Cermin Dunia Kedokteran
Cermin Dunia Kedokteran
http://www.kalbefarma.com/cdk
ISSN : 0125-913X
151. Infeksi
pada Kehamilan
2006
http://www.kalbefarma.com/cdk
International Standard Serial Number: 0125 913X
151. Infeksi
pada Kehamilan
Daftar isi :
2.
4.
2006
Editorial
English Summary
http:// www.kalbefarma.com/cdk
ISSN : 0125 913X
Artikel
5.
8.
11.
14.
18.
151. Infeksi
pada Kehamilan
21.
24.
29.
Produk Baru
Kegiatan Ilmiah
Kapsul
Abstrak
RPPIK
EDITORIAL
Sampai saat ini kesakitan dan kematian ibu dan anak masih menjadi
masalah kesehatan utama di Indonesia; hal ini tentu terkait tidak hanya dengan
masalah kesehatan saja, tetapi juga dengan masalah - masalah sosial lainnya.
Cermin Dunia Kedokteran edisi ini menerbitkan artikel-artikel yang
berhubungan dengan masalah atau komplikasi yang dapat ditemukan pada
masa kehamilan, terutama masalah infeksi yang secara teoritis seharusnya
dapat dicegah. Selain itu beberapa artikel membahas masalah ginekologi yang
juga bisa mempengaruhi kesehatan perempuan.
Beberapa artikel lain ikut melengkapi edisi ini, di antaranya artikel baru
mengenai flu burung yang kami sertakan di sini agar Sejawat dapat tetap
menerima informasi yang aktual,
Selamat membaca
Redaksi
2006
REDAKSI KEHORMATAN
PEMIMPIN UMUM
Dr. Erik Tapan
KETUA PENYUNTING
Dr. Budi Riyanto W.
PELAKSANA
E. Nurtirtayasa
TATA USAHA
Dodi Sumarna
INFORMASI/DATABASE
Ronald T. Gultom
ALAMAT REDAKSI
Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval
Jl. Letjen. Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta
10510, P.O. Box 3117 JKT. Tlp. 021 - 4208171
E-mail : cdk@kalbe.co.id
http: //www.kalbefarma.com/cdk
NOMOR IJIN
DEWAN REDAKSI
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976
Tanggal 3 Juli 1976
PENERBIT
Grup PT. Kalbe Farma Tbk.
Soebianto
PENCETAK
PT. Temprint
http://www.kalbefarma.com/cdk
PETUNJUK UNTUK PENULIS
pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah
dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam
naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/
atau Uniform Requirement for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals
(Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9).
Contoh :
1. Basmajian JV, Kirby RL.Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore, London:
William and Wilkins, 1984; Hal 174-9.
2. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanism of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974;457-72.
3. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin
Dunia Kedokt. 1990; 64: 7-10.
Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih,
sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.
Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung
Enseval, Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O.
Box 3117 JKT. Tlp. (021) 4208171. E-mail : cdk@kalbe.co.id
Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu
secara tertulis.
Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai
dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.
English Summary
positve in 73% and IgM antibody
in 1%. For Cytomegalovirus
infection, IgG antibody was
positive in 95% but no positive IgM
antibody. For HSV II infection,
positive IgG antibody in 56% and
IgM antibody in 21%. Congenital
anomaly was found in 2% of
samples; 15% had abortions and
8% with foetal death in utero.
None of the mothers belonged to
low socio-economic group; 74%
had some contact with cats,
directly or indirectly,in their house.
Only 22% used to consume raw
vegetables and very few (1%)
consumed raw or undercooked
meat. No significant correlation
found between the incidence and
socio-behavioral factor.
HELLP SYNDROME
John Rambulangi
Dept. of Obstetrics and Gynecology,
Faculty
of
Medicine
Hasanuddin University, Makassar,
Indonesia.
HELLP syndrome is a disease
characterized by hemolysis, elevated liver enzymes and low platelets found in pregnancy.
The pathology involved was
microvascular endothelial damage and intravascular thrombolytic
activation causing thrombocyte
aggregation. Clinically there are
two types of classifications, one is
according to clinical symptoms
and the other is according to
platelet count.
The management consist of
anticonvulsant use, blood pressure
lowering and evaluation of fetal
wellbeing in ICU setting; termination of pregnancy can also be
considered.
Cermin Dunia Kedokt.2006;151:24-8
brw
Artikel
HASIL PENELITIAN
ABSTRAK
Telah dilakukan pemeriksaan serologis TORCH dengan metode Enzyme Immuno Assay pada
ibu hamil dengan usia kehamilan di bawah 20 minggu, yang datang untuk perawatan antenatal di
Poliklinik Kebidanan RSUP Sanglah Denpasar. Dari 100 sampel yang diambil secara acak pada
bulan Maret s/d Juli 1997 umur ibu termuda 18 tahun dan tertua 40 tahun dengan rata rata 27.07
tahun. Ibu yang hamil pertama 32 orang (32%), kehamilan kedua 47 orang (47%), kehamilan ke
tiga 18 orang (18%) dan sisanya kehamilan ke empat 3 orang (3%). Seluruhnya (100%) pernah
mengalami infeksi salah satu unsur TORCH dan seluruhnya (100%) tanpa gejala. Untuk
toxoplasma IgG positif 21% dan IgM positif 5%. Untuk rubella IgG positif 73% dan IgM positif
1%.Untuk cytomegalovirus IgG positif 95% dan tak ada IgM positif. Untuk HSV II IgG positif
56% dan IgM positif 21%.
Didapatkan 2% ibu pernah melahirkan anak cacat, 15% pernah mengalami abortus dan 8%
pernah mengalami anak mati dalam kandungan. Seluruh ibu hamil tidak termasuk kategori
kelompok ekonomi lemah dan 75% mengaku berhubungan langsung atau tidak langsung dengan
kucing, 22% mengaku suka makan sayur mentah dan sangat sedikit (1%) yang suka makan daging
mentah atau setengah matang. Data ini menunjukkan perlunya perhatian lebih serius pada infeksi
TORCH tanpa gejala pada ibu hamil. Pada penelitian ini belum dapat ditarik kesimpulan tentang
hubungan TORCH dengan faktor perilaku sosial.
Kata kunci : kehamilan; infeksi TORCH
PENDAHULUAN
Ibu hamil dengan janin yang dikandungnya sangat peka
terhadap infeksi dan penyakit menular. Beberapa di antaranya
meskipun tidak mengancam nyawa ibu, tetapi dapat
menimbulkan dampak pada janin dengan akibat antara lain
abortus, pertumbuhan janin terhambat, bayi mati dalam
kandungan, serta cacat bawaan. Infeksi TORCH (Toxoplasma,
Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes Simplex) sudah lama
dikenal dan sering dikaitkan dengan hal-hal di atas.(1,2)
Besarnya pengaruh infeksi tersebut tergantung dari virulensi
IgG (%)
IgM (%)
21
73
95
56
5
1
0
21
Toxoplasma
Rubella
CMV
HSV II
15-19
20-24
25-29
30-34
35-39
40-44
Total
4
25
39
23
8
1
100
Rubella
CMV
HSV II
IgG
IgM
IgG
IgM
IgG
IgM
IgG
IgM
1
7
10
3
0
0
21
1
1
3
0
0
0
5
4
17
32
14
5
1
73
0
1
0
0
0
0
1
4
24
36
23
7
1
95
0
0
0
0
0
0
0
2
13
21
14
5
1
56
1
8
8
4
0
0
21
Rubella
CMV
HSV II
Paritas
n
IgG
IgM
IgG
IgM
IgG
IgM
IgG
Primigravida
32
23
31
14
Eks abortus
15
13
14
12
IgM
Eks cacat
IUFD
Normal
63
44
59
38
17
Primigravida
32
23
31
14
KEPUSTAKAAN
1. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap III LC, Hauth JC,
Wenstrom KD (eds). Williams Obstetrics. Ch. 56: Infections.: 1461-80.
2. Chandra G. Toxoplasma gondii: Aspek Biologi, Epidemiologi, Diagnosis
dan Penatalaksanaannya. Medika 2001; XXVII(5 ): 297-304.
3. Chiodo-F, Venucchi-G, Mori-F, Attard-L, Ricchi-E. Infective diseases
during pregnancy and their teratogenic effects. Ann-Ist-Super-Sanita.
1993;29(1):57-67
4. Isada NB, Paar DP, Gossman JH, Staus SE. Torch infections diagnosis in
the molecular age. J.Reprod.Med. 1992;37(6):499-507.
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
PENDAHULUAN
Ibu hamil termasuk dalam kelompok rentan kesehatan
selain bayi, balita, ibu bersalin, dan ibu menyusui sehingga
pemerintah mengupayakan pelayanan kesehatan yang mudah
dijangkau oleh mereka. Pelayanan antenatal (prapersalinan)
terhadap ibu hamil meliputi pengukuran tekanan darah,
penimbangan berat badan, pengukuran tinggi badan, pemberian
imunisasi Toxoid tetanus (TT), pemberian tablet besi (Fe), dan
pengukuran fundus uteri.
Pelayanan ini diharapkan minimal diterima ibu hamil
sebanyak 4 kali yaitu sekali pada triwulan pertama dan ke dua
serta dua kali pada triwulan ke tiga. Upaya ini belum
sepenuhnya berhasil; secara nasional pelayanan kunjungan baru
ibu hamil mencakup 92,72% dan kunjungan ibu hamil minimal
4 kali 75.66%. Imunisasi TT sebanyak 2 kali selama kehamilan
(TT1 dan TT2) tetapi cakupan TT1 baru 85,1% sedangkan TT2
lebih rendah lagi yaitu 78,1%. Pemberian tablet besi kepada ibu
hamil ada 2 paket yaitu paket Fe1-30 tablet (1 bungkus) dan
paket Fe3-90 tablet (3 bungkus), dan cakupannya untuk Fe1
sebesar 77,07% sedangkan Fe3 sebesar 63,45%. Selain itu ibu
hamil juga rentan terhadap serangan infeksi baik infeksi intra
uterin maupun perinatal.
PENYAKIT TORCH
Penyakit TORCH ialah penyakit-penyakit intrauterin atau
yang didapat pada masa perinatal; merupakan singkatan dari T
= Toksoplasmosis O = other yaitu penyakit lain misalnya
sifilis, HIV-1dan 2, dan Sindrom Imunodefisiensi Didapat (
Acquired Immune Deficiency Syndrome/AIDS),dan sebagainya;
R = Rubela (campak Jerman); C = Cytomegalovirus; H =
Herpes simpleks. Berikut ini akan dibahas penyakit-penyakit
tersebut.
Toksoplasmosis
Penyakit ini merupakan penyakit protozoa sistemik yang
disebabkan oleh Toxoplasma gondii dan biasa menyerang
binatang menyusui, burung, dan manusia. Pola transmisinya ia-
Umur
< 1 th
1-4 th
5-14 th
15-44 th
> 45 th
Jumlah
RJ
5
13
22
393
52
485
Tahun 2000
RI
PS
9
18
3
454
11
2396
62
7897
186
3335
271
14100
RJ
4
7
16
62
18
107
Tahun 2001
RI
PS
23
3
4
15
8
5922
27
1004
11
4332
73
11276
Tahun 2002
RJ
RI
PS
62
2
24
159
1
27
341
1
101
961
0
896
470
0
538
1993
4
1586
Keterangan:
Data dasar diambil dari Buku Data Tahun 2000-2002, Ditjen PPM&PL, Depkes RI,
tahun 2003.
