Anda di halaman 1dari 65

2006

http://www.kalbefarma.com/cdk

ISSN : 0125-913X

151. Infeksi
pada Kehamilan

2006

http://www.kalbefarma.com/cdk
International Standard Serial Number: 0125 913X

151. Infeksi
pada Kehamilan
Daftar isi :
2.
4.

2006

Editorial
English Summary

http:// www.kalbefarma.com/cdk
ISSN : 0125 913X

Artikel
5.
8.
11.
14.

18.
151. Infeksi
pada Kehamilan

ket.: Gambaran sitologik infeksi HPV dari sediaan


apus vagina
www.altavista.com

21.
24.
29.

Infeksi TORCH pada Ibu Hamil di RSUP Sanglah Denpasar - Kornia


Karkata, TGA Suwardewa
Pengaruh Infeksi TORCH terhadap Kehamilan - Enny Muchlastriningsih
Lama Perawatan dan Komplikasi Kuretasi Segera dan Tunda pada Abortus
Infeksiosus - I Ketut Suwiyoga, I Made Agus Supriatmaja
Peranan Faktor Risiko Ketuban Pecah Dini terhadap Insidens Sepsis
Neonatorum Dini pada Kehamilan Aterm - Raka Budayasa AAG,
Suwiyoga IK, Soetjiningsih
Dampak Infeksi Genital terhadap Persalinan Kurang Bulan - Sofie Rifayani
Krisnadi
Sulbaktam / Ampisilin sebagai Antibiotika Profilaksis pada Seksio Sesarea
Elektif di RSIA Rosiva Medan - R. Haryono Roeshadi
Sindrom HELLP - John Rambulangi
Tes Human Papillomavirus sebagai Skrining Alternatif pada Kanker
Serviks - I Ketut Suwiyoga

33. Karakteristik Candida albicans - Conny Riana Tjampakasari


37. Sindrom Nefrotik pada Kehamilan - Zulkhairi, Salli R Nasution
42. Sindrom Antifosfolipid dan Trombosis - William Sanjaya, Abdul Hakim
Alkatiri
48. Studi Manfaat Daun Katuk (Sauropus androgynus) - Sriana Azis, S.R.
Muktiningsih
51. Dinamika Pelacuran di Wilayah Jakarta dan Surabaya dan Faktor Sosio
Demografi yang Melatarbelakanginya - Kasnodihardjo, Rachmalina S
Prasojo, Helper S P Manalu
55. Perkembangan Terbaru Pengobatan Flu Burung - Tjandra Yoga Aditama
58. Latihan Beban Meningkatkan Kualitas Hidup Menghadapi Penuaan Phaidon Lumban Toruan
60.
61.
62.
63.
64.

Produk Baru
Kegiatan Ilmiah
Kapsul
Abstrak
RPPIK

EDITORIAL
Sampai saat ini kesakitan dan kematian ibu dan anak masih menjadi
masalah kesehatan utama di Indonesia; hal ini tentu terkait tidak hanya dengan
masalah kesehatan saja, tetapi juga dengan masalah - masalah sosial lainnya.
Cermin Dunia Kedokteran edisi ini menerbitkan artikel-artikel yang
berhubungan dengan masalah atau komplikasi yang dapat ditemukan pada
masa kehamilan, terutama masalah infeksi yang secara teoritis seharusnya
dapat dicegah. Selain itu beberapa artikel membahas masalah ginekologi yang
juga bisa mempengaruhi kesehatan perempuan.
Beberapa artikel lain ikut melengkapi edisi ini, di antaranya artikel baru
mengenai flu burung yang kami sertakan di sini agar Sejawat dapat tetap
menerima informasi yang aktual,
Selamat membaca

Redaksi

Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006

2006

International Standard Serial Number: 0125 - 913X


KETUA PENGARAH

REDAKSI KEHORMATAN

Prof. Dr. Oen L.H. MSc

PEMIMPIN UMUM
Dr. Erik Tapan

KETUA PENYUNTING
Dr. Budi Riyanto W.

PELAKSANA

- Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soedarmo


Guru Besar Purnabakti Infeksi Tropik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Jakarta

- Prof. DR. Hendro Kusnoto, Drg, SpOrt.


Laboratorium Ortodonti
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti
Jakarta

- Prof. Drg. Siti Wuryan A Prayitno, SKM, - DR. Arini Setiawati


Bagian Farmakologi
MScD, PhD.

E. Nurtirtayasa

Bagian Periodontologi, Fakultas Kedokteran Gigi


Universitas Indonesia, Jakarta

TATA USAHA
Dodi Sumarna

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia


Jakarta

INFORMASI/DATABASE
Ronald T. Gultom

ALAMAT REDAKSI
Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval
Jl. Letjen. Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta
10510, P.O. Box 3117 JKT. Tlp. 021 - 4208171
E-mail : cdk@kalbe.co.id
http: //www.kalbefarma.com/cdk

NOMOR IJIN
DEWAN REDAKSI

151/SK/DITJEN PPG/STT/1976
Tanggal 3 Juli 1976

PENERBIT
Grup PT. Kalbe Farma Tbk.

- Dr. Boenjamin Setiawan Ph.D

- Prof. Dr. Sjahbanar


Zahir MSc.

Soebianto

PENCETAK
PT. Temprint

http://www.kalbefarma.com/cdk
PETUNJUK UNTUK PENULIS

Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai


aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidangbidang tersebut.
Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk
diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila pernah dibahas atau dibacakan
dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama,
tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan
bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang
berlaku. Istilah medis sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia
yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak
mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai
dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca
yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak
dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak
berbahasa Inggris untuk karangan tersebut.
Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/
folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan kirinya, lebih
disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto disertai/atau dalam
bentuk disket program MS Word. Nama (para) pengarang ditulis lengkap,
disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/
grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dengan tinta
hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor sesuai dengan urutan

pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah
dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam
naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/
atau Uniform Requirement for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals
(Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9).
Contoh :
1. Basmajian JV, Kirby RL.Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore, London:
William and Wilkins, 1984; Hal 174-9.
2. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanism of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974;457-72.
3. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin
Dunia Kedokt. 1990; 64: 7-10.
Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih,
sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.
Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung
Enseval, Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O.
Box 3117 JKT. Tlp. (021) 4208171. E-mail : cdk@kalbe.co.id
Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu
secara tertulis.
Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai
dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan


tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja
si penulis.

English Summary
positve in 73% and IgM antibody
in 1%. For Cytomegalovirus
infection, IgG antibody was
positive in 95% but no positive IgM
antibody. For HSV II infection,
positive IgG antibody in 56% and
IgM antibody in 21%. Congenital
anomaly was found in 2% of
samples; 15% had abortions and
8% with foetal death in utero.
None of the mothers belonged to
low socio-economic group; 74%
had some contact with cats,
directly or indirectly,in their house.
Only 22% used to consume raw
vegetables and very few (1%)
consumed raw or undercooked
meat. No significant correlation
found between the incidence and
socio-behavioral factor.

TORCH INFECTIONS IN PREGNANT


WOMEN AT SANGLAH GENERAL
HOSPITAL DENPASAR
Kornia Karkata, TGA Suwardewa
Dept. of Obstetrics and Gynecology,Faculty of Medicine, Udayana University, Denpasar, Bali,
Indonesia
A prospective study was done to
evaluate the incidence of TORCH
infections among women under
20 weeks of pregnancy, who visit
prenatal clinic at Sanglah General
Hospital, Denpasar. From one
hundred random samples taken
between March and July 1997,
the mothers age ranged from 18 40 years (average 27.7 years),
mothers with first pregnancy 32% ;
with second pregnancy 47% ; with
third pregnancy 18% and with
fourth pregnancy 3%. All mothers
(100%) had experienced at least
one of the TORCH infections, but
all
were
symptomless.
For
Toxoplasma infection we found
IgG antibody in 21% and IgM
antibody in 5%. For Rubella
infection, IgG antibody was

Cermin Dunia Kedokt.2006;151:5 -7


kka, tga

HELLP SYNDROME
John Rambulangi
Dept. of Obstetrics and Gynecology,
Faculty
of
Medicine
Hasanuddin University, Makassar,
Indonesia.
HELLP syndrome is a disease
characterized by hemolysis, elevated liver enzymes and low platelets found in pregnancy.
The pathology involved was
microvascular endothelial damage and intravascular thrombolytic
activation causing thrombocyte
aggregation. Clinically there are
two types of classifications, one is
according to clinical symptoms
and the other is according to
platelet count.
The management consist of
anticonvulsant use, blood pressure
lowering and evaluation of fetal
wellbeing in ICU setting; termination of pregnancy can also be
considered.
Cermin Dunia Kedokt.2006;151:24-8
brw

Redaksi Cermin Dunia Kedokteran turut berduka cita atas meninggalnya


Prof. dr. Boedhi Darmojo SpPD
di Semarang pada hari Selasa, 17 Januari 2006.
Beliau adalah juga salah seorang redaktur kehormatan majalah ini;
atas bantuan dan kerja sama beliau selama ini
kami ucapkan banyak terima kasih

Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006

Artikel
HASIL PENELITIAN

Infeksi TORCH pada Ibu Hamil


di RSUP Sanglah Denpasar
Kornia Karkata, TGA Suwardewa
Lab/SMF Obstetri Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah
Denpasar, Bali, Indonesia

ABSTRAK
Telah dilakukan pemeriksaan serologis TORCH dengan metode Enzyme Immuno Assay pada
ibu hamil dengan usia kehamilan di bawah 20 minggu, yang datang untuk perawatan antenatal di
Poliklinik Kebidanan RSUP Sanglah Denpasar. Dari 100 sampel yang diambil secara acak pada
bulan Maret s/d Juli 1997 umur ibu termuda 18 tahun dan tertua 40 tahun dengan rata rata 27.07
tahun. Ibu yang hamil pertama 32 orang (32%), kehamilan kedua 47 orang (47%), kehamilan ke
tiga 18 orang (18%) dan sisanya kehamilan ke empat 3 orang (3%). Seluruhnya (100%) pernah
mengalami infeksi salah satu unsur TORCH dan seluruhnya (100%) tanpa gejala. Untuk
toxoplasma IgG positif 21% dan IgM positif 5%. Untuk rubella IgG positif 73% dan IgM positif
1%.Untuk cytomegalovirus IgG positif 95% dan tak ada IgM positif. Untuk HSV II IgG positif
56% dan IgM positif 21%.
Didapatkan 2% ibu pernah melahirkan anak cacat, 15% pernah mengalami abortus dan 8%
pernah mengalami anak mati dalam kandungan. Seluruh ibu hamil tidak termasuk kategori
kelompok ekonomi lemah dan 75% mengaku berhubungan langsung atau tidak langsung dengan
kucing, 22% mengaku suka makan sayur mentah dan sangat sedikit (1%) yang suka makan daging
mentah atau setengah matang. Data ini menunjukkan perlunya perhatian lebih serius pada infeksi
TORCH tanpa gejala pada ibu hamil. Pada penelitian ini belum dapat ditarik kesimpulan tentang
hubungan TORCH dengan faktor perilaku sosial.
Kata kunci : kehamilan; infeksi TORCH

PENDAHULUAN
Ibu hamil dengan janin yang dikandungnya sangat peka
terhadap infeksi dan penyakit menular. Beberapa di antaranya
meskipun tidak mengancam nyawa ibu, tetapi dapat
menimbulkan dampak pada janin dengan akibat antara lain
abortus, pertumbuhan janin terhambat, bayi mati dalam
kandungan, serta cacat bawaan. Infeksi TORCH (Toxoplasma,
Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes Simplex) sudah lama
dikenal dan sering dikaitkan dengan hal-hal di atas.(1,2)
Besarnya pengaruh infeksi tersebut tergantung dari virulensi

agennya, umur kehamilan serta imunitas ibu bersangkutan saat


infeksi berlangsung.
Infeksi Toxoplasma pada trimester pertama kehamilan
dapat mengenai 17% janin dengan akibat abortus, cacat bawaan
dan kematian janin dalam kandungan, risiko gangguan
perkembangan susunan saraf, serta retardasi mental.(1-4) Infeksi
saat kehamilan trimester berikutnya bisa menyebabkan
hidrosefalus dan retinitis.(5) Infeksi rubella erat kaitannya
dengan kejadian pertumbuhan bayi terhambat, patent ductus
Botalli, stenosis pulmonalis, katarak, retinopati, mikrophthalmi,

Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006

tuli dan retardasi mental.(6) Infeksi cytomegalovirus dapat


menimbulkan sindrom berat badan lahir rendah, kepala kecil,
pengapuran intrakranial, khorioretinitis dan retardasi mental,
hepatosplenomegali dan ikterus.(7,8) Oleh karena itu sangat
penting untuk mengetahui adanya infeksi ini pada ibu hamil.
Diagnosis infeksi TORCH dapat dilakukan dengan
berbagai cara: pemeriksaan cairan amnion, menemukan kista di
plasenta, isolasi dan inokulasi, polymerase-chain reaction
sampai kultur jaringan.(2,8-13) Cara yang lazim dan mudah
adalah pemerikasaan serologis. Infeksi TORCH sering
subklinis dan diagnosisnya hanya dapat dilakukan secara
serologis mengukur kadar antibodi IgM dan IgG. Adanya IgM
menyatakan bahwa infeksi masih baru atau masih aktif
sedangkan adanya IgG menyatakan bahwa ibu hamil sudah
mempunyai kekebalan terhadap infeksi tersebut.(1,2,8,12) Sampai
saat penelitian ini dibuat belum ada data prevalensi infeksi
TORCH pada ibu-ibu hamil di Indonesia.
Sampai saat ini di RSU Sanglah pemeriksaan TORCH
pada ibu hamil belum dilakukan secara rutin karena biayanya
relatif mahal.
TUJUAN PENELITIAN
Untuk mengetahui prevalensi infeksi TORCH pada ibu
hamil di RSUP Sanglah Denpasar.
BAHAN DAN CARA KERJA
Penelitian dilakukan secara potong lintang atas ibu-ibu
hamil yang datang kontrol ke Poliklinik Hamil RSUP Sanglah
pada bulan Maret sampai dengan Juli 1997. Penderita diambil
secara consecutive sampling, mencari 100 ibu hamil pertama
yang datang secara berurutan yang memenuhi kriteria :
- sedang hamil dengan umur kehamilan 20 minggu atau di
bawahnya
- setelah mendapat penjelasan tertulis bersedia ikut dalam
penelitian.
Ibu hamil yang terpilih diwawancarai untuk pengisian data dan
setelah pemeriksaan prenatal rutin, diambil darahnya sebanyak
10ml. Sampel darah beku selanjutnya di sentrifuse dan
dipisahkan serumnya.
Pemeriksaan toxoplasma dilakukan di Prodia Denpasar
sedangkan sisanya dikirim ke Prodia Kramat di Jakarta. Bahan
serum diperiksa dengan metoda Enzyme Immuno Assay
memakai reagen Roche/Zeus dengan alat Cobas Core/Reader
210. Dicari antibodi IgM dan IgG untuk semua unsur TORCH.
Data deskriptif diolah dan disajikan dalam bentuk tabel dan
narasi.
HASIL DAN DISKUSI
Dari 100 ibu hamil terpilih yang menjalani pemeriksaan
darah dan mengisi kuesioner didapatkan hal-hal sebagai
berikut: Umur ibu hamil termuda adalah 18 tahun, tertua 40
tahun dengan rata rata 27.07 tahun. Yang hamil pertama 32%,
hamil ke dua 47%, hamil ke tiga 18% dan 3% merupakan
kehamilan yang ke empat. Ternyata tak satupun di antara 100
ibu hamil yang diperiksa bebas dari salah satu infeksi TORCH
meskipun tidak ada yang menunjukkan gejala klinis infeksi.
Ibu hamil yang pernah mengalami infeksi CMV sangat tinggi

Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006

(95%) dan infeksi terendah oleh Toxoplasma (21%). Sebagian


infeksi itu masih aktif yang ditunjukkan oleh IgM yang masih
positif.
Soesbandoro di RSU Mataram(14) menemukan IgG
Toxoplasma positif pada 38.3% dari 225 ibu hamil yang
diperiksanya. Lazuardi di RS Dr Sutomo Surabaya(15)
menemukan hasil IgG positif 52% untuk Toxoplasma, 73%
untuk Rubella, 99% untuk CMV dan hanya 17% untuk HSV II.
Kebanyakan (87%) peserta penelitian ini dalam kelompok
umur reproduksi sehat (20-35 tahun), sisanya 4% di bawah 20
tahun dan 9% berumur 35 tahun lebih. Penyebaran infeksi
TORCH terjadi di semua kelompok umur meskipun tidak
diketahui usia saat infeksi itu mulai terjadi. Yang jelas masih
ditemukan 5 kasus infeksi Toxoplasma, 1 kasus infeksi Rubella
dan 21 kasus infeksi HSV-II yang masih aktif.
Tabel 1 . Distribusi hasil serologi TORCH pada 100 ibu hamil
Jenis Infeksi

IgG (%)

IgM (%)

21
73
95
56

5
1
0
21

Toxoplasma
Rubella
CMV
HSV II

Catatan : terdapat 9 pemeriksaan yang hasilnya gray zone ( 4 IgG


Toxoplasma,,2 IgM Toxoplasma, 2 IgG Rubella , 1 IgG CMV), dan dicatat
sebagai hasil negatif karena tidak ada pemeriksaan ulang.
Tabel 2. Hubungan kelompok umur dan frekuensi TORCH
Toxoplasma
Usia

15-19
20-24
25-29
30-34
35-39
40-44
Total

4
25
39
23
8
1
100

Rubella

CMV

HSV II

IgG

IgM

IgG

IgM

IgG

IgM

IgG

IgM

1
7
10
3
0
0
21

1
1
3
0
0
0
5

4
17
32
14
5
1
73

0
1
0
0
0
0
1

4
24
36
23
7
1
95

0
0
0
0
0
0
0

2
13
21
14
5
1
56

1
8
8
4
0
0
21

Catatan : hasil lab grayzone pada 9 kasus dinyatakan negatif.


Tabel 3. Kejadian kehamilan dulu dan frekuensi TORCH
Toxoplasma

Rubella

CMV

HSV II

Paritas

n
IgG

IgM

IgG

IgM

IgG

IgM

IgG

Primigravida

32

23

31

14

Eks abortus

15

13

14

12

IgM

Eks cacat

IUFD

Normal

63

44

59

38

17

Primigravida

32

23

31

14

Hubungan infeksi TORCH dengan keluaran kehamilan


tidak dapat dianalisis (Tabel 3). Baik yang mempunyai riwayat
persalinan bayi normal dan yang mengalami abortus,bayi lahir
cacat dan kejadian bayi mati dalam kandungan secara tersebar
pernah mengalami salah satu atau lebih infeksi TORCH.
Analisis makin sulit karena pengaruh terhadap akhir
kehamilan adalah multifaktorial. Soesbandoro(14) menemukan

IgG Toxoplasma didapatkan lebih banyak pada ibu yang


mengalami abortus, lahir mati dan cacat bawaan meskipun
perbedaannya tidak bermakna.
FAKTOR RISIKO INFEKSI TORCH
Berdasarkan kepustakaan, risiko infeksi Toxoplasma akan
meningkat pada mereka yang higiene/sanitasinya jelek
terutama keadaan rumah, penghasilan keluarga, kontak dengan
kucing, dan cara menyiapkan makanan sehari-hari. Adi
Priyana(16) menemukan adanya IgG Toxoplasma positif pada
52.5% dari 80 ekor ayam kampung yang ditelitinya.
Pada penelitian ini 100% ibu hamil yang diperiksa bukan
golongan ekonomi lemah, 75% berhubungan langsung atau tak
langsung dengan kucing, 22% suka sayur mentah dan hanya
1% suka makan daging mentah atau setengah matang. Tidak
dapat diambil kesimpulan yang dapat menerangkan hubungan
sanitasi dengan kejadian infeksi TORCH.
KESIMPULAN
1. Dari 100 ibu hamil yang diteliti, tak satupun terbebas dari
salah satu infeksi TORCH.
2. Besaran infeksi TORCH pada ibu hamil: 95% oleh
Cytomegalovirus, 73% oleh Rubella, 56% oleh HSV II
dan 21% oleh Toxoplasma.
3. Infeksi masih aktif didapatkan : 21% oleh HSV II, 5% oleh
Toxoplasma, 1% oleh Rubella

5. Daffos F, Forestier F, Capella Pavlovky M, Thulliez P, Aifrant C, Valenti


D, Cox WL. Prenatal management of 746 pregnancies at risk for congenital
toxoplasmosis. N Engl J Med 1988; 318 (5) : 271-5.
6. Suzumori K, Iida,T, Adachi R, Okada S, Yagami Y. Prenatal diagnosis of
rubella infection by fetal blood sampling. Asia-Oceania J.Obstet.Gynaecol.
1991;17(2): 113-7
7. LamyME, Mulongo KN, Gadisseux JF. et al. Prenatal diagnosis of fetal
cytomegalovirus infection. Am.J.Obstet.Gynecol.1992;166 No.1(Part 1):.
91-4.
8. Hohlfeld P, Vial Y, Maillard-Brignon C, Vaudaux B, Fawer CL.
Cytomegalovirus fetal infection: Prenatal Diagnosis. Obstet Gynecol 1991;
78 : 615 ,.
9. Hohlfeld P, Daffos F, Costa JM, Thulliez P, Forestier F, Vidaud M.
Prenatal diagnosis of congenital toxoplasmosis with a polymerase chainchain reaction test on amniotic fluid. N Engl J Med 1994; 331:695
10. Lisawati S, Srisasi G, Taniawati S. Berbagai aspek diagnosis
toksoplasmosis dengan menggunakan polymerase chain reaction. Maj
Kedokt Indon 1998;:48(7):270-5.
11. Gumilar E. Toksoplasmosis kongenital : kontribusi kultur inokulasi cairan
ketuban dalam diagnostik prenatal. MOGI Supl. Juli 1999:25.
12. Srisasi Gandahusada.Diagnosis prenatal toksoplasmosis kongenital dan
pencegahannya. Maj Kedokt Indon 1999;49(1):15-8.
13. Srisasi Gandahusada. Diagnosis laboratoris toxoplasma. Maj Kedokt Indon
1999;:49 (6 ).
14. Soesbandoro SDA, Soewignyo S, Gerudug E et al. Infeksi toksoplasma
pada ibu ibu hamil di RSU Mataram. MOGI , Supp. I , Juli 1996 , 15.
15. Lazuardi T, Joewono HT, Abadi A. Gambaran serologi IgM dan IgG anti
TORCH pada ibu hamil <20 minggu dan bayinya. MOGI Suppl. Juli
1999: 35.
16. Priyana A. Antibodi anti Toxoplasma pada ayam kampung (Gallus
domesticus) di Jakarta. Maj Kedokt Indon 2000; (11): 504-7.

KEPUSTAKAAN
1. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap III LC, Hauth JC,
Wenstrom KD (eds). Williams Obstetrics. Ch. 56: Infections.: 1461-80.
2. Chandra G. Toxoplasma gondii: Aspek Biologi, Epidemiologi, Diagnosis
dan Penatalaksanaannya. Medika 2001; XXVII(5 ): 297-304.
3. Chiodo-F, Venucchi-G, Mori-F, Attard-L, Ricchi-E. Infective diseases
during pregnancy and their teratogenic effects. Ann-Ist-Super-Sanita.
1993;29(1):57-67
4. Isada NB, Paar DP, Gossman JH, Staus SE. Torch infections diagnosis in
the molecular age. J.Reprod.Med. 1992;37(6):499-507.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan banyak terima kasih pada PERINASIA Pusat yang telah
memberi kesempatan ikut dalam penelitian multi-senter ini dan khusus kepada
Laboratorium Klinik PRODIA Denpasar, diucapkan terima kasih atas bantuan
pemeriksaan serologis dan kerjasamanya.

Every age has its pleasures, its style of wit,


and its peculiar manners (Boileau)

Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Pengaruh Infeksi TORCH


terhadap Kehamilan
Enny Muchlastriningsih
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN
Ibu hamil termasuk dalam kelompok rentan kesehatan
selain bayi, balita, ibu bersalin, dan ibu menyusui sehingga
pemerintah mengupayakan pelayanan kesehatan yang mudah
dijangkau oleh mereka. Pelayanan antenatal (prapersalinan)
terhadap ibu hamil meliputi pengukuran tekanan darah,
penimbangan berat badan, pengukuran tinggi badan, pemberian
imunisasi Toxoid tetanus (TT), pemberian tablet besi (Fe), dan
pengukuran fundus uteri.
Pelayanan ini diharapkan minimal diterima ibu hamil
sebanyak 4 kali yaitu sekali pada triwulan pertama dan ke dua
serta dua kali pada triwulan ke tiga. Upaya ini belum
sepenuhnya berhasil; secara nasional pelayanan kunjungan baru
ibu hamil mencakup 92,72% dan kunjungan ibu hamil minimal
4 kali 75.66%. Imunisasi TT sebanyak 2 kali selama kehamilan
(TT1 dan TT2) tetapi cakupan TT1 baru 85,1% sedangkan TT2
lebih rendah lagi yaitu 78,1%. Pemberian tablet besi kepada ibu
hamil ada 2 paket yaitu paket Fe1-30 tablet (1 bungkus) dan
paket Fe3-90 tablet (3 bungkus), dan cakupannya untuk Fe1
sebesar 77,07% sedangkan Fe3 sebesar 63,45%. Selain itu ibu
hamil juga rentan terhadap serangan infeksi baik infeksi intra
uterin maupun perinatal.
PENYAKIT TORCH
Penyakit TORCH ialah penyakit-penyakit intrauterin atau
yang didapat pada masa perinatal; merupakan singkatan dari T
= Toksoplasmosis O = other yaitu penyakit lain misalnya
sifilis, HIV-1dan 2, dan Sindrom Imunodefisiensi Didapat (
Acquired Immune Deficiency Syndrome/AIDS),dan sebagainya;
R = Rubela (campak Jerman); C = Cytomegalovirus; H =
Herpes simpleks. Berikut ini akan dibahas penyakit-penyakit
tersebut.
Toksoplasmosis
Penyakit ini merupakan penyakit protozoa sistemik yang
disebabkan oleh Toxoplasma gondii dan biasa menyerang
binatang menyusui, burung, dan manusia. Pola transmisinya ia-

Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006

lah transplasenta pada wanita hamil, mempunyai masa


inkubasi 10-23 hari bila penularan melalui makanan (daging
yang dimasak kurang matang) dan 5-20 hari bila penularannya
melalui kucing. Bila infeksi ini mengenai ibu hamil trimester
pertama akan menyebabkan 20% janin terinfeksi toksoplasma
atau kematian janin, sedangkan bila ibu terinfeksi pada
trimester ke tiga 65% janin akan terinfeksi. Infeksi ini dapat
berlangsung selama kehamilan.
Manifestasi klinis yang mungkin terjadi ialah:
hepatosplenomegali, ikterus, petekie, meningoensefalitis,
khorioretinitis, mikrosefali, hidrosefalus, kalsifikasi intrakranial, miokarditis, lesi tulang, pnemonia, dan rash
makulopapular Pencegahan dapat dilakukan antara lain dengan
cara: memasak daging sampai matang, menggunakan sarung
tangan baik saat memberi makan maupun membersihkan
kotoran kucing, dan menjaga agar tempat bermain anak tidak
tercemar kotoran kucing.
Sifilis
Penyakit ini disebabkan infeksi Treponema pallidum;
dapat akut maupun kronis yang mempunyai gambaran khas
yaitu lesi, erupsi kulit dan mukosa; jangka panjang dapat
mengakibatkan lesi tulang, sistem pencernaan, sistem saraf
pusat, dan sistem kardiovaskuler. Penularan biasanya terjadi
karena adanya kontak dengan eksudat infeksius yang berasal
dari kulit, membran mukosa, cairan dan sekret tubuh (darah,
ludah, cairan vagina). Penyakit ini dapat ditularkan melalui
plasenta sepanjang masa kehamilan; biasanya respon janin
yang hebat akan terjadi setelah pertengahan kedua kehamilan
dengan manifestasi klinik hepatosplenomegali, ikterus, petekie,
meningoensefalitis, khorioretinitis, dan lesi tulang. Infeksi yang
didapat di akhir kehamilan biasanya tidak menyebabkan gejala
pada bayi baru lahir, baru setelah beberapa minggu/bulan
kemudian akan ditemukan gejala-gejala: snuffles (kotoran
hidung mukopurulen), ruam makuler besar berwarna tembaga,
lesi (plak) sekitar mulut dan anus, hepatosplenomegali, radang
periosteum, Hutchinsons teeth, saddle nose, saber shins, dan

lainnya. Infeksi penyakit ini juga dapat menyebabkan bayi


berat badan lahir rendah, atau bahkan kematian janin.
Tabel 1 memperlihatkan jumlah penderita sifilis di
masyarakat yang berobat di puskesmas; meskipun tahun 2002
terlihat menurun tetapi dapat disebabkan karena sedikitnya
laporan yang masuk. Penderita ada di semua golongan umur
terutama di golongan usia produktif. Adanya kasus bayi sangat
menyedihkan dan jumlahnyapun cukup banyak; untuk itu
diperlukan tindakan yang sungguh-sungguh agar penyakit ini
tidak menjadi kronis.
Pencegahan antara lain dengan cara: promosi kesehatan
tentang penyakit menular seksual, mengontrol prostitusi
bekerja sama dengan lembaga sosial, memperbanyak pelayanan
diagnosis dini dan pengobatannya, untuk penderita yang
dirawat dilakukan isolasi terutama terhadap sekresi dan eksresi
penderita.
Tabel 1:

Umur
< 1 th
1-4 th
5-14 th
15-44 th
> 45 th
Jumlah

Jumlah penderita sifilis di Indonesia berdasarkan umur, 20002002

RJ
5
13
22
393
52
485

Tahun 2000
RI
PS
9
18
3
454
11
2396
62
7897
186
3335
271
14100

RJ
4
7
16
62
18
107

Tahun 2001
RI
PS
23
3
4
15
8
5922
27
1004
11
4332
73
11276

Tahun 2002
RJ
RI
PS
62
2
24
159
1
27
341
1
101
961
0
896
470
0
538
1993
4
1586

Keterangan:

Data dasar diambil dari Buku Data Tahun 2000-2002, Ditjen PPM&PL, Depkes RI,
tahun 2003.

RJ= penderita rawat jalan, RI= penderita rawat inap, PS= penderita di puskesmas

HIV dan AIDS


Penyakit ini terjadi karena infeksi retrovirus. Pada
awalnya infeksi ini menunjukkan gejala yang tidak spesifik,
misalnya limfadenopati, anoreksia, diare kronis, penurunan
berat badan, dan sebagainya. Komplikasi penyakit ini antara
lain ialah Pneumocystis carinii pneumonia, chronic enteric
cryptosporidiosis,
disseminated
strongyloidiasis,
dan
sebagainya.
Penularan terjadi karena kontak seksual antar manusia
dengan masa inkubasi antara 6 bulan hingga 5 tahun; jika lewat
transfusi darah masa inkubasinya rata-rata 2 tahun. Pada janin
penularan terjadi secara transplasenta, tetapi dapat juga akibat
pemaparan darah dan sekret serviks selama persalinan.
Kebanyakan bayi terinfeksi HIV belum menunjukkan gejala
pada saat lahir, sebagian anak akan menunjukkan gejala pada
umur 12 bulan pertama dan sebagian lainnya pada umur yang
lebih tua.
Gejala yang akan terlihat antara lain: gejala non spesifik,
penyakit neurologis progresif (ensefalopati dengan gejala
kelambatan perkembangan atau kemunduran fungsi motorik,
kemampuan intelektual,atau perilaku), pneumonitis interstisial
limfoid, infeksi sekunder (infeksi oportunis yaitu Pneumocystis
carinii pneumonia, chronic enteric cryptosporidiosis,
disseminated strongyloidiasis, dan dapat terjadi infeksi bakteri
misalnya meningitis, infeksi lainnya misalnya varisela primer
yang mengakibatkan infeksi menyeluruh pada hati, paru, sistem
koagulasi, dan otak), kanker sekunder.

Pencegahan antara lain dengan cara: menghindari kontak


seksual dengan banyak pasangan terutama hubungan seks anal,
skrining donor darah lebih ketat, dan pengolahan darah dan
produknya dengan lebih hati-hati.
Rubella (German measles)
Penyakit ini disebabkan oleh virus Rubella yang termasuk
famili Togaviridae dan genus Rubivirus, infeksi virus ini terjadi
karena adanya kontak dengan sekret orang yang terinfeksi;
pada wanita hamil penularan ke janin secara intrauterin. Masa
inkubasinya rata-rata 16-18 hari. Periode prodromal dapat
tanpa gejala (asimtomatis), dapat juga badan terasa lemah,
demam ringan, nyeri kepala, dan iritasi konjungtiva.
Penyakit ini agak berbeda dari toksoplasmosis karena
rubela hanya mengancam janin bila didapat saat kehamilan
pertengahan pertama, makin awal (trimester pertama) ibu hamil
terinfeksi rubela makin serius akibatnya pada bayi yaitu
kematian janin intrauterin, abortus spontan, atau malformasi
kongenital pada sebagian besar organ tubuh (kelainan bawaan):
katarak, lesi jantung, hepatosplenomegali, ikterus, petekie,
meningo-ensefalitis, khorioretinitis, hidrosefalus, miokarditis,
dan lesi tulang. Sedangkan infeksi setelah masa itu dapat
menimbulkan gejala subklinik misalnya khorioretinitis
bertahun-tahun setelah bayi lahir. Pencegahan antara lain
dengan cara isolasi penderita guna mencegah penularan,
pemberian vaksin rubela, dan semua kasus rubela harus
dilaporkan ke institusi yang berwenang.
Sitomegalovirus ( Cytomegalovirus=CMV)
Penyakit ini disebabkan oleh Human cytomegalovirus,
subfamili betaherpesvirus, famili herpesviridae. Penularannya
lewat paparan jaringan, sekresi maupun ekskresi tubuh yang
terinfeksi (urine, ludah, air susu ibu, cairan vagina, dan lainlain). Masa inkubasi penyakit ini antara 3-8 minggu. Pada
kehamilan infeksi pada janin terjadi secara intrauterin. Pada
bayi, infeksi yang didapat saat kelahiran akan menampakkan
gejalanya pada minggu ke tiga hingga ke dua belas; jika
didapat pada masa perinatal akan mengakibatkan gejala yang
berat.
Infeksi virus ini dapat ditemukan secara luas di
masyarakat; sebagian besar wanita telah terinfeksi virus ini
selama masa anak-anak dan tidak mengakibatkan gejala yang
berarti. Tetapi bila seorang wanita baru terinfeksi pada masa
kehamilan maka infeksi primer ini akan menyebabkan
manifestasi gejala klinik infeksi janin bawaan sebagai berikut:
hepatosplenomegali, ikterus, petekie, meningoensefalitis,
khorioretinitis dan optic atrophy, mikrosefali, letargia, kejang,
hepatitis dan jaundice, infiltrasi pulmonal dengan berbagai
tingkatan, dan kalsifikasi intrakranial. Jika bayi dapat bertahan
hidup akan disertai retardasi psikomotor maupun kehilangan
pendengaran.
Pencegahan dapat dilakukan antara lain dengan cara:
menjaga kebersihan terutama sesudah buang air besar,
menghindari transfusi darah pada bayi dari ibu seronegatif
dengan darah yang berasal dari donor seropositif, dan
menghindari transplantasi organ tubuh dari donor seropositif
ke resipien seronegatif.

Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006

Herpes simpleks ( Herpervirus hominis)


Penyakit ini disebabkan infeksi Herpes simplex virus
(HSV); ada 2 tipe HSV yaitu tipe 1 dan 2. Tipe 1 biasanya
mempunyai gejala ringan dan hanya terjadi pada bayi karena
adanya kontak dengan lesi genital yang infektif; sedangkan
HSV tipe 2 merupakan herpes genitalis yang menular lewat
hubungan seksual. HSV tipe 1 dan 2 dapat dibedakan secara
imunologi. Masa inkubasi antara 2 hingga 12 hari. Infeksi
herpes superfisial biasanya mudah dikenali misalnya pada kulit
dan membran mukosa juga pada mata.
Pada bayi infeksi ini didapat secara perinatal akibat
persalinan lama sehingga virus ini mempunyai kesempatan
naik melalui membran yang robek untuk menginfeksi janin.
Gejala pada bayi biasanya mulai timbul pada minggu pertama
kehidupan tetapi kadang-kadang baru pada minggu ke dua-tiga.
Manifestasi kliniknya: hepatosplenomegali, ikterus, petekie,
meningoensefalitis,
khorioretinitis,
mikrosefali,
dan
miokarditis.
Pencegahan antara lain dengan cara: menjaga kebersihan
perseorangan dan pendidikan kesehatan terutama kontak
dengan bahan infeksius, menggunakan kondom dalam aktifitas
seksual, dan penggunaan sarung tangan dalam menangani lesi
infeksius.

KESIMPULAN
Banyak penyakit infeksi intrauterin maupun yang didapat
pada masa perinatal yang berakibat sangat berat pada janin
maupun bayi, bahkan mengakibatkan kematian sehingga
diperlukan tindakan pencegahan baik yang dapat dilakukan
oleh wanita hamil, suami, keluarganya maupun dari pemerintah
sehingga diharapkan didapat generasi penerus yang bermutu
KEPUSTAKAAN
1.
2.

3.
4.
5.
6.
7.

8.

Benenson AS (ed). Control of Communicable Disease in Man. 14th ed.


The American Public Health Association. Washington DC 20005. 1985.
Berge TO. International Catalogue of Arboviruses including Certain
Other Viruses of Vertebrates. 2nd ed. US Departement of Health,
Education, and Welfare. Public Health Service.
Center for Disease Control. Rubella vaccination during pregnancyUnited States, 1971-1988.MMWR 38:289, 1989.
Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI. Profil Kesehatan
Indonesia 2000.
Ditjen PPM-PLP. Buku Data Tahun 2000-2002. 2003.
Editorial. TORCH syndrome and TORCH screening. Lancet
1990;.335:1559,
Shulman ST, Phair JP, Sommers HM. Dasar Biologis & Klinis Penyakit
Infeksi. Wahab AS (terj.). Sutaryo (ed.). Edisi keempat, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta. 1992.
Horsfall FL, Tamm, I. Viral and Rickettsial Infections of Man. 4th ed.
Igaku Shoin Ltd, Japan.First printing (Asian ed.) 1966.

A Good friend is worth more than


a hundred relations

10 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006

HASIL PENELITIAN

Lama Perawatan dan Komplikasi


Kuretasi Segera dan Tunda
pada Abortus Infeksiosus
I Ketut Suwiyoga, I Made Agus Supriatmaja
Sub-divisi Obstetri Sosial, Bagian Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Indonesia

ABSTRAK
Tujuan: Mengetahui perbedaan lama perawatan dan komplikasi antara kuretesi segera
dengan kuretasi tunda pada abortus infeksiosus.
Bahan dan Cara: Penelitian single blind randomized clinical trial dilakukan di Bagian
Obstetri dan Ginekologi RS Sanglah Denpasar selama tahun 2002. Sampel adalah pasien abortus
infeksiosus klinik yang. diberi antibiotika dan bersedia menjadi subjek penelitian, dipilih secara
consecutive. Sampel dibagi menjadi 2 kelompok yaitu menjalani kuretasi segera atau 24 jam/bebas
panas setelah pemberian antibiotika standar penanganan di RS Sanglah Denpasar. Besar sampel
dihitung dengan rumus Pocock dan data penelitian diolah dengan SPSS-10 for Windows.
Dilakukan test homogenitas dengan Levent T test pada variabel besar uterus, suhu rektal, nadi, dan
kadar hemoglobin. Uji perbedaan waktu kuretasi memakai uji T dilanjutkan dengan KolmogorovSmirnov Z, dan komplikasi dengan test Chi square.
Hasil: Sejumlah 64 consecutive samples dibagi dua yaitu 32 pasien kelompok perlakuan
dengan kuretasi segera dan 32 pasien kelompok kontrol dengan kuretasi tunda. Variabel besar
uterus, suhu rektal, nadi, dan kadar hemoglobin adalah homogen (p > 0,05). Diperoleh rerata lama
perawatan pada kuretasi segera dan tunda masing-masing adalah 59,97 jam/2,89 hari dan 72,29
jam/3,43 hari. Kejadian komplikasi perdarahan dan perforasi uterus pada kedua kelompok berbeda
tidak bermakna (X2= 3,65; p > 0,05) pada penanganan abortus infeksiosus.
Simpulan dan Saran: Pada kasus abortus infeksiosus, lama perawatan pada kuretasi segera
lebih pendek dibandingkan dengan lama perawatan kuretasi tunda (p < 0,05) dan komplikasinya
tidak berbeda di antara kedua kelompok. Pada kasus abortus infeksiosus dapat dilakukan kuretasi
segera setelah pemberian antibiotika.
Kata kunci; kuretasi segera, kuretasi tunda, abortus infeksiosus.

PENDAHULUAN
Abortus infeksiosus adalah abortus yang disertai infeksi
organ ginekologi; merupakan salah satu penyebab kematian
ibu. Di Indonesia, abortus infeksiosus biasanya berawal
terutama dari aborsi pada kehamilan tidak dinginkan;
persentasenya satu di antara sepuluh abortus dengan risiko
kematian 57-59/100.000 kelahiran hidup; sebagian besar aborsi
dilakukan oleh tenaga tidak terlatih. Jadi, kontribusi unsafe
abortion terhadap kematian ibu adalah 10-20%. Kejadian

abortus infeksiosus di RS Sanglah Denpasar 7,59% dari seluruh


kasus abortus dan angka kematian ibunya 18/100.000 kelahiran
hidup.(1,2) Penanganan abortus infeksiosus masih kontroversial
terutama masalah pemberian antibiotik.(3,4)
Ada yang menyatakan kuretasi dilakukan setelah 24 jam
pemberian antibitioka masif karena payung perlindungan
dianggap memadai. Sedangkan pendapat lain, kuretasi segera
pasca pemberian antibiotika untuk menghilangkan sumber
infeksi.(5,6) Jangka waktu kuretasi segera ini bervariasi; di RS

Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 11

Dr Soetomo adalah 3-6 jam, di RS Cipto Mangunkusumo


adalah 6 jam pasca pemberian antibotika. Beberapa klinik
melakukan kuretasi 24-48 jam pasca pemberian antibiotika, 3
hari bebas panas/7 hari pasca antibiotika jika demam tidak
turun.(1,3,4) Kuretasi segera lebih rasional daripada kuretasi
tunda sehubungan dengan pengeluaran jaringan nekrotik intra
uterus, evakuasi mikroba, mengurangi sumber inflamasi, dan
komplikasi lainnya.(5-7) Hal ini juga mempengaruhi lama
perawatan yang selanjutnya berakibat pada efisiensi dan
efektivitas serta keselamatan pasien.(8)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan lama
perawatan dan komplikasi antara kuretasi segera dan tunda
pada abortus infeksiosus. Hasilnya diharapkan dapat dipakai
sebagai masukan untuk pengelolaan abortus infeksiosus dalam
upaya mencapai valid clinical conclusion.
BAHAN DAN CARA
Penelitian single blind randomized clinical trial dilakukan
di Bagian Obstetri dan Ginekologi RS Sanglah Denpasar.
Sampel adalah pasien abortus infeksiosus yang dirawat dan
menyetujui penelitian ini (informed consent) dan ditentukan
secara consecutive. Kelompok perlakuan adalah kuretasi segera
dan kontrol adalah kuretasi tunda seperti tatalaksana yang
sedang berlaku di RS Sanglah Denpasar. Dilakukan matching
faktor risiko besar uterus, suhu rektal, nadi, dan kadar
hemoglobin. Sampel dengan penyakit kronis lain dikeluarkan
dari penelitian.
Besar sampel dihitung dengan rumus Pocock untuk
kuantitatif yaitu:

n= 22 x f ()/(1-2)2
Keterangan:
n = jumlah sampel.
1= rerata kelompok perlakuan.
2= rerata kelompok kontrol.
=perbedaan rerata antara 12.
f() dapat dilihat pada tabel.

