Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kerusakan
melindungi

jaringan,

tubuh

manusia

dibekali

sistem

pertahanan

untuk

dirinya. Sistem pertahanan tubuh yang dikenal sebagai mekanisme

imunitas alamiah ini, merupakan tipe pertahanan yang mempunyai spektrum luas,
yang artinya tidak hanya ditujukan kepada antigen yang spesifik. Selain itu, di
dalam tubuh manusia juga ditemukan mekanisme imunitas yang didapat yang
hanya diekspresikan dan dibangkitkan karena paparan antigen yang spesifik. Tipe
yang terakhir ini, dapat, dapat dikelompokkan manjadi imunitas yang didapat
secara aktif dan didapat secara pasif (Roeslan, 2 0 0 0 ) .
Berbagai organik dan anorganik, baik yang hidup maupun yang mati, asal
hewan, tumbuhan, jamur bakteri, virus, parasit, berbagai debu dalam polusi, uap, asap
dan lain-lain iritan, ditemukan dalam lingkungan hidupdan kerja kita sehingga
setiap saat bahan-bahan tersebut

dapat

masuk

ke

dalam

tubuh

dan

menimbulkan berbagai penyakit bahkan kerusakan jaringan. Selain itu, sel badan
yang menjadi tua dan sel yang bermutasi menjadi ganas, merupakan bahan yang
tidak diingini dan perlu disingkirkan (Baratawidjaja, 2010).
Lingkungan di sekitar manusia mengandung berbagai jenis unsur pathogen,
misalnya bakteri, virus, fungus, protozoa dan parasityang dapat menyebabkan infeksi
pada manusia. Infeksi yang terjadi pada manusia normal umumnya singkat dan
jarang

meninggalkan kerusakan permanen. Hal ini disebabkan tubuh manusia

memiliki suatu sistem yaitu sistem imun yang melindungi tubuh terhadap unsur-unsur
patogen (Roitt IM, et al, 1993).
1

Respon imun seseorang terhadap terhadap unsur-unsur patogen sangat bergantung


pada kemampuan system imun untuk mengenal molekul-molekul asing atau antigen
yang terdapat pada permukaan unsur patogen dan kemampuan untuk melakukan
reaksi yang tepat untuk menyingkirkan antigen ((Roitt IM, et al, 1993).
Dalam pandangan

sekarang,

respon

imun

diperlukan

untuk

tiga hal,

yaitu pertahanan, homeostatis dan pengawasan. Yang pertama ditujukan untuk infeksi
mikroorganisme, yang kedua terhadap eliminasi kompone-komponen tubuh yang
sudah tua dan yang ketiga dibutuhkan

untuk menghancurkan

sel-sel

yang

bermutasi terutama yang menjadi ganas. Dengan perkataan lain, respon imun
dapat

diartikan

sebagai

suatu

sistem agar

tubuh

dapat

mempertahankan

keseimbangan antara lingkungan di luar dan di dalam badan (Baratawidjaja, 2010).


Sistem imun dapat dibagi menjadi menjadi dua yaitu sistem imun nonspesifik dan sistem imun spe sifik. Mekanisme imunitas spesifik
t i m b u l a t a u bekerja lebih lambat di bandingkan imunitas spesifik. Pembagian sistem
imun dalam sistem imun nonspesifik dan non-spesifik hanya dimaksudkan unutk
mempermudah pengertian saja. Sebenarnya antara kedua sistem imun
tersebut terjadi kerja sama yang erat, yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain.
Pada makalah ini akan dijelaskan tentang sistem imun non- spesifik dan sistem
imun spesifik, pembagian serta mekanisme kerja masing-masing.
B. Tujuan
Untuk

mengetahui

sistem

imun

pada

tubuh,

yaitu

sistem

imun

nonspesifik maupun sistem imun spesifik, mekanisme kerja masing-masing sistem


imun serta interaksi antar kedua sistem imun tersebut.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sistem Imun
Sistem imun adalah semua mekanisme yang digunakan badan untuk
mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya yang dapat
ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup (Baratawidjaja, 2010).
Menurut Baratawidjaja (2010) sistem imun dapat dibagi menjadi sistim imun
alamiah atau nonspesifik / natural / innate /native / nonadaptif. Mekanisme imunitas
spesifik timbul atau bekerja lebih lambat dibanding imunitas nonspesifik.

Gambar 1. Gambaran Umum Sistem Imun


3

Rangsangan

terhadap

sel-sel tersebut

terjadi apabila ke dalam tubuh

masuk suatu zat yang oleh sel atau jaringan dianggap asing, yaitu yang disebut
antigen. Sistem imun dapat membedakan zat asing (non-self) dari zat yang berasal
dari tubuh sendiri (self). Dari beberapa keadaan patologik, sistem imun ini tidak
dapat

membedakan

self dan non-self sehingga sel-sel dalam sistem imun

membentuk zat anti terhadap jaringan tubuhnya sendiri yang disebut autoantibodi
(Male, et al, 1991).

Gambar 2. Mekanisme Sistem Imun

Respon imun nonspesifik umumnya merupakan imunitas bawaan (innate


immunity) dalam arti bahwa respon zat asing dapat terjadi walaupun tubuh sebelumnya
tidak pernah terpapar pada zat tersebut, sedangkan respon imun spesifik merupakan
respon didapat (acquired) yang timbul terhadap antigen tertentu, terhadap bagian
tubuh mana yang terpapar sebelumnya. Perbedaan utama terhadap kedua jenis respon
imun itu adalah dalam hal spesifisitas dan pembentukan memory terhadap antigen
tertentu

pada

respon

imun spesifik

yang tidak terdapat

pada respon

imun

nonspesifik. Namun telah dibuktikan pula bahwa kedua jenis respon di atas saling
meningkatkan efektifitas dan bahwa respon imun yang terjadi sebenarnya merupakan
interaksi antara satu komponen dengan komponen lain yang dapat terdapat di dalam
sistem imun. Interaksi tersebut berlangsung bersama-sama sedemikian rupa sehingga
menghasilkan suatu aktifasi biologik yang seirama dan serasi (Roitt IM, 1988).
Sistem imun nonspesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam
menghadapi mikroorganisme, oleh karena itu dapat memberikan respon langsung
terhadap antigen, sedangkan sistem imun spesifik membutuhkan waktu untuk
mengenal

antigen

terlebih dahulu sebelum dapat memberikan responnya

(Baratawidjaja, 2010).
Sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang
dianggap asing bagi

dirinya.

Benda asing

yang

pertama kali terpajan dengan

tubuh segera dikenal oleh sistem imun spesifik. Pajanan tersebut menimbulkan
sensitifitatasi, sehingga antigen yang sama dan masuk tubuh untuk kedua kali
akan dikenal lebih cepat dan kemudian dihancurkan. Oleh karena

itu,

sistem

tersebut disebut spesifik. Untuk menghancurkan benda asing yang berbahaya bagi
tubuh yang bekerja tanpa bantuan sistem imun nonspesifik (Baratawidjaja, 2010).
5

