Anda di halaman 1dari 27

KEKERAPAN TUBERKOLOSIS PARU PADA PASANGAN

SUAMI-ISTERI PENDERITA TUBERKOLOSIS PARU


YANG BEROBAT DI BAGIAN PARU
RSUP.H. ADAM MALIK
ARLINA GUSTI
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS PARU-1
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB I
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan diseluruh dunia, oleh
karena morbiditas dan mortalitasnya masih tinggi, terutama pada negara yang
sedang berkembang. 1,2 . WHO ( World Health Organization) menyatakan bahwa TB
saat ini telah menjadi ancaman global. Diperkirakan terdapat 8 juta kasus baru dan
3 juta kematian karena TB setiap tahunnya. Menurut WHO tahun 1989, dinegara
berkembang terdapat 1,3 juta kasus dan 450.000 kematian karena TB pada anak
dibawah 15 tahun. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1986, TB adalah
penyebab kematian nomor 4 sedangkan menurut SKRT tahun 1992, TB sebagai
penyebab kematian nomor 2 sesudah penyakit kardiovaskuler dan nomor 1 dari
golongan penyakit infeksi. Sedangkan pada saat ini, laporan internasional
menunjukan bahwa Indonesia adalah penyumbang kasus penderita TB terbesar
ketiga didunia, setelah Cina dan India. WHO memperkirakan bahwa setiap tahunnya
175.000 orang meninggal karena TB dari sekitar 500.000 kasus baru dengan
260.000 orang tidak terdiagnosis serta mendapat palayanan yang tidak tuntas. Dan
menurut data yang dilaporkan dunia pada tahun 1995, penderita TB diIndonesia
berjumlah 460.000 orang, dan angka ini relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
negara lain. Tahun 2000 insiden TB di dunia akan semakin meningkat dibanding
tahun 1995, tujuh puluh persen penderita TB paru berada pada usia produktif (15- 54
tahun) dan sebagian besar golongan sosial ekonomi rendah dan diperkirakan kasus
BTA positif adalah 241 per 1.000 penduduk sehingga berperan dalam penyebaran
penyakit kepada masyarakat luas.3-13
Penularan tuberkulosis melalui udara dengan inhalasi droplet nucleus yang
mengandung basil tuberkulosis yang infeksius.14-17 Bayi dan anak yang kontak
serumah dengan penderita tuberkulosis dewasa terutama dengan sputum BTA positif
yang belum pernah didiagnosa dan diobati merupakan resiko tinggi terinfeksi TB. 18
WHO menganjurkan imunisasi BCG diberikan pada bayi baru lahir untuk
mencegah infeksi tuberkulosis. Walaupun efikasi BCG dalam mencegah infeksi
tuberkulosis masih diperdebatkan, pada daerah mana angka infeksi tinggi, imunisasi
BCG harus dianggap sebagai dari program kontrol tuberkulosis. Di Indonesia
imunisasi BCG masih perlu dilaksanakan sebagai usaha untuk mencegah
tuberkulosis. 19-21
Dikatakan, sampai hari ini belum ada satu negara pun didunia yang telah
bebas TB paru. Bahkan untuk negara maju, dimana tadinya angka TB telah

2003 Digitized by USU digital library

menurun, belakangan angka ini naik lagi sehingga TB disebut sebagai salah satu
reemerging disease. Sementara di Indonesia penyakit ini belum pernah menurun
jumlahnya dan bahkan meningkat. 13
Oleh karena itu penting untuk memeriksakan orang-orang yang kontak erat
dengan penderita TB paru. Dalam program pemberantasan penyakit tuberkulosis
paru penemuan penderita dilakukan dengan cara pencarian penderita yang
t ersangka TB ditengah- tengah masyarakat baik secara pasif maupun secara aktif,
untuk diperiksa riaknya secara mikroskopis langsung. Oleh karena sangat penting
ditemukan penderita sedini mungkin untuk diberi pengobatan sampai sembuh
sehingga tidak lagi membahayakan lingkungannya.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas maka perlulah kiranya
mengevaluasi apakah pada orang dewasa yang kontak erat dengan penderita TB
paru, dalam hal ini pasangan suami- isteri yang tinggal serumah dan tidur satu
kamar yang salah satu pasangannya menderita tuberkulosis paru, juga mendapat
atau menderita tuberkulosis paru, sehingga hasilnya dapat berguna serta
membandingkannya dengan kekerapan TB paru pada masyarakat umum hasil
penelitian Depkes RI.

BAB II
TINJAUAN PUSTA KA
II.1. TUBERKULOSIS PARU
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi yang menular yang
disebabkan oleh Basil Mikobakterium Tuberkulosa 22-25 . Penularan penyakit TB
biasanya melalui udara dengan inhalasi droplet nucleus yang mengandung basil
tuberkulosis berukuran 1-5 mikro meter yang dapat melewati atau menembus
sistem mukosilier saluran nafas, sehingga dapat mencapai dan bersarang
dibronkhiolus dan alveolus. Kuman TB menyebar dari seorang penderita TB paru
terbuka kepada orang lain. Penyakit yang ditimbulkannya bersifat menahun,
sebagian besar mengenai organ paru dan bisa juga organ lain ditubuh selain paru,
usia yang sering terkena adalah usia produktif (15- 40) tahun, sehingga dampak
kerugian ekonomi bagi kesehatan masyarakat cukup besar berupa me nurunnya
produktivitas SDM dan mahalnya biaya pengobatan. 24,26,27,28,29,30,31
Kuman Tuberkulosis hidup dan berkembang biak pada tekanan O2 sebesar
140 mm H2 O diparu dan dapat hidup diluar paru dalam lingkungan mikroaerofilik22,30
. Droplet infeksius secara inhalasi masuk ke alveolus menimbulkan bronkopneumonia
non spesifik yang merupakan fokus primer. Gejala klinis tidak ditemukan tetapi uji
tuberkulin positif. Kuman TB dari fokus primer memasuki kelenjar getah bening
regional, selanjutnya melalui aliran limfatik memasuki sirkulasi sistemik. Sebesar 5
% dari penderita infeksi TB primer berkembang menjadi penyakit paru progresif
dengan gejala klinik dan radiologik sesuai TB paru. Penyebaran limfohematogen
mengakibatkan TB milier dan TB ektra pulmonar. Sebagian besar penderita infeksi
TB paru primer sembuh dan berbentuk granuloma, keadaan ini tergantung pada
beberapa keadaan seperti jumlah kuman yang masuk sedikit dan telah terbentuk
daya tahan tubuh yang spesifik terhadap basil tuberkulosis. 23,24,28

2003 Digitized by USU digital library

Tuberkulosis dibedakan atas tuberkulosis primer dan tuberkulosis post


primer. Pada tuberkulosis primer penyebaran hematogen kebagian tubuh lain dapat
terjadi pada saat dini, bahkan dapat terjadi sebelum timbulnya hipersensitivitas
terhadap tuberkulin. Tuberkulosis paska primer prosesnya terbatas pada paru dan
penyebarannya secara bronkogen. Berdasarkan keadaan tersebut diatas tuberkulosis
primer merupakan suatu penyakit yang berbahaya dan memerlukan pengenalan atau
diagnosis sedini mungkin 11,32. Sedangkan reaksi tubuh terhadap tuberkulosis paru
post primer dapat terjadi dalam 2 bentuk yaitu , pertama : peradangan endogen
yaitu, berasal dari fokus lama (dormant) didalam paru yang mengalami
kekambuhan, kedua peradangan eksogen yaitu karena infeksi paru yang berasal dari
luar. 23
II.1.1. Diagnosis
Penegakan diagnosis TB Paru adalah hal yang penting terutama agar
diagnosis ditegakan lebih tepat dan pengobatan dapat diberikan lebih cepat serta
pada penderita yang lebih tepat.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan cara 33,34,35
1. Gambaran Klinik, yang terdiri dari :
a. Gejala Respiratorik : - Batuk
- Batuk darah
- Sesak nafas
- Nyeri dada
b. Gejala Sistemik
: - Demam
- Keringat malam
- Anoreksia
- Berat badan menurun
- Malaise
2. Gambaran Radiologi
3. Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan darah rutin, walaupun kurang spesifik, seperti Hb, LED dan
Limfositosis.
2. Pemeriksaan Bakterilogik
Pemeriksaan ini sangat penting. Bahan dapat berasal dari sputum, bilasan
bronkus, jaringan paru, cairan pleura dan lain- lain.
Pemeriksaan bakterilogik dari bahan dapat berupa :
1. Pemeriksaan mikroskopik biasa.
2. pemeriksaan mikroskop Fluoresens
3. Pemeriksaan biakan kuman/BTA yang terdiri dari :
Metode konvensional : - Egg Base Media
- Agen Base Media
Metode Radiometrik (BACTEC)
Pemeriksaan lain seperti : - Ligth Producing Mycobacteriophage
- PCR ( Polymerase Chain Reaction)
Pemeriksaan Serologi yang terdiri dari beberapa macam antara lain :

