PANITIA PELAKSANA
PANITIA PELAKSANA
PANITIA PELAKSANA
PANITIA PELAKSANA
PANITIA PELAKSANA
Dalam alur cerita sejarah kehidupan masyarakat pulau binongko, maka perlu kita
mengenang masa kehidupan masyarakat yang bernama suku Mbedha-Mbedha dan Cia-Cia
(Kapogolu) yang berkembang pesat di Pulau Binongko. Dalam kehidupan masyarakat saat itu,
status sosial merupakan fenomena yang sangat mencolok di tengah-tengah masyarakat lapisan
bawah. Tempat tinggalnya pun masih tercrai-berai. Bahkan konon katanya pada saat itu terlepas
dari pengaruh kekuasaan Kesultanan Buton.
Untuk menghindari gangguan berupa serangan dari para perampok dari pihak-pihak
tertentu maka kedua komunitas itu bersatu. Kedua masyarakat tersebut sepakat untuk
membangun sebuah tempat pemukiman bersama atau sebuah kampung yang sekarang dikenal
dengan nama Taduna.
Tersebutlah pelaut-pelaut Tobelo yang berlayar dengan perahu-perahu kecil yang dikenal
denga nama jarangka atau sema-sema berukuran kecil yang mampu mencapai Kepulauan
Tukang Besi pada saat itu. Masyarakat sangat ketakutan apabila melihat perahu-perahu tersebut,
karena mereka dikenal sebagai perampok dan pembunuh yang sangat berani dan ditakuti saat itu.
Pada saat kampung Taduna masih berada dalam wilayah kekuasaan Wali. Wali pada saat itu
merupakan kerajaan kecil yang berada di Pulau Binongko. Namun, dalam realita kehidupan
sehari-harinya, ternyata penduduk kampong Taduna tersebut dihuni oleh pendekar yang berani,
perkasa, dan tangguh. Masyarakat Wali pun mengakui keunggulan mereka dalam adu ilmu
kesaktian. Hal ini terbukti sekarang bahwa di perbatasan antara desa Wali dan desa Woloindi
terdapat sebuah tempat yang dikenal dengan nama potoboa yang berarti baku tikam antar
pendekar dari kedua daerah tersebut. Setiap acara potoboa yang selalu dimenangkan oleh
pendekar dari Taduna. Akhirnya Kerajaan Wali memberikan otonomi kepada Taduna dalam
segala hal.
PANITIA PELAKSANA
PANITIA PELAKSANA
PANITIA PELAKSANA
Dahulu kala hiduplah keluarga kecil di pulau Buton. Di mana dalam keluarga bahagia itu
terdapat seorang kepala rumah tangga, ibu rumah tangga beserta kedua anaknya. Dalam keluarga
itu terdapat dua anak laki-laki yang di mana anak pertama bernama La Curungkoleo dan si
bungsu bernama Lambata-Mbata. Si ibu sangat menyayangi kedua buah hatinya terlebih pada si
bungsu Lambata-Mbata. Maklum saja karena anak bungsu, maka si Lambata-Mbata yang paling
disayangi oleh ibunya.
Pekerjaan sang suami adalah seorang nelayan, sedangkan sang istri bertugas mengurus
rumah serta mendidik anak-anak. Rumah mereka tepat berada di pesisir pantai, yang sesuai
dengan profesi sang suami. Sebelum waktu musim barat tiba sang ayah, seperti biasanya
menyimpan sebagian hasil tangkapannya di rumah mereka. Sebab di pulau Buton pada musim
barat adalah musim gelombang besar dan para nelayan tidak dapat pergi ke laut. untuk
menangkap ikan seperti biasanya. Terkadang ikan yang disimpan diawetkan terlebih dahulu.
Untuk ikan yang ukurannya sedang hingga besar diawetkan dengan cara diberi garam atau
dikenal dengan sebutan kagarai, sedangkan ikan yang kecil diawekan dengan cara diasap atau
dikenal dengan nama ikane kaholeo.