Gambar 3. Mekanisme utama imunitas sistem imun nonspesifik dan


Tabel 1. Perbedaan sifat-sifat sistem imun nonspesifik dan spesifik

B. Sistem Imun Nonspesifik


Menurut Baratawidjaja (2010) Imunitas nonspesifik fisiologik berupa komponen
normal tubuh, selalu ditemukan pada individu sehat dan siap mencegah mikroba masuk
tubuh dan dengan cepat menyingkirkannya. Jumlahnya dapat ditingkatkan oleh infeksi.
Mekanismenya tidak menunjukkan spesifitas terhadap bahan asing dan mampu
melindungi tubuh terhadap banyak pathogen

potensial. Sistim tersebut merupakan

tahanan terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroba dan dapat memberikan
respon langsung.
1. Defenisi Imun Nonspesifik
Imunitas nonspesifik merupakan respon yang cepat dan identik dengan jumlah yang
banyak tetapi stimulasinya terbatas berupa barrier fisik, kimia dan biologi, sel sel khusus
dan molekul larut, terdapat disetiap individu tanpa adanya kontak dengan agen infeksius
sebelumnya dan tidak berubah setelah adanya kontak dengan agen infeksius tersebut. Sel
efektor utama imunitas bawaan adalah makrofag, netrofil dan sel netrofil (Cruvinel, et al ,
2010).
Respon imun bawaan (innate immunity) adalah garis pertahanan pertama yang
melindungi host dari infasi patogen termasuk bakteri yang bisa mengancam kelangsungan
hidup. Respon imun bawaan melalui fagositosis dari leukosit, misalnya netrofil dan
magrofag yang berfungsi menginaktifkan dan membersihkan bakteri serta toksinnya.
Pertahanan lini pertama dalam melawan agen infeksius melibatkan pengerahan dan aktifasi
leukosit ke fokus infeksi, dimana leukosit ini akan melokalisasi, membunuh dan
membersihkan patogen. Bukti menunjukan bahwa pengerahan sel leukosit ke fokus infeksi
di rangsang oleh kemoatraktan spesifik di sebut kemokinase (Matsukawa, et al, 2000).
7

2. Mekanisme Pertahanan Pada Sistem Imun Nonspesifik


a. Pertahanan Lini I terdiri dari :
1) Barier Fisik / Mekanik
Sistem pertahanan fisik atau mekanik ini, kulit, selaput lendir, silia saluran
napas, batuk dan bersin akan mencegah masuknya berbagai kuman patogen
ke dalam tubuh. Kulit yang rusak misalnya oleh luka bakar dan selaput lendir yang
rusak oleh asap rokok akan meninggikan risiko infeksi (Baratawidjaja 2010).
Menurut

Baratawidjaja

(2010), mekanisme imunitas non-spesifik terhadap

bakteri pada tingkat sawar fisik seperti kulit atau permukaan mukosa:
a. Bakteri yang bersifat simbiotik atau komensal yang ditemukan pada kulit
menempati daerah terbatas pada kulit dan menggunakan hanya sedikit
nutrient, sehingga kolonisasi kolonisasi oleh mikroorganisme patogen sulit
terjadi.
b.

Kulit merupakan sawar fisik efektif dan pertumbuhan bakteri dihambat


sehingga agen patogen yang menempel akan dihambat oleh pH rendah dari
asam laktat yang terkandung dalam sebum yang dilepas kelenjar keringat.

c. Sekret dipermukaan mukosa mengandung enzim destruktif seperti lisozim


yang menghancurkan dinding sel bakteri.
d. Saluran napas dilindungi oleh gerakan mukosiliar sehingga lapisan
mukosa secara terus menerus digerakkan menuju arah nasofaring.
e. Bakteri ditangkap oleh mukus sehingga dapat disingkirkan dari saluran
napas.
f. Sekresi mukosa saluran napas dan saluran cerna mengandung peptida
8

antimikrobial yang dapat memusnahkan mikroba pathogen.


g. Mikroba patogen yang berhasil menembus sawar fisik dan masuk ke
jaringan dibawahnya dapat simusnahkan dengan bantuan komplemen dan
dicerna oleh fagosit.

Gambar 4. Mekanisme pertahanan oleh sel epitel


2) Barier Biokimia
Pertahanan biokimiawi adalah seperti asam hidroklorida dalam lambung,
enzim proteolitik dalam usus, serta lisozim dalam keringat, air mata, dan air susu.
Lisozim dalam keringat, ludah, air mata dan air susu ibu, melindungi tubuh
terhadap berbagai kuman postif-Gram oleh karena dapat menghancurkan lapisan
peptidoglikan dinding bakteri. Air susu ibu juga mengandung laktooksidase dan
asam neuraminik yang mempunyai sifat antibakterial
stafilokokus (Baratawidjaja , 2010).

terhafap

E.koli

dan

b. Pertahanan Lini II terdiri dari:


1) Respon Inflamasi
Garis pertahanan pertama organisme untuk kerusakan jaringan adalah respons
inflamasi (peradangan), proses biologis yang kompleks yang melibatkan vaskular
dan komponen selular dan berbagai zat yang larut, selain memiliki karakteristik
tanda klinis, seperti kemerahan, kehangatan, pembengkakan, nyeri, dan gangguan
fungsional. Tujuan dari proses ini adalah untuk menghapus stimulus merangsang
respon dan mulai jaringan lokal recovery. Ketika peradangan berlangsung,
beberapa sistem biokimia, seperti CS dan koagulasi cascades, diaktifkan untuk
membantu pendirian, pengembangan, dan resolusi dari proses. Selain itu, paruh
pendek larut zat yang dilepaskan, yang mengerahkan tindakan mereka dan yang
terdegradasi. Biasanya, penghapusan berhasil memicu rangsangan mengarah pada
resolusi respon akut dan perbaikan jaringan lengkap (Abbas AK, and Lichtman
AH, 2003).
Respons inflamasi akut berkembang dari sebuah tahap yang dimulai oleh
vaskular sel dalam jaringan segera setelah cedera. Pada dasar, hanya sebagian
kecil dari kapiler terdiri dari jaringan permeabel, tetapi setelah cedera, vasodilatasi
lokal dan peningkatan permeabilitas kapiler terjadi ditengahi oleh vasoaktif amina,
histamin dan serotonin yang dilepaskan dari sel mast dan monosit menit setelah
cedera. Pada awalnya, elektrolit dan molekul kecil meninggalkan tempat tidur
kapiler, membentuk transudate. Selanjutnya, molekul yang lebih besar, seperti
albumin dan fibrinogen, juga meninggalkan tempat tidur kapiler, membentuk
eksudat. Protein keluar ke ruang disertai dengan kehilangan air dan marginalisasi
10

leukosit, yang mulai beredar oleh endotelium. Endotelium lokal menjadi


diaktifkan, mengungkapkan permukaan molekul yang mempromosikan kepatuhan
leukosit dan migrasi akhirnya mereka ke jaringan. Beberapa komponen CS, kinins
menghasilkan sistem, dan sistem koagulasi juga meninggalkan ruang ke dan
diaktifkan. Makrofag di jaringan terluka rilis sitokin inflamasi, seperti IL-1, TNF, dan chemokines (Fujiwara and Kobayashi, 2005).
Selectin
Ligand
Selectin