Didapatkan, besar sampel untuk masing-masing kelompok


adalah 31,6 dibulatkan 32. Lama perawatan dihitung dalam
satuan jam/hari dan komplikasi adalah perdarahan profus/masif
saat kuretasi dan perforasi uterus. Pasien dinyatakan sembuh
sesuai dengan indikasi boleh pulang oleh dokter yang merawat
yaitu keluhan dan hasil laboratorium darah. Data dicatat pada
lembar penelitian, diolah dengan SPSS 10 for Windows.
Dilakukan uji T untuk lama perawatan dan uji X2 untuk jenis
komplikasi. Hasil uji analisis disajikan dalam bentuk tabel dan
narasi.
Definisi operasional variabel
1. Abortus infeksiosus adalah abortus dengan tanda-tanda
infeksi organ genitalis.
2. Kuretasi segera adalah kuretasi segera setelah pemberian
antibiotika standar.
3. Kuretasi tunda adalah kuretasi setelah bebas panas pasca
pemberian antibiotika standar.
4. Lama perawatan adalah waktu dalam jam yang diperlukan
sampai pasien boleh pulang. Pasien dipulangkan apabila

12 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006

keadaan umum baik, demam dan nyeri perut berkuranghilang, jumlah lekosit, laju endap darah, dan trombosit
darah tepi dalam batas normal.
5. Besar uterus adalah tinggi fundus uteri saat pasien tiba di
RS Sanglah, setelah kandung kencing dikosongkan.
6. Perdarahan adalah perdarahan lebih dari 500 ml selama 30
menit berturut-turut selama kuretasi atau perdarahan
merembes aktif.
7. Perforasi adalah terjadinya perlukaan menembus seluruh
lapisan dinding uterus oleh sendok kuret.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sejumlah 64 pasien abortus infeksiosus sebagai sampel
yang dipilih secara consecutive, dibagi menjadi dua kelompok
yaitu 32 sebagai kelompok kasus kuretasi segera dan 32
sebagai kelompok kontrol kuretasi tunda sesuai protap Bagian
Obstetri dan Ginekologi RS Sanglah Denpasar.
Dilakukan uji homogenitas variabel besar uterus, suhu
rektal, nadi, dan kadar hemoglobin. Didapatkan bahwa ke
empat faktor tersebut berbeda tidak bermakna antara ke dua
kelompok (p > 0,05) (Tabel 1).
Tabel 1. Hasil uji Levent T test untuk besar uterus, suhu rektal, nadi, dan
kadar hemoglobin kedua kelompok.

Besar uterus
/kehamilan (minggu)
Suhu rektal (0C)
Nadi (kali/menit)
Hemoglobin (g/dL)

Kuretasi segera
Rerata
SD
11,46
3,66
38,71
103,71
10,65

0,62
8,50
1,22

Kuretasi tunda
Rerata
SD
9,86
2,76
38,47
99,46
10,74

0,44
8,00
1,26

p
0,486
0,197
0,115
0,759

Faktor yang mempengaruhi penanganan, komplikasi, dan


prognosis yaitu besar uterus, suhu rektal, nadi, dan hemoglobin
antara kedua kelompok adalah homogen (p>0,05) untuk semua
variabel tersebut. Selanjutnya, perbedaan lama perawatan pada
kelompok kuretasi segera dan kuretasi tunda dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Hasil uji T tentang lama perawatan pada kuretasi segera dan
kuretasi tunda
Kuretasi segera
(n=32)
Rerata
SD

Kuretasi tunda
(n=32)
Rerata
SD

Lama perawatan (jam)

59,97

3,83

72,29

11,52

0,000

Lama perawatan (hari)

2,89

0,40

3,43

0,50

0,007

Hasil uji T menunjukkan p=0,00 (df 68, 95%CI=8,2216,41) dan dengan Kolmogorov-Smirnov Z test diperoleh
1,673 (p=0,007). Jadi, lama perawatan baik dalam jam maupun
hari berbeda bermakna (p < 0,05). Berarti pada abortus
infeksiosus lama perawatan pada kuretasi segera lebih pendek
daripada pada kuretasi tunda. Rerata perbedaannya adalah
12,36 jam. Pada penelitian Agus dan Mayun (1999), lama
perawatan abortus infeksiosus yang menjalani kuretasi segera
karena perdarahan aktif rata-rata 2,8 hari, sedangkan lama
perawatan abortus infeksiosus yang dikuret 6 jam setelah bebas

demam adalah 3,3 hari; dan yang ditunda 12 jam bebas demam
adalah 3,6 hari.(3) Adhi dan Hartono juga mendapatkan pada
tindakan kuretasi 6 jam pertama lama demam dan lama
perawatan lebih pendek.(1)
Demam dapat diakibatkan oleh endotoksin yang
dihasilkan oleh kuman Gram negatif, reaksi jaringan, reaksi
inflamasi/ekspresi IL-1 dan IL-6, trauma sel/jaringan. Sel yang
rusak ini mengeluarkan lisosom dan histamin; lisosom dapat
mengakibatkan kerusakan jaringan lebih hebat dan aktivasi
sekresi bradikinin. Bradikinin dan histamin dapat mengakibatkan vasodilatasi masif dan meningkatkan permeabilitas
kapiler dengan manifestasi klinis berupa demam.(5,9)
Tindakan kuretasi segera juga bermanfaat karena dapat
mencegah perdarahan lebih banyak dan menghilangkan
jaringan nekrotik yang dapat sebagai media biakan
mikroorganisme. Dengan demikian, demam akan segera turun,
perdarahan dapat dikendalikan.(6,10,11) Perforasi sebagai
komplikasi kuretasi pada abortus infeksiosus lebih sering
terjadi dibandingkan dengan pada yang bukan abortus
infeksiosus. Hal ini disebabkan oleh proses infeksi dan
inflamasi yang mengakibatkan kontraksi uterus lemah, dinding
uterus tipis, perdarahan lebih banyak. Akan tetapi dengan
prinsip kehati-hatian dan dengan memberikan uterotonika
selama prosedur kuretasi berlangsung maka komplikasi
perforasi dan perdarahan dapat dieliminasi.(5,6)
Pada penelitian ini tidak ditemukan komplikasi perforasi.
Walaupun didapatkan komplikasi perdarahan lebih masif/aktif
selama kuretasi pada abortus infeksiosus, tetapi tidak berbeda
bermakna antara kuretasi segera dengan kuretasi tunda (X2=
0,94 p >0,05).
Beberapa penelitian melaporkan komplikasi perforasi
uterus pada saat kuretasi sekitar 5-7%(5,9) terlebih lagi jika
miometriumnya relatif rapuh dan lunak risiko perforasi 2 kali
lebih besar dibandingkan dengan kuretasi pada bukan abortus
infeksiosus.(3,9) Hal ini dapat dicegah dan dikurangi dengan
pemberian uterotonika pre dan durante kuretasi.

KESIMPULAN
Pada penelitian randomized clinical trial single blind atas
64 abortus infeksiosus yang dibagi dua yaitu 32 kelompok
kasus dan 32 kelompok kontrol, didapatkan:
1. Rerata lama perawatan pada kuretasi segera dan tunda
masing-masing adalah 59,97 jam/2,89 hari dan 72,29
jam/3,43 hari. Uji T menunjukkan perbedaan bermakna (p
< 0,05). Jadi lama perawatan kasus abortus infeksiosus
pada kuretasi segera lebih pendek dibandingkan dengan
lama perawatan pada kuretasi tunda.
2. Tidak terdapat perbedaan bermakna dalam hal komplikasi
perdarahan antara kedua kelompok (X2= 0,94 p > 0,05).
3. Tidak terdapat perforasi uterus pada kedua kelompok.

KEPUSTAKAAN
1.

Adhi P, Hartono HS. Karakteristik abortus infeksiosus. Maj. Obstetr.


Ginekol..Indon. 1992; 20: 6-7.
2.
Samil RS. Abortus atas indikasi nonmedis. Simposium Etika Profesi
dalam Kesehatan Reproduksi, PIT POGI XI Semarang, 1999.
3.
Agus S, Mayun M. Abortus infeksiosus di RS Sanglah Denpasar tahun
1996-1998, Bagian Obstetri dan Ginekologi FK Unud/RS Sanglah
Denpasar, Penelitian Deskriptif, 1999.
4.
Max B. Septic Abortion In: Friedmann EA, Acker DB, Sachs BP,
Obstetrical Decision Making. 2nd ed. B.C Decker Inc,1998: 44-5.
5.
Richard HS. Handbook of Obstetrics 3rd ed. New York, Down State
Medical Centre, 1997: 3-6.
6.
Saifuddin AB, Adrianz G, Wiknjosastro GH, Waspodo D. Perdarahan
pada kehamilan muda. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal. Ed 2, Jakarta, 2001:145-52.
7.
Rosevear S. Bleeding in early pregnancy, In: High risk pregnancy
management option. London: WB Saunders Co, 4th ed. 2001:75-83.
8.
Kodim N. Abortus: determinan sosial yang bermuara pada dokter. Maj.
Obstetr. Ginekol. Indon. 1999; 23:130-4.
9.
Cunningham FG, Paul MC, Leveno KJ et al. Abortion. in: William
Obstetrics, 20th ed. Connecticut, Appleton and Lange, 2002: 579-601.
10. Mangku G, Wiryana M. Penatalaksanaan syok septik, Lab/SMF
Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Unud/RS Sanglah Denpasar, 1997.
11. Rattu RB. Abortus provokatus kriminalis di RSU Manado. Naskah
Lengkap KOGI II Surabaya, 1973.

Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 13

HASIL PENELITIAN

Peranan Faktor Risiko


Ketuban Pecah Dini terhadap
Insidens Sepsis Neonatorum Dini
pada Kehamilan Aterm
Raka Budayasa AAG, Suwiyoga IK, Soetjiningsih*
Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi, * Bagian / SMF Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / Rumah Sakit Sanglah, Denpasar, Bali, Indonesia

ABSTRAK
Tujuan : Mengetahui peranan faktor risiko pada ibu dengan KPD tehadap insidens sepsis
neonatorum.
Subjek dan cara kerja : Penelitian kohort prospektif dengan pembanding interna. Sebanyak
123 subjek secara consecutive ikut serta dalam penelitian dan 113 kasus dianalisis. Setiap bayi
akan diamati dalam empat hari pertama untuk timbulnya gejala sepsis neonatorum dini. Pada bayi
dengan gejala sepsis dilakukan pemeriksaan kultur darah untuk diagnosis pasti sepsis neonatorum.
Peranan faktor risiko terjadinya sepsis neonatorum (khorioamnionitis klinis, febris, adanya koloni
kuman Streptokokus Grup Beta dari apusan vagina bawah, lama ketuban pecah sampai persalinan
dan jumlah pemeriksaan vagina) akan dihitung dengan uji kai kuadrat dan semua faktor risiko
yang bermakna (p<0,05) akan dimasukkan dalam analisis multivariat untuk menentukan faktor
risiko utama terjadinya sepsis neonatorum.
Hasil : Dari seluruh kasus insidens sepsis neonatorum dini klinis adalah 4,4% dan insidens
sepsis neonatorum dini pasti (definite early onset neonatal sepsis) adalah 2,65%. Faktor risiko
yang bermakna terhadap insidens sepsis neonatorum adalah : febris : RR 28,28 (IK 95% 3,40235,52), p=0,001, khorioamnionitis klinis : RR 46,22 (IK 95% 5,75-371,02), p=0,001, koloni
kuman Streptokokus Grup Beta : RR 13,38 (IK 95% 1,56-114,56), p=0,002, lama ketuban pecah >
18 jam : RR 9,29 (IK 95% 1,08-80,12), p=0,013, lama ketuban pecah > 24 jam: RR 6,18 (IK 95%
1,15-33,09), p=0,02 dan jumlah pemeriksaan vagina > 8 kali : RR 9,16 (IK 95% 1,42-59,3),
p=0,014. Dari analisis multivariat didapatkan faktor risiko yang paling berperan terhadap sepsis
neonatorum dini adalah khorioamnionitis klinis, febris dan adanya koloni kuman Streptokokus
Grup Beta.
Kesimpulan : Insidens sepsis neonatorum dini secara klinis adalah 4,4% dan insidens sepsis
neonatorum dini pasti (definite early onset neonatal sepsis) adalah 2,65%. Pada kasus KPD aterm:
khorioamnionitis klinis, febris dan koloni kuman Streptokokus Grup Beta merupakan faktor risiko
utama terjadinya sepsis neonatorum.
Kata kunci : ketuban pecah dini, sepsis neonatorum, khorioamnionitis klinis, Streptokokus Grup
Beta

PENDAHULUAN
Angka kematian perinatal di Indonesia masih tinggi dengan
penyebab utama prematuritas, asfiksi dan infeksi. Peranan
infeksi neonatus masih cukup besar dalam kematian perinatal.
14 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006

Sepsis neonatorum adalah suatu penyakit berat yang cepat


terjadi dan sering tidak terpantau. Angka kematiannya masih
cukup tinggi. Diagnosisnya sulit, memakan waktu dan biaya.
Kejadian sepsis neonatorum di beberapa rumah sakit rujukan

berkisar antara 1,5% sampai 3,72% dengan angka kematian


37,09% sampai 80,0%.(1)
Ketuban pecah dini (KPD) adalah pecahnya selaput
ketuban sebelum tanda-tanda persalinan. Insidens KPD masih
cukup tinggi; 10% persalinan didahului oleh KPD. Hal ini
dapat meningkatkan komplikasi kehamilan pada ibu maupun
bayi, terutama infeksi.(2) Infeksi neonatus setelah pecah ketuban
dipengaruhi oleh kolonisasi kuman Streptokokus Grup Beta,
lama ketuban pecah, khorioamnionitis, jumlah pemeriksaan
vagina, pemberian antibiotika, dan lain lain.(3)
Terdapat perbedaan penatalaksanaan KPD khususnya
dalam pemberian antibiotika profilaksis. Di RS Sanglah
Denpasar antibiotika profilaksis diberikan pada semua kasus
KPD, sedangkan di negara lain seperti di Amerika sesuai
dengan rekomendasi ACOG (American College of Obstetrics
and Gynaecologist) dan AAP (American Academy of
Pediatrics) antibiotika profilaksis hanya diberikan pada kasus
persalinan dengan faktor risiko infeksi seperti kasus KPD
dengan lama ketuban pecah melewati 18 jam, febris, adanya
koloni kuman Streptokokus Grup Beta dan persalinan kurang
37 minggu. Pembatasan penggunaan antibiotika profilaksis ini
dimaksudkan untuk mengurangi efek samping antibiotika,
mencegah resistensi kuman dan mengurangi biaya.(4)
BAHAN DAN CARA KERJA
Rancangan penelitian ini adalah rancangan penelitian
kohort untuk mencari hubungan antara faktor risiko pada kasus
KPD aterm (khorioamnionitis klinis, febris, koloni kuman
Streptokokus Grup Beta, lama ketuban pecah dan jumlah
pemeriksaan vagina) terhadap efek yaitu insidens sepsis
neonatorum dini. Pengamatan timbulnya efek dilakukan dalam
empat hari pertama kelahiran bayi. Kriteria penerimaan
adalah kasus KPD dengan umur kehamilan 37 minggu dan
BBL 2500 gram, kehamilan tunggal, presentasi belakang
kepala, persalinan spontan dan kadar hemoglobin > 10 g/dL.
Kriteria penolakan : persalinan operatif pervaginam atau
perabdominal (SC), bayi asfiksi, bayi dengan kelainan
kongenital dan trauma pada bayi. Pemilihan sampel dengan
cara consecutive sampling. Sampel penelitian minimal adalah
108.
Pada semua sampel penelitian dilakukan pemeriksaan
kultur apusan vagina bawah sebelum diberi antibiotika
Penisilin Prokain 1 juta IU setiap 12 jam. Semua data dianalisis
dengan SPSS versi 10,0 for Windows. Nilai risiko relatif (RR)
merupakan perbandingan insidens sepsis neonatorum
kelompok dengan faktor risiko dengan insidens sepsis
neonatorum kelompok tanpa faktor risiko. Semua variabel yang
bermakna pengaruhnya terhadap sepsis neonatorum (p<0,05)
akan dianalisis menggunakan analisis multivariat (regresi
logistik ).
HASIL DAN DISKUSI
Karakteristik Kasus
Karakteristik demografi pasien dapat dilihat pada Tabel 1.
Dari 113 subjek penelitian terbanyak di kelompok umur 20-24
tahun (41 kasus-36,3%), dengan rerata umur ibu adalah 26,1
(SD:4,9) tahun. Data ini sesuai penelitian Seaward et al (1998)
yang mendapatkan rerata usia ibu pada kasus KPD aterm

adalah 28,5 (SD 5,3) tahun.(3) Tidak terdapat perbedaan


bermakna insidens sepsis neonatorum antar kelompok umur ibu
(p>0,05). Insidens sepsis neonatorum di kelompuk umur
kurang 20 tahun adalah 14,2%, lebih tinggi dari insidens sepsis
di kelompok umur 20 tahun atau lebih. Usia ibu kurang 20
tahun diketahui berhubungan dengan kolonisasi kuman
Streptokokus Group Beta di jalan lahir.
Tabel 1. Sebaran kasus ibu dengan KPD aterm berdasarkan karakteristik
demografi (n=113)

No

1.

2.

Variabel

Usia ibu (tahun)


16 - 19
20 - 24
25 - 29
30 - 34
35
Paritas
Nullipara
Multipara

Luaran bayi
tidak
sepsis
(n=108)
n
n

sepsis
(n=5)

7
41
38
20
7

6,2
36,3
33,6
17,6
6,2

1
1
1
2
0

74
39

65,5
34,5

2
3

x2

6
40
37
18
7

0,564

0,754

72
36

1,504

0,223

Tabel 2. Sebaran kasus KPD aterm berdasarkan hasil kultur apusan


vagina (n=113).
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8
9.
10.
11.
12.

Jenis Kuman
Eschericia coli
Enterobacter
Staphylococcus
Streptococcus Grup Beta
Klebsiella
Streptococcus Grup Alfa
Pseudomonas
Proteus
Bacteriodes
Candida
Micrococcus
Steril

37
28
27
26
10
9
7
7
5
2
1
1

32,7
24,8
23,9
23,0
8,8
7,9
6,2
6,2
4,4
1,8
0,9
0,9

Sebagian besar subjek penelitian adalah nullipara (74 kasus


- 65,5%). Tidak terdapat perbedaan bermakna insidens sepsis
neonaturum pada nullipara dan multipara. Seaward P et al
(1998) juga mendapatkan paritas tidak berperan secara
independen sebagai prediktor infeksi neonatus.(3) Pada saat
pasien pertama datang, sebelum pemberian antibiotika
dilakukan pemeriksaan kultur kuman dari apusan vagina
bawah. Hasilya tertera di Tabel 2.
Didapatkan koloni kuman pada 112 sediaan (99,1%),
hanya pada 1 kasus (0,9%) tidak ditemukan pertumbuhan
kuman. Kolonisasi kuman yang ditemukan sebagian besar (70
kasus - 62,5%) adalah koloni kuman tunggal ; pada 42 kasus
(37,5%) ditemukan lebih dari satu kuman; koloni dua kuman
ditemukan pada 37 kasus (33,0%) dan pada 5 kasus (4,5%)
ditemukan tiga kuman. Kuman dominan adalah E. coli (37
kasus - 32,7%), Enterobacter (28 kasus - 24,8%), Stafilokokus
(27kasus - 23,9%). Koloni kuman Streptokokus grup Beta
didapatkan dalam 26 sediaan (23,0%). Hasil ini sesuai dengan
penelitian Benitz W et al (1999a) yang menemukan koloni
kuman Streptokokus Grup Beta selama kehamilan adalah 6,9 29,3%.(4) Bernstein (2000) mendapatkan koloni Streptokokus
Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 15

Grup Beta bervariasi tergantung ras, geografi, etnik dan sosial


ekonomi tetapi umumnya berkisar 10-30%.(5)

Hubungan khorioamnionitis klinis dengan sepsis


didapatkan bermakna. Odd ratio terjadinya sepsis neonatorum
onset awal pada ibu dengan khorioamnionitis pada salah satu
penelitian adalah 6,42(6). Dari uji korelasi didapatkan hubungan
Luaran Pengelolaan
Dari 113 bayi yang dilahirkan dari ibu dengan KPD aterm, yang bermakna antara khorioamnionitis dengan lama ketuban
sepsis neonatorum klinis dini didapatkan pada 5 kasus (4,4%). pecah, jumlah pemeriksaan vagina dan infeksi Streptokokus
Pada lima bayi tersebut dilakukan pemeriksaan kultur darah; 3 Grup Beta; hal ini menunjukkan khorioamnionitis disebabkan
di antaranya positif sehingga insidens sepsis pasti (definite oleh infeksi asenden dari flora vagina ke kavum uteri.
early onset neonatal sepsis) adalah 2,65%. Rerata waktu
Pada penelitian ini didapatkan 14 kasus (12,4%) ibu
diagnosis klinis sepsis ditegakkan setelah 4 hari. Onset paling dengan febris dan mempunyai hubungan bermakna dengan
awal ditemukan pada hari ke tiga dan yang terlama adalah hari sepsis pada bayi. Dari 14 kasus, 9 kasus (64,3%) adalah kasus
ke empat. Dari pemeriksaaan darah lengkap ulangan saat khorioamnionitis dan pada 5 kasus (35,7 %) ditemukan febris
timbul gejala sepsis didapatkan jumlah leukosit abnormal (< tanpa tanda khorioamnionitis lainnya. Dari uji korelasi terlihat
9000 sampai 4 hari) pada 3 kasus (60%). Jumlah neutrofil febris ibu mempunyai hubungan kuat dengan khorioamnionitis
abnormal (< 4500 sampai 4 hari) pada 4 kasus (80%). Jumlah dan jumlah pemeriksaan vagina. Jadi makin sering dilakukan
trombosit kurang 100.000/mm3 ditemukan pada satu kasus pemeriksaan vagina risiko febris pada ibu akan meningkat.
(20%). Adanya bakteri dalam darah ditemukan pada tiga dari Koloni kuman Streptokokus Grup Beta didapatkan pada 26
lima kultur darah yang dilakukan. Kuman yang tumbuh kasus (23,0%) pada kelompok ini, 4 kasus (15,4%) bayi yang
meliputi Streptococcus agalactiae, Staphylococcus coagulase dilahirkan menjadi sepsis dibandingkan dengan 1,1% pada ibu
dan Eschericia coli. Koloni kuman yang tumbuh pada kultur yang tidak terkoloni (<0,05). Uji dengan kuman lain tidak
darah bayi ini sesuai dengan pola kuman yang didapatkan pada mendapatkan hasil bermakna : Stafilokokus (p=0,734), E. coli
apusan vagina ibu.
(p=0,643) dan Enterobacter (p=0,800). Peneliti lain
Tidak terdapat perbedaan bermakna berat badan dan mendapatkan insidens sepsis neonatorium pada ibu dengan
jumlah leukosit bayi segera setelah lahir antara bayi yang koloni Streptokokus Grup Beta adalah 7-11%.(3)
menjadi sepsis dan yang tidak. Rerata lama perawatan bayi
Lama ketuban pecah berhubungan dengan infeksi
dengan sepsis adalah 17,7 hari; lebih lama dari bayi yang tidak neonatal; hal ini dihubungkan dengan peningkatan koloni
sepsis ( 5,3 hari).
kuman, infeksi ascending dan jumlah pemeriksaan vagina
(vaginal toucher). Insidens sepsis pada ibu dengan lama
Hubungan faktor risiko terhadap Sepsis Neonatorum
ketuban pecah kurang 12 jam adalah 2,7% dibandingkan 5,2%
Beberapa faktor risiko ibu yang dianalisis pengaruhnya pada subjek dengan lama ketuban pecah lebih 12 jam, kasus
terhadap insidens sepsis neonatorum adalah khoriamnionitis sepsis paling tinggi (4 kasus - 80%) ditemukan pada persalinan
klinis, febris, lama ketuban pecah, adanya kuman Streptokokus setelah 18 jam pecah ketuban. Insidens sepsis neonatorum pada
Grup Beta pada apusan vagina dan jumlah pemeriksaan vagina.
persalinan setelah ketuban pecah 18 jam adalah 11,7 %
dibandingkan dengan 1,3% pada persalinan kurang dari 18 jam
Tabel 3. Risiko relatif faktor risiko terhadap sepsis neonatorum
setelah pecah ketuban. Di Amerika (sesuai rekomendasi
ACOG) umumnya lama ketuban pecah lebih 18
Luaran bayi
jam dianggap sebagai risiko terjadinya infeksi
tidak
2
neonatus.(6) Frekuensi pemeriksaan vagina
sepsis
Variabel
p
RR
IK
95%
x
sepsis
(n=5)
(vaginal toucher) dihubungkan dengan
(n=108)
peningkatan
infeksi
neonatus
karena
Khorioamnionitis klinis
4
5
46,22
5,75 - 371,02
37,034
0,001
meningkatnya
infeksi
ascenden
dari
vagina
ke
Febris
4
10
28,28
3,40 - 235,52
22,032
0,001
kavum uteri. Risiko relatif terjadinya
Streptokokus Grup Beta
2
22
13,38
1,56 - 114,56
9,592
0,002
Ketuban pecah >18 jam
4
30
9,29
1,08 - 80,12
6,195
0,013
infeksi/sepsis bayi pada pemeriksaan vagina 5
Ketuban pecah >24 jam
2
9
6,18
1,15 - 33,09
5,454
0,02
kali dibandingkan < 5 kali adalah 2,1 ( p>0,05).
Jumlah VT > 8 kali
1
2
9,16
1,42 - 59,30
6,090
0,014
Frekuensi pemeriksaan vagina yang secara
statistik bermakna terhadap terjadinya sepsis
Insidens khorioamnionitis klinis pada penelitian ini didapatkan adalah jika dilakukan lebih 8 kali (RR : 9,16, p=0,014).
9 kasus (8,0%). Penelitian Seaward et al (1998) mendapatkan
Tabel 4. Hubungan faktor risiko terhadap sepsis neonatorum dengan
khorioamnionitis klinis pada 7,0% kasus KPD aterm.(3) Dari ibu
analisis multivariat
dengan khorioamnionitis 44,4 % bayi yang dilahirkan menjadi
No
Variabel
n
%
RR
p
sepsis. Peneliti lain mendapatkan 16% bayi sepsis dari ibu
dengan khorioamnionitis dan insidens ini tetap tinggi meskipun
1.
Khorioamnionitis klinis
9
8,0
37,03
0,001
ibu telah mendapatkan antibiotik yang adekuat(3). Insidens
2.
Febris
14
12,4
22,03
0,021
3.
Koloni Streptokokus Grup Beta
26
23,0
9,59
0,022
sepsis neonatorum yang lebih tinggi pada penelitian ini
4.
Lama ketuban pecah > 18 jam
34
30,0
6,19
0,356
mungkin akibat pemberian antibiotika yang tidak adekuat,
5.
Lama ketuban pecah > 24 jam
11
9,7
5,45
0,471
sebab semua kasus hanya diberi antibiotika penisilin (tanpa
6.
Jumlah vt > 8 kali
3
2,7
6,09
0,061
cakupan untuk kuman gram negatif).
16 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006

Dari perhitungan kai kuadrat (chi-square) faktor risiko


yang bermakna pada ibu dengan KPD terhadap sepsis
neonatorum yaitu: khorioamnionitis klinis (p=0,001), febris
37,6oC (p=0,001), kolonisasi Streptokokus Grup Beta
(p=0,002), ketuban pecah >18 jam (p=0,013), ketuban pecah
>24 jam (p=0,02) dan jumlah pemeriksaan vagina > 8 kali
(p=0,014) (Tabel 3). Hubungan faktor risiko terhadap sepsis
neonatorum dengan analisis regresi logistik multivariat dapat
dilihat pada Tabel 4. Terlihat faktor risiko yang paling
berperan atau dengan nilai prediksi paling kuat untuk terjadinya
sepsis neonatorum adalah khorioamnionitis klinis ( p=0,001),
febris (p=0,021) dan kolonisasi Streptokokus Grup Beta
(p=0,022), sedangkan untuk variabel lama ketuban pecah > 18
jam maupun > 24 jam dan jumlah pemeriksaan vagina > 8 kali
didapatkan p > 0,05.
Demam ibu saat persalinan perlu mendapat perhatian
karena mungkin menandakan adanya infeksi maternal terutama
pada kasus dengan risiko infeksi misalnya pada KPD.
Meskipun demam dapat disebabkan oleh bukan infeksi,
morbiditas perinatal ditemukan lebih tinggi pada persalinan ibu
dengan febris. Peranan Streptokokus Grup Beta sebagai faktor
risiko sepsis neonatorum sudah diketahui sejak dua dekade
terakhir, terutama jika ditemukan saat persalinan dibandingkan
jika ditemukan saat kehamilan. Apabila pada ibu dengan koloni
Streptokokus Grup Beta tidak ditemukan faktor risiko lain saat
persalinan maka peran kuman tersebut sebagai penyebab
sepsis berkisar 20-30%.(7)
Dari keseluruhan pasien dengan KPD aterm jumlah pasien
yang mempunyai faktor risiko satu atau lebih (febris,
khorioamniotis klinis, lama ketuban pecah >18 jam, adanya
koloni Streptokokus Grup Beta dan jumlah pemeriksaan vagina
> 8 kali) adalah 58 kasus (51,3%) dan subjek tanpa faktor
risiko sebanyak 55 kasus (48,7%). Tidak ditemukan sepsis
neonatorum pada bayi yang dilahirkan dari ibu tanpa faktor
risiko.
KESIMPULAN
Dari 113 kasus bayi yang dilahirkan dari ibu dengan KPD
aterm didapatkan insidens sepsis neonatorum dini klinis 4,4%
dan insidens sepsis neonatorum dini pasti 2,65%. Faktor risiko
meliputi : febris : 12,4%, khorioamnionitis klinis : 8,0%, koloni
kuman Streptokokus Grup Beta : 23,0%, lama ketuban pecah >
18 jam : 30,0% dan jumlah pemeriksaan vagina > 8 kali : 2,7%.
Dari kultur apusan vagina distal pasien dengan KPD aterm
koloni kuman dominan adalah E.coli : 32,7%, Enterobacter :
24,8%, Stafilokokus : 23,9% dan Streptokokus Grup Beta
23,0%.

Faktor risiko yang bermakna terhadap insidens sepsis


neonatorum adalah : febris, khorioamnionitis, koloni kuman
Streptokokus Grup Beta, lama ketuban pecah > 18 jam, lama
ketuban pecah > 24 jam: dan jumlah pemeriksaan vagina > 8
kali (Tabel 3).
Dengan analisis regresi multivariat didapatkan faktor
risiko yang paling berperan dalam terjadinya sepsis
neonatorum adalah khorioamnionitis klinis, febris dan koloni
kuman Streptokokus Grup Beta. Apabila pendekatan faktor
risiko dipakai dalam penatalaksanaan pasien KPD maka subjek
penelitian dengan 1 faktor risiko didapatkan pada 51,3%.
SARAN
Perlu uji klinis pemberian antibiotika profilaksis kasus
KPD pada seluruh kasus dibandingkan dengan pemberian
antibiotika profilaksis hanya pada kelompok dengan faktor
risiko sesuai dengan rekomendasi ACOG/AAP. Pada kasus
risiko tinggi infeksi neonatus seperti kasus dengan khorioamnionitis klinis, di samping pemberian antibiotika yang
mencakup kuman Gram positif (ampisilin atau penisilin) perlu
ditambahkan obat yang mencakup kuman Gram negatif
misalnya gentamisin.

KEPUSTAKAAN
1. Monintja HE. Beberapa masalah perawatan intensif neonatus. FKUI,
Jakarta 1995.: 217-29
2. Gjoni M. Preterm premature rupture of the membranes. Matweb Network
1998:1-6
3. Seaward P, Hannah M, Myhr T, Farine D, Ohlsson A, Wang E.
International multicenter term PROM study. Evaluation of predictors of
neonatal infection in infant born to patients with premature rupture of
membranes. Am J Obstet Gynecol. 1998;179: 635-9
4. Benitz W, Gould JB, Druzin ML. Risk factors for early onset group B
streptococcal sepsis : Estimation of odds ratio by critical literature review.
Pediatrics 1999a;103 : 72-7
5. Bernstein PS. Reduction of early-onset, neonatal group B streptococcal
sepsis. The American College of Obstetricians and Gynecologists 48th
Annual Meeting 2000: 1-5
6. Benitz W, Gould JB, Druzin ML. Antimicrobial prevention of early onset
group B Streptococcal sepsis : Estimation of odds ratios by critical
literature review. Pediatrics 1999b;103 : 78-99
7. Towers CV, Rumney P, Minkiewicz S, Asrat T, Incidence of intrapartum
marternal-perinatal risk factors for identifying neonatus at risk for early
onset neonatal sepsis : A prospective study. Am J Obstet Gynecol. 1999;
181 : 1197-202

Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 17

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Dampak Infeksi Genital Terhadap


Persalinan Kurang Bulan
Sofie Rifayani Krisnadi
Bagian Obstetri Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Bandung, Jawa Barat, Indonesia

PENDAHULUAN
Persalinan kurang bulan (PKB persalinan prematur)
kejadiannya masih tinggi, baik di negara maju maupun di
negara yang sedang berkembang; dan bayi kurang bulan
(prematur) merupakan penyumbang tertinggi terhadap angka
kematian bayi baru lahir.
Pencegahan persalinan kurang bulan umumnya sulit dan
tidak efektif, antara lain karena etiologinya multifaktor, seperti
status sosioekonomi, nutrisi, konstitusi, imunologi dan
mikrobiologi di samping penyebab yang terkait dengan
komplikasi obstetri (perdarahan antepartum, hipertensi pada
kehamilan atau komplikasi medis lainnya).(1)
Banyak penelitian yang mengaitkan kejadian PKB dengan
infeksi, terutama akibat korioamnionitis pada kejadian ketuban
pecah dini (KPD). KPD meningkatkan risiko bayi terinfeksi,
sehingga memperberat masalah akibat kurang bulannya
(ketidak matangan paru, hipotermi, sindrom gawat nafas dan
lain-lain). KPD atau korioamnionitis tanpa KPD sering
dihubungkan dengan infeksi urogenital. Pada kehamilan
normal cairan amnion steril; adanya mikroorganisme
intraamnion berhubungan dengan kejadian PKB.(4)
Tabel 1. Microorganisms isolated from the amniotic cavities of women
with preterm labor.(3)
Genital mycoplasms
Ureaplasma urealyticum
Mycoplasma hominis
Aerobes
Group B streptococci
Enterococci
Streptococcus viridans
Gardnerella vaginalis
Hemophilus influenza
Pseudomonas species
Lactobacilli
Coliforms
Corynebacterium
Moraxella
Staphylococci

Acinetobacter wolffi
Bacillus cereus
Capnocytophaga species
Diphtheroids
Enterobacter cloacae
Anaerobes
Fusobacterium species
Veillonella parvula
Peptostreptococcus species
Propionobacterium species
Peptococcus species
Bacteroides species
Neisseria species
Yeasts
Candida species

18 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006

Dari sekian banyak faktor penyebab PKB, infeksi


merupakan penyebab sekitar 40% PKB(2) dan paling dapat
dicegah dan diobati untuk menurunkan kejadian PKB. Karena
ketuban pecah dini (KPD) merupakan faktor sangat penting
terhadap kejadian infeksi, maka seyogyanya pemberian
antibiotika dilakukan sebelum terjadi KPD(5) Pendapat ini
masih diperdebatkan sampai saat ini terutama pada PKB
dengan selaput ketuban intak.(6-7)
Infeksi urogenital yang dianggap berpengaruh terhadap
kejadian KPD adalah:
1. Bakteriuri tanpa gejala(8,9)
2. Vaginosis bakterial
3. Trikomoniasis
4. Servisitis Gonorrhoeae
5. Infeksi Chlamydia trachomatis
BAKTERIURI TANPA GEJALA (asymptomatic bacteriuria)
Bakteriuri tanpa gejala didefinisikan sebagai terdeteksinya
> 100.000 koloni satu spesies bakteri per ml urin yang dikultur
dari sampel midstream. Kejadiannya pada ibu hamil 2-7 %.(9)
Bakteri yang tersering dapat diisolasi adalah Escherichia coli.
Kehamilan sendiri tidak meningkatkan kejadian bakteriuri
tanpa gejala, akan tetapi pielonefritis akut terjadi pada 20-40%
ibu hamil dengan bakteriuri tanpa gejala yang tidak diobati.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa kejadian PKB lebih
banyak pada ibu dengan bakteriuri dibandingkan dengan pada
ibu hamil tanpa bakteriuri. Sekitar 40-80% komplikasi
kehamilan yang disebabkan oleh pielonefritis akut dapat
dicegah dengan mengobati bakteriuri tanpa gejala; oleh karena
itu mengobati bakteriuri tanpa gejala dapat menurunkan risiko
PKB.
Penyebab lain bakteriuri adalah Streptokokus Grup Beta
(GBS) yang sering berhubungan dengan kolonisasi GBS di
daerah urogenital. The Center for Disease Control and
Prevention (CDC) merekomendasikan agar ibu hamil dengan
bakteriuri GBS diterapi pada saat diagnosis untuk mengurangi
kemungkinan PKB dan pada saat persalinan untuk mencegah

infeksi GBS pada neonatus. Setelah pengobatan selesai, biakan


urin harus diulang untuk meyakinkan eradikasi GBS; jika
masih positif berarti tergolong bakteriuri persistent atau
recurrent. Untuk ini diberi pengobatan supresif 100 mg
nitrofurantoin per hari p.o. sampai bayi lahir.(10)
VAGINOSIS BAKTERIAL (BV-Bacterial vaginosis)(11-18)
Suatu keadaan karakteristik yang ditandai oleh perubahan
ekosistem vagina, yang ditunjukkan dengan berkurangnya
Laktobasili, sedangkan beberapa bakteri fakultatif anaerob
bertambah dengan mencolok yakni Mobiluncus species,
Prevotella species, Gardnerella vaginalis, Mycoplasma
hominis dan Ureaplasma urealyticum.
Kejadiannya pada ibu hamil sekitar 15-20%(13) keadaan ini
merupakan faktor risiko persalinan kurang bulan spontan,
ketuban pecah dini serta infeksi pasca salin/pasca operasi.
Sekitar 15-40% penderita BV tidak menunjukkan gejala klinis,
selebihnya mengeluhkan keluarnya duh tubuh vagina berbau
amis.
Untuk praktisi klinik, diagnosis ditegakkan dengan kriteria
Amsel, yakni apabila ada tiga dari empat kriteria di bawah ini :
1. Cairan vagina homogen, putih keabuan atau seperti susu.
2. Clue cells (terdapat pada > 20% epitel sel vagina pada
pemeriksaan mikroskop dengan pembesaran 400x).
3. pH vagina >4.5
4. Bau amis sebelum atau setelah penambahan 10% KOH.
Di Indonesia, kejadian BV dalam kehamilan lebih tinggi
dari penyakit infeksi dalam kehamilan lainnya (bakteriuri tanpa
gejala, N. gonorrhoeae, C.trachomatis dan T. vaginalis) dan
keberadaannya meningkatkan kejadian ketuban pecah
dini/KPD dan persalinan kurang bulan/PKB. Secara teoritis
pengobatan BV sangat potensial dapat menurunkan kejadian
KPD dan PKB.(18)
Pengobatan BV telah banyak dilakukan. McGregor
memakai krim klindamisin. Metronidazol oral terbukti
menurunkan kejadian PKB dari 39% menjadi 18% (Morales,
dikutip oleh McGregor, 2000). Hauth (1995) memakai
metronidazol oral digabung dengan eritromisin, berhasil
menurunkan kejadian PKB. Penelitian berikutnya yang
memakai klindamisin oral dan metronidazol oral membuktikan
penurunan kejadian PKB, tetapi Joesoef di Indonesia
mendapatkan angka kejadian BBLR sedikit meningkat di
kelompok terapi (dibanding plasebo).
INFEKSI TRICHOMONAS VAGINALIS
Infeksi protozoa ini merupakan PMS yang banyak
ditemukan, namun dapat diobati dengan baik. Kejadiannya
pada ibu hamil di Australia berkisar sebanyak 25%, di
Indonesia tidak ditemukan data. Diagnosis ditegakkan pada
saat Paps smear rutin wanita hamil atau dengan preparat basah
pada ibu hamil dengan keluhan. Trikomoniasis dalam
kehamilan dapat menyebabkan bayi terinfeksi saat persalinan
dan dapat menyebabkan demam pada masa neonatal.(19)
Cochrane review menyatakan dampak trikomoniasis terhadap
hasil kehamilan, baik berupa KPD atau PKB belum jelas.(20)
Gejala yang timbul berupa duh vaginal berwarna hijau
kekuningan, berbau busuk, gatal, dan nyeri saat berkemih atau

saat bersanggama.(21) Pengobatan metronidazol pada ibu hamil


tanpa gejala, gagal menurunkan angka kejadian PKB. Hal ini
menggaris bawahi perlunya pengobatan trikomoniasis sebelum
kehamilan.(19) Metronidazol cukup efektif, dosis tunggal
biasanya diberikan hanya pada kehamilan trimester 2 atau 3.
Efektifitas pengobatan akan meningkat jika pasangan seksual
juga diobati.
SERVISITIS GONOROIKA
Neisseria gonorrhoeae dapat ditransmisikan dari ibu ke
bayi pada saat persalinan, mengakibatkan oftalmia gonokokal
atau infeksi sistemik pada neonatus. Servisitis N.gonorrhoeae
juga meningkatkan kejadian PKB meskipun tidak ada
penelitian plasebo-kontrol (karena melanggar etik). Keadaan
ini juga dapat meningkatkan kejadian endometritis dan sepsis
pasca salin.
Gejala servisitis gonoroika mirip klamidiasis (sering tanpa
gejala), juga gejala sisanya; servisitis gonoroika lebih sering
bergejala daripada klamidiasis. Diagnosis ditegakkan dengan
melakukan apus serviks (diplokokus intraseluler) dan kultur
atau PCR (Polymerase chain reaction). Tes resistensi/uji
kepekaan
antibiotika
dilakukan
bersamaan
dengan
pengambilan apus serviks. Pengobatan gabungan amoksisilin
dengan probenesid unggul dibandingkan dengan spektinomisin
(OR 2.40, 95%CI 0.71-8.12), juga jika dibandingkan dengan
seftriakson (OR 2.40, 95%CI 0.71-8.12); tetapi seftriakson
unggul dibandingkan dengan cefixime (OR 1.22, 95%CI 0.169.04). Penelitian ini dilakukan pada 346 ibu hamil.(22) Antibiotik
yang diberikan hendaknya juga dapat meliputi pengobatan
untuk klamidia, karena sering terjadi ko-infeksi.22
INFEKSI CHLAMYDIA TRACHOMATIS
Infeksi Chlamydia trachomatis (PMS) biasanya tidak
bergejala, dapat menyebabkan servisitis, endometritis dan
radang panggul dengan gejala sisa faktor tuba (infertilitas atau
kehamilan ektopik).
Diagnosis ditegakkan dengan PCR (Polymerase chain
reaction) DNA probe assay atau uji cepat dengan
immunofluorescence dan
enzyme immunoassay langsung
(dapat dilakukan sendiri dengan apus serviks).(24) Pengobatan
dengan amoksisilin sama efektifnya dengan eritromisin, bahkan
lebih dapat ditolerir.(25) Klindamisin dan azithromisin hanya
digunakan bila amoksisilin atau eritromisin tidak dapat
diberikan.
Pengobatan mutakhir adalah dengan azitromisin. Uji klinik
membuktikan bahwa dosis tunggal per oral preparat ini setara
efektifitasnya dengan doksisiklin 100 mg dua kali sehari
selama tujuh hari; keduanya dapat mencapai keberhasilan
terapi 95%. Azitromisin juga efektif untuk non specific
urethritis pada ibu hamil. Pengobatan yang tidak sempurna
menyebabkan radang panggul pasca salin, nyeri panggul
kronis, infertilitas dan kehamilan ektopik. Pemberian
antibiotika dalam kehamilan umumnya ditujukan untuk
prevensi morbiditas dan mortalitas perinatal pada ibu dan janin.
Pada ancaman persalinan kurang bulan (PKB) harus dicari
kemungkinan penyebab infeksi. Tabel 2 menunjukkan
antibiotika yang dianjurkan oleh CDC.

Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 19

Tabel 2 . Jenis antibiotika yang direkomendasikan dalam kehamilan(21)


Jenis infeksi

Asymptomatic
bacteriuria

Neisseria
gonorrhoeae

Bacterial
vaginosis

Chlamydia
trachomatis

Trichomonas
vaginalis

2.

Jenis antibiotika

Pasangan seksual

3.

Amoksisilin 250 mg p.o. 3 kali


sehari, selama 3 sampai 7 hari; atau
Nitrofurantoin 100 mg p.o. 2 kali
sehari, selama 3 sampai 7 hari;
atau
Cephalexin 250 mg p.o. 4 kali
sehari selama 3 sampai 7 hari.
Ceftriaxone 125 mg i.m. dosis
tunggal; atau
Cefixime 400 mg p.o. dosis
tunggal; atau
Erythromycin basa 500 mg 3 kali
sehari, selama 7 hari; atau
Azithromycin 1 gram p.o. dosis
tunggal.
Clindamycin 300 mg p.o. 2 kali
sehari selama 7 hari; atau
Metronidazole 250 mg 3 kali
sehari selama 7 hari; atau
Metronidazole spt tsb diatas;
ditambah Erythromycin base 333
mg p.o. 3 kali sehari selama 14
hari.
Erytrhromycin base 500 mg p.o. 4
kali sehari selama 7 hari; atau
Amoxycillin 500 mg p.o. 3 kali
sehari selama 7 hari; atau
Azythromycin 1 gram p.o. dosis
tunggal
Metronidazole 2 gram p.o. dosis
tunggal (tidak dianjurkan pada
trimester pertama); atau
Metronidazole 500 mg p.o. 2 kali
sehari selama 7 hari.

Pengobatan rutin
pasangan seksual
tidak dianjurkan

4.
5.

6.
Rujuk
pasangan
seksual untuk diagnosis dan terapi

7.

8.
Pengobatan rutin
pasangan seksual
tidak dianjurkan

9.
10.

11.
Rujuk
pasangan
seksual untuk diagnosis dan terapi

Pasangan seksual
harus diobati

Pada kehamilan Chlamydia menyebabkan amnionitis dan


endometritis postpartum(23). Transmisi dari ibu ke anak dapat
terjadi saat persalinan dan dapat menyebabkan oftalmia
dan/atau pneumonitis pada neonatus. Selain infeksi genital,
infeksi maternal seperti tifoid, pielonefritis, apendisitis,
pneumoni atau infeksi lain dengan demam tinggi dapat
menyebabkan PKB terutama karena toksin mikroorganismenya.
KESIMPULAN
Persalinan kurang bulan (PKB) merupakan masalah
obstetri; sampai saat ini belum ada cara pencegahan atau
pengobatan yang efektif. Penelitian menunjukkan hubungan
kejadian PKB dengan infeksi, terutama infeksi urogenital pada
ibu hamil. Uji klinis tidak menunjukkan manfaat nyata
pemberian antibiotika rutin pada PKB tanpa ketuban pecah
dini; kecuali untuk eradikasi Streptokokus grup B, vaginosis
bakterial dan penyakit menular seksual lainnya. Oleh karena itu
pemeriksaan infeksi urogenital pada ibu hamil perlu dilakukan
secara rutin.

12.
13.

14.
15.
16.
17.
18.

19.

20.

21.

22.

23.

24.

25.
KEPUSTAKAAN
1.

Romero R, Suplelveda W, Baumann P et al. The preterm labor syndrome:


biochemical, cytologic, immunologic, pathologic, microbiologic, and
clinical evidence that preterm labor is a heterogeneous disease. Am J
Obstet Gynecol 1993, 168:288.

20 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006

26.

Gibbs R, Eschenbach D. Use of antibiotics to prevent preterm birth. Am J


Obstet Gynecol 1997, 177:37580.
Mertz HL, Ernest JM..Antibiotics and Preterm Labor. Current Womens
Health Reports 2001, 1:206.
Mazor M, Chaim W, Maymon E et al. The role of antibiotic therapy in
the prevention of prematurity. Clin Perinatol 1998, 25:65985.
Hay PE, Lamont RF, Taylor-Robinson D, Morgan DJ, Ison C, Pearson J.
Abnormal bacterial colonisation of the genital tract and subsequent
preterm delivery and late miscarriage. BMJ 1994; 308:295-8.
Mercer B, Miodovnik M, Thurnau G et al. Antibiotic therapy for
reduction of infant morbidity after preterm premature rupture of the
membranes. JAMA 1997, 278:989.
King J, Flenady V. Antibiotics for preterm labor with intact membranes.
In:A comprehensive review of all clinical trials to date examining the use
of antibiotics in patients with preterm labor and intact membranes. The
Cochrane Database of Systematic Reviews.Oxford: The Cochrane
Library; 2001.
Romero R, Oyarzun E, Mazor M, Sirtori M, Hobbins, JC, Bracken M.
Meta-analysis of the relationship between asymptomatic bacteriuria and
preterm delivery/low birth weight. Obstet Gynecol 1989;73:576-82.
Kinningham RB. Asymptomatic bacteriuria in pregnancy. Am Fam
Physician 1993;47:1232-8.
Patterson TF, Andriole VT. Detection, significance, and therapy of
bacteriuria in pregnancy. Update in the managed health care era. Infect
Dis Clin North Am 1997;11:593-608.
Eschenbach DA, Hillier S, Critchlow C, Stevens C, DeRouen T,Holmes
KK. Diagnosis and clinical manifestations of bacterial vaginosis. Am J
Obstet Gynecol 1988;158:819-28.
Spiegel CA. Bacterial vaginosis. Clin Microbiol Rev 1991;4:485-502.
Eschenbach DA, Gravett MG, Chen KC, Hoyme UB, Holmes KK.
Bacterial vaginosis during pregnancy: an association with prematurity
and postpartum complications. Scand J Urol Nephrol Suppl 1984;86:21322.
Eschenbach DA. Bacterial vaginosis and anaerobes in obstetric
gynecologic infection. Clin Infect Dis 1993;16 Suppl 4:S282-7.
McGregor JA, French JI. Bacterial vaginosis in pregnancy. Obstet
Gynecol Surv 2000;55:S1-19.
Ugwumadu AH. Bacterial vaginosis in pregnancy. Curr Opin Obstet
Gynecol 2002;14:115-18.
Gibbs RS. Chorioamnionitis and bacterial vaginosis. Am J Obstet
Gynecol 1993;169:460-62.
Joesoef MR, Hillier SL, Wiknjosastro G, Sumampouw H et al.
Intravaginal clindamycin treatment for bacterial vaginosis: effects on
preterm delivery and low birth weight. Am. J. Obstetr.
Gynecol. 1995;173:1527-31.
Klebanoff MA, Carey JC, Hauth JC, et al. Failure of metronidazole to
prevent preterm delivery among pregnant women with asymptomatic
Trichomonas vaginalis infection. N Engl J Med 2001; 345: 487-93.
Glmezoglu AM. Interventions for trichomoniasis in pregnancy. The
Cochrane Database of Systematic Reviews 2002, Issue 3. Art. No.:
CD000220. DOI: 10.1002/14651858.CD000220.
Centers for Disease Control and Prevention. 1998 Guidelines for
treatment of sexually transmitted diseases. MMWR 1998; 47(No. RR-1):
20-26, 52-74, 88-94
Brocklehurst P. Antibiotics for gonorrhoea in pregnancy. The Cochrane
Database of Systematic Reviews 2002, Issue 2. Art. No.: CD000098.
DOI: 10.1002/14651858.CD000098
Sawhney MPS, Batra RB. Chlamydia trachomatis seropositivity during
pregnancy. Indian J Dermatol Venereol Leprol November-December
2003; 69 Issue 6,394-95.
Ostergaard L, Andersen B, Moller JK, Olesen F. Home sampling versus
conventional swab sampling for screening of Chlamydia trachomatis in
women: a cluster-randomized 1-year follow-up study. Clin Infect Dis
2000; 31: 951-57.
Brocklehurst P, Rooney G. Interventions for treating genital chlamydia
trachomatis infection in pregnancy. The Cochrane Database of Systematic
Reviews
1998,
Issue
4.
Art.
No.:
CD000054.
DOI:
10.1002/14651858.CD000054.
Martin DH, Mroczkowski TF, Dalu ZA et al. A controlled trial of a single
dose of azithromycin for the treatment of chlamydial urethritis and
cervicitis. The Azithromycin for Chlamydial Infections Study Group. N
Engl J Med 1992; 327: 21-925.

HASIL PENELITIAN

Sulbaktam / Ampisilin
sebagai Antibiotika Profilaksis
pada Seksio Sesarea Elektif
di RSIA Rosiva Medan
R. Haryono Roeshadi
Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Medan, Indonesia

ABSTRAK
Penelitian dilakukan di RSIA Rosiva Medan melibatkan 60 orang ibu hamil yang akan
menjalani seksio sesarea elektif untuk membandingkan manfaat Sulbaktam / Ampisilin sebagai
antibiotika profilaksis (dosis tunggal) dan terapeutik (multidosis).
Penelitian dilakukan dengan rancangan klinik acak (Randomized Clinical Trial): penderita
dibagi 2 kelompok masing-masing 30 kasus mendapat antibiotika dosis tunggal dan 30 kasus
lainnya mendapat antibiotika multidosis. Tidak terdapat perbedaan pada kedua kelompok
penelitian, semua kasus sembuh sempurna, tidak terdapat tanda infeksi.
Pada seksio sesarea yang bersih dan didukung fasilitas yang baik dan aseptis, disarankan
cukup menggunakan antibiotika profilaksis dosis tunggal.

PENDAHULUAN
Meskipun diktum Once a caesarean always a caesarean di
Indonesia tidak dianut, tetapi sejak dua dekade terakhir ini telah
terjadi perubahan kecenderungan sectio caesarea (SC) di
Indonesia. Angka kejadian SC sejak tahun 1980 meningkat; di
RS Cipto Mangunkusumo Jakarta SC pada tahun 1981 sebesar
15,35% meningkat menjadi 23,23% pada tahun 1986.
Peningkatan ini juga terjadi di seluruh dunia. Di Amerika
Serikat angka kejadian SC meningkat dari 5,5% pada tahun
1970 menjadi 15% pada tahun 1978 dan 24-30% saat ini.
Peningkatan ini diduga disebabkan karena teknik dan
fasilitas operasi bertambah baik, operasi berlangsung lebih
asepsis, teknik anestesi bertambah baik, kenyamanan pasca
operasi dan lama rawat yang bertambah pendek. Di samping itu
morbiditas dan mortalitas maternal dan perinatal dapat
diturunkan secara bermakna. Peningkatan angka kejadian SC
ini juga dipengaruhi oleh perubahan penanganan persalinan
terutama dengan kehadiran partograf, penanganan persalinan
aktif dan penanganan persalinan kehamilan risiko tinggi.

Dibandingkan dengan persalinan pervaginam, biaya SC


jauh lebih tinggi. Di Amerika Serikat biaya SC lebih kurang 22,5 kali biaya persalinan pervaginam. Sedangkan di Medan
lebih kurang 2,5-3 kali biaya persalinan pervaginam.Salah satu
komponen biaya dalam SC adalah penggunaan antibiotika.
Penggunaan antibiotika profilaksis dosis tunggal diharapkan
dapat menghemat biaya antibiotika sampai 75%. Dengan
pemberian antibiotika dosis tunggal -1 jam sebelum operasi,
diharapkan kadar hambat maksimal dalam darah atau di daerah
pembedahan akan dapat mencegah penyebaran kuman
nosokomial, mengingat sterilisasi alat, bahan dan kamar bedah
di beberapa rumah sakit belum memadai. Kadang-kadang hal
tersebut di atas diperburuk oleh keadaan umum dan keadaan
gizi pasien yang rendah.
Pada penelitian ini akan dikaji manfaat penggunaan
Sulbaktam/Ampisilin sebagai antibiotika profilaksis dosis
tunggal yang diberikan -1 jam sebelum operasi dibandingkan
dengan pemberian multidosis yang dimulai segera setelah
operasi selesai dan diulangi setiap 12 jam selama 3 hari.

Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 21

Sulbaktam/Ampisilin keduanya merupakan derivat


Penisilin berspektrum luas terhadap bakteri Staphylococcus,
Streptococcus, H. influenzae, Bacteroides fragilis, E.coli,
Klebsiella sp. Neisseria meningitis, Neisseria gonorrhoe,
Proteus sp. dan Enterobacter sp.
BAHAN DAN CARA
Penelitian dilakukan di RSIA Rosiva Medan atas penderita
yang akan menjalani seksio sesarea elektif selama periode Juli
sd. Nopember 2000. Rancangan penelitian berupa rancangan
uji klinik acak (Randomized Clinical Trial) membandingkan
pemberian antibiotika Sulbaktam/Ampisilin multidosis pasca
bedah. Penderita diseleksi sesuai dengan kriteria penerimaan;
semua penderita yang memenuhi kriteria diminta kesediaannya
untuk ikut serta dalam penelitian dan diwawancara untuk
pengisian data klinik. Diamati dan dicatat jenis operasi, lama
operasi dan komplikasi yang terjadi.
Penderita dibagi menjadi dua kelompok sesuai dengan
kartu random sampling. Pada kelompok profilaksis diberikan
antibiotika Sulbaktam/Ampisilin 1,5 gram dosis tunggal, -1
jam sebelum operasi dimulai, sedangkan pada kelompok
pembanding diberikan Sulbaktam/Ampisilin multidosis dimulai
dengan dosis 1,5 gram setelah operasi selesai dan diulangi
setiap 12 jam selama 3 hari.

Tidak ada perbedaan bermakna mengenai sebaran umur,


berat badan, kadar Hb dan jumlah kehamilan penderita pada
kedua kelompok (p > 0,05) (Tabel 1). Umumnya penderita
dalam masa reproduksi sehat dan gizi yang baik; umur rata-rata
29-30 tahun, jumlah kehamilan rata-rata 2, kadar Hb ratarata : 12,5 g% dan berat badan rata-rata 72 kg. Keadaan ini ikut
mempengaruhi morbiditas penderita pasca seksio sesarea.(7)
Tabel 2. Sebaran kasus berdasarkan indikasi seksio sesarea elektif
kelompok dosis tunggal dan kelompok multidosis.

Indikasi
SC Ulangan
SC Pertama :
Letak Lintang
Letak Sungsang
F.P.D
Anak Berharga
Gemelli
Plasenta Previa
Jumlah

Dosis
tunggal
11
19

Multi
dosis

Jumlah

11
19

22
38

1
6
6
3
1
2
30

2
7
5
4
0
1
30

3
13
11
7
1
3
60

%
36,7
63.3
5,0
21,7
18,3
11,6
1,7
5,0
100,0

Tabel 2 memperlihatkan bahwa seksio sesarea ulangan


yang dilakukan pada 22 (36,7%) penderita, merupakan indikasi
tersering, 7 kasus menjalani seksio sesarea yang ke tiga.
Indikasi anak berharga pada 7 kasus; 5 kasus di antaranya telah
berumah tangga lebih dari 5 tahun dan 2 kasus lainnya
Kriteria Penerimaan
primigravida pada usia di atas 35 tahun. Tiga kasus dengan
1. Bersedia ikut dalam penelitian.
2. Tidak menderita komplikasi kehamilan yang memerlukan plasenta previa, dilakukan seksio sesarea elektif pada
penanganan khusus seperti preeklampsia, diabetes melitus, kehamilan di atas 37 minggu dan belum mengalami
perdarahan. Manfaat Sulbaktam / Ampisilin pada penelitian ini
penyakit jantung, dan penyakit ginjal.
dapat dilihat dari tanda infeksi dan kenyamanan pasca bedah.
3. Kehamilan aterm, lebih dari 37 minggu.
Adanya infeksi pasca bedah yang berupa endometritis dan
infeksi luka bedah dapat dinilai dari tanda-tanda klinis berupa
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada periode Juli 2000 sd. Nopember 2000 di RSIA kenaikan suhu tubuh lebih dari 38C, subinvolusi uteri, uterus
Rosiva Medan terdapat 905 persalinan, 239 (26%) kasus di lembek dan nyeri tekan, lokhia berbau atau adanya eritema
antaranya dengan seksio sesarea. Yang diikutsertakan dalam dengan cairan serous, serosanguinus atau pus, adanya indurasi
penelitian ini sebanyak 60 kasus, masing-masing 30 kasus atau infiltrat disertai nyeri tekan, kadang-kadang luka operasi
memperoleh antibiotika Sulbaktam/Ampisilin dosis tunggal terbuka. Sedangkan kenyamanan operasi dapat dinilai dari
lama operasi, keadaan umum dan keadaan penyakit pasca
dan 30 lainnya memperoleh multidosis.
bedah, lama puasa dan immobilisasi, adanya komplikasi dan
lama rawat di rumah sakit. Pada penelitian ini, semua kasus
Tabel 1. Hasil tes kemaknaan sebaran umur, berat badan, kadar Hb
dan jumlah kehamilan pada kelompok dosis tunggal dan
tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi, luka operasi sembuh
kelompok multidosis pemberian antibiotika Sulbaktam /
sempurna. Pasca bedah tidak perlu puasa, mobilisasi dilakukan
Ampisilin.
24 jam setelah pembedahan dan lama rawat antara 3 sampai 5
hari, semua pasien dipulangkan tanpa komplikasi.
Dosis tunggal
Multidosis
Kemaknaan
Pada penelitian ini semua kasus baik kelompok
Sebaran
profilaksis (dosis tunggal) ataupun kelompok
Mean
SD
Range
Mean
SD
Range
t
P
multidosis:
1. Keadaan umum dan keadaan gizinya baik; berat
Umur
29,50
4,03
21 38
30,17
3,98
22 39
0,647
0,26
badan terendah 50 kg dan berat badan rata-rata
Berat
72,00
7,64
53 90
72,50
7,11
50 88
0,263
0,40
72 kg. Di samping itu kadar Hb terendah 10 g
badan
% dan kadar Hb rata-rata 12,5 g %.
2.
Kemungkinan adanya infeksi subklinis kecil,
Kadar Hb
12,40
0,70
10,5 -14,5
12,43
0,73
10,0 14,5
0,160
0,07
karena semua kasus dipersiapkan dengan baik dan
penderita dengan ketuban pecah dini tidak
Jumlah
1,97
0,98
14
0,91
0,91
14
0,246
0,18
kehamilan
dimasukkan dalam penelitian.
3. Lama operasi berkisar antara 30-60 menit.

22 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006

Di samping pemberian antibiotika dosis tunggal dan


multidosis, keadaan pasien seperti di atas tampaknya turut
berpengaruh dalam penyembuhan luka operasi, seperti yang
dinyatakan oleh beberapa peneliti; Younis MN dkk.
menemukan perbedaan bermakna angka kekerapan infeksi jika
kadar Hb < 9 g % dibandingkan dengan kadar Hb 10 g %(7)
Feijgin dkk. menemukan jika lama operasi lebih dari 4 jam
maka kekerapan infeksi pasca bedah akan meningkat dua kali
lipat.(3) Sedangkan Unalp K menemukan jika antibiotika
profilaksis diberikan pada kasus yang sudah mengalami infeksi
subklinis maka kekerapan infeksi pasca bedah akan
meningkat.(6)
Pada penelitian ini dijumpai 2 kasus dengan reaksi alergi
terhadap pemberian Sulbaktam/Ampisilin. Kasus pertama
mengalami hidung tersumbat, konjungtiva merah, telapak
tangan dan kaki eritema yang muncul segera setelah operasi
berlangsung dan hilang dalam 48 jam setelah pemberian
antihistaminika dan kortikosteroid. Sedangkan pada kasus ke
dua reaksi alergi muncul setelah 24 jam pasca bedah berupa
eritema hampir pada seluruh tubuh. Pemberian Sulbaktam /
Ampisilin multidosis kemudian dihentikan, penderita sembuh
setelah diberi antihistaminika dan kortikosteroid.

SARAN
Pada seksio sesarea yang bersih dan didukung fasilitas dan
bahan-bahan kamar bedah yang aseptis, disarankan cukup
menggunakan antibiotika profilaksis dosis tunggal.

KEPUSTAKAAN
1.

2.
3.
4.

KESIMPULAN
1. Keberhasilan
penggunaan
antibiotika
profilaksis
Sulbaktam / Ampisilin dipengaruhi oleh keadaan umum,
gizi, infeksi nosokomial, lama operasi, fasilitas dan bahanbahan aseptis di kamar bedah.
2. Dengan penggunaan antibiotika profilaksis, kebutuhan
antibiotika dapat dikurangi sampai 75 %.

5.
6.
7.

Achadiat CM, Wiknjosastro GH. Single dose prophylaxis of sulbactam /


ampicillin for non elective caesarean section. Proc. Seventh Annual
Meeting of Indonesia Society of Obstetrics and Gynecology, Surakarta,
1991.
Quililgan EJ. Caesarean Section : Modern Prospectives In Management
of High Risk Pregnancy, Ed. Queenan JT, Third Ed, Boston: Blackwell
Scient Publ, , 1994 Ch. 58 : 520-3.
Feijgin, Markous, Goshens S, Segal J, Arbely, Lang R. Antibiotic for
Caesarean Section : The case for true prophylaxis, Int. J. Gynecol &
Obstet, 1993 ; 43 : 257-61.
Rustam RP. Pemberian antibiotika profilaksis ampisilin dosis tunggal pra
bedah dan multidosis pasca bedah pada bedah sesar elektif. Tesis Bagian
Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran USU, September 1999.
Samil RS. Changing trends in caesarean section in Indonesia. Maj Obstetr
Ginekol Indon. 1988;14(2) : 72- 9.
Unalp K, Condon RE. Antibiotic prophylaxis for scheduled operation
procedure. Infect Dis Clin N Am. Sept 1992 : 613-24.
Younis MN, Hamed AF, Abdel MS, Edessy M. The febrile morbidity
score as a predictor of febrile morbidity following cesarean section. Int. J.
Gynecol Obstetr.1991 ; 35 : 225-9.

Virtue is the only thing necessary

Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 23

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Sindrom HELLP
John Rambulangi
Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia

ABSTRAK
Sindrom HELLP merupakan kumpulan tanda dan gejala : H untuk Hemolysis, EL untuk
Elevated Liver Enzymes, dan LP untuk Low Platelets. Patogenesis sindrom HELLP belum jelas.
Sampai sekarang tidak ditemukan faktor pencetusnya; kelihatannya merupakan akhir dari kelainan
yang menyebabkan kerusakan endotel mikrovaskuler dan aktivasi trombosit intravaskuler,
akibatnya terjadi agregasi trombosit dari selanjutnya kerusakan endotel. Peningkatan kadar enzim
hati diperkirakan sekunder dari obstruksi aliran darah hati oleh deposit fibrin pada sinusoid.
Trombositopeni dikaitkan dengan peningkatan pemakaian dan atau destruksi trombosit.
Kriteria diagnosis sindrom HELLP terdiri : Hemolisis, kelainan apus darah tepi, total bilirubin
> 1,2 mg/dl, laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L. Peningkatan fungsi hati, serum aspartat
aminotransferase (AST) > 70 U/L, laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L. Jumlah trombosit <
100.000/mm3.
Dua sistem klasifikasi digunakan pada sindrom HELLP. Klasifikasi pertama berdasarkan
jumlah kelainan yang ada. Klasifikasi kedua berdasarkan jumlah trombosit.
Pasien sindrom HELLP harus diterapi profilaksis MgSO4 untuk mencegah kejang, terapi
antihipertensi tambahan harus dimulai jika tekanan darah menetap > 160/110 mmHg.
Antihipertensi yang sering digunakan adalah hydralazine, labetalol dan nifedipin. Langkah
selanjutnya ialah mengevaluasi kesejahteraan bayi dengan menggunakan tes tanpa tekanan, atau
profil biofisik, biometri USG untuk menilai pertumbuhan janin terhambat. Terakhir, harus
diputuskan apakah perlu segera mengakhiri kehamilan. Amniosentesis dapat dilakukan pada
pasien tanpa risiko perdarahan. Pasien harus ditangani di unit perawatan intensif (ICU) dengan
pemantauan ketat terhadap semua parameter hemodinamik dan cairan untuk mencegah udem paru
dan atau kelainan respiratorik.
Angka kematian ibu dengan sindrom HELLP mencapai 1,1%. Angka kematian bayi berkisar
10-60%.
Kata kunci : Sindrom HELLP, patogenesis, diagnosis, penatalaksanaan.

PENDAHULUAN
Hemolisis, kelainan tes fungsi hati dan jumlah trombosit
yang rendah sudah sejak lama dikenal sebagai komplikasi dari
preeklampsi-eklampsi (Chesley 1978; Godlin 1982; Mc Kay
1972).(1,2,7) Godlin menamakan sindrom ini EPH Gestosis tipe
II, MacKennan dkk. menganggapnya sebagai suatu misdiagnosis preeklampsi,(2) sedangkan penulis lain menyebutkannya
sebagai bentuk awal preeklampsi berat, variasi unik dari
preeklampsi.(3) Pada 1982, Weinstein melaporkan 29 kasus
preeklampsi berat, eklampsi dengan komplikasi trombositopeni, kelainan sediaan apus darah tepi, dan kelainan tes
fungsi hati. Ia menyatakan bahwa kumpulan tanda dan gejala

24 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006

ini benar-benar terpisah dari preeklampsi berat dan membentuk


satu istilah: Sindrom HELLP;H untuk Hemolysis, EL untuk
Elevated Liver Enzymes, dan LP untuk Low Platelet.(1,3,5)
Sibai dkk. menunjukkan adanya perbedaan nyata dalam
hal terminologi, insidens, penyebab, diagnosis dan
penatalaksanaan sindrom ini.(1,3) Insidens dilaporkan sekitar
2-12%, kisaran ini menggambarkan perbedaan kriteria
diagnosis dan metode yang digunakan. Ada perbedaan besar
mengenai saat terjadi, tipe, dan derajat kelainan laboratorium
yang digunakan untuk mendiagnosis sindrom ini.(1,3,5,7) Ada
yang mendiagnosis jika pasien saat masuk sudah ada kelainan,
ada yang jika kelainannya timbul selama penanganan

konservatif; yang lain jika kelainannya muncul post partum.(3)


Bukti adanya hemolisis telah dilaporkan pada beberapa studi
dan definisi trombositopeni berkisar dari <75.000/mm3 sampai
< 150.000/mm3. Belum ada konsensus mengenai peranan tes
fungsi hati untuk mendiagnosis sindrom HELLP. Banyak
penulis mendukung agar nilai laktat dehidrogenase (LDH) dan
bilirubin dimasukkan untuk mendiagnosis sindrom ini.(1,3)

lain juga mempunyai observasi serupa (Mc Kenna, Dover dan


Brame 1983, Thiagarajah dkk 1984, Weinstein 1985).(1)
Sindrom ini biasanya muncul pada trimester ke tiga, walaupun
pada 11% pasien muncul pada umur kehamilan <27 minggu; di
masa antepartum pada sekitar 69% pasien dan di masa
postpartum pada sekitar 31%. Pada masa post partum, saat
terjadinya khas, dalam waktu 48 jam pertama post partum.(4)

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS


Patogenesis sindrom HELLP sampai sekarang belum jelas.
Yang ditemukan pada penyakit multisistem ini adalah kelainan
tonus vaskuler, vasospasme, dan kelainan koagulasi. Sampai
sekarang tidak ditemukan faktor pencetusnya. Sindrom ini
kelihatannya merupakan akhir dari kelainan yang menyebabkan
kerusakan endotel mikrovaskuler dan aktivasi trombosit
intravaskuler; akibatnya terjadi vasospasme, aglutinasi dan
agregasi trombosit dan selanjutnya terjadi kerusakan endotel.
Hemolisis yang didefinisikan sebagai anemi hemolitik
mikroangiopati merupakan tanda khas.(2,4) Sel darah merah
terfragmentasi saat melewati pembuluh darah kecil yang
endotelnya rusak dengan deposit fibrin. Pada sediaan apus
darah tepi ditemukan spherocytes, schistocytes, triangular cells
dan burr cells.(4) Peningkatan kadar enzim hati diperkirakan
sekunder akibat obstruksi aliran darah hati oleh deposit fibrin di
sinusoid. Obstruksi ini menyebabkan nekrosis periportal dan
pada kasus yang berat dapat terjadi perdarahan intrahepatik,
hematom subkapsular atau ruptur hati.(4,5) Nekrosis periportal
dan perdarahan merupakan gambaran histopatologik yang
paling sering ditemukan.
Trombositopeni ditandai dengan peningkatan pemakaian
dan/atau destruksi trombosit.(4) Banyak penulis tidak
menganggap sindrom HELLP sebagai suatu variasi dari
disseminated intravascular coagulopathy (DIC), karena nilai
parameter koagulasi seperti waktu prothrombin (PT), waktu
parsial thromboplastin (PTT), dan serum fibrinogen normal.
Secara klinis sulit mendiagnosis DIC kecuali menggunakan tes
antitrombin III, fibrinopeptide-A, fibrin monomer, D-Dimer, 2
antiplasmin, plasminogen, prekallikrein, dan fibronectin.
Namun tes ini memerlukan waktu dan tidak digunakan secara
rutin. Sibai dkk. mendefinisikan DIC dengan adanya
trombositopeni, kadar fibrinogen rendah (fibrinogen plasma <
300 mg/dl) dan fibrin split product > 40 g/ml2. Semua pasien
sindrom HELLP mungkin mempunyai kelainan dasar
koagulopati yang biasanya tidak terdeteksi.(4)

Tabel 1. Faktor risiko

EPIDEMIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO


Sindrom HELLP terjadi pada 2-12% kehamilan.(1,3,5,7)
Sebagai perbandingan, preeklampsi terjadi pada 5-7%
kehamilan. Superimposed sindrom HELLP berkembang dari
4-12% wanita preeklampsi atau eklampsi. Tanpa preeklampsi,
diagnosis sindrom ini sering terlambat. Faktor risiko sindrom
HELLP berbeda dengan preeklampsi (Tabel 1).(4)
Dalam laporan Sibai dkk (1986), pasien sindrom HELLP
secara bermakna lebih tua (rata-rata umur 25 tahun)
dibandingkan pasien preeklampsi-eklampsi tanpa sindrom
HELLP (rata-rata umur 19 tahun). lnsiden sindrom ini juga
lebih tinggi pada populasi kulit putih dan multipara.(1,3,7) Penulis

Sindroma HELLP

Preeklampsi

Multipara
Usia ibu > 25 tahun
Ras kulit putih
Riwayat keluaran kehamilan yang
jelek

Nullipara
Usia ibu < 20 tahun atau > 40 tahun
Riwayat keluarga preeklampsi
Asuhan mental (ANC) yang minimal
Diabetes Melitus
Hipertensi Kronik
Kehamilan multipel

MANIFESTASI KLINIS
Pasien sindrom HELLP dapat mempunyai gejala dan
tanda yang sangat bervariasi, dari yang bernilai diagnostik
sampai
semua
gejala
dan
tanda
pada
pasien
preeklampsi-eklampsi yang tidak menderita sindrom
HELLP.(1,2,5)
Sibai (1990) menyatakan bahwa pasien biasanya muncul
dengan keluhan nyeri epigastrium atau nyeri perut kanan atas
(90%), beberapa mengeluh mual dan muntah (50%), yang lain
bergejala seperti infeksi virus. Sebagian besar pasien (90%)
mempunyai riwayat malaise selama beberapa hari sebelum
timbul tanda lain.(1,3,5,7)
Tabel 2. Perbedaan hasil laboratorium AFLP dan sindrom HELLP

Glukosa
Asam urat
Kreatinin
Trombcsit
Fibrinogen

AFLP
Rendah
Tinggi
Tinggi
Rendah atau normal
Rendah

Waktu Prothrombin (PT)

Memanjang

HELLP
Normal
Tinggi
Tinggi
Rendah atau normal
Normal sampai
meningkat
Normal

Waktu Parsial
Thromboplastin (PTT)

Memanjang

normal

Dalam laporan Weinstein, mual dan/atau muntah dan nyeri


epigastrium diperkirakan akibat obstruksi aliran darah di
sinusoid hati, yang dihambat oleh deposit fibrin intravaskuler.(1)
Pasien sindrom HELLP biasanya menunjukkan peningkatan
berat badan yang bermakna dengan udem menyeluruh. Hal
yang penting adalah bahwa hipertensi berat (sistolik 160
mmHg, diastolik 110 mmHg) tidak selalu ditemukan.
Walaupun 66% dari 112 pasien pada penelitian Sibai dkk
(1986) mempunyai tekanan darah diastolik 110 mmHg,
14,5% bertekanan darah diastolik 90 mmHg.(1,2)
Dalam laporan awal Weinstein (1952) atas 29 pasien,
kurang dari setengah (13 pasien) mempunyai tekanan darah
saat masuk rumah sakit 160/110 mmHg. Jadi sindrom
HELLP dapat timbul dengan tanda dan gejala yang sangat

Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 25

bervariasi, yang tidak bernilai diagnosis, dan dapat diikuti


dengan kesalahan pemberian obat dan pembedahan seperti
apendisitis, gastroenteritis, glomerulonefritis, pielonefritis dan
hepatitis virus.(1)
Perlemakan hati akut (AFLP) jarang terjadi tapi potensial
menjadi komplikasi yang fatal pada kehamilan trimester ke
tiga. Pada awalnya, perlemakan hati akut dalam kehamilan
sukar dibedakan dari sindrom HELLP. Pasien AFLP
mempunyai gejala khas berupa : mual, muntah, nyeri abdomen,
dan ikterus. Sindrom HELLP dan AFLP keduanya ditandai
dengan peningkatan tes fungsi hati, tapi pada sindrom HELLP
peningkatannya cenderung lebih besar. PT dan PTT biasanva
memanjang pada AFLP tapi normal pada sindrom HELLP
(Tabel 2). Pemeriksaan mikroskopik hati merupakan tes
diagnosis untuk menentukan AFLP. Panlobular microvesicular
fatty change (steatosis) difus derajat rendah merupakan
gambaran patognomonik AFLP. Penanganan AFLP meliputi
pengakhiran kehamilan segera, atasi hiperglikemi atau
koagulopati bila timbul.(1)
DIAGNOSIS
Tiga kelainan utama pada sindrorn HELLP berupa
hemolisis, peningkatan kadar enzim hati dan jumlah trombosit
yang rendah.(4) Banyak penulis mendukung nilai laktat
dehidrogenase (LDH) dan bilirubin agar diperhitungkan dalam
mendiagnosis hemolisis. Derajat kelainan enzim hati harus
didefinisikan dalam nilai standar deviasi tertentu dan nilai
normal di masing-masing rumah sakit. Di University of
Tennessee, Memphis, digunakan nilai potong > 3 SD.(1) (Tabel
3).(1-3,5,6)
Tabel 3. Kriteria diagnosis sindrom HELLP (University of Tennessee,
Memphis)
Hemolisis
- Kelainan apusan darah tepi
- Total bilirubin > 1,2 mg/dl
- Laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L
Peningkatan fungsi hati
- Serum aspartate aminotransferase (AST) > 70 U/L
- Laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L
Jumlah trombosit yang rendah
- Hitung trombosit < 100.000/mm3

DIAGNOSIS BANDING
Pasien sindrom HELLP dapat menunjukkan tanda dan
gejala yang sangat bervariasi, yang tidak bernilai diagnostik
pada preeklampsi berat. Akibatnya sering terjadi salah
diagnosis, diikuti dengan kesalahan pemberian obat dan
pembedahan.
Diagnosis banding pasien sindrom HELLP meliputi ( 2-5,7) :
- Perlemakan hati akut dalam kehamilan
- Apendistis
- Gastroenteritis
- Kolesistitis
- Batu ginjal
- Pielonefritis
- Ulkus peptikum
- Glomerulonefritis trombositopeni idiopatik
- Trombositipeni purpura trombotik

26 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006

Sindrom hemolitik uremia


Ensefalopati dengan berbagai etiologi
Sistemik lupus eritematosus (SLE)

KLASIFIKASI
Dua sistem klasifikasi digunakan pada sindrom HELLP.
Klasifikasi pertama berdasarkan jumlah kelainan yang ada.
Dalam sistem ini, pasien diklasifikasikan sebagai sindrom
HELLP parsial (mempunyai satu atau dua kelainan) atau
sindrom HELLP total (ketiga kelainan ada). Wanita dengan
ketiga kelainan lebih berisiko menderita komplikasi seperti
DIC, dibandingkan dengan wanita dengan sindrom HELLP
parsial. Konsekuensinya pasien sindrom HELLP total
seharusnya dipertimbangkan untuk bersalin dalam 48 jam,
sebaliknya yang parsial dapat diterapi konservatif.
Klasifikasi ke dua berdasarkan jumlah trombosit (Martin
dkk.) Sindrom HELLP kelas I jika jumlah trombosit <
50.000/mm3. Jumlah trombosit antara 50.000 - 100.000/mm3
dimasukkan kelas II. Kelas III jika jumlah trombosit antara
100.000 - 150.000/mm3. Klasifikasi ini telah digunakan dalam
memprediksi kecepatan pemulihan penyakit pada post partum,
keluaran maternal dan perinatal, dan perlu tidaknya
plasmaferesis. Sindrom HELLP kelas I berisiko morbiditas dan
mortalitas ibu lebih tinggi dibandingkan pasien kelas II dan
kelas III.(2,4)
PENATALAKSANAAN
Pasien sindrom HELLP harus dirujuk ke pusat pelayanan
kesehatan tersier dan pada penanganan awal harus diterapi
sama seperti pasien preeklampsi. Prioritas pertama adalah
menilai dan menstabilkan kondisi ibu, khususnya kelainan
pembekuan darah (Tabel 4).(1,2,5,7)
Tabel 4. Penatalaksanaan sindrom HELLP pada umur kehamilan < 35
minggu (stabilisasi kondisi ibu)
(Akhiri persalinan pada pasien sindrorn HELLP dengan umur
kehamilan 35 minggu).
1.

2.

3.

Menilai dan menstabilkan kondisi ibu


a. Jika ada DIC, atasi koagulopati
b. Profilaksis anti kejang dengan MgSO4
c. Terapi hipertensi berat
d. Rujuk ke pusat kesehatan tersier
e. Computerised tomography (CT scan) atau Ultrasonografi
(USG) abdomen bila diduga hematoma subkapsular hati
Evaluasi kesejahteraan janin
a. Non stress test/tes tanpa kontraksi (NST)
b. Profil biofisik
c. USG
Evaluasi kematangan paru janin jika umur kehamilan < 35 minggu
a. Jika matur, segera akhiri kehamilan
b. Jika immatur, beri kortikosteroid, lalu akhiri kehamilan

Pasien sindrom HELLP harus diterapi profilaksis MgSO4


untuk mencegah kejang, baik dengan atau tanpa hipertensi.
Bolus 4-6 g MgSO4 20% sebagai dosis awal, diikuti dengan
infus 2 g/jam. Pemberian infus ini harus dititrasi sesuai
produksi urin dan diobservasi terhadap tanda dan gejala
keracunan MgSO4. Jika terjadi keracunan, berikan 10-20 ml
kalsium glukonat 10% iv.