RJ= penderita rawat jalan, RI= penderita rawat inap, PS= penderita di puskesmas
KESIMPULAN
Banyak penyakit infeksi intrauterin maupun yang didapat
pada masa perinatal yang berakibat sangat berat pada janin
maupun bayi, bahkan mengakibatkan kematian sehingga
diperlukan tindakan pencegahan baik yang dapat dilakukan
oleh wanita hamil, suami, keluarganya maupun dari pemerintah
sehingga diharapkan didapat generasi penerus yang bermutu
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
HASIL PENELITIAN
ABSTRAK
Tujuan: Mengetahui perbedaan lama perawatan dan komplikasi antara kuretesi segera
dengan kuretasi tunda pada abortus infeksiosus.
Bahan dan Cara: Penelitian single blind randomized clinical trial dilakukan di Bagian
Obstetri dan Ginekologi RS Sanglah Denpasar selama tahun 2002. Sampel adalah pasien abortus
infeksiosus klinik yang. diberi antibiotika dan bersedia menjadi subjek penelitian, dipilih secara
consecutive. Sampel dibagi menjadi 2 kelompok yaitu menjalani kuretasi segera atau 24 jam/bebas
panas setelah pemberian antibiotika standar penanganan di RS Sanglah Denpasar. Besar sampel
dihitung dengan rumus Pocock dan data penelitian diolah dengan SPSS-10 for Windows.
Dilakukan test homogenitas dengan Levent T test pada variabel besar uterus, suhu rektal, nadi, dan
kadar hemoglobin. Uji perbedaan waktu kuretasi memakai uji T dilanjutkan dengan KolmogorovSmirnov Z, dan komplikasi dengan test Chi square.
Hasil: Sejumlah 64 consecutive samples dibagi dua yaitu 32 pasien kelompok perlakuan
dengan kuretasi segera dan 32 pasien kelompok kontrol dengan kuretasi tunda. Variabel besar
uterus, suhu rektal, nadi, dan kadar hemoglobin adalah homogen (p > 0,05). Diperoleh rerata lama
perawatan pada kuretasi segera dan tunda masing-masing adalah 59,97 jam/2,89 hari dan 72,29
jam/3,43 hari. Kejadian komplikasi perdarahan dan perforasi uterus pada kedua kelompok berbeda
tidak bermakna (X2= 3,65; p > 0,05) pada penanganan abortus infeksiosus.
Simpulan dan Saran: Pada kasus abortus infeksiosus, lama perawatan pada kuretasi segera
lebih pendek dibandingkan dengan lama perawatan kuretasi tunda (p < 0,05) dan komplikasinya
tidak berbeda di antara kedua kelompok. Pada kasus abortus infeksiosus dapat dilakukan kuretasi
segera setelah pemberian antibiotika.
Kata kunci; kuretasi segera, kuretasi tunda, abortus infeksiosus.
PENDAHULUAN
Abortus infeksiosus adalah abortus yang disertai infeksi
organ ginekologi; merupakan salah satu penyebab kematian
ibu. Di Indonesia, abortus infeksiosus biasanya berawal
terutama dari aborsi pada kehamilan tidak dinginkan;
persentasenya satu di antara sepuluh abortus dengan risiko
kematian 57-59/100.000 kelahiran hidup; sebagian besar aborsi
dilakukan oleh tenaga tidak terlatih. Jadi, kontribusi unsafe
abortion terhadap kematian ibu adalah 10-20%. Kejadian
n= 22 x f ()/(1-2)2
Keterangan:
n = jumlah sampel.
1= rerata kelompok perlakuan.
2= rerata kelompok kontrol.
=perbedaan rerata antara 12.
f() dapat dilihat pada tabel.
keadaan umum baik, demam dan nyeri perut berkuranghilang, jumlah lekosit, laju endap darah, dan trombosit
darah tepi dalam batas normal.
5. Besar uterus adalah tinggi fundus uteri saat pasien tiba di
RS Sanglah, setelah kandung kencing dikosongkan.
6. Perdarahan adalah perdarahan lebih dari 500 ml selama 30
menit berturut-turut selama kuretasi atau perdarahan
merembes aktif.
7. Perforasi adalah terjadinya perlukaan menembus seluruh
lapisan dinding uterus oleh sendok kuret.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sejumlah 64 pasien abortus infeksiosus sebagai sampel
yang dipilih secara consecutive, dibagi menjadi dua kelompok
yaitu 32 sebagai kelompok kasus kuretasi segera dan 32
sebagai kelompok kontrol kuretasi tunda sesuai protap Bagian
Obstetri dan Ginekologi RS Sanglah Denpasar.
Dilakukan uji homogenitas variabel besar uterus, suhu
rektal, nadi, dan kadar hemoglobin. Didapatkan bahwa ke
empat faktor tersebut berbeda tidak bermakna antara ke dua
kelompok (p > 0,05) (Tabel 1).
Tabel 1. Hasil uji Levent T test untuk besar uterus, suhu rektal, nadi, dan
kadar hemoglobin kedua kelompok.
Besar uterus
/kehamilan (minggu)
Suhu rektal (0C)
Nadi (kali/menit)
Hemoglobin (g/dL)
Kuretasi segera
Rerata
SD
11,46
3,66
38,71
103,71
10,65
0,62
8,50
1,22
Kuretasi tunda
Rerata
SD
9,86
2,76
38,47
99,46
10,74
0,44
8,00
1,26
p
0,486
0,197
0,115
0,759
Kuretasi tunda
(n=32)
Rerata
SD
59,97
3,83
72,29
11,52
0,000
2,89
0,40
3,43
0,50
0,007
Hasil uji T menunjukkan p=0,00 (df 68, 95%CI=8,2216,41) dan dengan Kolmogorov-Smirnov Z test diperoleh
1,673 (p=0,007). Jadi, lama perawatan baik dalam jam maupun
hari berbeda bermakna (p < 0,05). Berarti pada abortus
infeksiosus lama perawatan pada kuretasi segera lebih pendek
daripada pada kuretasi tunda. Rerata perbedaannya adalah
12,36 jam. Pada penelitian Agus dan Mayun (1999), lama
perawatan abortus infeksiosus yang menjalani kuretasi segera
karena perdarahan aktif rata-rata 2,8 hari, sedangkan lama
perawatan abortus infeksiosus yang dikuret 6 jam setelah bebas
demam adalah 3,3 hari; dan yang ditunda 12 jam bebas demam
adalah 3,6 hari.(3) Adhi dan Hartono juga mendapatkan pada
tindakan kuretasi 6 jam pertama lama demam dan lama
perawatan lebih pendek.(1)
Demam dapat diakibatkan oleh endotoksin yang
dihasilkan oleh kuman Gram negatif, reaksi jaringan, reaksi
inflamasi/ekspresi IL-1 dan IL-6, trauma sel/jaringan. Sel yang
rusak ini mengeluarkan lisosom dan histamin; lisosom dapat
mengakibatkan kerusakan jaringan lebih hebat dan aktivasi
sekresi bradikinin. Bradikinin dan histamin dapat mengakibatkan vasodilatasi masif dan meningkatkan permeabilitas
kapiler dengan manifestasi klinis berupa demam.(5,9)
Tindakan kuretasi segera juga bermanfaat karena dapat
mencegah perdarahan lebih banyak dan menghilangkan
jaringan nekrotik yang dapat sebagai media biakan
mikroorganisme. Dengan demikian, demam akan segera turun,
perdarahan dapat dikendalikan.(6,10,11) Perforasi sebagai
komplikasi kuretasi pada abortus infeksiosus lebih sering
terjadi dibandingkan dengan pada yang bukan abortus
infeksiosus. Hal ini disebabkan oleh proses infeksi dan
inflamasi yang mengakibatkan kontraksi uterus lemah, dinding
uterus tipis, perdarahan lebih banyak. Akan tetapi dengan
prinsip kehati-hatian dan dengan memberikan uterotonika
selama prosedur kuretasi berlangsung maka komplikasi
perforasi dan perdarahan dapat dieliminasi.(5,6)
Pada penelitian ini tidak ditemukan komplikasi perforasi.
Walaupun didapatkan komplikasi perdarahan lebih masif/aktif
selama kuretasi pada abortus infeksiosus, tetapi tidak berbeda
bermakna antara kuretasi segera dengan kuretasi tunda (X2=
0,94 p >0,05).
Beberapa penelitian melaporkan komplikasi perforasi
uterus pada saat kuretasi sekitar 5-7%(5,9) terlebih lagi jika
miometriumnya relatif rapuh dan lunak risiko perforasi 2 kali
lebih besar dibandingkan dengan kuretasi pada bukan abortus
infeksiosus.(3,9) Hal ini dapat dicegah dan dikurangi dengan
pemberian uterotonika pre dan durante kuretasi.
KESIMPULAN
Pada penelitian randomized clinical trial single blind atas
64 abortus infeksiosus yang dibagi dua yaitu 32 kelompok
kasus dan 32 kelompok kontrol, didapatkan:
1. Rerata lama perawatan pada kuretasi segera dan tunda
masing-masing adalah 59,97 jam/2,89 hari dan 72,29
jam/3,43 hari. Uji T menunjukkan perbedaan bermakna (p
< 0,05). Jadi lama perawatan kasus abortus infeksiosus
pada kuretasi segera lebih pendek dibandingkan dengan
lama perawatan pada kuretasi tunda.
2. Tidak terdapat perbedaan bermakna dalam hal komplikasi
perdarahan antara kedua kelompok (X2= 0,94 p > 0,05).
3. Tidak terdapat perforasi uterus pada kedua kelompok.
KEPUSTAKAAN
1.
HASIL PENELITIAN
ABSTRAK
Tujuan : Mengetahui peranan faktor risiko pada ibu dengan KPD tehadap insidens sepsis
neonatorum.
Subjek dan cara kerja : Penelitian kohort prospektif dengan pembanding interna. Sebanyak
123 subjek secara consecutive ikut serta dalam penelitian dan 113 kasus dianalisis. Setiap bayi
akan diamati dalam empat hari pertama untuk timbulnya gejala sepsis neonatorum dini. Pada bayi
dengan gejala sepsis dilakukan pemeriksaan kultur darah untuk diagnosis pasti sepsis neonatorum.
Peranan faktor risiko terjadinya sepsis neonatorum (khorioamnionitis klinis, febris, adanya koloni
kuman Streptokokus Grup Beta dari apusan vagina bawah, lama ketuban pecah sampai persalinan
dan jumlah pemeriksaan vagina) akan dihitung dengan uji kai kuadrat dan semua faktor risiko
yang bermakna (p<0,05) akan dimasukkan dalam analisis multivariat untuk menentukan faktor
risiko utama terjadinya sepsis neonatorum.
Hasil : Dari seluruh kasus insidens sepsis neonatorum dini klinis adalah 4,4% dan insidens
sepsis neonatorum dini pasti (definite early onset neonatal sepsis) adalah 2,65%. Faktor risiko
yang bermakna terhadap insidens sepsis neonatorum adalah : febris : RR 28,28 (IK 95% 3,40235,52), p=0,001, khorioamnionitis klinis : RR 46,22 (IK 95% 5,75-371,02), p=0,001, koloni
kuman Streptokokus Grup Beta : RR 13,38 (IK 95% 1,56-114,56), p=0,002, lama ketuban pecah >
18 jam : RR 9,29 (IK 95% 1,08-80,12), p=0,013, lama ketuban pecah > 24 jam: RR 6,18 (IK 95%
1,15-33,09), p=0,02 dan jumlah pemeriksaan vagina > 8 kali : RR 9,16 (IK 95% 1,42-59,3),
p=0,014. Dari analisis multivariat didapatkan faktor risiko yang paling berperan terhadap sepsis
neonatorum dini adalah khorioamnionitis klinis, febris dan adanya koloni kuman Streptokokus
Grup Beta.
Kesimpulan : Insidens sepsis neonatorum dini secara klinis adalah 4,4% dan insidens sepsis
neonatorum dini pasti (definite early onset neonatal sepsis) adalah 2,65%. Pada kasus KPD aterm:
khorioamnionitis klinis, febris dan koloni kuman Streptokokus Grup Beta merupakan faktor risiko
utama terjadinya sepsis neonatorum.