1. BEARING

Endothelium

Receptor
Chemokin
e
Proteoglyc

PECAM-1

2. INTEGRIN
ACTIVATION
4. MIGRATION

LFA-I
ICAM-I
Chemokines
3. STABLE ADHESION

TNF
IL-1

Inflammatory
site

Macrophage

Gambar 5. Mekanisme leukosit dari migrasi ke situs


inflamasi
11

Mast cell

2) Interferon
Interferon adalah sitokin berupa glikoprotein yang diproduksi makrofag yang
diaktifkan, sel NK dan berbagai sel tubuh yang mengandung nukleus dan
dilepas sebagai respons terhadap infeksi virus. IFN mempunya sifat antivirus dan
dapat menginduksi sel-sel sekitar sel yang terinfeksi virus menjadi resisten
terhadap virus. Di samping itu, IFN juga adapat mengaktifkan sel NK. Sel yang
diinfeksi virus atau menjadi ganas akan menunjukkan perubahan pada
permukaannya yang akan dikenal dan dihancurkan sel NK. Dengan demikian
penyebaran virus dapat dicegah (Baratawidjaja, 2010).
3) Fagositosis
Fagosit di mulai dengan adesi antara reseptor permukaan fagosit ke patogen,
kemudian di dalam tubuh fagosit ini akan terbentuk vesikel yang disebut fagosom,
fagosom berubah menjadi lisosom yang di keluarkan secara interniten untuk
mencerna dan mengeliminasi patogen (Heyworth PG, 2003).
Fagositosis, pelapasan mediator inflamasi, aktifasi protein sistem komplemen,
sitokin dan kemokinase merupakan mekanisme utama dari imunitas nonspesifik.
Mekanisme ini di aktifasi oleh stimulasi spesifik berupa struktur molekuler yang
ada pada mikro organisme. Molekul tersebut umumnya di temukan pada permukaan
mikroorganisme seperti lipopolisakarida manose dan asam tekoik disebut juga
pathogen-associatet molecular partterns (PAMPs) dan mengaktifasi respon imun
bawaan melalui interaksi dengan reseptor lain yang dikenal dengan pattrens
recognition receptors (PRR). Interaksi ini mirip dengan interaksi antigen antibodi
atau antigen dan reseptor sel T tetapi dalam imunitas bawaan ini tidak ada
12

keragaman atau kapasitas adaptive untuk membentuk reseptor baru atau mengenali
pola molekul yang baru (Abbas, and Lichtman, 2003).
Tidak seperti imun respon imun bawaan pada aktifasi sel-sel spesifik (limfosit)
dan molekul terlarul yang dihasilkan limfosit tersebut. Proses respon imun yang di
dapat adalah pengenalan secara spesifik dari keragaman, memori, respon spesifik,
self-restraint, dan toleransi terhadap komponen organismenya. Walaupun sel utama
yang terlibat dalam imun yang di dapat adalah limfosit, APC memainkan peran
penting dalam aktifasinya dengan membawa antigen yang berhubungan dengan
molekul major histo Compatibility Compleks ke sel T (Delves PJ, and Roitt D,
2000).

TLR

Peptide receptor for


N-methyl-formylated

Mannose
receptor

Scavenger
receptor

Gambar 6. Konsep patogen terkait molekul pola (PAMPs) dan pola


pengakuan reseptor (PRR). Representasi skematis dari berbagai pola
pengakuan reseptor berlabuh di membran sel dan ligan mereka masing
-masing (PAMPs).
13

Gambar 7. Tahap Fagositosis

Sel sel fagositik terbagi 2 yaitu:


1. Sel Granulosit
a. Eosinofil
Granulosit dan eosinofil yang penting sel-sel yang melawan infeksi, dan
tindakan mereka antiparasitic (helminths) adalah salah satu yang paling kuat
dan efektif. Mereka juga penting dalam reaksi alergi dan asma. Eosinofil
mengembangkan dalam sumsum tulang, menghasilkan dan menyimpan
berbagai proteolitik sekunder butiran sebelum meninggalkan sumsum. Setelah
14

pematangan, mereka beredar melalui aliran darah dalam jumlah kecil dan dapat
ditemukan dalam jumlah besar di daerah mucosal, seperti, pencernaan,
pernapasan dan genitourinari tracts (Abbas AK and Lichtman AH 2003).
Mereka melawan infeksi parasit oleh antibodi tergantung diperantarai sel
cytotoxicity, dengan FcRI reseptor partisipasi. Selama proses ini, mereka
mematuhi patogen yang dilapisi dengan IgE (atau IgA) dan melepaskan isinya
granular setelah FcRI reseptor mengikat IgE terikat target antigen. Setelah
diaktifkan, eosinofil menyebabkan peradangan melalui produksi dan pelepasan
eosinophilic kationik konten granul. Komponen utama dari butiran ini: protein
dasar utama, eosinophil protein kationik, eosinophil berasal membuat manusia,
dan eosinophil peroksidase, yang memiliki cytotoxicity besar potensi parasit,
tetapi juga dapat menyebabkan cedera jaringan. Eosinophil kationik protein dan
membuat manusia adalah ribonucleases dengan sifat antivirus. Dasar protein
utama menyajikan toksisitas parasit, menginduksi proses degranulasi sel mast
dan basofil, dan mengaktifkan sintesis renovasi faktor oleh sel-sel epitel.
Eosinophil protein kationik menciptakan pori-pori di membran sel target,
memungkinkan masuknya molekul-molekul lain sitotoksik; menghambat
proliferasi TL; menekan produksi antibodi oleh LB; menginduksi proses
degranulasi dari sel mast; dan merangsang sekresi glucosaminoglycans oleh
fibroblast (Parkin J and Cohen B, 2001).
Eosinophil peroksidase membentuk ROS dan tidak, mempromosikan stres
oksidatif dalam sel target dan menyebabkan kematian sel oleh apoptosis dan
necrosis. mekanisme efektor lain yang berkontribusi terhadap proses inflamasi
15

termasuk produksi berbagai sitokin, seperti IL-1, IL-2, IL-4, IL-5, IL-6, IL-8,
IL-13, dan TNF- ,dan pelepasan proinflamasi lipid mediator, seperti
leukotrien (LTC4, LTD4, LTE4), dan prostaglandin (PGE2). Elastase enzim
dan faktor pertumbuhan TGF-,faktor pertumbuhan yang berasal dari trombosit
(PDGF), dan faktor pertumbuhan endotel pembuluh (VEGF) memberikan
kontribusi untuk renovasi jaringan (Hogan SP, et al, 2008).
b. Neutrofil
Neutrofil yang leukosit terbanyak dalam darah perifer, dengan peran penting
dalam tahap awal dari reaksi inflamasi dan sensitif terhadap chemotactic agen,
seperti produk-produk pembelahan pecahan pelengkap (C3a dan C5a) dan zat
yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil. Mereka antara sel-sel pertama untuk
bermigrasi dari kapal ke jaringan tertarik oleh chemokines, seperti IL-8, dan
diaktifkan

oleh

berbagai

rangsangan,

seperti

produk-produk

bakteri,

melengkapi protein (C5a), kompleks imun (IC), chemokines, dan sitokin


(Brinkmann V, 2004).
Kapasitas fagositik neutrofil dirangsang dengan mengikat reseptor yang
opsonins, IgG-Fc, C3b dan TLRs. Sel-sel ini juga mengalami proses
degranulasi, merilis tiga kelas butiran dalam lingkungan ekstraseluler:
1. Primer dari azurophilic butiran yang mengandung penting mediator,
seperti myeloperoxidase, defensins, neutrofil elastase, permeabilityincreasing protein, dan bakteri cathepsin G.
2. Butiran sekunder dengan komponen khusus disekresikan oleh neutrofil,
dengan lactoferrin adalah contoh utama.
16

3. Butiran tersier dengan cathepsins dan gelatinases sebagai protein utama.


Studi terbaru menunjukkan bahwa neutrofil juga dapat menghasilkan apa
yang disebut neutrofil ekstraseluler perangkap (NETs) dibentuk oleh zat-zat
granul dan nuklir komponen mampu memanggil off faktor virulensi dan
menghancurkan ekstraseluler bakteri. Jaring hadir dalam jumlah besar di situs
peradangan, bertindak secara langsung pada mikroorganisme dan juga
melayani sebagai penghalang fisik yang mencegah penyebaran (Brinkman ,
2004).
Dalam kondisi normal, neutrofil ada akan dihapus dari sirkulasi dan
meradang jaringan oleh apoptosis. Gangguan di apoptosis sel-sel ini telah
dikaitkan dengan beberapa kondisi autoimun, terutama SLE, karena beredar
apoptosis puing-puing yang mengandung bahan nuklir bisa menyebabkan
induksi berbagai macam autoantibodi (Brinkmann, 2004).
c. Basofil
Basofil adalah granulosit berasal dari leluhur di sumsum tulang, mana
mereka berumur dan membuat kurang dari 1% leukosit darah perifer. Meskipun
tidak biasanya hadir di jaringan, mereka bisa direkrut untuk situs peradangan,
bersama dengan eosinofil. Butiran ditemukan di basofil memiliki mediator
mirip dengan sel mast. Basofil juga Check FcRI, mengikat IgE, dan diaktifkan
oleh

IgE

antigen

kompleks

dan

dapat

berkontribusi

hipersensitivitas reactions (Parkin and Cohen, 2001).

