Oleh
Muhammad Lazuardi Al-jawi
Oleh karena itu Dr. Muhammad ‘Awwamah berkata dalam kitab Atsar
Al-Hadis Asy-Syarif fi Ikhtilafi Al-Aimmah Al-Fuqoha ra. (terjemah
dengan judul ‘Melacak Akar Perbedaan Madzhab’) pada hal. 46 : ‘’
Kelayakan pengamalan sebuah hadis terjadi setelah sempurna sanad
dan redaksinya dengan syarat yang banyak. Diantaranya syarat-
syarat Haditsiyah dan Ushuliyah. Sehingga persoalannya tidak hanya
berhenti pada pandangan tentang para perawi hadis (rijal Al-Isnad)
yang terdapat dalam kitab Taqrib At-Tahdzib sebagaimana
disangkakan banyak orang pada masa ini ” . Dan hanya orang yang
diberi petunjuk oleh Allah melalui bimbingan para Ulama yang
terpercayalah yang akan selamat dari fitnah yang diciptakan oleh
orang-orang yang hanya mengikuti hawa nafsunya !?!!
Bahkan Imam Abu Al-Hasan Saifudin Al-Amidi (w. 631), beliau berkata
: ‘’ Bahwa masalah Aqidah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qoth’I,
sedang masalah furu’ cukup ditetapkan dengan dalil-dalil dzoni ’’.
Lalu ia menambahkan : ‘’ Barang siapa menolak Ijma ’’ (konsensus -
pent) dalam masalah ini maka telah gugur pendapatnya, dengan
adanya kasus pada masalah fatwa dan kesaksian. Perbedaan antara
masalah Ushul dan furu’ adalah sangat jelas. Mereka yang
menyamakan masalah ushul dan masalah furu’ berarti telah membuat
hukum sendiri, hal ini adalah sesuatu yang mustahil dan hanya
dilakukan oleh orang-orang yang sombong dan arogan ’’ (Lihat Al-
Ihkam fi Ushuli Al-Ahkam Imam Al-Amidi juz I\hal. 71-72; Al-Ihkam fi
Ushuli Al-Ahkam Imam Ibn Hazm juz I\hal. 114). Sehingga jelaslah bagi
orang-orang yang berakal antara orang yang berpegang dengan Al-
Haq dan orang yang mengaku-aku berpegang pada Al-Haq ?!?!
11- Syubhat Kesebelas : Ada pendapat yang menyatakan
pembagian hadis menjadi Mutawatir ahad adalah sia-sia karena
pada masa Shahabat mereka hanya menyakini apa yang
disampaikan dari Rasul SAW tanpa melihat apakah hadis tsb
Mutawatir – Ahad ?
Kami menjawab :
1- Pada masa Rasul SAW khobar ahad tidak pernah menjadi topik
pembicaraan. Sehingga tidak perlu ada pembagian hadis ahad
– mutawatir. Sebab mereka telah mendapat pengajaran
langsung dari Rasul SAW tanpa melalui perantara dari orang
selain mereka, yakni dari orang yang mendengar hadis
langsung dari lisan Rasul SAW atau menyaksikan perbuatannya
secara langsung.
2- Orang yang mendengar hadis langsung dari Rasul SAW atau
menyaksikan perbuatannya secara langsung, bisa menjadi kafir
jika ia menolak sabda Rasul atau menolak kandungan isinya,
dengan jalan berdusta atau mengingkarinya. Dalam masalah ini
para Ulama tidak berbeda pendapat.
3- Orang yang mendengar dari orang yang mendengar dari Rasul
SAW, atau orang yang diberi informasi oleh orang-orang
sebelumnya, misalnya tabi’ut tabi’in serta orang-orang setelah
mereka, seperti kita saat ini , maka mereka wajib untuk mengkaji
mata rantai, transmisi, ataupun silsilah yang menghubungkan
dirinya dengan Rasul SAW untuk mengetahui kebenaran mata
rantai tersebut. Jika para perawi sebagai perantara dari sebuah
hadis terbukti kejujurannya dan kekuatan hafalannya atau
bersesuaian dengan riwayat dari perawi terpercaya lainnya, lalu
tidak terdapat syadz dan ilaat dalam redaksional hadisnya,
maka kita harus menyakini bahwa sumber perkataan dan
perbuatan tersebut adalah berasal dari Nabi SAW. Adapun jika
trasmisi tersebut tidak dapat dibuktikan keabsahannya, atau
tidak absah, maka dengan otomatis harus dilakukan tarjih.