Semua persediaan ini disiapkan untuk musim barat tiba, hingga musim timur datang
kembali. Ikan yang diawetkan ini biasanya disimpan di dapur atau di tingkat rumah serta di ikat
pada tiang rumah.
Pada musim barat biasanya para nelayan berganti profesi dengan bercocok tanam di
kebun. Suatu ketika sang ayah berpamitan kepada anak-anak dan istrinya untuk berangkat ke
kebun, guna mencari umbi-umbian serta jagung agar dapat di makan untuk kebutuhan pangan
sehari-hari. Sebelum sang suami berangkat ke kebun ia berpesan kepada sang istri agar memasak
PANITIA PELAKSANA
PANITIA PELAKSANA
PANITIA PELAKSANA
PANITIA PELAKSANA
Selama ini orang mengira burung cenderwasih hanya ada di Papua. Tapi, tahukah Anda
bahwa burung jenis ini ternyata juga terdapat di Sulawesi Tenggara, tepatnya di Kabupaten
Muna? Masyarakat di sana menyebutnya dengan nama burung Ntaapo-apo. Menurut cerita,
burung ini merupakan penjelmaan seorang anak laki-laki yang bernama La Ane. Bagaimana La
Ane bisa menjelma menjadi burung Ntaapo-Apo? Ikuti kisahnya dalam cerita Asal Mula Burung
Ntaapo-Apo berikut ini.
Dahulu, di sebuah kampung di daerah Muna, Sulawesi Tenggara, hiduplah seorang janda
bersama seorang anak laki-lakinya bernama La Ane. Suaminya meninggal dunia saat La Ane
masih bayi. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, janda itu mengolah kebun yang luasnya tidak
seberapa. Kebun itu ia tanami ubi dan jagung untuk dimakan sehari-hari. Selain kebun, sang
suami juga mewariskan seekor kuda jantan.
Janda itu amat sayang kepada La Ane. Ia merawatnya dengan penuh kasih sayang hingga
tumbuh menjadi besar. Namun, La Ane yang telah menginjak usia remaja itu tidak pernah
membantu ibunya bekerja. Dari bangun hingga tidur lagi, kerjanya hanya bermain gasing
bersama teman-temannya. Ia baru pulang ke rumah jika perutnya sudah lapar. Tapi, setelah
kenyang, ia kembali bermain gasing.
Sang ibu mulai tidak senang melihat kelakuan anaknya yang semakin hari semakin
malas. Ia sudah berkali-kali mengajaknya pergi ke kebun, namun La Ane selalu menolak.
Buat apa bekerja setiap hari. Capek, Bu, begitu selalu kata La Ane.
Anakku, kita mau makan apa kalau tidak bekerja? ujar ibunya.
Ibu saja yang bekerja. Aku lebih senang bermain gasing bersama teman-temanku
daripada ikut bekerja di kebun, kata La Ane dengan cuek.
Kalau begitu, makan saja itu gasingmu! tukas ibunya dengan nada kesal.
La Ane tetap saja tidak peduli pada nasehat ibunya. Ia pergi meninggalkan rumah menuju
ke rumah teman-temannya. Sang ibu yang masih kesal sedang menyiapkan makanan di meja
makan. Namun, bukannya nasi dan jagung rebus yang disiapkan, melainkan gasing yang
PANITIA PELAKSANA
PANITIA PELAKSANA
PANITIA PELAKSANA
PANITIA PELAKSANA
PANITIA PELAKSANA
PANITIA PELAKSANA
PANITIA PELAKSANA
PANITIA PELAKSANA
PANITIA PELAKSANA
Wa Ode-ode Sandibula adalah seekor tikus putih. Tikus putih itu beranak tujuh ekor, satu
ekor di antaranya jadi manusia dan enam ekor lainnya menjadi tikus. Tikus tersebut melahirkan
anak-anaknya di dalam gua, di dalam kebun La Ode yang ditanami pisang. Ketika ia pergi
melihat buah pisangnya, ternyata selalu dimakan oleh tikus. La Ode akhirnya pergi menyelidiki
sampai di dekat gua di dalam kebunnya. Ternyata ia mendengarkan suatu nyanyian yang berasal
dari tikus putih itu, menyanyi untuk anaknya Wa Ode-ode Sandibula.
