Anda di halaman 1dari 28

SURAT TERBUKA KEPADA KELOMPOK SALAFI

Oleh
Muhammad Lazuardi Al-jawi

Kami sering mendengar akhir-akhir ini ada sekelompok orang yang


dalam pengajian-pengajian dan majalahnya mengungkit-ungkit
masalah hadis ahad dengan pembahasan yang tidak semestinya.
Kemudian mereka menambah permasalan dengan melontarkan
berbagai shubhat yang sayangnya hal ini disampaikan kepada orang
awam yang tidak mengerti duduk permasalahan yang sebenarnya.
Hal ini diperparah dengan ajakan mereka untuk memusuhi semua
orang atau kelompok yang berbeda pendapat dengan mereka
(karena tidak menjadikan hadis ahad sebagai dalil dalam masalah
aqidah –pent) dan ajakan ini dibumbui dengan stempel sebagai
kelompok sesat dan bid’ah bagi semua kelompok yang menolak hadis
ahad sebagai dalil aqidah. Untuk itu kami merasa perlu untuk
menjawab tuduhan-tuduhan itu agar masalah ini tidak berkembang
menjadi perselisihan yang tidak sehat. Berikut ini beberapa shubhat
yang mereka lontarkan beserta bantahannya :
Thohawi dapat dipastikan menerima hadis ahad sebagai dalil dalam
masalah aqidah ?
1- Shubhat Pertama : Mereka mengklaim berdasarkan Kitab Aqidah
Thohawiyah, bahwa Adzab kubur adalah bagian dari aqidah
sehingga Imam
Kami menjawab : Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi (w. 321 H) adalah
Ulama yang bermahdzab Hanafiyah, sehingga Imam Ath-Thohawi
pasti memegang prinsip tentang hadis ahad sesuai dengan pendapat
Imamnya yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Muhammad Ibn Hasan Al-
Syaibani dan Imam Abu Yusuf. Hal dipertegas dengan penjelasan DR.
Sua’ib Al-Arnauth dalam tahqiq-nya pada kitab Syarh Musykil Al-Atsar,
mengenai perpindahan Imam Ath-Thohawi dari Mahdzab Syafi’I ke
Mahdzab Abu Hanifah (Lihat Syarh Musykil Al-Atsar oleh Imam Abu
Ja’far Ath-Thohawi jilid 1\hal. 29-30). Dimana mereka (yaitu para
Ulama yang bermahdzab Hanafiyah) menganggap hadis ahad tidak
menghasilkan kepastian\qoth’I tetapi hanya menghasilkan dugaan
keras\dzon rajih (lihat kembali pendapat para Ulama Hanafiyah –
pent). Ini adalah pendapat dari mayoritas Ulama Hanafiyah seperti
Imam Issa ibn Aban (w. 220 H), Imam Ali ibn Musa al – Qummi (w. 305
H), Imam At-Thobari (w. 310 H), Imam Al-Karabasi Al-Najafi (W. 322 H),
Imam Abdul Qohir Al-Baghdadi (w. abad 5 H), Imam Ibn Athir Al-Jazari
(w. 606) dalam (Al-Nihayah fi Gharib Al-Hadis), Imam Al-Izz Ibn Abd Al-
Salam (w. 660 H), Imam Ala Al-Din Ibn Abidin (w. 1306 H), Imam Al-
Sarkhasi (w. 483) dalam (Al-Usul Al-Sarkhasi juz 1\hal. 112, 321-333).
Sedang menurut mayoritas Ulama Ahli hadis, hadis ahad dibagi
menjadi beberapa tingkat yaitu:
A\-Ahad Mashur : Hadis yang diriwayatkan oleh 3 orang perawi atau
lebih, tetapi tidak mencapai derajat mutawatir.
B\-Ahad Aziz : Hadis yang diriwayatkan oleh 2 orang dari 2
orang dalam seluruh Thobaqot sanad.
C\-Ahad Gharib : Hadis yang bersendirian saja seorang perawi
dalam meriwayatkan hadis (Lihat Kitab Taisir
Mustholah Al-Hadis hal. 22-25 Oleh DR. Mahmud Ath-
Thohan) (Lihat juga makalah kami yang berjudul
“Sekali Lagi tentang Hadis Ahad” –pent).

2- Shubhat Kedua : Mereka menyatakan bahwa pembagian hadis


Mutawatir-Ahad dilakukan oleh para ulama ahli kalam, sehingga kita
tidak perlu mendengar pendapat para ulama tentang hadis ahad,
karena bagi mereka yang ada hanya hadis shohih dan dho’if ?
Kami menjawab :
a- pertanyaan ini datang dari mereka yang kurang memahami
sejarah perkembangan Ilmu Hadis. Dan lagi pertanyaan seperti
ini tidak harus dijawab karena tidak akan menghasilkan apa-
apa, sebab jumhur ulama baik ahli kalam atau tidak; ahli hadis
atau ahli fiqh telah sepakat menerima pembagian hadis
menjadi Mutawatir-ahad berdasarkan jumlah perawinya.
Sebagaimana telah dijelaskan oleh Dr. Muhammad Wafa’
bahwa “mayoritas ulama telah sepakat dengan pembagian
hadis Rasul SAW menjadi Muatawatir-Ahad. Namun ulama
Hanafiyah menambah satu pembagian lagi yakni Hadis
Masyhur” (Lihat kitab Ta’arudh Al-Adilati As-Syar’iyahi min Al-
Kitabi Wa As-Sunnahi Wa At-Tarjihu bainaha, hal. 70; juga lihat
kitab yang lain seperti Al-Mustashfa, juz 1\hal. 145; Syarh Al-
Asnawi juz 2\hal. 214; Irsyad Al-Fuhul hal. 46; Hasyiyat Al-Athar
ala Syarh Al-Mahalli juz 2\hal. 146; juga lihat pendapat para
Ulama Hanafiyah dalam At-Talwih ala At-Taudhih juz2\hal. 302;
At-Taqrir wa At-Tahbir juz 2\hal. 235-236; Kasyf Al-Asrar an ushul
Al-Bazdawi juz 2\hal. 360; juga lihat referensi baru seperti Ushul
Al-Fiqh Al-Islami, Dr. Wahbah Zuhaili juz. 1\hal. 451; Ushul Al-Fiqh,
Syeikh Al-Khudhari , hal. 214-215; Ushul Al-Fiqh, Syeikh
Muhammad Abu Zahra, hal. 83-84; Ushul Al-Fiqh, Syeikh
Musthafa Syalbi, hal. 139)
b- Tentang tuduhan mereka bahwa pembagian ini adalah hasil
rekayasa Ahli Kalam, Kami bertanya apakah Para Ulama seperti
Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, Imam Malik, Imam Ahmad bin
Hambal, Imam Bukhori, Imam Muslim, Al-Hafidz Ibn Hajar Al-
Asqolani, Al-Hafidz Jalaludin As-Suyuti, Al-Hafidz Ibn Sholah,
Imam Nawawi, Imam Ibn Abdil Bar, Syaikhul Islam Ibn Taimiyah,
Imam Syaukani, Al-Hafidz Al-Iroqi dll adalah ahli kalam karena
mereka menerima pembagian hadis menjadi Mutawatir-Ahad
!!!! Bukankan Imam Syafi’I juga menulis dalam kitabnya ‘’Ar-
Risalah” satu bab khusus yang membahas tentang hadis Ahad,
hal yang sama juga dilakukan oleh para imam yang lain.
Sungguh ini merupakan pelecehan berat yang dilakukan oleh
‘para pelajar’ terhadap para Ulama, sebagaimana disinyalir oleh
Imam Ibn Al-Muqaffa’ ketika menjelaskan tentang Al-Haq, beliau
berkata : “ Aku tidak tahu ada siapa yang lebih dangkal
pemahamannya terhadap agamanya, selain orang-orang
mengambil pendapatnya sendiri (yang menyelisi Al-Kitab dan
As-Sunnah-pent) dan orang lain sebagai orang yang bertaqlid
(mengambil pendapat tanpa meneliti dalilnya terlebih dahulu-
pent) dalam masalah-masalah agama” .
c- Mereka menyatakan bahwa pembagian ini dilakukan hanya
oleh ahli kalam. Kami katakan bahwa pendapat seperti tidak
ada asalnya (La Ashla lahu). Silahkan mereka untuk membuka
kitab-kitab Ulumul Hadis seperti :
- Tadribu Al-Rawi fi Syarhi Taqrib An-Nawawi, oleh Imam
Suyuti
- Taqrib li An-Nawawi ma’a Syarhihi At-Tadrib, tahqiq Imam
Abdul Wahab Abdul Lathif
- Ar-Risalah Al-Mustarafah li bayani masyhur Kitab Al-Sunnah
Al-Musyrifah, oleh Imam Katani
- Ulum Al-Hadis , oleh Imam Ibn Sholah
- Fathu Al-Mughis Syarh Alfiyah Al-Hadis, Oleh Imam
Sakhowi
- Al-Kifayah fi Ilmi Ar-Riwayah , Oleh Imam al-Khotib Al-
Baghdadi (juz 1\hal. 17)
- Nukhbatu Al-fikr ma’a Syarhiha Nuzhatu An-Nadzor, oleh
Al-Hafidz Ibn Hajar
- Taisir Mustholah Al-Hadis oleh DR. Mahmud Ath-Thohhan
- Ulum Al-Hadis oleh DR. Nuruddin Al-Itr
- Ushul Al-Hadis oleh DR. Muhammad Ajij Al-Khotib , dll
Apakah ada diantara mereka yang tidak membagi hadis
menjadi Mutawatir-Ahad berdasarkan jumlah perawinya.
Sadarlah wahai orang-orang yang berakal !!!!

