Anda di halaman 1dari 21

Islam dan Tantangan Demokrasi

Dapatkah hak-hak individu dan kedaulatan rakyat dilandaskan pada keimanan?

Seorang ahli hukum Muslim klasik yang menulis tema tentang Islam dan pemerintahan akan
memulai tulisannya dengan membedakan jenis sistem politik. Pertama-tama, ia akan
menggambarkan sistem politik natural–sebuah dunia anarkis, tak berperadaban, dan primitif. Di
dalamnya, kelompok yang paling kuat menguasai kelompok yang lemah. Tidak ada hukum; yang
ada hanya tradisi. Tidak ada pemerintahan; yang ada hanya pemimpin-pemimpin suku yang
ditaati selama mereka dianggap sebagai yang terkuat.
Para ahli hukum itu kemudian akan menggambarkan sistem kedua, yang diperintah oleh
seorang pangeran atau raja yang titahnya dipandang sebagai hukum. Karena hukum ditetapkan
dengan kehendak sewenang-wenang penguasa, dan rakyat menaatinya semata karena sebuah
keharusan dan paksaan, sistem ini juga dipandang sebagai bentuk tirani dan tidak memperoleh
legitimasi.
Yang ketiga adalah sistem yang paling baik, yaitu sistem khilafah, yang didasarkan pada
Syariat–batang tubuh hukum agama Islam yang dilandaskan pada Alquran dan perilaku serta
perkataan nabi. Menurut para ahli hukum Muslim, hukum Syariat memenuhi kriteria keadilan
dan legitimasi, dan mengikat rakyat dan juga penguasa. Karena ia didasarkan pada aturan hukum
dan menolak otoritas manusia atas manusia lainnya, sistem khilafah dipandang lebih unggul dari
pada sistem lainnya.
Untuk mendukung aturan hukum dan pemerintahan yang tidak tak terbatas, para ulama
klasik menganut unsur-unsur inti yang dipraktikkan dalam sistem demokrasi modern. Namun,
pemerintahan yang tidak tak terbatas dan aturan hukum hanyalah dua unsur dari sebuah sistem
pemerintahan yang saat ini memiliki klaim legitimasi yang paling meyakinkan. Kekuatan moral
demokrasi terletak pada gagasan bahwa warga negara sebuah bangsa adalah pemilik kedaulatan,
dan–dalam sistem demokrasi representatif modern–para warga mewujudkan kehendaknya yang
tertinggi dengan memilih orang-orang yang mewakili mereka. Dalam sebuah sistem demokrasi,
rakyat adalah sumber hukum dan hukum pada gilirannya berfungsi menjamin perlindungan
terhadap kesejahteraan dan kepentingan setiap orang yang memiliki kedaulatan itu.
Dari sudut pandang Islam, demokrasi menyuguhkan sebuah tantangan yang sangat berat.
Para ahli hukum Muslim berargumen bahwa hukum yang dibuat oleh sebuah sistem kerajaan
dipandang tidak sah karena ia menggantikan kedaulatan Tuhan dengan otoritas manusia. Tapi
hukum yang dibuat oleh rakyat sebagai pemilik kedaulatan juga mengandung persoalan
legitimasi serupa. Dalam agama Islam, Tuhan adalah satu-satunya pemegang kedaulatan dan
sumber hukum tertinggi. Jadi, bagaimana konsep demokrasi tentang otoritas rakyat dapat
diserasikan dengan ajaran Islam tentang otoritas Tuhan?
Menjawab pertanyaan ini sangat penting sekaligus luar biasa beratnya, baik dari sisi
politis maupun dari sisi konsep. Dari sisi politis, sejak awal kita harus tegaskan bahwa demokrasi
menghadapi sejumlah kendala praktis di negara-negara Islam–berbagai tradisi politik otoriter,
sejarah imperialisme dan kolonialisme, dan dominasi negara terhadap aktivitas ekonomi dan
kehidupan masyarakat. Kita juga perlu mengemukakan persoalan filosofis dan doktrinal, dan
saya mengusulkan agar kita berkonsentrasi pada persoalan tersebut untuk memulai diskusi kita
tentang kemungkinan penerapan demokrasi di dunia Islam.
Sebuah persoalan konseptual yang paling penting adalah bahwa demokrasi modern telah
berkembang selama berabad-abad dalam konteks dunia Eropa Kristen pasca Reformasi yang
sangat unik. Apakah masuk akal bila kita mencari titik temu pada sebuah konteks yang sangat
jauh berbeda? &&& Jawaban saya dimulai dari premis bahwa demokrasi dan Islam didefinisikan
berdasarkan nilai-nilai moral utama yang mendasarinya, serta komitmen para pelakunya–bukan
berdasarkan cara penerapan nilai-nilai dan komitmen tersebut. Jika kita berkonsentrasi pada
nilai-nilai moral yang mendasar itu, saya yakin, kita akan menyaksikan bahwa tradisi pemikiran
politik Islam memuat kemungkinan-kemungkinan interpretatif maupun praktis yang dapat
dikembangkan ke dalam sebuah sistem demokrasi. Jelasnya, kemungkinan-kemungkinan
doktrinal ini bisa saja tidak terwujud: tanpa kekuatan kehendak, visi yang tercerahkan, dan
komitmen moral, tidak akan terwujud sebuah demokrasi dalam Islam. Tapi, orang-orang Islam,
yang menjadikan Islam sebagai kerangka rujukan yang otoritatif, akhirnya bisa meyakini bahwa
demokrasi adalah sebuah kebaikan etis, dan bahwa upaya mengejar kebaikan tersebut tidak
berarti harus meninggalkan Islam.