Terapi anti hipertensi harus dimulai jika tekanan darah


menetap > 160/110 mmHg di samping penggunaan MgSO4.
Hal ini berguna menurunkan risiko perdarahan otak, solusio
plasenta dan kejang pada ibu. Tujuannya mempertahankan
tekanan darah diastolik 90 - 100 mmHg. Anti hipertensi yang
sering digunakan adalah hydralazine (Apresoline) iv dalam
dosis kecil 2,5-5 mg (dosis awal 5 mg) tiap 15-20 menit sampai
tekanan darah yang diinginkan tercapai. Labetalol
(Normodyne) dan nifedipin juga digunakan dan memberikan
hasil baik. Karena efek potensiasi, harus hati-hati bila nifedipin
dan MgSO4 diberikan bersamaan. Diuretik dapat mengganggu
perfusi plasenta sehingga tidak dapat digunakan.(4)
Langkah selanjutnya ialah mengevaluasi kesejahteraan
bayi dengan menggunakan tes tanpa tekanan, atau profil
biofisik, biometri USG untuk menilai pertumbuhan janin
terhambat. Terakhir, harus diputuskan apakah perlu segera
mengakhiri kehamilan. Amniosentesis dapat dilakukan pada
pasien tanpa risiko perdarahan. Beberapa penulis menganggap
sindrom ini merupakan indikasi untuk segera mengakhiri
kehamilan dengan seksio sesarea, namun yang lain
merekomendasikan pendekatan lebih konservatif untuk
memperpanjang kehamilan pada kasus janin masih immatur.(1,2)
Perpanjangan kehamilan akan memperpendek masa perawatan
bayi di NICU (Neonatal Intensive Care Unit), menurunkan
insiden nekrosis enterokolitis, sindrom gangguan pernafasan.(4)
Beberapa bentuk terapi sindrom HELLP yang diuraikan dalam
literatur sebagian besar mirip dengan penanganan preeklampsi
berat.(1,2,6)
Jika sindrom ini timbul pada saat atau lebih dari umur
kehamilan 35 minggu, atau jika ada bukti bahwa paru janin
sudah matur, atau janin dan ibu dalam kondisi berbahaya, maka
terapi definitif ialah mengakhiri kehamilan. Jika tanpa bukti
laboratorium adanya DIC dan paru janin belum matur, dapat
diberikan 2 dosis steroid untuk akselerasi pematangan paru
janin, dan kehamilan diakhiri 48 jam kemudian. Namun kondisi
ibu dan janin harus dipantau secara kontinu selama periode
ini.(1,2,5,6) Goodlin meneliti bahwa terapi konservatif dengan
istirahat dapat meningkatkan volume plasma. Pasien tersebut
juga menerima infus albumin 5 atau 25%; usaha ekspansi
volume plasma ini akan menguntungkan karena meningkatkan
jumlah trombosit. Thiagarajah meneliti bahwa peningkatan
jumlah trombosit dan enzim hati juga bisa dicapai dengan
pemberian prednison atau betametason.
Clark dkk. melaporkan tiga kasus sindrom HELLP yang
dapat dipulihkan dengan istirahat mutlak dan penggunaan
kortikosteroid. Kehamilan pun dapat diperpanjang sampai 10
hari, dan semua persalinan melahirkan anak hidup;
pasien-pasien ini mempunyai jumlah trombosit lebih dari
100.000/mm3 atau mempunyai enzim hati yang normal. Dua
laporan terbaru melaporkan bahwa penggunaan kortikosteroid
saat antepartum dan postpartum menyebabkan perbaikan hasil
laboratorium dan produksi urin pada pasien sindrom HELLP.(2)
Deksametason l0 mg/12 jam iv lebih baik dibandingkan
dengan betametason 12 mg/24 jam im, karena deksametason
tidak hanya mempercepat pematangan paru janin tapi juga
menstabilkan sindrom HELLP. Pasien yang diterapi dengan
deksametason mengalami penurunan aktifitas AST yang lebih

cepat, penurunan tekanan arteri rata-rata (MAP) dan


peningkatan produksi urin yang cepat, sehingga pengobatan
anti hipertensi dan terapi cairan dapat dikurangi. Tanda vital
dan produksi urine harus dipantau tiap 6-8 jam. Terapi
kortikosteroid dihentikan jika gejala nyeri kepala, mual,
muntah, dan nyeri epigastrium hilang dengan tekanan darah
stabil <160/110 mmHg tanpa terapi anti hipertensi akut serta
produksi urine sudah stabil yaitu >50 ml/jam.(8)
Sindrom ini bukan indikasi seksio sesarea, kecuali jika ada
hal-hal yang mengganngu kesehatan ibu dan janin. Pasien tanpa
kontraindikasi obstetri harus diizinkan partus pervaginam.
Sebaliknya, pada semua pasien dengan umur kehamilan > 32
minggu persalinan dapat dimulai dengan infus oksitosin seperti
induksi, sedangkan untuk pasien < 32 minggu serviks harus
memenuhi syarat untuk induksi. Pada pasien dengan serviks
belum matang dan umur kehamilan < 32 minggu, seksio
sesarea elektif merupakan cara terbaik.
Analgesia ibu selama persalinan dapat menggunakan dosis
kecil meperidin iv (25-50 mg) intermiten. Anestesi lokal
infiltrasi dapat digunakan untuk semua persalinan pervaginam.
Anestesi blok pudendal atau epidural merupakan kontraindikasi
karena risiko perdarahan di area ini. Anestesi umum merupakan
metode terpilih pada seksio sesarea.(1,5,7) Pasien dengan nyeri
bahu, syok, asites masif atau efusi pleura harus di USG atau CT
scan hepar untuk evaluasi adanya hematom subkapsular hati.
Ruptur hematom subkapsular hati merupakan komplikasi
yang mengancam jiwa. Yang paling sering adalah ruptur lobus
kanan didahului oleh hematom parenkim. Kondisi ini biasanya
ditandai dengan nyeri epigastrium hebat yang berlangsung
beberapa jam sebelum kolaps sirkulasi. Pasien sering
merasakan nyeri bahu, syok, atau asites yang masif, kesulitan
bernafas atau efusi pleura dan biasanya dengan janin yang
sudah meninggal.(1,2)
Ruptur hematom subkapsuler hati yang berakibat syok,
memerlukan pembedahan emergensi dan melibatkan
multidisiplin. Resusitasi harus terdiri dari transfusi darah masif,
koreksi koagulasi dengan plasma segar beku (FFP) dan
trombosit serta laparatomi segera. Pilihan tindakan pada
laparatomi meliputi : packing & draining, ligasi segmen yang
mengalami perdarahan, embolisasi arteri hepatika pada segmen
hati yang terkena dan atau penjahitan omentum atau penjahitan
hati. Walaupun dengan penanganan tepat, kematian ibu dan
bayi lebih dari 50% terutama karena eksanguinisasi dan
pembekuan. Risiko berikutnya adalah sindrom gangguan
pernafasan, udem paru, dan gagal ginjal akut pasca operasi.(1,2)
Pembedahan direkomendasikan untuk perdarahan hati
tanpa ruptur; namun pengalaman akhir-akhir ini menunjukkan
bahwa komplikasi ini dapat ditangani secara konservatif pada
pasien yang hemodinamiknya masih stabil. Penanganan harus
meliputi : pemantauan ketat keadaan hemodinamik dan
koagulopati.
Diperlukan pemeriksaan serial USG atau CT scan terhadap
hematoma subkapsuler, penanganan segera bila terjadi ruptur
atau keadaan ibu memburuk. Yang terpenting dalam
penanganan konservatif adalah menghindari trauma luar
terhadap hati seperti : palpasi abdomen, kejang atau muntah
dan hati-hati dalam transportasi pasien. Peningkatan tekanan

Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 27

intraabdominal yang tiba-tiba berpotensi menyebabkan ruptur


hematom subkapsular.(1,2) Pasien harus ditangani di unit
perawatan intensif (ICU) dengan pemantauan ketat terhadap
semua parameter hemodinamik dan cairan untuk mencegah
udem paru dan atau kelainan respiratorik.
Transfusi trombosit diindikasikan baik sebelum maupun
sesudah persalinan, jika hitung trombosit < 20.000/mm3.
Namun tidak perlu diulang karena pemakaiannya terjadi dengan
cepat dan efeknya sementara. Setelah persalinan, pasien harus
diawasi ketat di ICU paling sedikit 48 jam. Sebagian pasien
akan membaik selama 48 jam postpartum; beberapa, khususnya
yang DIC, dapat terlambat membaik atau bahkan memburuk.
Pasien demikian memerlukan pemantauan lebih intensif untuk
beberapa hari.(1)
Sindrom HELLP dapat timbul pada masa postpartum. Sibai
melaporkan dalam penelitian 304 pasien sindrom HELLP, 95
pasien (31%) hanya bermanifestasi saat postpartum. Pada
kelompok ini, saat terjadinya berkisar dari beberapa jam sampai
6 hari, sebagian besar dalam 48 jam postpartum. Selanjutnya 75
pasien (79%) menderita preeklampsi sebelum persalinan, 20
pasien (21%) tidak menderita preeklampsi baik antepartum
maupun postpartum.(1,2) Penanganannya sama dengan pasien
sindrom HELLP anteparturn, termasuk profilaksis antikejang.
Kontrol hipertensi harus lebih ketat.(1)
KOMPLIKASI
Angka kematian ibu dengan sindrom HELLP mencapai
1,1%; 1-25% berkomplikasi serius seperti DIC, solusio
plasenta, adult respiratory distress syndrome, kegagalan
hepatorenal, udem paru, hematom subkapsular, dan ruptur
hati.(4,5)
Angka kematian bayi berkisar 10-60%, disebabkan oleh
solusio plasenta, hipoksi intrauterin, dan prematur.(5) Pengaruh
sindrom HELLP pada janin berupa pertumbuhan janin
terhambat (IUGR) sebanyak 30%(5) dan sindrom gangguan
pernafasan (RDS).(4)

5. Abramovici D, Mattar F, Sibai BM. Hypertensive disorders in pregnancy.


In Ransom SB, Dombrowski MP, Mc Neeley SG, Moghissi KS, Munkarah
AR, eds. Practical strategies in obstetrics and gynecology. Philadelphia:
WB Saunders Co, 2000; 384-6.
6. Mordechai H. Hypertension in pregnancy. In: James KD, Steer JP, Weiner
CP, Gonik B, Eds. High risk pregnancy management option. 2nd ed.
London: WS Saunders, 1999; 650-1.
7. Sibai BM. Preeclampsia-eclampsia. In: Queenan JT, ed. Management of
high risk pregnancy. 3rd ed. Boston: Blackwell Scientific Publ.1999; 3 80-1.
8. Isler CM, Barrileaux PS, Magann EF, Bass JD, Marthin JN. A Prospective
randomized trial comparing the efficacy of dexamethasone and
betamethasone for the treatment of antarpartum HELLP syndrome. Am J
Obstet Gynecol 2001; 184: 1332-9.

Penanganan Sindrom HELLP(4)

Umur kehamilan
32-34 minggu

Umur kehamilan
< 32 minggu

Umur kehamilan
> 34 minggu

Pemberian kortikosteroid

Kortikosteroid

Observasi respon kliniknya

Penanganan konservatif

Terminasi
Tidak

Ya

Kondisi pasien
memburuk

Terminasi

Kondisi pasien
stabil

Pantau pasien di
fasilitas
pusat
perawatan tersier

Konsul pasien untuk mendapatkan


pertolongan jika kehamilan dilanjutkan 2 minggu/lebih untuk kematangan paru janin

Transfer pasien ke fasilitas pusat


perawatan tersier yang mempunyai NICU

KEPUSTAKAAN
1. Barton JR, Sibai BM. Management of severe hypertension in
pregnancy-USA. In: Walker JJ.,Gant NF, eds. Hypertension in pregnancy.
London: Chapman & Hall, 1997; 300-6.
2. Berkowits RL. Hypertension in pregnancy. In: Gabbe SG, Niebyl JR,
Simpson JL eds. Obstetrics normal & problem pregnancies. 3rd ed. New
York : Churchill Livingstone, 1998; 947-53.
3. Sibai BM, Rodriquest JJ. Preeclampsia : diagnosis and management. In :
Norbert G ed. Principles and practice of medical therapy in pregnancy.2nd
ed. California Appleton and Lange, 1991; 878-9.
4. Padden MD. HELLP syndrome: Recognition and perinatal management.
Available from : http./members. Tripad.. Com/Ander Pander/hellp.html.
accessed at: Sept 2001.

28 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006

Kondisi pasien
memburuk

Terminasi

Kondisi pasien baik

Pantau pasien di fasilitas pusat perawatan


tersier

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Tes Human Papillomavirus sebagai


Skrining Alternatif Kanker Serviks
I Ketut Suwiyoga
Sub divisi Gineko-Onkologi Bagian Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Denpasar, Bali, Indonesia

ABSTRAK
Kanker serviks merupakan salah satu penyebab utama kematian yang berhubungan dengan
kanker pada perempuan. Upaya skrining dengan Pap smear belum mampu menurunkan insiden
dan kematian akibat kanker ini di negara-negara sedang berkembang.
Sejak diketahui bahwa infeksi human papillomavirus berhubungan kuat dengan
perkembangan dari CIN menjadi kanker serviks maka skrining ditujukan untuk mengetahui
keberadaan DNA-HPV. Infeksi HPV grup risiko tinggi terbukti berhubungan kuat dengan
perkembangan lesi prekanker menjadi kanker serviks. Sebagian besar infeksi HPV bersifat
transien, subklinik, dan sering pada perempuan seksual aktif. Pada infeksi HPV persisten risiko
tinggi dan smear abnormal terlihat perkembangan penyakit yang signifikan.
Berbeda dengan infeksi HPV grup risiko rendah yang tidak signifikan mempengaruhi
perkembangan penyakit sehingga tesnya kurang bermanfaat bahkan dapat mengakibatkan dampak
psikologik; tes HPV dengan HC-II melalui sediaan olesan serviks memilki sensitivitas tinggi
>90%, spesifisitas rendah (10,0%), positif palsu 5-20% dan negatif palsu 1,1-7,5%. Test HPV
sebaiknya tidak dipakai skrining serviks secara tersendiri, tetapi bersama dengan sitologi dan
kolposkopi dan bahkan histopatologi apabila diperlukan.
Kata kunci : HPV, skrining, kanker serviks

PENDAHULUAN
Kanker serviks merupakan salah satu penyebab utama
kematian perempuan yang berhubungan dengan kanker. Di
seluruh dunia, diperkirakan terjadi sekitar 500.000 kanker
serviks baru dan 250.000 kematian setiap tahunnya dan 80%
terjadi di negara-negara sedang berkembang.(1,2)
Di Indonesia, insiden kanker serviks diperkirakan 40.000
kasus pertahun dan masih merupakan kanker perempuan yang
tersering. Mortalitas kanker serviks masih tinggi karena 90%
terdiagnosis pada stadium invasif, lanjut bahkan terminal.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menurunkan insiden
dan kematian akibat kanker serviks baik melalui pendekatan
faktor risiko maupun terapi. Pendekatan faktor risiko baik
major maupun minor, down staging, diagnosis dini dengan Pap
smear dan inspeksi visual asam asetat, berbagai modalitas
terapi, bahkan terapi paliatif; belum memuaskan.(3-5)

Di Negara maju, skrining Pap smear telah terbukti mampu


menemukan lesi prekanker, menurunkan insiden dan sekaligus
menurunkan angka kematian akibat kanker serviks. Insiden
kanker serviks turun antara 70-80% dalam 10 tahun sejak
program skrining dimulai.(2,6) Berbeda dengan negara maju, di negara-negara sedang berkembang skrining dengan Pap smear
tidak terbukti mampu menurunkan insiden dan angka kematian
akibat kanker serviks. Di Indonesia, berdasarkan metaanalisis
akurasi Pap smear bervariasi sangat lebar antara satu senter
dengan senter lain. Selain itu, keterbatasan pengetahuan, status
sosial ekonomi, kebudayaan dan politik, geografi, demografi
juga berpengaruh dan kanker serviks sendiri belum merupakan
program pemerintah sehingga ditangani oleh perorangan,
perkumpulan, dan lembaga swadaya masyarakat.(2) Pap smear
memiliki sensitivitas 70-80%, spesifisitas 60-65%, negatif
palsu 20-30%. Negatif palsu ini menyebabkan perkembangan
prekanker menjadi kanker serviks luput dari

Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 29

pengamatan; sehingga 30% kanker serviks terjadi pada


mereka yang melakukan Pap smear rutin. Selain itu, positif
palsu sitologi serviks antara 15-70% menyebabkan pemberian
terapi kepada bukan penderita kanker serviks.(2,7,8) Oleh karena
itu perlu dikembangkan teknik skrining alternatif terutama
untuk negara-negara sedang berkembang.
Pada saat ini dikembangkan teknik skrining yang tidak
hanya lebih akurat, akan tetapi lebih sederhana, murah, dan
dapat diterima masyarakat. Hal ini didasarkan pada
kesepakatan bahwa human papilloma virus (HPV) merupakan
faktor risiko mayor, bahkan pada kanker serviks invasif hampir
100% DNA HPV dapat diisolasi, terutama kelompok HPV
risiko tinggi. Dalam hubungannya dengan kanker serviks, HPV
dibedakan atas kelompok HPV risiko tinggi dan HPV risiko
rendah. Oleh karena itu, skrining ditujukan untuk melacak
keberadaan DNA HPV pada sediaan swab/smear serviks.(1,2,9)
Swab serviks sendiri lebih sederhana dan murah dibandingkan
dengan prosedur Pap smear.
HUBUNGAN ANTARA INFEKSI HUMAN PAPILLOMA
VIRUS DENGAN KANKER SERVIKS
Sejak tahun 1980-an, melalui penelitian terus menerus
maka disepakati bahwa infeksi HPV merupakan faktor risiko
mayor atau mungkin penyebab sentral kanker serviks invasif,
juga pada cervical intraepithelial neoplasia (CIN) sebagai lesi
prekanker. Studi molekuler juga telah membuktikan peran HPV
pada karsinogenesis kanker serviks; beberapa onkoprotein virus
tersebut telah teridentifikasi untuk dapat menjelaskan
mekanisme biologi transformasi keganasan.(7,8) WHO (1996)
menyatakan bahwa HPV merupakan penyebab penting kanker
serviks. HPV merupakan penyakit menular seksual baik pada
wanita maupun lelaki.(10) Sekitar 85 tipe HPV telah
teridentifikasi melalui teknik sekuensing DNA dan dibedakan
atas HPV risiko tinggi dan HPV risiko rendah. HPV risiko
tinggi terdiri atas tipe 16, 18,31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58,
59, 66, 68, dan 70 selain tipe tersebut termasuk HPV risiko
rendah.(2,8,11) Walaupun infeksi HPV bukan ganas, infeksi
persisten dapat berasosiasi dengan perkembangan kanker
serviks. Dari kanker serviks tipe skuamosa, 99,7% DNA
HPV dapat diisolasi terutama HPV-16 9 dan familinya seperti
tipe 31, 33, 35, 52, dan 58. Sedangkan kanker serviks tipe
adenosa, sebagian besar (82,5%) berhubungan dengan HPV189 dan familinya seperti 39,45,59,68 dan juga tergantung pada
usia. Pada usia kurang dari 40 tahun dengan kanker serviks tipe
adenosa didapatkan HPV sebanyak 89% sedangkan pada umur
60 tahun atau lebih hanya 43%.(2,6,9)
Studi metaanalisis menyatakan bahwa 2/3 kanker serviks
berhubungan dengan 51% HPV-16 dan 16,2% HPV-18.(2)
Ambar (2002), pada studi cross sectional tentang kanker
serviks invasif mendapatkan bahwa HPV-16 dan 18 sebanyak
52,42%.(12) Sedangkan Surya Negara (2002) di Denpasar,
melaporkan pada kanker serviks invasif dapat diisolasi DNA
HPV-16 sebesar 53,54%, HPV-18 sebesar 68,8%, dan
gabungan HPV-16 dan 18 sebesar 72,5%.(13,14) HPV tipe lain
selain tipe 16 dan 18 sebanyak 18,3% dan HPV yang juga
menonjol adalah tipe 45,31, 33, 58, dan 52. Tipe-tipe HPV
berbeda antara satu negara dengan negara lain; di Eropa

30 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006

ditemukan lebih banyak HPV-16 sedangkan di Asia HPV-18.


Di Asia juga ditemukan HPV-58 (5,8%) dan HPV-52 (4,4%)
serta lebih sering dibanding dengan HPV-45, 31, dan 33.(2,7,15)
EPIDEMIOLOGI INFEKSI HUMAN PAPILLOMA VIRUS
Infeksi HPV paling sering adalah pada usia 18-30 tahun
(30-50%) yaitu beberapa tahun setelah melakukan aktivitas
seksual; menurun tajam setelah usia 30 tahun. Infeksi HPV
persisten dapat dipengaruhi oleh perilaku seksual seperti
aktivitas seksual usia dini di bawah 17 tahun, multipartner
seksual, terinfeksi kuman penyebab PHS lain, kutil genitalis,
riwayat Pap smear abnormal, dan kanker penis. Perlu dicatat
bahwa pemakaian kondom tidak efektif mencegah infeksi HPV
karena HPV dapat ditularkan melalui labia majora, skrotum,
dan anus.(2,10,15)
Walaupun infeksi HPV berhubungan kuat dengan kanker
serviks, tidak seluruhnya berkembang menjadi kanker serviks
invasif. Sebagian besar berupa infeksi ringan, tidak
menimbulkan tanda klinik dan secara sitologik/histopatologik
terdapat perubahan berupa low-grade squamous intraepithelial
lesion (LSIL) yang dapat mengalami regresi spontan/alamiah.
Infeksi HPV transien pada usia 13-22 tahun dapat mengalami
regresi spontan alamiah yaitu 70% untuk infeksi HPV risiko
tinggi dan 90% untuk infeksi HPV risiko rendah. Hal ini
memberikan pola sitologik 15% cervical intraepithelial
neoplasia (CIN)-I berkembang menjadi CIN-II, 50% CIN-II
berkembang menjadi CIN-III dan 90% CIN-III berkembang
menjadi kanker serviks invasif.(9,16,17)
Pada beberapa kasus terjadi infeksi HPV persisten yang
diperberat oleh infeksi beberapa HPV tipe lain secara
bersamaan, viral load yang tinggi, dan kegagalan respon imun.
Kasus ini berhubungan kuat dengan progresifitas penyakit
menjadi kanker serviks. Viral load yang tinggi terdapat pada
high-grade squamous intraepithelial lesion (HSIL) dan pada
lesi serviks yang progresif. Didapatkan pula bahwa hanya
HPV-16 yang viral loadnya jauh lebih besar dibandingkan
dengan HPV-18, 31, dan 33 serta HPV risiko rendah seperti
tipe 6 dan 11. Akan tetapi HPV risiko tinggi dengan viral load
yang rendah juga dapat mengakibatkan perubahan ganas.
Hanya pada smear abnormal persisten dan infeksi HPV risiko
tinggi yang menunjukkan perkembangan pola CIN. Berarti
wanita tanpa infeksi HPV risiko tinggi tidak akan berkembang
menjadi CIN III. Juga dilaporkan tidak terdapat perbedaan
antara beberapa HPV risiko tinggi dalam menginduksi dan
mempertahankan CIN III.(2,18) Dengan demikian keberadaan
HPV risiko tinggi merupakan indikator apakah penyakit dapat
berkembang menjadi ganas. Oleh karena itu skrining alternatif
untuk mengetahui keberadaan HPV adalah salah satu strategi
sangat penting.
TEST HUMAN PAPILLOMA VIRUS
Test molekuler dengan polymerase chain reaction (PCR)
adalah metode yang sangat sensitif dan spesifik yang memadai
tetapi sangat tergantung pada dedikasi dan kemampuan /
keterampilan
personal
serta
kelengkapan
sarana.
Pengembangan teknik deteksi DNA HPV akhir-akhir ini
berupa hybrid capture (HC) merupakan teknik sederhana dan

cara alternatif yang menarik; seperti produk Hybrid Capture II


(HC-II). HC-II adalah sebuah antibody capture/solution
hybridization/signal amplication assay yang memakai deteksi
kualitatif
chemiluminescence
terhadap
DNA
HPV.
Dibandingkan dengan PCR, HC-II memiliki ketepatan 92-94%
terhadap teknik pemeriksaan sitologi/histologi, waktu yang
lebih singkat, tidak terdapat/sedikit kontaminasi, dan juga
disertai dengan probe. Probe A untuk melacak DNA HPV
risiko rendah seperti HPV-6, 11,42, 43 dan 44, sedangkan
probe B untuk melacak 13 tipe DNA HPV risiko tinggi yaitu
HPV-16,18,31,33,35,39,45,51,52,56,58,59 dan 68.(2,19) Tes ini
dapat dilakukan pada sediaan apusan/cairan vagina dan sel sisa
bahan pada sediaan sitologi Pap smear. Sensitivitas HC-II
adalah > 90% untuk mendeteksi LSIL dan 25% lebih tinggi
dibanding dengan sitologi. Akan tetapi, spesifisitasnya sangat
rendah yaitu 10%, lebih-lebih jika dipakai untuk skrining
primer. Positif palsu antara 5-20% mungkin diakibatkan oleh
reaksi silang dengan HPV risiko rendah dan kepekaan
probenya. Selain itu, terdapat reaksi silang pada plasmid
bakterial pBR 322 level tinggi. Negatif palsu antara 1,1-7,5%
dapat terjadi karena infeksi, kesalahan bahan dan tercampur
dengan bahan lain seperti obat vaginal anti jamur, jeli
kontrasepsi dan vaginal douche. Test HC-II dengan relative
light unit (RLU) juga dapat untuk mengetahui viral load secara
semi kuantitatif.(2,8,19)
Secara klinik, hanya HPV-risiko tinggi saja yang
direkomendasi untuk diuji sehubungan dengan etiopatogensis
kanker serviks dan faktor psikologik penderita HPV risiko
rendah apabila ditemukan DNA HPV.(2,20)
PERANAN TEST HUMAN PAPILLOMA VIRUS DALAM
PROGRAM SKRINING
Peranan test HPV adalah untuk skrining primer,
hubungannya dengan sitologi serviks, triase atypical squamous
cell of uncertain significance (ASCUS), triase LSIL, dan
pengawasan lanjut pascaterapi. Selanjutnya, peranan test HPV
diuraikan sebagai berikut.
1. Skrining primer
Berdasarkan hubungan antara HPV risiko tinggi dengan
CIN dan kanker serviks maka test HPV dapat dipertimbangkan
sebagai skrining alternatif selain sitologi serviks.
Test HPV memiliki beberapa keunggulan, terutama untuk
negara sedang berkembang dengan sumber terbatas, seperti
sensitivitas tinggi yang mampu memprediksi kemungkinan
suatu penyakit pada wanita dengan risiko, pengamatan lebih
cepat, prosedur lebih sederhana dibanding dengan sitologi dan
dapat dikerjakan sendiri oleh pasien. Biaya dapat ditekan pada
skrining banyak pasien. Kendala lain test HPV adalah
spesifisitas dan prediksi positif yang rendah, prevalensi infeksi
HPV relatif tinggi. Infeksi HPV yang tidak persisten juga dapat
menyebabkan test positif terutama pada wanita di bawah 30
tahun. Regresi spontan alamiah infeksi HPV dalam 8-14 bulan
sebanyak 70% mengakibatkan insiden kanker serviks di bawah
umur 30 tahun sangat rendah; oleh karena itu test PHV
direkomendasikan pada umur di atas 30 tahun. Selain itu,
hanya 2,0% CIN I akan berkembang menjadi kanker serviks

walaupun terdapat infeksi HPV. Karena itu test HPV tidak


dilakukan secara sendiri. melainkan bersamaan dengan
kolposkopi, sitologi bahkan histopatologi.(2,10,21)
2. Hubungannya dengan sitologi serviks
Sensitivitas test HPV sangat tinggi dan apabila dilakukan
bersamaan dengan sitologi akan sangat bermanfaat untuk
mendeteksi prevalensi penyakit.
Kombinasi antara sitologi normal dengan test HPV negatif
dapat memberikan nilai prediksi negatif sampai dengan 100%.
Pada test HPV positif, dilakukan pengamatan lebih seksama
dan biaya akan dapat dihemat dengan mendeteksi penyebab
HSIL sehingga dapat menurunkan kekerapan Pap smear,
kolposkopi, dan biopsi serta terapi yang tidak perlu. Hal ini
juga berdampak pada status emosional dan psikologik.(2,5,17)
3. Triase ASCUS
Pada atypical squamous cell of uncertain significance
(ASCUS) gambaran patologiknya sangat meragukan, sehingga
penanganan ASCUS harus cermat, saksama dan lebih spesifik.
Di negara-negara berkembang, test DNA HPV dengan
HC-II telah terbukti praktis dalam penanganan dan triase smear
abnormal. Pada ASCUS, test HPV risiko tinggi positif dapat
sebagai petunjuk atas perkembangan penyakit menjadi CIN
III/kanker serviks. Hal ini merupakan indikasi kolposkopi lebih
awal. Pada test HPV negatif, penanganan lebih konservatif
yaitu sitologi ulang 6-12 bulan. Dengan demikian pada triase
ASCUS/LSIL maka pilihan penanganan adalah 1) segera
kolposkopi, 2) konservatif dengan sitologi ulang setiap 6-12
bulan dan kolposkopi apabila terdapat HSIL, 3) triase HPV(test
HPV langsung kolposkopi apabila DNA HPV risiko tinggi
positif). Dengan demikian, triase ASCUS dapat menurunkan
rujukan untuk pemeriksaan kolposkopi sebesar 44,0%.(2,9,21)
4. Triase LSIL
Pada LSIL, sekitar 80,9% dapat diisolasi HPV risiko
tinggi yang harus segera diikuti test sitologi dan histopatologi.
Walaupun masih dalam status LSIL, akan tetapi jika positif
infeksi HPV risiko tinggi maka seharusnya segera diikuti
pemeriksaan sitologi/histopatologi. Sekitar 83% LSIL dengan
HPV risiko tinggi positif dengan test HC-II positif, harus
mendapat penanganan segera.(2,21) Jadi pada HPV risiko tinggi
harus dilakukan pemeriksaan sitologi ulangan dan dilanjutkan
dengan histopatologi tanpa memandang perubahan sitologi baik
LSIL maupun HSIL.
5. Pengawasan lanjut pasca terapi
Pada CIN III yang telah diterapi dengan eksisi luas dapat
terjadi kekambuhan 2-3% yang dapat disebabkan oleh lesi
multifokus, pemeriksaan bahan eksisi yang tidak adekuat dan
rekurensi karena infeksi HPV persisten. Terapi akan lebih
berhasil jika dapat menghilangkan infeksi HPV dibandingkan
dengan terapi operatif eksisi luas pada CIN. Operasi eksisi ini
juga berhubungan dengan penurunan respon imun lokal
mucosal antibody lymphoid tissue (MALT).(2,8,23)
Test HPV dapat untuk mendeteksi sisa lesi pascaterapi;
pada HPV yang tetap positif harus dilakukan terapi ulang. Hal

Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 31

ini berarti bahwa pada kasus HPV negatif dan sitologi normal
maka risiko rekurensi sangat rendah. Studi kohort pada 58
kasus yang diterapi konisasi, mendapatkan bahwa 20%
persisten HPV dan 40% nya terjadi rekurensi antara 4-10 bulan
setelah terapi. Juga dilaporkan bahwa pada HPV negatif
pascaterapi tidak ditemukan rekurensi.(2)

7.

8.

9.
10.

RANGKUMAN
Pap smear efektif menurunkan insiden (70-80%) dan
kematian akibat kanker serviks di negara maju, berbeda dengan
di negara-negara sedang berkembang. Infeksi HPV risiko tinggi
terbukti berhubungan kuat dengan kejadian CIN dan
perkembangannya menjadi kanker serviks invasif; jika tidak
terdapat infeksi HPV maka risiko kanker serviks sangat kecil.
Infeksi HPV sebagian besar adalah transien, subklinik,
terutama pada perempuan dengan seksual aktif. Infeksi HPV
risiko tinggi yang persisten dan Pap smear abnormal,
memperlihatkan perkembangan penyakit.
Test untuk HPV risiko rendah kurang bermanfaat bahkan
dapat mengakibatkan dampak sosial-ekonomi dan psikologik.
Test HPV pada sediaan swab serviks/Pap smear dengan
hybrid capture II (HC-II) yaitu antibody capture/solution
hybridization/signal amplication assay yang memakai deteksi
kualitatif chemiluminescence terhadap DNA HPV. HC-II
memiliki sensitivitas tinggi >90%, spesifisitas rendah (10,0%),
positif palsu 5-20% dan negatif palsu 1,1-7,5%. Test HPV
sebaiknya tidak dipakai secara sendiri akan tetapi bersama
dengan kolposkopi, sitologi, bahkan histopatologi jika perlu.
KEPUSTAKAAN
1.

2.
3.

4.
5.
6.

Franco EL, Franco ED. Cervical Cancer: Epidemiology, Prevention and


The Role of Human Papillomavirus Infection. Can. Med. Assoc. J. 2001;
25: 164-9.
Chan YM, Ngan YS. Human Papillomavirus testing in Cervical Cancer
Screening. JPOG 2004; 30 (1):33-8.
Roemwerdiniadi S. Upaya Penanggulangan Kanker dalam Meningkatkan
Kualitas Manusia. Lustrum Program Pasca Sarjana Unair. Surabaya 1993:
1-18.
Azis F. Masalah Kanker Serviks dan Upaya Penanganan. Pertemuan Forum
Ilmiah Penelitian Kanker Serviks di Indonesia. Bandung 2001: 23-6.
Laila N. Down Staging Kanker Serviks. Suatu Cara Metoda Alternatif. Maj
Obstet Ginekol Indon 2000 (supp): 67-71.
Parkin DM, Pisani P, Ferlay J. Estimate of worldwide incidence of 25
major cancer in 1990. Int J Cancer 1999; 80: 827-41.

32 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.
19.

20.

21.

22.

23.

Bosch FX, Lorincz A, Munoz N, Meijer CJLM, Shah KV. The causal
relation between human papillomavirus and cervical cancer. J Clin Pathol
2002;55 (4): 244-65.
Tyring SK. Human Papilloma Virus Infection: Epidemiology,
Pathogenesis, and Host Immune Response. J Am Acad Dermatol 2000; 43:
518-26.
Cox JT. Epidemiology of Cervical Intraepithelial Neoplasm: The Role of
Human Papilloma Virus. Baillieres Clin Obstet Gynaecol 2000; 9:1-37.
Garland SM, Tabrizi SN, Chen S et al. Prevalence of sexually transmitted
infection (Neisseria gonorrhoeae, Chlamydia trachomatis, Trichomonas
vaginalis and human papillomavirus) in female attendees of a sexually
transmitted diseases clinic in Ulanbator, Mongolia. J Infect Dis Obstet
Gynaecol 2001; 9 (3): 143-6.
Nobbenhus MAE, Walboomer JMM, Helmerhorst TJM et al. Relation of
Human Papilloma Virus Status to Cervical Lesion and Consequences for
Cervical Cancer Screening: a prospective study. Lancet 1999; 354 (9172):
20-5.
Ambar W. Peran p53, pRB, c-myc pada proliferasi sel kanker serviks
terinfeksi human papilloma virus tipe 16 dan 18. Disertasi Univeristas
Airlangga Surabaya; 2003
Surya Negara IK, Suwiyoga IK, Surya IGP. nfeksi HPV tipe 16 dan 18
pada kanker serviks uterus dan penyakit menular seksual. Program
Pendidikan Spesialis I Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana, 2002.
Widiarsa IB, Suwiyoga IK. nfeksi HPV tipe 16 pada kanker serviks uterus.
Program Pendidikan Spesialis I Obstetri dan Ginekologi Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana, 2000.
Munoz N, Bosch FX, de Sanjose S et al. Epidemiologic Classification of
Human Papillomavirus Types associated with Cervical Cancer. N. Engl J.
Med 2003;348: 518-27.
Nobbenhus MAE, Walboomer JMM, Helmerhorst TJM et al. Relation of
Human Papilloma Virus Status to Cervical Lesion and Consequences for
Cervical Cancer Screening: a prospective study. Lancet 1999; 354 (9172):
20-5.
Ylitato N, Sorensen P, Josefsson AM et al. Consistent High Viral Load of
Human Papilloma Virus 16 and Risk of Cervical Carsinoma in situ: a
Nested Case-Control Study. Lancet 2000; 355: 2194-8.
Santos C, Muffoz N, Klug S et al. HPV types and cofactors causing
cervical cancer in Peru. Br J Cancer 2001; 85: 966-71.
Xiao Y, Sato S, Oguchi T et al. High sensitivity of PCR in situ
hybridization for the detection of human papillomavirus infection in uterine
cervical neoplasias. J Gynaecol Oncol 2001; 82 (2): 350-4.
Herrero R, Hidensheim A, Bratti C et al. Population based study of human
papillomavirus infection and cervical neoplasia in rural Costa Rica. J Natl
Cancer Inst 2000;92: 462-74.
Franco EL, Franco ED. Cervical Cancer: Epidemiology, Prevention and
The Role of Human Papillomavirus Infection. Can Med Ass J 2001; 164
(7):1-10.
Schwartz SM, Dalling JR, Shera KA et al. Human Papillomavirus and
Prognosis of Invasive Cervical Cancer: A Population-Based Study. J Clin
Oncol 2001; 19 (7): 1906-15.
Brentjens MH, Yeung-Yue KA, Lee PC, Tyring SK. Human
Papillomavirus: A Review. Dermatol Clin 2002; 20 (2): 315-35.

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Karakteristik Candida albicans


Conny Riana Tjampakasari
Staf Pengajar Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

ABSTRAK
Kandidosis merupakan penyakit jamur teratas di antara penyakit jamur lainnya hingga saat
ini. Penyebab utama infeksi ini umumnya adalah Candida albicans (C. albicans). Jamur ini dapat
menginfeksi semua organ tubuh manusia, dapat ditemukan pada semua golongan umur, baik pria
maupun wanita. Jamur ini dikenal sebagai organisme komensal di saluran pencernaan dan
mukokutan, sering ditemukan di kotoran di bawah kuku orang normal. Jamur ini juga dikenal
sebagai jamur oportunis.