3- Shubhat Ketiga : Mereka mengklaim dirinya adalah orang yang


paling mengerti tentang hadis Rasul SAW, karena semua Syeikh-syeikh
mereka adalah Ahli Hadis (Muhaddis) ?
Kami menjawab : Semua orang boleh melakukan klaim, tetapi semua
itu harus dibuktikan terlebih dahulu. Coba perhatikan penjelasan Imam
Sakhowi tentang siapa Ahli Hadis (muhaddis) itu sebenarnya : “Menurut
sebagian Imam hadis, orang yang disebut dengan Ahli Hadis
(Muhaddis) adalah orang yang pernah menulis hadis, membaca,
mendengar, dan menghafalkan, serta mengadakan rihlah
(perjalanan) keberbagai tempat untuk mendapatkan hadis, mampu
merumuskan beberapa aturan pokok (hadis), dan mengomentari
cabang dari Kitab Musnad, Illat, Tarikh yang kurang lebih mencapai
1000 buah karangan”. Jika demikian (syarat-syarat ini terpenuhi –pent)
maka tidak diingkari bahwa dirinya adalah ahli hadis. Tetapi jika ia
sudah mengenakan jubah pada kepalanya, dan berkumpul dengan
para penguasa pada masanya, atau menghalalkan (dirinya
memakai-pent ) perhiasan lu’lu (permata-pent) dan marjan atau
memakai pakaian yang berlebihan (pakaian yang berwarna-warni –
pent). Dan hanya mempelajari hadis Al-Ifki wa Al-Butan. Maka ia telah
merusak harga dirinya ,bahkan ia tidak memahami apa yang
dibicarakan kepadanya, baik dari juz atau kitab asalnya. Ia tidak
pantas menyandang gelar seorang Muhaddis bahkan ia bukan
manusia. Karena dengan kebodohannya ia telah memakan sesuatu
yang haram. Jika ia menghalalkannya maka ia telah keluar dari
Agama Islam (Lihat Fathu Al-Mughis li Al-Sakhowi, juz 1\hal. 40-41).
Sehingga yang layak menyandang gelar ini adalah Muhaddis generasi
awal seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam
Nasa’I, Imam Ibn Majah, Imam Daruquthni, Imam Al-Hakim Naisaburi
,Imam Ibn Hibban dll. Sehingga apakah tidak terlalu berlebihan (atau
bahkan termasuk Ghuluw –pent) dengan menyamakan mereka
(Imam Bukhari, Imam Muslim, imam Abu Dawud dkk –pent) dengan
syeikh-syeikh mereka yang tidak pernah menulis hadis, membaca,
mendengar, menghafal, meriwayatkan, melakukan perjalanan
mencari hadis atau bahkan memberikan kontribusi pada
perkembangan Ilmu hadis yang mencapai seribu karangan lebih ?!?!

4- Shubhat Keempat : Mereka mengklaim bahwa dirinyalah yang


paling mengerti Sunnah dan paling layak untuk menafsirkan
kandungan-kandungannya. Karena (menurut mereka–pent) mereka
telah menghabiskan banyak waktu untuk melakukan takhrij dan
tahqiq terhadap hadis-hadis Rasul SAW dalam berbagai kitab hadis ?
Kami menjawab : Penelitian hadis tidak sebatas men-takhrij sebuah
hadis lalu selesai permasalahannya. Banyak hal lain yang perlu
diperhatikan untuk dapat menggali hukum-hukum yang
dikandungnya sehingga ia (proses istimbath –pent) membutuhkan ilmu
tentang bahasa arab (Nahwu-Shorrof, Balaghoh, faidah yang dapat
dipetik dari sebuah kata seperti faedah huruf fa’, wau dll), Ilmu Ushul
Fiqh ( dapat membedakan dalil yang Amm dengan yang Khos, yang
Mutlaq dengan yang Muqoyyad, yang Amr dengan yang Nahi ,
kalimat musytarak dengan yang tidak , dalil yang memiliki Illat dengan
yang tidak dll), Ilmu Ulum Al-Qur’an (seperti macam-macam qiraat,
sabab an-Nuzul dll), Ilmu Nasikh-Mansukh, Metode tarjih (jika dalil-dalil
yang terlihat saling bertentangan dll), dan banyak ilmu-ilmu lainnya
selain ilmu hadis itu sendiri. Sehingga seringkali seorang membawa
hadis kepada orang yang lebih faqih darinya (menguasai ilmu untuk
melakukan Ijtihad- pent) sebagaimana pernah disinggung dalam
sebuah hadis rasul : ” Seringkali seorang membawa hadis\ilmu pada
orang yang lebih faqih darinya ” (HR. Bukhori). Dan perhatikan
keterangan dari para ulama berikut (bahwa masalah ini tidak
sesederhana apa yang mereka klaimkan) :
- Syeikh Abdul Ghofar seorang ahli hadis yang bermahdzab
Hanafi menukil pendapat Ibn Asy-Syihhah ditambah syarat
dari Ibn Abidin Dalam Hasyiyah-nya, yang dirangkum
dalam bukunya Daf’ Al-Auham An-Masalah AlQira’af
Khalf Al-Imam, hal. 15 : ‘’ Kita melihat pada masa kita,
banyak orang yang mengaku berilmu padahal dirinya
tertipu. Ia merasa dirinya diatas awan ,padahal ia berada
dilembah yang dalam. Boleh jadi ia telah mengkaji salah
satu kitab dari enam kitab hadis (kutub As-Sittah), dan ia
menemukan satu hadis yang bertentangan dengan
madzab Abu Hanifah, lalu berkata buanglah madzab Abu
Hanifah ke dinding dan ambil hadis Rasul SAW’’. Padahal
hadis ini telah mansukh atau bertentangan dengan hadis
yang sanadnya lebih kuat dan sebab lainnya sehingga
hilanglah kewajiban mengamalkannya. Dan dia tidak
mengetahui. Bila pengamalan hadis seperti ini diserahkan
secara mutlak kepadanya maka ia akan tersesat dalam
banyak masalah dan tentunya akan menyesatkan
banyak orang ‘’.
- Al-Hafidz Ibn Abdil Barr meriwayatkan dalam Jami’ Bayan
Al-Ilmu, juz 2\hal. 130, dengan sanadnya sampai kepada
Al-Qodhi Al-Mujtahid Ibn Laila bahwa ia berkata : ’’
Seorang tidak dianggap memahami hadis kalau ia
mengetahui mana hadis yang harus diambil dan mana
yang harus ditinggalkan ’’ .
- Al-Alamah Al-Kautsari mengatakan : ’’ Banyak terjadi
pada banyak rawi yang tidak menguasai fiqh dan tidak
dapat membedakan mana hadis yang harus diamalkan
dan mana yang tidak ’’ .
- Al-Qodhi Iyadh dalam Tartib Al-Madarik, juz 2\hal. 427; Ibn
Wahab berkata : ‘’ Kalau saja Allah tidak
menyelamatkanku melalui Malik Dan Laits, maka
tersesatlah aku. Ketika ditanya, mengapa begitu, ia
menjawab, ‘Aku banyak menemukan hadis dan itu
membingungkanku. Lalu aku menyampaikannya pada
Malik dan Laits, maka mereka berkata : ‘’ Ambillah dan
tinggalkan itu ’’ .
- Imam Malik berpesan kepada kedua keponakannya (Abu
Bakar dan Ismail, putra Abi Uwais); ’’Bukankah kalian
menyukai hal ini (mengumpulkan dan mendengarkan
hadis) serta mempelajarinya ?, Mereka menjawab : ‘Ya’ ,
Beliau berkata : Jika kalian ingin mengambil manfaat dari
hadis ini dan Allah menjadikannya bermanfaat bagi
kalian, maka kurangilah kebiasaan kalian dan pelajarilah
lebih dalam ‘’. Seperti ini pula Al-Khatib meriwayatkan
dengan sanadnya dalam Al-Faqih wa Al-Mutafaqih juz
II\hal. 28.
- Al-Khotib meriwayatkan dalam kitabnya Faqih wa Al-
Mutafaqih, juz II\hal. 15-19, duatu pembicaraan yang
panjang dari Imam Al-Muzniy, pewaris ilmu Imam Syafi’i.
Pada bagian akhir Al-Muzniy berkata : ’’ Perhatikan hadis
yang kalian kumpulkan.Tuntutlah Ilmu dari para fuqoha
agar kalian menjadi ahli fiqh ’’.
- Dalam kitab Tartib Al-Madarik juz I\hal. 66, dengan
penjelasan yang panjang dari para Ulama Salaf tentang
sikap mereka terhadap As-Sunnah, a.l :
Umar bin Khotab berkata diatas mimbar: ’’ Akan
kuadukan kepada Allah orang yang meriwayatkan hadis
yang bertentangan dengan yang diamalkan ’’.
Imam Malik berkata :’’ Para Ahli Ilmu dari kalangan Tabi’in
telah menyampaikan hadis-hadis, lalu disampaikan
kepada mereka hadis dari orang lain, maka mereka
menjawab : “Bukannya kami tidak tahu tentang hal ini.
Tetapi pengamalannya yang benar adalah tidak seperti
ini ‘’.
Ibn Hazm berkata: Abu Darda’ pernah ditanya :’’
Sesungguhnya telah sampai kepadaku hadis begini dan
begitu (berbeda dengan pendapatnya-pent). Maka ia
menjawab:’’ saya pernah mendengarnya, tetapi aku
menyaksikan pengamalannya tidak seperti itu”.
Ibn Abi zanad , ‘’Umar bin Abdul Aziz mengumpulkan para
Ulama dan Fuqoha untuk menanyai mereka tentang
sunnah dan hokum-hukum yang diamalkan agar beliau
dapat menetapkan. Sedang hadis yang tidak diamalkan
akan beliau tinggalkan, walaupun diriwayatkan dari para
perawi yang terpercaya’’. Demikian perkataan Qodhi
Iyadh.
- Al- Hafidz Ibn Rajab Al-Hambali dalam Kitabnya Fadhl ‘Ilm
As-Salaf ala Kholaf\hal.9, berkata : ” Para Imam dan
Fuqoha Ahli Hadis sesungguhnya mengikuti hadis shohih
jika hadis itu diamalkan dikalangan para Sahabat atau
generasi sesudahnya, atau sebagian dari mereka.
Adapun yang disepakati untuk ditinggalkan, maka tidak
boleh diamalkan, karena tidak akan meninggalkan
sesuatu kecuali atas dasar pengetahuan bahwa ia
memang tidak diamalkan ’’ .

