dan tepat. Konsep yang tidak lengkap itu dipercayai
siswa sebagai konsep sudah lengkap dan benar, padahal sebenarnya konsep tersebut
belum lengkap dikuasai siswa. Dalam menghadapi hal ini, guru perlu mengerti sejauh
mana konsep siswa ini tidak lengkap dan pelan-pelan membantu kesulitan siswa
dengan menambahkan bagian konsep yang kurang atau belum lengkap. Oleh karena

pemahaman konsep sendiri memerlukan proses yang terus-menerus dan waktu yang
lama bagi siswa, maka siswa yang kurang mampu ini perlu dibantu dengan sabar
sesuai dengan daya tangkapnya. Untuk beberapa siswa, guru perlu memberikan waktu
tambahan atau khusus untuk membantu siswa yang kemampuannya kurang sesuai
dengan keadaan mereka. Minat siswa mempelajari biologi mempengaruhi
pemahaman

konsep siswa. Siswa yang

tidak berminat belajar biologi akan

mengalami kesulitan dalam belajar biologi dan juga cenderung mengalami


miskonsepsi. Siswa yang tidak berminat cenderung tidak mendengarkan dan
memperhatikan secara penuh, mereka cenderung mengabaikan apa yang diajarkan
guru. Dalam mempelajari buku teks pun cenderung tidak teliti dan kadang-kadang
hanya membaca dengan sambil lalu saja. Akibatnya, konsep biologi yang dipelajari
menjadi sulit dan siswa tersebut cenderung mengalami miskonsepsi. Untuk mengatasi
hal ini ada beberapa hal yang dapat dilakukan guru yaitu membantu siswa untuk
meningkatkan motivasi dan minatnya belajar biologi. Beberapa cara yang dapat
dilakukan guru untuk meningkatkan minat belajar siswa, antara lain a) guru mengajar
dengan menggunakan variasi metode pembelajaran sehingga siswa tidak bosan dan
senang dengan pembelajaran IPA; b) guru menjelaskan kegunaan IPA dalam
kehidupan seharihari, terutama pada kebutuhan hidup siswa; c) guru berinteraksi
secara akrab dengan siswa untuk menjadikan siswa menyenangi biologi; d) guru
menunjukkan pada siswa bahwa sesungguhnya siswa dapat belajar biologi; dan e)
guru lebih bersabar dalam menghadapi siswa terutama yang memiliki kemampuan
yang kurang dalam biologi.
b. Kiat Mengatasi Miskonsepsi yang Disebabkan oleh Guru
Miskonsepsi dapat terjadi tidak hanya disebabkan siswa itu sendiri tetapi juga
dapat disebabkan oleh guru yang memberikan pembelajaran di kelas siswa tersebut.
Miskonsepsi yang disebabkan oleh guru dapat terjadi karena guru tidak menguasai
konsep yang benar dari bahan ajar yang akan diberikan sehingga guru keliru
menjelaskan konsep tersebut ke siswa. Guru yang tidak menguasai konsep secara
benar perlu belajar lagi, baik belajar secara mandiri maupun belajar bersama dengan
guru lainnya melalui forum KKG atau forum lainnya. Guru juga perlu menyadari
bahwa ilmu yang dimilikinya harus selalu ditingkatkan dan diperbaharui.
c. Kiat Mengatasi Miskonsepsi yang Disebabkan oleh Metode Pembelajaran yang
Digunakan Guru

Miskonsepsi pada siswa juga dapat disebabkan proses pembelajaran yang


dialami tidak utuh. Siswa yang menerima pembelajaran dengan metode ceramah saja
tanpa pernah melakukan kegiatan berdasarkan konteksnya cenderung akan mengalami
miskonsepsi. Hal sama juga terjadi jika siswa menerima pembelajaran dengan satu
metode pembelajaran selama belajar di kelas juga cenderung mengalami miskonsepsi.
Oleh karena itu, untuk mengatasi miskonsepsi pada siswa, guru perlu melakukan
variasi metode pembelajaran agar siswa tidak bosan dan terus termotivasi belajar
biologi.
D. Certainty of Response Index (CRI)
Metode Certainty of Response Index ini merupakan metode yang
diperkenalkan oleh Saleem Hasan, Diola Bagayoko, dan Ella L. Kelley untuk
mengukur suatu miskonsepsi yang tengah terjadi. Dengan metode CRI, responden
diminta untuk memberikan tingkat kepastian dari kemampuan mereka sendiri dengan
mengasosiasikan tingkat keyakinan tersebut dengan pengetahuan, konsep, atau
hukum.
Metode CRI ini meminta responden untuk menjawab pertanyaan disertai
dengan pemberian derajat atau skala (tingkat) keyakinan responden dalam menjawab
pertanyaan tersebut. Sehingga metode ini dapat menggambarkan keyakinan siswa
terhadap kebenaran dari jawaban alternatif yang direspon (Hasan, 1999). Setiap
pilihan respon memiliki nilai skala, yaitu:
Tabel 1. Skala Certainty of Response Index (CRI)