Demokrasi dan Kedaulatan Tuhan


Meskipun para ahli hukum Muslim telah memperdebatkan berbagai sistem politik, Alquran
sendiri tidak menjelaskan secara spesifik bentuk pemerintahan tertentu. Tapi Alquran jelas-jelas
menyebutkan seperangkat nilai sosial dan politis yang penting bagi sebuah pemerintahan Islam.
Tiga nilai Qurani berikut ini memiliki signifikansi khusus: mencapai keadilan melalui kerja sama
sosial dan prinsip saling membantu (Q.S. 49:13, 11:119); membangun sebuah sistem
pemerintahan konsultatif yang tidak otokratis; dan melembagakan kasih sayang dalam interaksi
sosial (Q.S. 6:12, 54; 21:77; 27:77; 45:20). Jadi, orang-orang Islam dewasa ini harus menyokong
sebuah bentuk pemerintahan yang paling efektif untuk membantu mereka mewujudkan nilai-nilai
tersebut.

Kasus demokrasi

Beberapa pertimbangan mengungkapkan bahwa demokrasi–terutama demokrasi


konstitusional yang melindungi hak-hak individu yang paling mendasar–adalah bentuk
pemerintahan yang dimaksud. Argumentasi saya (argumentasi lainnya akan disebutkan
kemudian) adalah bahwa demokrasi–dengan memberikan hak yang sama kepada semua orang
untuk berekspresi, berkumpul, dan menggunakan hak pilih–menawarkan peluang yang paling
besar untuk menjunjung keadilan dan melindungi martabat manusia, tanpa menjadikan Tuhan
sebagai pihak yang bertanggung jawab atas ketidakadilan yang diderita manusia, atau atas
penghinaan terhadap manusia oleh manusia lainnya. Gagasan mendasar dalam Alquran adalah
bahwa Tuhan telah menanamkan ke dalam diri manusia sifat-sifat ilahi dengan menjadikan
semua manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada
para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka
berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan
memuji Engkau dan menyucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui.’” (Q.S. 2:30). Secara khusus, manusia memiliki tanggung jawab,
sebagai wakil Tuhan di bumi, untuk memenuhi dunia dengan keadilan. Dengan memberikan hak-
hak politik yang sama terhadap semua orang yang sudah dewasa, demokrasi mengekspresikan
kedudukan khusus manusia di antara seluruh makhluk ciptaan Tuhan, dan memungkinkan
manusia melepas tanggung jawab tersebut. discharge
Tentu saja, khalifah Tuhan tidak memiliki kesempurnaan penilaian dan kehendak seperti
yang dimiliki Tuhan. Jadi, sebuah demokrasi konstitusional mengakui dan mengantisipasi