Oleh karena itu Dr. Muhammad ‘Awwamah berkata dalam kitab Atsar
Al-Hadis Asy-Syarif fi Ikhtilafi Al-Aimmah Al-Fuqoha ra. (terjemah
dengan judul ‘Melacak Akar Perbedaan Madzhab’) pada hal. 46 : ‘’
Kelayakan pengamalan sebuah hadis terjadi setelah sempurna sanad
dan redaksinya dengan syarat yang banyak. Diantaranya syarat-
syarat Haditsiyah dan Ushuliyah. Sehingga persoalannya tidak hanya
berhenti pada pandangan tentang para perawi hadis (rijal Al-Isnad)
yang terdapat dalam kitab Taqrib At-Tahdzib sebagaimana
disangkakan banyak orang pada masa ini ” . Dan hanya orang yang
diberi petunjuk oleh Allah melalui bimbingan para Ulama yang
terpercayalah yang akan selamat dari fitnah yang diciptakan oleh
orang-orang yang hanya mengikuti hawa nafsunya !?!!

5-Shubhat Kelima : Mereka mengklaim bahwa pembagian akal yang


benar adalah menjadi akal Haqiqi dan akal Majazi ?!?
Kami menjawab : Model pembagian seperti ini mirip dengan
pembagian para filosof seperti Al-Farabi dan Ibn Sina ketika mereka
membagi akal menjadi akal aktif (Al-Aql Al-Fa’al), akal pasif (Al-Aql bi
Al-Munfa’il), akal daya (Al-Aql bi Al-Quwwah), akal inti (Al-Aql Al-
Hayula) (Lihat Kitab As-Siyasah li Al-Farabi hal. 23; Risalah fi Al-Uqul li Ibn
Sina hal. 418). Kemudian namanya dirubah menjadi “akal haqiqi dan
akal majazi” , yang pada hakekatnya adalah pemikiran-pemikiran
filsafat. Dan yang lebih berbahaya lagi adalah tatkala model
pembagian ala filsafat ini dibumbui dengan sejumlah dalil yang
dita’wil sedemikian rupa untuk mengelabui para pembaca, sehingga
seakan-akan pembagian seperti ini dilegalisasi oleh Islam, padahal
yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan Islam sama sekali.
Bahkan para Ulama seperti Ibn Taimiyah, Imam Syafi’I, Imam Ahmad
dll, telah membantah habis kesesatan ide dan pemikiran yang
digagas oleh para ahli kalam dan filosof, serta mengingatkan umat
agar tidak terjebak dengan fitnah ilmu kalam dan filsafat yang telah
menyesatkan banyak orang dari umat ini (lihat kitab Ushul Ad-Dien
oleh Abdul Qodir Al-Baghdadi hal. 308; Al-Ushul wa Al-Furu’ oleh Ibn
Hazm jilid 2\hal. 196; Syarah Ath-Thohawiyah oleh Ibn Abi Al-Izzi hal. 9-
10; Manahij Al-Bahsi oleh Al-Nasyar hal 114-220). Sehingga menjadi
jelaslah bagi orang-orang yang berakal bahwa kelompok yang
senang memberi label kelompok yang tidak sefaham dengannya
sebagai pengikut ilmu kalam dan filsafat, ternyata dirinya sendiri
banyak terjebak dengan pemikiran-pemikiran kalam itu sendiri,
termasuk ketika mereka membuat kesimpulan dengan akalnya
dengan menyatakan tidak menjadikan hadis ahad sebagai dalil
dalam masalah aqidah berarti telah membuang banyak masalah
yang berhubungan aqidah. Hal itu pada hakekatnya adalah
permainan akal para filosof semata !!! .
6- Shubhat Keenam : Mereka menuduh para aktivis dari pergerakan
islam itu, berdakwah tanpa bekal ilmu yang memadai, bahkan kosong
dari ilmu. Dan hanya mereka yang pantas untuk membicarakan dan
membina umat dengan Dien Islam ?1?
Kami Menjawab : Kami sekarang ingin bertanya kepada anda, ilmu
seperti apa yang anda maksud. Apakah ilmu tentang Ilmu Tajwid dan
ilmu Qira’aat, atau Ilmu Ulum Al-Qur’an dan cabang-cabangnya,
atau Ilmu Ulum Al-Hadis dan cabang-cabangnya yang berjumlah
puluhan itu, atau Ilmu ushul Fiqh yang membahas banyak masalah
didalamnya, atau ilmu bahasa arab yang meliputi ilmu Nahwu ,
Shorrof, Balaghoh : Badi’ – Ma’ani – Bayan, atau Ilmu tentang Aqidah
dan cabang-cabangnya dll. Apakah anda mengajarkan semua itu !
atau hanya sebatas membacakan bagian tertentu dari kitab para
Ulama yang membahas tentang masalah ibadah mahdhah saja
ditambah sedikit masalah-masalah akhlaq lalu memperbanyak
perdebatan didalamnya, lalu anda katakan kepada para santri anda
yang kebanyakan orang awam yang ikhlas itu, bahwa mereka telah
mengusai Tsaqofah Islamiyah, sedang yang selain mereka tidak punya
bekal seperti yang mereka punyai. Permainan seperti apa yang
hendak anda lakukan untuk menggiring orang-orang yang ikhlas ini
untuk memusuhi saudaranya. Anda telah mendorong mereka untuk
berlaku congkak dan memandang rendah saudara mereka yang lain.
Padahal anda tahu, hal itu adalah sangat bertentangan dengan
Islam. Terlebih lagi para masyaikh yang menjadi guru besar berbagai
Ilmu Dien di berbagai Universitas terkemuka di Timur Tengah seperti Al-
Azhar, Az-Zaitun, Univ. Ibn Su’ud dll, adalah aktivis dari berbagai
harokah Islam yang anda anggap tidak mempunyai Ilmu, sedang
anda menukil pernyataan itu dari murid ‘Para Masyaikh’ ini. Kemudian
“para murid” ini mengkritik dan mengatakan bahwa guru-gurunya dan
harokah yang ia ikuti adalah tidak memiliki bekal ilmu yang memadai
untuk berdakwah, laksana seorang murid TK yang mengkritik Profesor
di sebuah Universitas ternama --- Siapa yang akan percaya dengan
pernyataan “nyleneh” ---- seperti ini. Lalu kalau memang benar bahwa
hanya andalah yang mengusai seluruh tsaqofah Islam, maka mana
konsep anda tawarkan untuk mengatasi krisis keuangan, mana juga
konsep anda untuk menangani masalah ketenagakerjaan, juga
masalah pengelolaan sumber daya alam, masalah good and clean
government, mana konsep anda tentang Bank Sentral ala Islam, dan
konsep untuk menata ekonomi baik yang berskala makro atau mikro
ekonomi berdasarkan Islam, juga tentang pendidikan, kesehatan,
politik luar negeri, sistem pidana, perundang-undangan dll. Kalau anda
tidak mempunyai itu semua dan anda tidak mampu untuk memberi
jawaban atas berbagai problematika multidemensional yang dihadapi
oleh umat ini, lalu untuk apa anda berteriak-teriak akan dapat
menjadi juru selamat kalau tidak ada yang bisa anda gunakan untuk
menyelamatkan umat ini. Anda dan kelompok anda seperti dalam
pepatah arab yang mengatakan bahwa ‘Orang yang tidak
mempunyai sesuatu, pasti ia tidak akan mampu memberi sesuatu itu’.
Maka batal dan rontoklah shubhat yang dilontarkan oleh mereka ?!??