17

untuk

segera

d. Sel Dendritik
Sel dendritik, khusus dalam menangkap dan menyajikan antigen ke limfosit,
dianggap sebagai jembatan antara imunitas bawaan dan adaptif karena mereka
ditarik dan diaktifkan oleh unsur-unsur respon bawaan dan izin TL
sensibilization respon imun adaptif. Sel dendritik berada pada jaringan perifer,
seperti kulit, hati, dan usus, di mana mereka menangkap antigen dan menjadi
aktif dan bermigrasi ke kelenjar getah bening regional, di mana mereka
memproses dan menyajikan antigen protein atau lipid ke TLS. sel denritik
belum matang sangat efisien dalam menangkap antigen, sedangkan sel denritik
matang sangat efisien dalam menyajikan antigen. Antigen yang diambil akan
diproses dalam sel dan disajikan pada permukaannya, terikat pada molekul
MHC. Umumnya, antigen protein disajikan oleh molekul klasik MHCs (kelas I
dan II) yang merangsang LT. Antigen lipid disajikan oleh molekul nonklasik MHCs sebagai CD1 dan merangsang terutama LT dan NK /T
(Banchereau, et al, 2000).

Self-renewable stem cell

T lymphocyte
B lymphocyte

Pluripotent stem cell


Myeloid
progenitor

Lymphoid
progenitor
NK cell

Colony forming units

Dendritic cell

Erythrocytes

Erythrocy
tesrenew

Basophils
renewabl

Eosinophils
renewable

Neutrophil
srenewabl

Gambar 8. beberapa sumber sel dari sistem kekebalan


tubuh
18

Monocytes
renewable

Macrop
hagese

Selama masa hidup mereka, dewasa DCS bermigrasi dari sumsum tulang ke
dalam aliran darah, mencapai perifer, jaringan seperti kulit di mana mereka
menjadi warga ( langerhans sel ). Penasaran aspek adalah bahwa dcs adalah
yang pertama sel dapat tiba di suatu situs infeksi, sebelum neutrofil. Setelah
kontak dengan antigen, dcs menjadi diaktifkan dan bermigrasi melalui
pembuluh getah bening sampai sekunder limfoid organ. Mereka bisa menerima
sinyal dari dewasa NK, NK / T, dan TL sel, dan proinflammatory molekul
seperti sitokin, prostaglandin, interferons, dan pamps. Antigen di DCS
mempertahankan organ limfoid untuk waktu yang, yang dapat berkontribusi ke
memory. (Banchereau J, et al, 2000).
Immature DC
A
Phagocytosis / Endocytosis, Inflammatory chemokines sensitivity
Antigen processing, MHC II and co-stimulatory molecules
TL stimulation CCR1, CCR5, CCR6 and RPRs

iDCs activation by proinflammatory


cytokines and bacterial products.
Pathogen recognition via pattern
recognition receptors (RPRs)

C
Phagocytosis / Endocytosis
Inflammatory chemokines sensitivity
Antigen processing
MHC II and co-stimulatory
molecules
TL stimulation CCR7

Afferent
Lymphatic

Vein
Artery

Effector T cells

Efferent lymphatic

Cytokines

Gambar 9. sel dendritik dan generasi TLs antigen spesifik. (A) karakteristik sel
dendritik belum matang (iDCs). (B) aktivasi dan penyerapan patogen melalui
sitokin mikro dan interaksi dengan pola pengakuan reseptor, dengan konsekuen
migrasi DCs ke kelenjar getah bening. (C) pematangan sel dendritik. (D) migrasi
sel naif T ke wilayah paracortical kelenjar getah bening. Entri melalui tinggi
endotel terjadi pada venula (HEV) dan Kemokin-driven migrasi jaringan limfoid.
(E) presentasi dari olahan antigen untuk limfosit T, menghasilkan diaktifkan

efektor sel.
19

Ada dua jalur DCs diferensiasi dari jalur myeloid menghasilkan myeloid
DCs (mDCs), di antara yang ada sel Langerhans, DCs utama di kulit dan DCs
interstisial yang ditemukan di jaringan lain. Jalur lain diferensiasi
menghasilkan DCs plasmacytoid (pDCs), yang mendominasi di darah perifer
dan mengeluarkan sejumlah besar tipe I interferon (IFN--/) di hadapan infeksi
virus. PDCs memiliki reseptor mampu menanggapi RNA (TLRs 7 dan 8) dan
DNA (TLR9), sedangkan mDCs preferentially Check reseptor permukaan
untuk PAMPs, seperti peptidoglikan (TLR2) dan lipopolysaccharide (TLR4)
(Shortman, and Liu, 2002).
DCs sangat penting untuk menentukan aktivasi dan jenis imunitas
diperantarai oleh TLs. Secara umum, belum matang DCs adalah tolerogenic,
sementara matang DCs immunostimulatory. Namun, dalam beberapa konteks,
DCs matang dapat memperluas populasi TLs regulator. Induksi toleransi atau
respon imun tergantung pada serangkaian sinyal yang diterima oleh DCs,
seperti aktivasi TLRs dan sitokin hadir dalam environment.10 DCs dapat
mengkoordinasikan LBs respon melalui aktivasi TL atau langsung oleh zat-zat
yang larut air seperti INF (Banchereau, et al, 2000).
e. Natural Killer Cells (NK)
Natural Killer Cells (NK) berasal dari sumsum tulang, umum untuk TLs,
merupakan 5% sampai 20% perlengketan sel darah. Mereka adalah baris
pertahanan spesifik, mengenali dan ekstrasi sel-sel yang terinfeksi oleh virus,
bakteri dan protozoa, serta sel-sel tumor yang penting. Selain itu, mereka

20

merekrut neutrofil dan makrofag, sehingga di aktifkan DCs dan limfosit T dan
B (Cerwenka and Lanier, 2001).
Perluasan dan aktivasi Sudarsono dirangsang oleh IL-15, diproduksi oleh
makrofag, dan IL-12, ampuh inducer IFN- dan cytolytic tindakan. Setelah
diaktifkan, Sudarsono melisiskan sel-sel yang terinfeksi dan tumoral dan
mengeluarkan sitokin pro-inflamasi (IL-1, IL-2, dan terutama IFN-)
(Cerwenka and Lanier, 2001).
Sitolisis yang dimediasi oleh Sudarsono terjadi melalui tindakan perforins
enzim, yang membuat pori-pori di membran sel target, dan granzymes, yang
menembus ke dalam sel dan memicu kematian sel oleh apoptosis. Sel NK
memiliki reseptor aktivasi dan inhibisi, dan keseimbangan antara sinyal yang
dihasilkan oleh reseptor ini menentukan NK aktivasi. Satu kelas reseptor milik
antibodi superfamili (KIR), sementara yang lain milik keluarga sel Normal
tipe-C dengan MHC kelas saya ekspresi B Non-diaktifkan NK sel aktivasi
reseptor lectins. Pada manusia, ada 14 KIRs, delapan aktivator dan enam
inhibitor. Reseptor penghambatan mengenali diri MHC kelas I molekul,
mengungkapkan pada permukaan semua sel yang berinti. Secara umum, ada
dominasi penghambatan reseptor, inhibisi reseptor ligan mencegah lysis dari
host sel normal yang mengungkapkan MHC kelas I. terinfeksi sel, terutama
oleh virus, dan sel-sel tumor sering memiliki ekspresi rendah MHC kelas saya
protein, menjadi angka 4 Cell tanpa MHC kelas saya ekspresi (sel terinfeksi
Virus) sel NK aktivasi produk mematikan rilis dan target Lisis sel rentan
terhadap tindakan NK (Gambar 4) (Yokoyama, 2004).
21

Kapasitas tumoricidal NK meningkat oleh sitokin, seperti interferon dan


interleukins (IL-2 dan IL-12). Tindakan efektor lain dari NK adalah
penghancuran sel-sel yang dilapisi dengan IgG, melalui reseptor Fc (FcRIII or
CD16) dengan mekanisme antibodi (Cerwenka and Lanier, 2001).