Kata kunci : ketuban pecah dini, sepsis neonatorum, khorioamnionitis klinis, Streptokokus Grup
Beta
PENDAHULUAN
Angka kematian perinatal di Indonesia masih tinggi dengan
penyebab utama prematuritas, asfiksi dan infeksi. Peranan
infeksi neonatus masih cukup besar dalam kematian perinatal.
14 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006
No
1.
2.
Variabel
Luaran bayi
tidak
sepsis
(n=108)
n
n
sepsis
(n=5)
7
41
38
20
7
6,2
36,3
33,6
17,6
6,2
1
1
1
2
0
74
39
65,5
34,5
2
3
x2
6
40
37
18
7
0,564
0,754
72
36
1,504
0,223
Jenis Kuman
Eschericia coli
Enterobacter
Staphylococcus
Streptococcus Grup Beta
Klebsiella
Streptococcus Grup Alfa
Pseudomonas
Proteus
Bacteriodes
Candida
Micrococcus
Steril
37
28
27
26
10
9
7
7
5
2
1
1
32,7
24,8
23,9
23,0
8,8
7,9
6,2
6,2
4,4
1,8
0,9
0,9
KEPUSTAKAAN
1. Monintja HE. Beberapa masalah perawatan intensif neonatus. FKUI,
Jakarta 1995.: 217-29
2. Gjoni M. Preterm premature rupture of the membranes. Matweb Network
1998:1-6
3. Seaward P, Hannah M, Myhr T, Farine D, Ohlsson A, Wang E.
International multicenter term PROM study. Evaluation of predictors of
neonatal infection in infant born to patients with premature rupture of
membranes. Am J Obstet Gynecol. 1998;179: 635-9
4. Benitz W, Gould JB, Druzin ML. Risk factors for early onset group B
streptococcal sepsis : Estimation of odds ratio by critical literature review.
Pediatrics 1999a;103 : 72-7
5. Bernstein PS. Reduction of early-onset, neonatal group B streptococcal
sepsis. The American College of Obstetricians and Gynecologists 48th
Annual Meeting 2000: 1-5
6. Benitz W, Gould JB, Druzin ML. Antimicrobial prevention of early onset
group B Streptococcal sepsis : Estimation of odds ratios by critical
literature review. Pediatrics 1999b;103 : 78-99
7. Towers CV, Rumney P, Minkiewicz S, Asrat T, Incidence of intrapartum
marternal-perinatal risk factors for identifying neonatus at risk for early
onset neonatal sepsis : A prospective study. Am J Obstet Gynecol. 1999;
181 : 1197-202
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
PENDAHULUAN
Persalinan kurang bulan (PKB persalinan prematur)
kejadiannya masih tinggi, baik di negara maju maupun di
negara yang sedang berkembang; dan bayi kurang bulan
(prematur) merupakan penyumbang tertinggi terhadap angka
kematian bayi baru lahir.
Pencegahan persalinan kurang bulan umumnya sulit dan
tidak efektif, antara lain karena etiologinya multifaktor, seperti
status sosioekonomi, nutrisi, konstitusi, imunologi dan
mikrobiologi di samping penyebab yang terkait dengan
komplikasi obstetri (perdarahan antepartum, hipertensi pada
kehamilan atau komplikasi medis lainnya).(1)
Banyak penelitian yang mengaitkan kejadian PKB dengan
infeksi, terutama akibat korioamnionitis pada kejadian ketuban
pecah dini (KPD). KPD meningkatkan risiko bayi terinfeksi,
sehingga memperberat masalah akibat kurang bulannya
(ketidak matangan paru, hipotermi, sindrom gawat nafas dan
lain-lain). KPD atau korioamnionitis tanpa KPD sering
dihubungkan dengan infeksi urogenital. Pada kehamilan
normal cairan amnion steril; adanya mikroorganisme
intraamnion berhubungan dengan kejadian PKB.(4)
Tabel 1. Microorganisms isolated from the amniotic cavities of women
with preterm labor.(3)
Genital mycoplasms
Ureaplasma urealyticum
Mycoplasma hominis
Aerobes
Group B streptococci
Enterococci
Streptococcus viridans
Gardnerella vaginalis
Hemophilus influenza
Pseudomonas species
Lactobacilli
Coliforms
Corynebacterium
Moraxella
Staphylococci
Acinetobacter wolffi
Bacillus cereus
Capnocytophaga species
Diphtheroids
Enterobacter cloacae
Anaerobes
Fusobacterium species
Veillonella parvula
Peptostreptococcus species
Propionobacterium species
Peptococcus species
Bacteroides species
Neisseria species
Yeasts
Candida species
Asymptomatic
bacteriuria
Neisseria
gonorrhoeae
Bacterial
vaginosis
Chlamydia
trachomatis
Trichomonas
vaginalis
2.
Jenis antibiotika
Pasangan seksual
3.
Pengobatan rutin
pasangan seksual
tidak dianjurkan
4.
5.
6.
Rujuk
pasangan
seksual untuk diagnosis dan terapi
7.
8.
Pengobatan rutin
pasangan seksual
tidak dianjurkan
9.
10.
11.
Rujuk
pasangan
seksual untuk diagnosis dan terapi
Pasangan seksual
harus diobati
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
KEPUSTAKAAN
1.
26.
HASIL PENELITIAN
Sulbaktam / Ampisilin
sebagai Antibiotika Profilaksis
pada Seksio Sesarea Elektif
di RSIA Rosiva Medan
R. Haryono Roeshadi
Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Medan, Indonesia
ABSTRAK
Penelitian dilakukan di RSIA Rosiva Medan melibatkan 60 orang ibu hamil yang akan
menjalani seksio sesarea elektif untuk membandingkan manfaat Sulbaktam / Ampisilin sebagai
antibiotika profilaksis (dosis tunggal) dan terapeutik (multidosis).
Penelitian dilakukan dengan rancangan klinik acak (Randomized Clinical Trial): penderita
dibagi 2 kelompok masing-masing 30 kasus mendapat antibiotika dosis tunggal dan 30 kasus
lainnya mendapat antibiotika multidosis. Tidak terdapat perbedaan pada kedua kelompok
penelitian, semua kasus sembuh sempurna, tidak terdapat tanda infeksi.
Pada seksio sesarea yang bersih dan didukung fasilitas yang baik dan aseptis, disarankan
cukup menggunakan antibiotika profilaksis dosis tunggal.
PENDAHULUAN
Meskipun diktum Once a caesarean always a caesarean di
Indonesia tidak dianut, tetapi sejak dua dekade terakhir ini telah
terjadi perubahan kecenderungan sectio caesarea (SC) di
Indonesia. Angka kejadian SC sejak tahun 1980 meningkat; di
RS Cipto Mangunkusumo Jakarta SC pada tahun 1981 sebesar
15,35% meningkat menjadi 23,23% pada tahun 1986.
Peningkatan ini juga terjadi di seluruh dunia. Di Amerika
Serikat angka kejadian SC meningkat dari 5,5% pada tahun
1970 menjadi 15% pada tahun 1978 dan 24-30% saat ini.
Peningkatan ini diduga disebabkan karena teknik dan
fasilitas operasi bertambah baik, operasi berlangsung lebih
asepsis, teknik anestesi bertambah baik, kenyamanan pasca
operasi dan lama rawat yang bertambah pendek. Di samping itu
morbiditas dan mortalitas maternal dan perinatal dapat
diturunkan secara bermakna. Peningkatan angka kejadian SC
ini juga dipengaruhi oleh perubahan penanganan persalinan
terutama dengan kehadiran partograf, penanganan persalinan
aktif dan penanganan persalinan kehamilan risiko tinggi.
Indikasi
SC Ulangan
SC Pertama :
Letak Lintang
Letak Sungsang
F.P.D
Anak Berharga
Gemelli
Plasenta Previa
Jumlah
Dosis
tunggal
11
19
Multi
dosis
Jumlah
11
19
22
38
1
6
6
3
1
2
30
2
7
5
4
0
1
30
3
13
11
7
1
3
60
%
36,7
63.3
5,0
21,7
18,3
11,6
1,7
5,0
100,0
SARAN
Pada seksio sesarea yang bersih dan didukung fasilitas dan
bahan-bahan kamar bedah yang aseptis, disarankan cukup
menggunakan antibiotika profilaksis dosis tunggal.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
KESIMPULAN
1. Keberhasilan
penggunaan
antibiotika
profilaksis
Sulbaktam / Ampisilin dipengaruhi oleh keadaan umum,
gizi, infeksi nosokomial, lama operasi, fasilitas dan bahanbahan aseptis di kamar bedah.
2. Dengan penggunaan antibiotika profilaksis, kebutuhan
antibiotika dapat dikurangi sampai 75 %.
5.
6.
7.
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Sindrom HELLP
John Rambulangi
Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia
ABSTRAK
Sindrom HELLP merupakan kumpulan tanda dan gejala : H untuk Hemolysis, EL untuk
Elevated Liver Enzymes, dan LP untuk Low Platelets. Patogenesis sindrom HELLP belum jelas.
Sampai sekarang tidak ditemukan faktor pencetusnya; kelihatannya merupakan akhir dari kelainan
yang menyebabkan kerusakan endotel mikrovaskuler dan aktivasi trombosit intravaskuler,
akibatnya terjadi agregasi trombosit dari selanjutnya kerusakan endotel. Peningkatan kadar enzim
hati diperkirakan sekunder dari obstruksi aliran darah hati oleh deposit fibrin pada sinusoid.
Trombositopeni dikaitkan dengan peningkatan pemakaian dan atau destruksi trombosit.
Kriteria diagnosis sindrom HELLP terdiri : Hemolisis, kelainan apus darah tepi, total bilirubin
> 1,2 mg/dl, laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L. Peningkatan fungsi hati, serum aspartat
aminotransferase (AST) > 70 U/L, laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L. Jumlah trombosit <
100.000/mm3.
Dua sistem klasifikasi digunakan pada sindrom HELLP. Klasifikasi pertama berdasarkan
jumlah kelainan yang ada. Klasifikasi kedua berdasarkan jumlah trombosit.
Pasien sindrom HELLP harus diterapi profilaksis MgSO4 untuk mencegah kejang, terapi
antihipertensi tambahan harus dimulai jika tekanan darah menetap > 160/110 mmHg.
Antihipertensi yang sering digunakan adalah hydralazine, labetalol dan nifedipin. Langkah
selanjutnya ialah mengevaluasi kesejahteraan bayi dengan menggunakan tes tanpa tekanan, atau
profil biofisik, biometri USG untuk menilai pertumbuhan janin terhambat. Terakhir, harus
diputuskan apakah perlu segera mengakhiri kehamilan. Amniosentesis dapat dilakukan pada
pasien tanpa risiko perdarahan. Pasien harus ditangani di unit perawatan intensif (ICU) dengan
pemantauan ketat terhadap semua parameter hemodinamik dan cairan untuk mencegah udem paru
dan atau kelainan respiratorik.
Angka kematian ibu dengan sindrom HELLP mencapai 1,1%. Angka kematian bayi berkisar
10-60%.
Kata kunci : Sindrom HELLP, patogenesis, diagnosis, penatalaksanaan.