7- Shubhat Ketujuh : Mereka mengklaim bahwa pendapat mereka


yang paling benar karena didukung oleh hadis-hadis shohih, sedang
pendapat dari kebanyakan harokah Islam didukung oleh banyak
hadis Dho’if, sehingga merekalah yang merasa paling layak
membawa Ilmu Para Salafus Sholeh ?
Kami menjawab: Hal itu perlu dibuktikan lebih lanjut. Sehingga apa
yang mereka klaimkan tetap menjadi klaim saja tanpa bukti. Kami
katakan kepada mereka agar mereka bertanya kepada para Ahli Ilmu
tentang kandungan hukum yang ada dalam hadis yang mereka
bawa agar mereka tidak tersesat dalam pengamalannya. Perhatikan
peringatan Al-Hafidz Ibn Abdil Barr berikut : ‘’ Dikatakan oleh Al-Qodhi
Mundzir, bahwa Ibn Abdil Barr mencela dua golongan, yang pertama
, golongan yang tenggelam dalam ro’yu dan berpaling dari Sunnah,
dan kedua, golongan yang sombong yang berlagak pintar padahal
bodoh (menyampaikan hadis, tetapi tidak mengetahui isinya –pent)
(Dirangkum dari Jami’ Bayan Al-Ilm juz II\hal. 171). Syeikhul Islam Ibn
Al-Qoyyim Al-Jawziyah berkata dalam Kitab I’lamu Al-Muwaqqi’in juz
I\hal. 44, dari Imam Amad, bahwa beliau berkata:’’ Jika seseorang
memiliki kitab karangan yang didalamnya termuat sabda Nabi SAW,
perbedaan Sahabat dan Tabi’in, maka ia tidak boleh mengamalkan
dan menetapkan sekehendak hatinya sebelum menanyakannya
pada Ahli Ilmu, mana yang dapat diamalkan dan mana yang tidak
dapat diamalkan, sehingga orang tersebut dapat mengamalkan
dengan benar”. Dan Al-Hafidz Ibn Rajab mengutip perkataan Imam
Mujtahid Sufyan Ats-Tsauri : ’’ Ada Hadis yang tidak dapat dijadikan
sebagai dasar hukum ’’ (Lihat kitab Syarh Ilal At-Tirmidzi hal. 29).
Sehingga berdasarkan penjelasan dari para Ulama ini maka batallah
hujjah mereka !!!