2003 Digitized by USU digital library

1. Elisa ( Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay) merupakan salah


satu test serologi yang dapat mendeteksi respon humoral berupa
proses antigen- antibodi yang terjadi.
2. Mycodot, salah satu test lain yang mendeteksi antobodiantimikobakterial.
3. Uji Peroksidase Anti Peroksidase (PAP) merupakan uji serologik
imunoperoksidase untuk menentukan adanya IgG anti TB.
Uji ini dapat membantu me negakkan diagnosis TB aktif serta
memantau
hasil
terapi
dan
dapat
mendeteksi
adanya
kekambuhan, juga daat mengindentifikasi TB aktif baik diluar paru
maupun diparu.
4. Uji Tuberkulin
Untuk mendeteksi adanya riwayat infeksi TB yaitu dengan melakukan test
tuberkulin36 . Dengan menggunakan teknik dan bahan yang tepat, uji tuberkulin
sangat berguna untuk memperkirakan prevalensi tuberkulosis dimasyarakat. Uji
tuberkulin merupakan pemeriksaan immunologik yang mengukur imunitas
seluler. 37
Uji tuberkulin merupakan metode primer untuk mengetahui seseorang terinfeksi
TB dan mereka merupakan suatu pemeriksaan yang paling cepat, murah, aman
dan dapat dipercaya38,39. Dan sebagai penunjang diagnostik paling penting untuk
diagnosis dini TB pada bayi dan anak dan kadang- kadang merupakan satu- satu
bukti adanya infeksi TB40 . Tuberkulin posistif menunjukan bahwa seseorang
sedang atau pernah mengalami infeksi oleh mikobakterium TB, mikobakterium
Bovis atau mikobakterium lainnya, serta pernah mendapat vaksin BCG. Pada
anak uji tube rkulin merupakan sarana yang penting dalam menegakan
diagnosa.41
Dinegara- negara miskin hal ini kurang bermakna karena dapat negatif pada
malnutrisi atau penyakit- penyakit lain walaupun penderita menderita tuberkulosis
aktif. Suatu uji positif yang kuat tentu merupakan petunjuk adanya tuberkulosis
tetapi bila uji negatif, belum dapat disingkirkan ( perlu diketahui bahwa uji positif
yang kuat hanya suatu petunjuk), banyak orang tanpa tuberkulosis aktif
menghasilkan uji yang positif. 42
Dikatakan juga test tuberkulin memiliki nilai terbatas dalam penyelidikan
seseorang yang diduga tuberkulosis, reaksi yang negatif tidak menyingkirkan
penyakit ini. Test ini mempunyai nilai diagnostik yang lebih besar pada orang
muda yang belum pernah diimunisasi BCG sebelumnya. Test tuberkulin ini
memiliki nilai yang besar dalam pencarian kontak TB, terutama pada anak- anak
yang belum disuntik BCG. 42
II.1.2. CIRI-CIRI MIKOBAKTERIUM TUBERKULOSA
Mikobakterium tuberkulosa merupakan sel berbentuk batang yang lurus
berukuran 0,4x3 mikro. Kuman tidak berspora dan tidak berkapsul. Pada
pewarnaan Ziehl- Neilsen tampak kuman berwarna merah dengan latar belakang
berwarna biru. Pada pewarnaan fluorokrom berfluoresensi dengan warna kuning
jingga. Kuman sulit diwarnai dengan cara Gram, tetapi bila berhasil maka
hasilnya adalah Gram positif 43,44,45 . Pemeriksaan menggunakan mikroskop
elektron memperlihatkan dinding sel yang tebal, mesosom yang mengandung

2003 Digitized by USU digital library

lemak (lipid). Kandungan lemak pada kuman ini besar, yaitu lebih dari 25%
dibanding kuman Gram positif yang hanya mengandung 0,5% dan pada kuman
Gram negatif 3%. Besarnya kandungan lipid memberikan sifat khas pada
mikobaterium, yaitu tahan terhadap kekeringan, alkohol, zat asam, alkali dan
germisida tertentu 43,44. Menurut Barsdake dan Kim, sifat tahan asam dari sel
mikobakterium oleh adanya perangkap fuksin intrasel, suatu pertahanan yang
dihasilkan dari kompleks mikolat fuksin yang terbentuk di dinding.44,46
Pertumbuhan kuman mikobakterium patogen sangat lambat, waktu
pembelahan adalah 12-18 jam dengan suhu pertumbuhan optinum 370C. Kuman
dapat tumbuh pada media buatan yang sederhana, tetapi pertumbuhan kuman
yang diisolasi dari bahan klinik membutuhkan media kompleks. Pada
pembenihan, pertumbuhan tampak setelah 2- 3 minggu, membentuk koloni
cembung, kering, warna kuning gading 44,45,46. Mikobakterium mengandung
sejumlah besar kompleks lemak dengan berat molekul tinggi, antara lain
mycosid D wax, trehalose-6,6- dimycolate dan sulfolipid 43,44,46. Mikosid adalah
seri dari asam mikolat yang mengandung glikolipid atau glikolipid peptida,
terdistribusi secara khas diantara spesies mikobakterium yang berbeda.
Beberapa mikosid terdapat dilapisan luar permukaan sel dan berperan sebagai
reseptor bakteriofag 44 . D wax adalah suatu substansi yang terdiri dari asam
mikolat, peptida dan polisakarida. Substansi ini mempunayi sifat adjuvant yang
khas, antara lain; dapat meningkatkan produksi antibodi untuk melawan antigen
protein yang digabungkan dalam emulsi minyak D wax menginduksi respon imun
seluler ( cell- mediated immun/CMI). Oleh karena sifat inilah maka D wax ikut
berperan terhadap patogenitas tuberkulosa melalui peningkatan respon CMI (
terutama hipersensitivitas tipe lambat) untuk melawan protein mikobakterium.
Penelitian menunjukan bahwa komponen aktif D wax adalah N-acety muramil
dipeptida. 44,45,46
Cord factor berhubungan erat dengan virulensi kuman TB dimana pada
kultur membentuk serpentine cord, yaitu susunan paralel dari kuman.
Pembentukan cord ini dihubungkan dengan adanya glikolipid trehalose-6 , 6mikolat yang berlokasi dibagian perifer organisme. Sejumlah respon bilogik dapat
ditimbulkan oleh material ini, antara lain bersifat toksik terhadap tikus,
menghambat migrasi leukosit polimorfonuklear, menginduksi perlindungan
terhadap infeksi kuman virulen dan menginduksi pembentukan granuloma.43,44,46
Sulfolipid adalah suatu glikolipid yang berlokasi diperifer, material yang dapat
memberikan respon berupa pengikatan pewarnaan merah netral pada galur
mikobakterium tuberkulosis yang virule n. Walaupun sulfolipid sendiri tidak
bersifat toksik, tetapi bila digabungkan dengan cord factor dapat memperkuat
sifat toksik cord factor.43,44,46
II.1.3. Pengertian Infeksi dan Sakit
Tidak semua orang menjadi sakit walaupun mendapat infeksi. Status infeksi
suatu masyarakat dapat diketahui dengan tes tuberkulin pada kulit 32 . Kalau tes
tuberkulin positif dianggap seseorang telah terinfeksi oleh basil tuberkulosis. Dalam
hal ini masih terdapat kekecualian seperti terjadinya reaksi fals positif dan fals

2003 Digitized by USU digital library

negatif seperti reaksi positif setelah mendapat vaksinasi BCG ataupun reaksi positif
akibat infeksi oleh mikobakterium atipik. 47,48
Dikatakan sakit apabila dijumpai salah satu atau seluruhnya dari keadaankeadaan berikut yaitu gejala klinis positif keadaan ini menunjukan gejala utama
terdiri dari demam, diamana suhu badan meningkat ringan atau febril, batuk,nyeri
dada atau batuk darah, dan sebagai gejala tambahan adalah terdiri dari malaise,
sesak nafas, keringat malam, badan semakin kurus, sakit kepala, dan
sebagainya.47,48
II.1.4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Penyakit.
Berat ringannya tuberkulosis paru tergantung pada faktor host, virulensi
kuman dan lingkungan, menurut WHO (1997) pencetus terjadinya infeksi yang berat
adalah lemahnya ketahanan tubuh, keadaan demikian kalau penderita menderita
penyakit lain. Disamping itu berbagai macam stres fisik dan psikis dapat
menyebabkan penderita rentan terhadap infeksi penyakit TB. Stres fisik dapat terjadi
dengan kinerja berat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari- hari bagi individu
dengan penghasilan rendah. Tidak seimbangnya pemasukan yang didapat dengan
kerja keras dibandingkan pengeluaran yang lebih tinggi mengakibatkan stres psikis
yang berkepanjangan. Akibat kritis ekonomi terjadi penurunan konsumsi makanan
yang bergizi, sehingga komponen nutrisi untuk bahan pembentukan antibodi
berkurang. Stres mengakibatkan produksi hormon stresor kortisol meningkat.
Peningkatan kortisol menghambat kerja IL- 1, untuk mengaktifkan limfosit sehingga
melemahkan kerja mokrofag sehingga kuman mudah mengadakan pembiakan. 49
Pada orang yang mengalami infeksi namun bila ketahanan tubuhnya normal,
90% aka sembuh dengan sendirinya, namun pada mereka yang ketahanan tubuhnya
rendah beresiko tinggi untuk menjadi sakit dari yang ringan sampai berat, bahkan
dapat menyebar keseluruh organ tubuh ( Milier). 50
Dikatakan bahwa interval antara infeksi dan terjadinya penyakit adalah
beberapa minggu dan bulan saja. 51
Kontak yang berlama - lama dengan pasien TB aktif ditempat yang tertutup
menambah resiko infeksi. 28
II.2. Teori Eksogen & Endogen
Belum dapat kesepakatan (kontroversi) dari para ahli apakah TB post primer
berasal dari eksaserbasi TB primer (teori endogen) atau infeksi eksogen (teori
eksogen). Data untuk ini adalah sangat penting, dimana mempunyai pemikiran yang
luas untuk TB klinik, yaitu mengenai infeksi baru dengan organisme eksogen dari
lingkungannya, atau dari reaktivitas dari basil yang dipelihara sebelumnya dalam
beberapa tahun ( dormant). Data- data yang berhubungan dengan keadaan ini masih
berupa dugaan, namun konsep ini sangatlah penting. Dimana dasarnya usahanya
adalah dari TB kontrol. Dikatakan TB pada area yang insidennya rendah berasal dari
atau hasil dari reaktivitas endogen, oleh karena itu pencegahan memerlukan
identifikasi dari orang-orang yang terinfeksi dan memberikannya terapi pencegahan
dengan INH. Data yang ditunjukan pada orang- orang yang diuji tuberkulin negatif,
angka dari TB sebanding dengan derajat dari eksposure ini mempunyai hal yang
penting.