2
kesalahan dalam pengambilan keputusan akibat berbagai godaan dan keburukan yang terkait
dengan kesalahan alami manusia dengan cara memancangkan standar-standar moral unggulan
dalam sebuah dokumen konstitusi–berbagai standar moral yang mengekspresikan martabat
manusia. Jelasnya, demokrasi memang tidak menjamin terlaksananya keadilan hakiki. Tapi ia
dengan sungguh-sungguh membangun sebuah landasan untuk menegakkan keadilan dan
memenuhi tanggung jawab paling utama yang diamanatkan Tuhan kepada semua individu.
Tentu saja, dalam sebuah demokrasi representatif, beberapa individu tertentu memiliki
otoritas yang lebih besar dari pada individu lainnya. Tapi sebuah sistem demokrasi menjadikan
otoritas tersebut sebagai bentuk tanggung jawab terhadap semua orang dan dengan demikian
menentang kecenderungan kebal hukum dari orang-orang yang berkuasa. Persyaratan tentang
pertanggungjawaban ini selaras dengan perintah untuk menegakkan keadilan yang diajarkan
Islam. Jika sebuah sistem politik tidak memiliki mekanisme institusional untuk meminta
pertanggungjawaban dari seorang penguasa yang tidak adil, maka sistem itu sendiri dipandang
sebagai sistem yang tidak adil, tanpa memandang apakah ketidakadilan tengah berlangsung atau
tidak. Jika sebuah hukum kriminal tidak memberikan hukuman terhadap tindak pemerkosaan,
maka hukum itu dipandang tidak adil, tidak peduli apakah tindak kejahatan itu terjadi atau tidak.
Karena kebaikan moral yang ada pada demokrasi itulah, yaitu adanya lembaga pemilihan suara,
pemisahan dan pembagian kekuasaan, dan jaminan terhadap pluralisme, demokrasi setidaknya
menawarkan kemungkinan untuk melakukan perbaikan.
Kita memiliki sebuah kasus uji coba demokrasi yang dibangun atas dasar gagasan Islam
tentang kedudukan khusus manusia di antara makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Dikatakan uji coba
karena kita belum pernah mengkaji tantangan serius dari kasus tersebut: bagaimana hukum
Syariat, yang dibangun atas dasar kedaulatan Tuhan, bisa didamaikan dengan gagasan demokrasi
bahwa manusia, sebagai pemegang kedaulatan, dengan bebas dapat mengabaikan hukum
Syariat?

Tuhan sebagai pemegang kedaulatan

Pada awal sejarah Islam, persoalan tentang kekuasaan politik Tuhan (hakimiyyat Allah)
mulai dimunculkan oleh kelompok yang dikenal dengan sebutan Haruriyya (belakangan dikenal
sebagai kelompok Khawarij) ketika mereka memberontak terhadap Khalifah keempat, ‘Ali ibn
Abi Thalib. Sebelumnya mereka adalah pendukung ‘Ali, namun kemudian berbalik menjadi
penentangnya, ketika ‘Ali setuju dengan proses arbitrase untuk menyelesaikan perselisihan
politik dengan kelompok politik saingannya yang dipimpin oleh Mu‘awiyah.
‘Ali sendiri setuju untuk melakukan arbitrase dengan syarat bahwa para arbitrator terikat
dengan Alquran, dan menjadikan syariat sebagai bahan pertimbangan tertinggi. Namun,
kelompok Khawarij–yang terdiri dari orang-orang yang saleh, puritan dan fanatik–yakin bahwa
hukum Tuhan jelas berpihak pada ‘Ali. Jadi mereka menentang proses arbitrase sebagai hal yang
jelas-jelas tidak sah dan merupakan bentuk penentangan terhadap kedaulatan Tuhan. Menurut
kelompok Khawarij, tindakan ‘Ali menunjukkan bahwa ia telah mengabaikan kedaulatan Tuhan
dengan menyerahkan pembuatan keputusan kepada manusia. Mereka memandang ‘Ali telah
mengkhianati Tuhan, dan setelah upaya untuk mencari penyelesaian secara damai gagal
dilakukan, mereka membunuh ‘Ali. Setelah kematian ‘Ali, Mu‘awiyah mengambil alih
kekuasaan dan mengangkat dirinya sebagai khalifah dinasti Umayyah yang pertama.