Berdasarkan tabel tersebut, skala CRI ada 6 (0-5) dimana 0 berarti tidak
paham konsep dan 5 adalah yakin benar akan konsep yang responden jawab. Jika
derajat keyakinan rendah (nilai CRI 0-2) menyatakan bahwa responden menjawabnya
dengan cara menebak, terlepas dari jawabannya benar atau salah. Hal ini
menunjukkan bahwa responden tidak paham konsep. Jika nilai CRI tinggi, dan
jawaban benar maka menunjukkan bahwa responden paham konsep (jawabannya
beralasan) Jika nilai CRI tinggi, jawaban salah maka menunjukkan miskonsepsi. Jadi,
seorang siswa mengalami miskonsepsi atau tidak paham konsep dapat dibedakan
dengan cara sederhana yaitu dengan membandingkan benar atau tidaknya jawaban
suatu soal dengan tinggi rendahnya indeks kepastian jawaban (CRI) yang diberikan
untuk soal tersebut. Pada halaman selanjutnya merupakan tabel ketentuan untuk
membedakan antara siswa yang tahu konsep, miskonsepsi, dan tidak paham konsep
untuk responden secara individu dan kelompok.
Tabel 2. Tabulasi siswa yang tahu konsep, miskonsepsi dan tidak tahu konsep
berdasarkan kombinasi kriteria jawaban dengan tinggi-rendahnya nilai CRI
Kriteria

CRI rendah (1-2) (Tidak

jawaban

Yakin-Tidak Tahu)
Jawaban benar tapi CRI

Jawaban benar dan CRI Tinggi

rendah berarti tidak tahu

berarti menguasai konsep dengan baik

konsep (lucky guess)

(tahu konsep)
Jawaban salah tapi CRI tinggi berarti

Jawaban
benar
Jawaban

Jawaban salah dan CRI rendah

salah

berarti tidak tahu konsep

CRI tinggi (3-4) (Ragu-Yakin)

terjadi

Miskonsepsi
Sumber: Sarintan & Jusman (2007) dalam Pruba & Depari (2008)
Dari hasil tabulasi data setiap siswa dengan berpedoman kombinasi jawaban
yang benar dan salah serta berdasarkan tinggi rendahnya nilai CRI, kemudian data
diagnosis dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu siswa yang paham akan
materi, miskonsepsi, dan sama sekali tidak paham.
Adapun fungsi metode CRI berdasarkan penelitian Saleem et.al., yaitu:
1. Alat menilai kepantasan/sesuai tidaknya penekanan suatu konsep di beberapa sesi.

2. Alat diagnostik yang memungkinkan guru memodifikasi cara pengajarannya.


3. Alat penilai suatukemajuan/sejauh mana suatu pengajaran efektif.
4. Alat membandingkan keefektifan suatu metode pembelajaran termasuk teknologi,
strategi. pendekatan yang diintegrasikan di dalamnya. Apakah mampu meningkatkan
pemahaman dan menambah kecakapan siswa dalam memecahkan masalah.
E. Wawancara Diagnosis
Wawancara disebut juga interview atau kuesioner lisan yang dilakukan
pewawancara (interviewer) untuk memperoleh informasi dari terwawancara
(interviewee). Ketika digunakan untuk keperluan diagnosa maka wawancara sebagai
alat diagnosa, wawancara ini juga memiliki tujuan untuk membantu siswa dalam
menyadari kesalahannya, dan sangat membantu dalam rangka mengurangi
miskonsepsi siswa, hal ini dapat disebut juga dengan wawancara klinis. Pertanyaan
wawancara dapat tidak terstruktur (bebas) dan terstruktur. Dalam wawancara bebas,
guru atau peneliti bertanya kepada siswa dan siswa dapat menjawab secara bebas.
Urutan atau apa yang hendak dipertanyakan dalam wawancara itu tidak perlu
dipersiapkan.

Wawancara

terstruktur

sebaliknya,

yaitu

urutan

pertanyaan

wawancaranya pun secara garis besar sudah disusun dan direncanakan, sehingga
memudahkan

interviewer

dalam

praktiknya.

Sedangkan

bentuk

pertanyaan

wawancara campuran merupakan pertanyaan yang menuntut jawaban campuran.