9- Shubhat Kesembilan : Mereka Menyatakan bahwa tidak menjadikan


hadis ahad sebagai dalil dalam masalah aqidah berarti telah
membuang banyak masalah yang berhubungan aqidah seperti
karakteristik surga dan neraka, Al-Haudh dll !!!
Kami menjawab : Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa
keimanan cukup dibangun berdasarkan dalil dzonni saja, seperti
menetapkan aqidah dengan hadis ahad. Menurut mereka, tidak
menjadikan hadis ahad sebagai dalil dalam masalah aqidah
merupakan rencana yang dapat membahayakan aqidah umat.
Malah menurut mereka hal ini merupakan perbuatan nifaq, karena
menurut pemahaman mereka , tidak menjadikan hadis ahad sebagai
dalil dalam masalah aqidah berarti menerima sebagian aqidah dan
meninggalkan sebagian lainnya. Pendapat dan kritikan diatas,
menurut kami sangat membahayakan kelangsungan aqidah umat.
Lebih jauh lagi, ia bertentangan dengan nash-nash yang terdapat
dalam Al-Qur,an dan As-Sunnah. Selain itu juga bertentangan dengan
pendapat mayoritas Ulama kaum Muslimin. Karena menetapkan
sesuatu adalah bagian dari aqidah Islam atau bukan, tidak ditentukan
berdasarkan akal atau perasaan kita dengan mengatakan bahwa ‘’
menurut akal saya atau perasaan saya, kok kira-kira ini bagian dari
aqidah ‘’ , tidak sekali lagi tidak dapat dikatakan seperti itu, melainkan
harus ditentukan berdasarkan dalil.
Tidak menjadikan hadis ahad sebagai dalil dalam masalah aqidah
adalah sangat berbeda dengan mengingkari hadis ahad seperti yang
dilakukan oleh Mu’tazilah. Mereka mengingkari kehujjahan hadis ahad
karena menurut mereka tidak rasional. Mereka mengatakan: “ Apakah
kalian menemukan di dalam kubur alat-alat untuk menyiksa seperti
paku, gergaji, palu dll ”, dan tentu mereka (Muta’zilah) tidak akan
menemukannya karena itu berkaitan dengan hal yang ghoib\ tidak
dapat diindera kemudian mereka mengingkari hadis ahad tentang
adzab qubur karena menurut mereka tidak rasional (Lihat Kitab Ar-Ruh
Oleh Imam Ibn Al-Qoyyim Al-Jauziyah). Sedang mayoritas Ulama
yang tidak menjadikan hadis Ahad sebagai dalil Aqidah adalah tidak
mengingkari adanya adzab qubur, kedatangan Imam Al-Mahdi,
Karakteristik Surga-Neraka, dan masalah ghoib lainnya yang
diinformasikan dengan hadis ahad, tetapi mereka menduga dengan
keras (Gholibatu Adz-Dzonn) tentang kebenaran semua itu walau
tingkat keyakinannya tidak sampai derajat Qoth’I\Pasti (dengan
pembenaran 100%), lalu sebagian besar diantara mereka tidak
memasukkan hadis ahad dalam kajian Aqidah tetapi dimasukkan
dalam pembahasan “At-Targib wa At-Tarhib”. Hal ini disebabkan
jumhur Ulama dari berbagai disiplin ilmu Dien telah menetapkan
derajat hadis ahad hanya menghasilkan dugaan keras saja tidak
sampai derajat Yaqin. Sebagaimana yang dijelaskan oleh DR.
Muhammad Ajaj Al-Khotib bahwa Jumhur Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah
dan Jumhur Mutakallimin dll menegaskan bahwa hadis ahad hanya
memberi faedah dzon dan wajib diamalkan (dalam masalah hukum
furu’\cabang –pent) (Lihat kitab Al-Ihkam li Ibn Hazm jilid 1\hal. 97,
108-122; Al-Mutashfa li Imam Al-Ghozali jilid 1\hal. 93-99; Al-Ihkam li Al-
Amidi jilid 2\hal. 49-60). Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam
Muhammad Ibn Abdul Baqi Ibn Yusuf Al-Zarqonni, ketika ia
menjelaskan tentang batalnya wudhu; karena menyentuh kemaluan
tanpa penghalang. Hadis ini adalah dalil tentang penerimaan hadis
ahad dan kebolehan berpegang pada dalil yang dzon (dalam
masalah amal perbuatan atau hukum syara’, tetapi tidak dalam
masalah aqidah -pent) (lihat Kitab Syarh Az-Zarqoni\jilid 1\hal. 126\Dar
Al-Kitab Al-Ilmiyah\Beirut\1411 H --- Cetakan Pertama).
Imam Imam Muhammad ibn Ibrahim Ibn Jamaah menambahkan
bahwa hadis ahad adalah semua hadis yang jumlah perawinya tidak
mencapai jumlah perawi hadis Mutawatir. Dan ada yang
berpendapat bahwa hadis ahad memberi faedah Dzon (Kitab Al-
Minhal Ar-Rawi jilid 1\hal. 32\Dar Al-Fikr\ Dimsyaq – Siria \ 1406 H\
Cetakan Kedua).
Padahal masalah Aqidah karena merupakan sebuah kepastian maka
ia harus dibangun dengan dalil-dalil yang memberikan kepastian pula
dari dalil yang qoth’I tsubut (yaitu Al-Qur’an dan Hadis Mutawatir) dan
qoth’I dalalah (penunjukan maknanya pasti sehingga tidak mungkin
ditafsirkan kepada makna yang lain). Sebagaimana yang dinyatakan
oleh Al-Hafidz Ibn Katsir (Tafsir Al-Qur’an Al-A’dzim juz I, hal. 40) : “
Imam yang telah ditentukan syara’ dan diserukan kepada seluruh
kaum Muslimin adalah berupa I’tiqod, ucapan, dan perbuatan ” .
Begitulah pendapat sebagian besar Imam-imam mahdzab. Malah
menurut Imam Syafi’I, Imam Ahmad bin hambal, dan Abu Ubaidah, ia
telah menjadi ijma’’. Dan diperkuat oleh Imam Ibn Mundzir dalam
Lisanul Arab bahwa ‘’ Arti Imam adalah Tasdiq (pembenaran). Dalam
kitab At-Tahdzib, disebutkan bahwa Iman adalah asal kata dari yang
artinya ‘’Ia seorang Mu’min”. Dalam hal ini, para Ahli bahasa sepakat
bahwa iman berarti tashdiq (pembenaran). Perhatikan firman Allah
SWT sebagai berikut : ‘’Orang-orang arab badui itu berkata, Kami
telah beriman. Katakan kepada mereka : ‘Kamu belum beriman’.
Tetapi katakanlah ‘kami telah tunduk’ (QS. Al-Hujurat -14) “ .
Hal ini dilakukan oleh para Ulama dalam rangka menjaga kemurnian
aqidah Islam dari bersih dari berbagai penyimpangan seperti aqidah
yang dimiliki generasi yang terbaik yaitu generasi para Salafus Sholeh
(generasi Shohabat, Tabi’in, dan Tabiut Tabi’in-pent) ( Lihat Kitab Radd
ala Al-Kitab Ad-Da’wah Al-Islamiyah; Dr. Abdurrahman Al-Baghdadi ,
hal. 175 ).
Usaha untuk menggunakan dalil yang jelas untuk membangun Aqidah
Umat Islam dengan jalan membatasinya pada dalil-dalil Qoth’I, harus
terus kita lakukan. Dan untuk memberikan keyakinan tentang masalah
ini marilah kita mengkaji argumentasi dari para Imam panutan umat
untuk membantah mereka yang menyangkal prinsip yang mulia ini.
Salah satu argumentasi yang mereka ketengahkan untuk mendukung
pendapat mereka adalah adanya klaim bahwa para Imam termasuk
Imam Empat Madzab a.l: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I
dan Imam Ahmad bin Hambal, dimana mereka telah sepakat bahwa
periwayatan secara Ahad (khobar Ahad-pent) memberikan
pengetahuan yang pasti dan dapat digunakan sebagai dalil dalam
masalah Aqidah. Dan apa yang sesungguhnya dikatakan para Imam
bertentangan dengan klaim diatas. Faktanya tatkala kita membaca
Kitab yang ditulis para Imam ini dan para muridnya dan para Ulama
sesudahnya yang mengikuti jejak para Imam Ahlus Sunnah ini, akan
mendapatkan bahwa mereka berpegang dengan pendapat yang
menyatakan bahwa : “Khobar Ahad tidak memberikan pengetahuan
yang pasti (dzon-pent)”, tetapi khobar ini memberikan pengetahuan
minimal dugaan keras (dzon rajih), walaupun terbukti bahwa
sanadnya shohih dan digunakan hanya sebagai dalil dalam masalah
amal perbuatan, tetapi tidak dalam masalah aqidah.
Banyak orang telah menyatakan bahwa para Imam menerima hadis
ahad sebagai dalil yang memberi kepastian (qoth’I-pent) dan
digunakan sebagai dalil dalam masalah aqidah. Bagaimanapun apa
yang telah mereka lakukan, jelas merupakan penukilan yang tidak
sesuai dengan pernyataan para Imam khususnya Imam Empat
Madzab. Para Imam ini membuat berbagai pernyataan berkaitan
berkaitan dengan masalah khobar ahad, dalam rangka membantah
pendapat kelompok-kelompok bid’ah pada masanya, yang telah
menolak khobar ahad sebagai dalil secara keseluruhan baik dalam
masalah aqidah atau masalah amal perbuatan. Untuk dapat
memberikan gambaran yang sesungguhnya tentang posisi para Imam
dalam masalah ini, kita harus mengkaji secara langsung dari kitab-
kitab yang ditulis oleh para Imam ini dan para murid-muridnya yang
terpercaya. Dimana mereka (murid para Imam-pent) mendengar dan
mendapat penjelasan secara langsung dari para gurunya.
Pemahaman mereka terhadap masalah ini (masalah khobar ahad-
pent) merefleksikan pemahaman para gurunya, dan sudah
seharusnya kita mempercayai pemahaman mereka lebih dari
pemahaman kita sendiri setelah mengkaji dan mempelajari kitab para
Ulama tersebut. Oleh karena itu marilah kita meneliti lebih dalam apa
pendapat Imam panutan umat yang mewakili madzab-madzab ini
dalam masalah hadis ahad sebagai berikut :
1- Imam Jalaludin Abdur Rahman bin Kamaludin As-Suyuti (w. 911 H)
menyatakan :
‘’ hadis Ahad tidak Qoth’I dan tidak dapat dijadikan dalil dalam
masalah Ushul atau Aqidah” (Tadrib Al-Rawi Fi Syarh Taqrib Al-
Nawawi) dan juga lihat pada kitabnya yang lain (Al-Itqon Fi Ulum Al-
Qur’an juz 1\hal. 77 dan juz 2\hal.5).
2- Al-Hafidz Ibn Hajar (w. 852 H) menyatakan dengan menukil
pendapat Imam Yusuf Al-Kirmani bahwa : “ Hadis ahad tidak dijadikan
dalil dalam masalah aqidah ’’ (Fathul Bari Juz 8, Bab Khobar Ahad).
3- Imam Abu Al-Hasan Saifudin Al-Amidi (w. 631), beliau berkata :
‘’ Bahwa masalah Aqidah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qoth’I,
sedang masalah furu’ cukup ditetapkan dengan dalil-dalil dzoni ’’.
Lalu menambahkan: ‘’ Barang siapa menolak Ijma ’’ (konsensus-pent)
dalam masalah ini telah gugur pendapatnya, dengan adanya kasus
pada masalah fatwa dan kesaksian. Perbedaan antara masalah Ushul
dan furu’ adalah sangat jelas. Mereka yang menyamakan masalah
ushul dan masalah furu’ berarti telah membuat hukum sendiri, hal ini
adalah sesuatu yang mustahil dan hanya dilakukan oleh orang-orang
yang sombong dan arogan ’’ (Lihat Al-Ihkam fi Ushuli Al-Ahkam Imam
Al-Amidi juz I\hal. 71-72; Al-Ihkam fi Ushuli Al-Ahkam Imam Ibn Hazm
juz I\hal. 114 -pent).
4- Imam Abi Muhammad Abdurrahim bin Hasan Al-Asnawi (w. 772 H),
berkata :
“ Hadis Ahad hanya menghasilkan persangkaan saja. Allah SWT
membolehkan hanya dalam massalah amaliyah (tasyri’), yang
menjadi cabang-cabang agama, bukan masalah ilmiah seperti
kaidah-kaidah pokok hukum agama” ( Syarh Asnawi Nihayah as-Saul
Syarh Minhaju Al-Wushul Ila Ilmi Al-Ushul Al-Baidhawi, juz 1\hal. 214).
5- Imam Zainuddin bin Ibrahim Ibnu Najim (w. 970 H) menyatakan hal
sama dengan Imam As-Sarkhasi bahwa hadis Ahad (Dzon Tsubut-pent)
wajib diamalkan, tetapi tidak untuk masalah I’tiqod (Aqidah-pent)
(Lihat Fath Al-Ghaffar Al-Ma’ruf bi Misykah Al-Anwari, juz 2\hal. 63).
6- Imam Al-Khobazi menyatakan hal yang tidak jauh berbeda dengan
pendapat Imam As-Sarkhasi dan Imam Ibnu Najim tentang status hadis
ahad ( Lihat Kitab Al-Mughni fi Al-Ushuli Al-fiqhi li Al-Khobazi, hal. 84).
7- Imam Kasani menyatakan :
“ Pendapat sebagian besar fukoha menerima hadis ahad yang
terpercaya dan adil serta diamalkan dalam masalah tasyri’ kecuali
masalah aqidah, sebab I’tiqod wajib dibangun dengan dalil-dalil yang
qoth’I, yang tidak ada keraguan didalamnya, sementara masalah
amal (tasyri’) cukup dengan dalil yang rajih (kuat) saja” ( Badaa’iu
Shanaa’I juz 1\hal. 20).
8- Imam Abu Ishak Sya’tibi (w. 790 H) menyatakan :
“ Bahwa Ushul fiqh dalam agama harus dibangun dengan dalil-dalil
qoth’I, bukannya dengan dalil-dalil dzoni. Seandainya boleh
menjadikan dalil dzoni sebagai dalil dalam masalah Ushul seperti Ushul
Fiqh maka juga membolehkan (hadis ahad-pent) sebagai dalil dalam
masalah Ushul Ad-din (Aqidah –pent) dan hal ini jelas tidak
diperbolehkan menuruj ijma’ (kesepakatan-pent). Karena masalah
Ushul fiqh juga dinisbahkan dalam masalah Ushul Ad-din” (Al-
Muwafaqat fi Ushuli Asy-Syar’iyah ).
9- Imam Muhammad Ibn Ahmad Ibn Sahl Abu Bakar Shams Al-A’ima
Al-Sarkhasi (w. 483)
Imam besar Hanafiyah dan seorang Mujtahid, dalam kitabnya (Al-Usul
Al-Sarkhasi juz 1\hal. 112, 321-333) membantah mereka yang
menerima Khobar Ahad dalam masalah Aqidah. Beliau menerangkan
hakikat dari Khobar Ahad dan perbedaan antara dalil Qoth’I dan dalil
Dzonni sebagaimana perbedaaan pada Tabligh dan Khobar. Untuk
mengilustrasikan beliau memberi contoh pada masalah adzab kubur.
10- Fakrudin Muhammad bin Umar bin Husain Ar-Razi (w. 606 H)
mengilustrasikan poin berkaitan dengan hadis Ahad sebagai berikut : “
Saya katakan kepada seseorang bahwa hadis yang menyebutkan
Ibrahim pernah berbohong sebanyak 3 kali, adalah tidak benar,
karena jika hadis ini diterima, maka akan membuktikan Ibrahim
sebagai seorang pendusta. Orang tersebut menyatakan bahwa para
perawi hadis ini adalah perawi yang terpercaya (tsiqoh –pent) dan
tidak dapat dinilai sebagai pendusta. Saya menjawab bahwa hadis
ini, kalau kita terima akan membuktikan bahwa Ibrahim adalah
seorang pendusta dan kalau ditolak berarti para perawi dianggap
pendusta, dimana keterangan yang baik dan lebih disukai adalah
untuk diberikan pada Ibrahim AS ” ( Lihat Tafsir Al-Kabir dan Al-Mahshul
fi Ilmi Al-Ushul).
11- Imam Abdur Rauf Al-Manawi ketika beliau menjelaskan tentang
masalah syafa’at menyatakan : “Masalah ini adalah bukan masalah
amaliyah, sehingga tidak cukup dengan dalil dzon seperti yang
faedah yang diberikan oleh hadis ahad …..’’ (Lihat Kitab Faidhul
Qodhir jilid 4\hal. 163\Al-Maktabah Al-Jariyah Al-Kubra --- Mesir\ 1356
H\ Cetakan Pertama).
12- Imam Ibn Abdil Bar menyatakan : “ Kebanyakan ahli ilmu
menyatakan bahwa hadis ahad mewajibkan amal (dalam masalah
hukum furu’ –pent) tanpa ilmu (tidak sampai derajat yaqin sebagai
dalil dalam masalah aqidah –pent). Ini adalah pendapat Imam Syafi’I
dan mayoritas (jumhur) Ulama fiqh dan Nadzar “ (Kitab At-Tamhid Li
Ibn Abdil Bar jilid 1\hal. 7 – 8) .
13- Imam Ibn Rusd menjelaskan bahwa para Ulama Kuffah menolak
sebuah hadis kalau bertentangan dengan Ushul yang mutawatir,
termasuk metode mereka ketika menolak hadis ahad tatkala
menyelisihi Ushul yang mutawatir, dimana hadis ahad berfaedah dzon
dan masalah ushul adalah keyakinan yang harus dibangun dengan
dalil yang memberi keyakinan pula (yaitu hadis mutawatir –pent) (Lihat
Kitab Bidayah Al-Mujtahid jilid 2\hal. 216\Dar Al-Fikr\ Beirut ---
Libanon).
13- Imam Jamaluddin Al-Qosimi menyatakan : “ Sesungguhnya jumhur
kaum muslimin dari kalangan sahabat, tabi’in, golongan setelah
mereka dari kalangan fuqoha, ahli hadis, dan ulama ushul
berpendapat bahwa hadis ahad yang terpercaya dapat dijadikan
hujjah dalam masalah tasyri’ yang wajib diamalkan, tetapi hadis ahad
ini hanya menghantarkan pada Dzon tidak sampai derajat ilmu
(yakin)” ( Lihat Kitab Qawaidut Tahdis hal. 147-148).
14- Maulana M. Rahmatulah Kairanvi berkata tatkala membela hadis
dan autentitasnya dari serangan para orientalis : “ Hadis Ahad adalah
jenis hadis yang diriwayatkan dari seorang perawi kepada seorang
perawi lainnya atau sekelompok perawi, atau sekelompok perawi
kepada seorang perawi”. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa:
“Hadis Ahad tidak menghasilkan kepastian sebagaimana dua contoh
diatas. Hadis ini tidak dapat dijadikan sebagai dalil dalam masalah
aqidah, tetapi diterima sebagai dalil dalam masalah amaliyah praktis”
(Lihat Kitab Izhar Al-Haq Oleh Maulana Kairanzi juz 4).
15- Prof. DR. Mukhtar Yahya dan Prof. DR. Fatchurrahman menegaskan
bahwa Hadis ahad tidak dapat digunakan untuk menetapkan sesuatu
yang berhubungan dengan aqidah dan tidak pula untuk menetapkan
hukum wajibnya suatu amal (Lihat Buku Dasar-Dasar Pembinaan
Hukum Fiqih Islam hal. 54).
16- Ust. Moh. Anwar Bc.Hk juga menegaskan bahwa para Muhaqqiqin
menetapkan hadis ahad shohih diamalkan dalam bidang amaliyah
baik masalah ubudiyah maupun masalah-masalah mu’amalah, tetapi
tidak dalam masalah aqidah/keimanan karena keimanan\keyakinan
harus ditegakkan atas dasar dalil yang Qoth’I, sedangkan hadis ahad
hanya memberikan faedah Dzonni (Lihat Buku Ilmu Mustholah Hadits
hal. 31) (Lihat juga makalah kami yang berjudul “Sekali Lagi tentang
Hadis Ahad” –pent).