3
Anekdot-anekdot tentang perdebatan antara ‘Ali dengan kelompok Khawarij
mencerminkan sebuah ketegangan yang sangat jelas tentang makna legalitas dan dampaknya
terhadap aturan hukum. Dalam sebuah anekdot dilaporkan bahwa anggota kelompok Khawarij
menuduh ‘Ali telah menerima keputusan dan kekuasaan (hakimiyah) manusia, bukannya tunduk
pada hukum Tuhan. Setelah mendengar tuduhan itu, ‘Ali memanggil orang-orang agar
berkumpul di sekelilingnya dan membawa sebuah mushaf Alquran. ‘Ali kemudian menyentuh
mushaf itu dan menyuruhnya agar berbicara kepada manusia dan menginformasikan kepada
mereka tentang hukum Tuhan. Karena terkejut, orang-orang yang mengelilingi ‘Ali itu kemudian
berkata, “Apa yang kamu lakukan? Alquran tidak bisa bicara, karena ia bukan manusia!” Lalu
‘Ali mengatakan bahwa itulah yang ia maksudkan. ‘Ali menjelaskan bahwa Alquran tidak lain
adalah kertas dan tinta, dan ia sendiri tidak bisa berbicara. Hanya manusia yang memberinya
daya sesuai dengan keputusan dan pendapat mereka yang terbatas itu.1
Kisah-kisah semacam itu merupakan tema yang mengandung beragam penafsiran, tapi
yang terpenting adalah bahwa kisah yang satu ini menunjukkan kedangkalan dogmatis dari
pengakuan tentang kedaulatan Tuhan yang berujung pada pengkudusan terhadap penetapan
manusia. Slogan kelompok Khawarij bahwa “kekuasaan hanyalah milik Allah,” atau “keputusan
hanya dari Alquran” (la hukma illa lillah atau al-hukm lil Qur’an) hampir mirip dengan slogan
yang dikumandangkan oleh kelompok fundamentalis dewasa ini.2 Tapi, dengan
mempertimbangkan konteks historisnya, slogan kaum Khawarij itu pada awalnya merupakan
simbol tentang legalitas dan supremasi hukum yang kemudian dibelokkan menjadi sebuah
tuntutan radikal untuk menarik garis pembatas yang tegas antara yang sah (benar) dan yang tidak
sah (batil).
Bagi orang-orang yang beriman, Tuhan adalah Maha Kuasa dan Pemilik langit dan bumi.
Tapi ketika berbicara tentang hukum dalam sebuah sistem politik, argumentasi-argumentasi yang
mengklaim bahwa Tuhan merupakan satu-satunya pembentuk hukum menghasilkan dampak
serius yang tidak bisa dipertahankan dari sudut pandang teologi Islam. Argumentasi semacam itu
mengandaikan bahwa (beberapa) agen manusia memiliki akses yang sempurna terhadap
kehendak Tuhan, dan bahwa manusia dapat menjadi pelaksana sempurna dari kehendak Tuhan
tanpa sedikitpun menyertakan keputusan dan kecenderungan mereka dalam proses tersebut.
Lebih jauh lagi, klaim tentang kedaulatan Tuhan mengasumsikan bahwa pemegang
kekuasaan legislatif dari Tuhan akan berusaha mengatur semua bentuk interaksi manusia, bahwa
Syariat merupakan aturan moral yang lengkap yang menyediakan aturan tentang semua
peristiwa. Tuhan sendiri tidak berusaha mengatur seluruh kehidupan manusia, tapi justru
memberikan manusia kebebasan yang sangat luas untuk mengatur urusan mereka sendiri selama
mereka tetap mengikuti standar perilaku yang bermoral, termasuk di dalamnya segala bentuk
upaya untuk melestarikan dan menjunjung tinggi martabat dan kesejahteraan manusia. Dalam
diskurus Alquran, Tuhan memerintahkan semua ciptaan-Nya untuk menghormati manusia karena
kecerdasan akalnya–sebagai cerminan keagungan Tuhan. Secara argumentatif bisa dikatakan
bahwa kenyataan bahwa Tuhan telah menghormati akal manusia dan memandang manusia
sebagai simbol ketuhanan sudah cukup memadai untuk memberikan pembenaran terhadap
komitmen moral untuk melindungi dan melestarikan integritas dan martabat dari simbol
ketuhanan itu (manusia). Tapi–dan inilah yang dimaksudkan ‘Ali–kedaulatan Tuhan tidak serta
merta membebaskan manusia dari tanggung jawabnya sebagai khalifah Tuhan.
Ketika manusia mencari jalan untuk mendekati keindahan dan keadilan Tuhan, maka ia
tidak dipandang telah menolak kedaulatan Tuhan; ia justru sedang mengagungkannya. Begitu
pula halnya ketika manusia berusaha menjaga nilai-nilai moral yang mencerminkan sifat-sifat