PENDAHULUAN
Hemolisis, kelainan tes fungsi hati dan jumlah trombosit
yang rendah sudah sejak lama dikenal sebagai komplikasi dari
preeklampsi-eklampsi (Chesley 1978; Godlin 1982; Mc Kay
1972).(1,2,7) Godlin menamakan sindrom ini EPH Gestosis tipe
II, MacKennan dkk. menganggapnya sebagai suatu misdiagnosis preeklampsi,(2) sedangkan penulis lain menyebutkannya
sebagai bentuk awal preeklampsi berat, variasi unik dari
preeklampsi.(3) Pada 1982, Weinstein melaporkan 29 kasus
preeklampsi berat, eklampsi dengan komplikasi trombositopeni, kelainan sediaan apus darah tepi, dan kelainan tes
fungsi hati. Ia menyatakan bahwa kumpulan tanda dan gejala
Sindroma HELLP
Preeklampsi
Multipara
Usia ibu > 25 tahun
Ras kulit putih
Riwayat keluaran kehamilan yang
jelek
Nullipara
Usia ibu < 20 tahun atau > 40 tahun
Riwayat keluarga preeklampsi
Asuhan mental (ANC) yang minimal
Diabetes Melitus
Hipertensi Kronik
Kehamilan multipel
MANIFESTASI KLINIS
Pasien sindrom HELLP dapat mempunyai gejala dan
tanda yang sangat bervariasi, dari yang bernilai diagnostik
sampai
semua
gejala
dan
tanda
pada
pasien
preeklampsi-eklampsi yang tidak menderita sindrom
HELLP.(1,2,5)
Sibai (1990) menyatakan bahwa pasien biasanya muncul
dengan keluhan nyeri epigastrium atau nyeri perut kanan atas
(90%), beberapa mengeluh mual dan muntah (50%), yang lain
bergejala seperti infeksi virus. Sebagian besar pasien (90%)
mempunyai riwayat malaise selama beberapa hari sebelum
timbul tanda lain.(1,3,5,7)
Tabel 2. Perbedaan hasil laboratorium AFLP dan sindrom HELLP
Glukosa
Asam urat
Kreatinin
Trombcsit
Fibrinogen
AFLP
Rendah
Tinggi
Tinggi
Rendah atau normal
Rendah
Memanjang
HELLP
Normal
Tinggi
Tinggi
Rendah atau normal
Normal sampai
meningkat
Normal
Waktu Parsial
Thromboplastin (PTT)
Memanjang
normal
DIAGNOSIS BANDING
Pasien sindrom HELLP dapat menunjukkan tanda dan
gejala yang sangat bervariasi, yang tidak bernilai diagnostik
pada preeklampsi berat. Akibatnya sering terjadi salah
diagnosis, diikuti dengan kesalahan pemberian obat dan
pembedahan.
Diagnosis banding pasien sindrom HELLP meliputi ( 2-5,7) :
- Perlemakan hati akut dalam kehamilan
- Apendistis
- Gastroenteritis
- Kolesistitis
- Batu ginjal
- Pielonefritis
- Ulkus peptikum
- Glomerulonefritis trombositopeni idiopatik
- Trombositipeni purpura trombotik
KLASIFIKASI
Dua sistem klasifikasi digunakan pada sindrom HELLP.
Klasifikasi pertama berdasarkan jumlah kelainan yang ada.
Dalam sistem ini, pasien diklasifikasikan sebagai sindrom
HELLP parsial (mempunyai satu atau dua kelainan) atau
sindrom HELLP total (ketiga kelainan ada). Wanita dengan
ketiga kelainan lebih berisiko menderita komplikasi seperti
DIC, dibandingkan dengan wanita dengan sindrom HELLP
parsial. Konsekuensinya pasien sindrom HELLP total
seharusnya dipertimbangkan untuk bersalin dalam 48 jam,
sebaliknya yang parsial dapat diterapi konservatif.
Klasifikasi ke dua berdasarkan jumlah trombosit (Martin
dkk.) Sindrom HELLP kelas I jika jumlah trombosit <
50.000/mm3. Jumlah trombosit antara 50.000 - 100.000/mm3
dimasukkan kelas II. Kelas III jika jumlah trombosit antara
100.000 - 150.000/mm3. Klasifikasi ini telah digunakan dalam
memprediksi kecepatan pemulihan penyakit pada post partum,
keluaran maternal dan perinatal, dan perlu tidaknya
plasmaferesis. Sindrom HELLP kelas I berisiko morbiditas dan
mortalitas ibu lebih tinggi dibandingkan pasien kelas II dan
kelas III.(2,4)
PENATALAKSANAAN
Pasien sindrom HELLP harus dirujuk ke pusat pelayanan
kesehatan tersier dan pada penanganan awal harus diterapi
sama seperti pasien preeklampsi. Prioritas pertama adalah
menilai dan menstabilkan kondisi ibu, khususnya kelainan
pembekuan darah (Tabel 4).(1,2,5,7)
Tabel 4. Penatalaksanaan sindrom HELLP pada umur kehamilan < 35
minggu (stabilisasi kondisi ibu)
(Akhiri persalinan pada pasien sindrorn HELLP dengan umur
kehamilan 35 minggu).
1.
2.
3.
Umur kehamilan
32-34 minggu
Umur kehamilan
< 32 minggu
Umur kehamilan
> 34 minggu
Pemberian kortikosteroid
Kortikosteroid
Penanganan konservatif
Terminasi
Tidak
Ya
Kondisi pasien
memburuk
Terminasi
Kondisi pasien
stabil
Pantau pasien di
fasilitas
pusat
perawatan tersier
KEPUSTAKAAN
1. Barton JR, Sibai BM. Management of severe hypertension in
pregnancy-USA. In: Walker JJ.,Gant NF, eds. Hypertension in pregnancy.
London: Chapman & Hall, 1997; 300-6.
2. Berkowits RL. Hypertension in pregnancy. In: Gabbe SG, Niebyl JR,
Simpson JL eds. Obstetrics normal & problem pregnancies. 3rd ed. New
York : Churchill Livingstone, 1998; 947-53.
3. Sibai BM, Rodriquest JJ. Preeclampsia : diagnosis and management. In :
Norbert G ed. Principles and practice of medical therapy in pregnancy.2nd
ed. California Appleton and Lange, 1991; 878-9.
4. Padden MD. HELLP syndrome: Recognition and perinatal management.
Available from : http./members. Tripad.. Com/Ander Pander/hellp.html.
accessed at: Sept 2001.
Kondisi pasien
memburuk
Terminasi
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
ABSTRAK
Kanker serviks merupakan salah satu penyebab utama kematian yang berhubungan dengan
kanker pada perempuan. Upaya skrining dengan Pap smear belum mampu menurunkan insiden
dan kematian akibat kanker ini di negara-negara sedang berkembang.
Sejak diketahui bahwa infeksi human papillomavirus berhubungan kuat dengan
perkembangan dari CIN menjadi kanker serviks maka skrining ditujukan untuk mengetahui
keberadaan DNA-HPV. Infeksi HPV grup risiko tinggi terbukti berhubungan kuat dengan
perkembangan lesi prekanker menjadi kanker serviks. Sebagian besar infeksi HPV bersifat
transien, subklinik, dan sering pada perempuan seksual aktif. Pada infeksi HPV persisten risiko
tinggi dan smear abnormal terlihat perkembangan penyakit yang signifikan.
Berbeda dengan infeksi HPV grup risiko rendah yang tidak signifikan mempengaruhi
perkembangan penyakit sehingga tesnya kurang bermanfaat bahkan dapat mengakibatkan dampak
psikologik; tes HPV dengan HC-II melalui sediaan olesan serviks memilki sensitivitas tinggi
>90%, spesifisitas rendah (10,0%), positif palsu 5-20% dan negatif palsu 1,1-7,5%. Test HPV
sebaiknya tidak dipakai skrining serviks secara tersendiri, tetapi bersama dengan sitologi dan
kolposkopi dan bahkan histopatologi apabila diperlukan.
Kata kunci : HPV, skrining, kanker serviks
PENDAHULUAN
Kanker serviks merupakan salah satu penyebab utama
kematian perempuan yang berhubungan dengan kanker. Di
seluruh dunia, diperkirakan terjadi sekitar 500.000 kanker
serviks baru dan 250.000 kematian setiap tahunnya dan 80%
terjadi di negara-negara sedang berkembang.(1,2)
Di Indonesia, insiden kanker serviks diperkirakan 40.000
kasus pertahun dan masih merupakan kanker perempuan yang
tersering. Mortalitas kanker serviks masih tinggi karena 90%
terdiagnosis pada stadium invasif, lanjut bahkan terminal.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menurunkan insiden
dan kematian akibat kanker serviks baik melalui pendekatan
faktor risiko maupun terapi. Pendekatan faktor risiko baik
major maupun minor, down staging, diagnosis dini dengan Pap
smear dan inspeksi visual asam asetat, berbagai modalitas
terapi, bahkan terapi paliatif; belum memuaskan.(3-5)
ini berarti bahwa pada kasus HPV negatif dan sitologi normal
maka risiko rekurensi sangat rendah. Studi kohort pada 58
kasus yang diterapi konisasi, mendapatkan bahwa 20%
persisten HPV dan 40% nya terjadi rekurensi antara 4-10 bulan
setelah terapi. Juga dilaporkan bahwa pada HPV negatif
pascaterapi tidak ditemukan rekurensi.(2)
7.
8.
9.
10.
RANGKUMAN
Pap smear efektif menurunkan insiden (70-80%) dan
kematian akibat kanker serviks di negara maju, berbeda dengan
di negara-negara sedang berkembang. Infeksi HPV risiko tinggi
terbukti berhubungan kuat dengan kejadian CIN dan
perkembangannya menjadi kanker serviks invasif; jika tidak
terdapat infeksi HPV maka risiko kanker serviks sangat kecil.
Infeksi HPV sebagian besar adalah transien, subklinik,
terutama pada perempuan dengan seksual aktif. Infeksi HPV
risiko tinggi yang persisten dan Pap smear abnormal,
memperlihatkan perkembangan penyakit.
Test untuk HPV risiko rendah kurang bermanfaat bahkan
dapat mengakibatkan dampak sosial-ekonomi dan psikologik.
Test HPV pada sediaan swab serviks/Pap smear dengan
hybrid capture II (HC-II) yaitu antibody capture/solution
hybridization/signal amplication assay yang memakai deteksi
kualitatif chemiluminescence terhadap DNA HPV. HC-II
memiliki sensitivitas tinggi >90%, spesifisitas rendah (10,0%),
positif palsu 5-20% dan negatif palsu 1,1-7,5%. Test HPV
sebaiknya tidak dipakai secara sendiri akan tetapi bersama
dengan kolposkopi, sitologi, bahkan histopatologi jika perlu.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
Bosch FX, Lorincz A, Munoz N, Meijer CJLM, Shah KV. The causal
relation between human papillomavirus and cervical cancer. J Clin Pathol
2002;55 (4): 244-65.
Tyring SK. Human Papilloma Virus Infection: Epidemiology,
Pathogenesis, and Host Immune Response. J Am Acad Dermatol 2000; 43:
518-26.
Cox JT. Epidemiology of Cervical Intraepithelial Neoplasm: The Role of
Human Papilloma Virus. Baillieres Clin Obstet Gynaecol 2000; 9:1-37.
Garland SM, Tabrizi SN, Chen S et al. Prevalence of sexually transmitted
infection (Neisseria gonorrhoeae, Chlamydia trachomatis, Trichomonas
vaginalis and human papillomavirus) in female attendees of a sexually
transmitted diseases clinic in Ulanbator, Mongolia. J Infect Dis Obstet
Gynaecol 2001; 9 (3): 143-6.
Nobbenhus MAE, Walboomer JMM, Helmerhorst TJM et al. Relation of
Human Papilloma Virus Status to Cervical Lesion and Consequences for
Cervical Cancer Screening: a prospective study. Lancet 1999; 354 (9172):
20-5.
Ambar W. Peran p53, pRB, c-myc pada proliferasi sel kanker serviks
terinfeksi human papilloma virus tipe 16 dan 18. Disertasi Univeristas
Airlangga Surabaya; 2003
Surya Negara IK, Suwiyoga IK, Surya IGP. nfeksi HPV tipe 16 dan 18
pada kanker serviks uterus dan penyakit menular seksual. Program
Pendidikan Spesialis I Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana, 2002.