2003 Digitized by USU digital library

Pada pernyataan lain, dikatakan pada observasi dari orang- orang yang sakit
diketahui tuberkulin positif pada permulaan yang juga berhubungan jelas dengan
eksposure. 52
Tjandra Yoga mengatakan, TB paru pada orang dewasa dapat terjadi melalui
2 mekanisme53,54,55 :
1. Kuman masuk dan berkembang biak dalam paru dan merusaknya (infeksi
eksogen)
2. Penyakit timbul akibat aktifnya kembali basil TB yang telah ada pada paru orang
tersebut akibat masuknya basil ke paru ketika masih kanak- kanak tapi tidak
menimbulkan penyakit sampai dewasa, karena menurutnya daya tahan tubuh
dan buruknya kondisi kesehatan secara umum maka basil tersebut semula tidak
aktif akan menjadi aktif (reaktivitas endogen). Dikatakan juga 90% TB paru pada
orang dewasa berasal dari reakstivitas endogen.
Jika eksogen reinfeksi predominant maka mekanisme berkembangnya TB,
maka angka kesakitan mempunyai variasi dengan derajat eksposure pada
kedua tuberkulin (positif&negatif). Nyatalah walaupun angkanya kecil tapi
secara statistik ada perbedaan yang bermakna pada angka kesakitan antara
eksposure dan tidak, terutama yang eksposure dengan tuberkulin positif
seperti pada perawat- perawat dan dokter- dokter dan terutama yang
mengalami stres dan kecapekan. Sehingga dinyatakan, jika host memiliki
resistence rendah maka terjadilah reaktivitas endogen dan proliferasi dari
basil yang sebelumnya dormant, sedang respon untuk inhalasi organisme
eksogen adalah mempunyai kekuatan protektif secara lengkap walaupun
sedikit. Besarnya eksposure dari basil TB mungkin penyebab penyakit, ini
terjadi pada individu yang tuberkulin positif dan oleh karenanya disini
tampaklah berperan pertahanan imunologi. 52
Dengan terjadinya defisiensi responimune dapat dengan mudah terjadi
reaktivitas atau infeksi endogen. Pada populasi dengan jalan masuk melalui
medical care dan dengan obat yang tepat, penyebaran dari infeksi TB yang
baru akan relatif kecil. Jadi perlu diperhatikan reinfeksi adalah penting untuk
berkembangnya penyakit TB. 52
Walaupun begitu penelitian yang pernah dilakukan oleh beberapa
peneliti sebelumnya antara lain di Jakarta oleh Depari yang mengatakan
bahwa kekerapan TB paru dengan BTA (+) secara mikroskop langsung pada
pasangan suami- isteri yang salah satu pasangannya menderita TB ialah
0,54% namun belum dapat dipastikan timbulnya sakit pada pasangan
tersebut akibat kontak erat dengan pasangannya yang menderita TB paru.56
Di bagian Anak FK- USU/RS HAM dilakukan penelitian tentang uji
Mautoux pada bayi dan anak yang kontak serumah dengan penderita TB paru
dewasa dengan sputum BTA (+) didapat bayi dan anak yang tinggal serumah
dengan penderita TB paru dewasa dengan sputum BTA (+) merupakan
kelompok resiko tinggi untuk terinfeksi TB yang ditunjukan dengan hasil uji
mantoux positif. Kontak serumah yang tidur sekamar dengan penderita TB
paru dewasa dengan sputum BTA (+) menunjukan jumlah hasil uji mantoux
positif berbeda secara bermakna dibandingkan dengan yang tidur tidak
sekamar. Kelihatannya anak yang telah mendapat imunisasi BCG maupun
yang belum mempunyai kesempatan yang sama menghasilkan uji mantoux

2003 Digitized by USU digital library

positif. Hasil uji mantoux positif tidak berbeda secara bermakna dengan
banyaknya jumlah BTA dalam sputum. 59
Walaupun begitu penyakit TB dapat juga dikatakan bahwa penyakit ini
dapat ditemukan penyebaran pada lingkungan kerja mengingat penyakit ini
adalah suatu airborne infection, yaitu dengan adanya laporan dari sebuah
kapal Amerika Serikat yang mempunyai sirkulasi udara yang tertutup dimana
didalam kapal tersebut dijumpai seseorang penderita TB dengan BTA (positif)
yang sangat simptomatik, 80% orang sekitarnya menyebabkan konversi
tuberkulin dari negatif menjadi positif. Selain itu juga adanya kejadian
penyebaran/wabah tuberkulosis dengan pekerja dibar. 58
II.3. Mekanisme Pertahanan Tubuh Terhadap Kuman TB
II.3.1. Cara Mikobakterium Tuberkulosa Merusak Jaringan Paru.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa mirobakterium tuberkulosa
adalah bakteri yang tidak mempunyai toksin yang dapat merusak atau
meracuni jaringan paru. Pada saat alveoli berisikan mikobakterium
tuberkulosa, maka sel yang pertama aktif adalah T. Limfosit untuk
mengaktifkan
makrofag sehingga dapat membunuh kuman lebih aktif.
Selanjutnya makrofag yang telah aktif ini akan melepaskan IL- 1 yang mana
IL- 1 secara feed back akan merangsang limfosit T lain agar memperbanyak
diri, matur dan memberikan respon yang lebih baik terhadap mirobakterium
tuberkulosa yang bersarang di alveoli. Mekanisme makrofag aktif didalam
membunuh mikobakterium tuberkulosa adalah melalui oksidasi dan
pembentukan peroksida. Aktivitas makrofag terjadi melalui urutan kejadian
yang dipengaruhi oleh produk humoral dan seluler. 59,60
Perjalanan dan interaksi imunologis dimulai ketika makrofag bertemu
dengan kuman TB, memprosesnya lalu menyajikan antigen kepada limfosit.
Dalam
keadaan normal, infeksi TB merangsang limfosit T untuk
mengaktifkan makrofag sehingga dapat lebih efektif membunuh kuman.
Makrofag aktif melepaskan interleukin-1 yang merangsang limfosit T. limfosit
T melepaskan interleukin- 2 yang selanjutnya merangsang limfosit T lain
untuk memperbanyak diri, matang dan memberi respon lebih baik terhadap
antigen. Limfosit T sirkuit (TS) mengatur keseimbangan imunitas melalui
peranan yang kompleks dan sirkuit imunologik. Bila TS berlebihan seperti
pada TB progresif, maka keseimbangan imunitas terganggu sehingga timbul
anergi dan prognosis jelek. TS melepas substansi supresor yang mengubah
produksi sel B, sel T aksi-aksi mediatornya.
Mekanisme makrofag aktif membunuh basil tuberkulosis masih belum
jelas, salah satu adalah melalui oksidasi dan pembentukan peroksida. Pada
makrofag aktif, metabolisme oksidatif meningkat dan melepaskan zat
bakterisidal seperti anion superoksida, hidrogen peroksida, radikal hidroksil
dan ipohalida sehingga terjadi kerusakan membran sel dan dinding sel, lalu
bersama lisozim atau mediator, metabolit oksigen membunuh basil
tuberkulosis. Beberapa basil tuberkulosis dapat bertahan dan tetap
mengaktifkan makrofag, dengan demikian basil tuberkulosis terlepas dan
menginfeksi makrofag lain.

2003 Digitized by USU digital library

Diduga dua proses yaitu proteolisis dan oksidasi sebagai penanggung


jawab destruksi matriks. Komponen utama yang membentuk kerangka atau
matriks dinding alveoli terdiri dari : kolagen interstisial (tipe I dan II), serat
elastin dan mikrofibril, proteoglikan interstisial, fibrokinetin. Kalogen adalah
yang banyak jumlahnya dalam jaringan ikat paru.
Proteolisis berarti destruksi protein yang membentuk matriks dinding
alveoli oleh protease, sedangkan oksidasi berarti pelepasan elektron dari
suatu molekul. Bila kehilangan elektron terjadi pada suatu struktur maka
fungsi molekul itu akan berubah. Sasaran keluar dari kapiler sel netrofil akan
melepaskan berbagai protease antara lain 59,60,61,62
1. Elastase
Enzim ini merupakan enzim yang paling kuat untuk memecah elastis dan
protein jaringan ikat lainnya. Produksi enzim terutama ditujukan untuk
merusak dinding alveoli.
2. Catepsin G.
Kerjanya
menyerupai
elastase,
tetapi
potensinya
lebih
rendah
dibandingkan dengan elastase, dapat merusak struktur dinding sel
mikrobakterim tuberkulosa kerja ikutanny a dapat merusak alveoli
3. Kolagenase
Merupakan enzim yang cukup poten dalam memecah jaringan kollagen.
Bersama dengan enzime yang lain dapat menimbulkan empisema paru
4. Plasminogen Aktivator
enzim ini terdiri dari 2 jenis yaitu urokinase dan plasmin yang akan
mengubah plasminogen menjadi plasmin.
Plasmin selain merusak fibrin juga mengaktifkan proenzim elastase dan
enzim ini bekerja sinergis dengan elastase.
Alveoli makrofag dan fibroblast melepaskan proenzim elastase dan
kolagenase inaktif dalam jumlah yang sangat kecil dan enzim ini akan
diaktifkan oleh plasmin
Antiprotease adalah molekul yang dapat mengikat protease dan
menghambat perusakan protease terhadap matrik, kalau tidak kerusakan
akan berlanjut.
Dalam keadaan hadirnya mikobakterium tuberkulosa, makrofag aktif
menghasilkan
oksida- oksida,
seperti
hidrogen
peroksida,
radikal
hipokalida yang sangat toksin.
Dari penjelasan diatas baik kerja oksidan maupun kerja enzim protease
yang tujuan utamanya adalah untuk melumpuhkan mikobakterium
tuberkulosa yang sudah bersarang dalam alveoli, tetapi karena dalam
produksi terlalu berlebihan, maka yang ikut rusak bukan hanya
mikobakterium tuberkulosa, tetapi juga struktur paru yang didiami oleh
mikobakterium tuberkulosa tersebut.
II.3.2. Peran Subset Sel T dan Sitokin63-65
Proses fagositosis makrofag alveolar terhadap kuman TB terjadi
melalui berbagai reseptor antara lain karbohidrat non spesifik, imunologlobulin Fc,
sistem komplemen pada permukaan sel kuman dan sel fagositik. Mekanisme lain
melalui peranan fibronectin binding protein pada proses fagositosis oleh sel fagositik