4
Tuhan. Jika kita katakan bahwa satu-satunya sumber hukum yang sah adalah teks kitab suci dan
bahwa pengalaman dan kecerdasan manusia tidak memadai untuk mengetahui kehendak Tuhan,
maka konsep tentang kedaulatan Tuhan akan selalu menjadi alat bagi sistem otoritarianisme dan
hambatan bagi demokrasi. Dan sudut pandang otoriter tersebut justru merendahkan kedaulatan
Tuhan.
Saya akan mengembangkan argumentasi itu lebih jauh lagi pada halaman selanjutnya,
tapi untuk membuat persoalan tersebut lebih menarik dan mudah diikuti, saya pertama-tama
perlu mambangun sebuah landasan yang lebih luas bagi doktrin politik dan hukum Islam.

Pemerintahan dan Hukum

Jika, seperti yang diyakini oleh kaum fundamentalis Muslim dan para orientalis Barat,
kekuasaan dan kedaulatan Tuhan berarti bahwa Tuhan merupakan satu-satunya pembuat hukum,
maka konsekuensinya adalah bahwa seorang khalifah atau penguasa Muslim harus diperlakukan
sebagai agen atau wakil Tuhan. Jika Tuhan adalah satu-satunya pemegang kedaulatan dalam
sebuah sistem politik, maka seorang penguasa harus diangkat berdasarkan kedaulatan Tuhan,
mengabdi untuk kepentingan-Nya, dan menjalankan kehendak-Nya. Namun, seperti halnya
makna dan implikasi dari kedaulatan Tuhan yang telah menjadi tema perdebatan serius,
kekuasaan seorang penguasa dan peran hukum dalam membatasi kekuasaan tersebut juga telah
menjadi perdebatan yang tidak kalah seru pada masa pra-modern Islam. Beberapa alur
argumentasi dalam perdebatan tersebut senada dengan gagasan-gagasan demokrasi modern.