Widiarsa IB, Suwiyoga IK. nfeksi HPV tipe 16 pada kanker serviks uterus.
Program Pendidikan Spesialis I Obstetri dan Ginekologi Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana, 2000.
Munoz N, Bosch FX, de Sanjose S et al. Epidemiologic Classification of
Human Papillomavirus Types associated with Cervical Cancer. N. Engl J.
Med 2003;348: 518-27.
Nobbenhus MAE, Walboomer JMM, Helmerhorst TJM et al. Relation of
Human Papilloma Virus Status to Cervical Lesion and Consequences for
Cervical Cancer Screening: a prospective study. Lancet 1999; 354 (9172):
20-5.
Ylitato N, Sorensen P, Josefsson AM et al. Consistent High Viral Load of
Human Papilloma Virus 16 and Risk of Cervical Carsinoma in situ: a
Nested Case-Control Study. Lancet 2000; 355: 2194-8.
Santos C, Muffoz N, Klug S et al. HPV types and cofactors causing
cervical cancer in Peru. Br J Cancer 2001; 85: 966-71.
Xiao Y, Sato S, Oguchi T et al. High sensitivity of PCR in situ
hybridization for the detection of human papillomavirus infection in uterine
cervical neoplasias. J Gynaecol Oncol 2001; 82 (2): 350-4.
Herrero R, Hidensheim A, Bratti C et al. Population based study of human
papillomavirus infection and cervical neoplasia in rural Costa Rica. J Natl
Cancer Inst 2000;92: 462-74.
Franco EL, Franco ED. Cervical Cancer: Epidemiology, Prevention and
The Role of Human Papillomavirus Infection. Can Med Ass J 2001; 164
(7):1-10.
Schwartz SM, Dalling JR, Shera KA et al. Human Papillomavirus and
Prognosis of Invasive Cervical Cancer: A Population-Based Study. J Clin
Oncol 2001; 19 (7): 1906-15.
Brentjens MH, Yeung-Yue KA, Lee PC, Tyring SK. Human
Papillomavirus: A Review. Dermatol Clin 2002; 20 (2): 315-35.
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
ABSTRAK
Kandidosis merupakan penyakit jamur teratas di antara penyakit jamur lainnya hingga saat
ini. Penyebab utama infeksi ini umumnya adalah Candida albicans (C. albicans). Jamur ini dapat
menginfeksi semua organ tubuh manusia, dapat ditemukan pada semua golongan umur, baik pria
maupun wanita. Jamur ini dikenal sebagai organisme komensal di saluran pencernaan dan
mukokutan, sering ditemukan di kotoran di bawah kuku orang normal. Jamur ini juga dikenal
sebagai jamur oportunis.
PENDAHULUAN
C. albicans merupakan jamur dimorfik karena kemampuannya untuk tumbuh dalam dua bentuk yang berbeda yaitu
sebagai sel tunas yang akan berkembang menjadi blastospora
dan menghasilkan kecambah yang akan membentuk hifa semu.
Perbedaan bentuk ini tergantung pada faktor eksternal yang
mempengaruhinya. Sel ragi (blastospora) berbentuk bulat,
lonjong atau bulat lonjong dengan ukuran 2-5 x 3-6 hingga
2-5,5 x 5-28 .
C. albicans memperbanyak diri dengan membentuk tunas
yang akan terus memanjang membentuk hifa semu. Hifa semu
terbentuk dengan banyak kelompok blastospora berbentuk
bulat atau lonjong di sekitar septum. Pada beberapa strain,
blastospora berukuran besar, berbentuk bulat atau seperti botol,
dalam jumlah sedikit. Sel ini dapat berkembang menjadi
klamidospora yang berdinding tebal dan bergaris tengah sekitar
8-12 .(1-4) Morfologi koloni C. albicans pada medium padat
agar Sabouraud Dekstrosa, umumnya berbentuk bulat dengan
permukaan sedikit cembung, halus, licin dan kadang-kadang
sedikit berlipat-lipat terutama pada koloni yang telah tua.
Umur biakan mempengaruhi besar kecil koloni. Warna koloni
putih kekuningan dan berbau asam seperti aroma tape.(2,3)
Dalam medium cair seperti glucose yeast, extract pepton, C.
albicans tumbuh di dasar tabung.(3)
Pada medium tertentu, di antaranya agar tepung jagung
(corn-meal agar),agar tajin (rice-cream agar) atau agar dengan
Kandidosis vagina
Pada wanita, C. albicans sering menimbulkan vaginitis
dengan gejala utama fluor albus yang sering disertai rasa gatal.
Infeksi ini terjadi akibat tercemar setelah defekasi, tercemar
dari kuku atau air yang digunakan untuk membersihkan diri;
sebaliknya vaginitis Candida dapat menjadi sumber infeksi di
kuku, kulit di sekitar vulva dan bagian lain.(11,12)
Kandidosis paru
C. albicans dapat ditemukan sebagai infeksi primer dan
sekunder. Gejalanya menyerupai penyakit paru oleh sebab lain,
yaitu suhu tubuh meningkat, nyeri dada, batuk, dahak kental
yang dapat bercampur darah.(3,8)
Kandidosis alat dalam lain dan sistemik
Selain alat-alat tersebut di atas, kandidosis juga dapat
menginfeksi endokardium, selaput otak dan mata serta dapat
menimbulkan septikemi. Endokarditis oleh C. albicans
mempunyai gejala yang sangat mirip dengan penyakit yang
disebabkan oleh kuman, yaitu demam, bising jantung, payah
jantung, anemi dan pembesaran limpa.(3,8)
Meningitis oleh C. albicans dapat timbul oleh penjalaran
jamur secara hematogen. Gejala utamanya rasa nyeri disertai
kelainan saraf misalnya afasia atau hemiparesis.(3,8) Kandidosis
mata dapat berupa ulkus kornea yang disertai hipopion, atau
dapat juga berupa endoftalmitis.
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
PENDAHULUAN
Kehamilan berpengaruh secara mekanis dan hormonal
terhadap fungsi traktus urinarius yang secara embriologis
berasal dari traktus genitalis. Deregulasi kerja fisiologis ginjal
dapat menginduksi perubahan yang bisa membahayakan
kehamilan serta meninggalkan penyakit yang menetap dan
progresif bagi ibu hamil. Kehamilan bersamaan dengan
perubahan anatomi, fungsi ginjal dan regulasi volume cairan
tubuh(1). Perubahan fisiologis pada ginjal wanita hamil dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Perubahan fisiologis ginjal wanita hamil(2)
Hemodinamik sistemik
Ekspansi volume
Penurunan resistensi pembuluh darah
Penurunan tekanan darah
Peningkatan tekanan darah
Fungsi ginjal
Peningkatan aliran darah ginjal
Peningkatan LFG
Hipoproteinemia
Alkalosis respiratorik kronik dan
asidosis metabolik yang seimbang
Metabolik
Penyakit sistemik
dan imunologis
Penyakit sirkulasi
Nefrotoksin
Penyakit infeksi
Sindroma nefrotik
kongenital
Nefritis
hereditofamilial
Lesi minimal
Membranous idiopatik
Proliferatif
Lobular
Glomerulosklerosis diabetik difus dan nodular
Amiloidosis
Mieloma multipel
Miksedema
Lupus eritematosus sistemik
Periarteritis
Sindrom Goodpasture
Dermatomiositis
Central pontine myelinolysis
Penyakit Takayasu
Erythema multiforme
Anemia sickle cell
Sferositosis
Stenosis arteri renalis
Trombosis vena renalis
Trombosis arteri pulmonal
Perikarditis konstriktiva
Insufisiensi katup trikuspid
Feokromositoma
Diuretik organik merkuri, Salep amoniak merkuri
Merkuri non organik
Bismut
Emas
Serbuk sari (pollen)
Gigitan lebah
Racun kayu, racun pohon menjalar, toksin rhus yang
sudah dipurifikasi
Trimetadion dan parametadion
Anti serangga
Gigitan ular
Probenesid, Penisilamin
Terapi alergen dan serum campuran; contoh kayu,
cold pills, globulin dan vaksin polio
Penyakit Sitomegalovirus
Sifilis
Malaria
Tifus
Jejunoileitis kronis
Tuberkulosis
Endokarditis bakterial subakut
Herpes zoster
Shunt nephritis (stafilokokus)
Bakteremia campuran
Kehamilan
Transplantasi
Cyclic recurrent
Intestinal lymphangiectasis
Biopsi ginjal
Untuk mencari penyebab SN pada kehamilan dilakukan
biopsi ginjal. Tindakan ini sering dilakukan pada SN yang tidak
disebabkan oleh preeklamsi dan SN yang terjadi pada awal
kehamilan. Biopsi dilakukan pada posisi telungkup pada usia
kehamilan di atas 20 minggu, setelah masa itu lebih baik dalam
posisi duduk. Kontraindikasi absolut dan relatif tidak berbeda
seperti pada wanita yang tidak hamil.(13) Biopsi ginjal juga
dibutuhkan untuk menentukan jenis terapi terutama peranan
steroid.(8)
Tabel 3. Manifestasi dan penatalaksanaan SN pada kehamilan.
Manifestasi
Proteinuri
Hipoalbuminemi
Kadar
albumin
serum
biasanya turun 0,5-1 g/100
ml pada kehamilan normal.
Penurunan albumin yang
lebih
besar
akan
meningkatkan
kecenderungan retensi cairan
Edema
Komplikasi
infeksi
Episode
trombotik
2.4. Hiperlipidemi
Kenaikan lemak darah sudah lama diketahui pada pasien
SN. Kenaikan kolesterol total serum dapat mencapai 400-600
mg% dan lemak total 2-3 g%. Pada umumnya terdapat
hubungan terbalik antara kadar albumin serum dengan kadar
kolesterol total serum yaitu penurunan kadar albumin serum
disertai kenaikan kadar kolesterol total serum.(12)
Hiperlipidemi
Penatalaksanaan
Diet
tinggi
protein
(3 g/kg/kgbb.)
Infus salt-poor
albumin
direkomendasikan
untuk
pasien dengan penurunan
fungsi ginjal akibat oligemi
yang
nyata
dan
adanya hipotensi postural
bakteriuri
Tidak
dianjurkan
antikoagulan
profilaktik,
tetapi jika dibutuhkan,
heparin adalah antikoagulan
yang
tidak
melewati
plasenta
PENATALAKSANAAN
Prinsipnya terdiri dari terapi simtomatik dan spesiflk
terhadap penyakit glomerulus primer serta pemilihan obat yang
aman bagi ibu dan janinnya.(1) Tabel 3 menunjukkan
manifestasi dan penatalaksanaan SN pada kehamilan.
1.
Tindakan Umum
Penderita dengan edema anasarka berat harus rawat inap
dan istirahat di tempat tidur untuk mengurangi proteinuri.
2.
Diuretik
Diuretik harus dihindari karena dapat meningkatkan
oligemi
intravaskuler
dan
mempengaruhi
perfusi
uteroplasenta,(1,16) selain itu penurunan tekanan darah selama
kehamilan dapat memprovokasi kolaps sirkulasi atau episode
tromboemboli. Pengecualian hal ini adalah pada bentuk
nefrotik tertentu yang juga memunculkan hipertensi yang
sensitif garam (terutama wanita dengan nefropati diabetik),
pada kasus seperti itu restriksi garam yang lebih ketat,
kombinasi dengan diuretik yang hati-hati dapat menghindari
terminasi pada awal trimester III akibat tekanan darah tidak
terkontrol.(16) Juga pada kasus-kasus edema nefrotik yang
makin memburuk selama kehamilan dapat dipertimbangkan
diuretik.(8)
6.