2003 Digitized by USU digital library

mononuklerar. Dalam endosomal sel fagositik mononuklear kumam TB hidup


bertahan hidup dengan jalan sebagai berikut :
Netralisasi fagosomal pada pH yang rendah
Interferensi fusi fagolisomone
Resist en terhadap enzim lisosomal
Inhalasi dari gugusan aksigen reaktif intermediate
Sintesa heat shock protein (HSP)
Menghindari dari masuk ke dalam sitoplasma
Kuman TB mati dan diluncurkan melalui proses aktivasi makrofag oleh sitokin sel T
dan berbagai gugusan oksigen reaktif, nitrogen intermediate dan pengaturan level
zat besi intraseluler. Antigen dari protein kuman TB yang didegradasikan bersama
endosom diproses dan dipresentasikan kepada CD4 + sel T melalui MHC kelas II.
Sedangkan antigen protein kuman TB yang berada dalam sitoplasma di
presentasikan kepada CD8+ sel T melalui MHC kelas I. Limfosit T perifer memiliki
reseptor sel T (TCR) dipermukaan sel dan berikatan secara non kovalen dengan CD3
berguna untuk transuksi signal antigenik ke sitoplasma. Didarah perifer dan organ
limfoid 90% ekspresi sel T sebagai / TCR ekspresi sel T sebagai / TCR dan
10%/ TCR. Peranan / TCR SC4+ cell adalah mengenal berbagai fragmen antigen
yang berasal dari endosomal bersama molekul MHC kelas II untuk menghasilkan
berbagai sitokin pada respons imun. Pada kasus tertentu CD4 + sel T memiliki
efektorlisis seperti pada CD8 + sel T, selanjutnya / TCR CD8+ cell berfungsi untuk
mengenal fragmen antigen kuman TB dari sitosolik bersama MHC kelas I yang besar
kemungkinan berasal dari kompartemen endosomal untuk kemudian ditransfer ke
retikulum endoplasmik. Fungsi / TCR adalah mengenal antigen kuman TB melalui
undertermited presenting molecules pada APC dan menghasilkan berbagai sitokin
yang mirip dengan / TCR cell untuk tujuan efek sitotoksik pada sel target. Setelah
proses pengenalan antigen selanjutnya T cell precursor mensekresi IL- 2. sel T CD4 +
terdiri dari 2 sub populasi yaitu sel CD4 + Th 1 mensekresi IL- 2 dan IFN serta sel
CD4+ Th2 mensekresikan II- 4, IL- 5, IL- 6 dan I L- 10. Kedua subpopulasi Th 1 dan Th
2 mensekresi IL- 3, GM- CSF da TNF . Sel CD4+ Th- 0 memiliki kemampuan untuk
berdifrensiasi menjadi sel Th- 1 atau Th-2. Sel Th- 1 berperan untuk mengaktivasi
makrofag melalui IFN- dan DTH. Sel Th- 2 berperan dalam hal produksi antibodi dan
inhalasi aktivasi makrofag (IL- 10). Selanjutnya IFN- yang dihasilkan oleh sel Th-1
menghambat profilerasi sel Th- 2 sementara IL- 4 yang dihasilkan Th-2 menghambat
peningkatan sel Th- 1. Peranan TNF- adalah sebagai sitokin utama dalam proses
pembentukan granuloma dan banyak ditemukan pada cairan pleura penderita
pleuritis TB eksudativa. Sitokin IL-12 dihasilkan oleh makrofag dan sel B yang
berperan untuk mengaktivasi Th- 1. Fungsi utama CD4+ cell effector adalah untuk
aktivasi sitolitik pada infeksi M. tuberkulosis. Sedangkan CD8+ T cell berfungsi pada
mekanisme / TCR mediatedlysis sel terinfeksi dan mekanisme apoptosis sel target.
Sehingga CD8+ T cell berperan untuk proteksi pada fase awal infeksi. Peranan /
TCR cell adalah untuk memperoleh efek sitolitik monosit bersama antigen kuman TB
dengan tujuan mensekresi sitokin pembentuk granuloma.

2003 Digitized by USU digital library

10

20

II.3.3. Kerjasama Sel T dan Sel B Dalam Pembentukan Antibodi (dikutip 63)
Antigen M. Tuberkulosis tidak saja merangsang reaksi imunitas seluler
tetapi juga imunitas humoral. Untuk menimbulkan respons antibodi maka sel B dan
sel T harus saling berinteraksi. Antigen yang berada di dalam makrofag atau yang
berfungsi sebagai antigen presenting cell (APC) menyajikan antigen mikroba kepada
sel Th. Aksi pengenalan itu sel Th bersama - sama ekspresi MHC kelas II kepada sel
Th, mengaktivasi sel B untuk memproduksi antibodi spesifik terhadap antigen.
Aktivasi sel T menyebabkan terjadinya diferensiasi B menjadi sel plasma yang
kemudian menghasilkan antibodi. Sel B menerima signal dari sel T untuk berbagi dan
berdiferensiasi menjadi antibodi forming cells (APC) dan sel memori B. Ada beberapa
faktor mengenai respon imun humoral :
1. Antigen protein tidak memberi respons antibodi bila tidak tersedia limfosit T,
oleh ka rena itu disebut sebagai T-dependent antigen dan sel T yang
diperlukan disebut sebagai T- helper cell.
2. Antigen bukan protein seperti polisakarida dan lipid memberi respons antibodi
tanpa bantuan T- helper limfosit oleh karena itu disebut sebagai Tindependent.
3. Respon antibodi primer dan sekunder berbeda secara kualitatif dan
kuantitatif.
Respons sekunder terbentuk lebih cepat dari pada respon primer dan jumlah
antibodi lebih banyak ditemukan pada respons sekunder.
4. Generasi sel B memori, heavy chain class awitching dab affinity maturation
merupakan mekanisme respons imun humoral terhadap antigen protein.
Saat ini dikenal 5 kelas utama imunoglobulin dalam serum manusia
yaitu IgG, IgA, IgM, IgD, dan IgE. Dalam serum orang dewasa IgG 75% dari Ig
total dan menjadi Ig utama yang dibentuk atas rangsangan antigen.
Imunoglobulin adalah molekul glikoprotein terdiri dari komponen polipeptida dan
karbohidrat. Fungsi utama respons imun untuk mengikat dan menghancurkan
antigen. Atas dasar ini berkembang serodiagnosis TB unt uk mendeteksi antigen
penyebab infeksi atau mendeteksi antibodi terhadap antigen dalam serum yang
menunjukan terjadinya proses tuberkulosis didalam tubuh. Pada infeksi
M.tuberkulosis terjadi peningkatan titer antibodi terhadap kuman TB setelah 4
s/d 6 minggu penularan. Antibodi yang terbentuk adalah kelas IgM diikuti oleh
kelas yang memiliki korelasi dengan penyakit tuberkulosis. Titer IgG spesifik
tinggi pada penderita TB yang belum mendapat terapi dan akan lebih tinggi saat
mendapat terapi dan berbeda dengan IgA yang menurun saat mendapat terapi.
Meningkatnya titer IgA adalah sebagai respons imun humoral terhadap
mikroorganisme intraseluler tumbuh lambat M.tuberkulosis. Sintesa IgG spesifik
yang meningkat adalah sebagai respon imunologik terhadap antigen kuman TB
yang larut. Respons humoral IgM dihubungkan dengan antigen polisakarida yang
sering
ditemukan
dialam
bebas.
IgM
orang
sehat
analog
dengan
isohaemoglutinum (substansi Anti- A dan Anti- B golongan darah). Ditemukannya
antibodi IgM dihubungkan dengan faktor T-cell- independent dan jumlah bakteri
yang berlebihan. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi titer antibodi
spesifik dalam sirkulasi seperti jumlah antigen, binding site, reaksi jaringan lokal,
kompleks imun, nutrisi dan toksisitas, interaksi respons imun lain, imunosupresi,
degradasi oleh makrofag dan kelainan genetika. Imunosupresi generalisata

2003 Digitized by USU digital library

11

terjadi pada TB diseminata, gizi buruk, pemberikan obat imunosupresif dan


malignansi. Penghancuran antigen yang efisien oleh makrofag mengakibatkan
rendahnya titer antigen, sedangkan kompleks imun mengakibatkan rendahnya
titer antibodi di sirkulasi. Kendati peran imunoglobulin spesifik dalam proses
fagositosis minimal, respons imun humoral berperan dalam menetralisasi dan
menghancurkan antigen kuman TB.
Beberapa penelitian telah dilakukan mengenai hubungan gizi dan TB.
Di Medan oleh N. Keliat yang mengatakan bahwa malnutrisi dan tuberkulosis
paru masih kontroversial, tapi hasil dari penelitian yang dlakukan pada pasien TB
dengan BTA(+) dengan pemberian larutan asam amino Pan- Amin G selama 7
hari didapat konversi sputum BTA dari positif menjadi negatif lebih cepat
dibanding daripada yang tidak diberikan dengan pemberian OAT 4 regimen,
sehingga akan mempercepat pemutusan rantai penularan. 66
Penelitian lain yang berhubungan dengan gizi dan tuberkulosis yaitu
Tjiptoherijanto mengatakan bahwa faktor sosial ekonomi yang rendah akan
mempertinggi tingkat kesakitan dan kematian TB, karena tingkat pendapatan
secara langsung mempengaruhi kekurangan gizi dan kalori.