Activation receptor
Inhibition receptor

Non-activated
NK cell

Ligand I
MHC I

Normal cell with MHC class I expression

Activation receptor
Ligand

Inhibition receptor

Cell without MHC class I expression


(Virus infected cell)
NK cell activation

Non-activated
NK cell

Lethal products release


and target cell lysis

Gambar 10. fungsi reseptor aktivasi (ITAM) dan inhibisi (ITIM) dalam
Fisiologi sel NK. (A) interaksi sel NK dengan sel tubuh normal
mengungkapkan MHC kelas I, dengan konsekuen inhibisi NK sitolisis
tergantung induksi. (B) interaksi NK sel dengan sel terinfeksi virus, dengan
konsekuen MHC kelas saya kehilangan ekspresi, yang mengakibatkan
pengaktifan sel NK dengan seiring rilis produk mematikan.
f. Sel Mast
Sel Mast berasal dari leluhur hematopoietik CD34+ di sumsum tulang dan,
secara umum, tidak ditemukan dalam sirkulasi. Dari sumsum tulang, kemudian
bermigrasi ke jaringan tepi sebagai sel belum matang dan membedakan di situ
22

sesuai dengan karakteristik tertentu microenvironment (Kitamura,et al, 1987,


and Kanakura, 1987).
Sel dewasa yang didistribusikan secara strategis sepanjang pembuluh darah,
saraf, dan di bawah epitel kulit dan selaput lendir; mereka sangat berlimpah di
bidang lingkungan kontak dan bermain peran kunci dalam sel Mast reactions.
Sel Mast memiliki reseptor permukaan afinitas tinggi, FcRI, terikat untuk IgE
molekul dan diaktifkan oleh multivalent antigen pengakuan oleh IgE.
Rangsangan seperti produk-produk pelengkap aktivasi, bahan dasar, termasuk
beberapa hewan, neuropeptides tertentu dan beberapa agen fisik (trauma
mekanis, panas dan dingin) dapat mengaktifkan sel mast independen IgE
mengikat. Pengikatan bakteri komponen TLRs 1, 2, 4 dan 6, dan lain khusus
reseptor seperti CD48, juga mengaktifkan sel mast, mengarah ke rilis mediator
(Soter and NA, 1983).
Contoh klasik sel mast keterlibatan dalam proses inflamasi adalah reaksi di
mana mereka, bersama dengan basophil setara, yang beredar, kontak dengan
alergen memicu sejenis saya reaksi hipersensitivitas melalui FcRI aktivasi.
Setelah rangsangan, proses degranulasi dan pelepasan preformed mediator
terjadi, diikuti oleh pelepasan mediator baru dibentuk. Mediator preformed
termasuk vasoaktif amina, protease, heparin, IL-4, TNF-, dan GMCSF
(Granulocyte-Macrophage Colony-Stimulating Factor). Pengaktifan berikut
dibentuk mediator termasuk trombosit mengaktifkan faktor (PAF), arachidonic
acid derivatif, dan serangkaian cytokines (Abbas, and Lichtman, 2003).

23

Pelepasan mediator ini mendorong migrasi sel inflamasi (neutrofil dan


makrofag), peningkatan permeabilitas vaskuler, sekresi mucus, peningkatan
motilitas, dan bronkokonstriksi, yang merupakan tanda dan gejala alergi dan
anaphylaxis (Metcalfe, and DD, 2008).
Urtikaria idiopatik kronis terutama disebabkan oleh proses degranulasi dari
sel mast, dan dalam 25% sampai 50% kasus autoantibodi diarahkan terhadap
FcRI reseptor ditemukan dan, kurang sering, melawan IgE itu sendiri.
Autoantibodi menyebabkan pelepasan histamin dan ciri urtikaria autoimun
kronis, dengan fitur klinis dan histologis yang mirip dengan yang ditemukan
dalam tahap akhir reaction (Abbas, and Lichtman, 2003).
Ada

bukti

eksperimental

sel

mast

keterlibatan

dalam

penyakit

kardiovaskular, neoplastic penyakit, infeksi bakteri dan parasit, penyakit


fibrosis, dan autoimun diseases (Kalesnikoff, and Galli, 2008). Beberapa kajian
histologis telah melaporkan kehadiran sel mast dalam synovium manusia
normal dan perluasan populasi ini dalam rheumatoid arthritis, asam urat,
Osteoartritis, antara others (Nigrovic, and Lee, 2007).
Efektor fungsi sel mast dalam synovia menyarankan keterlibatan mereka
dalam leukosit perekrutan, pengaktifan fibroblas dan hiperplasia, angiogenesis,
dan kerusakan tulang rawan dan bone (Nigrovic, and Lee, 2005). Mereka juga
berpartisipasi dalam kehancuran bersama dengan merangsang fibroblas dan
kondrosit untuk mengeluarkan membentuk matriks logamprotein dan
mempromosikan diferensiasi osteoclast. Pada kenyataannya, keterlibatan sel
mast dengan aktivitas chemotactic telah dilaporkan di berbagai kondisi klinis
24

autoimun, termasuk rheumatoid arthritis, Sindrom, sklerosis sistemik, penyakit


autoimun tiroid, kronis urtikaria, pemphigus, dan aterosklerosis (Sayed, 2008).
2. Sel Agranulosit
Monosit dan Makrofag
Monosit merupakan 3-8% leukosit yang beredar dan, dalam parenchyma organ
atau jaringan ikat, menimbulkan myeloid sel dendritik dan makrofag. Monosit dan
makrofag yang phagocytes efisien, ravished patogen dan puing-puing selular. Tidak
seperti neutrofil, makrofag dapat tetap dalam jaringan selama berbulan-bulan ke
tahun, bertindak sebagai benar tinggi. Selain memiliki peran dalam kekebalan
bawaan, proses makrofag dan hadir antigen melalui MHC molekul, dengan
demikian merangsang respon dimediasi oleh TL (Abbas, and Lichtman, 2003).
Baru-baru ini, keberadaan dari tiga subpopulasi dari makrofaga adalah yang
diusulkan: diaktifkan, perbaikan, jaringan dan regulator yang makrofag. Yang
pertama akan menjadi korban makrofaga klasik dengan tumoricidal dan
microbicidal aktivitas, yang mensek jumlah besar dari proinflammatory mediator
dan sitokin, hadir antigen untuk tls, dan yang terlibat dalam respon imun selular.
Kedua jenis, diaktifkan oleh IL-4, akan menjadi terutama yang terlibat dalam
jaringan memperbaiki oleh fibroblasts merangsang dan mempromosikan matriks
ekstraseluler deposisi.Ketiga jenis akan mengerahkan aktivitas regulasi melalui
melepaskan dari IL-10, sebuah cytokine anti-inflamasi (Mosser, and Edwards,
2008).
Peradangan pada makrofag bertindak sebagai APC, potentiating aktivasi TL dan
LB oleh ekspresi coestimulatory molekul, dan melepaskan Sitokin Proinflamasi,
25