Adapun isi nyanyiannya, Wa Ode-ode Sandibula, tidak ada kesamaanmu. La Ode
berkata, Ee, ada nyanyian di dalam gua itu. Saya pergi lihat dulu. Dia pergi periksa, ternyata
ada cahaya yang keluar dari dalam gua. Ternyata yang menyala itu adalah Wa Ode-ode
Sandibula. Kemudian La Ode mendatanginya. Semua saudaranya yang menjadi tikus berlarian
karena ketakutan, tinggal anak tikus yang berupa manusia yang tersisa terbaring sambil
menangis. Kemudian dia ambil dan digendong oleh La Ode. Nyalanya pun menerangi seluruh isi
gua, sehingga ia dapat dilihat oleh La Ode nama anak tikus itu adalah Wa Ode-ode Sandibula.
Saat itu, induk tikus sementara menyanyikan anaknya Wa Ode-ode Sandibula, nyanyian, Wa
Ode-ode Sandibula, tidak ada kesamaanmu.
Saat itulah diambil oleh La Ode dibawa ke rumah, Ibunya pun mengikut dari belakang
sampai di rumah. Kemudian dirawat sampai besar, setelah besar Wa Ode-ode Sandibula
diberitahu agar ia dinikahi saja oleh La Ode. Wa Ode-ode Sandibula menjawab bahwa, Jangan,
kamu telah merawat dan membesarkan saya. Dijawab oleh La Ode, Ku mohon agar kita dapat
menikah. Tidak, agar kamu dapat memasak dan mencucikan saya, juga dapat tidur dengan
saya. Agar kau dapat memberikan anak-anak.
Mereka akhirnya menikah, namun kalau tiba waktu malam, Wa Ode-ode Sandibula selalu
membagi makanan dalam tiga porsi, lalu mereka makan masing-masing satu porsi. Akhirnya La
Ode bertanya, Mengapa Wa Ode-ode Sandibula selalu membagi makanan dalam tiga porsi?
Padahal kita hanya berdua saja. Wa Ode-ode Sandibula menjawab, Tidak, supaya kalau habis
makanan kita tinggal ambil porsi yang satunya. Ternyata satu porsi makanan itu, bagian untuk
Ibunya. Setiap selesai makan malam, satu porsi makanan itu didorong ke dekat dinding.
Kemudian mereka pergi ke tempat lain. Setelah agak larut malam, makanan itu dimakan Ibunya.
PANITIA PELAKSANA
PANITIA PELAKSANA
PANITIA PELAKSANA
Pada suatu hari La Popinda baru saja pulang dari melaut. Dia pulang menuju rumah
dengan membawa ikan yang lumayan banyak. Ditengah perjalanan, dia berpikir dalam hati
bahwa ibu akan menyambutnya dengan senyum sehingga terlihat giginya yang hampir ompong.
Sesampainya dirumah, ibu menyambut dengan muka yang berseri-seri. Dia telah
menyediakan makanan, nasi goreng diatas meja makan dan dia tahu pula bahwa hari itu La
Popinda akan pulang dari melaut, sebab minggu yang lalu La Popinda berjanji pada ibunya,
kalau tidak ada halangan, dalam waktu satu minggu dia akan pulang. Satu minggu pas La
Popinda pulang dengan membawa ikan yang cukup banyak.