ACE-Inhibitor
Walaupun
mempunyai
efek
antiproteinuri
dan
antihipertensi, golongan obat ini dikontra indikasikan pada
kehamilan karena efek yang tidak diinginkan pada janin berupa
gagal ginjal dan kematian janin. (13,17)
7.
Antibiotik
Diketahui setiap SN sangat peka terhadap infeksi
sekunder, renal maupun ekstrarenal.(4) Sedang pada kehamilan
sering dijumpai bakteriuri asimtomatik yang jika tidak diobati
25% akan berkembang menjadi infeksi akut simtomatis.(14)
Sejumlah 18% kehamilan nefrotik menderita komplikasi
infeksi dan sebagian besar merupakan infeksi saluran kemih.(8)
Kedua keadaan tersebut akan menambah risiko infeksi
sekunder. Oleh karena itu untuk menghindari komplikasi
Antikoagulan
Antikoagulan dipertimbangkan untuk mencegah penyulit
tromboemboli yang mungkin terdapat pada SN.(4) Wanita hamil
dengan SN berisiko tinggi tromboemboli vena dan perlu
mendapat antikoagulan.(13) Untuk ini, heparin lebih baik
dibanding warfarin.(1) Siberman dan Adam menganjurkan
pemberian heparin dalam masa nifas pada wanita dengan
SN.(10) Heparin tidak terfraksinasi dan heparin berat molekul
rendah tidak melewati plasenta, sehingga aman digunakan.(18)
Pemberian antikoagulan tidak perlu jika diuretik dihindari dan
diet restriksi garam benar-benar diterapkan.(8)
9.
KESIMPULAN
Sindrom nefrotik dapat terjadi bersamaan dengan
kehamilan atau kehamilan dapat terjadi pada penderita sindrom
nefrotik. Prinsip penatalaksanaan secara umum tidak berbeda
dengan keadaan tidak hamil, kecuali penggunaan beberapa
obat-obatan yang perlu menjadi perhatian pada wanita hamil
Prognosis dan keberhasilan kehamilan bergantung pada fungsi
KEPUSTAKAAN
1.
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
PENDAHULUAN
Antibodi antifosfolipid adalah keluarga otoantibodi yang
mempunyai jangkauan kekhususan dan afiniti yang luas yang
meliputi perpaduan berbagai fosfolipid, fosfolipid terikat
protein, atau keduanya. Terminologi sindrom antifosfolipid
pertama kali ditujukan pada hubungan klinis antara antibodi
antifosfolipid dan sindrom hiperkoagulabiliti yang meliputi
trombosis arteri, vena, trombositopeni dan komplikasi
obstetrik.(1,2) Meskipun antibodi-antibodi belum secara jelas
merupakan penyebab trombosis dan keguguran, mereka
merupakan petanda laboratoris yang penting.(3)
Kejadian-kejadian trombotik dilaporkan terjadi pada 30 %
pasien dengan antibodi antifosfolipid dengan keseluruhan
kejadian 2,5 % pasien pertahun. Trombosis vena dalam pada
tungkai dan emboli paru tercatat merupakan dua pertiga
kejadian trombotik, dan trombosis arteri otak merupakan
komplikasi arteri yang umum dan terbanyak. Komplikasi
obstetrik meliputi keguguran spontan berulang, kematian janin,
dan pertumbuhan janin terhambat.(2)
SEJARAH
Antibodi antifosfolipid pertama adalah sebuah komplemen
terikat antibodi yang bereaksi dengan ekstrak jantung sapi yang
dideteksi pada pasien-pasien sifilis pada tahun 1906. Antigen
yang berkaitan kemudian diidentifikasikan sebagai kardiolipin,
sebuah fosfolipid mitokondria. Pengamatan ini menjadi dasar
uji the Venereal Disease Research Laboratory (VDRL) untuk
sifilis yang digunakan sampai saat ini.(1) Hughes (1975)
menemukan beberapa gambaran serologi mielopati virus pada
wanita muda Jamaika dengan insidensi serologi positif palsu
yang tinggi untuk sifilis, dan adanya antibodi antinuklear yang
mempunyai kemiripan dengan sindrom neurologi dari sklerosis
lupus.(4) Pada permulaan tahun 1990an telah ditemukan bahwa
kedua kelompok antibodi antikardiolipin (lupus eritematosus
sistemik dan trombosis) membutuhkan 2-glikoprotein I untuk
mengikat kardiolipin. Kebutuhan ini merupakan gambaran
antibodi antikardiolipin pada pasien lupus eritematosus
sistemik (LES) atau sindrom antifosfolipid yang bukan dari
sifilis dan penyakit-penyakit infeksi yang lain.(1)
GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis nyata dari sindrom antifosfolipid dan
trombosis beranekaragam mulai dari subakut (migrain
berulang, gangguan penglihatan, pelo dengan riwayat khorea,
trombosis vena dalam, dan keguguran berulang) sampai ke arah
yang serius (kegagalan katup jantung yang cepat,
trombositopeni, stroke mayor, dan trombosis meluas).(4)
Sindrom antifosfolipid sendiri dapat dibagi dalam
beberapa kategori. Sindrom antifosfolipid primer terjadi pada
pasien-pasien tanpa bukti klinis adanya penyakit otoimun yang
lain, sedangkan sindrom antifosfolipid sekunder terjadi
berkaitan dengan penyakit otoimun atau yang lain (Panel 1).
Panel 1: Hubungan klinis dengan antibodi-antibodi antifosfolipid
7.
KEPUSTAKAAN
12.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
8.
9.
10.
11.
13.
14.
15.
16.
17.
Antibodi antikardiolipin
Antibodi anti-2-glikoprotein 1
Metode deteksi
1.
Pemanjangan koagulasi paling sedikit satu assay koagulasi tergantung fosfolipid invitro dengan penggunaan
platelet poor plasma. Assay ini dapat dibagi menurut bagian kaskade koagulasi yang dinilai sebagai berikut:
Jalur koagulasi ekstrinsik (dilute prothrombin time).
Jalur koagulasi intrinsik (activated partial thromboplastin time, dilute activated partial thromboplastin time,
colloidal silica clotting time, & kaolin clotting time)
Jalur koagulasi umum terakhir (dilute Russells viper-venom time, Taipan venom time, dan Textarin dan
Ecarin times).$
2.
Kegagalan memperbaiki pemanjangan waktu koagulasi dengan mencampurkan plasma pasien dengan plasma
normal.
3.
Konfirmasi adanya antibodi antikoagulan lupus oleh pemendekan atau perbaikan pemanjangan waktu
koagulasi sesudah penambahan kelebihan fosfolipid atau platelet yang sudah membeku dan kemudian
dicairkan.
4.
Menyingkirkan koagulopati lain dengan menggunakan assay faktor spesifik jika uji konfirmasi negatif atau
jika penghambat faktor spesifik diduga.
Solid phase immunoassay ( biasanya enzyme linked immunosorbent assay /ELISA ) dilakukan pada lempeng yang
dilapisi kardiolipin, biasanya dengan adanya serum 2-glikoprotein 1 bovin. Antibodi-antibodi antikardiolipin pada
pasien dengan sindrom antifosfolipid tergantung 2-glikoprotein 1; antibodi-antibodi pasien dengan penyakit
infeksi tidak tergantung 2-glikoprotein 1.
Solid phase immunoassay (biasanya enzyme linked immunosorbent assay / ELISA) yang dilakukan pada lempeng
dilapisi 2-glikoprotein 1 manusia, daripada 2-glikoprotein 1 bovin (seperti pada esei antibodi antikardiolipin).
Penggunaan dua atau lebih assay yang sensitif untuk antikoagulan lupus direkomendasikan sebelum disingkirkan adanya antibodi antikoagulan lupus.
Paling sedikit satu dari assay ini harus didasarkan pada konsentrasi fosfolipid rendah (dilute prothrombin time, dilute activated partial thromboplastin time,
colloidal silica clotting time, kaolin clotting time, atau dilute Russells viper venom time). Kedua assay ini harus menilai bagian yang khusus dari kaskade
koagulasi ( seperti activated partial thromboplastin time dan dilute Russells viper venom time).
$ The Ecarin time assay membedakannya dari assay koagulasi lain yang tercakup dalam assay yang tidak tergantung fosfolipid. Harus digunakan dalam
perpaduan dengan Textarin time yang tergantung fosfolipid sebagai uji konfirmasi untuk antibodi antikoagulan lupus. Adanya antibodi antikoagulan lupus,
Textarin times memanjang, sedangkan Ecarin times tidak memanjang
Efek antikoagulan
Penghambatan aktifasi faktor IX
Tabel 3. Kondisi penyakit dan faktor-faktor risiko yang membuat pasien menjadi lebih mudah mengalami tromboemboli
Kelainan
Defek faktor koagulasi
Vena
Resitensi terhadap protein C teraktifasi
(faktor V Leiden)
Defisiensi protein C
Defisiensi antitrombin III
Mutasi protrombin
Defisiensi fibrinogen
Defisiensi aktifator plasminogen jaringan
Defek metabolik
Defek platelet
Stasis
Arteri
Disfibrinogenemia*
Defisiensi penghambat aktifator plasminogen tipe
1*
Homosisteinemia
Trombositopeni terinduksi heparin dan trombosis
Kelainan mieloproliferatif
Hemoglobinuria nokturnal paroksismal
Polisitemia vera (dengan trombositosis)
Imobilisasi
Bedah
Gagal Jantung Kongesti
Hiperviskositas
Polisitemia vera
Makroglobulinemia Waldenstroms
Anemia bulan sabit
Lekemia akut
Trauma, vaskulitis
Sindrom antifosfolipid
Benda asing
Penghambat siklooksigenase 2
Aterosklerosis, turbulensi
Hipertensi
Diabetes
Merokok
Fibrilasi atrium
Hiperlipidemia
Inflamasi kronik
LES
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
ABSTRAK
Pada umumnya daun katuk digunakan sebagai sayuran. Di Indonesia daun katuk digunakan
untuk melancarkan air susu ibu, obat borok, bisul, demam, dan darah kotor. Daun katuk
diproduksi sebagai sediaan fitofarmaka yang berkhasiat untuk melancarkan ASI (air susu ibu).
Sepuluh sediaan fitofarmaka daun katuk sebagai pelancar ASI telah beredar di Indonesia pada
tahun 2000.
Masalah: Ada laporan kerusakan paru dalam 7 bulan setelah konsumsi daun katuk mentah
dengan dosis 150 g/hari dan setelah 22 bulan terjadi kerusakan paru yang parah serta
permanen.Bahan dan cara: Menggunakan buku rujukan, hasil penelitian dari dalam dan luar
negeri. Studi meliputi ekologi, ekonomi, khasiat, efeksamping, dan harapan masa depan.Data
dianalisis secara deskriptif.
Hasil: Tanaman katuk tumbuh dan menghasikan daun ranum yang beratnya meningkat bila
ditanam bersamaan dengan tanaman pelindung ketela pohon atau jagung. Hasil setiap panen per
5060 hari 3000-6000 kg/ha dengan harga Rp 500,-/kg. Kandungan zat: daun katuk kaya vitamin
dan mineral. Khasiat: daun katuk sebagai pelancar air susu ibu dapat dibuktikan secara klinis dan
preklinis. Efek samping: Jus daun katuk mentah dengan dosis 150 mg /hari sebagai obat obesitas
setelah 2 minggu - 7 bulan menimbulkan gejala sukar tidur, makan tidak enak, sesak nafas dan
batuk. Penggunaan lebih lama menimbulkan bronkiolitis konstriksi dan setelah 22 bulan terjadi
bronkiolitis obliterasi permanen. Oleh karena itu penting diteliti lebih lanjut efek samping sediaan
pelancar ASI daun katuk terhadap ibu dan bayinya.