seperti IL-1, IL-6, IL-12, TNF-, dan chemokines. Mereka juga menghasilkan
spesies oksigen reaktif (ROS), seperti anion superoksida, hidroksil radikal,
hidrogen peroksida (H2O2), dan nitrogen reaktif intermediat oksida nitrat (NO)
adalah perwakilan yang utama dimana tidak diproduksi oleh diinduksi sintase
nitrogen monoksida, iNOS, absen beristirahat makrofag, tetapi disebabkan oleh
TLRs aktivasi dalam menanggapi PAMPs, terutama bila bersama INF- (Abbas,
and Lichtman, 2003).
4) Komplemen
Sistem komplemen tersusun lebih dari 20 protein plasma. Sistem ini
mempunyai fungsi antimikroba non-spesifik dan merupakan sistem aplikasi yang
efektif untuk memperkuat mekanisme pertahanan non-spesifik dan spesifik
(Wahab dan Julia, 2002). Berbagai bahan seperti antigen dan kompleks
imun dapat mengaktivsi komplemen sehingga menghasilkan berbagai mediator
yang mempunyai sifat biologi yang aktif, yang menyebabkan lisis bakteri atau
sel, memproduksi mediator pro-inflamasi yang dapat memperkuat proses dan
solubilisasi kompleks antigen-antibodi. Komplemen memiliki 3 jalur, yaitu jalur
klasik, alternatif dan membrane attack pathway (Abbas and Lichtman, 2003).

Gambar 11. Jalur Aktivasi Komplemen


26

C. Sistem Imun Spesifik


1. Defenisi Imun Spesifik
Walaupun

pada hakekatnya

respon

imun

spesifik

merupakan

antara berbagai komponen dalam sistem imun secara bersama-sama,

interaksi

respon imun

spesifik dibagi dalam tiga golongan, yaitu respon imun seluler, respon imun humoral dan
interaksi antara respon imun seluler dan humoral (Kresno, 1996).
Imunitas spesifik hanya ditujukan terhadap antigen tertentu yaitu antigen
yangmerupakan ligannya. Di samping itu, respons imun spesifik juga menimbulkan
memoriimunologis yang akan cepat bereaksi bila host terpajan lagi dengan antigen yang
sama dikemudian hari. Pada imunitas didapat, akan terbentuk antibodi dan limfosit
efektor yang spesifik terhadap antigen yang merangsangnya, sehingga terjadi eliminasi
antigen. Sel yang berperandalam imunitas didapat ini adalah sel yang mempresentasikan
antigen (APC = antigen presentingcell = makrofag) sel limfosit T dan sel limfosit B. Sel
limfosit T dan limfosit B masing-masing berperan pada imunitas selular dan imunitas
humoral. Sel limfosit T akan meregulasi respons imun dan melisis sel target yang dihuni
antigen. Sel limfosit B akan berdiferensiasi menjadi selplasma dan memproduksi antibodi
yang akan menetralkan atau meningkatkan fagositosis antigendan lisis antigen oleh
komplemen, serta meningkatkan sitotoksisitas sel yang mengandungantigen yang
dinamakan proses antibody dependent cell mediated cytotoxicy (ADCC).
Sel-sel leukosit lain yang memegang peran penting dalam respon imun
spesifik adalah limfosit, bahkan limfosit merupakan inti dalam proses respon imun
spesifik karena sel-sel ini dapat mengenal setiap jenis antigen, baik antigen yang
terdapat dalam intraseluler maupun ekstraseluler misalnya dalam cairan tubuh atau
27

dalam darah. Antigen dapat berupa molekul yang berada pada permukaan unsure
patogen atau dapat juga merupakan toksin yang diproduksi

oleh

pathogen

bersangkutan. Sebenarnya ada beberapa subpopulasi limfosit tetapi secara garis


besar limfosit digolongkan

dalam dua populasi yaitu limfosit T yang berfungsi

dalam respon imun seluler dan limfosit B yang berfungsi dalam respon imun humoral
(Male, et al, 1991).
2. Mekanisme Pertahanan Pada Sistem Imun Nonspesifik
a. Pertahanan Lini III terdiri dari :
1) Limfosit T Respon Imun Seluler
Banyak mikroorganisme yang hidup dan berkembang biak secara intra
seluler, antara lain dalam makrofag sehingga sulit dijangkau oleh
antibody. Untuk melawan mikroorganisme intraseluler itu diperlukan
respon imun seluler yang merupakan fungsi limfosit T. Sub populasi sel T
yang disebut sel T penolong (T-helper) akan mengenali
atau antigen

bersangkutan

melalui

mikroorganisme

MHC (major histocompatibility

complex) kelas II yang terdapat pada permukaan sel makrofag. Sinyal ini
menginduksi limfosit untuk memproduksi berbagai jenis limfokin, termasuk
diantaranya interferon, yang dapat membantu makrofag menghancurkan
mikroorganisme tersebut. Subpopulasi limfosit T lain yang disebit Tsitotoksis juga berfungsi menghancurkan mikroorganisme intrasel yang
disajikan melalui MHC kelas I secara langsung (cell to cell). Selain itu
menghancurkan mikroorganisme secara langsung melalui ciuman maut,
sel T- sitotoksik

(T-cytotoxic)
28

juga

menghasilkan

gamma-interferon

yang mencegah penyebaran mikroorganisme ke dalam sel lain (Kresno,


1996).
Terdapat 3 jenis Limfosit T yaitu:
1. Limfosit T pembantu (Helper T Cells), berfungsi mengantur sistem imun
dan mengontrolkualitas sistem imun.
2. Limfosit T pembunuh(Killer T Cells) atau Limfosit T Sitotoksik,
menyerang sel tubuhyang terinfeksi oleh patogen.
3. Limfosit T surpressor (Surpressor T Cells), berfungsi menurunkan dan
menghentikan respon imun jika infeksi berhasil diatasi munitas selular
(Hazlansyah, 2012).

Gambar 12. Aktivasi helper T-cell.

29

Gambar 13. Aktivasi cytotoxic T-cells.


2) Limfosit B Respon Imun Humoral
Respon imun humoral dilaksanakan oleh sel B dan produknya yaitu antibodi,
dan berfungsi dalam pertahanan terhadap mikroba ekstraseluler. Respon ini
diawali dengan diferensiasi limfosit B menjadi satu populasi (klon) sel
plasma yang memproduksi dan melepaskan antibodi spesifik ke dalam darah.
Pada respon humoral juga berlaku repon primer yangyang membentuk klon B
memory. Setiap klon limfosit diprogramkan untuk memproduksi satu jenis
antibodi spesifik terhadap antigen tertentu (clonal selection). Atibodi ini
berikatan dengan antigen membentuk kompleks antigen antibodi yang dapat
30

mengaktivasi komplemen dan mengakibatkan hancurnya antigen tersebut.