2003 Digitized by USU digital library

12

24

2003 Digitized by USU digital library

13

BAB III
PENELITIAN SENDIRI
III.1. LATAR BELAKANG
Tuberkulosis masih merupakan masalah kesehatan diseluruh dunia oleh
karena mortalitas dan morbiditasnya yang masih tinggi terutama pada negaranegara berkembang. Tahun 2000 insiden TB didunia semakin meningkat dibanding
tahun 1995.
Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) RI 1986, TB merupakan penyebab
kematian nomor 4. Sedang SKRT RI 1992 TB merupakan penyebab kematian nomor
2 setelah penyakit kardiovaskuler dan nomor 1 penyakit infeksi. Pada saat ini
Indonesia adalah negara penyumbang TB ke-3 terbanyak didunia setelah Cina dan
India.
Publikasi WHO 1997 menyatakan insiden di Indonesia adalah 220 per
100.000 penduduk jadi diperkirakan jumlah kasus baru setiap tahun sekitar 450.000
dengan jumlah penduduk pada saat itu. Ini adalah suatu angka yang mengerikan,
menginggat TB adalah suatu penyakit yang mudah sekali menular dari 1 orang ke
orang lain.
Dari hal- hal yang dikemukan diatas diperoleh kesan bahwa perlunya diketahui
sejauh mana penularan penyakit TB paru pada pasangannya (suami- isteri) dimana
pasangannya tersebut adalah merupakan orang terdekat dan kontak erat dengan
penderita dalam sehari- harinya.
III.2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan tingginya insiden TB paru diIndonesia pada saat sekarang, maka
perlulah dievaluasi sejauh mana penularan penyakit TB pada pasangan (suami- isteri)
penderita TB yang tinggal serumah dan tidur sekamar dengan penderita tersebut.
III.3. TUJUAN PENELITIAN
Untuk mengetahui kekerapan atau tingkat penularan penyakit TB pada
pasangannya (suami- isteri) yang tinggal serumah dan tidur sekamar setiap hari.
III.4. MANFAAT PENELITIAN
Dari hasil penelitian yang dilakukan didapat gambaran sejauh mana pasangan
(suami- isteri) penderita TB paru mendapat penyakit/terinfeksi tuberkulosis akibat
kontak serumah dengan penderita yang diharapkan dapat bermanfaat bagi ilmu
kedokteran.
III.5. METODOLOGI
III.5.1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat Deskriptif
III.5.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dila kukan di Poliklinik BP4 Medan dan Poliklinik RSUP H. Adam
Malik Medan yang berlangsung selama 6 bulan pada Januari 2000 s/d Juni
2000

2003 Digitized by USU digital library

14

III.5.3. Subjek Penelitian


Sebagai subjek penelitian adalah pasangan (suami- isteri) dari penderita TB
yang datang berobat pada waktu yang telah ditentukan serta pasangan penderita
bekas TB paru yang memnuhi kriteria sebagai berikut :
1. Pasangan (suami- isteri) yang tinggal satu rumah dan tidur satu kamar sejak
berumah tangga.
2. Sudah berumah tangga minimal 3 tahun
3. Umur minimal 20 tahun
4. Pasangan (subjek) tidak menderita penyakit TB paru semasa kecil dan tidak
menderita penyakit DM.
III.5.4. Jumlah Sampel
Jumlah sampel yang diambil pada saat penelitian dilakukan ( Januari 2000
s/d Juni 2000) yaitu sebanyak 86 pasangan (suami isteri)
III.5.5. Cara Kerja
1. Pada pasangan penderita TB yang telah ditegakkan oleh dokter spesialis paru
yang datang berobat ke Poliklinik dipilih yang termasuk kriteria untuk menjadi
subjek.
2. Pada subjek dilakukan pemeriksaan
Anamnese pribadi, anamnese penyakit serta anamnese keluarga, ini untuk
mendapatkan riwayat penyakit yang pernah diderita dan keadaan subjek
sekarang.
Dilakukan pemeriksaan jasmani.
Dilakukan foto dada secara PA, untuk melihat ada tidaknya lesi TB pada paru
Dilakukan pemeriksaan laboratorium :
1. Sputum BTA 3x (makroskopis) dan biakan bagi yang berdahak
2. Pemeriksaan darah rutin, KGD ad random untuk melihat adanya sakit DM
pada pasein.
Dilakukan pemeriksaan Mantoux Test dengan menggunakan PPD (purified
protein derivative), 0,1 ml yang disuntikan secara intradermal pada kulit
sepertiga bagian atas lengan bawah kiri depan daerah sentral dengan
menggunakan satu syringe plastik dan satu jarum pendek berukuran 26 atau
27 G yang dimiringkan kearah atas. Hasil uji Mantoux dibaca 48- 72 jam
setelah penyuntikan dengan mengukur diameter indurasi melintang.
Dari hasil diatas akan disimpulkan beberapa banyak pasangan yang tertular
TB, apakah dari BTA sputum (+) atau (- ).
III. 5.6. Cara Menghitung Hasil Penelitian
Cara menghitung hasil penelitian dilakukan sebagai berikut :
a. Angka kekerapan tuberkulosis paru
Angka kekerapan BTA positif
Jumlah penderita dgn BTA (+)
Hasil pemeriksaan riak secara biakan =
x 100%
Jumlah yang diperiksa

2003 Digitized by USU digital library

15

Jumlah penderita dengan gambaran


b. Angka kekerapan tuberkulosis paru
Radiologis (+)
x 100%
Dengan gambaran radiologis positif =
jumlah yang diperiksa
c . Angka kekerapan terinfeksi

Jumlah Uji Mantoux (+)

x 100%

Jumlah Yang diperiksa

BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Ciri-ciri Pasangan Suami- Istri Yang Diperiksa
Telah diperiksa sejumlah 86 orang / pasangan sua mi-istri yang terdiri dari :
1. 61 (71,0 %) pasangan isteri yang masing- masing suaminya menderita
tuberkulosis paru.
2. 25 (29,0%) pasangan suami- isteri yang masing- masing isteri menderita
tuberkulosis paru.
Tabel I. Distribusi Pasangan Suami- Isteri Pserta TB Paru
No.
1.
2.

Pasangan
Suami
Isteri
Jumlah

Jumlah
25
61
86

%
29,0
71,0
100

Pada tabel distribusi pasagan suami- isteri peserta TB didapat terbanyak adalah
pasangan isteri yaitu 61 pasangan (71,0%) sedang pasangan suami 25 pasangan
(29,0%)

2003 Digitized by USU digital library

16

Distribusi menurut umur pasangan penderita TB paru dan menurut jenis


pekerjaan tampak pada tabel II dan III dibawah ini.
Tabel II. Distribusi Menurut Umur Pasangan Penderita TB Paru.
Pasangan
Pasangan
Total
NO
Umur
Isteri
Suami
Jlh
%
Jlh
%
Jlh
%
1
28- 38
12
14,0
10
11,6
22
25,6
2
39- 48
27
31,4
12
14,0
39
45,4
3
49- 58
15
17,4
1
1,2
16
18,6
4
> 58
6
6,97
3
3,5
9
10,4
60
69,7
26
30,3
86
100
Pada tabel distribusi umur ini yang terbanyak adalah umur (39-48) yaitu sebanyak
39 orang (45,3%) dan jenis kelamin yang terbanyak adalah perempuan dari semua
jenis umur.
Tabel III.
No
1.
2.
3.
4.

Distribusi Menurut Jenis Pekerjaan Pasangan Penderita TB Paru


Pekerjaan
Jumlah
%
PNS/ABRI/Pensiunan
25
29,1
Wiraswasta
8
9,3
Buruh / Tani
10
11,6
Tidak Bekerja / IRT
43
50,0
86
100

Pada tabel distribusi pekerjaan yang banyak adalah pada orang- orang yang
tidak bekerja/ Ibu Rumah Tangga (IRT) sebanyak 43 pasangan (50,0%)
Lamanya berumah tangga minimal 5 tahun dan pasangan suami- isteri tidur
sekamar selama berlangsungnya perkawinan. Seluruh keluarga bertempat tinggal
diwilayah Kota Medan dan Sekitarnya.
Tabel IV. Distribusi Menurut Lamanya Berumah Tangga Pasangan Suami
Isteri
No
1.
2.
3.