Penguasa dan rakyat

Telah menjadi pendapat yang mapan, setidaknya dalam lingkungan Islam Sunni, bahwa
nabi meninggal tanpa menunjuk penggantinya untuk memimpin masyarakat Muslim yang baru
lahir. Nabi sengaja membiarkan masyarakat Muslim memilih sendiri pemimpin mereka. Sebuah
pernyataan yang dinisbatkan kepada Khalifah Abu Bakr menyebutkan, “Tuhan telah
membiarkan manusia mengatur sendiri urusannya sehingga mereka bisa memilih seorang
pemimpin yang akan melayani kepentingan mereka.”3
Kata khalifa, gelar bagi seorang penguasa Muslim, secara harfiah berarti penerus atau
wakil. Pada masa paling awal, orang-orang Islam memperdebatkan apakah layak jika seorang
pemimpin Muslim diberi gelar dengan khalifat Allah (wakil Tuhan), tapi kebanyakan ulama
lebih suka menyebutnya dengan khalifat Rasul Allah (penerus nabi). Namun, seorang khalifah–
apakah disebut penerus nabi atau wakil Tuhan–tidak memiliki otoritas seperti nabi yang
kekuasaannya untuk membuat hukum, memperoleh wahyu, memberikan ampunan dan hukuman
tidak dapat dialihkan kepada siapapun. Pertanyaannya kemudian adalah sejauh mana otoritas
kenabian bisa dimiliki oleh seorang khalifah? Dan kepada siapa ia bertanggung jawab?
Jika kewajiban utama seorang khalifah adalah melaksanakan hukum Tuhan, maka secara
argumentatif bisa dikatakan bahwa ia hanya bertanggung jawab kepada Tuhan. Selama tindakan
seorang khalifah berlandaskan penafsiran yang logis terhadap perintah Tuhan, maka penafsiran
semacam itu harus diterima dan ia dipandang telah melaksanakan tugasnya terhadap rakyat.
Hanya Tuhan yang dapat menilai niat seorang khalifah, dan–menurut argumentasi kebanyakan
kelompok Sunni–seorang penguasa tidak bisa dicabut kekuasaannya kecuali jika ia melakukan
pelanggaran serius dan terang-terangan terhadap Tuhan (yaitu, dosa besar).

5
Namun, para ahli hukum Muslim tidak sepenuhnya mempertegas hubungan antara
penguasa dan rakyat. Dalam teori hukum Sunni, kekhalifahan harus didasarkan pada sebuah
perjanjian (‘aqd) antara seorang khalifah dengan ahl al-hall wa al-‘aqd (orang yang memiliki
kekuatan dalam menetapkan perjanjian) yang memberikan bay‘a (sumpah setia dan restu kepada
seorang khalifah): seorang khalifah berhak memperoleh bay‘a itu sebagai imbalan atas janjinya
untuk melaksanakan diktum perjanjian itu. Diktum perjanjian tersebut tidak didiskusikan secara
panjang lebar dalam sumber-sumber Islam. Biasanya, para ahli hukum akan memasukkan diktum
berupa kewajiban untuk menerapkan hukum Tuhan dan melindungi umat Islam dan wilayah
Islam; sebagai imbalannya seorang penguasa dijanjikan akan memperoleh dukungan dan
ketaatan rakyat. Diasumsikan bahwa hukum Syariat menentukan diktum perjanjian.
Siapakah pihak yang memiliki kekuasaan untuk memilih dan menurunkan seorang
penguasa? Seorang ulama Mu‘tazilah,4 Abu Bakr al-Asam (w. 200/816) berargumen bahwa
masyarakat secara umum merupakan pemegang kekuasaan tersebut: harus ada sebuah konsensus
umum mengenai siapa yang akan ditunjuk menjadi penguasa, dan setiap orang harus
memberikan persetujuannya secara perorangan.5 Mayoritas ahli hukum Islam berargumen
dengan cara yang lebih pragmatis bahwa ahl al-hall wa al-‘aqd adalah mereka yang memiliki
syawka (kekuasaan atau kekuatan) yang diperlukan untuk menjamin ketaatan atau persetujuan
rakyat.
Gagasan tentang konsensus rakyat, meskipun bernuansa demokratis, tidak mesti
disejajarkan dengan konsep tentang kekuasaan atau pemerintahan yang didelegasikan oleh
rakyat. Konsensus dalam diskursus Muslim pra-modern tampaknya mirip dengan bentuk
kesepakatan aklamasi. Yang melatarbelakangi diskusi ini adalah terdapatnya sejumlah
ketidakpercayaan terhadap masyarakat jelata/masyarakat awam (al-‘amma): “Mereka [rakyat
jelata] cenderung mudah terbawa arus, dan mereka mungkin akan lebih puas dengan memilih
[penguasa] yang berkelakuan buruk dari pada memilih yang saleh …”6 Pendapat semacam itu
dianut luas oleh para ahli hukum Muslim, dan dengan mempertimbangkan konteks historis
ketika mereka hidup–jauh sebelum muncul sistem demokrasi dan kemampuan baca tulis publik
yang tinggi–pernyataan semacam itu tidak mengejutkan kita. Akibatnya, berbagai konsep yang
digunakan dalam diskursus-diskursus politik menyiratkan gagasan tentang pemerintahan
representatif, tapi tidak pernah sepenuhnya menyokong pemerintahan semacam itu. Paradigma
dominan yang berkembang saat itu adalah bahwa baik penguasa ataupun rakyatnya adalah wakil
Tuhan (khulafa’ Allah) untuk melaksanakan hukum-hukum-Nya.