PENDAHULUAN
C. albicans merupakan jamur dimorfik karena kemampuannya untuk tumbuh dalam dua bentuk yang berbeda yaitu
sebagai sel tunas yang akan berkembang menjadi blastospora
dan menghasilkan kecambah yang akan membentuk hifa semu.
Perbedaan bentuk ini tergantung pada faktor eksternal yang
mempengaruhinya. Sel ragi (blastospora) berbentuk bulat,
lonjong atau bulat lonjong dengan ukuran 2-5 x 3-6 hingga
2-5,5 x 5-28 .
C. albicans memperbanyak diri dengan membentuk tunas
yang akan terus memanjang membentuk hifa semu. Hifa semu
terbentuk dengan banyak kelompok blastospora berbentuk
bulat atau lonjong di sekitar septum. Pada beberapa strain,
blastospora berukuran besar, berbentuk bulat atau seperti botol,
dalam jumlah sedikit. Sel ini dapat berkembang menjadi
klamidospora yang berdinding tebal dan bergaris tengah sekitar
8-12 .(1-4) Morfologi koloni C. albicans pada medium padat
agar Sabouraud Dekstrosa, umumnya berbentuk bulat dengan
permukaan sedikit cembung, halus, licin dan kadang-kadang
sedikit berlipat-lipat terutama pada koloni yang telah tua.
Umur biakan mempengaruhi besar kecil koloni. Warna koloni
putih kekuningan dan berbau asam seperti aroma tape.(2,3)
Dalam medium cair seperti glucose yeast, extract pepton, C.
albicans tumbuh di dasar tabung.(3)
Pada medium tertentu, di antaranya agar tepung jagung
(corn-meal agar),agar tajin (rice-cream agar) atau agar dengan

0,1% glukosa terbentuk klamidospora terminal berdinding


tebal dalam waktu 24-36 jam.(1-3)
Pada medium agar eosin metilen biru dengan suasana CO2
tinggi, dalam waktu 24-48 jam terbentuk pertumbuhan khas
menyerupai kaki laba-laba atau pohon cemara.(3) Pada medium
yang mengandung faktor protein, misalnya putih telur, serum
atau plasma darah dalam waktu 1-2 jam pada suhu 37o C terjadi
pembentukan kecambah dari blastospora.(2,3)
C. albicans dapat tumbuh pada variasi pH yang luas, tetapi
pertumbuhannya akan lebih baik pada pH antara 4,5-6,5.(5)
Jamur ini dapat tumbuh dalam perbenihan pada suhu 28oC 37oC.(4)
C. albicans membutuhkan senyawa organik sebagai
sumber karbon dan sumber energi untuk pertumbuhan dan
proses metabolismenya.(2) Unsur karbon ini dapat diperoleh
dari karbohidrat.(4)
Jamur ini merupakan organisme anaerob fakultatif yang
mampu melakukan metabolisme sel, baik dalam suasana
anaerob maupun aerob. Proses peragian (fermentasi) pada C.
albicans dilakukan dalam suasana aerob dan anaerob.
Karbohidrat yang tersedia dalam larutan dapat dimanfaatkan
untuk melakukan metabolisme sel dengan cara mengubah
karbohidrat menjadi CO2 dan H2O dalam suasana aerob.
Sedangkan dalam suasana anaerob hasil fermentasi berupa
asam laktat atau etanol dan CO2. Proses akhir fermentasi
anaerob menghasilkan persediaan bahan bakar yang diperlukan

Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 33

untuk proses oksidasi dan pernafasan.(4) Pada proses asimilasi,


karbohidrat dipakai oleh C. albicans sebagai sumber karbon
maupun sumber energi untuk melakukan pertumbuhan sel.(2, 4)
C. albicans dapat dibedakan dari spesies lain berdasarkan
kemampuannya melakukan proses fermentasi dan asimilasi.
Pada kedua proses ini dibutuhkan karbohidrat sebagai sumber
karbon. Pada proses fermentasi, jamur ini menunjukkan hasil
terbentuknya gas dan asam pada glukosa dan maltosa,
terbentuknya asam pada sukrosa dan tidak terbentuknya asam
dan gas pada laktosa. Pada proses asimilasi menunjukkan
adanya pertumbuhan pada glukosa, maltosa dan sukrosa namun
tidak menunjukkan pertumbuhan pada laktosa.(2, 3)
STRUKTUR FISIK
Dinding sel C. albicans berfungsi sebagai pelindung dan
juga sebagai target dari beberapa antimikotik. Dinding sel
berperan pula dalam proses penempelan dan kolonisasi serta
bersifat antigenik.(4) Fungsi utama dinding sel tersebut adalah
memberi bentuk pada sel dan melindungi sel ragi dari
lingkungannya.(4,6) C. albicans mempunyai struktur dinding sel
yang kompleks, tebalnya 100 sampai 400 nm.
Komposisi primer terdiri dari glukan, manan dan khitin.
Manan dan protein berjumlah sekitar 15,2-30 % dari berat
kering dinding sel, -1,3-D-glukan dan 1,6-D-glukan sekitar
47-60 %, khitin sekitar 0,6-9 %, protein 6-25 % dan lipid 1-7
%. Dalam bentuk ragi, kecambah dan miselium, komponenkomponen ini menunjukkan proporsi yang serupa tetapi bentuk
miselium memiliki khitin tiga kali lebih banyak dibandingkan
dengan sel ragi.(4) Dinding sel C. albicans terdiri dari lima
lapisan yang berbeda.(4)
Segal dan Bavin (1994) memperlihatkan bahwa dinding
sel C. albicans terdiri dari lima lapisan yang berbeda (Gambar
1). (4)
Fibrillar Layer
Mannoprotein
Glucan
Glucan-Chitin
Mannoprotein
Plasma membrane
Gambar 1. Skema dinding sel C. albicans (Dikutip dari Pathogenic Yeasts
and Yeast Infections, Library of Congress Cataloging in Publication Data,
1994, hal. 12)

Membran sel C. albicans seperti sel eukariotik lainnya


terdiri dari lapisan fosfolipid ganda. Membran protein ini
memiliki aktifitas enzim seperti manan sintase, khitin sintase,
glukan sintase, ATPase dan protein yang mentransport fosfat.
Terdapatnya membran sterol pada dinding sel memegang
peranan penting sebagai target antimikotik dan kemungkinan
merupakan tempat bekerjanya enzim-enzim yang berperan
dalam sintesis dinding sel.(5,7) Mitokondria pada C. albicans
merupakan pembangkit daya sel. Dengan menggunakan energi
yang diperoleh dari penggabungan oksigen dengan molekulmolekul makanan, organel ini memproduksi ATP.(3,5)

34 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006

Seperti halnya pada eukariot lain, nukleus C. albicans


merupakan organel paling menonjol dalam sel. Organ ini
dipisahkan dari sitoplasma oleh membran yang terdiri dari 2
lapisan. Semua DNA kromosom disimpan dalam nukleus,
terkemas dalam serat-serat kromatin. Isi nukleus berhubungan
dengan sitosol melalui pori-pori nucleus.(5,7) Vakuola berperan
dalam sistem pencernaan sel, sebagai tempat penyimpanan
lipid dan granula polifosfat. Mikrotubul dan mikrofilamen
berada dalam sitoplasma. Pada C. albicans mikrofilamen
berperan penting dalam terbentuknya perpanjangan hifa.(5,7)
STRUKTUR GENETIK
C. albicans mempunyai genom diploid. Kandungan DNA
yang berasal dari sel ragi pada fase stasioner ditemukan
mencapai 3,55 g/108 sel. Ukuran kromosom Candida albicans
diperkirakan berkisar antara 0,95-5,7 Mbp.(4) Beberapa metode
menggunakan Alternating Field Gel Electrophoresis telah
digunakan untuk membedakan strain C. albicans. Perbedaan
strain ini dapat dilihat pada pola pita yang dihasilkan dan
metode yang digunakan. Strain yang sama memiliki pola pita
kromosom yang sama berdasarkan jumlah dan ukurannya.
Steven dkk (1990) mempelajari 17 strain isolat C.
albicans dari kasus kandidosis. Dengan metode elektroforesis,
17 isolat C. albicans tersebut dikelompokkan menjadi 6 tipe.
Adanya variasi dalam jumlah kromosom kemungkinan besar
adalah hasil dari chromosome rearrangement yang dapat
terjadi akibat delesi, adisi atau variasi dari pasangan yang
homolog. Peristiwa ini merupakan hal yang sering terjadi dan
merupakan bagian dari daur hidup normal berbagai macam
organisme. Hal ini juga seringkali menjadi dasar perubahan
sifat fisiologis, serologis maupun virulensi.(4)
Pada C. albicans, frekuensi terjadinya variasi morfologi
koloni dilaporkan sekitar 10-2 sampai 10-4 dalam koloni
abnormal. Frekuensi meningkat oleh mutagenesis akibat
penyinaran UV dosis rendah yang dapat membunuh populasi
kurang dari 10%. Terjadinya mutasi dapat dikaitkan dengan
perubahan fenotip, berupa perubahan morfologi koloni menjadi
putih smooth, gelap smooth, berbentuk bintang, lingkaran,
berkerut tidak beraturan, berbentuk seperti topi, berbulu,
berbentuk seperti roda, berkerut dan bertekstur lunak.(4)
PATOGENESIS
Menempelnya mikroorganisme dalam jaringan sel pejamu
menjadi syarat mutlak untuk berkembangnya infeksi. Secara
umum diketahui bahwa interaksi antara mikroorganisme dan
sel pejamu diperantarai oleh komponen spesifik dari dinding
sel mikroorganisme, adhesin dan reseptor.(4,8) Manan dan
manoprotein merupakan molekul-molekul C. albicans yang
mempunyai aktifitas adhesif. Khitin, komponen kecil yang
terdapat pada dinding sel C. albicans juga berperan dalam
aktifitas adhesive.(4) Setelah terjadi proses penempelan, C.
albicans berpenetrasi ke dalam sel epitel mukosa. Dalam hal
ini enzim yang berperan adalah aminopeptidase dan asam
fosfatase. Apa yang terjadi setelah proses penetrasi tergantung
dari keadaan imun dari pejamu.(4,8)
Pada umumnya C. albicans berada dalam tubuh manusia
sebagai saproba dan infeksi baru terjadi bila terdapat faktor

predisposisi pada tubuh pejamu. Faktor-faktor yang


dihubungkan dengan meningkatnya kasus kandidosis antara
lain disebabkan oleh :
1. Kondisi tubuh yang lemah atau keadaan umum yang
buruk, misalnya: bayi baru lahir, orang tua renta, penderita
penyakit menahun, orang-orang dengan gizi rendah
2. Penyakit tertentu, misalnya: diabetes mellitus
3. Kehamilan
4. Rangsangan setempat pada kulit oleh cairan yang terjadi
terus menerus, misalnya oleh air, keringat, urin atau air
liur.
5. Penggunaan obat di antaranya: antibiotik, kortikosteroid
dan sitostatik.(3,4)
Faktor predisposisi berperan dalam meningkatkan
pertumbuhan C. albicans serta memudahkan invasi jamur ke
dalam jaringan tubuh manusia karena adanya perubahan dalam
sistem pertahanan tubuh. Blastospora berkembang menjadi hifa
semu dan tekanan dari hifa semu tersebut merusak jaringan,
sehingga invasi ke dalam jaringan dapat terjadi. Virulensi
ditentukan oleh kemampuan jamur tersebut merusak jaringan
serta invasi ke dalam jaringan.(2,4,8) Enzim-enzim yang berperan
sebagai faktor virulensi adalah enzim-enzim hidrolitik seperti
proteinase, lipase dan fosfolipase.(4,8)
EPIDEMIOLOGI
C. albicans dapat ditemukan di mana-mana sebagai
mikroorganisme yang menetap di dalam saluran yang
berhubungan dengan lingkungan luar manusia (rektum, rongga
mulut dan vagina).(4,8) Prevalensi infeksi C. albicans pada
manusia dihubungkan dengan kekebalan tubuh yang menurun,
sehingga invasi dapat terjadi. Meningkatnya prevalensi infeksi
C. albicans dihubungkan dengan kelompok penderita dengan
gangguan sistem imunitas seperti pada penderita AIDS,
penderita yang menjalani transplantasi organ dan kemoterapi
antimaligna.(4,8)
Selain itu makin meningkatnya tindakan invasif, seperti
penggunaan kateter dan jarum infus sering dihubungkan
dengan terjadinya invasi C. albicans ke dalam jaringan.
Edward (1990) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa
dari 344.610 kasus infeksi nosokomial yang ditemukan, 27.200
kasus (7,9 %) disebabkan oleh jamur dan 21.488 kasus (79 %)
disebabkan oleh spesies Candida. Peneliti lain (Odds dkk.
1990) mengemukakan bahwa dari 6.545 penderita AIDS,
sekitar 44,8 % nya adalah penderita kandidosis.(4)
Banyak studi epidemiologi melaporkan bahwa terjadinya
kasus-kasus kandidosis tidak dipengaruhi oleh iklim dan
geografis.(4) Hal itu menunjukkan bahwa C. albicans sebagai
penyebab kandidosis dapat ditemukan di berbagai negara.
PATOLOGI DAN MANIFESTASI KLINIK
Pada manusia, C. albicans sering ditemukan di dalam
mulut, feses, kulit dan di bawah kuku orang sehat.(4,8) C.
albicans dapat membentuk blastospora dan hifa, baik dalam
biakan maupun dalam tubuh. Bentuk jamur di dalam tubuh
dianggap dapat dihubungkan dengan sifat jamur, yaitu sebagai
saproba tanpa menyebabkan kelainan atau sebagai parasit
patogen yang menyebabkan kelainan dalam jaringan.

Penyelidikan lebih lanjut membuktikan bahwa sifat patogenitas


tidak berhubungan dengan ditemukannya C. albicans dalam
bentuk blastospora atau hifa di dalam jaringan.(3,4) Terjadinya
kedua bentuk tersebut dipengaruhi oleh tersedianya nutrisi,
yang dapat ditunjukkan pada suatu percobaan di luar tubuh.
Pada keadaan yang menghambat pembentukan tunas dengan
bebas, tetapi yang masih memungkinkan jamur tumbuh, maka
dibentuk hifa.(3)
Rippon (1974) mengemukakan bahwa bentuk blastospora
diperlukan untuk memulai suatu lesi pada jaringan. Sesudah
terjadi lesi, dibentuk hifa yang melakukan invasi.(2) Dengan
proses tersebut terjadilah reaksi radang. Pada kandidosis akut
biasanya hanya terdapat blastospora, sedang pada yang
menahun didapatkan miselium. Kandidosis di permukaan alat
dalam biasanya hanya mengandung blastospora yang berjumlah
besar, pada stadium lanjut tampak hifa.
Hal ini dapat dipergunakan untuk menilai hasil
pemeriksaan bahan klinik, misalnya dahak, urin untuk
menunjukkan stadium penyakit.(3,8) Kelainan jaringan yang
disebabkan oleh C. albicans dapat berupa peradangan, abses
kecil atau granuloma. Pada kandidosis sistemik, alat dalam
yang terbanyak terkena adalah ginjal, yang dapat hanya
mengenai korteks atau korteks dan medula dengan
terbentuknya abses kecil-kecil berwarna keputihan.
Alat dalam lainnya yang juga dapat terkena adalah hati,
paru-paru, limpa dan kelenjar gondok. Mata dan otak sangat
jarang terinfeksi. Kandidosis jantung berupa proliferasi pada
katup-katup atau granuloma pada dinding pembuluh darah
koroner atau miokardium. Pada saluran pencernaan tampak
nekrosis atau ulkus yang kadang-kadang sangat kecil sehingga
sering tidak terlihat pada pemeriksaan.(3,4) Manifestasi klinik
infeksi C. albicans bervariasi tergantung dari organ yang
diinfeksinya.(8,9)
Kandidosis kulit
Jamur ini sering ditemukan di daerah lipatan, misalnya
ketiak, di bawah payudara, lipat paha, lipat pantat dan sela jari
kaki.(8,9) Kulit yang terinfeksi tampak kemerahan, agak basah,
bersisik halus dan berbatas tegas.(9,10) Gejala utama adalah rasa
gatal dan rasa nyeri bila terjadi maserasi atau infeksi sekunder
oleh kuman.(3,9)
Kandidosis kuku
Kuku yang terinfeksi tampak tidak mengkilat, berwarna
seperti susu, kehijauan atau kecoklatan. Kadang-kadang
permukaan kuku menimbul dan tidak rata. Di bawah
permukaan yang keras terdapat bahan rapuh yang mengandung
jamur. Kelainan ini dapat mengenai satu/beberapa atau seluruh
jari tangan dan kaki.(3,9)
Kandidosis saluran pencernaan
Stomatitis dapat terjadi bila khamir menginfeksi rongga
mulut. Gambaran klinisnya khas berupa bercak-bercak putih
kekuningan, yang menimbul pada dasar selaput lendir yang
merah. Hampir seluruh selaput lendir mulut, termasuk lidah
dapat terkena. Gejala yang ditimbulkannya adalah rasa nyeri,
terutama bila tersentuh makanan.(3,8)

Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 35

Kandidosis vagina
Pada wanita, C. albicans sering menimbulkan vaginitis
dengan gejala utama fluor albus yang sering disertai rasa gatal.
Infeksi ini terjadi akibat tercemar setelah defekasi, tercemar
dari kuku atau air yang digunakan untuk membersihkan diri;
sebaliknya vaginitis Candida dapat menjadi sumber infeksi di
kuku, kulit di sekitar vulva dan bagian lain.(11,12)
Kandidosis paru
C. albicans dapat ditemukan sebagai infeksi primer dan
sekunder. Gejalanya menyerupai penyakit paru oleh sebab lain,
yaitu suhu tubuh meningkat, nyeri dada, batuk, dahak kental
yang dapat bercampur darah.(3,8)
Kandidosis alat dalam lain dan sistemik
Selain alat-alat tersebut di atas, kandidosis juga dapat
menginfeksi endokardium, selaput otak dan mata serta dapat
menimbulkan septikemi. Endokarditis oleh C. albicans
mempunyai gejala yang sangat mirip dengan penyakit yang
disebabkan oleh kuman, yaitu demam, bising jantung, payah
jantung, anemi dan pembesaran limpa.(3,8)
Meningitis oleh C. albicans dapat timbul oleh penjalaran
jamur secara hematogen. Gejala utamanya rasa nyeri disertai
kelainan saraf misalnya afasia atau hemiparesis.(3,8) Kandidosis
mata dapat berupa ulkus kornea yang disertai hipopion, atau
dapat juga berupa endoftalmitis.

Gejala dapat berupa skotoma, rasa sakit, pandangan silau


(fotofobia).(3,8) Septikemia oleh C. albicans sangat jarang ;
dapat terjadi sebagai penjalaran infeksi lokal, misalnya
stomatitis.(3,8)
KEPUSTAKAAN
1.

Ellis DH. Clinical mycology. The Human Opportunistic Mycoses.


Gillingham Printer. Australia. 1994; 13-39.
2.
Rippon JW. Medical Mycology. WB Saunders Co. Philadelphia. 1998;
532-75.
3.
Suprihatin SD. Candida dan Kandidiasis pada Manusia. Balai Penerbit
FKUI, Jakarta. 1982
4.
Segal, Baum. Pathogenic yeast and yeast infections. CRC Press Inc,
Tokyo 1994.
5.
Reiss E, Hearn VM, Poulain D dkk. Structure and function of the
fungal cell wall. J. Med. Vet.Mycol. 1992; 30 (Suppl): 143-56.
6.
Kreger van Rij NJW. The Yeast.A taxonomic study. Elsevier Science
Publ., Amsterdam, 1984.
7.
Roberts B, Bray J, Lewis J dkk. Biologi molekuler sel. 2nd ed. Balai
Penerbit FKUI, Jakarta, 1996
8.
Richardson MD, Shankland ES. Epidemiology and Pathogenesis of
Candidosis. Candida today 1991: 3-7.
9.
Mulyati, Sjarifuddin PK. Sumber Infeksi Kandidiasis Vagina.
Maj.Kedokt.Ind. 1995; 44 (4): 250-5
10. Kwon Chung KJ, Bennet JE. Medical Mycology. Library of Congress
Catalogue in Publication Data. 1992.
11. Sjarifuddin PK, Kertanegara D, Susilo K. Keberadaan Candida sp di
bawah kuku pada penderita vaginitis. Maj. Parasitol.Ind. 1996; 9 (2) : 7781.
12. Mulyati, Sjarifuddin PK. Sumber Infeksi Kandidiasis Vagina.
Maj.Kedokt.Ind. 1995; 44 (4): 250-5

Good news comes always too late, bad news comes


always too soon (Bodenstedt)

36 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Sindrom Nefrotik pada Kehamilan


Zulkhairi, Salli R Nasution
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / Rumah Sakit Haji Adam Malik
Medan, Sumatera Utara ,Indonesia

PENDAHULUAN
Kehamilan berpengaruh secara mekanis dan hormonal
terhadap fungsi traktus urinarius yang secara embriologis
berasal dari traktus genitalis. Deregulasi kerja fisiologis ginjal
dapat menginduksi perubahan yang bisa membahayakan
kehamilan serta meninggalkan penyakit yang menetap dan
progresif bagi ibu hamil. Kehamilan bersamaan dengan
perubahan anatomi, fungsi ginjal dan regulasi volume cairan
tubuh(1). Perubahan fisiologis pada ginjal wanita hamil dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Perubahan fisiologis ginjal wanita hamil(2)
Hemodinamik sistemik
Ekspansi volume
Penurunan resistensi pembuluh darah
Penurunan tekanan darah
Peningkatan tekanan darah

Fungsi ginjal
Peningkatan aliran darah ginjal
Peningkatan LFG
Hipoproteinemia
Alkalosis respiratorik kronik dan
asidosis metabolik yang seimbang

Profil klinis penyakit parenkim ginjal selama kehamilan


masih belum banyak dipahami. Belum banyak studi prospektif
yang menyelidiki hubungan klinis dan histologisnya. Analisis
retrospektif menunjukkan bahwa penyakit ginjal progresif
mengurangi kesempatan menyokong kehamilan yang viabel.
Pada kreatinin serum > 3 mg% dan urea nitrogen darah > 30
mg% jarang didapatkan kehamilan bisa normal. Ibu hamil
dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan sampai sedang
dilaporkan dapat melahirkan bayi yang viabel, tetapi ada juga
yang melaporkan pasien sampai menjalani hemodialisis
intermiten pada keadaan fungsi ginjal yang memburuk. Jika
penyakit parenkim ginjal tidak berhubungan dengan hipertensi,
kehamilan dapat berlanjut tanpa banyak komplikasi.(1)
Sindrom nefrotik (SN) adalah kelainan kompleks yang
ditandai oleh sejumlah gambaran kelainan ginjal dan non
ginjal, yang paling menonjol adalah proteinuri > 3,5 g/1,73 m2
luas permukaan badan dalam 24 jam ( pada praktek di klinis >
3,0-3,5 g/24 jam), hipoalbuminemi, edema, hiperlipidemi,
lipiduri dan hiperkoagulabilitas.(3) SN dikategorikan dalam
bentuk primer dan sekunder. Bentuk primer sekarang dikenal
dengan istilah SN idiopatik yang berhubungan dengan kelainan
primer parenkim ginjal dan sebabnya tidak diketahui.

Sedangkan bentuk sekunder disebabkan oleh penyakit tertentu


seperti keganasan, toksin, gangguan sirkulasi mekanik, purpura
anafilaktoid, lupus eritomatosus sistemik, diabetes melitus,
sickle cell disease dan sifilis.(4,5)
Berbagai penyebab SN dapat dilihat pada Tabel 2. SN
pada kehamilan secara umum jarang terjadi.(7'8) Hal ini
sebenarnya timbul karena adanya penyebab SN, kehamilan
hanya koinsiden.(7) Sulit mencari kepustakaan yang melaporkan
prevalensi atau insidensi SN pada kehamilan. Yao dkk
mendapatkan 50 kasus SN pada kehamilan pada pengamatan
13 tahun (1979-1992) di bagian kebidanan rumah sakit umum
Tianjin, Cina.(9) Apabila kehamilan disertai SN, maka
pengobatan serta prognosis ibu dan anak tergantung pada faktor
penyebabnya dan pada beratnya insufisiensi ginjal.(10)
PATOFISIOLOGI
Pada individu sehat, dinding kapiler glomerulus berfungsi
sebagai sawar untuk menyingkirkan protein agar tidak
memasuki ruangan urinarius melalui diskriminasi ukuran dan
muatan listrik. Dengan adanya gangguan glomerulus, ukuran
dan muatan sawar selektif rusak.
Umumnya molekul dengan radius < 17 A dapat melalui
filter glomerulus, sedangkan yang radius molekulnya > 44 A
tidak. Albumin dengan radius molekul 36 A mempunyai
bersihan fraksional sekitar 10% laju filtrasi glomerulus (LFG).
Dinding kapiler glomerulus mempunyai muatan negatif atau
anionik pada permukaan endotelnya sampai seluruh membrana
basalis glomerulus dan pada lapisan sel epitelnya, sehingga
dinding kapiler dapat menolak muatan positif dari protein
plasma. Jika gomerulus intak hanya albumin yang dapat lolos
melalui filtrasi glomerulus. Protein diekskresikan < 150 mg /
hari dalam urin.(11) Proteinuri pada SN terutama terdiri dari
proteinuri glomerular. Sedangkan proteinuri tubulus tidak
berperan penting, hanya turut memperberat derajat
proteinuri.(12)
Pada kehamilan terjadi peningkatan hemodinamik ginjal
dan/atau peningkatan tekanan vena ginjal yang dapat
menambah ekskresi protein melalui urin.(8) Telah diteliti bahwa
95% wanita hamil normal mengekskresikan protein > 200
mg/hari.(13) Disepakati abnormal pada kehamilan jika lebih dari
300-500 mg/hari.(14) Proteinuri persisten pada kehamilan

Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 37

umumnya disebabkan preeklamsi, makin meningkat pada paruh


kedua usia kehamilan dan umumnya terjadi setelah timbulnya
hipertensi.(13)
Tabel 2. Penyebab Sindrom Nefrotik(6)
Penyakit
glomerulus

Metabolik

Penyakit sistemik
dan imunologis

Penyakit sirkulasi

Nefrotoksin

Obat-obat dan alergi

Penyakit infeksi

Sindroma nefrotik
kongenital
Nefritis
hereditofamilial

Lesi minimal
Membranous idiopatik
Proliferatif
Lobular
Glomerulosklerosis diabetik difus dan nodular
Amiloidosis
Mieloma multipel
Miksedema
Lupus eritematosus sistemik
Periarteritis
Sindrom Goodpasture
Dermatomiositis
Central pontine myelinolysis
Penyakit Takayasu
Erythema multiforme
Anemia sickle cell
Sferositosis
Stenosis arteri renalis
Trombosis vena renalis
Trombosis arteri pulmonal
Perikarditis konstriktiva
Insufisiensi katup trikuspid
Feokromositoma
Diuretik organik merkuri, Salep amoniak merkuri
Merkuri non organik
Bismut
Emas
Serbuk sari (pollen)
Gigitan lebah
Racun kayu, racun pohon menjalar, toksin rhus yang
sudah dipurifikasi
Trimetadion dan parametadion
Anti serangga
Gigitan ular
Probenesid, Penisilamin
Terapi alergen dan serum campuran; contoh kayu,
cold pills, globulin dan vaksin polio
Penyakit Sitomegalovirus
Sifilis
Malaria
Tifus
Jejunoileitis kronis
Tuberkulosis
Endokarditis bakterial subakut
Herpes zoster
Shunt nephritis (stafilokokus)
Bakteremia campuran

Kehamilan
Transplantasi
Cyclic recurrent
Intestinal lymphangiectasis

KEHAMILAN PADA PENDERITA SINDROM NEFROTIK


Bagi wanita dengan penyakit ginjal yang mempertimbangkan hamil ada dua pertanyaan yang dibutuhkan untuk
menolong pasien membuat keputusan yang tepat: Apa
pengaruh penyakit ginjal pada kehamilan dan hasilnya terutama
terhadap morbiditas dan mortalitas janin. Penyakit ginjal
berhubungan dengan gagal plasenta, retardasi pertumbuhan

38 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006

dalam rahim, partus prematurus, bayi kecil. Tetapi risiko ini


tidak sama pada semua wanita hamil dengan penyakit ginjal.
Apa efek terhadap kehamilan pada riwayat penyakit ginjal
yang diderita sebelumnya..
Tidak hanya pengaruh yang segera timbul selama
kehamilan, tetapi juga efeknya juga terhadap progresifitas
penyakit ginjal tersebut.(15) Hal tersebut tidak terkecuali untuk
penderita SN yang ingin hamil. SN adalah satu faktor risiko
mayor untuk akibat yang jelek pada janin; harus dilakukan
upaya menurunkan proteinuri dan perbaikan hipoalbuminemi
terlebih dulu sebelum hamil.(15)
SINDROM NEFROTIK AKIBAT KEHAMILAN
Penyebab tersering proteinuri yang nefrotik (>3,5 mg/hari)
pada kehamilan lanjut adalah preeklamsi(8,16) Preeklamsi
banyak menimbulkan komplikasi ginjal serius pada kehamilan,
secara histologis abnormalitasnya ditemukan di glomerulus,(1,7)
berupa pembengkakan dan proliferasi sel-sel endotel kapiler
glomerulus dengan penyempitan lumen kapiler, jarang terdapat
kehilangan struktur pedikel yang bermakna.(1) Sangat sering
proteinuri akibat preeklamsi nefrotik cukup kuat untuk
menginduksi gambaran klinis SN.(1,7) Penyakit menjadi
progresif dan cenderung mereda sebagian atau seluruhnya
setelah partus.(7)
Weisman dkk telah melaporkan sekelompok kehamilan
nefrotik berat yang diikuti selama 4 tahun setelah partus dan
mengamati bahwa beberapa wanita memiliki penyakit ginjal
yang perubahan morfologinya ditutupi oleh perubahan
preeklamsi pada spesimen biopsi pasca partus. Lindheimer dan
Katz memeriksa 10 kehamilan nefrotik dengan endoteliosis
glomerular 12-14 bulan pasca partus, 9 dari wanita ini memiliki
fungsi ginjal normal, yang ke-10 menderita penyakit ginjal
polikistik walaupun pada pielogram pasca partus 3 tahun lalu
dalam batas normal. Oleh karena itu, preeklamsi masih
merupakan penyebab terbanyak proteinuri pada kehamilan
lanjut. Penyebab lain SN pada kehamilan termasuk glomerulonefritis membranous, proliferatif atau membranoproliferatif, lipoid nefrosis, lupus nefropati, sifilis sekunder,
nefritis herediter, trombosis vena ginjal, nefropati diabetik dan
amiloidosis.(1,8)
Penekanan vena cava inferior akibat uterus gravida
mungkin berperan sebagai penyebab transient nephrotic
syndrome yang dapat menimbulkan trombosis vena ginjal. Pada
keadaan ini tidak dijumpai penyebab primer maupun
sekunder.(7)
RECURRENT NEPHROTIC SYNDROME OF PREGNANCY
Nama lain untuk istilah ini adalah cyclic nephrosis of
pregnancy, yang menggambarkan kondisi bahwa gejala SN
lebih jelas selama kehamilan, dan dapat menghilang setelah
partus.(1,8,16) Kasus ini jarang ditemukan di klinik tetapi
mempunyai prognosis yang baik.(4,12) Umumnya kasus ini
terjadi pada pasien preeklamsi dengan latar belakang penyakit
parenkim ginjal sebelumnya.(8)
Kasus ini pertama dilaporkan Schreiner (1963) pada 1
kasus SN yang dihubungkan dengan pengulangan
kehamilan.(1,7) Walaupun fungsi ginjal adekuat dan hipertensi

pada awalnya tidak dijumpai, pasien akhirnya meninggal


karena gagal ginjal dengan gambaran histologi proliferatif
campuran dan perubahan membranous di glomerulus.
Schreiner menyebutkan bahwa kasus ini disebabkan respon
hiperimun yang berhubungan dengan adanya produk kehamilan
yang tidak diketahui.(1,7,8)
DIAGNOSIS
1. Gambaran klinis
Tidak ada penekanan khusus gambaran klinis SN yang
terjadi pada wanita hamil. Secara umum pada SN terjadi edema
akibat hipoalbuminemi, asites, efusi pleura, sesak nafas, kaki
merasa berat dan dingin, tidak jarang diare, atrofi otot, serta
hipertensi ringan dan sedang.(12)
2. Evaluasi laboratorium
2.1. Proteinuri
Proteinuri biasanya dideteksi pada urinalisis rutin.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan kuantitatif. Bila asal
proteinuri tidak jelas, dapat dilakukan elektroforesis protein
urin. Bila albumin >70% maka sumbernya adalah glomerular.
Pemeriksaan yang paling sering dan mudah adalah dengan cara
dipstick yang bermanfaat untuk melihat ada tidaknya proteinuri
terlebih pada nilai yang > +3 ( 3 g/dl) atau > +4 ( > 20 g/dl),
tetapi pada nilai intermediate angka positif palsunya mencapai
50%. Protein urin 24 jam adalah baku emas untuk pengukuran
nilai proteinuri, tetapi cara ini tidak praktis terutama pada
keadaan preeklamsi yang memerlukan hasil segera. Yang
paling baik adalah dengan menggunakan alat urinalisis
otomatis.(13)

fibrinogen. Jika pengobatan adekuat semua fraksi tersebut akan


kembali normal.(12)
3.

Biopsi ginjal
Untuk mencari penyebab SN pada kehamilan dilakukan
biopsi ginjal. Tindakan ini sering dilakukan pada SN yang tidak
disebabkan oleh preeklamsi dan SN yang terjadi pada awal
kehamilan. Biopsi dilakukan pada posisi telungkup pada usia
kehamilan di atas 20 minggu, setelah masa itu lebih baik dalam
posisi duduk. Kontraindikasi absolut dan relatif tidak berbeda
seperti pada wanita yang tidak hamil.(13) Biopsi ginjal juga
dibutuhkan untuk menentukan jenis terapi terutama peranan
steroid.(8)
Tabel 3. Manifestasi dan penatalaksanaan SN pada kehamilan.
Manifestasi
Proteinuri

Akibat pada kehamilan


Peningkatan hemodinamik
ginjal, juga peningkatan
tekanan vena ginjal dapat
meningkatkan
ekskresi
protein dan memperparah
penyakit

Hipoalbuminemi

Kadar
albumin
serum
biasanya turun 0,5-1 g/100
ml pada kehamilan normal.
Penurunan albumin yang
lebih
besar
akan
meningkatkan
kecenderungan retensi cairan

Edema

Biasanya meningkat selama Hindari diuretik yang dapat


kehamilan
meningkatkan
oligemi
intravaskular
dan
mempengaruhi
perfusi
uteroplasental

2.3. Faal ginjal


Pada stadium awal faal ginjal masih normal, masih
sanggup mengeksresikan urea, kreatinin dan hasil-hasil
metabolisme protein lainnya. Bila SN telah berjalan lama dan
menetap, baru terdapat gangguan faal ginjal, biasanya telah
terdapat kerusakan progresif glomerulus.(12)

Komplikasi
infeksi

Terjadi peningkatan insiden Pemeriksaan


komplikasi infeksi
asimtomatis

Episode
trombotik

Kehamilan adalah keadaan


hiperkoagulabilitas, yang
dapat
meningkatkan
episode trombotik pada
kehamilan

2.4. Hiperlipidemi
Kenaikan lemak darah sudah lama diketahui pada pasien
SN. Kenaikan kolesterol total serum dapat mencapai 400-600
mg% dan lemak total 2-3 g%. Pada umumnya terdapat
hubungan terbalik antara kadar albumin serum dengan kadar
kolesterol total serum yaitu penurunan kadar albumin serum
disertai kenaikan kadar kolesterol total serum.(12)

Hiperlipidemi

Kolesterol dan asam lemak Jarang dibutuhkan terapi


bebas umumnya meningkat pada
kehamilan
dan
selama kehamilan
kebanyakan obat penurun
lemak belum diuji pada
kehamilan

2.2. Sedimen urin


Urin mengandung benda-benda lemak dan kolesterol ester,
terlihat sebagai Maltese cross dengan sinar polarisasi. Hematuri
mikroskopik disertai silinder eritrosit sering ditemukan pada
semua bentuk glomerulonefritis yang menyebabkan SN.(12)

2.5. Elektroforesis serum protein


Penurunan kadar albumin terutama menyebabkan
hipoproteinemi. Globulin serum cenderung normal atau sedikit
meninggi. Proteinuri non selektif dan gamma globulin dapat
lolos melalui urin jika glomerulus telah rusak berat. Gamma
globulin seringkali meninggi, juga beta globulin dan

Penatalaksanaan
Diet
tinggi
protein
(3 g/kg/kgbb.)
Infus salt-poor
albumin
direkomendasikan
untuk
pasien dengan penurunan
fungsi ginjal akibat oligemi
yang
nyata
dan
adanya hipotensi postural

bakteriuri

Tidak
dianjurkan
antikoagulan
profilaktik,
tetapi jika dibutuhkan,
heparin adalah antikoagulan
yang
tidak
melewati
plasenta

PENATALAKSANAAN
Prinsipnya terdiri dari terapi simtomatik dan spesiflk
terhadap penyakit glomerulus primer serta pemilihan obat yang
aman bagi ibu dan janinnya.(1) Tabel 3 menunjukkan
manifestasi dan penatalaksanaan SN pada kehamilan.
1.

Tindakan Umum
Penderita dengan edema anasarka berat harus rawat inap
dan istirahat di tempat tidur untuk mengurangi proteinuri.

Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 39

Mobilisasi otot-otot penting untuk mencegah atrofi otot


ekstremitas. Penderita edema ringan cukup rawat jalan dan
mengurangi mobilisasi aktif untuk mencegah proteinuri
ortostatik.(4)

infeksi pasien harus sering diperiksa untuk deteksi bakteriuri


asimtomatik dan antibiotik harus diberikan dengan hati-hati
pada bukti infeksi yang sudah ada.(I,10)
8.

2.

Diet kaya protein


Diet ini untuk kompensasi kehilangan protein melalui urin.
Efek kehilangan protein berlebih dapat menimbulkan retardasi
pertumbuhan janin. Jika terjadi hipoproteinemi ibu harus
mendapat diet tinggi protein (3g/kgbb.) dari jenis protein
hewani yang mempunyai nilai biologis tinggi.(1,4,10)
3.

Infus salt-poor human albumin


Pada keadaan tidak hamil indikasi pemberian infus saltpoor human albumin adalah pada pasien-pasien SN yang
resisten terhadap diuretik (500 mg furosemid dan 200 mg
spirinolakton).(4) Pada SN dengan kehamilan infus salt-poor
human albumin diberikan jika oligemi bertanggung jawab
terhadap perburukan fungsi ginjal yang progresif.(1,13) Namun
peranannya disebutkan sedikit pada penatalaksanaan SN pada
kehamilan.(13)
4.

Pembatasan garam dapur


Bila sembab tidak berat pembatasan konsumsi garam
dapur tidak perlu ketat. Penderita dilarang makan ikan asin,
telur asin, kecap asin atau makanan kaleng. Untuk penderita
edema anasarka dilakukan restriksi garam ketat 10 mEq/hari.(4)
5.

Diuretik
Diuretik harus dihindari karena dapat meningkatkan
oligemi
intravaskuler
dan
mempengaruhi
perfusi
uteroplasenta,(1,16) selain itu penurunan tekanan darah selama
kehamilan dapat memprovokasi kolaps sirkulasi atau episode
tromboemboli. Pengecualian hal ini adalah pada bentuk
nefrotik tertentu yang juga memunculkan hipertensi yang
sensitif garam (terutama wanita dengan nefropati diabetik),
pada kasus seperti itu restriksi garam yang lebih ketat,
kombinasi dengan diuretik yang hati-hati dapat menghindari
terminasi pada awal trimester III akibat tekanan darah tidak
terkontrol.(16) Juga pada kasus-kasus edema nefrotik yang
makin memburuk selama kehamilan dapat dipertimbangkan
diuretik.(8)
6.

ACE-Inhibitor
Walaupun
mempunyai
efek
antiproteinuri
dan
antihipertensi, golongan obat ini dikontra indikasikan pada
kehamilan karena efek yang tidak diinginkan pada janin berupa
gagal ginjal dan kematian janin. (13,17)
7.

Antibiotik
Diketahui setiap SN sangat peka terhadap infeksi
sekunder, renal maupun ekstrarenal.(4) Sedang pada kehamilan
sering dijumpai bakteriuri asimtomatik yang jika tidak diobati
25% akan berkembang menjadi infeksi akut simtomatis.(14)
Sejumlah 18% kehamilan nefrotik menderita komplikasi
infeksi dan sebagian besar merupakan infeksi saluran kemih.(8)
Kedua keadaan tersebut akan menambah risiko infeksi
sekunder. Oleh karena itu untuk menghindari komplikasi

40 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006

Antikoagulan
Antikoagulan dipertimbangkan untuk mencegah penyulit
tromboemboli yang mungkin terdapat pada SN.(4) Wanita hamil
dengan SN berisiko tinggi tromboemboli vena dan perlu
mendapat antikoagulan.(13) Untuk ini, heparin lebih baik
dibanding warfarin.(1) Siberman dan Adam menganjurkan
pemberian heparin dalam masa nifas pada wanita dengan
SN.(10) Heparin tidak terfraksinasi dan heparin berat molekul
rendah tidak melewati plasenta, sehingga aman digunakan.(18)
Pemberian antikoagulan tidak perlu jika diuretik dihindari dan
diet restriksi garam benar-benar diterapkan.(8)
9.

Anti agregasi trombosit


Aspirin atau dipiridamol sudah lama dikenal untuk
mencegah penyulit hiperkoagulasi dengan fenomena
tromboemboli pada pasien SN. Efek farmakologiknya terutama
untuk mencegah agregasi trombosit dan deposit fibrin atau
trombus. Begitu juga halnya dengan indometasin yang selain
memiliki efek anti agregasi trombosit juga efek sebagai anti
proteinuri.(4)
Penggunaan aspirin pada wanita hamil walaupun terbukti
secara epidemiologis dan klinis aman namun disebutkan dapat
menimbulkan partus lama dan risiko perdarahan pada neonatus
dan ibunya. Indometasin tidak dianjurkan pada wanita hamil
karena melewati barier plasenta serta toksisitasnya.(17,19)
walaupun tidak terbukti teratogenik.(19)
10. Kortikosteroid
Steroid dengan kerja (efek) cepat dan waktu paruh
biologik pendek (<12 jam) misalnya kortison dan hidrokortison
biasanya mempunyai efek farmakologik kurang cepat, sering
menimbulkan retensi garam dan air. Steroid dengan waktu
paruh biologik panjang, biasanya mempunyai efek
farmakologik lebih poten (kuat), misalnya betametason dan
deksametason. Steroid kerja medium dengan waktu paruh
biologik antara 12-36 jam sangat ideal untuk pengobatan
alternating (alternate-day therapy) yang mempunyai banyak
keuntungan untuk jangka panjang, misalnya prednison,
prednisolon, metilprednisolon dan triamnisolon. Golongan
yang terakhir ini relatif tidak menyebabkan retensi natrium.(4)
Kortikosterod dosis tinggi pada kehamilan berimplikasi
pada naiknya angka kejadian bibir sumbing dan osteoporosis.
Dosis < 15 mg prednisolon/hari tidak terbukti memiliki efek
samping pada janin. Penyesuaian dosis kortikosteroid pada
kehamilan tidak diperlukan.(15) Nefrosis lipoid dan nefropati
lupus adalah tipe yang responsif terhadap steroid.(8)
11. Siklofosfamid
Siklofosfamid merupakan salah satu alkylating agent dan
golongan imunosupresif yang sangat poten. Dalam tubuh
dimetabolisme oleh sel hati menjadi beberapa metabolit aktif
dan dieliminasi melalui ginjal. Karena efek sampingnya yang
sangat berbahaya maka perlu dipertimbangkan sebelum
diputuskan akan digunakan pada SN. Indikasi siklofosfamid

adalah pada lesi minimal dengan: 1) tidak responsif terhadap


kortikosteroid. 2) kambuh berulang (frequent relapse) dan
tergantung kortikosteroid. 3) timbul efek samping
kortikosteroid.(4)
Siklofosfamid dapat menyebabkan infertilitas baik pada
wanita maupun pria, terutama pada dosis > 200 mg/kgbb. Obat
ini dikontraindikasikan pada kehamilan karena teratogenik.
Bahkan wanita yang mendapat terapi siklofosfamid dianjurkan
untuk tidak hamil sampai dengan 1 tahun setelah terapi.(15)
12. Siklosforin
Siklosforin adalah imunosupresif yang paling aman
digunakan pada kehamilan. Tidak dibutuhkan penyesuaian
dosis pada keadaan hamil.(15)
PROGNOSIS
Prognosis dan keberhasilan kehamilan bergantung pada
fungsi ginjal, proteinuri dan hipertensi.(8) Kebanyakan
kehamilan berhasil dipertahankan sampai matur. Ada
pernyataan bahwa hipoalbuminemi oligemi yang berat
berhubungan dengan bayi kecil.(1,7,16) Janin dari ibu normotensi
yang menderita proteinuri selama kehamilan mempunyai
gangguan neurologis dan perkembangan mental.(1,8) Prognosis
biasanya kurang baik jika SN disebabkan post streptococcal
proliferative
glomerulonephritis
atau
renal
lupus
erythematosus.(7)
Prognosis janin pada preeklamsi dengan proteinuri berat
lebih jelek daripada pada keadaan preeklamsi lain, tetapi
prognosis ibu sama saja. Prognosis baik pada kebanyakan
kehamilan nefrotik dengan fungsi ginjal yang masih dalam
batas normal, tetapi beberapa ahli berpendapat bahwa
prognosis janin lebih buruk jika SN sudah mulai timbul pada
awal kehamilan.(16)

KESIMPULAN
Sindrom nefrotik dapat terjadi bersamaan dengan
kehamilan atau kehamilan dapat terjadi pada penderita sindrom
nefrotik. Prinsip penatalaksanaan secara umum tidak berbeda
dengan keadaan tidak hamil, kecuali penggunaan beberapa
obat-obatan yang perlu menjadi perhatian pada wanita hamil
Prognosis dan keberhasilan kehamilan bergantung pada fungsi

ginjal, proteinuri dan hipertensi yang terjadi.

KEPUSTAKAAN
1.

Tripathi K, Prakash J. Kidney diseases in pregnancy. In : Textbook of


Nephrology, 1st ed, Jaypee 1993. p.347-82.
2.
Gallery EDM. Renal physiology in normal pregnancy. In: Johnson
RJ, Feehaely J (eds). Comprehensive clinical nephrology, 1st ed, London :
Mosby, 2000. p.46.
3.
Brady HR, Brenner BM. Pathogenetic mechanism of glomerular injury. In:
Fauci, Braunwald, Isselbacher et al (eds). Harrison's Principles of Internal
Medicine, 14th ed, New York : McGraw Hill, 1998.p. 1540-4.
4.
Sukandar E, Sulaeman R. Sindrom nefrotik. Dalam: Soeparman, Sukaton
U, Waspadji S, dkk (eds). Ilmu penyakit dalam, jilid II, Jakarta: BP FK UI,
1990. hal. 282-305
5.
Travis L. Nephrotic syndrome. eMedicine. June 11, 2002.
6.
Interrelationship between the different types of the nephrotic syndrome.
Available from: http://nephrotic-syndrome.org/disease/zdic2.
7.
Black D. The Nephrotic syndrome. In: Renal disease, 3rd ed, Oxford:
Blackwell Scient. Publ. 1972. p.331-66.
8.
Lindheimer MD, Katz AI. Kidney function and disease in pregnancy.
Philadelphia : Lea & Febiger, 1977. p.160-4.
9.
Yao T, Yao H, Wang H. Diagnosis and treatment of nephrotic syndrome
during pregnancy. Chin Med J (Eng) 1996 Jun; 109 (6): 471-3.(Abstrak)
10. Hudono ST,Yunizaf. Penyakit ginjal dan saluran kemih (traktus urinarius).
Dalam : Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T (eds). Ilmu Kebidanan,
Edisi ke-3. Jakarta: Gramedia, 1991, hal. 514
11. Tisher CC, Wilcox CS. Buku saku nefrologi, Edisi ke-3 (terj.), Jakarta: EGC,
1995. hal.37-43.
12. Sukandar E. Nefrologi klinik, Ed.II, Bandung: Penerbit ITB, 1997. hal. l64-97.
13. Brown MA, Bowyer L. Renal complication in normal pregnancy. In : Johnson
RJ, Feehaely J (eds). Comprehensive Clinical Nephrology, 1st ed, London :
Mosby, 2000. p.47. 1-14.
14. Cunningham FG, Grant NF, Leveno KJ et al (eds). Renal and urinary tract
disorders. In: Williams Obstetrics, 21st ed, New York : McGraw Hill, 2001. p.
1253-62.
15. Packham DK, Fairly KF, Smith PK. Pregnancy with preexisting renal
disease. In : Johnson RJ, Feehaely J (eds). Comprehensive Clinical
Nephrology, 1st ed, London : Mosby, 2000. p.48.1-12.
16. August P, Katz AI, Lindheimer MD. The Patient with kidney disease
and hypertension in pregnancy. In: Schrier RW (ed). Manual of
Nephrology, 5th ed, Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2000.
p.219-20.
17. Wilmana F. Analgesik-Antipiretik, Analgesik anti inflamasi nonsteroid dan
obat pirai. Dalam : Ganiswara SG, Setiabudy R, Suyatna FD,
Purwantyastuti. Farmakologi dan Terapi, ed. 4, Jakarta: Gaya Baru, 1995.
hal. 219.
18. Turpie AGG, Hin BSP, Lip GYH. ABC of Anti thrombotic therapy. Venous
thromboembolism : treatment strategies. BMJ 2002 ; 325: 948-50.
19. Cocobo SC, Evangelista LF, Kin PT.IIMS 92/93, 3rded, Singapore:
MIMS Publication, 1992. p.206, 649.

Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 41

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Sindrom Antifosfolipid dan Trombosis


William Sanjaya, Abdul Hakim Alkatiri
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta, Indonesia

PENDAHULUAN
Antibodi antifosfolipid adalah keluarga otoantibodi yang
mempunyai jangkauan kekhususan dan afiniti yang luas yang
meliputi perpaduan berbagai fosfolipid, fosfolipid terikat
protein, atau keduanya. Terminologi sindrom antifosfolipid
pertama kali ditujukan pada hubungan klinis antara antibodi
antifosfolipid dan sindrom hiperkoagulabiliti yang meliputi
trombosis arteri, vena, trombositopeni dan komplikasi
obstetrik.(1,2) Meskipun antibodi-antibodi belum secara jelas
merupakan penyebab trombosis dan keguguran, mereka
merupakan petanda laboratoris yang penting.(3)
Kejadian-kejadian trombotik dilaporkan terjadi pada 30 %
pasien dengan antibodi antifosfolipid dengan keseluruhan
kejadian 2,5 % pasien pertahun. Trombosis vena dalam pada
tungkai dan emboli paru tercatat merupakan dua pertiga
kejadian trombotik, dan trombosis arteri otak merupakan
komplikasi arteri yang umum dan terbanyak. Komplikasi
obstetrik meliputi keguguran spontan berulang, kematian janin,
dan pertumbuhan janin terhambat.(2)
SEJARAH
Antibodi antifosfolipid pertama adalah sebuah komplemen
terikat antibodi yang bereaksi dengan ekstrak jantung sapi yang
dideteksi pada pasien-pasien sifilis pada tahun 1906. Antigen
yang berkaitan kemudian diidentifikasikan sebagai kardiolipin,
sebuah fosfolipid mitokondria. Pengamatan ini menjadi dasar
uji the Venereal Disease Research Laboratory (VDRL) untuk
sifilis yang digunakan sampai saat ini.(1) Hughes (1975)
menemukan beberapa gambaran serologi mielopati virus pada
wanita muda Jamaika dengan insidensi serologi positif palsu
yang tinggi untuk sifilis, dan adanya antibodi antinuklear yang
mempunyai kemiripan dengan sindrom neurologi dari sklerosis
lupus.(4) Pada permulaan tahun 1990an telah ditemukan bahwa
kedua kelompok antibodi antikardiolipin (lupus eritematosus
sistemik dan trombosis) membutuhkan 2-glikoprotein I untuk
mengikat kardiolipin. Kebutuhan ini merupakan gambaran
antibodi antikardiolipin pada pasien lupus eritematosus
sistemik (LES) atau sindrom antifosfolipid yang bukan dari
sifilis dan penyakit-penyakit infeksi yang lain.(1)

GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis nyata dari sindrom antifosfolipid dan
trombosis beranekaragam mulai dari subakut (migrain
berulang, gangguan penglihatan, pelo dengan riwayat khorea,
trombosis vena dalam, dan keguguran berulang) sampai ke arah
yang serius (kegagalan katup jantung yang cepat,
trombositopeni, stroke mayor, dan trombosis meluas).(4)
Sindrom antifosfolipid sendiri dapat dibagi dalam
beberapa kategori. Sindrom antifosfolipid primer terjadi pada
pasien-pasien tanpa bukti klinis adanya penyakit otoimun yang
lain, sedangkan sindrom antifosfolipid sekunder terjadi
berkaitan dengan penyakit otoimun atau yang lain (Panel 1).
Panel 1: Hubungan klinis dengan antibodi-antibodi antifosfolipid

Sindrom antifosfolipid primer


Dengan manifestasi penyakit tromboembolik vena, penyakit
tromboembolik arteri terutama stroke, endokarditis steril dengan emboli,
kegagalan kehamilan berulang.

Sindrom antifosfolipid sekunder dengan kelainan rheumatik dan jaringan


ikat
Trombosis, keguguran berulang, atau keduanya terjadi berkaitan dengan
antibodi-antibodi antifosfolipid dalam LES, AR, sklerosis sistemik,
arteritis temporal, sindroma Sjogren, artropati psoriatik, sindrom Behcet,
dan lain-lain.

Beberapa hubungan yang lain


Infeksi-infeksi akut (sembuh sendiri) dan kronik seperti
Virus (HIV-1, varicella, hepatitis C)
Bakterial (sifilis)
Parasit (malaria)
Penyakit-penyakit limfoproliferatif
Limfoma malignum
Paraproteinemia
Paparan obat
Fenotiazin
Kinidin
Hidralazin
Prokainamid
Fenitoin
Aneka ragam yang lain
Trombositopeni otoimun
Anemia hemolitik otoimun
Penyakit sel bulan sabit (sickle-cell)
Penyalahgunaan obat intravena
Livedo retikularis
Sindroma Guillain-Barre

Tidakadanya penyakit dasar


Dikutip dari (3)

42 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006

LES dilaporkan merupakan penyakit yang terbanyak


mendasari sindrom antifosfolipid sekunder. Kelainan lain
adalah sklerosis sistemik, artritis rheumatoid (AR), atau
sindrom Behcet. Pada banyak kasus sindrom Sneddon yang
meliputi trias klinis stroke, livedo retikularis, dan hipertensi
sering tak terdiagnosis adanya sindrom antifosfolipid.(1,3)
DETEKSI KLINIS ANTIBODI ANTI-FOSFOLIPID
Subkelompok antibodi-antibodi antifosfolipid yang paling
umum dideteksi adalah antibodi antikoagulan lupus (AL),
antikardiolipin (AK), dan 2-glikoprotein I (Tabel 1). Secara
umum antibodi-antibodi AL lebih spesifik untuk sindrom
antifosfolipid, sedangkan AK lebih sensitif.(1)
Terminologi antifosfolipid menunjukkan kelompok
heterogen imunoglobulin (IgG, IgM, dan jarang IgA) yang
terdeteksi dengan dua macam uji yaitu (1). Imunoesei fase
solid, secara khusus ELISA, dengan fosfolipid yang digunakan
sebagai antigen pelapis atau (2). uji pembekuan yang
tergantung oleh kemampuan beberapa antifosfolipid untuk
mengganggu
reaksi
pembekuan
invitro,
sehingga
memanjangkan masa pembekuan. Beberapa antifosfolipid juga
menghasilkan reaksi positif palsu dengan uji baku
nontreponemal untuk sifilis. Antifosfolipid yang ditentukan
dengan uji ELISA konvensional dengan kardiolipin fosfolipid
dikenal sebagai AK, sedangkan yang dikenal dengan uji
pembekuan dilabel AL.(5) AL adalah sebuah imunoglobulin (Ig)
yang bereaksi sebagai penghambat koagulasi yang tidak
mengenal faktor koagulasi khusus. AL memperlambat laju
generasi trombin, dan pembentukan bekuan in vitro melalui
peranannya di dalam interaksi yang memerlukan fosfolipid.(4)
Di dalam pemeriksaan koagulasi, AL diidentifikasikan sebagai
pemanjangan waktu-waktu pembekuan.(1,4)
Diagnosis AL ditetapkan berdasarkan kriteria rekomendasi
yaitu : (a). Pemanjangan paling sedikit satu uji pembekuan
yang tergantung fosfolipid, (b). Kelainan uji yang menetap
(rasio pasien : normal > 1,2), (c). modifikasi masa pembekuan
pada perubahan kadar fosfolipid (sebagai contoh perbaikan
pada peningkatan kadar fosfolipid dan atau pemanjangan
pengenceran fosfolipid (Gambar 1).(1,6)
Spesifisitas antibodi AK untuk sindrom antifosfolipid
meningkat dengan titer dan lebih tinggi untuk IgG daripada
isotop IgM.1 Pada tahun 1990 telah dilaporkan bahwa AK yang
dideteksi dengan ELISA tidak berhubungan langsung dengan
kardiolipin semata, karena IgG yang telah dimurnikan dari
pasien-pasien dengan AK positif tidak berikatan dengan
kardiolipin tanpa adanya protein plasma dengan afiniti untuk
permukaan anion fosfolipid.(2,4) Beberapa target antigenik dari
antibodi-antibodi ini meliputi 2-glikoprotein I, protrombin,
kininogen berat molekul besar dan kecil, aneksin-V, protein C
teraktifasi, dan protein S.(2) 2-glikoprotein I yang juga disebut
sebagai apolipoprotein H dikenal sebagai antikoagulan alamiah
dan dibutuhkan untuk mengikat otoimun AK dalam uji ELISA
dan untuk mengekspresikan sekelompok AL dalam aktivitas
antikoagulan invitro.(6) Kebanyakan 2-glikoprotein I yang
tergantung pada antibodi-antibodi AK mengenal 2glikoprotein I sama baiknya mengikat kardiolipin atau anion
fosfolipid lainnya. Hal ini disebabkan karena 2-glikoprotein I

berinteraksi secara kuat dengan anion fosfolipid tetapi lemah


dengan fosfolipid yang tidak bermuatan.(1) 2-glikoprotein I
juga berikatan mempunyai kemampuan antikoagulan yang
lemah kebanyakan melalui penghambatan fase kontak
pembekuan dan aktivitas protrombinase platelet.(3)

Gambar 1: Deteksi antikoagulan lupus dengan esei koagulasi invitro


Aneka uji koagulasi digunakan untuk mendeteksi aktifiti antikoagulan
lupus tertanda dengan huruf miring, dan gambar menunjukan diagram skematik
yang disederhanakan dari jalur koagulasi yang dinilai dengan uji-uji ini. Kaskade
koagulasi sebagai hasil konversi enzimatik dari setiap faktor kepada bentuk
aktifasinya (kotak oranye), atau bentuk enzimatik (kotak biru), dimana kemudian
dalam kombinasi dengan kofaktor yang teraktifasi, mengkatalis reaksi
selanjutnya. Jalur koagulasi intrinsik dimulai dengan aktifasi kontak pada gelas,
silika, atau kaolin (sebagai activated partial thromboplastin time [APTT],
colloidal-silica clotting time [CSCT], dan kaolin clotting time [KCT] assay),
sedangkan jalur koagulasi ekstrinsik dimulai dengan pembentukan sebuah
kompleks antara faktor jaringan dan faktor VIIa (seperti dalam the dilute
prothrombin time [dPT] assay). Kedua jalur intrinsik dan ekstrinsik
mengkonversi faktor X menjadi faktor X teraktifasi (faktor Xa). Akhirnya kedua
jalur intrinsik dan ekstrinsik tercakup dalam jalur umum terakhir, aktifasi
protrombin menjadi trombin diikuti oleh konversi fibrinogen menjadi
fibrin.Russells viper venom secara langsung mengaktifasi faktor X. Taipan,
Textarin, dan Ecarin snake venom secara langsung mengekstraksi protrombin
teraktifasi tetapi mempunyai kebutuhan kofaktor yang berbeda.Taipan venom
activation dari protrombin membutuhkan fosfolipid dan kalsium tetapi tidak
faktor Va. Aktifasi textarin dari protrombin membutuhkan fosfolipid, kalsium,
dan faktor Va, sedangkan aktifasi ecarin dari protrombin tidak tergantung
kofaktor dan tidak membutuhkan fosfolipid, kalsium, atau faktor Va. Aktifasi
protrombin menjadi trombin seperti berberapa reaksi yang lain dalam kaskade
koagulasi membutuhkan adanya fosfolipid dan kalsium. Reaksi-reaksi yang
tergantung fosfolipid ini dipercaya merupakan target antibodi-antibodi
antikoagulan lupus invitro. Meskipun kedua jalur ekstrinsik dan intrinsik tidak
bermakna untuk pembekuan invitro, jalur ekstrinsik mempunyai peran yang
dominan secara invivo.
Dikutip dari (1)

Aneksin-V mempunyai peranan fisiologis menghambat


reaksi pembekuan darah dengan melindungi anion fosfolipid

Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 43

bertrombogenik tinggi dari kompleks enzim pembekuan.


Kemampuan invitro antikoagulan yang kuat dari aneksin-V
(protein antikoagulan plasenta-I, antikoagulan vaskuler-)
merupakan dasar afiniti yang tinggi terhadap anion fosfolipid
dan kemampuan menyingkirkan faktor-faktor pembekuan dari
permukaan fosfolipid. Aneksin-V secara normal ditemukan
pada permukaan apikal sinsitiotrofoblas plasenta.(7)
PATOGENESIS
Beberapa hipotesis diajukan untuk menjelaskan
mekanisme seluler dan molekuler bagaimana antibodi-antibodi
fosfolipid mencetuskan trombosis (Tabel 2).(1) Hubungan
paradoks antara keadaan protrombotik dengan adanya
otoantibodi dengan efek antikoagulan invitro tidak secara
penuh diketahui. Pada sindrom antifosfolipid, oklusi vaskuler
lebih disebabkan oleh tromboemboli daripada vaskulitis.(4)
Hipotesis pertama adalah pengikatan antibodi-antibodi
antifosfolipid mencetuskan aktifasi sel-sel endotel yang dinilai
dari peningkatan adesi molekul, sekresi sitokin, dan
metabolisme prostasiklin. Hipotesis kedua memusatkan pada
injuri yang diperantarai oksidan dari endotel vaskuler. LDL
teroksidasi kontributor utama aterosklerosis, diambil makrofag,
mengakibatkan aktifasi makrofag, selanjutnya merusak sel-sel
endotel. Sedangkan hipotesis ke tiga mengemukakan bahwa
antibodi-antibodi antifosfolipid mengubah fungsi proteinprotein terikat fosfolipid yang terlibat dalam pengaturan
pembekuan.(1)
Aktifasi platelet dapat juga memainkan peran dalam
sindrom antifosfolipid, khususnya trombosis arteri. Bagaimana
antibodi-antibodi antifosfolipid dapat mengaktifasi platelet
masih belum jelas secara in vivo.(4) Trombosis pada sindrom
antifosfolipid dimiripkan dengan yang terjadi pada
trombositopeni terinduksi heparin (heparin induced
thrombocytopenia). Kedua sindrom ini menyebabkan trombosis
pada arteri dan vena multipel. Pada heparin induced
thrombocytopenia tempat trombosis sering ditentukan oleh
penyakit kardiovaskuler sebelumnya, sedangkan pada sindrom
antifosfolipid terdapat laju rekurensi yang tinggi untuk kejadian
trombotik serupa.(1)
MANIFESTASI
JANTUNG
PADA
SINDROM
ANTIFOSFOLIPID
Sedikit diketahui mengenai hubungan antara sindrom
antifosfolipid dengan penyakit-penyakit jantung. Pasien-pasien
dengan kelainan jantung tertentu yang meliputi penyakit katup
jantung dan oklusi arteri koroner telah ditemukan mempunyai
insidens peningkatan antibodi-antibodi ini. Meskipun demikian
masih sedikit data prospektif mengenai peranan peningkatan
antibodi-antibodi tersebut dalam perkembangan kelainan
kardiovaskuler. Hanya terdapat beberapa laporan kasus, antara
lain kardiomiopati dilatasi akibat oklusi arteriolar
intramiokardial difus, dan trombus besar yang mobile di dalam
ventrikel kiri.(8,9)
Keterlibatan patologi jantung meliputi perikarditis dengan
atau tanpa efusi, miokarditis atau kardiomiopati, kadangkadang dengan keterlibatan sistem konduksi, dan infark
miokard karena arteritis koroner atau yang lebih sering karena

44 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006

aterosklerosis. Hipertrofi ventrikel kiri dan dilatasi atrium kiri


sering terjadi akibat hipertensi renal.(10)
Manifestasi jantung yang pertama kali dilaporkan pada
sindrom antifosfolipid adalah penyakit katup.(8) Pada studi
ekokardiografi prospektif oleh Nihoyannopoulos dkk, kelainan
katup lebih banyak ditemukan pada pasien-pasien dengan
antibodi AK yang lebih tinggi (40% dibandingkan dengan
14%).(9) Endokarditis Libman-Sacks dikemukakan pertama kali
pada tahun 1924 pada 4 pasien dengan lesi katup verukous
steril atipikal dan endokardium mural yang dipercaya sebagai
karakteristik LES. Vegetasi Libman-Sacks ditemukan pada 3565% studi otopsi awal pasien-pasien lupus yang klinisnya
tenang atau hanya dengan kelainan hemodinamik minor.
Hubungan antara endokarditis Libman-Sacks dengan sindrom
antifosfolipid pertama kali diketahui pada tahun 1985 pada
seorang wanita muda dengan LES dan AL. Pasien-pasien katup
biasanya dengan presentasi klinis demam, bising jantung,
vegetasi katup secara ekokardiografi, splinter hemorrhages,
peningkatan antifosfolipid sedang sampai tinggi, biakan darah
berulang yang negatif dan mungkin dengan petanda serologi
aktifitas penyakit LES. Pengukuran C-reactive protein, level
antibodi fosfolipid, dan hitung sel darah putih dapat membantu
membedakannya
dengan
endokarditis
infektif
yang
sebenarnya.(5)
Kelainan
jantung
kedua
dari
antibodi-antibodi
antifosfolipid adalah oklusi arteri koroner. Hamstein dkk
mengukur level AK pada 62 pasien yang selamat dari infark
miokard akut dan menemukan 21% dengan peningkatan
antibodi-antibodi AK dan mempunyai insidens kejadian
kardiovaskuler lain yang lebih tinggi pada 5 tahun selanjutnya.
Kelainan jantung lain yang berhubungan dengan antibodiantibodi antifosfolipid adalah trombus di dalam ruang-ruang
jantung. Leventhal dkk melaporkan sebuah trombus pada
atrium kanan seorang laki-laki muda dengan trombosis vena
dalam berulang dan trombositopeni, tanpa adanya kelainan
jantung yang mendasarinya.(8)
KOMPLIKASI OBSTETRIK
Wanita dengan antibodi-antibodi antifosfolipid atau
dengan AL mempunyai proporsi keguguran yang sangat tinggi
terutama pada kehamilan 10 minggu atau lebih. Komplikasi
kehamilan dapat berupa persalinan prematur akibat hipertensi
dan insufisiensi uteroplasenta. Keluaran kehamilan yang tidak
diharapkan dapat disebabkan oleh perfusi plasenta yang buruk
yang disebabkan oleh trombosis lokal oleh aneksin-V yang
diperantarai antibodi-antibodi antifosfolipid. Antibodi-antibodi
antifosfolipid dapat merusak invasi trofoblas dan produksi
hormon sehingga tidak hanya menyebabkan keguguran
preembrionik dan embrionik tetapi juga keguguran fetal dan
insufisiensi uteroplasenta.(1,11)
Kemungkinan yang lain adalah kerusakan platelet dengan
peningkatan sifat adesif, interferensi dengan aktifitas
antitrombin III, dan penghambatan prekalikrein. Beberapa
penemuan menunjukkan plasma atau fraksi plasma yang
mengandung AL menghambat produksi prostasiklin oleh
jaringan vaskuler, sedangkan prostasiklin merupakan
vasodilator poten dan penghambat agregasi platelet yang

dihasilkan dari prekursor endogen atau dengan perantaraan


prostaglandin.(11)
SINDROM BENCANA ANTIFOSFOLIPID
Sebagian kecil pasien dengan sindrom antifosfolipid
mempunyai presentasi klinis akut dan meluas yang ditandai
dengan oklusi vaskuler serentak dan multipel di seluruh tubuh
dan sering berakhir dengan kematian. Sindrom ini disebut
sebagai sindrom bencana antifosfolipid yang didefinisikan
sebagai keterlibatan klinis tiga atau lebih organ yang berbeda
selama periode berberapa hari atau minggu dengan bukti
histopatologis adanya oklusi multipel pembuluh-pembuluh
kecil atau besar. Ginjal merupakan organ yang paling sering
(78%), disusul dengan paru (66%), sistem saraf pusat (56%),
jantung (50%), dan kulit (50%). Koagulasi intravaskuler
diseminata (KID) yang jarang terjadi pada sindrom
antifosfolipid primer ataupun sekunder, terjadi pada 25%
pasien-pasien dengan sindrom bencana antifosfolipid.
Manifestasi mikrovaskuler meliputi trombosis mikroangiopati
ginjal, sindrom distres pernapasan akut, mikrotrombi dan
mikroinfark serebral dan mikrotrombi miokard. Kebanyakan
pasien dengan keterlibatan ginjal sering klinisnya berat dan
sekitar 25% memerlukan dialisis. Laju kematian 50% selalu
disebabkan oleh kegagalan multiorgan. Faktor presipitasi
sindrom bencana antifosfolipid meliputi infeksi, prosedur
bedah, penghentian terapi antikoagulan, dan penggunaan obatobatan seperti kontrasepsi oral.(1,4)
PENGOBATAN
Pengobatan ditujukan kepada empat hal utama yaitu
profilaksis, pengobatan trombosis lanjut dari pembuluh besar,
pengobatan mikroangiopati trombotik akut, dan manajemen
kehamilan dalam hubungannya dengan antibodi-antibodi
antifosfolipid.(1)
Profilaksis
Studi kasus kontrol dalam Physicians Health Study
mengevaluasi aspirin 325 mg perhari sebagai agen profilaksis.
Asprin tidak memberikan perlindungan terhadap trombosis
vena dalam dan emboli paru pada laki-laki dengan antibodi
antikardiolipin.(12) Sebaliknya aspirin dapat melindungi
trombosis pada wanita dengan riwayat keguguran
sebelumnya.(13) Hidroksiklorokuin dapat melindungi trombosis
pada pasien-pasien LES dan sindrom antifosfolipid
sekunder.(14) Semua faktor predisposisi trombosis sudah tentu
harus dieliminasi (Tabel 3).(1)
Pengobatan setelah kejadian trombotik
Peranan antikoagulasi dalam menurunkan berulangnya
trombosis telah ditunjukkan dalam berbagai studi retrospektif.(1)
Pada studi kecil dengan 19 pasien sindrom antifosfolipid, laju
berulangnya dalam 8 tahun adalah 0% untuk pasien yang
mendapat antikoagulan oral. Di antara pasien yang
menghentikan terapi antikoagulan, laju berulang dalam 2 tahun
adalah 50%, dan dalam 8 tahun adalah 78%.(15) Di antara 70
pasien sindrom antifosfolipid, terapi warfarin intensitas sedang
(untuk mencapai rasio normalisasi internasional [INR] 2,0-2,9)

dan intensitas tinggi (INR 3,0 atau lebih) secara bermakna


menurunkan laju berulangnya trombosis, sedangkan terapi
intensitas rendah (INR 1,9) tidak memberikan perlindungan
yang bermakna.(16)
Pengobatan sindrom bencana antifosfolipid
Rekomendasi pengobatan sindrom bencana antifosfolipid
seluruhnya berdasarkan pada berbagai laporan. Pada sebuah
seri 50 pasien, penyembuhan terjadi pada 14 dari 20 pasien
(70%) yang diobati dengan kombinasi antikoagulan dan steroid
ditambah baik dengan plasmaferesis atau imunoglobulin
intravena. Dasar penggunaan plasmaferesis berasal dari
efektifitasnya dalam pengobatan sindrom hemolitik uremik dan
purpura trombotik trombositopeni. Agen fibrinolitik
streptokinase dan urokinase telah digunakan untuk mengobati
mikroangiopati trombotik akut dengan hasil yang bervariasi.(1)
Manajemen kehamilan pada pasien dengan antibodiantibodi antifosfolipid
Wanita dengan keguguran berulang preembrionik dan
embrionik dapat diobati dengan 5.000 unit heparin dua kali
sehari; beberapa ahli menganjurkan dosis lebih tinggi yang
cukup untuk memberikan antikoagulasi penuh pada wanita
dengan tromboemboli sebelumnya. Pengobatan optimal wanita
dengan keguguran tanpa riwayat tromboemboli masih
kontroversial karena risiko potensial tromboemboli maternal.
Trombofilaksis umum (15.000 - 20.000 unit heparin perhari)
atau yang diatur lebih lanjut digunakan oleh beberapa ahli.
Beberapa ahli menyetujui heparin berat molekul rendah
menggantikan heparin standar pada pengobatan wanita hamil
dengan sindrom antifosfolipid antibodi.(1) Penggunaan
kortikosteroid dosis tinggi dalam kehamilan berkaitan dengan
morbiditas maternal dan masih diragukan manfaatnya dalam
sindrom antifosfolipid.(3)
Pengobatan sindrom antifosfolipid dengan trombositopeni
Mekanisme
yang
mendasari
antibodi-antibodi
antifosfolipid dengan trombositopeni belum jelas diketahui.
Kebanyakan pasien dengan purpura trombositopeni idiopatik
mempunyai antibodi terhadap permukaan platelet glikoprotein
IIb-IIIa atau Ib-IX. Penyingkiran platelet yang dilapisi antibodi
sistem retikuloendotelial mungkin relevan pada penyakit ini.17
Mekanisme alternatif pada trombositopeni yang berhubungan
dengan sindrom antibodi antifosfolipid dihasilkan dari
pengikatan antigen platelet daripada glikoprotein IIb-IIIa atau
Ib-IX. Aktifasi atau injuri platelet dapat mengakibatkan
ekspresi residu fosfatidilserin pada membran. Residu-residu
fosfolipid ini selanjutnya dapat dikenal dan terikat oleh
antibodi antikardiolipin menghasilkan trombositopeni.(17)
Pada beberapa pasien sindrom antifosfolipid dengan
trombositopeni (platelet < 80.000/ul), terapi antikoagulasi
menambah risiko perdarahan sehingga perlu dipantau. Jika
perdarahan akibat trombositopeni imun terjadi pada pasien
dengan antibodi-antibodi antifosfolipid tanpa riwayat
trombosis, manajemen harus ditujukan pada purpura
trombositopeni otoimun. Splenektomi merupakan tindakan
yang tepat jika ada indikasi klinis.(3)

Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 45

Danazol menyebabkan modifikasi membran eritrosit


sehingga menjadi kurang peka terhadap lisis osmosis.
Berdasarkan hipotesis ini maka dengan mekanisme yang serupa
danazol dapat memodifikasi interaksi antara antibodi-antibodi
antikardiolipin dengan antigennya pada membran platelet.
Sebuah laporan kasus menunjukkan manfaat danazol 200 mg
perhari yang dinaikkan menjadi 800 mg perhari dalam
pengobatan trombositopeni yang berhubungan dengan
sindroma antifosfolipid antibodi yang tidak dapat ditanggulangi
dengan steroid dan splenektomi.(17)

7.

KEPUSTAKAAN

12.

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Levine JS, Branch W, Raunch J. The antiphospholipid syndrome. N Engl


J Med 2002; 346: 752-63.
Galli M, Barbui T. Antiprothrombin antibodies: Detection and clinical
significance in the antiphospholipid syndrome. Blood 1999; 93: 2149-57.
Greaves M. Antiphospholipid antibodies and thrombosis. Lancet 1999;
353: 1348-53.
Hughes GRV. The antiphospholipid syndrome: ten years on. Lancet
1993; 342: 341-4.
Hojnik M, George J, Ziporen L, Schoenfeld Y. Heart valve involvement
(Libman-Sacks endocarditis) in the antiphospholipid syndrome.
Circulation 1996; 93:1579-87.
Finazzi G, Brancaccio V, Moia M, Ciavarella N, Mazzucconi G, Schinco
P, et al. Natural history and risk factors for thrombosis in 360 patients
with antiphospholipid antibodies; a four-year prospective study from the
Italian registry. Am J Med 1996; 100: 530-6.

8.
9.
10.
11.

13.
14.
15.
16.
17.

Rand J, Xiao-Xuan W, Andree HAM, Ross A, Rusinova E, Gascon-Lema


MG, et al. Antiphospholipid antibodies accelerate plasma anticoagulation
by inhibiting annexin-V binding to phospholipids: A Lupus
Procoagulant phenomenon. Blood 1998; 92: 1652-60.
Kaplan SD, Chartash EK, Pizzarello RA, Furie RA. Cardiac
manifestations of the antiphospholipid syndrome.Am Heart J 1992; 124:
1331-8.
Nihoyannopoulos P, Gomez PM, Joshi J, Loizou S, Walport MJ, Oakley
CM. Cardiac abnormalities in systemic lupus erythematosus. Association
with raised anticardiolipin antibodies. Circulation 1990; 82: 369-75.
ORouke RA. Antiphospholipid antibodies. A marker of lupus carditis?
Circulation 1990; 82: 636-8.
Branch DW, Scott JR, Kochenour NK, Hershgold E. Obstetric
complications associated with the lupus anticoagulant. N Engl J Med
1985; 313: 1332-6.
Ginsburg KS, Liang MH, Newcomer L. Anticardiolipin antibodies and
the risk for ischemic stroke and venous thrombosis. Ann Intern Med
1992; 117: 997-1002.
Erkan D, Merrill JT, Yazici Y, Sammaritano L, Buyon JP, Lockshin MD.
High trombosis rate after fetal loss in the antiphospholipid syndrome:
effective prophylaxis with aspirin. Arthritis Rheum 2001; 44: 1466-7.
Petri M . Hydroxychloroquine use in the Baltimore Lupus Cohort: effects
on lipids, glucose, and thrombosis. Lupus 1996; 5(Suppl 1):S16-22.
Derksen RH, de Groot PG, Kater L, Nieuwenhuis HK. Patients with
antiphospholipid antibodies and venous thrombosis should receive long
term anticoagulant treatment. Ann Rheum Dis 1993; 52: 689-92.
Khamashta MA, Cuadrado MJ, Mujic F, Taub NA, Hunt BJ, Hughes
GRV. The management of thrombosis in the antiphospholipid syndrome.
N Eng J Med 1995; 332: 993-7.
Kavanaugh A. Danazol therapy in thrombocytopenia associated with the
antiphospholipid antibody syndrome. Ann Intern Med 1994; 121: 767-8.

Tabel 1 . Klasifikasi dan deteksi antibodi-antibodi antifosfolipid


Antibodi
Antibodi antikoagulan lupus

Antibodi antikardiolipin

Antibodi anti-2-glikoprotein 1

Metode deteksi
1.

Pemanjangan koagulasi paling sedikit satu assay koagulasi tergantung fosfolipid invitro dengan penggunaan
platelet poor plasma. Assay ini dapat dibagi menurut bagian kaskade koagulasi yang dinilai sebagai berikut:
Jalur koagulasi ekstrinsik (dilute prothrombin time).
Jalur koagulasi intrinsik (activated partial thromboplastin time, dilute activated partial thromboplastin time,
colloidal silica clotting time, & kaolin clotting time)
Jalur koagulasi umum terakhir (dilute Russells viper-venom time, Taipan venom time, dan Textarin dan
Ecarin times).$
2.
Kegagalan memperbaiki pemanjangan waktu koagulasi dengan mencampurkan plasma pasien dengan plasma
normal.
3.
Konfirmasi adanya antibodi antikoagulan lupus oleh pemendekan atau perbaikan pemanjangan waktu
koagulasi sesudah penambahan kelebihan fosfolipid atau platelet yang sudah membeku dan kemudian
dicairkan.
4.
Menyingkirkan koagulopati lain dengan menggunakan assay faktor spesifik jika uji konfirmasi negatif atau
jika penghambat faktor spesifik diduga.
Solid phase immunoassay ( biasanya enzyme linked immunosorbent assay /ELISA ) dilakukan pada lempeng yang
dilapisi kardiolipin, biasanya dengan adanya serum 2-glikoprotein 1 bovin. Antibodi-antibodi antikardiolipin pada
pasien dengan sindrom antifosfolipid tergantung 2-glikoprotein 1; antibodi-antibodi pasien dengan penyakit
infeksi tidak tergantung 2-glikoprotein 1.
Solid phase immunoassay (biasanya enzyme linked immunosorbent assay / ELISA) yang dilakukan pada lempeng
dilapisi 2-glikoprotein 1 manusia, daripada 2-glikoprotein 1 bovin (seperti pada esei antibodi antikardiolipin).

Penggunaan dua atau lebih assay yang sensitif untuk antikoagulan lupus direkomendasikan sebelum disingkirkan adanya antibodi antikoagulan lupus.
Paling sedikit satu dari assay ini harus didasarkan pada konsentrasi fosfolipid rendah (dilute prothrombin time, dilute activated partial thromboplastin time,
colloidal silica clotting time, kaolin clotting time, atau dilute Russells viper venom time). Kedua assay ini harus menilai bagian yang khusus dari kaskade
koagulasi ( seperti activated partial thromboplastin time dan dilute Russells viper venom time).
$ The Ecarin time assay membedakannya dari assay koagulasi lain yang tercakup dalam assay yang tidak tergantung fosfolipid. Harus digunakan dalam
perpaduan dengan Textarin time yang tergantung fosfolipid sebagai uji konfirmasi untuk antibodi antikoagulan lupus. Adanya antibodi antikoagulan lupus,
Textarin times memanjang, sedangkan Ecarin times tidak memanjang

Dikutip dari (1)

46 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006

Tabel 2 . Efek antibodi-antibodi antifosfolipid dalam pembekuan*


Efek prokoagulan
Penghambatan jalur aktifasi protein C

Efek antikoagulan
Penghambatan aktifasi faktor IX

Pengaturan lebih jalur faktor jaringan

Penghambatan aktifasi faktor X

Penghambatan aktifiti antitrombin III

Penghambatan aktifasi protrombin menjadi trombin

Disrupsi cangkang aneksin-V pada membran


Penghambatan aktifiti antikoagulan dari 2-glikoprotein
Penghambatan fibrinolisis
Aktifasi sel endotel
Peningkatan ekspresi adesi molekul oleh sel-sel endotel dan perlekatan
netrofil dan lekosit pada sel-sel endotel
Aktifasi dan degranulasi netrofil
Potensiasi aktifasi platelet
Peningkatan perlekatan 2-glikoprotein 1 pada membran
Peningkatan pengikatan protrombin pada membran
*Dua faktor utama yang mungkin memodulasi keseimbangan antara efek prokoagulan dan antikoagulan dari antibodi-antibodi antifosfolipid adalah permukaan
fosfolipid dimana reaksi berlangsung dan spesifisiti antigen terhadap antibodi.
Dikutip dari (2)

Tabel 3. Kondisi penyakit dan faktor-faktor risiko yang membuat pasien menjadi lebih mudah mengalami tromboemboli
Kelainan
Defek faktor koagulasi

Defek lisis bekuan

Vena
Resitensi terhadap protein C teraktifasi
(faktor V Leiden)
Defisiensi protein C
Defisiensi antitrombin III
Mutasi protrombin
Defisiensi fibrinogen
Defisiensi aktifator plasminogen jaringan

Defek metabolik
Defek platelet

Stasis

Arteri

Disfibrinogenemia*
Defisiensi penghambat aktifator plasminogen tipe
1*
Homosisteinemia
Trombositopeni terinduksi heparin dan trombosis
Kelainan mieloproliferatif
Hemoglobinuria nokturnal paroksismal
Polisitemia vera (dengan trombositosis)

Imobilisasi
Bedah
Gagal Jantung Kongesti

Hiperviskositas

Defek dinding pembuluh


Lain-lain

Vaskuler yang terlibat


Vena dan arteri

Kanker (Sindrom Trousseau)


Kontrasepsi oral
Terapi estrogen
Kehamilan
Persalinan
Sindrom nefrotik

Polisitemia vera
Makroglobulinemia Waldenstroms
Anemia bulan sabit
Lekemia akut
Trauma, vaskulitis
Sindrom antifosfolipid
Benda asing
Penghambat siklooksigenase 2

Aterosklerosis, turbulensi
Hipertensi
Diabetes
Merokok
Fibrilasi atrium
Hiperlipidemia
Inflamasi kronik
LES

*Pada kelainan ini, keterlibatan vena jauh melebihi keterlibatan arteri


Penghambat khusus siklooksigenase 2 mengurangi produksi sistemik antitrombotik prostaglandin, prostasiklin. Sebuah seri yang baru menunjukkan adanya 4
pasien dengan sindrom antifosfolipid sekunder dengan trombosis akut yang berkembang bersamaan dengan penghambat siklooksigenase 2.
Efek protrombotik LES terpisah dari antibodi-antibodi antifosfolipid telah dikemukakan, tetapi belum ditetapkan.
Dikutip dari (1)

Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 47

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Studi Manfaat Daun Katuk


(Sauropus androgynus)
Sriana Azis, S. R. Muktiningsih
Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi,Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta

ABSTRAK
Pada umumnya daun katuk digunakan sebagai sayuran. Di Indonesia daun katuk digunakan
untuk melancarkan air susu ibu, obat borok, bisul, demam, dan darah kotor. Daun katuk
diproduksi sebagai sediaan fitofarmaka yang berkhasiat untuk melancarkan ASI (air susu ibu).
Sepuluh sediaan fitofarmaka daun katuk sebagai pelancar ASI telah beredar di Indonesia pada
tahun 2000.
Masalah: Ada laporan kerusakan paru dalam 7 bulan setelah konsumsi daun katuk mentah
dengan dosis 150 g/hari dan setelah 22 bulan terjadi kerusakan paru yang parah serta
permanen.Bahan dan cara: Menggunakan buku rujukan, hasil penelitian dari dalam dan luar
negeri. Studi meliputi ekologi, ekonomi, khasiat, efeksamping, dan harapan masa depan.Data
dianalisis secara deskriptif.
Hasil: Tanaman katuk tumbuh dan menghasikan daun ranum yang beratnya meningkat bila
ditanam bersamaan dengan tanaman pelindung ketela pohon atau jagung. Hasil setiap panen per
5060 hari 3000-6000 kg/ha dengan harga Rp 500,-/kg. Kandungan zat: daun katuk kaya vitamin
dan mineral. Khasiat: daun katuk sebagai pelancar air susu ibu dapat dibuktikan secara klinis dan
preklinis. Efek samping: Jus daun katuk mentah dengan dosis 150 mg /hari sebagai obat obesitas
setelah 2 minggu - 7 bulan menimbulkan gejala sukar tidur, makan tidak enak, sesak nafas dan
batuk. Penggunaan lebih lama menimbulkan bronkiolitis konstriksi dan setelah 22 bulan terjadi
bronkiolitis obliterasi permanen. Oleh karena itu penting diteliti lebih lanjut efek samping sediaan
pelancar ASI daun katuk terhadap ibu dan bayinya.