PENDAHULUAN
Daun katuk adalah daun dari tanaman Sauropus
adrogynus(L)Merr, famili Euphorbiaceae. Nama daerah:
Memata (Melayu), Simani (Minangkabau), Katuk (Sunda),
Kebing dan Katukan (Jawa), Kerakur (Madura).(1) Terdapat di
berbagai daerah di India, Malaysia dan Indonesia. Di Indonesia
tumbuh di dataran dengan ketinggian 0-2100 m di atas
permukaan laut. Tanaman ini berbentuk perdu. Tingginya
mencapai 2-3 m. Cabang-cabang agak lunak dan terbagi Daun
tersusun selang-seling pada satu tangkai, berbentuk lonjong
sampai bundar dengan panjang 2,5 cm dan lebar 1,25-3 cm.
Bunga tunggal atau berkelompok tiga. Buah bertangkai panjang
1,25 cm.(2) Tanaman katuk dapat diperbanyak dengan stek dari
batang yang sudah berkayu, panjang lebih kurang 20 cm
disemaikan terlebih dahulu. Setelah berakar sekitar 2 minggu
dapat dipindahkan ke kebun. Jarak tanam panjang 30 cm dan
lebar 30 cm. Setelah tinggi mencapai 50-60 cm dilakukan
48 Cermin Dunia Kedokteran No. 151, 2006
Efek samping
Di Taiwan 44 orang mengkonsumsi jus daun katuk mentah
(150 g) selama 2 minggu - 7 bulan, terjadi efek samping
dengan gejala sukar tidur, tidak enak makan dan sesak nafas.
Gejala hilang setelah 40-44 hari menghentikan konsumsi jus
daun katuk. Hasil biopsi dari 12 pasien menunjukkan
bronkiolitis obliterasi.(9) Sejumlah 178 pasien mengkonsumsi
jus daun katuk mentah dengan dosis 150 g / hari (60,7 %),
digoreng (16,9 %), campuran (20.8 %), dan digodok (1,7 %),
selama 7 bulan - 24 bulan. Terdapat efek samping setelah
penggunaaan selama 7 bulan berupa gejala obstruksi
bronkiolitis sedang sampai parah, sedangkan konsumsi selama
22 bulan atau lebih menyebabkan gejala bronkiolitis obliterasi
yang permanen.(15)
Di Amerika, sejak tahun 1995 daun katuk goreng, salad
daun katuk, dan minuman banyak dikonsumsi oleh masyarakat
sebagai obat antiobesitas (pelangsing tubuh). Penelitian
dilakukan terhadap 115 kasus bronkiolitis obliterasi (110
perempuan dan 5 pria), berumur antara 22-66 tahun yang
sebelumnya mengkonsumsi daun katuk. Pada uji fungsi paru
terlihat obstruksi sedang sampai parah. Pengobatan dengan
campuran kortikosteroid, bronkodilatasi, eritromisin, dan zat
imunosupresi hampir tidak berkhasiat. Setelah 2 tahun
bronkiolitis obliterasi berkembang menjadi parah dan terjadi
kematian pada 6 pasien (6,1 %).(16)
Proses perebusan daun katuk dapat menghilangkan sifat
anti protozoa(13). Jadi dapat disimpulkan pemanasan dapat
mengurangi sampai meniadakan sifat racun daun katuk.
Jenis sediaan daun katuk
Dari 213 jenis jamu yang berasal dari 9 pabrik jamu, hanya
ditemukan 6 jenis jamu (2,8 %) yang mengandung daun katuk.
Dari 6 jenis tersebut, 4 jenis di antaranya mempunyai indikasi
sebagai pelancar ASI.(13)
Data tahun 2000 menunjukkan 10 jenis sediaan
fitofarmaka daun katuk sebagai pelancar ASI telah beredar di
Indonesia
KESIMPULAN
Pemanfaatan daun katuk sebagai jamu atau sediaan
fitofarmaka adalah sebagai pelancar ASI. Efek samping utama
daun katuk adalah konstriksi bronkiolitis yang permanen.
Penelitian efek samping pelancar ASI terhadap ibu dan
anak belum penah dilakukan di Indonesia. Penelitian ini perlu
dilakukan, dan jika telah terbukti keamanannya maka sediaan
fitofarmaka daun katuk mempunyai peluang untuk dianjurkan
agar digunakan.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Tanggal
Kegiatan
20 21
20 23
16 18
28 01/07
01 04
Mei
Juni
Juli
08 12
15
28 30
01 05
10 13
22 - 26
26 29
Agustus
Informasi terkini, detail dan lengkap (jadwal acara/pembicara) bisa diakses di http://www.kalbefarma.com/calendar
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Dinamika Pelacuran
di Wilayah Jakarta dan Surabaya
dan Faktor Sosio Demografi
yang Melatarbelakanginya
Kasnodihardjo, Rachmalina S Prasojo, Helper SP Manalu
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Jakarta
PENDAHULUAN
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia, dampaknya mulai
terasa sejak awal tahun 1998; selain langsung pada kehidupan
ekonomi bangsa, juga berdampak terhadap berbagai aspek
kehidupan masyarakat. Krisis ekonomi mengakibatkan
turunnya pendapatan nyata penduduk akibat hilangnya
kesempatan kerja. Dampak lanjutan adalah kerawanan yang
menyangkut berbagai hal, salah satu di antaranya adalah bidang
ekonomi dan sosial.
Krisis ekonomi dapat meningkatkan jumlah penjaja seks
komersial(PSK). Karena sifat pekerjaan dan perilaku mereka,
para PSK berpotensi tertular dan menularkan penyakit menular
seksual
(PMS)
termasuk
HIV-AIDS
(Human
Immunodeficiency Virus - Acquired Immune Deficiency
Syndrome). Pekerja seks yang beroperasi di Jakarta datang dari
berbagai daerah. Suatu survai menunjukkan bahwa mereka
datang dari Jawa Timur 4%, dari Jambi 2%, dari Sumatera
Barat 6%, dari Jawa Tengah 17%, dari Jawa Barat 18% dan
D.K.I sendiri 50% (Suara Pembaruan, Maret 1999).
Menghapuskan sama sekali kegiatan para PSK seperti
misalnya rencana penutupan lokalisasi atau operasi penertiban
tampaknya tidak mungkin. Justru ini akan menimbulkan
dampak lain dan tidak menyelesaikan masalah. Barangkali
yang paling mungkin adalah tindakan agar dampak negatif
yang ditimbulkannya tidak meluas ke masyarakat, misalnya
dampak kesehatan yaitu munculnya PMS termasuk HIV-AIDS
dicegah melalui penggunaan kondom. Untuk itu perlu dipahami
latar belakang dan motivasi mereka menjadi PSK; apakah oleh
faktor ekonomis akibat krisis, faktor psikologis, biologis,
bahkan mungkin politis. Demikian pula motivasi dan alasan
mereka menggunakan dan tidak menggunakan kondom saat
melakukan hubungan seksual dengan pelanggannya. Tulisan ini
merupakan hasil penelitian tahun 2001.
METODOLOGI
Desain studi
Penelitian bersifat studi eksploratif dengan metoda
pengumpulan data kualitatif terutama dengan menggunakan
pemahaman langsung dan tidak langsung. Sumber data yaitu
orang-orang yang diminta memberikan informasi, disebut
informan. Informan pada penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi tentang apa yang ia ketahui dan juga
sedapat mungkin tentang apa yang ia alami. Maka penelitian
lebih banyak tergantung pada bahasa informan (Yudoyono B,
1992). Selain informasi diri, informan juga diharapkan dapat
memberikan keterangan lain.
Sasaran Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data
Sasaran utama penelitian ini adalah wanita yang berprofesi
sebagai penjaja seks (PS) atau Pekerja Seks Komersial (PSK),
baik yang terorganisasi maupun yang tidak, yaitu mereka yang
berpraktek liar di pinggir jalan, pinggir jalan (rel) kereta api,
kafe, mal, panti pijat atau warung remang-remang. Sasaran
penelitian lain adalah mucikari (germo) atau orang-orang yang
diasumsikan mengetahui praktek keseharian wanita penjaja
seks. Penentuan informan (responden) dilakukan melalui
pendekatan lokasi yang diduga sebagai sentinel dan dipilih
secara purposif.
Pemilihan sasaran dilakukan secara insidental. Semua PSK
pada saat pelaksanaan penelitian mendapatkan kesempatan
yang sama untuk diambil sebagai sampel penelitian. Jumlah
sampel ditentukan secara kuantum yaitu 20 orang PSK di
beberapa jalan di Kota Madya Surabaya dan 20 orang PS di
beberapa jalan di DKI Jakarta yang bersedia menjadi informan
(responden). Pengumpulan data lebih ditekankan melalui
wawancara mendalam (in-depth interview), yaitu berupa dialog
secara individu maupun kelompok menggunakan pertanyaan-
Daerah Penelitian
DKI Jakarta
Jumlah
4
8
6
2
20
%
20.0
40.0
30.0
10.0
100.0
Surabaya
Jumlah
3
9
4
3
1
20
%
15.0
44,7
20.0
20.0
0,3
100.0
Jumla
h
7
17
10
5
1
40
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
ANALISIS
Perkembangan Terbaru
Pengobatan Flu Burung
Tjandra Yoga Aditama
Departeman Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran UI / RS Persahabatan
Jakarta, Indonesia
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
OPINI
30 tahun
50 kg
10 kg
40 kg
40 tahun
55 kg
18 kg
37 kg
50 tahun
60 kg
25 kg
35 kg
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
Ballor DL, Poehlman ET. Exercise training enhances fat free mass
preservation during diet-induced weight loss: A meta analytic finding.
Internat. J. Obesity, 18:35-40
Brehm B, Keller B. Diet and exercise: factors that influence weight and
fat loss. IDEA Today 1990; 8:33-46
Campbell W, Crim M, Young V, Evans W. Increased energy
requirements and changes in body composition with resistance training in
older adults. Am.J.Clin.Nutr.1994; 60:167-175
Forbes GB. The Adult decline in lean body mass. Human Biology 1976;
48 : 161-73
Keyes A, Taylor HL, Grande F. Basal Metabolism and Age of Adult
Man. Metabolism 1973; 22:579-87
Produk Baru
Neural Tube Defects Fact and Prevention
Defek tuba neuralis atau neural tube defects merupakan cacat
lahir yang sangat serius. Kelainan ini mengenai sumsum tulang (spina
bifida) dan otak (anensefalus).(1,2) Spina bifida terjadi jika kolum
spinal janin tidak menutup untuk melindungi batang spinal. Penutupan
ini seharusnya terjadi pada beberapa minggu pertama kehamilan.
Spina bifida menyebabkan berbagai masalah yang berkaitan dengan
gangguan neurologis. Anensefalus merupakan suatu kondisi otak bayi
tidak berkembang dengan semestinya dan biasanya menyebabkan bayi
lahir mati atau meninggal segera setelah lahir.(3)
Gambar 1. Anensephalus
Gambar 2. Anensephalus
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
Gambar 2. Respon Sel Darah Merah Terhadap Asupan Folat
6.
7.
Carter H, Lindsey LL, Petrini JR, et.al. Use of Vitamins Containing Folic
Acid Among Women of Childbearing Age. MMWR CDC
2004;53(36):847-850. http://www.cdc.gov
Houk VN, Oakley GP, Erickson GP, et al. Recommendations for the Use
of Folic Acid to Reduce the Number of Cases of Spina Bifida and Other
Neural
Tube
Defects.
MMWR
CDC
1992;41(RR-14):001.
http://www.cdc.gov
Anonim.
CERHR
:
Folic
Acid.
http://cerhr.niehs.nih.gov/genpub/topics/folic_acid-ccae.html.