Kaidah hukum

Seperti yang dicatat sebelumnya, karakteristik utama sebuah pemerintahan Islam yang
sah adalah bahwa ia tunduk pada dan dibatasi oleh hukum Syariat. Meskipun konsep ini memang
memberikan dukungan bagi tegaknya kaidah hukum, kita harus membedakan antara supremasi
hukum dengan supremasi seperangkat aturan hukum. Kedua istilah itu agak berbeda, dan
keduanya sama-sama dibahas dalam tradisi hukum Islam. Beberapa pemikiran politik terdiri dari
berbagai kemungkinan interpretasi. Dan lagi-lagi, beberapa dari kemungkinan interpretasi itu
memiliki keterkaitan yang lebih besar dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Ketika menegaskan supremasi Syariat, para sarjana Muslim biasanya berargumen bahwa
perintah positif Syariat, seperti hukuman terhadap pelaku perzinaan atau peminum minuman
keras, harus dipedomani oleh pemerintah. Tapi pemerintah yang menyatakan keinginannya untuk
mengikuti semua ketentuan positif dalam Syariat mungkin akan memanipulasi ketentuan tersebut

6
untuk mencapai tujuan yang mereka kehendaki. Dengan mengatasnamakan pemeliharaan
ketertiban umum, pemerintah dapat mengeluarkan hukum yang sewenang-wenang untuk
melarang berbagai bentuk pertemuan umum; dengan mengatasnamakan perlindungan terhadap
ortodoksi, pemerintah dapat mengeluarkan hukum yang sewenang-wenang untuk mengekang
kreatifitas; dengan mengatasnamakan perlindungan terhadap individu dari fitnah, pemerintah
dapat menekan berbagai kritik bernuansa politis dan sosial; dan pemerintah dapat memenjarakan
atau menghukum mati lawan-lawan politiknya atas dasar klaim bahwa mereka telah menebar
fitnah (perselisihan dan pergolakan sosial). Secara argumentatif bisa dikatakan bahwa semua
jenis tindakan pemerintah seperti tersebut di atas merupakan bentuk ketundukan terhadap Syariat
kecuali jika ada petunjuk yang jelas tentang batasan terhadap kewenangan pemerintah untuk
melaksanakan dan menyokong hukum Syariat sekalipun.
Namun, penegakan kaidah hukum tidak mesti berarti bahwa pemerintah terikat dengan
kitab hukum yang memuat aturan-aturan khusus. Ia justru dapat ditafsirkan sebagai perintah agar
pemerintah mengikatkan diri dengan proses pembuatan dan penafsiran hukum, dan bahkan
tuntutan yang lebih penting lagi adalah bahwa proses itu sendiri harus terikat dengan komitmen
moral–terutama terhadap martabat dan kebebasan manusia.
Kita menemukan bukti tentang konsep alternatif seputar kaidah hukum dalam literatur
hukum pra-modern. Para ahli hukum telah mendiskusikan batasan kekuasaan negara dalam
membuat hukum, yang di antara dibicarakan dalam kerangka konsep kepentingan publik (al-
masalih al-mursalah) dan penutupan pintu keburukan (sadd al-dzari‘ah). Kedua konsep
yurisprudensi itu memungkinkan negara memperluas kekuasaannya dalam membuat hukum
untuk menyuruh pada kebaikan dan mencegah keburukan. Misalnya, berdasarkan prinsip
menutup pintu keburukan, pembuat hukum dapat mengklaim bahwa perilaku yang sah secara
hukum harus dipandang tidak sah jika ia dapat menyebabkan terbukanya pintu bagi terjadinya
tindakan yang melanggar hukum. Pada dasarnya, kedua konsep tersebut di atas menjadikan