Sehingga kalau demikian jelas pendapat serta penjelasan mayoritas


Para Ulama rabbani yang menjadi Panutan Umat dalam masalah ini,
kemudian kami hendak bertanya, pendapat yang selama ini anda
gembar-gemborkan itu sebenarnya dinukil dari siapa atau anda
hanya sekedar menyelewengkan pendapat mereka untuk memenuhi
nafsu permusuhan anda dengan orang atau kelompok yang
seharusnya menjadi saudara seperjuangan untuk membina dan
menyelamatkan umat ini dari kehancuran, bukan dengan menebar
fitnah dan syahwat permusuhan !?!. Kembalilah ke jalan Al-Haq, Wahai
orang-orang rindu akan kebenaran ?!?!
Bahkan dengan menerima hadis ahad dalam masalah aqidah akan
menimbulkan beberapa permasalahan seperti contoh yang
disampaikan oleh Syeikh Nashiruddin Al-Albani ketika menyampaikan
hadis dari Ibn Abbas bahwa nabi SAW bersabda: “ Sesungguhnya
makhluk yang pertama kali diciptakan Allah SWT adalah Al-Qolam.
Dan Dia memerintahkan supaya menulis tiap-tiap sesuatu yang ada “ .
Beliau mengomentari hadis ini dengan menyatakan: “ Al-Qolam
adalah makhluk pertama yang diciptakan ……….Dan kurang tepat
apa yang dikatakan oleh Ibn Taimiyah dalam menyanggah para
Filosof, bahwa sesuatu yang baru (makhluk) itu tidak ada
permulaannya baginya, ini tidak dapat diterima logika. Dalam hal ini
para lawannya menuduh bahwa Ibn Taimiyah telah menganggap
bahwa makhluk itu qodim dan tidak ada permulaan baginya. Padahal
dipihak lain dia juga menegaskan bahwa tidak ada suatu makhluk
melainkan ia didahului oleh adam (tidak ada). Namun bersamaan
dengan itu dia juga mengatakan adanya kaitan sesuatu yang baru
(hawadits) dengan sesuatu yang tidak memiliki permulaan baginya.
Sebagaimana yang dia dan kawan-kawannya katakana bahwa
makhluk itu tidak memiliki penghabisan (akhir). Pendapat ini jelas tidak
dapat diterima. Bahkan bertentangan dengan hadis ini. Memang,
sesungguhnya berbicara tentang filsafat adalah berbahaya. Akan
tetapi benar apa yang dikatakan oleh Ibn Malik ra., bahwa setiap
orang bisa menyanggah dan disanggah, kecuali penghuni kubur ini (
Rasul SAW) (Lihat terj. Silsilah Al-Ahadis Ash-Shohihah jilid I oleh Drs. H.
Qodirun Nur, hadis no. 133, hal. 296-297). Kemudian kami ingin
bertanya kepada anda, manakah pendapat yang akan anda ambil
? Kalau anda mengambil keduanya maka anda telah mengatakan
sesuatu tentang Allah tanpa pengetahuan ( karena berarti Allah
menciptakan sesuatu yang baru (makhluk) itu yang tidak ada
permulaan baginya dan pada saat bersamaan menciptakan Al-
Qolam sebagai makhluk pertama). Sedang mengambil salah satu
pendapat berarti menolak dan menyalahkan pendapat yang lain
(berarti salah satu dari Imam Ibn Taimiyah atau Syeikh Albani telah
menyimpang dalam masalah aqidah dalam perkara ini).
Pertanyaannya, siapakah menurut anda yang telah menyimpang
dalam masalah ini apakah Imam Ibn Taimiyah atau Syeikh Albani ?!?

10- Shubhat Kesepuluh : Ada sebagian orang menyatakan bahwa


Imam Bukhori membolehkan menerima hadis ahad dalam masalah
aqidah dan hal ini juga didukung oleh Ibn Hajar dalam Fath Al-Bari-nya
?!?
Kami menjawab : Pernyataan ini tidak ada asalnya (La Ashla lahu),
bahkan ini merupakan penyimpangan dan pemelintiran dari
pernyataan Imam Bukhori yang sesungguhnya. Imam Bukhori
mempunyai sebuah bab dalam kitab shohih-nya yang terkenal yaitu
Bab sesuatu yang datang tentang kebolehan hadis ahad sebagai dalil
untuk masalah Adzan, Sholat, Shoum, Faraidh dan Ahkam ; titik dan
tidak ada pernyataan dari Imam Bukhori tentang kebolehan hadis
ahad sebagai dalil dalam masalah aqidah, baik tidak dalam kitab
Shohih-nya atau dalam kitab-nya yang lain. Dan Al-Hafidz Ibn Hajar
ketika menjelaskan kata “bi Al-Ijazah” menyatakan tentang
kebolehan beramal (ahkam furu’iyah) dengan hadis ahad dan hadis
ahad adalah hujah. Lalu dimana Ibn Hajar menyatakan tentang
kehujjahan hadis ahad dalam masalah aqidah !!! Bahkan beliau
menukil pendapat Imam Al-Kirmani menyatakan bahwa Hadis ahad
adalah hujjah dalam masalah amaliyah, tidak dalam masalah
I’tiqodiyah (Fathul Bari juz 13, Bab Akhbar Al-Ahad), beliau mengutip
pendapat ini tanpa mengomentarinya, yang berarti belaiu cenderung
untuk mengadopsi pendapat ini. Dan hal ini ditegaskan dengan sikap
Al-Hafidz Ibn Hajar tentang nilai hadis ahad , beliau menyatakan
bahwa “ Hadis ahad tidak berfaedah kecuali dzon, apabila tidak
sampai derajat mutawatir (Fathul Bari, juz 13\hal. 238) dan beliau
menambahkan bahwa hadis ahad adalah hujjah dalam masalah
hukum ketika menjelaskan sebuah hadis tentang disunnahkan untuk
berwudhu’ sekalipun sedang dalam perjalanan (safar) (Lihat Fathu Al-
Bari’ juz 1\Hadis No. 200\hal. 308). Adalah hal yang sangat aneh
adalah kalau orang yang mencoba menukil pendapat Ibn Hajar
sebenarnya adalah orang yang sangat keras mengkritik pendapat Ibn
Hajar dalam masalah Aqidah, mereka menulis beberapa kitab yang isi
mengkritik dan memperingatkan umat Islam akan penyimpangan Ibn
Hajar dalam masalah Aqidah, diantara:
- Al-Tanbih ala Al-Mukholalifat Al-Aqidah fi Fath Al-Bari oleh
Syeikh Ibn Baz, Syeikh Sholeh Fauzan, Syeikh Abdullah ibn
Mani’, Syeikh Abdullah Al-Naiman.
- Al-Akhtho’ Al-Asasiyah fi Al-Aqidah wa tauhid Al-Uluhiyah
min kitab Fath Al-Bari bi Syarh Shohih Al-Bukhori oleh Syeikh
Abdullah ibn Sa’di Al-Ghomidi.
Akan tetapi yang aneh adalah Syeikh Salim I’ed Al-Hilali kembali
menukil pendapat Ibn Hajar dalam kitabnya Al-Adilah wa Asy-
Syawahid ala Wujub Al-Akhdzi bi khobar Al-Wahid fi Al-Ahkam wa Al-
Aqoid. Baru kali ini terjadi ada sekelompok orang yang
memperingatkan penyimpangan Aqidah dari seorang Imam Hadis
kepada umat Islam, lalu tetap menukil dan menggunakan
pendapatnya dalam masalah Aqidah untuk mempertahankan
pendapatnya yang lemah dan dibumbui dengan berbagai dalil yang
digunakan tidak pada tempatnya (asal comot saja). Sehingga sunnah
yang berasal dari Rasul SAW, Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut tabi’in
menyatakan bahwa makna Syar’I yang umum adalah mencakup
keseluruhan hukum baik yang berkenaan dengan masalah I’tiqodiyah
dan masalah amaliyah seperti hukum wajib, Sunnah, Mubah dll
sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibn Alan dalam Dalil Al-falih Syarh
Riyadhus Sholihin ketika beliau menjelaskan hadis “Fa alaikum bi
Sunnati” dengan Sunnah-ku yaitu Jalan-ku yang lurus yang berada
diatasnya yang aku telah menjelaskan kepada kalian dari hukum-
hukum I’tiqod maupun Amal yaitu wajib, sunnah, mubah dll. Sekarang
adakah ulama yang tidak menggunakan Istilah I’tiqod dan Amaliyah
Furuiyah, sehingga tuduhan penggunaan istilah I’tiqod dan Amaliyah
Furuiyah adalah filsafat yang menyusup dalam Islam adalah tuduhan
yang mengada-ada, tidak ada dasarnya dan khayalan dari orang
yang suka mengkhayal. Coba juga periksa apakah Syaikhul Islam Ibn
Taimiyah menolak pembagian masalah I’tiqod dan Furu’ dalam
bukunya Majmu Al-Fatawa-nya yang terkenal itu atau dalam kitabnya
yang lain, begitu juga apakah ada bukti yang menunjukkan bahwa Al-
hafidz Ibn Hajjar, Al-Hafidz As-Suyuti, Al-Hafidz Al-Khotib Al-Baghdadi,
Al-Hafidz Ibn Al-Jauzi, Al-Hafidz Adz-Dzahabi, Al-Hafidz Ibn Hajjar Al-
Haitsami, Imam Shon’ani, Imam Nawawi , Imam Ibn Qudamah, Imam
Al-Amidi dan para Ulama yang lain dari berbagai disiplin Ilmu Dien di
dalam kitab-kitab mereka yang menolak pembagian Itiqod dan Furu’
dalam masalah Dien !?!