Lamanya Berumah Tangga


(tahun)
5-15
15- 30
>30
jumlah

Jumlah

Pasangan %

23
56
7
86

26,8
65,1
8,1
100

Dari hasil penelitian lamanya berumah tangga yang terbanyak adalah 15- 30 tahun
(65,1%)
B.
Hasil Pemeriksaan Bakteriologik
Dari 86 pasangan yang diperiksa :
1. 25 orang laki- laki (suami) yang diperiksa, tidak diperoleh riak (0 %)
2. 61 orang perempuan (isteri) yang diperiksa, diperoleh 1 orang (1,64%)
dengan BTA biakan (+), mikroskopik (-)

2003 Digitized by USU digital library

17

jadi dari 86 pasangan laki- laki dan perempuan yang diperiksa diperoleh 1
orang (1,16%) dengan BTA (+) biakan (Tabel II)
Tabel V. Hasil Pemeriks aan Riak Secara Mikroskopik dan Biakan Pada 86 Pasangan
Suami Isteri Yang Salah Satu Pasangannya Menderita TB Paru Menurut
Jenis Kelamin
32 HASIL
Yang diperiksa
BTA Mik (+)
BTA Mik (+)
BTA Mik(- )
BTA Mik (- )
Biakan (+)
Biakan (- )
Biakan (+)
Biakan (- )
Jenis Kelamin
Jlh
Jlh
%
Jlh
%
Jlh
%
Jlh
%
Laki- laki
25
0
0
0
0
0
0
25
100
Wanita (isteri)
61
0
0
0
0
1
1,64
60
98,3
6
Total
86
0
0
0
0
1
1,16
85
98,8
4
Jadi kekerapan (prevalensi) TB paru yang didapat ialah sebagai berikut :
1. Untuk laki-laki
: 0,0%
2. Untuk Wanita
: BTA (+) Biakan, Mikroskopik (-) adalah : 1,64%
3. Untuk seluruhnya
: BTA (+) Biakan, Mikroskopik (-) adalah : 1,16%
C.

Pemeriksaan Radiologis.
Hasil pemeriksaan radiologis adalah sebagai berikut :
1. Dari 25 orang laki- laki yang diperiksa tidak diperoleh gambaran infiltrat pada
masing masing kedua puncak paru (0%)
2. Dari 61 orang wanita yang diperiksa diperoleh 1 orang dengan bayangan
infiltrat pada puncak paru kanan (1,64%)
3. Jadi dari semua peserta yang diikut sertakan sebanyak 86 orang hanya 1
orang (1,16%) yang mempunyai kelainan pada foto paru sebagai TB paru.
Tabel VI. Hasil Pemeriksaan Radiologis 86 Pasangan Suami Isteri Yang Salah
Satu Pasangannya Menderita Tuberkulosis Paru Dirinci Menurut Jenis
Kelamin
HASIL
Yang diperiksa
Kelainan Radiologis (+)
Kelainan Radiologis (- )
Jenis Kelamin
Jlh
Jumlah
%
Jumlah
%
Laki- laki (suami)
25
0
25
100
Wanita (isteri)
61
1
1,64
60
98,36
Total
86
1
1,16
85
98,83
Jadi kekerapan (prevalensi) kelainan radiologis tersangka TB paru didapat ialah :
1. Untuk laki
: 0%
2. Untuk wanita
: 1,64%
3. Untuk seluruhnya
: 1,16%

2003 Digitized by USU digital library

18

D.

Pemeriksaan Mantoux Test


1. Dari 25 orang laki- laki yang diperiksa didapat hasil uji Mantoux (+) sebanyak
2 orang (8%).
2. Dari 61 orang wanita yang diperiksa didapat hasil uji Mantoux (+) sebanyak
6 orang (9,8%)
3. Dari semua yang ikut penelitian dengan hasil uji Mantoux (+) adalah 8 orang
(9,3%).

Tabel VII. Hasil Pemeriksaan Uji Mantoux Dari 86 Pasangan Suami Isteri Yang
Salah Satu Pasangannya Menderita Tuberkulosis Paru Dirinci Menurut
Jenis Kelamin
HASIL
Yang diperiksa
Kelainan Radiologis (+)
Kelainan Radiologis (- )
Jenis Kelamin
Jlh
Jumlah
%
Jumlah
%
Laki- laki (suami)
25
2
8
23
92,0
Wanita (isteri)
61
6
9,8
55
90,2
Total
86
8
9,3
78
90,7
Jadi kekerapan (prevalensi) kelainan radiologis tersangka TB paru didapat ialah :
1. Untuk laki
: 8%
2. Untuk wanita
: 9,8%
3. Untuk seluruhnya
: 9,3%
Tabel VIII. Hasil Kekerapan TB Paru Pada 86 Pasangan Suami Isteri
Satu Pasangannya Menderita TB Paru
Jenis Kelamin
Jlh
Jlh
%
Jlh
%
Jlh
%
Laki- laki (suami)
25
0
0
0
92,0
0
0
Wanita (isteri)
61
1
1,64
1
90,2
1
1,64
Total
86
1
1,16
1
90,7
1
1,16

Yang Salah
Jlh
0
1
1

Jadi kekerapan TB paru yang didapat adalah :


1. Pasangan laki- laki
: Sputum BTA (+) : 0%, Radiologi : 0% Uji Mantoux
:8%
2. Pasangan Perempuan
: Sputum BTA (+) : 1,64%, Radiologi :1,64%,
Uji Mantoux : 9,8%
3. Untuk seluruhnya
: Sputum BTA (+) :1,16%, Radiologi :1,16%
Uji Mantoux :9,3 %

2003 Digitized by USU digital library

19

BAB V
PEMBAHASAN
Dari penelitian yang dilakukan dari 86 pasangan suami- isteri yang diperiksa
didapati hasil sebanyak 25 pasangan (29,0%) suami dan 61 pasangan (71,0%),
dengan umur yang terbanyak pada umur (39- 48 tahun) (45,3%) dan distribusi
pekerjaan yang terbanyak adalah pada pasangan tidak bekerja/Ibu Rumah Tangga.
Dari semua pasangan tampak yang terbanyak adalah pasangan isteri. Hal ini
didukung oleh banyak pendapat walaupun masih ada yang berbeda pendapat.
Reviono dkk di Surakarta (1995) mengatakan penderita TB paru lebih banyak
(mayoritas) pada penderita laki-laki yaitu 58,37%. Di Surabaya tahun 1994 didapat
laki-laki terbanyak dengan 67,4%68 . Munt mengatakan laki- laki lebih banyak dari
perempuan yaitu 65,2%. Rumah Sakit Umum Persahabatan Jakarta mengatakan
laki-laki lebih banyak yaitu 59,74% dan perempuan 42,06% tapi Rumah Sakit Dr.
Soetomo Surabaya penderita laki- laki hanya 11,1% dan Proudfood juga
mendapatkan lebih banyak perempuan dari pada laki- laki (dikutip 69). Jadi sesuai
dengan yang didapat peneliti bahwa penderita yang terbanyak datang berobat
adalah laki- laki (pasangan isteri) yaitu 61 pasangan (71,0%).
Dari distribusi umur disini tampak bahwa distribusi umur terbanyak adalah
pada umur 39- 48 tahun (45,3%) yang diikuti umur terbanyak kedua adalah umur
28- 38 tahun (25,6%), dan yang paling sedikit adalah usia>58 tahun (10,5%). Hasil
ini sesuai dari kepustakaan- kepustakaan yang mengatakan umur terbanyak dari
penderita TB paru adalah umur produktif.
Dari 86 pasangan penderita TB paru diperiksa riaknya dijumpai 1 pasangan
perempuan (1,64%) yang mempunyai riak dengan hasil BTA(+) secara biakan dari
seluruh pasangan hasilnya adalah 1,16% dan ini didapat pada seorang pasangan
yang berumur 37 tahun pekerjaan Ibu Rumah Tangga dari penderita laki- laki 43
tahun BTA Positif II, pekerjaan PNS (tampak pada lampiran). Kalau dilihat dari jenis
pekerjaan pasangan yang terkena TB paru adalah pada pekerjaan Ibu Rumah
Tangga. Dalam hal ini apakah ada hubungannya sebagai ibu rumah tangga yang
lebih lama tinggal dirumah seharian untuk mendapat resiko tertular kuman
tuberkulosis tersebut sepert i kepustakaan yang mengatakan kontak berlama- lama
dengan pasein TB paru menambah resiko terjadinya penularan. Keadaan ini
diakibatkan oleh karena volume udara yang semakin menurun dalam ruangan kecil
menyebabkan peningkatan konsentrasi droplet nucleus yang mengandung basil
tuberkulosis dan ini ditujukan pada penelitian yang dilakukan di Bagian Anak RSUP
HAM Medan dimana hasil Uji Mantoux pada anak lebih bermakna pada kontak yang
tidur sekamar dengan penderita TB paru dewasa dibandingkan dengan tidur
berlainan kamar.
Pada pemeriksaan foto dada pada pasangan penderita TB paru didapat 1
pasangan perempuan (1,64%) dari keseluruhan pasangan sebanyak 1,16%. Dari
kelainan foto dada yang didapat yaitu adanya kelainan berupa infiltrat pada puncak
paru kanan dan pasangan ini juga pasangan yang mempunyai BTA (+) pada riaknya.
Pada pemeriksaan Uji Mantoux 86 pasangan penderita TB paru didapat dari
25 pasangan suami sebanyak 2 pasangan (8%) positif ( 13 mm dan 15 mm), dari
61 pasangan perempuan sebanyak 6 pasangan (9,8%) positif ( 13 mm). jumlah
pasangan yang positif Uji Mantoux adalah sebanyak 8 pasangan (9,3%). Dari hasil