PENDAHULUAN
Daun katuk adalah daun dari tanaman Sauropus
adrogynus(L)Merr, famili Euphorbiaceae. Nama daerah:
Memata (Melayu), Simani (Minangkabau), Katuk (Sunda),
Kebing dan Katukan (Jawa), Kerakur (Madura).(1) Terdapat di
berbagai daerah di India, Malaysia dan Indonesia. Di Indonesia
tumbuh di dataran dengan ketinggian 0-2100 m di atas
permukaan laut. Tanaman ini berbentuk perdu. Tingginya
mencapai 2-3 m. Cabang-cabang agak lunak dan terbagi Daun
tersusun selang-seling pada satu tangkai, berbentuk lonjong
sampai bundar dengan panjang 2,5 cm dan lebar 1,25-3 cm.
Bunga tunggal atau berkelompok tiga. Buah bertangkai panjang
1,25 cm.(2) Tanaman katuk dapat diperbanyak dengan stek dari
batang yang sudah berkayu, panjang lebih kurang 20 cm
disemaikan terlebih dahulu. Setelah berakar sekitar 2 minggu
dapat dipindahkan ke kebun. Jarak tanam panjang 30 cm dan
lebar 30 cm. Setelah tinggi mencapai 50-60 cm dilakukan
48 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006

pemangkasan agar selalu didapatkan daun muda dan segar. Di


Kabupaten Bogor telah dibudidayakan untuk meningkatkan
pendapatan penduduk.(2) Pada umumnya daun katuk digunakan
sebagai sayuran. Di Indonesia daun katuk digunakan untuk
melancarkan air susu ibu, obat borok, bisul, demam, dan darah
kotor. Daun katuk sudah diproduksi sebagai sediaan
fitofarmaka yang berkhasiat untuk melancarkan ASI. Sepuluh
pelancar ASI yang mengandung daun katuk telah beredar di
Indonesia pada tahun 2000.
DATA
Ekologi dan ekonomi
Tanaman katuk dibudidayakan di tiga desa kecamatan
Semplak kabupaten Bogor dengan ketinggian 180-220m dpl,
tanah latosol, tipe curah hujan A (Schmidt &Ferguson,) dan
jumlah petani sekitar 100 orang. Pemeliharaan intensif dapat
meningkatkan umur produktif dari 5-7 tahun menjadi 11-12

tahun. Hasil panen pertama berkisar 3-4 ton/ ha, selanjutnya


meningkat mencapai 21-40 ton tergantung kesuburan
tanahnya.(3) Di desa Cilebut Barat, kecamatan Semplak,
Kabupaten Bogor katuk ditanam secara tradisional, dipanen
setelah berumur 2-2,5 bulan, pemangkasan selanjutnya
dilakukan setiap 40-60 hari. Hasil panen berkisar antara 3-7
ton/ha, dengan harga Rp500,00/kg. Tanaman sela meliputi
jagung, singkong, dan papaya. Ternyata tumpang sari dengan
singkong hasilnya lebih baik dibandingkan monokultur.(4)
Tingkat naungan 25% memberikan pengaruh yang tebaik
terhadap jumlah tunas, bobot basah daun, bobot kering daun,
bobot kering akar dan panjang akar.(5) Panjang setek 20 cm dan
pupuk nitrogen 5 g/pohon berpengaruh terbaik terhadap bobot
basah daun dan akar.(5)
Kandungan zat
Hasil analisis GCMS pada ekstrak heksana menunjukkan
adanya beberapa senyawa alifatik . Pada ekstrak eter terdapat
komponen utama yang meliputi : monometil suksinat, asam
benzoat dan asam 2-fenilmalonat; serta komponen minor
meliputi : terbutol, 2-propagiloksan, 4H-piran-4-on, 2-metoksi6-metil, 3-peten-2-on, 3-(2-furanil), dan asam palmitat. Pada
ekstrak etil asetat terdapat komponen utama yang meliputi: sis2-metil-siklopentanol asetat. Kandungan daun katuk meliputi
protein, lemak, kalsium, fosfor, besi, vitamin A, B, dan C.
pirolidinon, dan metil piroglutamat serta p-dodesilfenol sebagai
komponen minor.(6)
Dalam 100 g daun katuk terkandung: energi 59 kal, protein
6,4 g, lemak 1,0 g, hidrat arang 9,9 g, serat 1,5 g, abu 1,7 g,
kalsium 233 mg, fosfor 98 mg, besi 3,5 mg, karoten 10020 mcg
(vitamin A), B, dan C 164 mg, serta air 81 g.(7) Tanaman katuk
dapat meningkatkan produksi ASI diduga berdasarkan efek
hormonal dari kandungan kimia sterol yang bersifat
estrogenik.(8) Pada penelitian terdahulu daun katuk mengandung
efedrin.(9)
Efek farmakologis
Daun katuk berkhasiat memperbanyak air susu, untuk
demam, bisul, borok dan darah kotor(1,2). Tiga peneliti
menyatakan infus daun katuk dapat meningkatkan produksi air
susu pada mencit. Infus daun katuk dapat meningkatkan
jumlah asini tiap lobulus kelenjar susu mencit. Satu peneliti
menyatakan isolat fase eter dan ekstrak petroleum eter daun
katuk tidak menyebabkan peningkatan sekresi air susu yang
bermakna. Satu peneliti menyatakan bahwa dekok akar katuk
mempunyai efek antipiretik terhadap burung merpati.(10)
Infus akar katuk mempunyai efek diuretik dengan dosis 72
mg/100 g bb.(11) Konsumsi sayur katuk oleh ibu menyusui dapat
memperlama waktu menyusui bayi perempuan secara nyata
dan untuk bayi pria hanya meningkatkan frekuensi dan lama
menyusui.(12) Proses perebusan daun katuk dapat
menghilangkan sifat anti protozoa.(13) Pemberian infus daun
katuk kadar 20 %, 40 %, dan 80 % pada mencit selama periode
organogenesis tidak menyebabkan cacat bawaan (teratogenik)
dan tidak menyebabkan resorbsi.(14) Jus daun katuk mentah
digunakan sebagai pelangsing di Taiwan.(9,15)

Efek samping
Di Taiwan 44 orang mengkonsumsi jus daun katuk mentah
(150 g) selama 2 minggu - 7 bulan, terjadi efek samping
dengan gejala sukar tidur, tidak enak makan dan sesak nafas.
Gejala hilang setelah 40-44 hari menghentikan konsumsi jus
daun katuk. Hasil biopsi dari 12 pasien menunjukkan
bronkiolitis obliterasi.(9) Sejumlah 178 pasien mengkonsumsi
jus daun katuk mentah dengan dosis 150 g / hari (60,7 %),
digoreng (16,9 %), campuran (20.8 %), dan digodok (1,7 %),
selama 7 bulan - 24 bulan. Terdapat efek samping setelah
penggunaaan selama 7 bulan berupa gejala obstruksi
bronkiolitis sedang sampai parah, sedangkan konsumsi selama
22 bulan atau lebih menyebabkan gejala bronkiolitis obliterasi
yang permanen.(15)
Di Amerika, sejak tahun 1995 daun katuk goreng, salad
daun katuk, dan minuman banyak dikonsumsi oleh masyarakat
sebagai obat antiobesitas (pelangsing tubuh). Penelitian
dilakukan terhadap 115 kasus bronkiolitis obliterasi (110
perempuan dan 5 pria), berumur antara 22-66 tahun yang
sebelumnya mengkonsumsi daun katuk. Pada uji fungsi paru
terlihat obstruksi sedang sampai parah. Pengobatan dengan
campuran kortikosteroid, bronkodilatasi, eritromisin, dan zat
imunosupresi hampir tidak berkhasiat. Setelah 2 tahun
bronkiolitis obliterasi berkembang menjadi parah dan terjadi
kematian pada 6 pasien (6,1 %).(16)
Proses perebusan daun katuk dapat menghilangkan sifat
anti protozoa(13). Jadi dapat disimpulkan pemanasan dapat
mengurangi sampai meniadakan sifat racun daun katuk.
Jenis sediaan daun katuk
Dari 213 jenis jamu yang berasal dari 9 pabrik jamu, hanya
ditemukan 6 jenis jamu (2,8 %) yang mengandung daun katuk.
Dari 6 jenis tersebut, 4 jenis di antaranya mempunyai indikasi
sebagai pelancar ASI.(13)
Data tahun 2000 menunjukkan 10 jenis sediaan
fitofarmaka daun katuk sebagai pelancar ASI telah beredar di
Indonesia
KESIMPULAN
Pemanfaatan daun katuk sebagai jamu atau sediaan
fitofarmaka adalah sebagai pelancar ASI. Efek samping utama
daun katuk adalah konstriksi bronkiolitis yang permanen.
Penelitian efek samping pelancar ASI terhadap ibu dan
anak belum penah dilakukan di Indonesia. Penelitian ini perlu
dilakukan, dan jika telah terbukti keamanannya maka sediaan
fitofarmaka daun katuk mempunyai peluang untuk dianjurkan
agar digunakan.
KEPUSTAKAAN
1.
2.

3.

Departemen Kesehatan RI. Vademekum Bahan Obat Alam, Direktorat


Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta, 1989. hal. 53 4..
Departemen Kesehatan RI. Inventaris Tanaman Obat Indonesia, jilid I.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta, 1991. hal. 516
17.
Sudiarto dkk. Studi aspek tehnis budidaya Katuk di lahan petani
Kecamatan Semplak Bogor. Warta Tumbuhan Obat Indonesia 1997;3(3):
8-9.

Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 49

4.
5.

6.

7.

8.
9.

Puspitaningsih DM dkk. Usaha Tani Katuk di Desa Cilebut Barat


Kabupaten Bogor. Warta Tumbuhan Obat Indonesia 1997;3( 3): 9 10.
Joko Pitono dkk. Tanggap Tanaman Katuk pada Berbagai Dosis Pupuk
NPK dan Tingkat Naungan. Warta Tumbuhan Obat Indonesia 1997; 3(3):
13 4.
Yunawati M. dkk.. Pengaruh Panjang Setek dan Dosis Pupuk Nitrogen
terhadap Pertumbuhan Tanaman Katuk. Warta Tumbuhan Obat Indonesia
1997; 3(3):15 6.
Anoria Agustal dkk. Analisis Kimia Ekstrak Daun Katuk ( Sauropus
androgynus (L) Merr.) dengan GCMS. Warta Tumbuhan Obat Indonesia
1997; 3(3): 31-2.
Departemen Kesehatan RI. Daftar Komposisi Bahan Makanan, Pusat Pe nelitian Gizi, Bogor, 1992:hal. 100.
Amarila Malik. Tinjauan Fitokimia, Indikasi Penggunaan dan Bioaktivitas
Daun Katuk dan Buah Trengguli. Warta Tumbuhan Obat Indomesia 1997;
3( 3): 39-40.

10. Saroni dkk. Tinjauan Penelitian Katuk yang telah Dilakukan di


Indonesia. Warta Tumbuhan Obat Indonesia 1997; 3(3): 44-5.
11. Yun Astuti N. dkk.. Efek Diuretik Infus Akar Katuk terhadap Tikus Putih,
Warta Tumbuhan Obat Indonesia 1997;3(3): 42 -3.
12. Elmy Yasril. Penelitian Pengaruh Daun Katuk terhadap Frekuensi dan
Lama Menyusui Bayi, Warta Tumbuhan Obat Indonesia 1997;3(3): 41-2.
13. Sutedja L. dkk. Sifat Anti Protozoa Daun Katuk, Warta Tumbuhan Obat
Indonesia 1997; 3(3): 47 49.
14. Lucia E. Wuryaningsih dkk. Uji Teratogenik Infusa Daun Katuk pada
Mencit Hamil, Warta Tumbuhan Obat Indonesia 1997;3(3): 50-51.
15. Nurendah PS. dkk. Penggunaan Katuk dalam Jamu Berbungkus, Warta
Tumbuhan Obat Indonesia 1997, 3(3): 45-6.
16. Lung Transplantation in Bronchiolitis Obliterans Associated with
Vegetable Consumption (Research Letters). Lancet Website. 1998.

KALENDER KEGIATAN ILMIAH PERIODE BULAN MEI AGUSTUS 2006


Bulan

Tanggal

Kegiatan

20 21

The 1st National Congress of Indonesian Medical


Society for Oriental Medicine & Expo (KONAS I
Perhimpunan Kedokteran Timur Indonesia) - PDPKT

20 23

The 6th Asian & Oceanian Epilepsy Congress

16 18

The 1st Anti-aging International Symposium


& Exposition Tokyo ( AISET 2006 )
On Anti-aging Medicine

28 01/07

Pertemuan Ilmiah Khusus XI - 2006


Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI)

01 04

19th Meeting of the


European Association for Cancer Research (EACR)

Mei

Juni

Juli

08 12
15

Kongres Nasional XIII Perhimpunan


Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI)
Seminar & Workshop PASTI
(Perkumpulan Awet Sehat Indonesia) :
Body On Fire Silent Inflammation

28 30

Liver Update 2006

01 05

12th Asia-Pacific League of Associations for


Rheumatology: Congress of Rheumatology

10 13

Collegium Internationale Geronto Pharmacologicum


Congress 2006 :
From Traditional Through Bio-Molecular To NanoTechnology Medication

22 - 26

8th Asian Congress of Urology


of The Urological Association of Asia

26 29

The 14th Congress of Asia-Pacific Association of


Critical Care Medicine (APACCM 2006)

Agustus

Tempat dan Informasi Acara


Borobudur Hotel, Jakarta
Tlp. : 021-30041026 ; 4532202
Fax. : 021-30041027
E-mail : globalmedica@cbn.net.id
Kuala Lumpur, Malaysia
Tlp. : +353 1 4097796, Fax. : +353 1 4291290
Le Meridien Grand Pacific Tokyo Hotel
Tokyo, Japan , Tlp. : +81-3-3350-1806
Fax. : +81-3-3350-1906 , E-mail : info@aiset.jp
http://www.imagine.jp/aiset/english
Hotel Planet Holiday, Batam
Tlp. : 0778-325 121 ext. 304, 324
Fax. : 0778-327 629
E-mail : pik2006_batam@yahoo.com
Novotel Budapest Congress Centre, Hungary
Tlp. : +32 (0)2 775 02 01
Fax. : +32 (0) 775 02 00
E-mail : EACR19@fecs.be
http://www.fecs.be ; http://www.bcc.hu
Palembang, Sumatera Selatan
Tlp./Fax. : 0711-378011 ; 318244
Hotel Borobudur, Jakarta
Tlp. : 021-729 0623
Fax. : 021-7289 5871
Hotel Borobudur, Jakarta
Tlp. : 021-30041026 , Fax. : 021-30041027
E-mail : globalmedica@cbn.net.id
Kuala Lumpur, Malaysia
Tlp. : 603-4252 9100, Fax. : 603-4252 9800
http://www.aplar2006.com
Balai Sidang / Jakarta Convention Center
Tlp. : +62-21-55960180
Fax. : +62-21-55960179
E-mail: cigp@cigp.org / pharmapro@cbn.net.id
http://www.cigp.org
BICC The Westin Resort, Nusa Dua, Bali
Tlp. : 62-21-4532202 ; 30041026
Fax. : 62-21-4535833 ; 30041027
E-mail : acu2006@cbn.net.id
http://www.acu2006.com
Beijing, China, Fax. : +86 10 65124875
E-mail : dubin@apaccm2006.org.cn

Informasi terkini, detail dan lengkap (jadwal acara/pembicara) bisa diakses di http://www.kalbefarma.com/calendar

50 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Dinamika Pelacuran
di Wilayah Jakarta dan Surabaya
dan Faktor Sosio Demografi
yang Melatarbelakanginya
Kasnodihardjo, Rachmalina S Prasojo, Helper SP Manalu
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Jakarta

PENDAHULUAN
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia, dampaknya mulai
terasa sejak awal tahun 1998; selain langsung pada kehidupan
ekonomi bangsa, juga berdampak terhadap berbagai aspek
kehidupan masyarakat. Krisis ekonomi mengakibatkan
turunnya pendapatan nyata penduduk akibat hilangnya
kesempatan kerja. Dampak lanjutan adalah kerawanan yang
menyangkut berbagai hal, salah satu di antaranya adalah bidang
ekonomi dan sosial.
Krisis ekonomi dapat meningkatkan jumlah penjaja seks
komersial(PSK). Karena sifat pekerjaan dan perilaku mereka,
para PSK berpotensi tertular dan menularkan penyakit menular
seksual
(PMS)
termasuk
HIV-AIDS
(Human
Immunodeficiency Virus - Acquired Immune Deficiency
Syndrome). Pekerja seks yang beroperasi di Jakarta datang dari
berbagai daerah. Suatu survai menunjukkan bahwa mereka
datang dari Jawa Timur 4%, dari Jambi 2%, dari Sumatera
Barat 6%, dari Jawa Tengah 17%, dari Jawa Barat 18% dan
D.K.I sendiri 50% (Suara Pembaruan, Maret 1999).
Menghapuskan sama sekali kegiatan para PSK seperti
misalnya rencana penutupan lokalisasi atau operasi penertiban
tampaknya tidak mungkin. Justru ini akan menimbulkan
dampak lain dan tidak menyelesaikan masalah. Barangkali
yang paling mungkin adalah tindakan agar dampak negatif
yang ditimbulkannya tidak meluas ke masyarakat, misalnya
dampak kesehatan yaitu munculnya PMS termasuk HIV-AIDS
dicegah melalui penggunaan kondom. Untuk itu perlu dipahami
latar belakang dan motivasi mereka menjadi PSK; apakah oleh
faktor ekonomis akibat krisis, faktor psikologis, biologis,
bahkan mungkin politis. Demikian pula motivasi dan alasan
mereka menggunakan dan tidak menggunakan kondom saat
melakukan hubungan seksual dengan pelanggannya. Tulisan ini
merupakan hasil penelitian tahun 2001.

METODOLOGI
Desain studi
Penelitian bersifat studi eksploratif dengan metoda
pengumpulan data kualitatif terutama dengan menggunakan
pemahaman langsung dan tidak langsung. Sumber data yaitu
orang-orang yang diminta memberikan informasi, disebut
informan. Informan pada penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi tentang apa yang ia ketahui dan juga
sedapat mungkin tentang apa yang ia alami. Maka penelitian
lebih banyak tergantung pada bahasa informan (Yudoyono B,
1992). Selain informasi diri, informan juga diharapkan dapat
memberikan keterangan lain.
Sasaran Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data
Sasaran utama penelitian ini adalah wanita yang berprofesi
sebagai penjaja seks (PS) atau Pekerja Seks Komersial (PSK),
baik yang terorganisasi maupun yang tidak, yaitu mereka yang
berpraktek liar di pinggir jalan, pinggir jalan (rel) kereta api,
kafe, mal, panti pijat atau warung remang-remang. Sasaran
penelitian lain adalah mucikari (germo) atau orang-orang yang
diasumsikan mengetahui praktek keseharian wanita penjaja
seks. Penentuan informan (responden) dilakukan melalui
pendekatan lokasi yang diduga sebagai sentinel dan dipilih
secara purposif.
Pemilihan sasaran dilakukan secara insidental. Semua PSK
pada saat pelaksanaan penelitian mendapatkan kesempatan
yang sama untuk diambil sebagai sampel penelitian. Jumlah
sampel ditentukan secara kuantum yaitu 20 orang PSK di
beberapa jalan di Kota Madya Surabaya dan 20 orang PS di
beberapa jalan di DKI Jakarta yang bersedia menjadi informan
(responden). Pengumpulan data lebih ditekankan melalui
wawancara mendalam (in-depth interview), yaitu berupa dialog
secara individu maupun kelompok menggunakan pertanyaan-

Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 51

pertanyaan bebas agar informan mengutarakan pandangan,


pengetahuan, perasaan serta sikap dan perilaku berupa
pengalaman pribadi yang berkaitan dengan profesi sebagai
PSK. Wawancara mendalam dimaksudkan untuk membangun
pemahaman bersama tentang tujuan penelitian dan materi
penelitian(3).
Dalam wawancara
mendalam,
peneliti
(pewawancara) dilengkapi formulir berisi pertanyaanpertanyaan sebagai pedoman wawancara. Selain wawancara
mendalam, data dikumpulkan menggunakan diskusi kelompok
terarah (DKT), terutama data tambahan yang tidak terekam
melalui wawancara mendalam. Peserta DKT terdiri dari para
PSK terpilih yang pernah diwawancarai secara mendalam
ditambah PSK lain yang belum pernah diwawancarai secara
mendalam yang berpraktek di lokasi yang sama. Diskusi
terarah yang dapat diselenggarakan untuk lokasi penelitian di
Surabaya berjumlah 4 kelompok dan untuk lokasi penelitian di
DKI Jakarta 5 kelompok. Masing-masing kelompok diskusi
beranggotakan 6 PSK.
Selain itu metoda pengamatan digunakan untuk melengkapi
data terutama yang tidak dapat terkumpul melalui wawancara
mendalam meliputi data fisik dan perilaku keseharian PSK
terutama saat menjalankan profesinya. Dalam pengamatan,
peneliti berupaya melibatkan diri dalam kehidupan obyek yang
diteliti yaitu PSK. Data yang dikumpulkan meliputi
karakteristik demografi, motivasi dan lama menjadi PSK,
perilaku yang berkaitan dengan risiko tertular PMS termasuk
HIV-AIDS yang meliputi pengetahuan, sikap dan perilaku
penggunaan kondom terakhir kali, frekuensi hubungan seksual
dan faktor latar belakang penggunaan kondom, latar belakang
sosial dan latar belakang sarana.
Data diperoleh langsung dari informan yang terdiri dari
PSK, mucikari (germo) dan orang-orang kunci yang
diasumsikan mengetahui kegiatan/praktek keseharian PSK
Selain itu data sekunder juga diperoleh dari arsip atau dokumen
instansi terkait seperti Dinas Sosial, Dinas Kesehatan dan
sumber lain. Dilakukan analisis deskriptif kualitatif dan sintesis
atas data yang diperoleh dengan dua cara yaitu wawancara
mendalam dan diskusi kelompok terarah. Dari berbagai
gambaran obyektif yang diperoleh, diadakan interpretasi
menggunakan beberapa teori perilaku PSK dan teori perubahan
sosial (social change).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Latar belakang karakteristik sosial demografi
Latar belakang karakteristik sosial demografi meliputi
daerah asal, usia, pendidikan, pekerjaan, penghasilan serta
alasan atau motivasi menjadi PSK dan pengetahuan tentang
PMS. Para PSK yang ditemui dan berhasil diwawancarai baik
di lokasi penelitian di DKI Jakarta maupun Surabaya asalnya
sangat heterogen, umumnya berasal dari Jawa Tengah. Sesuai
dengan yang diharapkan, PSK yang berhasil diwawancarai
untuk daerah penelitian di DKI berjumlah 20 orang, dan di
lokasi penelitian di Surabaya 20 orang. Daerah asal 20 PSK
yang ditemui dan diwawancarai di beberapa jalan di Kota
Madya Surabaya sebagian besar berasal dari Jawa Timur
seperti Jombang, Banyuwangi dan Sidoarjo dan sebagian kecil
dari Jawa Tengah seperti Cilacap dan Pekalongan. Sedangkan

52 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006

PSK yang berhasil diwawancarai di lokasi penelitian di DKI


Jakarta, umumnya berasal dari Jawa Barat seperti dari
Kabupaten Indramayu, Kuningan dan Karawang dan
Purwakarta. Dilihat dari tingkat ekonomi orang tua, umumnya
berasal dari keluarga kurang mampu. Mereka umumnya
mengaku bekerja sebagai pelayan toko atau buruh pabrik. Latar
belakangnya beragam; 10% ibu rumah tangga, 40% buruh
pabrik dan 30% penjaga toko, sisanya setelah tidak bersekolah
langsung menjalani profesi sebagai PSK.
Alasan mereka menjalani profesi sebagai PSK ada yang
karena perceraian, disakiti suami atau desakan ekonomi. Dalam
menjalani profesinya mereka berpindah-pindah lokasi. baik
yang di wilayah Jakarta maupun yang di Surabaya dengan
alasan mencari pengalaman dan agar dianggap baru Umur
responden antara 17 tahun sampai 34 tahun, sebagian besar di
bawah 30 tahun (Tabel 1).
Umur sangat berpengaruh terhadap banyaknya pelanggan
atau tingkat kelarisan di samping faktor lainnya seperti faktor
fisik, penampilan, selera tamu dan lain-lain.
Tabel 1. Proporsi Pekerja Seks Berdasarkan Kelompok Usia dan Daerah
Penelitian
Kelompok
Umur
(Tahun)
15 - 19
20 - 24
25 - 29
30 - 34
35 - 39
Jumlah

Daerah Penelitian
DKI Jakarta
Jumlah
4
8
6
2

20

%
20.0
40.0
30.0
10.0

100.0

Surabaya
Jumlah
3
9
4
3
1
20

%
15.0
44,7
20.0
20.0
0,3
100.0

Jumla
h
7
17
10
5
1
40

Tingkat Pendidikan PSK


Kebanyakan responden hanya berpendidikan Sekolah Dasar
(SD). Bahkan ada yang tidak tamat SD. Ada di antara mereka
menamatkan SLTA atau SMEA. Pendidikan mempengaruhi
cara penampilan dan bicara yang terlihat pada saat transaksi
dan atau saat penyambutan calon pelanggan atau pasangan.
Pekerja seks termuda yang berhasil diwawancarai di
daerah penelitian di DKI Jakarta berumur 16 tahun. Dia
berpendidikan hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
(SLTP) di daerah asalnya Tasikmalaya Jawa Barat Wajahnya
tidak tergolong cantik. Mulai menjalani profesi sebagai pekerja
seks komersial sejak tahun 1997. Setiap melakukan transaksi
dia menawarkan harga (memasang tarif) Rp. 50.000. Biasa
mangkal di Kebayoran Baru tepatnya di kawasan Taman Blok
M mulai pukul 19.00 WIB. Dia terlanjur datang ke ibu kota
untuk mencari pekerjaan. Mau kembali ke orang tua, bagi dia
bukan solusi, karena orang tua tergolong tidak mampu. Uang
yang didapat dari menjalani profesi sebagai PS sebagian
dikirim untuk orang tuanya. Dia tidak pernah menyesali apa
yang telah menimpa dirinya meskipun masih berharap untuk
kembali ke jalan yang benar. Lain halnya PSK yang biasa
mangkal di kawasan Melawai. Di kawasan tersebut para PSK
memasang tarif sekitar Rp 400.000 setiap transaksi. Salah
seorang PSK yang berhasil diwawancarai berusia sekitar 21

tahun. Ia lulusan SLTP dan tinggal di daerah Sawangan Bogor.


Untuk mendapatkan calon pelanggan (pasangan seksnya)
biasanya dibantu oleh para pedagang asongan atau pengamen
dengan upah Rp 10.000 - 15.000.
Para PS di kawasan Melawai dikoordinir oleh germo.
Salah seorang PSK yang berpraktek di daerah penelitian di
Surabaya yang berhasil ditemui dan diwawancarai biasa
mangkal di kawasan Margorejo mengaku lulusan SMK
(Sekolah Menengah Kejuruan). Kedua orang tuanya sering
bertengkar. Pertama kali berhubungan seks dengan seorang
pengusaha di Surabaya.
PSK lain lulusan SLTP asli Surabaya berusia 21 tahun di
lokasi yang sama yaitu di kawasan Margorejo. Ia terpaksa
mulai menjalani profesi sebagai PSK karena benturan ekonomi
sejak tahun 1998. Kedua orang tuanya meninggal. Dia tinggal
bersama neneknya. PSK lain lulusan SMU, biasa di jalan
Ketintang, Surabaya. Masalah utamanya ialah masalah
ekonomi. Setelah lulus SMU tahun 1998 ia tidak meneruskan
kuliah. Alasan menjadi PSK tidak terungkap. PSK tertua yang
berhasil diwawancarai berusia sekitar 35 tahun di Jakarta Dia
adalah ibu rumah tangga berputra 4 orang, mulai menjalankan
profesi sebagai PSK sejak tahun 1997 di seputar Bioskop Pasar
Minggu, Jakarta Selatan
Status Perkawinan PSK
Sebagian besar bertatus belum menikah (31 orang 77.5%). Sementara yang berstatus menikah dan masih
bersuami 5 orang (12.5%) dan berstatus janda 3 orang (7.5%).
Sebagian besar beragama Islam; 3 orang mengaku beragama
Kristen
Alasan Menjadi PSK
Pekerjaan mereka sebelum menjadi PSK sangat beragam
antara lain sebagai ibu rumah tangga, pelayan di hotel, pesuruh
di kelurahan, bekerja di diskotek, pelayan toko, sebagai
petani/pemelihara ternak dan ada yang belum pernah bekerja
karena baru menamatkan sekolah.Faktor ekonomi merupakan
alasan klasik (95%). Pada umumnya mereka berasal dari
keluarga kurang mampu atau miskin. Alasan lain kejiwaan atau
frustrasi. Faktor pendorong untuk bekerja sebagai PSK sangat
bervariasi antara lain terkena PHK, diajak teman, paling mudah
mendapatkan uang, sebagai janda ditinggal suami, tidak dapat
memenuhi kebutuhan anak-anak dan kehidupan sehari-hari,
frustrasi karena pernah digauli oleh laki-laki, dibohongi untuk
dikawin/ditinggal pacar, membantu beban orang tua yang tidak
dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, sulit mencari pekerjaan
lain, ingin kecukupan supaya tidak ketinggalan dengan temanteman sebayanya, bertengkar dengan orang tua karena
dijodohkan.
Penghasilan PSK
Tingkat ekonomi rata-rata meningkat sesudah menjadi PSK
Mereka dapat membiayai kehidupan keluarga termasuk
menyekolahkan anak. Sebagian dari mereka dapat menabung
untuk rencana setelah mengakhiri profesi PSK. Sebagian besar
responden baru sekitar 1 tahun menjalani profesinya.
Penghasilan mereka tidak tetap. Tarif umum rata-rata Rp.

50.000,- hingga Rp 100.000. Mereka bisa melayani 2 hingga 3


orang tamu atau pelanggan dalam semalam. Penghasilannya
sebesar Rp. 200.000 sampai Rp 1.500.000 tiap bulan, sebagian
dikirim ke orang tua dan sebagian lagi untuk kebutuhan hidup
di Jakarta. Tetapi banyak juga yang tidak tertabung, karena
sangat konsumtif dan perlu mempercantik diri misalnya untuk
membeli pakaian dan lain-lain.
Sikap dan Perilaku Penggunaan Kondom
Berbagai faktor yang mendorong pemakaian kondom
berkaitan dengan pengetahuan mereka yaitu kuatir terkena
PMS dan tertular penyakit HIV-AIDS, kuatir hamil.
Pengaruh Lingkungan
Dari informasi yang diperoleh, nampaknya faktor yang
mempengaruhi mereka terjun ke dunia malam adalah
lingkungan teman, keluarga dan masyarakat umum. Mereka
menjadi PSK karena diajak teman, dimarahi orang tua/keadaan
ekonomi keluarga serta suaminya sendiri yang membiarkan
isterinya melakukan pekerjaan sebagai PSK. Dapat pula karena
pengaruh pergaulan dan lingkungan sosial. Ada yang karena
ditipu pacar atau korban perkosaan. Walaupun tidak dapat
dibenarkan, keadaan ekonomi sangat mendukung seorang
wanita untuk terjun ke dunia pelacuran.
Peran Media Komunikasi.
Sebagian besar PSK menyatakan informasi tentang
penyakit diperoleh melalui televisi dan membaca Mereka
mengenal penyakit HIV-AIDS akibat hubungan seks bergantiganti dan penyakit ini tidak atau belum ada obatnya. Selain itu
sebagian dari mereka juga pernah membaca bahwa untuk
menghindari penularan penyakit kelamin adalah memakai
kondom. Penyuluhan melalui komunikasi tatap muka tidak
mereka peroleh. Hal ini mungkin karena kelompok mereka
tidak diketahui sebagai PSK.
Faktor Keterberdayaan Dalam Tatanan Sosial.
Mereka umumnya mengakui bahwa keberadaan mereka
sebagai PSK tidak dikehendaki oleh tatanan baik keluarga
maupun masyarakat. Mungkin sebagian dari mereka merasa
berdosa menjalani profesi sebagai PSK. Bila ditanya mereka
mengatakan yang tidak sebenarnya, misalnya bekerja di
restoran atau di kelab malam (bar).
Harapan PSK
Sarana yang diperlukan setiap PSK adalah kemudahan
untuk mendapatkan obat dan peralatan kontrasepsi berupa
kondom yang diperlukan terutama untuk mencegah penyakit
akibat hubungan seks atau PMS. Para PSK mengharapkan
dapat memperoleh kondom secara mudah dan murah, jika perlu
gratis, dapat ikut program KB (keluarga berencana) secara
murah terutama melalui suntikan. Selain itu mereka juga
mengharapkan kemudahan untuk pemeriksaan kesehatan setiap
saat. Mereka juga mengharapkan bantuan dana (modal) saat
berhenti dari profesinya. Informasi ini diperoleh dari hampir
semua PSK yang sudah janda dan mereka yang sudah
mendekati usia 30 tahun. PSK yang relatif masih muda lebih

Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 53

menghendaki pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan


tingkat pendidikannya. Di samping itu mereka juga
mengharapkan mendapatkan tambahan ketrampilan di tempat
penampungan. Bahkan ada yang bercita-cita menjadi pedagang
setelah mempunyai modal kerja. Pekerja seks pada umumnya
ingin kembali ke jalan yang benar, setidaknya ingin kembali
menjadi wanita yang baik. Mereka umumnya menginginkan
pekerjaan dan membentuk keluarga yang sejahtera. Menurut
pengakuan mereka hanya kesempatan yang belum muncul.
Mereka pada dasarnya mempunyai naluri kewanitaan yang baik
dan ingin menjalani hidup seperti wanita atau ibu-ibu rumah
tangga secara normal di masyarakat lingkungannya.
Penelitian Endang Sedyaningsih (1999.) menyatakan pada
dasarnya dikotomi antara perempuan baik-baik dan perempuan
tidak baik tampaknya masih melekat dalam pandangan
masyarakat dan lebih lagi dikuatkan oleh berbagai kebijakan,
adat serta aturan yang ada.
Pandangan tersebut sering memojokkan perempuan;
kebijakan pembangunan yang tidak berpihak kepada
perempuan di tengah langkanya lapangan pekerjaan serta
rendahnya tingkat pendidikan kaum perempuan menjadi
penyebab utama munculnya pekerja seks, di tambah terjadinya
krisis ekonomi yang berkepanjangan.

Dengan perkataan lain munculnya PSK merupakan bentuk


kekalahan perempuan dalam persaingan di lapangan pekejaan
yang lebih dikuasai laki-laki. Dalam kondisi demikian,
perempuan selalu tersisihkan dengan gaji lebih sedikit dan
mudah terancam PHK Di sisi lain tumbuh pusat-pusat hiburan
dan selalu ada saja PSK yang muncul.Pada dasarnya kehadiran
PSK adalah sebagai korban pembangunan dan korban
pandangan masyarakat, baik sebagai akibat kekerasan yang
dialaminya seperti perkosaan atau penganiayaan. Semuanya itu
berakar pada kuatnya konsep patriarki sebagai bagian budaya
dalam masyarakat. Konsep patriarki menganggap laki-laki
mempunyai hak poligami. Inilah yang menumbuhkan
kontradiksi manakala dihadapkan pada masalah PSK

KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.

Endang R Sedyaningsih, Perempuan-Perempuan Kramat Tunggak,


Penerbit Suara Pembaharuan, 1999.
Hudayana,B. Pengumpulan Dan Analisis Data Dalam Penelitain
Etnografi, Balai Penelitian P3M IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 1992.
Koentjaraningrat. Metoda-Metoda Penelitian Masyarakat, Penerbit PT.
Gramedia, Jakarta, 1977.
Suara Pembaharuan, Maret 1999

It is the passions that do and that undo everything


(Fontenelle)

54 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006

ANALISIS

Perkembangan Terbaru
Pengobatan Flu Burung
Tjandra Yoga Aditama
Departeman Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran UI / RS Persahabatan
Jakarta, Indonesia

Data menunjukkan bahwa baik bagi dunia maupun bagi


kita di Indonesia, Flu Burung merupakan masalah kesehatan
penting yang perlu dapat perhatian seksama, apalagi dengan
adanya ancaman pandemi. Kendati pandemi sampai Februari
2006 belum terjadi, tetapi jumlah pasien memang terus
meningkat dari waktu ke waktu. Di tahun 2004 lalu ada 46
pasien Flu burung di dunia, atau sekitar 4 pasien baru setiap
bulannya. Angka ini melonjak menjadi rata-rata 8 pasien baru /
bulan di tahun 2005 dengan total 95 kasus. Sementara itu,
sampai 25 Februari 2006, sudah ada 28 pasien Flu Burung di
dunia(1). Untuk Indonesia, awalnya jarak antara kasus pertama
dan ke dua adalah 2 bulan lamanya. Di tahun 2006, dalam
kurang dari 2 bulan sudah ada 11 kasus baru Flu Burung.
Data juga menunjukkan bahwa dengan segala modalitas
terapi yang ada sekitar 50% pasien Flu burung akan meninggal
dunia. Data Indonesia menunjukkan 20 dari 28 kasus
meninggal dunia, artinya case fatality rate 71,43%.
Salah satu faktor penting penanganan Flu Burung adalah
pengobatan.
Berikut ini akan disampaikan perkembangan pengobatan
Flu Burung dewasa ini.
MASALAH OSELTAMIVIR
Seperti diketahui, dalam hal obat saat ini kita bergantung
pada golongan oseltamivir atau yang dikenal dengan nama
Tamiflu. Dosis yang dianjurkan WHO adalah 2 X 75 mg
perhari untuk terapi dan 1X 75 mg per hari untuk profilaksis.
Untuk mereka yang berusia di bawah 13 tahun, dosis
disesuaikan dengan berat badan.(2-4)
Pada dasarnya ada dua jenis obat untuk mengatasi virus
influenza, yaitu golongan neuraminidase inhibitors seperti
osemtamivir dan zanamivir, serta golongan M2 inhibitors yaitu
amantadin dan rimantadin. Hanya saja, data dari beberapa
negara menunjukkan resistensi terhadap M2 inhibitor, kendati
data Indonesia tidak demikian halnya; sehingga akhirnya secara
internasional WHO menganjurkan penggunaan oseltamivir
untuk menangani Flu Burung akibat H5N1.(2)

Perlu disadari bahwa obat ini punya banyak kelemahan,


walau harus diakui bahwa saat ini oseltamivir lah satu-satunya
obat antivirus yang diharapkan untuk mengatasi pandemi,
sebelum ditemukan obat baru yang lebih ampuh.
Sedikitnya ada 8 (delapan) masalah dalam pengobatan Flu
Burung dengan Oseltamivir (Tamiflu).(5) Pertama,
ketersediannya di dunia masih terbatas, dan demikian juga di
Indonesia. Kini tampaknya ada upaya penyediannya secara
maksimal, yang semoga dapat segera terrealisir. Ke dua, obat
ini baru punya efek maksimal bila diberikan dalam 48 jam
pertama sakit, sementara pasien biasanya masuk rumah sakit
sudah terlambat. Karena itu pemberian Oseltamivir di
pelayanan primer di puskesmas mungkin merupakan keputusan
yang baik, hanya harus diingat adanya kemungkinan over-use
dan resistesi. Ke tiga, tidak semua pasien Flu Burung yang
mendapat obat ini walau dalam 48 jam pertama akan sembuh;
dan cukup banyak pula pasien Flu Burung yang dapat sembuh
tanpa obat ini. Data dari 37 kasus di Vietnam dan Thailand
bahkan menunjukkan bahwa pada mereka yang diberi
Oseltamivir angka survival nya adalah 24%, sementara yang
tidak diberi Oseltamivir angka survival nya bahkan bisa 25%.(3)
Tentu data ini masih bisa dikritisi, baik karena sedikitnya
jumlah kasus dan juga tidak ada informasi apakah Oseltamivir
diberikan dalam 48 jam setelah gejala timbul, seperti yang
dianjurkan. Ke empat, meskipun obat ini bekerja baik,
tampaknya perlu digabung dengan obat-obat lain dan ke lima
ada pendapat ahli yang memperkirakan bahwa dosis yang kini
dipakai adalah kurang dan perlu ditingkatkan.(3) Ke enam
adalah lamanya pengobatan, apakah cuikup 5 hari atau
barangkali harus lebih panjang.(3) Ke tujuh adalah adanya
laporan efek samping obat ini, khususnya di Jepang di mana
obat ini telah dikonsumsi oleh 24,5 juta orang, 11,6 juta di
antaranya anak-anak. Dari sejumlah itu dilaporkan 32 kasus
dengan gangguan neuropsikiatrik seperti halusainasi, confusion,
suicide, seizure. Selain itu juga ada laporan terjadinya insomnia,
vertigo, diare, dizziness dan nyeri kepala. Tidak diketahui
etiologi dan patofisiologi efek samping ini.(6) Sementara itu, ke
delapan dari oseltamivir (Tamiflu) adalah mulai

Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 55

ditemukannya virus Flu Burung yang resisten terhadap obat ini,


antara lain dilaporkan dari Vietnam.(4)
OBAT BARU
Karena berbagai alasan di atas maka para ahli mulai
memikirkan mencari obat baru untuk menangani Flu Burung
dan atau meneliti untuk memberi Oseltamivir dalam dosis
yang lebih besar dan atau waktu yang lebih lama. Selain itu,
para ahli juga mencoba efektifitas obat-obat lain. National
Institute of Health (NIH) Amerika Serikat sejak tahun 2005
meneliti kemungkinan penggunaan obat Pegylated Interferon
Gamma. Obat lain yang juga kini sedang diteliti meliputi obat
anti tumor necrosis factor, obat golongan statin dan ACE
inhibitor.
Beberapa obat lain yang dalam penelitian antara lain (6) :
Neuraminidase (NA) inhibitors
- Peramivir (oral/iv), A-315675 (oral)
- Zanamivir (iv)
Long-acting NA inhibitors (LANI)
- R-118958 (topical), Flunet (topical)
Conjugated sialidase
- Fludase (topical)
HA inhibitors- cyanovirin-N
Polymerase inhibitors
- siRNA; ribavirin (aerosol/iv/po)
Protease inhibitors
- Aprotinin
Para ahli juga sedang meneliti kemungkinan memberikan
gabungan / kombinasi dari beberapa obat yang telah dibahas di
atas, termasuk juga dengan Oseltamivir. Di pihak lain, juga
telah dicoba untuk menggabungkan obat antivirus dengan obatobat yang dapat mempengaruhi imunologi (daya tahan)
seseorang dan berfungsi sebagai cytokine dysregulation karena
diduga pada Flu Burung terjadi cytokine storm atau badai
sitokin yang dapat merusak tubuh secara parah.
PENCEGAHAN
Selain pengobatan maka unsur pencegahan tentu juga jadi
perhatian amat penting.
Para ahli sedang mencoba membuat vaksin Flu Burung.
Memang sampai awal 2006 ini belum berhasil, tetapi
setidaknya telah ada beberapa kandidat yang diteliti, baik
dalam bentuk. inactivated (whole and split virion), virosomal
atau live-attenuated. Kandidat vaksin ini dicoba diberikan
secara im, intradermal, intranasal. Sebagai ajuvan untuk bentuk
inactivated digunakan bahan alum dan MF59. Sekarang ini
substrat yang dipakai untuk pertumbuhan kandidat vaksin
adalah telur, Vero cells, dan primary monkey cells.
Sementara menunggu adanya vaksin maka sekarang ini
untuk pencegahan kita masih bergantung pada oseltamivir.
Mereka yang kontak dengan unggas yang sakit Flu Burung,
atau juga dengan pasien Flu Burung, diberi oseltamivir 1 X 75
mg selama 7 hari. Yang jadi masalah adalah tentu petugas
kesehatan yang menangani pasien yang terus bergantian masuk
RS. Tentu tidak mungkin dokter atau perawat hanya makan
obat pencegahan 5 hari padahal terus menangani pasien,
apalagi kalau pandemi benar datang kelak dan pasiennya terus

56 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006

berdatangan. Untuk mereka maka obat pencegahan ini dapat


diminum terus menerus sampai 6 minggu. Bagaimana kalau
sudah lebih dari 6 minggu masih saja terus datang pasien yang
harus diobati? Untuk menjawabnya kita masih perlu penelitian
lebih lanjut.(6)
Obat lain yang juga diteliti untuk pencegahan adalah
Zanamivir dalam bentuk inhalasi. Selain obat-obatan, kini
dikenal konsep penting mass geographical prophylaxis atau
pencegahan massal atau disebut juga ring prophylaxis. Konsep
ini dijalankan dengan memberi profilaksis oseltamivir pada
seluruh penduduk satu desa di mana ada kasus pasien Flu
Burung. Thailand tampaknya sudah mulai mecoba konsep ini.
Hanya saja memang ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam konsep ini.(5,6)
Pertama, konsep ini baru "model", belum jelas
apakah layak laksana dan benar-benar bermanfaat. Ke dua,
hanya dapat dilaksanakan di daerah rural / pedesaan, bukan
perkotaan. Ke tiga, obat pencegahan harus diberikan pada
setidaknya
80-90%
penduduk
desa
tersebut.
Ke empat, yang cukup sulit pelaksanaannya, seluruh penduduk
yang telah mendapat obat pencegahan tidak boleh keluar dari
daerah tersebut, sekolah ,kantor dan tempat umum harus
ditutup, pokoknya mobilisasi amat dibatasi.. Ke lima, konsep
ini baru akan berjalan baik jika virusnya bersifat low
transmittable.
Ke enam, khususnya pada masa pandemi, konsep ini harus
dilakukan bila jumlah pasien masih kurang dari 20 orang dalam
1-3 minggu pertama sakit. Jika pasiennya sudah terlalu banyak
maka sudah terlambat dan tidak bisa dicegah lagi.
Bagaimanapun juga, teknik ini merupakan salah satu cara yang
mungkin dapat dikaji di Indonesia.
PANDEMI
Sejalan dengan mulai munculnya kasus dan kematian
akibat Flu Burung maka banyak dibicarakan tentang
kemungkinan terjadinya Pandemi Influenza. Direktur Jenderal
WHO mengatakan bahwa diskusi tentang Pandemi Influenza
bukan lagi dalam konteks apakah akan terjadi atau tidak tetapi
sudah dalam kapan akan terjadi, artinya WHO mengatakan
bahwa pandemi memang akan kita hadapi.
Dunia sudah beberapa kali mengalami pandemi influenza
di masa lalu. Pandemi Spanish flu yang terjadi tahun 1918 1919 disebabkan oleh virus influenza A (H1N1). Ketika itu
timbul jenis virus influensa baru yang menyebar ke seluruh
dunia dalam 4 sampai 6 bulan. Diperkirakan sampai sepertiga
penduduk dunia (sekitar 500 juta orang) tertular influenza
ketika itu dan sekitar 50 juta orang meninggal, bahkan ada
yang menduga sampai 100 juta orang meninggal. Sekitar 50%
penderita masih berusia muda dan sebelumnya sehat-sehat saja.
Ketika itu pasien bahkan meninggal beberapa hari setelah
terinfeksi.(7) Gelombang Pandemi flu ke dua, Asian flu terjadi
tahun 1957-1958, disebabkan oleh virus influenza A (H2N2)]
dan mengakibatkan sekitar 70.000 kematian di Amerika Serikat.
Flu Asia ini pertama diidentifikasi di Cina akhir Februari 1957
kemudian menyebar ke Amerika pada Juni 1957. Sementara itu
di tahun 1968-1969 terjadilah Hong Kong flu yang disebabkan
oleh virus influenza A (H3N2) yang mengakibatkan sekitar
34.000 kematian di Amerika Serikat dan 1 jutaan di seluruh

dunia.(8) Kini, H5N1 dipercaya sebagai salah satu kandidat


utama penyebab pandemi. Bila dilakukan analisis situasi
tentang pandemi Flu Burung, maka kini setidaknya ada enam
hal yang patut jadi perhatian.(5,8,9) Pertama, semua pihak harus
menyadari bahwa memang ada risiko besar akan terjadi
pandemi influenza. Hal ke dua adalah kenyataan bahwa
ancaman pandemi ini ternyata menetap sejalan dengan
penyebaran penyakit pada unggas di dunia. Ke tiga, kita tidak
dapat secara pasti memprediksi pola mutasi pada virus
influenza H5N1, dan juga jenis virus influenza lainnya. Apalagi
infeksi tidak hanya terjadi di unggas, tetapi mungkin juga
terjadi di binatang lain seperti babi, kucing, macan, ikan dan
juga manusia.
Kenyataan ke empat adalah sulitnya membangun early
warning system. Banyak faktor yang berperan, antara lain
begitu banyaknya orang yang memelihara unggas dan tidak
mungkinnya dibunuh semua ayam guna menghindari
penyebaran. Pada manusia, diagnosis dini juga sulit dilakukan
dan diagnosis pastipun butuh alat laboratorium canggih (kultur
virus, PCR, serologi ketat dll).
Hal ke lima yang dihadapi adalah soal pencegahan, karena
vaksin ampuh belum tersedia. Hal ke enam, jika pandemi betulbetul terjadi, maka dunia akan dihadapkan dengan keterbatasan
kemampuan pelayanan kesehatan untuk menangani tambahan
jutaan kasus pasien. Dalam keadaan normal seperti sekarang
saja masih sering didengar berbagai keluhan tentang pelayanan
kesehatan. Jika ada pandemi maka tentu kalangan kesehatan di
dunia akan dapat tantangan kerja amat berat.
Untuk bersiap dan mencegah terjadinya pandemi, ada
beberapa langkah strategik yang perlu dilakukan.(5,8,9) Yang
pertama, dan sangat penting, adalah harus terbina kerjasama
antara kalangan kedokteran dan peternakan/kedokteran hewan .
Langkah ke dua adalah harus dibinanya komunikasi yang
intens ke masyarakat. Untuk perkotaan hal ini perlu untuk
menghindari kepanikan publik.
Sementara itu, di daerah rural hal ini perlu terutama untuk
menjangkau peternak skala menengah dan kecil yang jutaan
orang jumlahnya. Hal ke tiga adalah meningkatkan ilmu
virologi sehingga mampu mendeteksi perkembangan virus di
masyarakat dan di lingkungan secara lebih mendalam.
Langkah ke empat adalah upaya meningkatkan kemampuan
mendeteksi dan mengobati kasus pada manusia.