Supaya limfosit B berdiferesiasi dan membentuk antibodi diperlukan bantuan
limfosit TH yang atas sinyal yang diberikan oleh magrofag, merangsang sel B
untuk memproduksi antibodi. Selalu oleh sel Th, produksi antibodi juga di
ataur oleh sel T-supresor, demikian rupa sehingga produksi antibodi seimbang
dan sesuai dengan yang dibutuhkan (Kresno, 1996).
Terdapat 3 jenis sel Limfosit B yaitu :
1. Limfosit B plasma, memproduksi antibodi.
2. Limfosit B pembelah, menghasilkan Limfosit B dalam jumlah banyak
dan cepat.
3. Limfosit B memori, menyimpan mengingat antigen yang pernah masuk
ke dalam tubuh.
Tugas sel B akan dilaksanakan oleh imunoglobulin yang disekresi oleh sel
plasma. Terdapat lima kelas imunoglobulin yang kita kenal, yaitu IgM,
IgG,IgA, IgD, dan IgE. Limfosit B juga berasal dari sel pluripotensial yang
perkembangannya pada mamaliadipengaruhi oleh lingkungan bursa fabricius
dan pada manusia oleh lingkungan hati, sumsumtulang dan lingkungan yang
dinamakan gut-associated lymphoid tissue (GALT). Dalamperkembangan ini
terjadi penataan kembali gen yang produknya merupakan reseptor antigenpada
permukaan

membran.

Pada

sel

ini

reseptor

antigen

merupakan

imunoglobulin permukaan (surface immunoglobulin) (Hazlansyah, 2012).


Pada mulanya imunoglobulin permukaan ini adalah kelas IgM, dan pada
perkembangan selanjutnya sel B juga memperlihatkan IgG, IgA dan IgD pada
31

membrannya dengan bagian F (ab) yang serupa. Perkembangan ini tidak perlu
rangsangan antigen hinggasemua sel B matur mempunyai reseptor antigen
tertentu.Antigen akan berikatan dengan imunoglobulin permukaan sel B dan
dengan bantuan sel Th (bagi antigen TD) akan terjadi aktivasi enzim dalam sel
B sedemikian rupa hingga terjadilahtransformasi blast, proliferasi, dan
diferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi dan membentuk sel B
memori (Hazlansyah, 2012).
Selain itu, antigen TI dapat secara langsung mengaktivasi sel B tanpabantuan
sel Th. Antibodi yang disekresi dapat menetralkan antigen sehingga
infektivitasnya hilang, atau berikatan dengan antigen sehingga lebih mudah
difagosit oleh makrofag dalam proses yang dinamakan opsonisasi. Kadang
fagositosis dapat pula dibantu dengan melibatkan komplemenyang akan
berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga adhesi kompleks antigenantibodi padasel makrofag lebih erat, dan terjadi endositosis serta
penghancuran antigen oleh makrofag (Hazlansyah, 2012).
Adhesi kompleks antigen-antibodi komplemen dapat lebih erat karena
makrofag selainmempunyai reseptor Fc juga mempunyai reseptor C3B yang
merupakan hasil aktivasi komplemen (Hazlansyah, 2012).
Selain itu, ikatan antibodi dengan antigen juga mempermudah lisis oleh sel Tc
yang mempunyai reseptor Fc pada permukaannya. Peristiwa ini disebut
antibody-dependent cellularmediated cytotoxicity (ADCC). Lisis antigen dapat
pula terjadi karena aktivasi komplemen.Komplemen berikatan dengan bagian

32

Fc antibodi sehingga terjadi aktivasi komplemen yangmenyebabkan terjadinya


lisis antigen (Hazlansyah, 2012).
Hasil akhir aktivasi sel B adalah eliminasi antigen dan pembentukan sel
memori yangkelak bila terpapar lagi dengan antigen serupa akan cepat
berproliferasi dan berdiferensiasi. Halinilah yang diharapkan pada imunisasi.
Walaupun sel plasma yang terbentuk tidak berumurpanjang, kadar antibodi
spesifik yang cukup tinggi mencapai kadar protektif dan berlangsungdalam
waktu cukup lama dapat diperoleh dengan vaksinasi tertentu atau infeksi
alamiah. Hal inidisebabkan karena adanya antigen yang tersimpan dalam sel
dendrit dalam kelenjar limfe yangakan dipresentasikan pada sel memori
sewaktu-waktu di kemudian hari (Hazlansyah, 2012).
D. Respon Imunologik Terhadap Bakteri Anaerob Dan Jalur Komplemen Yang
Berperan
Komplemen merupakan salah satu enzim serum yang berfungsi dalam inflamasi,
opsonisasi

partikel

antigen dan menimbulkan

kerusakan

membrane pathogen.

Komplemen juga molekul dari sistem nonspesifik larut dalam keadaan tidak aktif,
tetapi setiap waktu dapat diaktifkan oleh berbagai bahan seperti antigen, komplek
imun

dan

sebagainya.

Hasil

aktivasi

akan

menghasilkan

berbagai

mediator

yang mempunyai sifat biologik aktif dan beberapa diantaranya merupakan enzim
untuk reaksi berikutnya. Beberapa diantaranya berupa enzim, lainnya berupa protein
pengontrol dan beberapa lagi tidak mempunyai aktivasi enzim. Hal itu sebagai usaha
tubuh untuk menghancurkan antigen asing. Jalur aktivasi komplemen tersebut sering
pula disertai kerusakan jaringan sehingga merugikan tubuh sendiri (Baratawidjaja,
33

2010).

34

Gambar 14. Sistem Komplemen.

1. Aktivasi Komplemen Secara Umum


Sistem komplemen dapat diaktifkan melalui dua jalur, yaitu jalur klasik
dan jalur alternatif. Aktivasi tersebut terjadi secara beruntun, berarti bahwa produk
yang timbul pada satu reaksi akan merupakan enzim untuk reaksi berikutnya.
a. Aktivasi jalur klasik dimulai dengan C1, sedangkan aktivasi jalur alternative
dimulai dengan C3.
b. Aktivasi jalur klasik diaktifkan oleh kompleks imun/antigen/antibody sedang
jalur alternatif tidak (Baratawidjaja, 2010).

35

2. Aktivasi Komplemen Melalui Jalur Alternatif


Jalur alternative terjadi tanpa melalui tiga reaksi pertama yang terdapat pada
jalur klasik (C1, C4 dan C2). Jalur alternatif sebenarnyaterjadi terus menerus dalam
derajat klinis yang tidak berarti.
Kompleks imun (IgG dan IgM), agregat antibodi (IgG1, IgG2, IgG3),
lipid A dari endotoxin, protease, Kristal urat, polinukleotida, membrane virus
tertentu dan CRP dapat mengaktifkan komplemen melalui jalur klasik. Bakteri
(endotoksin), jamur, virus, parasit, kontras (pada pemeriksaan radiologis), zimosan,
agregat IgA (IgA1, IgA2) dan IgG4, dan faktor nefritik
komplemen

dapat

mengaktifkan

melalui jalur alternatif. Protein tertentu dan lipopolisakarida dapat

mengaktifkan komplemen melalui kedua jalur.

Gambar 15. Hubungan antara aktivasi komplemen melalui jalur klasik dan alternatif.
36

BAB III
PENUTUP
A.