Bahkan Imam Abu Al-Hasan Saifudin Al-Amidi (w. 631), beliau berkata
: ‘’ Bahwa masalah Aqidah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qoth’I,
sedang masalah furu’ cukup ditetapkan dengan dalil-dalil dzoni ’’.
Lalu ia menambahkan : ‘’ Barang siapa menolak Ijma ’’ (konsensus -
pent) dalam masalah ini maka telah gugur pendapatnya, dengan
adanya kasus pada masalah fatwa dan kesaksian. Perbedaan antara
masalah Ushul dan furu’ adalah sangat jelas. Mereka yang
menyamakan masalah ushul dan masalah furu’ berarti telah membuat
hukum sendiri, hal ini adalah sesuatu yang mustahil dan hanya
dilakukan oleh orang-orang yang sombong dan arogan ’’ (Lihat Al-
Ihkam fi Ushuli Al-Ahkam Imam Al-Amidi juz I\hal. 71-72; Al-Ihkam fi
Ushuli Al-Ahkam Imam Ibn Hazm juz I\hal. 114). Sehingga jelaslah bagi
orang-orang yang berakal antara orang yang berpegang dengan Al-
Haq dan orang yang mengaku-aku berpegang pada Al-Haq ?!?!
11- Syubhat Kesebelas : Ada pendapat yang menyatakan
pembagian hadis menjadi Mutawatir ahad adalah sia-sia karena
pada masa Shahabat mereka hanya menyakini apa yang
disampaikan dari Rasul SAW tanpa melihat apakah hadis tsb
Mutawatir – Ahad ?
Kami menjawab :
1- Pada masa Rasul SAW khobar ahad tidak pernah menjadi topik
pembicaraan. Sehingga tidak perlu ada pembagian hadis ahad
– mutawatir. Sebab mereka telah mendapat pengajaran
langsung dari Rasul SAW tanpa melalui perantara dari orang
selain mereka, yakni dari orang yang mendengar hadis
langsung dari lisan Rasul SAW atau menyaksikan perbuatannya
secara langsung.
2- Orang yang mendengar hadis langsung dari Rasul SAW atau
menyaksikan perbuatannya secara langsung, bisa menjadi kafir
jika ia menolak sabda Rasul atau menolak kandungan isinya,
dengan jalan berdusta atau mengingkarinya. Dalam masalah ini
para Ulama tidak berbeda pendapat.
3- Orang yang mendengar dari orang yang mendengar dari Rasul
SAW, atau orang yang diberi informasi oleh orang-orang
sebelumnya, misalnya tabi’ut tabi’in serta orang-orang setelah
mereka, seperti kita saat ini , maka mereka wajib untuk mengkaji
mata rantai, transmisi, ataupun silsilah yang menghubungkan
dirinya dengan Rasul SAW untuk mengetahui kebenaran mata
rantai tersebut. Jika para perawi sebagai perantara dari sebuah
hadis terbukti kejujurannya dan kekuatan hafalannya atau
bersesuaian dengan riwayat dari perawi terpercaya lainnya, lalu
tidak terdapat syadz dan ilaat dalam redaksional hadisnya,
maka kita harus menyakini bahwa sumber perkataan dan
perbuatan tersebut adalah berasal dari Nabi SAW. Adapun jika
trasmisi tersebut tidak dapat dibuktikan keabsahannya, atau
tidak absah, maka dengan otomatis harus dilakukan tarjih.
Artinya, dugaan bahwa sumber khobar tersebut berasal daari
Rasul SAW lebih kuat dibanding dengan dugaan bahwa khobar
tersebut tidak berasal dari Nabi SAW.
4- Bahwa Khobar ahad tidak bisa menghasilkan ilmu dan
keyakinan merupakan kajian yang dapat dengan mudah
difahami oleh orang yang berakal dan telah diketahui secara
umum. Akal dapat membedakan antara khobar yang
disampaikan kepada kita oleh individu secara perorangan
(ahad), dengan khobar yang disampaikan kepada kita oleh
sekelompok orang, dimana dengan jumlah tersebut, mustahil
bagi mereka untuk menyampaikan berita yang salah, atau
sepakat berdusta. Hal ini tidak hanya terbatas dalam masalah
syari’at, tetapi juga berlaku umum, baik pada masalah syari’at
ataupun masalah lainnya.
5- Pendapat yang menyatakan bahwa khobar ahad tidak dapat
menghasilkan ilmu, kepastian , atau keyakinan, merupakan
pendapat ulama-ulama yang terkemuka dan para ulama ushul.
Baik kholaf maupun salaf. Dan ia bukan pendapat yang
menyimpang dari pendapat para ulama salaf dan ulama
kholaf. (Lihat kitab-kitab Ushul seperti : Kitab Kasyf Al-Asrar Ala
Ushul Al-Fiqh, oleh Imam Al-Bazdawi I/690 ; Al-Mustashfa min ‘Ilm
Ushul oleh Imam Ghozali hal. 93; Hasyiyah Nasmaat Al-Asrar ‘Ala
Syarh Ifadhaat Al-Anwar oleh Ibn Abidin hal. 195; Syarh Jalal Al-
Mihla ‘Ala Jam’I Al-Jawami’ oleh Imam As-Subki II\114; Raudhat
Al-Nadzir wa Jannat Al- Munadhir fi Ushul Fiqh oleh Ibn Qudamah
Al-Maqdisi I\260; Irsyad Al-Fuhul oleh Imam Asy-Syaukani hal. 42;
Al-Talwih als Al-Audhih li Matan Al-Tanqih fi Ushul Al-Fiqh oleh
Imam Ubaidillah Al-Bukhori II\3; Ghoyat Al-Wushul Syarh Lubb Al-
Ushul fi syarh Mar’at Al-Wushul oleh Imam Mulla Khasru II\204;
Muslim Tsubut oleh Ibnu ‘Abd Al-Syukur II\88).
6- Kemudian pendapat sebagian Ahli Hadis bahwa hadis ahad
memberi faedah qoth’I merupakan kesalahan penafsiran,
karena hal sebenarnya tidak seperti itu. Sebagaimana dijelaskan
oleh Imam Ghozali sbb: “ Tatkala sebuah hadis terbukti sebagai
hadis Ahad, maka ini tidak berfaedah Ilmu\Dzoni dan masalah
ini sudah diketahui dengan jelas dalam Islam (ma’lumun bi al-
Dharuri)”. Lalu beliau melanjutkan penjelasannya : ‘’ Adapun
pendapat para Ahli hadis bahwa ia (hadis Ahad-pent) adalah
menghasilkan Ilmu\qoth’I adalah hadis Ahad yang wajib untuk
diamalkan (dalam masalah hukum furu’iyah –pent) dan
ketentuan ini ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang Qoth’I
(yang menghasilkan Ilmu\qoth’I-pent)” (Lihat Kitab Al-Mustasfa
min Ilm’ al-Ushul juz 1\hal 145-146 -pent). Lalu Imam
Jamaluddin Al-Qosimi menambahkan : “ Sesungguhnya jumhur
kaum muslimin dari kalangan sahabat, tabi’in, golongan setelah
mereka dari kalangan fuqoha, ahli hadis, dan ulama ushul
berpendapat bahwa hadis ahad yang terpercaya dapat
dijadikan hujjah dalam masalah tasyri’ yang wajib diamalkan,
tetapi hadis ahad ini hanya menghantarkan pada Dzon tidak
sampai derajat ilmu (yakin)” (Lihat Kitab Qawaidut Tahdis hal.
147-148).