Hal ke lima yang penting adalah prioritas politik untuk


penyediaan obat dan alat kesehatan untuk pencegahan dan
penanganan kasus.
Flu Burung adalah masalah kesehatan yang penting. Hanya
dengan kerjasama semua pihaklah - pemerintah, profesional
kesehatan, profesional peternakan dan masyarakat luas - kita
dapat mengatasinya. Kepemimpinan dan koordinasi amat
diperlukan, demikian juga kesadaran masyarakat berdasarkan
pengetahuan yang benar.

KEPUSTAKAAN
1.

2.

3.

4.
5.
6.
7.
8.

9.

WHO. Cumulative number of confirmed human cases, 20 February 2006.


(Accessed
February
25,
2006,
http ://www.who.int/csr/disease/avian_influenza/country/cases_table_200
6_02_20/en/index.html)
WHO. Avian Influenza Frequently Asked Question,revised 5 December
2005
(Accessed
February
25,
2006,
http://www.who.int/csr/disease/avian_influenza/avian_faqs/en/index.html
#drugs2)
The Writing Committee of the World Health Organization (WHO)
Consultation on Human Influenza A/H5. Current Concepts Avian
Influenza A (H5N1) Infection in Humans. N Engl J Med 2005;353:137485.
de Jong et al. Oseltamivir resistance during treatment of Influenza A
(H5N1) Infection. . N Engl J Med 2005;353: 2667-72
Tjandra Yoga Aditama. Flu Burung pada manusia. Jakarta : UI Press,
2005, hal 23-38
Hayden GF. Human H5N1 Infection . Disajikan pada Pertemuan Flu
Burung, Jakarta 29 November, 2005
Taubenberger JK, Morens DM. 1918 Influenza: the Mother of All
Pandemics. Emerg Inf Dis 2006;12(1): 246-9
Communicable Disease Surveillance and Response Global Influenza
Programme WHO. Responding to the avian influenza pandemic threat .
Recommended strategic actions. Geneve : WHO 2005
WHO. Ten things you need to know about pandemic influenza.
(Accessed
February
25,
2006,
http://www.who.int/csr/disease/influenza/pandemic10things/en/index.htm
l

Setiap pasien dengan gejala ILI (Influenza Like Illness) seperti :


gejala demam (suhu > 38C), sakit tenggorokan, beringus, batuk, nyeri otot, sakit kepala, dan lemas
dan mempunyai riwayat dalam satu minggu terakhir:
a. kontak unggas sakit / mati mendadak atau
b. kontak unggas (sehat atau sakit) atau
c. mengalami leukopeni atau perburukan radiologik mendadak
Harap segera dirujuk ke rumah sakit rujukan Flu Burung terdekat

Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 57

OPINI

Latihan Beban Meningkatkan


Kualitas Hidup Menghadapi Penuaan
Phaidon Lumban Toruan
Perkumpulan Awet Sehat Indonesia ( PASTI)

Key words : muscle, weight training, anabolic hormon


Selama beberapa tahun terakhir, terjadi peningkatan minat
terhadap pengetahuan akan penuaan serta strateginya
menghadapi problem akibat proses penuaan, salah satunya
adalah penyakit degeneratif. Menurut WHO, 90% penyakit
penyebab kematian saat ini adalah penyakit degeneratif,
sisanya 10% disebabkan oleh infeksi, trauma, dan penyebab
lain. Umumnya penyakit degeneratif ini disebabkan oleh gaya
hidup yakni diet yang tidak sehat dan kurangnya gerak.
Dikombinasi dengan terjadinya penurunan hormon seperti
growth hormone, testosterone, DHEA mulai pada usia 30 an,
kelebihan asupan kalori dan kurangnya pengeluaran kalori
lewat aktifitas, maka problem kegemukan menjadi amat nyata.
Salah satu teori dalam proses penuaan atau aging process
adalah teori perubahan hormonal yang dikenal dengan teori
neuroendokrin. Teori ini dimajukan oleh Vladimir Dilman yang
berfokus pada wear and tear theory sistem neuro endokrin,
suatu jaringan biokimiawi kompleks yang mengatur hormon
tubuh dan elemen penting lainnya. Pada saat muda, hormon di
tubuh kita bekerjasama mengatur fungsi organ-organ tubuh
termasuk respon terhadap panas, dingin, dan aktifitas seksual..
Organ yang berbeda, mengeluarkan hormon yang berbeda,
yang semuanya berada di bawah komando kelenjar
hipotalamus. Kelenjar sebesar kacang ini terdapat di otak dan
bertanggung jawab terhadap produksi dan interaksi hormonhormon tubuh. Karena fungsinya yang mengkoordinasikan
semua hormon tubuh maka kelenjar ini disebut juga thermostat
tubuh. Berikut adalah fakta-fakta sehubungan dengan teori
hormonal dalam proses penuaan.
Levels Of Hormones

58 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006

Akibat penurunan growth hormone terjadi penurunan


hormon pada usia 30 an dan penurunan massa otot yang
dikenal dengan sarcopenia. Karena otot adalah ibarat mesin
tubuh, kehilangan massa otot ini memberikan dampak yang
sangat besar terhadap kemampuan tubuh kita dan kapasitas
fungsinya. Jika kita tidak secara sadar melakukan olahraga
latihan beban untuk menjaga massa otot, maka kita akan
kehilangan kira-kira 2 sampai 3 kg. jaringan otot setiap
dekade.(4) Intinya, seperti mobil yang tadinya berkapasitas 3000
cc menjadi 2400 cc lalu turun menjadi 1800 cc, dan bahkan
bisa menjadi seperti bajaj dengan kapasitas 500 cc.
Karena kapasitas mesin berhubungan erat dengan
penggunaan energi, maka dengan mudah kita mengerti
mengapa berkurangnya massa otot mengakibatkan penurunan
metabolic rate. Kehilangan massa otot ini berperan terhadap
penurunan metabolic rate sebanyak 2 sampai 5 persen per
dekade.(5) Hasil yang jelas dari makin berkurangnya massa otot
dan penurunan metabolisme adalah penambahan berat badan
secara gradual, kira-kira 5 kilogram perdekade.
Dengan sederhana kita pahami bahwa kalori yang
sebelumnya digunakan untuk aktivitas jaringan otot kemudian
disimpan ke dalam sel lemak yang mengakibatkan terjadinya
obesitas. Latihan beban merupakan solusi dan masih dapat
memberi respon walau pada usia tua. Menurut penelitian W
Campbell di Tufts University, pria dan dewasa tua yang
melakukan latihan beban 30 menit tiga kali seminggu selama
12 minggu, dapat menambah berat badan sekitar 1,2 kg dan
mengurangi massa lemak 1,8 kg, sementara pada saat yang
sama menambah jumlah kalori sebanyak 370 kalori.
Sayang sekali, diet tanpa olahraga malah menjadi counter
productive. Pertama, sekitar 25% berat badan yang hilang
adalah jaringan otot.(1) Hal ini kemudian mengurangi resting
metabolism. Ke dua, sekitar 95% dari semua dieter ini akan
kembali naik berat badan dalam waktu kira-kira 1 tahun.(2) Dan
karena penambahan berat badan ini kebanyakan berupa lemak,
maka komposisi tubuh mereka menjadi lebih parah setelah
setiap kali diet. Kita sering tidak menyadari penyebab dan
solusi dari penambahan berat badan ini. Kita tidak menyadari
bahwa kehilangan massa otot mengakibatkan penambahan
massa lemak. Bahkan kita sangat tidak menyadari bahwa
kehilangan massa otot sangat berhubungan dengan osteoporosis

dan berbagai macam penyakit degeneratif lain. Untungnya,


adalah mungkin untuk mengembalikan dan mempertahankan
otot yang berkurang akibat gaya hidup dan proses penuaan.
Misal seorang perempuan pada usia 20 tahun memiliki
tinggi 160 cm, berat badan 45 kg, pada usia 30 tahun memiliki
berat badan 50 kg setelah memiliki anak satu, dan persentase
lemak tubuh adalah 20%. Maka:
Berat badan
Berat lemak
Berat otot dan tulang

30 tahun
50 kg
10 kg
40 kg

40 tahun
55 kg
18 kg
37 kg

50 tahun
60 kg
25 kg
35 kg

Logika sederhana dari kondisinya pada usia 50 tahun adalah


kegemukan dengan konsekuensi :
mudah lelah, tidak fit dan tidak energik; malas
beraktivitas.
beban sendi bertambah, mudah nyeri lutut dan
pergelangan kaki; gairah berkurang
tubuh menjadi tidak indah
DAMPAK KEGEMUKAN
Berikut adalah resume beberapa hal yang terjadi akibat
kegemukan. Kita bisa membayangkan dampak selanjutnya
akibat proses fisiologis tersebut
1. peningkatan LDL yang menyebabkan penyempitan
pembuluh darah
2. sensitifitas insulin berkurang menyebabkan risiko diabetes
3. menyebabkan tubuh memproduksi lebih banyak estrogen,
karena sel lemak tubuh memproduksi hormon estrogen.
Salah satu cara efektif untuk menurunkan lemak tubuh
adalah dengan melakukan aktifitas fitness. Tambahkan latihan
beban dalam aktifitas olah raga yang mungkin selama ini hanya
diisi oleh aktifitas aerobik seperti berjalan kaki, sepeda,
berenang, dan lain sebagainya. Pada dasarnya aktifitas fitness
terdiri atas komponen berikut
1. Olahraga
: latihan beban, aerobik, peregangan
2. Diet
: nutrisi, suplementasi
3. Istirahat
: aktif, pasif
MENGENALI SEGMEN
Manusia walaupun memiliki kesamaan fisiologis, akan
tetapi tetap memiliki perbedaan. Dari faktor demografis, seperti
usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, terlihat bahwa manusia
terdiri atas banyak segmen kelompok yang berbeda-beda. Hal
ini menyebabkan perbedaan dalam cara penyampaian manfaat
sesuatu sesuai dengan segmen yang dihadapi. Ketika menjual
sesuatu yang baik, tidak hanya diperlukan produk yang
berkualitas baik, akan tetapi juga perlu bungkusnya sesuai
dengan segmen yang dituju. Konsepnya adalah latihan beban.
Manfaat utama dari latihan beban adalah penambahan massa
otot. Manfaat dari penambahan massa otot secara sederhana
adalah sesuai dengan fungsinya yakni memperbaiki postur,
menambah pergerakan, dan pembakaran kalori.

Misalnya, ketika berbicara latihan beban ke pada remaja


berusia 20 tahunan, maka kita katakan bahwa latihan beban
merupakan latihan yang membantu kita memiliki tubuh yang
gede dan macho sehingga nanti banyak dilirik.
Bila kita berbicara pada eksekutif berusia 30 tahunan,
maka kita bisa mengatakan bahwa manfaat latihan beban
adalah membuat kita memiliki seks yang luar biasa atau bisa
membantu enjoy night life. Bila berbicara aktifitas latihan
beban untuk mereka yang berusia di atas 40 tahun, maka ada
perbedaan dalam cara mengemas kegiatannya. Secara umum
seseorang yang berusia 40 tahun ke atas memiliki perbedaan
besar dalam tanggung jawab dalam kehidupan, memiliki orang
tua yang sakit-sakitan, anak yang sedang tumbuh menjadi
puber dan perlu pengawasan serta bekerja di perusahaan atau
sebagai profesional yang mulai menanjak karirnya, sehingga
manfaat yang kita tawarkan adalah berupa stamina untuk
mengatasi banyak problem kehidupan. Pada usia 50 an saat
anak sudah mulai beranjak dewasa, maka yang terjadi adalah
empty nest, rumah mulai kosong, aktifitas pekerjaan sudah
tidak terlalu menyita waktu lagi, akan tetapi kehidupan sosial
semakin tinggi, menyebabkan tubuh mulai gemuk dan
penyakitan; rasa takut akan terjadinya heart attack atau stroke
mungkin menyebabkan kita bisa menawarkan manfaat latihan
beban untuk membantu menjaga kesehatan. Demikian juga
pada usia 60 an, kita bisa memberitahukan bahwa manfaat
latihan beban adalah untuk membantu mengatasi limitasi
aktifitas. Mereka yang berusia di atas 60 tahun akan merasakan
siksaan sangat berat apabila tidak dapat beraktifitas biasabiasa saja misalnya bermain dengan cucu. Hal ini mungkin
terjadi akibat kegemukan, osteoporosis, pasca serangan jantung
dan lain sebagainya. Perlu diingat bahwa latihan beban sebagai
bagian dari aktifitas olahraga merupakan bagian dari gaya
hidup sehat, dan merupakan investasi jangka panjang, Karena
itu diperlukan komitmen yang kuat dari diri sendiri untuk mau
hidup sehat, dan harus dimulai dari dalam diri sendiri; tidak
dapat dipaksakan. Saran saya adalah sediakan waktu minimal
15 menit setiap hari untuk menjaga kebugaran.

KEPUSTAKAAN
1.

2.
3.

4.
5.

Ballor DL, Poehlman ET. Exercise training enhances fat free mass
preservation during diet-induced weight loss: A meta analytic finding.
Internat. J. Obesity, 18:35-40
Brehm B, Keller B. Diet and exercise: factors that influence weight and
fat loss. IDEA Today 1990; 8:33-46
Campbell W, Crim M, Young V, Evans W. Increased energy
requirements and changes in body composition with resistance training in
older adults. Am.J.Clin.Nutr.1994; 60:167-175
Forbes GB. The Adult decline in lean body mass. Human Biology 1976;
48 : 161-73
Keyes A, Taylor HL, Grande F. Basal Metabolism and Age of Adult
Man. Metabolism 1973; 22:579-87

Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 59

Produk Baru
Neural Tube Defects Fact and Prevention
Defek tuba neuralis atau neural tube defects merupakan cacat
lahir yang sangat serius. Kelainan ini mengenai sumsum tulang (spina
bifida) dan otak (anensefalus).(1,2) Spina bifida terjadi jika kolum
spinal janin tidak menutup untuk melindungi batang spinal. Penutupan
ini seharusnya terjadi pada beberapa minggu pertama kehamilan.
Spina bifida menyebabkan berbagai masalah yang berkaitan dengan
gangguan neurologis. Anensefalus merupakan suatu kondisi otak bayi
tidak berkembang dengan semestinya dan biasanya menyebabkan bayi
lahir mati atau meninggal segera setelah lahir.(3)

Gambar 1. Anensephalus

Gambar 2. Anensephalus

Di Amerika, defek tuba neuralis terjadi pada 3000 kehamilan


setiap tahunnya dan insidensinya menurun sekitar 50% pada kurun
waktu 1970 sampai 1989 (1.3 per 1000 menjadi 0.6 per 1000 kelahiran
hidup). Bayi-bayi yang dilahirkan dengan spina bifida dapat tumbuh
menjadi dewasa, namun, pada beberapa kasus, sering disertai dengan
kelainan-kelainan seperti paralisis, inkontinensia urin dan alvi dalam
derajat yang bervariasi.(2,4)

Asam folat adalah vitamin B yang tersedia pada bahan makanan


sehari-hari seperti sayur-sayuran hijau, kacang buncis, padi, hati, ragi,
dan pada beberapa buah-buahan seperti jeruk. Meskipun seseorang
yang mengkosumsi sayur mayur dan daging segar akan mencerna
sebanyak 2 mg setiap harinya, ternyata tidak semua wanita hamil
memperoleh asupan asam folat yang adekuat dari diet sehari-hari ini.
Pada orang dewasa normal, asupan harian yang direkomendasikan
yaitu sebesar 400 mcg; wanita hamil, menyusui, serta pasien-pasien
dengan laju pergantian sel yang tinggi seperti pada pasien anemia
hemolitik membutuhkan asam folat sebesar 500-600 mcg atau lebih
setiap harinya. Namun, untuk mencegah cacat lahir berupa defek tuba
neuralis, US Public Health Service (1992) dan Institute of Medicine
(1998) merekomendasikan agar semua wanita usia reproduksi
terutama yang akan hamil diharuskan mengkonsumsi 400 mcg asam
folat setiap harinya.(1,2,5,6)
Asam folat dalam bentuk suplemen dan bahan makanan alami
ternyata berbeda dalam hal penyerapan dan ketersediaan di dalam
tubuh. Penelitian selama 12 minggu oleh Nulty et al. menunjukkan
bahwa suplementasi asam folat sebesar 400 mcg/hari (group 1) dan
asupan bahan makanan dengan fortifikasi asam folat yang
mengandung asam folat 400 mcg/hari (group 2) terbukti efektif untuk
meningkatkan status folat pada seorang wanita secara bermakna (**).
Sementara konsumsi folat yang berasal dari bahan makanan alami
yang mengandung asam folat 400 mcg/hari (group 3), diet biasa
(group 4), dan kelompok tanpa intervensi (group 5) menunjukkan
peningkatan folat pada sel darah merah yang tidak bermakna.(7)
Kalbe Farma sebagai salah satu perusahaan farmasi yang terus
mengembangkan
produk-produk
Obstetri
dan
Ginekologi,
merencanakan akan memasarkan suplemen asam folat dan vitamin B6
dengan nama VOMILAT. Selain kandungan asam folat 40 mcg,
VOMILAT juga mengandung vitamin B6 (30 mg) yang dapat
digunakan sebagai terapi mual dan muntah pada kehamilan. Dosis
anjuran pemberian VOMILAT yaitu 1-2 tablet setiap hari.

KEPUSTAKAAN
1.

2.

3.

4.
5.
Gambar 2. Respon Sel Darah Merah Terhadap Asupan Folat

Upaya pencegahan dan mengurangi risiko terjadinya defek tuba


neuralis dapat dilakukan dengan mengkonsumsi vitamin yang dikenal
sebagai asam folat. Konsumsi asam folat pada periode peri konsepsi
dapat mengurangi kejadian defek tuba neuralis sebesar 50-70%.

60 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006

6.

7.

Carter H, Lindsey LL, Petrini JR, et.al. Use of Vitamins Containing Folic
Acid Among Women of Childbearing Age. MMWR CDC
2004;53(36):847-850. http://www.cdc.gov
Houk VN, Oakley GP, Erickson GP, et al. Recommendations for the Use
of Folic Acid to Reduce the Number of Cases of Spina Bifida and Other
Neural
Tube
Defects.
MMWR
CDC
1992;41(RR-14):001.
http://www.cdc.gov
Anonim.
CERHR
:
Folic
Acid.
http://cerhr.niehs.nih.gov/genpub/topics/folic_acid-ccae.html.
Diakses
tanggal 25 Oktober 2005
Jallo G, Becske T, Rust RS, et al. Neural Tube Defects.
http://www.emedicine.com
Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ. Prenatal Care. In. Williams
Obstetrics 21st ed. New York : Mc Graw Hill, 1997. Hal 221-245.
Hilman RS. Hematopoietic Agents Growth Factors, Mineral, and
Vitamins. In. Goodman & Gilmans Pharmacological Basis of
Therapeutics. Eds. Hardman JG, Limbird LE, Gilman AG. New York :
Mc Graw Hill, 2001. Page 1487-1517
Nulty HM, Cuskelly GJ, Ward M. Response of Red Blood Cell Folate to
intervention : implications for folate rekommendations for the prevention
of neural tube defects. Am J Clin Nutr 2000 ; 71 (Suppl) : 1308S 11S.

Kegiatan Ilmiah
DETAK, Deteksi Awal Kanker diresmikan Menkes RI, Jakarta 24
Januari 2006
Menurut data pemeriksaan histopatologik di Indonesia tahun 1999,
lima besar kanker yang diderita penduduk Indonesia, berturut-turut adalah:
Kanker Leher Rahim, Kanker Payudara, Kanker Kelenjar Getah Bening,
Kanker Kulit dan Kanker Rektum. Karena kepedulian itulah, maka Kalbe
Farma bekerjasama dengan Yayasan Kanker Indonesia dan Rumah Sakit
Kanker Dharmais mencetuskan program DETAK. Aktifitas DETAK mulai
dijalankan setelah diresmikan oleh Menteri Kesehatan RI, Dr. dr Siti
Fadilah Supari, SpJP(K), di Gedung Dharma Wanita Pusat Kuningan
Jakarta, 24 Januari 2006. Acara dilanjutkan dengan Seminar Awam dan
Konferensi Pers serta pembagian buku "Kanker, Antioksidan dan Terapi
Komplementer" dan brosur-brosur. Selain itu diselenggarakan juga Lomba
Penulisan Kanker berhadiah jutaan rupiah. Website: http://www.detak.org.
ISBPPSM, Jakarta 24 - 26 Januari 2006
Kemajuan bidang Kesehatan Jiwa di Indonesia saat ini, sungguh
memprihatinkan. Salah satu indikator, misalnya, bisa dilihat pada
perhatian pemerintah yang memprioritaskan bidang ini pada nomor 14 dari
15 bidang kesehatan yang ada. Demikian dilansir Mantan Direktur
Kesehatan Jiwa Depkes RI, Prof(em.). R Kusumanto Setyonegoro, MD,
PhD, saat memberikan ceramahnya pada acara ISBPPSM (Indonesian
Society for Biological Psychiatry, Psychopharmacology & Sleep
Medicine) yang berlangsung di Hotel Twin Plaza Jakarta, 24 hingga 26
Januari 2006. Dalam kesempatan ini pula, diperkenalkan obat original
terbaru untuk penderita Schizophrenia dari Kalbe Farma, LODOPIN
(Zotepine).
Seminar Revolution on Anti Aging Medicine, seri III, Jakarta 26
November 2005
Cosmeceuticals, menurut Vice Chairman dan Founder PASTI
(Perkumpulan Awet Sehat Indonesia, Indonesian Anti Aging Society)
Edwin Djuanda, adalah perpaduan ilmu Kosmetik dan Pharmaceuticals.
Untuk pelbagai kondisi kulit, Cosmeceuticals banyak sekali peranannya
dalam meneliti dan mengembangkan hal-hal seperti: antioxidant,
bleaching, cell renewal (retinoic acid, etc) dan pelbagai jenis pelindung,
seperti: sunblock, moisturizers, dan lain-lain. Demikian dipaparkan ahli
kulit Indonesia, dr Edwin Djuanda, di hadapan sekitar 200 peserta Series
Seminar Revolution on Anti Aging Medicine. Seminar ini terbuka bagi
siapa saja (dokter maupun non dokter) yang tertarik mempelajari lebih
jauh mengenai Anti Aging Medicine. Website : http://www.pasti.or.id.
The 7th International Meeting on Respiratory Care Indonesia
(RESPINA 2005), Jakarta, 2-4 Desember 2005
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) adalah salah satu kasus
yang banyak dijumpai dalam praktek dokter sehari-sari, sehingga tidak
salah bila pertemuan tahunan ke 7 RESPINA kali ini memfokuskan pada
tema ARDS. Jumlah peserta yang hadir sebanyak 750 tamu, dari kalangan
dokter spesialis, dokter umum dan mahasiswa. Total sesi yang disampaikan berjumlah 20 topik, diawali pada hari pertama dengan kegiatan
workshop.
The 2nd National Congress Indonesian Osteoporosis Association,
Surabaya 2-4 December 2005
Acara The 2nd National Congress Indonesian Osteoporosis
Association diselenggarakan atas kerjasama Perhimpunan Osteoporosis
Indonesia dan International Osteoporosis Foundation Desember 2005.
Dalam kongres ini, dibahas masalah seputar kesehatan tulang terutama di
Indonesia. Acara yang bertema Strong Bones For The Healthy Body ini
dibuka oleh Gubernur Jawa Timur Imam Hutomo dan dihadiri juga oleh
wakil dari International Osteoporosis Federation (IOF) USA, serta di-

hadiri oleh sekitar 350 peserta simposium.


A4M Pre-Conference Workshop, Las Vegas 9 Desember 2005
Kekurangan Growth Hormone (GH) pada proses penuaan belum
membuat seseorang mencari bantuan tenaga medis, sampai ia bisa membandingkan hal itu dengan orang yang kadar GH-nya tetap normal.
Demikian dikatakan dr Thierry Hertoghe pada Pre-Konferensi American
Academy of Anti-Aging Medicine di Las Vegas. Di hadapan sekitar 2.000
peserta yang meluber, workshop khusus membahas Endokrinologi dengan
tema: A Practical Application of Treating Adult Hormone Deficiency
using Bio-Identical Hormone Replacement Therapy (HRT), dikemukakan
pendapat terbaru tentang hasil penelitian terakhir mengenai GH,
Testosteron, Cortisol, dan lain-lain.
Kongres Internasional XIII Anti Aging Medicine, Las Vegas 2005
Para dokter datang dan berkumpul pada kongres ini, pertama-tama
tidak untuk pasien-pasiennya, melainkan untuk dirinya sendiri. Demikian
pengakuan dr Robert Goldman, chairman A4M (American Academy of
Anti-Aging Medicine), dalam sambutannya di acara Kongres Internasional
XIII Anti Aging Medicine Las Vegas, 9 Desember 2005. Kongres yang
berakhir tanggal 12 Desember ini didahului Workshop Pre-Kongres 1 hari
dan bersamaan dengan beberapa workshop seperti dari International
Hormone Society, Mesotherapy, dan Sports Medicine. Total peserta yang
mendaftar mengikuti acara ini sekitar 4.000 dokter dan tenaga kesehatan
dari seluruh dunia.
Seminar Nasional: Perspektif global antisipasi pandemi flu burung,
Jakarta, 9 Desember 2005
Kewaspadaan yang tinggi dan kesiagaan terhadap penyakit flu
burung yang saat ini sedang melanda khususnya di tanah air kita, harus
ditingkatkan oleh para dokter dan tenaga medis, dikatakan oleh Dr.
Santoso Soeroso, SpA(K), MARS dalam Seminar Nasional tentang Flu
Burung, yang dihadiri oleh sekitar 1100 peserta, termasuk 30 duta besar
atau perwakilan dari negara sahabat yang ada di Jakarta. Seminar ini
dibuka resmi oleh Menteri Kesehatan RI, Dr. dr. Siti Fadilah Supari,
SpJP(K).
Pelantikan PB IDKI 2005 - 2008, Jakarta 24 Desember 2005
Ke depan, pelayanan kedokteran Indonesia akan berbasis Dokter
Keluarga. Demikian penuturan Ketua PB Ikatan Dokter Indonesia, saat
melantik Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Kesehatan Kerja Indonesia
(IDKI) atau The Indonesian Medical Association for Occupational Health
(IMAOH) masa bakti 2005-2008, Sabtu 24 Desember 2005. Menjabat
sebagai Ketua Umum adalah dr Soemardoko Tjokrowidigdo, SpM, SpKP
menggantikan dr Sudjoko Kuswadji MScOM PKK SpOk.
Simposium Nasional PERMI JAYA, Jakarta 4-5 Februari 2006
Sebagai wujud kepedulian terhadap wanita menopause dan dalam
rangka memperingati Hari Menopause sedunia yang jatuh pada tanggal 18
Oktober, Perkumpulan Menopause Indonesia Cabang Jakarta (PERMI
JAYA) menyelenggarakan simposium nasional menopause. Penyelenggaraan Simposium Nasional (SIMNAS) ke-III ini, menghadirkan
pembicara-pembicara handal dalam bidang menopause, untuk mempresentasikan masalah peventif terhadap komplikasi menopause yang luas
seperti masalah kardiovaskuler, muskuloskeletal, kulit, mata, pendengaran,
osteoporosis, seks, psikologi dan terapi sulih hormon (TSH). Simposium
ini dihadiri oleh sekitar 400 peserta dari kalangan dokter.
Laporan lengkap dari pelbagai simposium di atas, bisa diakses pada
http://www.kalbefarma.com/seminar.

Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006

61

apsul
Uji Laboratorium yang Dianjurkan untuk Kasus Baru HIV Positif
Test
Complete blood count
Electrolytes, blood urea nitrogen, creatinine, fasting blood sugar

Bilirubin, alkaline phosphatase, aspartate aminotransferase,


alanine aminotransferase
Creatine kinase
Amylase, lipase
Fasting lipid profile
Serologic tests for syphilis (e.g., plasma reagin test)
Serologic tests for hepatitis A, B, and C viruses

Toxoplasmosis titer

CMV titer

Cervical Papanicolaou smear


Anal screening for HPV
Tuberculin skin test
Electrocardiography
Chest radiography

Comment
Anemia may contraindicate use of zidovudine
Abnormal renal function may contraindicate use of tenofovir or indicate
need for adjustment of renally excreted nucleoside or nucleotide
analogues; baseline presence of diabetes may contraindicate use of
protease inhibitors, which can cause insulin resistance
Indinavir and atazanavir can elevate indirect bilirubin levels. Abnormal
liver-enzyme levels may indicate need for further workup, may
influence choice of antiretroviral agents, which carry risk of
hepatotoxicity, or both
Elevated value may reflect, most commonly, exercise or underlying HIV
myopathy; a baseline value is helpful, to monitor zidovudine therapy,
which may cause drug-induced myopathy
Baseline values may be helpful for making decisions regarding use of
drugs (e.g., didanosine) that carry risk of pancreatitis.
Abnormal baseline values may indicate need for dietary therapy, drug
therapy, or both, or possible avoidance of therapy with certain protease
inhibitors
Evidence of past or recent exposure requires treatment unless there is
documentation of adequate course of treatment.
If negative, counseling to prevent acquisition of all three viruses and
vaccination for hepatitis A and B viruses are indicated. If active
infection with hepatitis B or C virus, or both, is present, decision
should be made about specific treatment and its relation to
antiretroviral therapy
If negative, counseling to prevent acquisition of Toxoplasma gondii
(including avoidance of undercooked meat and of cat feces) is
indicated. If positive, and CD4 cell count is <100 per mm3, primary
prophylaxis is indicated. (patients with very advanced HIV infection
may lose antibody to T. gondii.)
If negative, counseling is indicated to prevent acquisition of virus
through intimate contact or blood transfusion. If blood products are
needed, screening should be considered, to prevent CMV acquisition.
Whether there is a routine need for this test is debatable, given the
decreased incidence of CMV-associated disease with the use of potent
antiretroviral therapy.
Important, given the prevalence of HPV infection and increased risk of
cervical neoplasia.
No consensus recommendation exists, but consideration of Papanicolaou
smear, HPV DNA test, or both, is reasonable, given associated risk of
anal carcinoma.
If positive (induration 5 mm) and active tuberculosis is ruled out,
isoniazid therapy for nine months should be considered.
Baseline tracing may be important, given potential for increased
cardiovascular risk associated with antiretroviral therapy (especially
some protease inhibitors). Atazanavir can prolong PR interval.
Important to consider obtaining a baseline film, owing to numerous
HIV-related complications that can manifest as pulmonary disease.

*Because of potential past exposure to pathogens that may reactivate with immunosuppression, additional baseline laboratory screening tests to consider in persons
with newly diagnosed HIV infection may include titers for Histoplasma capsulatum, Coccidioides immitis and Blastomyces dermatitidis. If these tests are
negative, counseling (e.g., regarding travel and recreation) to avoid acquisition should be considered. If positive, the awareness that risk increases as immunosuppression worsens may help in the management of HIV infection. In the United States, histoplasmosis is endemic in the Mississippi River Valley, Puerto Rico, and
foci in other parts of the country; coccidioidomycosis is endemic in central California and the Southwest; and blastomycosis is endemic in the Southeast.
Blastomycosis is relatively rare in patients with AIDS, so the role of testing for this infection is particularly uncertain. Stool examination for Strongyloides
stercoralis also should be considered in patients with a history of travel to or residence in tropical or semitropical areas. If positive, treatment is indicated to avoid
the potential for future development of hyperinfection syndrome with advanced immunosuppression. However, routine testing cannot be recommended on the basis
of available data. CMV denotes cytomegalovirus, and HPV human papillomavirus. Data are from the Department of Health and Human Services and Aberg et al.
N Engl J Med 2005; 353:16 www.nejm.org.

62 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006

ABSTRAK
ASAM
VALPROAT
UNTUK
INFEKSI HIV
Asam valproat diketahui juga
mempunyai aktivitas inhibisi enzim
histone deacetylase 1 (HDAC 1)
enzim yang menekan ekspresi gen
virus. Efek inhibisi enzim ini akan
mengeluarkan virus dari sel T sehingga
dengan demikian lebih rentan terhadap
efek terapi antiretrovirus.
Teori ini dicoba dibuktikan
melalui pemberian 500-750 mg. asam
valproat/hari selama 3 bulan pada 4
pasien HIV positif yang sedang
menjalani HAART.
Di akhir terapi, ternyata infeksi
HIV dalam sel CD4+ turun bermakna
pada 3 pasien; rata-rata 75% (68% >84%). Data ini memberikan harapan
akan manfaat tambahan obat dengan
mekanisme yang berbeda sebagai
ajuvan terapi infeksi HIV.
Lancet 2005;366:549-55
brw

PENGOBATAN
UNTUK
HIV
POSITIF
Mengingat ketaatan berobat juga
tergantung dari kesederhanaan protokol
dan toleransi obat, beberapa kombinasi
obat diteliti manfaatnya atas kasuskasus HIV positif.
Sejumlah 517 pasien HIV positif
baru yang belum pernah diobati, diberi
regimen tenovofir disoproxil fumarate
(DF) + emtricitabine + efavirenz 1
kali/hari
(kelompok 1) atau/
dibandingkan dengan zidovudinelamivudine 2 kali/hari + efavirenz 1
kali/hari (kelompok 2).
Setelah 48 minggu, kelompok 1
lebih banyak yang mencapai target <
400 copies HIV RNA/ml. dibandingkan di kelompok 2 (84% vs. 73%;
95%CI for diff. 2-17%, p=0.002), dan
pada kenaikan jumlah CD4 (190
sel/mm3 vs. 158 sel/mm3; 95%CI for
diff. 9 - 55; p=0.002).
Efek samping yang mengharuskan
penghentian terapi lebih banyak

dijumpai di kelompok 2 (9% vs. 4%,


p=0.02)
Kombinasi tenovofir DF + emtricitabine + efavirenz lebih unggul
dibandingkan dengan kombinasi zidovudine + lamivudine + evafirenz.
N.Engl.J.Med 2006;354:251-60
brw

PENYAKIT SETELAH PERJALANAN WISATA


Perjalanan wisata, terutama ke
negara-negara berkembang berisiko
terkena penyakit-penyakit tertentu.
Data dari 17353 pelancong (travellers)
yang sakit sepulangnya dari perjalanan
menunjukkan bahwa gejala demam
sistemik tanpa penyebab jelas lebih
sering dijumpai di kalangan yang
pulang dari Afrika Subsahara dan Asia
Tenggara, diare akut di kalangan yang
pulang dari Asia Selatan - Tengah,
masalah kulit di kalangan yang pulang
dari Karibia atau Amerika Tengah
/Selatan.
Malaria merupakan penyebab
demam tersering, kecuali pada yang
pulang dari daerah Karibia atau
Amerika Tengah/Selatan di daerah
tersebut penyebab terseringnya dengue.
Mereka yang pulang dari Afrika
Subsahara terutama mengidap infeksi
riketsia, tick-borne spotted fever.
Pelancong dari semua daerah,
kecuali Asia Tenggara menderita diare
akibat parasit lebih sering daripada
diare bakterial.
N.Engl.J.Med.2006;354:119-30
brw

BENAZEPRIL
DAN
FUNGSI
GINJAL
Setelah masa run-in selama 8
minggu, 104 pasien dengan kadar
kreatinin serum 1.5 3.0 mg/dl
mendapat 20 mg. benazepril/hari (grup
1), sedangkan 224 pasien lainnya
dengan kadar kreatinin serum 3.1-5.0
mg/dl (grup 2) secara acak menerima

20 mg. benazepril/hari atau plasebo.


Mereka di follow-up sampai 3,4 tahun.
Sejumlah 22/102 (22%) pasien grup 1
menyelesaikan studi, dibandingkan
dengan 44/108 (48%) di grup 2 yang
mendapat benazepril dan 65/107 (60%)
di grup 2 yang mendapat plasebo.
Dibandingkan plasebo, benazepril
dikaitkan dengan reduksi 43% risiko
naiknya kadar kreatinin serum dua kali
lipat, penyakit ginjal tahap akhir atau
kematian di grup 2.
Terapi benazepril juga dikaitkan
dengan 55% reduksi proteinuri dan
23% reduksi penurunan fungsi ginjal.
Efek samping di semua kelompok tidak
berbeda bermakna.
N.Engl.J.Med. 2006;354:131-40
brw

TERAPI KARSINOMA OVARIUM


Sejumlah 429 pasien karsinoma
ovarium stage III atau karsinoma
peritoneal
primer
yang
massa
residualnya 1 cm. mendapat 135
paclitaxel/m2 permukaan tubuh selama
24 jam diikuti dengan cisplatin iv. 75
mg/m2 pada hari ke dua (grup iv) atau
100 mg. cisplatin intraperitoneal + 60
mg paclitaxel/m2 intraperitoneal pada
hari ke 8 (grup ip). Terapi diberikan 6
kali dengan selang waktu 3 minggu.
Di akhir terapi 415 pasien dapat
dievaluasi. Nyeri tk.3 dan 4, rasa lelah
dan efek toksik metabolik, gastrointestinal, hematologik, neurologik
lebih banyak dijumpai di kelompok ip.
(p 0.001). Hanya 42% di kalangan ip
yang menyelesaikan terapi.
Rata-rata (median) progressionfree survival di kalangan iv 49.7 bulan
dan di kalangan ip 65.6 bulan (p=0.03
logrank test)
Mutu kehidupan lebih jelek di
kalangan ip sebelum siklus 4 dan 3-6
minggu setelah terapi, tetapi tidak lagi
setelah 1 tahun.
N.Engl.J.Med 2006; 354:34-43
brw

Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006 63

Ruang
Penyegar dan Penambah
Ilmu Kedokteran
Dapatkah saudara menjawab
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?
1.

Yang tidak dapat mendiagnosis infeksi TORCH:


a) Kultur darah ibu
b) Pemeriksaan cairan amnion
c) PCR
d) Biopsi plasenta
e) Pemeriksaan serologi darah ibu

2. Cara yang paling lazim digunakan untuk diagnosis infeksi


TORCH:
a) Kultur darah ibu
b) Pemeriksaan cairan amnion
c) PCR
d) Biopsi plasenta
e) Pemeriksaan serologi darah ibu
3.

IgM positif menunjukkan :


a) Infeksi aktif
b) Infeksi subklinis
c) Infeksi kronis
d) Kekebalan terhadap infeksi
e) Pernah terinfeksi

4.

IgG positif menunjukkan :


a) Infeksi aktif
b) Infeksi subklinis
c) Infeksi kronis
d) Kekebalan terhadap infeksi
e) Pernah terinfeksi

5.

Infeksi rubella pada ibu paling berbahaya jika terjadi pada


kehamilan :
a) Trimester pertama
b) Trimester ke dua
c) Trimester ke tiga
d) Saat persalinan
e) Semua sama tingkat bahayanya

6.

German measles disebabkan oleh infeksi virus:


a) Variola
b) Varicella
c) Rubella
d) Herpes simpleks
e) Sitomegalovirus

7.

Kalsifikasi intrakranial merupakan tanda infeksi :


a) Herpes simpleks
b) AIDS
c) Rubella
d) Toksoplasmosis
e) Sitomegalovirus

8.

Komplikasi utama ketuban pecah dini :


a) Sepsis
b) Infeksi neonatus
c) Partus lama
d) Partus prematur
e) Abortus

9.

Pada penelitian Raka Budiyasa, kuman utama pada apusan


vagina kasus KPD :
a) Pseudomonas
b) E. coli
c) Streptokokus
d) Stafilokokus
e) Klebsiella

10. Risiko infeksi neonatus meningkat bermakna jika ketuban


pecah lebih dari :
a) 8 jam
b) 10 jam
c) 12 jam
d) 18 jam
e) 24 jam

JAWABAN RPPIK :
1.A

64 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006

2.E

3.A

4.C

5.A

6.C

7.E

8.B

9.B

10.D

Anda mungkin juga menyukai