Keesokan harinya, ibu pergi ke pasar untuk menjual ikan hasil tangkapan La Popinda
tersebut. Pada waktu tiba di pasar, dia mencari tempat yang strategis. Belum seberapa lama dia
berada di pasar sudah dikerumuni banyak pembeli sehingga cepat habis ikan jualannya. Setelah
ikan jualannya habis terjual, dia pulang ke rumah dengan membawa uang yang lumayan banyak.
Setibanya di rumah, ibu langsung menyerahkan uang hasil jualannya tersebut kepada La Popinda
tetapi La Popinda menyarankan kepada ibunya agar uang tersebut digunakan untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari, setelah sekian minggu, ibu memberitahu La Popinda bahwa uang yang
dipegangnya hampir habis. Mendengar hal ini, dia pun memutuskan untuk melaut lagi.
Pada waktu melaut, ibu kerjanya hanya merawat tanaman yang ada di sekitar rumah.
Tanaman yang ada di sekitar rumah meliputi pisang, jagung, dan ubi-ubian. Semua tanaman ini
merupakan hasil dari jerih payahnya. Setelah tiga hari melaut, La Popinda kembali ke rumah lagi
dengan membawa ikan yang cukup banyak. Ketika tiba di rumah dia terkejut melihat ibunya
sedang menangis, dan semua tanaman rusak. Dengan kejadian seperti itu, La Popinda langsung
bertanya kepada ibunya.
Ibu mengapa ibu menangis dana siapan yang melakukan semuanya ini?
PANITIA PELAKSANA
PANITIA PELAKSANA
Pada zaman dahulu, ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja Muna yang
bernama Omputusangia, nama asli Omputusangia adalah La Ode Husaeni. Omputusangia
memiliki seorang istri yang sudah dinikahinya selama tujuh puluh tahun. Setiap hari,
Omputusangia hanya disibukkan dengan masalah-masalah kerajaan, karena kerajaan adalah
sebuah pusat penyimpanan semua hal-hal penting, boleh dibilang semua yang ada dalam
kerajaan adalah panutan atau pedoman yang dibutuhkan dan diinginkan oleh rakyat Muna.
Tiba pada suatu malam, Omputusangia duduk ditempat peristrahatannya, ia pun berpikir
bahwa sudah tujuh puluh tahun menikahi istrinya namun Omputusangia belum juga
mendapatkan keturunan, lelah berpikir akhirnya raja terlelap tidur karena sudah larut malam.
Pagi hari, Omputusangia mendapat kabar dari pengawal kerajaan bahwa pulau Muna
didatangi seorang saudagar dari Arab dengan niat untuk menyebarkan agama islam, saudagar itu
bernama saidhi rabbah. Pengawal kerajaan itu menambahkan lagi bahwa Saidi Rabbah memiliki
kemampuan hebat seperti sebuah kesaktian karena Saidi Rabbah datang dipulau Muna lewat
udara. Mendengar berita itu, Omputusangia memerintahkan pengawalnya untuk memanggil
Saidi Rabbah datang kekerajaan. Pergilah pengawal kerajaan tersebut ditempat Saidi Rabbah.
Setelah raja menunggu seharian diistana, pengawal yang disuruhnya tadi kembali, namun tidak
bersama saiddi rabbah. Melihat wajah raja yang kelihatan marah, pengawal tersebut menjelaskan
alasannya tidak membawah Saidi Rabbah. Pengawal itu mengatakan bahwa Saidi Rabbah tidak
ingin datang keistana karena raja memelihara babi,dan menurut ajaran agama Saidi Rabbah
yakni islam, babi adalah hewan yang haram.