12- Syubhat Keduabelas : Ada sebagian orang berargumentasi bahwa


penolakan para sahabat atas ayat al-Qur’an yang diriwayatkan
secara ahad adalah untuk persatuan, bukan karena riwayat itu
mutawatir !
Kami menjawab : Untuk menjawab tuduhan ini marilah kita menyimak
beberapa riwayat yang menjelaskan masalah yang sebenarnya. Salah
satunya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Anbary dalam
Mashohifnya, dan Al-Hasan ,Ibn Sirrin, dan Zuhri dalam hadis yang
panjang tentang pengumpulan Al-Qur’an, dimana Umar ra. menolak
khobar dari Hafshoh ra. tentang tambahan lafadz pada Surat Al-
Baqoroh ayat 238 karena ia tidak punya saksi (riwayatnya ahad).
Begitu pada riwayat Aisyah ra. yang diriwayatkan oleh Imam Malik
dalam Al-Muwatho’ tentang penghapusan ketentuan 10 isapan
menjadi 5 isapan yang menyebabkan hubungan mahram, dan
riwayat Ubay Ibn Ka’ab ra. yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Al-
Hakim dan selain keduanya tentang kafarat budak. Riwayat-riwayat
ini tidak dicantumkan oleh para Sahabat dalam Mushhaf Imam karena
riwayat tersebut adalah Khobar Ahad dan mereka juga telah
bersepakat bahwa riwayat-riwayat ini tidak memberi keyakinan yang
pasti. Hal ini dipertegas oleh keterangan para ulama dalam
menetapkan kriteria dan rukun qira’at yang dapat diterima (Lihat Al-
Qira’at Ahkamuha wa Masdaruha oleh DR. Sya’ban Muhammad Ismail
, Bab Anwa’a Al-Qira’at) sbb:
1- Sanadnya Mutawatir
2- Sesuai dengan Mushhaf Utsmani, walau hanya tersirat
3- Sesuai dengan salah satu kaedah bahasa arab (Lihat Al-Itqon
jilid I\Hal. 129 Oleh Imam As-Suyuti , Penerbit Al-Halabi Kairo).

Persyaratan mutawatir ini adalah pendapat Jumhur Ulama baik ulama


Ushuluddin, para imam madzab yang empat, para ahli hadis dan para
ahli Qira’at. Mereka semua sepakat bahwa qira’at shohih atau yang
diterima adalah qira’at yang mutawatir dan tidak menerima qira’at
dengan sanad shohih (gadis ahad –pent) jika tidak mutawatir (Lihat
Ghoitsun Naf’I fil Qiraa’at As-Sab’I hal. 9 oleh Imam Ash-Shafaaqasi,
penerbit Maktabah At-Tijariyah Al-Kubra – Kairo). Imam An-Nuwairi
menambahkan : ‘’ Meniadakan syarat mutawatir adalah Muhdas
(sesuatu yang baru ), bertentangan dengan ijma’ para ahli fiqh, ahli
hadis dan yang lain-lain. Sebab Al-Qur’an – menurut jumhur – adalah
kalamullah yang diriwayatkan secara mutawatir dan ditulis didalam
mushhaf. Semua yang menerima definisi ini pasti memberi syarat
mutawatir, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibn Hajib. Sehingga
menurut para Imam dam pemuka madzhab syarat mutawatir adalah
sebuah keharusan. Mereka yang berpendapat seperti ini antara lain
Abu Abdil Barr, Al-Azra’I, Ibn Athiyah, Az-Zarkhasi dan Al-Asnawi.
Pendapat yang mensyaratkan mutawatir ini adalah ijma’ para Ahli
Qira’at (Lihat Ithafu Fudhola Al-Basysr fi Al-Qira’at Al-Arba’ Asyar hal.
185 oleh Imam Ad-Dimyathi, Penerbit Al-Masyhad Al-Husaini – Kairo).
Sehingga sanad yang shohih saja tidak cukup untuk diterimanya
sebuah riwayat sebagai bagian dari Al-Qur’an, kalau tidak mencapai
sanad Mutawatir. Imam Al-Khotib Al-Baghdadi menjelaskan bahwa
riwayat yang mutawatir adalah periwayatan oleh banyak orang,
dimana menurut adat, mustahil mereka untuk bersepakat melakukan
dusta, mulai awal sanad sampai akhir sanad (Lihat kitab Al-Kifayah fi
Al-Ilmi Ar-Riwayah hal. 50 oleh Imam Al-Khotib Al-Baghdadi). Dimana
riwayat yang mutawatir ini memberi faedah ilmu (kepastian), dan
merupakan dalil pokok untuk membangun Aqidah kaum muslimin. Dan
sudah jelas bahwa para Sahabat dan generasi sesudahnya hanya
menerima riwayat mutawatir dalam Mushhaf Imam, sedang Al-Qur’an
adalah dalil utama dalam membangun keimanan. Bahkan Imam Ibn
Al-Jaziri dan Al-Alamah Ibn As-Subki menegaskan : ‘’ Setiap muslim
berhak untuk mendapat kasih sayang serta menyakinkan dirinya
bahwa yang kami utarakan – tentang mutawatirnya qira’at Asyara’ –
benar-benar mutawatir dan telah diketahui dengan yakin dan pasti,
tidak ada keraguan dan tidak diragukan lagi (Lihat Kitab Tafsir Al-Jami’
li Ahkam Al-Qur’an jilid I\hal. 46 oleh Al-Hafidz Al-Qurthubi, Penerbit Dar
Al-Kutub Al-Mishriyah – Kairo). Kemudian Imam Al-Zamakhsari,
menambahkan : “ Imam Malik Berpendapat barang siapa sholat
dengan membaca Qira’at (bacaan –pent) Ibn Mas’ud yang tidak
Mutawatir dan tidak termasuk Qira’at Para Shahabat, maka ia telah
menyelisihi mushhaf (Mushhaf Imam yang mutawatir-pent) dan
janganlah sholat dibelakangnya” (Al-Burhan Fi Ulumil Qur’an juz I\hal.
222). Wallahu A’lam bi Showab.

KHATIMAH :

Sebagai kata penutup , hendaknya semua pihak yang berbeda


pendapat termasuk dalam masalah hukum hadis ahad ini tidak
menjadikan perbedaan-perbedaan tersebut sebagai sumber konflik
yang berkepanjangan yang ujung-ujungnya akan merusak ikatan
ukhuwah yang sedang coba kita rajut saat ini. Sebagaimana
penjelasan Imam Al-Qurtubi ketika menjelaskan firman Allah SWT : “
Dan ingatkan ketika Kami memberikan kepada kalian ni’mat
persaudaraan, dan melembutkan hati kalian” (Surat Ali Imran - ayat
103). Beliau menyatakan bahwa ayat ini tidak menunjukkan
keharaman untuk perbedaan dalam masalah hukum-hukum cabang.
Dengan cacatan pendapat-pendapat tersebut memiliki landasan dari
sumber hukum Islam yang legal seperti Al-Qur’an, As-Sunnah , Ijma
Shohabat dan Qiyas dengan Illat yang Syar’i. Kita bisa melihat
bagaimana perilaku para salafus shaleh dalam menyikapi perbedaan
yang terjadi diantara mereka, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul
Islam Ibn Taimiyah berikut : “ Kaum Muslimin sepakat mengenai
kebolehan sholat sebagian mereka dibelakang yang lainnya. Adalah
para Shahabat dan Tabi’in dan generasi sesudah mereka dari Imam
yang empat , sholat sebagian dibelakang sebagian yang lainnya.
Misalnya Imam Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya dan Imam
Syafi’i dan selainnya sholat dibelakang imam-imam di Madinah dari
Ulama Malikiyah dan mereka tidak membaca bismilah baik
dipelankan (sirr) maupun dikeraskan (jahr). Abu Yusuf sholat
dibelakang Imam Al-Rasyid yang sedang berbekam. Dan Imam
Ahmad memandang keharusan orang yang berbekam untuk wudlu’,
kemudian ada seseorang yang bertanya kepadanya: Bagaimana
dengan seorang imam sholat yang darinya mengeluarkan darah
(sedang berbekam) dan belum berwudlu’, Apakah kita boleh sholat
dibelakang mereka ?. Imam Ahmad menjawab: ” Apa yang
menghalangimu untuk sholat dibelakang Sa’id Ibn Musayyab dan
Imam Malik ?” (Imam Al-Manfur, Fawakihul Adidah\juz 2\hal.171). Dari
sini kita bisa mengambil pelajaran bahwa ikhtilaf fiqhiyah harus disikapi
dengan akhlakul karimah dan ilmu. Bukan dengan kebencian dan
permusuhan yang sangat dilarang dalam Islam (Dr. Thoha Jabir Al-
Ulwani, Adab Al-Ikhtilaf\Bab Khotimah). Wallahu A’lam bi Showab .

(CP/Asseifff)

Anda mungkin juga menyukai