2003 Digitized by USU digital library

20

Uji Mantoux diatas tampaklah disini hanya 8 pasangan (9,3%) dari 86 pasangan
yang terinfeksi ( terpapar) kuman tuberkulosis tersebut.
Dari hasil keseluruhan dapat kita lihat bahwa tidak ada hubungan antara
kontak erat dengan terjadinya tuberkulosis paru pada orang dewasa. Berbeda pada
anak- anak yaitu adanya perbedaan bermakna dari hasil Uji Mantoux antara kontak
serumah terhadap penderita TB paru dewasa dengan sputum BTA (+) dibandingkan
sputum BTA (- ). Dimana pernyataan diatas sesuai dengan pernyataan yang
menyatakan bahwa resiko penularan diantara kedua kategori BTA (+) dan (- ) yang
kontak serumah paling jelas terlihat pada golongan usia yang lebih muda. Pada usia
15 tahun atau lebih perbedaannya tidak terlihat ( tidak bermakna), karena
prevalensi penularan semakin tinggi dengan bertambahnya umur. Keadaan ini
kemungkinan disebabkan oleh karena golongan umur lebih tua kontak dengan
masyarakat (diluar rumah) lebih besar.
Pada penelitian ini tampaknya penelitian diatas sesuai dengan yang diteliti
penulis, yaitu walaupun pasangan-pasangan tersebut kontak erat dan tinggal
serumah serta sekamar dengan penderita TB paru atau TB paru tersangka tapi
resiko untuk sakit sangatlah kecil.
Kemungkinan ini dipengaruhi oleh faktor- faktor lain selain faktor penularan
kuman. Priyanti S mengatakan, gizi yang buruk juga dapat memegang peranan
terjadinya penyakit TB paru yang didapat dari penyelidikan Bactiar Yakup dkk. Bonita
T mengatakan bahwa 2 proses yang meliputi terjadinya interaksi respon imun host
yaitu celluler mediated immunity (CMI) dan delayed- type hypersensitivity (DTA) dan
hal ini dikatakannya gagalnya sistem imun host tersebut (DTH) dan hal ini
dikat akannya pada 90% kasus TB berasal dari reaktivasi endogen dan 10% berasal
dari kasus infeksi yang baru didapat 69 . Morgono (1994) di RSUD Dr. Soetomo
Surabaya juga mengatakan dalam penelitiannnya bahwa penyakit penyerta pada TB
paru terbanyak adalah DM, ini kemungkinan karena terjadinya penekanan sistem
imunitas69 . Tjipto Herijanto mengemukakan bahwa faktor sosial ekonomi yang
rendah akan mempertinggi tingkat kesakitan dan kematian TB, karena tingkat
pendapatan secara langsung mempengaruhi kekurangan gizi dan kalori dan ini
nampak dari hasil penelitiannya bahwa status gizi rendah secara bermakna
dibanding status gizi baik. 70
Jadi kalau dilihat dari hasil penelitian ini tidaklah sesuai dengan ditulis pada
pendahuluan, betapa tingginya jumlah kasus baru setiap tahunnya tapi pada
kenyataannya dari hasil penelitian ini hanya ada 1 pasangan (1,16%) yang
menderita TB paru dan ini belum dapat dipastikan apakah memang tertular dari
pasangannya atau memang sudah ada kuman yang dormant sejak lama ditubuhnya
(reaktivasi kuman dormant).
Kalau kita lihat dari lesi foto paru yang dapat peneliti tampak disini lesi yang
tidak luas (lesi minimal) maka bisa diperkirakan mulai terjadinya sakit pada
penderita tersebut ialah dalam masa penderita sudah berumah tangga, mengingat
penderita adalah telah berumah tangga > 5 tahun. Kalau dihubungkan dengan
pernyataan kepustakaan sebelumnya bahwa TB paru pada penderita dewasa adalah
90% disebabkan reaktivasi kuman yang ada ( dormant/teori endogen) dan 10% dari
eksogen namun itu pun pada keadaan- keadaan tertentu seperti pada penderita HIV.
Jadi tampaklah disini TB post primer bisa terjadi dari reaktivasi kuman yang sudah
ada/dormant (teori endogen) dan bisa juga dari yang didapat baru ( teori eksogen).

2003 Digitized by USU digital library

21

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN
TB paru masih merupakan masalah kesehatan diseluruh dunia, penularan
penyakit melalui droplet nucleus. Tingginya prevalensi meyebabkan penularan yang
tinggi. Pada penelitian ini dari 86 pasangan suami- isteri yang diperiksa didapat 1
pasangan (1,16%) perempuan yang menderita TB paru.
Banyak faktor untuk terjadinya suatu penyakit dan terinfeksi tuberkulosis
paru diantaranya daya tahan tubuh dimana ini diperoleh dari gizi yang baik.
Penularan penyakit tuberkulosis bisa berasal dari reaksitvasi kuman yang
telah ada/dormant (teoti endogen) atau bisa didapat dari penularan langsung dari
kuman TB paru yang baru (teori eksogen).
SARAN
1. Hendaklah pada penderita- penderita tuberkulosis paru selain pemberian obat anti
tuberkulosis yang tepat dan adekuat perlu difikirkan beberapa hal yang
menyebabkan terjadinya tuberkulosis tersebut dimana ini akan membantu
penyembuhan seperti penyuluhan tentang penyakit terhadap penderita maupun
pada keluarganya, terutama tentang perbaikan gizi antara lain makanan dengan
protein yang tinggi, cara hidup sehat/rumah sehat, rumah dengan ventilasi yang
hubungannya erat dengan kontak terutama pada anak-anak selain itu sebagai
pencegahan awal terjadinya tuberkulosis maka pada anak dianjurkan immunisasi
BCG sejak lahir.
2. Hendaknya perlu dilakukan penelitian dengan jumlah sampel yang lebih banyak
lagi dan metode yang lebih terarah agar didapat hasil yang lebih akurat dan
dapat diketahui apakah kontak erat dengan penderita TB paru tersebut
memegang peranan penting dalam timbulnya TB paru post primer.
DAFTAR PUSTAKA

1. Aditama,T.Y, Tuberkulosis Paru, Masalah dan Penanggulangannya; Jakarta


1994.
2. ZS. Priyanti. Pengobatan Tuberkulosis
Tuberkulosis; Palembang, 1997.

Dala

Kumpulan

Naskah

Ilmiah

3. Abednego HM. Epidemiologi TB didunia dan Di Indonesia. Disampaikan Pada


Pertemuan Ilmiah Nasional Tuberkulosis, PDPI Palembang, 1997.
4. Sidik Ramli, Masalah Tuberkulosis Di Indonesia Dalam Kumpulan Naskah
Ilmiah Tuberkulosis PDPI. Palembang 1997;2- 4.

2003 Digitized by USU digital library

22

5. Departemen Kesehatan RI. Program Pemberantasan Tuberkulosis Paru Dalam


Pedoman Penyakit Tuberkulosis dan Penanggulangannya. 1996;2 1-9
6. Aditama TY. Tuberkulosis dan Pekerjaan. PDPI Cabang Jakarta ;1- 9
7. Aditama TY, Priyanti ZS. Tuberkulosis Diagnosis, Terapi dan Masalah; Ed. II
Jakarta 2000.
8. Manaf A. Pemberantasan
Kedokteran 1997; 115;5-7.

Tuberkulosis Pada Pelita VI. Cermin Dunia

9. Rustam KS. Mengapa Peran Serta Masyarakat Sangat Dibutuhkan Dalam


Pemberantasan TB. Dalam Tulisan yang disajikan dalam Simposium PPTI
Jakarta. 1999;1- 9
10. Pratanu IS, Hanjono Indro. Perbandingan Nilai Diagnostik Uji Pathozyme - TB
Complex dan Uji PAP TB Untuk Diagnosis TB paru dalam majalah Kedokteran
Indonesia. 47;7;1997;335- 41
11. Dian K, Santoso DK, Tanuwiharja BY. Pengalaman Menerapkan Sistem DOTS
Dalam Program Pemberantasan TB Paru di Puskesmas Cimahi Tengan Dalam
Paru. Majalah PDPI; Konas Ke- VIII PDPI, Batu. 1999;206- 11
12. Soeroto AY, Soemantri EMS. Pemberian OAT Pada Penderita Tuberkulosis
Yang Terinfeksi Virus Hepatitis B/C di RS Dr. Hasan Sadikin Bandung. Dalam
Paru Majalah PDPI, Na skah Konas VIII. PDPI Juli 1999;223- 28.
13. Embran D, Revino, KS Dianiati. Profil Penderita Tuberkulosis rawat Jalan Di
Bagian Pulmonologi/RSUP Persahabatan Jakarta September- Desember 1999
Bagian Pulmonologi FKUI RSUP Persahabatan.
14. Supriyatno HB. Strategi Penanggulangan TB Anak Dalam Simposium dan
Semiloka Tuberkulosis Terintegrasi RSUP Persahabatan Jakarta. 1999;1-5
15. L.Helmi M. strategi Penanggulangan Tuberkulosis
Kesehatan Anak FK- USU RSUP H. Adam Malik Medan.

Anak.

Bagian

Ilmu

16. Reviglione MC, OBrien RJ; Tuberculosis in Principles of Internal Medicine.


Harrisonss. Ed 14 th Vol.I. International Edition, 1998.
17. Inselman LS, Kendig EL. J. Tuberculosis. In : Chernick V, Kending EL,
Disorders of The Respiratory Track. In Children, ed. 5. Philadelphia : WB
Saunders CO, 1990 ;730-42.
18. Callahan CW. Tuberculosis in a Practical Guide to Pediatric Respiratory
Disease. Philadelphia Sydney. Toronto.1994;105- 11

2003 Digitized by USU digital library

23

19. WHO. Childhood Tuberculosis and BCG Vaccine. BCG- Gateway to EPI.
Expanded Programme on Immunization. Agustus 1989.
20. Aditama TY. Sepuluh Masalah Tuberkulosis dan Penanggulangannya Dalam
Jurnal Respiratory Indonesia. 20;1;2000;8- 12
21. Nadesul H. TB Bukan Penyakit Keturunan Dalam Penyebab, Pencegahan dan
Pengobatan TB. 1998;1- 6.
22. Maat S. Pengobatan TB Paru Melalui Pendekatan Kemo Imunoterapi Lab.
Patologi Klinik SRUD. Dr. Soetomo. FK. Unair.2000.
23. Rossman MD, Mayock RL. Pulmonary Tuberculosis in Tuberculosis : Clinical
Management and New Challenges. Mc Grow-Hill. 1995;145- 52
24. Maunder RJ, Pierson DJ. Tuberculosis in The Adult Respiratory Distress
Syndrome in Foundations of Respiratory Care. David J. Person, Robernt M.
Kacmarck. 1992;356- 58.
25. Speert DP Tuberculosis in Infectious Diseases of Children. Krugman S Ninth
ed Mosby Year Book. 1992;551- 72.
26. Mulyono Djoko; Santoso DI; Tuberkulosis Milier Dengan
Intrakrania Dalam Cermin Dunia Kedokteran 115; 1997;30- 31