Menurut Tayubi (2002)., dilihat dari pelaksanaanya wawancara terdiri dari tiga
macam:
a) Wawancara bebas (inguided interview)
interviewer bebas menanyakan pertanyaan apa saja namun juga
mengingat akan data apa saja yang harus dikumpulkan. Dalam
pelaksanaannya pewawancara tidak membawa pedoman wawancara
sehingga interviewee tidak menyadari sepenuhnya bahwa ia sedang
diwawancarai.
b) Wawancara terpimpin (guided interview)
dalam melakukan wawancara interviewer membawa sederetan
pertanyaan lengkap dan terperinci seperti bentuk pertanyaan wawancara
terstruktur.
c) Wawancara bebas terpimpin

kombinasi antara wawancara bebas dan wawancara terpimpin. Dalam


pelaksanaannya, interviewer membawa pedoman yang hanya merupakan
garis besar tentang hal-hal yang akan ditanyakan.

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan tempat penelitian
Penelitian dilakukan pada tanggal 28 April 2015, di SMA Negeri 21
Surabaya.
B. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah 34 siswa kelas XI IPA 2 SMA Negeri 21
Surabaya.
C. Rancangan penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif. Pengumpulan data
dilakukan dengan teknik tes diagnostik menggunakan instrumen berupa soal pilihan
ganda dan esai. Pada setiap pertanyaan, siswa diminta melengkapi soal dengan
jawaban yang tepat. Siswa juga harus menuliskan tingkat keyakinan terhadap
jawabannya (CRI) yaitu angka yakin (4), ragu-ragu (3), tidak yakin (2), atau tidak
tahu (1)
Selanjutnya dilakukan analisis CRI (Certainty of Response Index) untuk
membedakan siswa yang tahu konsep, tidak tahu konsep, dan mengalami miskonsepsi
yang didasarkan pada kombinasi dari jawaban benar atau salah dan tinggi rendahnya
CRI jawaban siswa (Tabel 1)
Tabel 3.1. Tabulasi siswa yang tahu konsep, miskonsepsi dan tidak tahu konsep berdasarkan
kombinasi kriteria jawaban dengan tinggi-rendahnya nilai CRI
Kriteria

CRI rendah (1-2) (Tidak Yakin-

jawaban

Tidak Tahu)
Jawaban benar
tapi

Jawaban
benar
Jawaban

rendah berarti

CRI tinggi (3-4) (Ragu-Yakin)

CRI Jawaban

benarn dan

CRI Tinggi

tidak tahu berarti menguasai konsep dengan baik

konsep (lucky guess)


(tahu konsep)
Jawaban salah dan CRI rendah Jawaban salah tapi CRI tinggi berarti

salah
berarti tidak tahu konsep
terjadi miskonsepsi
Sumber: Sarintan & Jusman (2007) dalam Pruba & Depari (2008)
Setelah itu dihitung persentase masing-masing kriterianya dengan rumus yang
digunakan oleh Cahyaningsih (2006: 40) dalam Murni 2013 seperti di bawah ini:

Keterangan:
TK

= Jumlah siswa yang tahu konsep

TTK

= Jumlah siswa yang tidak tahu konsep

MK

= Jumlah siswa yang miskonsepsi

= Jumlah total siswa


Selanjutnya dilakukan analisis pemahaman siswa pada masing-masing
subkonsep dengan cara menjumlahkan persentase siswa yang tahu konsep,
tidak tahu konsep pada masing-masing subkonsep berdasarkan keyakinan
jawaban siswa pada masing-masing soal tes. Selain itu juga membuat peta
konsep sebagai acuan untuk pemahaman konsep siswa.

DAFTAR PUSTAKA
Hammer, D., (1996), More Than Misconceptions : Multiple Perspectives on Student
Knowledge and Reasoning, and an Appropriate Role for Education Research, Am. J.
Phys., 64(10), pp. 1316 - 1325.
Hasan, S., D. Bagayoko, D., and Kelley, E. L., (1999), Misconseptions and the Certainty of
Response Index (CRI), Phys. Educ. 34(5), pp. 294 - 299.
Marifah,M., Sumarni W., dan Kusoro S. 2012. Keefektifan Pereduksian Miskonsepsi
Melalui Strategi Konflik Kognitif Pada Pemahaman Konseptual dan Algoritmik.
Chemistry In Education: Volume 1. Nomor 2. Hal. 43.
Tayubi, Y. R., (2002), Identifikasi miskonsepsi pada konsep-konsep fisika dengan
menggunakan CRI (certainty of response indeks), Laporan akhir penelitian hibah
Due-Like UPI tahun 2002, UPI, Bandung

Anda mungkin juga menyukai