Kesimpulan
Sistem

imun

adalah

semua

mekanisme

yang

digunakan badan untuk

mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya yang dapat


ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup.
Bila sistem imun terpapar pada zat yang dianggap asing, maka ada dua jenis respon
imun yang mungkin terjadi, yaitu respon imun nonspesifik dan respon imun spesifik.
Respon imun nonspesifik umumnya merupakan imunitas bawaan (innate immunity)
dalam arti bahwa respon zat asing dapat terjadi walaupun tubuh sebelumnya tidak pernah
terpapar pada zat tersebut, sedangkan respon imun spesifik merupakan respon didapat
(acquired) yang timbul terhadap antigen tertentu, terhadap bagian tubuh mana
yang terpapar sebelumnya. Perbedaan utama terhadap kedua jenis respon imun itu
adalah dalam hal spesifisitas dan pembentukan memory terhadap antigen tertentu
pada respon imun spesifik yang tidak terdapat pada respon imun nonspesifik.
Namun

telah dibuktikan

pula bahwa kedua jenis respon di atas saling

meningkatkan efektifitas dan bahwa respon imun yang terjadi sebenarnya merupakan
interaksi antara satu komponen dengan komponen lain yang dapat terdapat di dalam
sistem imun. Interaksi tersebut berlangsung bersama-sama sedemikian rupa sehingga
menghasilkan suatu aktifasi biologik yang seirama dan serasi. Fungsi utama sistem
imun spesifik seluler ialah untuk pertahanan terhadap bakteri yang hidup intraseluler,
virus, jamur, parasit dan keganasan.
Jalur komplemen merupakan jalur yang berperan dalam respon imunologik
37

terhadap bakteri anaerob. Aktivasi jalur alternatif ini dimulai dari C3 tanpa melalui C1,
C4 dan C2. Kompleks imun (IgG dan IgM), agregat antibodi (IgG1, IgG2, IgG3),
lipid A dari endotoxin, protease, Kristal urat, polinukleotida, membrane virus tertentu
dan CRP dapat mengaktifkan komplemen melalui jalur klasik.
B.

Saran
Diharapkan dapat lebih mengetahui sistem imun pada tubuh, yaitu sistem imun

non-spesifik maupun sistem imun spesifik, mekanisme kerja masing-masing sistem imun
serta interaksi antar kedua sistem imun tersebut.

38

DAFTAR PUSTAKA
Abbas AK, Lichtman AH. 2003. Cellular and Molecular Immunology. 6th ed. Saunders
Banchereau J, Briere F, Caux C, Davoust J, Lebecque S, Liu Y et al. 2000.
Immunobiology of dendritic cells. Annu Rev Immunol.
Banchereau J, Briere F, Caux C, Davoust J, Lebecque S, Liu Y et al. 2000.
Immunobiology of dendritic cells. Annu Rev Immunol.
Baratawidjaja, Karnen Garna. 2010. Imunologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Dasar.

Jakarta: Balai

Penerbit

Brinkmann V, Reichard U, Goosmann C, Fauler B, Uhlemann Y, Weiss DS et al. 2004.


Neutrophil extracellular traps kill bacteria. Science.
Cerwenka A, Lanier LL. 2001. Natural Killer Cells, Viruses And Cancer. Nat Rev
Immunol.
Delves PJ, Roitt D. 2000. The Immune System. First of two parts. N Engl J Med.
Fujiwara N, Kobayashi K. 2005. Macrophages in inflammation. Curr Drug Targets Inflamm
Allergy.
Hazlansyah,
M,
2012.
Sistem
Imun
Spesifik.
http://www.scribd.com/doc/92203513/SISTEM-IMUN-SPESIFIK. Diakses tanggal 19
juni 2014.
Heyworth PG, Cross AR, 2003. Curnutte JT. Chronic granulomatous disease. Curr
Opin Immunol
Hogan SP, Rosenberg HF, Moqbel R, Phipps S, Foster PS, Lacy P et al. 2008.
Eosinophils: biological properties and role in health and disease. Clin Exp Allergy.
Kalesnikoff J, Galli SJ. 2003. New developments in mast cell biology. Nat Immunol.
Kitamura Y, Kanakura Y, Fujita J, Nakano T. 1987. Differenciation and
transdifferenciation of mast cells: a unique member of the hemapoietic cell family. Int
J Cell Cloning.
Kitamura Y, Kanakura Y, Sonoda S, Asai H, Nakano T. 1987. Mutual phenotypic
changes between connective tissue type and mucosal mast cell. Int Arch Allergy Appl
Immunol.
39

Kresno, Siti Boedina. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta:


Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Male D, Champion B, Cooke A, Owen M. 1991. The Immune System. In Advanced
Immunology. 2nd ed. New York; Gover Med Publ.
Matsukawa A, Cory M. Hogaboam, Nickolas W. Lukacs, Pamela M. Lincoln, Holly L. et
al, 2000. Pivotal Role of the CC Chemokine, Macrophage-Derived Chemokine, in the
Innate Immune Response.
Metcalfe DD. 2008. Mast cells and mastocytosis Blood.
Mosser DM, Edwards JP. 2008. Exploring the full spectrum of macrophage activation. Nat
Rev Immunol.
Nigrovic PA, Lee DM. 2005. Review: mast cells in inflamatory arthritis. Arthritis Res
There
Nigrovic PA, Lee DM. 2007. Synovial mast cells: role in acute and chronic arthritis.
Immunol Rev
Parkin J, Cohen B. 2001. An overview of the immune system. Lancet
Roitt IM. The Basis of Immunology II. 1988. Specific acquired immunity. In:
th
Essential Immunology 6 ed. Oxford, Blackwell Scientific Publication.
Roitt IM, Brostoff J, Male J. 1993. Immunology. 3rd ed. St Louis Mosby Co.
Roeslan, 2 0 0 0 . Imunologi Oral. http://www.scribd.com/doc/92203513/SISTEM-IMUNSPESIFIK. Diakses tanggal 19 juni 2014.
Sayed BA, Christy A, Quirion MR, Brown MA. 2008. The Master Switch: the role of mast
cells in autoimmunity and tolerance. Annu Rev Immunol
Shortman K, Liu YJ. 2002. Mouse and human dendritic cells subtypes. Nat Rev
Immunol.
Soter NA. 1983. Mast cell in cutaneous inflammatory disorders. J Invest. Dermatol; 80:
Suppl.
Wilson de Melo Cruvinel, Danilo Mesquita Jnior, Jlio Antnio Pereira Arajo, Tnia
Tieko Takao Catelan, Alexandre Wagner Silva de Souza, et al. 2010. Immune system:
Fundamentals of innate immunity with emphasis on molecular and cellular mechanisms of
inflammatory response.

40

NON SPESIFIK DAN IMUN SPESIFIK

OLEH :
JUNAIDA RAHMI
BP. 1320332016

Dosen Pembimbing :
Prof. Dr. dr. Eryati Darwin, PA (K)

PROGRAM PASCASARJANA ILMU KEBIDANAN

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2014

41

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji penulis panjtkan kepada Allah SWT, atas limpahan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah konsep kebidanan dengan judul Imun Nonspesifik
dan spesifik. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada makalah Imunologi Dasar yang
diampu oleh ibu Prof. Dr. dr. Eryati Darwin, PA (K) , program pascasarjana ilmu kebidanan
Universitas Andalas Padang.

Dalam makalah ini dibahas tentang sistem imun pada tubuh, yaitu sistem imun
non-spesifik maupun sistem imun spesifik, mekanisme kerja masing-masing sistem imun
serta interaksi antar kedua sistem imun tersebut. Kami berharap makalah ini dapat
dijadikan sumber informasi lebih lanjut oleh tenaga kesehatan khususnya Bidan.
Penulis meyakini di dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan
sehinggga kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk perbaikan isi dan kualitas
makalah ini.

Padang, Juni 2014

Penulis

i42

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............ ........ .

DAFTAR ISI..............

ii

BAB I PENDAHULUAN..........

A. Latar Belakang..................
B. Tujuan

1
2

BAB II PEMBAHASAN.............

A. Sistem Imun.......................................................................................................

B. Sistem Imun NonSpesifik...................................................................................

C. Sistem Imun Spesifik..........................................................................................

27

D. Respon Imunologik Terhadap Bakteri Anaerob Dan Jalur Komplemen


Yang Berperan....................................................................................................

33

BAB III PENUTUP....... ..........

36

1. Kesimpulan
2. Saran...

36
37

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................

38

ii
43

44

Anda mungkin juga menyukai