Tuberkulona

27. Dutt KA, Mehta JB, Witaker BJ. Westomoreland H. Outbreak of Tuberculosis in
a Church. In Chest. 107;2;1995;447- 52
28. Stead WW, Bates JH. Tuberkulosis in Harrison. Principle of International
Medicine ( Terjemahan) Ed.9. Ilmu Penyakit Dalam .1981;35- 61
29. Santoso DK, Tanuwiharjo BY. Pengalaman Menerapkan Sistem DOTS Dalam
Program Pemberantasan Tuberkulosis Paru di Puskesmas Cimahi Tengah,
Dalam : Paru. Majalah PDPI Naskag Konas VIII. Batu;199;206-17
30. Dahlan Zul. Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis Dalam Cermin Dunia
Kedokteran. 115;1997;8-12.
31. R. Syamsul Hidayat, Jong WD. Infeksi dan Inflamasi Dalam Buku Ajar Ilmu
Bedah. EGC. 1998;3-70.
32. Silibowsky R. Infection Due to Mycobakterium Tuberkulosis in Pulmonary
Diseases and Disorders. Company on Hand Book. Alfred P. Fishman. Mc. Graw
Hill International Edition. Second Ed. 1994;353- 65

2003 Digitized by USU digital library

24

33. Surjanto E, Sutanto YS. Diagnostik Tuberkulosis Paru Dalam : Kumpulan


Naskah Ilmiah Tuberkulosis Pada Pertemuan Ilmiah Nasional PDPI 1997
Palembang.
34. Ormerod P. Respiratory YS. Diagnostik Tuberculosis in Respiratory Disorders
Medicine International. 1991;4;3746- 56
35. Alsagaf H, Mukty HA. Tuberkulosis Paru Dalam Dasar- dasar Ilmu Peny akit
Paru. 1995;73- 109
36. Aditama TY. Perkembangan Dalam Diagnosis Tuberkulosis Paru Dalam
Konferensi Kerja Nasional VII PDPI 1995;2- 6.
37. Danusantoso Halim. Tuberkulosis Paru Dalam Buku Saku Ilmu Penyakit Paru.
199;93- 153.
38. Bloch AB. Screening for Tuberculosis and Tuberculosis Infection in High Risk
Population Recommendation of The Advisory Council for The Elimination of
Tuberculosis in Callaboration with The Avvisory Council for The Elimination of
Tuberculosis. 1995;44 (RR- 11);1- 8
39. Cheng TL, Miller ED; Ottolini M, Brasseux C, Rosenquist G. tuberkulosis
Testing. In . Arch Pediatr Adolesc Med. 150;1996;682- 85.
40. Rahajoe NN. Berbagai Masalah Diagnosis dan Tatalaksana Tuberkulosis Anak
Dalam Perkembagan dan Masalah Pulmonologi Anak saat ini. FKUI. 1994;16179
41. Setiawan S, Hananto I, Manulutu EJ. Hasil Test Tuberkulin Sebagai Diagnostik
Pada Tuberkulosis Paru Dewasa Dalam Naskah Lengkap KONAS II PDPI
Surabaya. 1980;108- 11
42. Crofton J, Douglas A. Primary Pulmonary Tuberculosis in Respiratory Diseases
Third. Ed .1984;248-56.
43. Jawet, Milnick, Adelburg. Mikrobakteria Dalam : Mikrobiologi Kedokteran.
Ed.20 (Alih Bahasa) EGC.1996;303- 13.
44. Murray, Hinshow. Tuberculosis in Diseases
Shoin/Saunders International ed. 1981;298-355

of

The

Chest.

IGAKU-

45. Veji R, Harun H. Kuman Tahan Asam. Dalam : Mikrobiologi Kedokteran.


Ed.Revisi . Jakarta; Binapura Aksara, 1993;191- 3
46. Youman GP. Virulence of Mycobacteria. Dalam : Youman GP. Tuberculosis.
Philadelphia : WB Saunders Company, 1979;194-201
47. ATS. Guidliness for the Investegation and Manage ment of Tuberculosis
Contacts. Am. Rev. Respir. Diseases.14;1976;459- 63

2003 Digitized by USU digital library

25

48. Crofton J. Douglas A. Epidemiology and Prevention of Pulmunory Tuberkulosis


in Respiratory Diseases. Third. Ed .1984
49. Kabat. Perbedaan Pola Kesakitan TB Paru Sebelum dan Selama Krisis Moneter
Yang Rawat Inap di Lab. Ilmu Penyakit Paru, FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo,
Surabaya. Dalam : majalah PARU PDPI Naskah Konas VIII, Batu,1999: 250- 2.
50. Rasyid R. patofisiologi dan Diagnostik TB Paru. Dalam : Kumpulan Makalah
dan Tanya Jawab Dalam Simposium Penyegar. Bagian Pulmonologi FKUI dan
PLD FKUI. 1984.
51. Collins CH, Grange JM, Yates MD. Tuberculosis in Tuberculosis Bacteriology :
Organization and Practice. Buttonworth second. Ed. 1984;1- 10
52. Hopewell PC, Bloom BR. Tuberculosis and Mycobaterial Diseases. In Text Book
of Respiratory Medicine; Muray Nadel Second ed. 1994; 1094- 1111
53. Budiman HI. Penanggulangan Komplikasi Pada TB Anak. FKUI. Dalam :
Simposium dan Semiloka TB Terintegrasi RSUP Persahabatan; Mei 1999;
Jakarta
54. Penington JE. Pulmonary Tuberculosis in Respiratory Infection. Diagnosis and
Management. Raven Press. New York. 1994;633-50
55. Crafton SJ, Douglas A : Post Primer Pulmonary Tuberculosis in Respiratory
Diseases. Third ed. 1984;265-80
56. Depari MRS. Kekerapan Tuberkulosis Paru Pada Pasangan Suami Isteri Yang
Salah Satu Pasangannya Menderita Tuberkulosis Paru. Dalam Tulisan Akhir
Untuk Memperoleh Tanda Keahlian Dokter Paru. Bagian Pulmonologi FKUI.
Jakarta.1986.
57. Akbar K. Gambaran Uji Mantoux Pada Bayi dan Anak Yang Serumah Dengan
Penderita Tuberkulosis Paru Dewasa Dengan Sputum BTA(+) Dalam Tesis
Memperoleh Gelar Dokter Spesialis Anak. IKA.USU. Medan 1998.
58. Miller MA, Valway S, Onorato IM. Penularan Tuberkulosis DiPesawat Terbang
Dalam Warta TB No.1/1/1997.
59. Tanuwiharja BT, Wijaya Susan. H . sindroma Obtrukstif Diffuse Pada TB Paru
Dalam Penyakit Paru Obstruktif Menahun, Jakarta, FKUI, 1989;23- 6
60. Kresno Siti B. immunologi Diagnosis dan Prosedur Laboratorium, 2nd Edition,
jakarta, FKUI, 1991;99:73- 8
61. Nuraida, Patogenesis Sindroma Obstruksi Pasca Tuberkulosis. Dalam Cermin
Dunia Kedokteran;1995;99;5-8

2003 Digitized by USU digital library

26

62. Crofton J,Horne N, Miller F. ( Alih Bahasa Prof. Dr. Muljono dkk) :Tuberkulosis
Klinik, Jakarta, Widiya Medika, 1998;95- 101.
63. Ginting AK. Imunopatogenesis TB Paru Dalam Tesis Penilaian 3 Jenis Prototipe
Antigen MMP Peptida M. Tuberculosis Sebagai Sero Diagnosis TB Paru Di
Bagian Pulmonologi FKUI.1998.
64. Darip MD. Aspek Imunologis Infeksi Dengan Mycobakterium Tuberkulosa
Bagian Mikrobiologi FK.USU.
65. Muliaty D. Respon Imunologi Penyakit Tuberkulosis Disajikan Pada Kelompok
Studi UPI FK- USU Prodia Medan, Agustus 2000.
66. Keliat N. Pengaruh Pemberian Asam Amino Secara Parenteral Pada Konversi
Sputum Penderita Tuberkulosa Paru Dalam Tesis Untuk Melengkapi Syarat
Pendidikan Spesialisasi Di Bidang Ilmu Penyakit Paru FK- USU/RSUP H. Adam
Malik Medan/RSD Dr. Pirngadi Medan.1995.
67. WHO. Immunological
1993;6- 8.

Aspect

in

Recurrent

Respiratory

Track

Infektions

68. Reviono, Subroto H, Suryanto E, Suradi, Sutanto YS. Profil Penderita


Tuberkulosis Paru Yang Dirawat DiUPF RSUD Dr. Moewardi Di Surakarta Pada
Tahun 1998 Dalam Paru Majalah PDPI KONAS VIII PDPI. Malang,1999;243- 9.
69. Soepardi P. Tuberkulosis Miler Pada Orang Dewasa bagian Ilmu Penyakit Paru
FK- UI RS Persahabatan Jakarta Dalam Paru. 5,4, 1985;127- 32.
70. Wijanarko P. dkk. Peranan Pemeriksaan Anti Bodi Terhadap Antigen 38
Kilodalton Mycobacterium Tuberkulosis Dalam Diagnosis TB Paru Di RSUP
Persahabatan, Jakarta Dalam MKI. 47,7,1997;322- 9.

2003 Digitized by USU digital library

27

Anda mungkin juga menyukai