Diakses
tanggal 25 Oktober 2005
Jallo G, Becske T, Rust RS, et al. Neural Tube Defects.
http://www.emedicine.com
Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ. Prenatal Care. In. Williams
Obstetrics 21st ed. New York : Mc Graw Hill, 1997. Hal 221-245.
Hilman RS. Hematopoietic Agents Growth Factors, Mineral, and
Vitamins. In. Goodman & Gilmans Pharmacological Basis of
Therapeutics. Eds. Hardman JG, Limbird LE, Gilman AG. New York :
Mc Graw Hill, 2001. Page 1487-1517
Nulty HM, Cuskelly GJ, Ward M. Response of Red Blood Cell Folate to
intervention : implications for folate rekommendations for the prevention
of neural tube defects. Am J Clin Nutr 2000 ; 71 (Suppl) : 1308S 11S.
Kegiatan Ilmiah
DETAK, Deteksi Awal Kanker diresmikan Menkes RI, Jakarta 24
Januari 2006
Menurut data pemeriksaan histopatologik di Indonesia tahun 1999,
lima besar kanker yang diderita penduduk Indonesia, berturut-turut adalah:
Kanker Leher Rahim, Kanker Payudara, Kanker Kelenjar Getah Bening,
Kanker Kulit dan Kanker Rektum. Karena kepedulian itulah, maka Kalbe
Farma bekerjasama dengan Yayasan Kanker Indonesia dan Rumah Sakit
Kanker Dharmais mencetuskan program DETAK. Aktifitas DETAK mulai
dijalankan setelah diresmikan oleh Menteri Kesehatan RI, Dr. dr Siti
Fadilah Supari, SpJP(K), di Gedung Dharma Wanita Pusat Kuningan
Jakarta, 24 Januari 2006. Acara dilanjutkan dengan Seminar Awam dan
Konferensi Pers serta pembagian buku "Kanker, Antioksidan dan Terapi
Komplementer" dan brosur-brosur. Selain itu diselenggarakan juga Lomba
Penulisan Kanker berhadiah jutaan rupiah. Website: http://www.detak.org.
ISBPPSM, Jakarta 24 - 26 Januari 2006
Kemajuan bidang Kesehatan Jiwa di Indonesia saat ini, sungguh
memprihatinkan. Salah satu indikator, misalnya, bisa dilihat pada
perhatian pemerintah yang memprioritaskan bidang ini pada nomor 14 dari
15 bidang kesehatan yang ada. Demikian dilansir Mantan Direktur
Kesehatan Jiwa Depkes RI, Prof(em.). R Kusumanto Setyonegoro, MD,
PhD, saat memberikan ceramahnya pada acara ISBPPSM (Indonesian
Society for Biological Psychiatry, Psychopharmacology & Sleep
Medicine) yang berlangsung di Hotel Twin Plaza Jakarta, 24 hingga 26
Januari 2006. Dalam kesempatan ini pula, diperkenalkan obat original
terbaru untuk penderita Schizophrenia dari Kalbe Farma, LODOPIN
(Zotepine).
Seminar Revolution on Anti Aging Medicine, seri III, Jakarta 26
November 2005
Cosmeceuticals, menurut Vice Chairman dan Founder PASTI
(Perkumpulan Awet Sehat Indonesia, Indonesian Anti Aging Society)
Edwin Djuanda, adalah perpaduan ilmu Kosmetik dan Pharmaceuticals.
Untuk pelbagai kondisi kulit, Cosmeceuticals banyak sekali peranannya
dalam meneliti dan mengembangkan hal-hal seperti: antioxidant,
bleaching, cell renewal (retinoic acid, etc) dan pelbagai jenis pelindung,
seperti: sunblock, moisturizers, dan lain-lain. Demikian dipaparkan ahli
kulit Indonesia, dr Edwin Djuanda, di hadapan sekitar 200 peserta Series
Seminar Revolution on Anti Aging Medicine. Seminar ini terbuka bagi
siapa saja (dokter maupun non dokter) yang tertarik mempelajari lebih
jauh mengenai Anti Aging Medicine. Website : http://www.pasti.or.id.
The 7th International Meeting on Respiratory Care Indonesia
(RESPINA 2005), Jakarta, 2-4 Desember 2005
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) adalah salah satu kasus
yang banyak dijumpai dalam praktek dokter sehari-sari, sehingga tidak
salah bila pertemuan tahunan ke 7 RESPINA kali ini memfokuskan pada
tema ARDS. Jumlah peserta yang hadir sebanyak 750 tamu, dari kalangan
dokter spesialis, dokter umum dan mahasiswa. Total sesi yang disampaikan berjumlah 20 topik, diawali pada hari pertama dengan kegiatan
workshop.
The 2nd National Congress Indonesian Osteoporosis Association,
Surabaya 2-4 December 2005
Acara The 2nd National Congress Indonesian Osteoporosis
Association diselenggarakan atas kerjasama Perhimpunan Osteoporosis
Indonesia dan International Osteoporosis Foundation Desember 2005.
Dalam kongres ini, dibahas masalah seputar kesehatan tulang terutama di
Indonesia. Acara yang bertema Strong Bones For The Healthy Body ini
dibuka oleh Gubernur Jawa Timur Imam Hutomo dan dihadiri juga oleh
wakil dari International Osteoporosis Federation (IOF) USA, serta di-
61
apsul
Uji Laboratorium yang Dianjurkan untuk Kasus Baru HIV Positif
Test
Complete blood count
Electrolytes, blood urea nitrogen, creatinine, fasting blood sugar
Toxoplasmosis titer
CMV titer
Comment
Anemia may contraindicate use of zidovudine
Abnormal renal function may contraindicate use of tenofovir or indicate
need for adjustment of renally excreted nucleoside or nucleotide
analogues; baseline presence of diabetes may contraindicate use of
protease inhibitors, which can cause insulin resistance
Indinavir and atazanavir can elevate indirect bilirubin levels. Abnormal
liver-enzyme levels may indicate need for further workup, may
influence choice of antiretroviral agents, which carry risk of
hepatotoxicity, or both
Elevated value may reflect, most commonly, exercise or underlying HIV
myopathy; a baseline value is helpful, to monitor zidovudine therapy,
which may cause drug-induced myopathy
Baseline values may be helpful for making decisions regarding use of
drugs (e.g., didanosine) that carry risk of pancreatitis.
Abnormal baseline values may indicate need for dietary therapy, drug
therapy, or both, or possible avoidance of therapy with certain protease
inhibitors
Evidence of past or recent exposure requires treatment unless there is
documentation of adequate course of treatment.
If negative, counseling to prevent acquisition of all three viruses and
vaccination for hepatitis A and B viruses are indicated. If active
infection with hepatitis B or C virus, or both, is present, decision
should be made about specific treatment and its relation to
antiretroviral therapy
If negative, counseling to prevent acquisition of Toxoplasma gondii
(including avoidance of undercooked meat and of cat feces) is
indicated. If positive, and CD4 cell count is <100 per mm3, primary
prophylaxis is indicated. (patients with very advanced HIV infection
may lose antibody to T. gondii.)
If negative, counseling is indicated to prevent acquisition of virus
through intimate contact or blood transfusion. If blood products are
needed, screening should be considered, to prevent CMV acquisition.
Whether there is a routine need for this test is debatable, given the
decreased incidence of CMV-associated disease with the use of potent
antiretroviral therapy.
Important, given the prevalence of HPV infection and increased risk of
cervical neoplasia.
No consensus recommendation exists, but consideration of Papanicolaou
smear, HPV DNA test, or both, is reasonable, given associated risk of
anal carcinoma.
If positive (induration 5 mm) and active tuberculosis is ruled out,
isoniazid therapy for nine months should be considered.
Baseline tracing may be important, given potential for increased
cardiovascular risk associated with antiretroviral therapy (especially
some protease inhibitors). Atazanavir can prolong PR interval.
Important to consider obtaining a baseline film, owing to numerous
HIV-related complications that can manifest as pulmonary disease.
*Because of potential past exposure to pathogens that may reactivate with immunosuppression, additional baseline laboratory screening tests to consider in persons
with newly diagnosed HIV infection may include titers for Histoplasma capsulatum, Coccidioides immitis and Blastomyces dermatitidis. If these tests are
negative, counseling (e.g., regarding travel and recreation) to avoid acquisition should be considered. If positive, the awareness that risk increases as immunosuppression worsens may help in the management of HIV infection. In the United States, histoplasmosis is endemic in the Mississippi River Valley, Puerto Rico, and
foci in other parts of the country; coccidioidomycosis is endemic in central California and the Southwest; and blastomycosis is endemic in the Southeast.
Blastomycosis is relatively rare in patients with AIDS, so the role of testing for this infection is particularly uncertain. Stool examination for Strongyloides
stercoralis also should be considered in patients with a history of travel to or residence in tropical or semitropical areas. If positive, treatment is indicated to avoid
the potential for future development of hyperinfection syndrome with advanced immunosuppression. However, routine testing cannot be recommended on the basis
of available data. CMV denotes cytomegalovirus, and HPV human papillomavirus. Data are from the Department of Health and Human Services and Aberg et al.
N Engl J Med 2005; 353:16 www.nejm.org.
ABSTRAK
ASAM
VALPROAT
UNTUK
INFEKSI HIV
Asam valproat diketahui juga
mempunyai aktivitas inhibisi enzim
histone deacetylase 1 (HDAC 1)
enzim yang menekan ekspresi gen
virus. Efek inhibisi enzim ini akan
mengeluarkan virus dari sel T sehingga
dengan demikian lebih rentan terhadap
efek terapi antiretrovirus.
Teori ini dicoba dibuktikan
melalui pemberian 500-750 mg. asam
valproat/hari selama 3 bulan pada 4
pasien HIV positif yang sedang
menjalani HAART.
Di akhir terapi, ternyata infeksi
HIV dalam sel CD4+ turun bermakna
pada 3 pasien; rata-rata 75% (68% >84%). Data ini memberikan harapan
akan manfaat tambahan obat dengan
mekanisme yang berbeda sebagai
ajuvan terapi infeksi HIV.
Lancet 2005;366:549-55
brw
PENGOBATAN
UNTUK
HIV
POSITIF
Mengingat ketaatan berobat juga
tergantung dari kesederhanaan protokol
dan toleransi obat, beberapa kombinasi
obat diteliti manfaatnya atas kasuskasus HIV positif.
Sejumlah 517 pasien HIV positif
baru yang belum pernah diobati, diberi
regimen tenovofir disoproxil fumarate
(DF) + emtricitabine + efavirenz 1
kali/hari
(kelompok 1) atau/
dibandingkan dengan zidovudinelamivudine 2 kali/hari + efavirenz 1
kali/hari (kelompok 2).
Setelah 48 minggu, kelompok 1
lebih banyak yang mencapai target <
400 copies HIV RNA/ml. dibandingkan di kelompok 2 (84% vs. 73%;
95%CI for diff. 2-17%, p=0.002), dan
pada kenaikan jumlah CD4 (190
sel/mm3 vs. 158 sel/mm3; 95%CI for
diff. 9 - 55; p=0.002).
Efek samping yang mengharuskan
penghentian terapi lebih banyak
BENAZEPRIL
DAN
FUNGSI
GINJAL
Setelah masa run-in selama 8
minggu, 104 pasien dengan kadar
kreatinin serum 1.5 3.0 mg/dl
mendapat 20 mg. benazepril/hari (grup
1), sedangkan 224 pasien lainnya
dengan kadar kreatinin serum 3.1-5.0
mg/dl (grup 2) secara acak menerima
Ruang
Penyegar dan Penambah
Ilmu Kedokteran
Dapatkah saudara menjawab
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?
1.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
JAWABAN RPPIK :
1.A
2.E
3.A
4.C
5.A
6.C
7.E
8.B
9.B
10.D