Demi kedatangan Saidi Rabbah, raja Muna rela melepas babi. Disurulah kembali
pengawal untuk pergi m,enjemput Saidi Rabbah. Sore harinya, Saidi Rabbah datang keistana dan
bertanya kepada raja tentang maksud raja memanggil dirinya. Omputusangia pun berkata bahwa
ia ingin menguji kesaktian dari Saidi Rabbah, hingga ia mampu menyebarkan ajaran islam
diMuna. Pertama-tama, raja menguji Saidi Rabbah untuk membaca isi hatinya, apabila Saidi
Rabbah dapat membaca apa yang diinginkan oleh raja saat itu maka raja akan masuk dalam
ajarannya yakni islam. Dengan kemampuan yang dimilikinya, Saidi Rabbah pun mengatakan
PANITIA PELAKSANA
PANITIA PELAKSANA
Alkisah, pada suatu waktu negeri Sorume (kini bernama negeri Kolaka) dilanda sebuah
malapetaka yang sangat dahsyat. Seekor burung garuda raksasa tiba-tiba mengacaukan negeri
itu. Setiap hari burung itu menyambar, membawa terbang, dan memangsa binatang ternak milik
penduduk, baik itu kerbau, sapi, atau pun kambing. Jika keadaan itu berlangsung terus-menerus,
maka lama-kelamaan binatang ternak penduduk akan habis.
Penduduk negeri Kolaka pun diselimuti perasaan khawatir dan takut. Jika suatu saat
binatang ternak sudah habis, giliran mereka yang akan menjadi santapan burung garuda itu.
Sebab itulah mereka takut pergi ke luar rumah mencari nafkah. Terutama penduduk yang sering
melewati sebuah padang luas yang bernama padang Bende. Padang ini merupakan pusat lalulintas penduduk menuju ke kebun masing-masing. Sejak kehadiran burung garuda , padang ini
menjadi sangat sepi, karena tidak seorang penduduk pun yang berani melewatinya.
Pada suatu hari, terdengarlah sebuah kabar bahwa di negeri Solumba (kini bernama
Belandete) ada seorang pintar dan sakti yang bernama Larumbalangi. Ia memiliki sebilah keris
dan selembar sarung pusaka yang dapat digunakan terbang. Maka, diutuslah beberapa penduduk
untuk menemui orang sakti itu di negeri Solumba. Agar tidak disambar burung garuda, mereka
menyusuri hutan lebat dan menyelinap di balik pepohonan besar. Sesampainya di negeri
Solumba, utusan itu pun menceritakan peristiwa yang sedang menimpa mereka kepada
Larumbalangi.
Kalian jangan khawatir denga keadaan ini. Tanpa aku terlibat langsung pun, kalian dapat
mengatasi keganasan burung garuda itu, ujar Larumbalangi sambil tersenyum simpul.
Bagaimana caranya? Jangankan melawan burung garuda itu, keluar dari rumah saja
kami tidak berani, ucap salah seorang utusan.
Begini saudara-saudara, kumpulkan buluh (bambu) yang sudah tua, lalu buatlah bambu
runcing sebanyak-banyaknya. Setelah itu carilah seorang laki-laki pemberani dan perkasa untuk
dijadikan umpan burung garuda itu di tengah padang. Kemudian, pagari orang itu dengan bambu
runcing dan ranjau! peritah Larumbalangi.
PANITIA PELAKSANA
PANITIA PELAKSANA
Setelah para utusan tersebut pergi, Larumbalngi segara memejamkan mata dan
memusatkan konsentrasinya. Mulutnya komat-kamit membaca doa sambil menengadahkan
kedua tangannya ke langit.
Ya Tahun! Selamatkanlah penduduk negeri Kolaka dari bencana ini. Turunkanlah hujan
deras, agar bangkai burung garuda dan ulat-ulat itu hanyut terbawa arus banjir! demikian doa
Larumbalangi.
Beberapa saat kemudian, Tuhan pun mengabulkan permohonan Larumbalangi. Cuaca
negeri Kolaka yang semula cerah, tiba-tiba menjadi gelap gulita. Awan tiba-tiba menggumpal
menjadi hitam. Tidak berapa lama terdengarlah suara Guntur dan suara petir. Hujan deras pun
turun tanpa henti selama tujuh hari tujuh malam. Seluruh sungai yang ada di negeri Kolaka
PANITIA PELAKSANA