Artinya, dugaan bahwa sumber khobar tersebut berasal daari
Rasul SAW lebih kuat dibanding dengan dugaan bahwa khobar
tersebut tidak berasal dari Nabi SAW.
4- Bahwa Khobar ahad tidak bisa menghasilkan ilmu dan
keyakinan merupakan kajian yang dapat dengan mudah
difahami oleh orang yang berakal dan telah diketahui secara
umum. Akal dapat membedakan antara khobar yang
disampaikan kepada kita oleh individu secara perorangan
(ahad), dengan khobar yang disampaikan kepada kita oleh
sekelompok orang, dimana dengan jumlah tersebut, mustahil
bagi mereka untuk menyampaikan berita yang salah, atau
sepakat berdusta. Hal ini tidak hanya terbatas dalam masalah
syari’at, tetapi juga berlaku umum, baik pada masalah syari’at
ataupun masalah lainnya.
5- Pendapat yang menyatakan bahwa khobar ahad tidak dapat
menghasilkan ilmu, kepastian , atau keyakinan, merupakan
pendapat ulama-ulama yang terkemuka dan para ulama ushul.
Baik kholaf maupun salaf. Dan ia bukan pendapat yang
menyimpang dari pendapat para ulama salaf dan ulama
kholaf. (Lihat kitab-kitab Ushul seperti : Kitab Kasyf Al-Asrar Ala
Ushul Al-Fiqh, oleh Imam Al-Bazdawi I/690 ; Al-Mustashfa min ‘Ilm
Ushul oleh Imam Ghozali hal. 93; Hasyiyah Nasmaat Al-Asrar ‘Ala
Syarh Ifadhaat Al-Anwar oleh Ibn Abidin hal. 195; Syarh Jalal Al-
Mihla ‘Ala Jam’I Al-Jawami’ oleh Imam As-Subki II\114; Raudhat
Al-Nadzir wa Jannat Al- Munadhir fi Ushul Fiqh oleh Ibn Qudamah
Al-Maqdisi I\260; Irsyad Al-Fuhul oleh Imam Asy-Syaukani hal. 42;
Al-Talwih als Al-Audhih li Matan Al-Tanqih fi Ushul Al-Fiqh oleh
Imam Ubaidillah Al-Bukhori II\3; Ghoyat Al-Wushul Syarh Lubb Al-
Ushul fi syarh Mar’at Al-Wushul oleh Imam Mulla Khasru II\204;
Muslim Tsubut oleh Ibnu ‘Abd Al-Syukur II\88).
6- Kemudian pendapat sebagian Ahli Hadis bahwa hadis ahad
memberi faedah qoth’I merupakan kesalahan penafsiran,
karena hal sebenarnya tidak seperti itu. Sebagaimana dijelaskan
oleh Imam Ghozali sbb: “ Tatkala sebuah hadis terbukti sebagai
hadis Ahad, maka ini tidak berfaedah Ilmu\Dzoni dan masalah
ini sudah diketahui dengan jelas dalam Islam (ma’lumun bi al-
Dharuri)”. Lalu beliau melanjutkan penjelasannya : ‘’ Adapun
pendapat para Ahli hadis bahwa ia (hadis Ahad-pent) adalah
menghasilkan Ilmu\qoth’I adalah hadis Ahad yang wajib untuk
diamalkan (dalam masalah hukum furu’iyah –pent) dan
ketentuan ini ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang Qoth’I
(yang menghasilkan Ilmu\qoth’I-pent)” (Lihat Kitab Al-Mustasfa
min Ilm’ al-Ushul juz 1\hal 145-146 -pent). Lalu Imam
Jamaluddin Al-Qosimi menambahkan : “ Sesungguhnya jumhur
kaum muslimin dari kalangan sahabat, tabi’in, golongan setelah
mereka dari kalangan fuqoha, ahli hadis, dan ulama ushul
berpendapat bahwa hadis ahad yang terpercaya dapat
dijadikan hujjah dalam masalah tasyri’ yang wajib diamalkan,
tetapi hadis ahad ini hanya menghantarkan pada Dzon tidak
sampai derajat ilmu (yakin)” (Lihat Kitab Qawaidut Tahdis hal.
147-148).
KHATIMAH :
(CP/Asseifff)