hukum semakin luwes dan adaptif. Tentu saja, kedua konsep itu dapat digunakan untuk
memperluas hukum, bukan saja untuk melayani kepentingan umum, tapi juga untuk
mempersempit otonomi individu. Secara khusus, konsep tentang menutup pintu keburukan, yang
didasarkan pada gagasan tentang tindakan pencegahan dan kehati-hatian (al-ihtiyat), dapat
dieksplorasi lebih lanjut untuk memperluas kekuasaan negara dengan mengatasnamakan
perlindungan terhadap Syariat. Jenis dinamika semacam ini dapat dihindari di antaranya dengan
menerapkan jaminan prosedural, tapi yang lebih penting lagi adalah dengan memahami bahwa
aturan hukum merupakan sebuah jaminan terhadap martabat dan kebebasan manusia, yang bisa
digunakan untuk memberikan pembenaran terhadap Syariat, bukan untuk mengabaikannya.
Dimensi penting yang terkait dengan tantangan terhadap pembentukan kaidah hukum
adalah hubungan yang kompleks antara Syariat, yang dijabarkan oleh para ahli hukum, dengan
praktik administratif negara atau politik hukum (al-ahkam al-siyasiyyah). Jika pada dua abad
pertama Islam kita mungkin melihat banyak ahli hukum yang menjadikan praktik-praktik negara
sebagai contoh normatif, dengan berlalunya waktu fenomena semacam itu semakin jarang
terlihat. Pada abad ke-4/10 para ahli hukum Muslim telah mengklaim diri mereka sebagai satu-
satunya otoritas yang sah untuk menguraikan hukum Tuhan. Praktik negara tetap dipandang sah,
tapi hanya para ahli hukum Muslim itulah yang boleh menetapkan hukum. Negara hanya
berfungsi melaksanakan hukum-hukum Tuhan, bukan menentukan materinya.
Sebagai pelaksana hukum Tuhan, negara diberi mandat yang luas untuk mengeluarkan
kebijakan tentang persoalan yang menyangkut kepentingan publik (yang dikenal dengan al-
siyasah al-syar‘iyyah). Aturan-aturan yang dibuat negara bisa dipandang sah dan harus

7
ditegakkan selama aturan-aturan tersebut tidak bertolak belakang dengan hukum Tuhan, seperti
yang dipaparkan oleh para ahli hukum, atau tidak menyalahgunakan kebijakan (al-ta‘assuf fi
masa’il al-khiyar). Untuk itulah karya-karya yurisprudensi telah merekam secara mendetil
ketetapan-ketetapan para ahli hukum, tapi tidak banyak merekam aturan-aturan negara, yang
didokumentasikan oleh para pejabat negara dalam tulisan-tulisan tentang praktik administrasi
negara. Dalam adagium hukum para ahli hukum Muslim, Syariat dipandang sebagai pilar
hukum, dan politik adalah penjaganya. (Para ahli hukum Islam juga sering menegaskan bahwa
agama adalah pilar sebuah bangunan dan otoritas politik adalah penjaganya.) Namun, paradigma
ini menyisakan persoalan penting tentang batasan kekuasaan pemerintah, yaitu sejauh mana
pemerintah dapat memperluas jangkauan hukum-hukumnya dalam kerangka perlindungan
terhadap terlaksananya tujuan Syariat?
Perhatian terhadap cakupan kekuasaan pemerintah dalam kerangka Syariat memiliki
landasan dalam sejarah Islam sehingga, berdasarkan standar dunia modern, persoalan tersebut
tidak sepenuhnya baru. Namun, persoalan semacam itu hampir-hampir tidak ditemukan dalam
tulisan para Islamis kontemporer. Hingga belakangan ini, para islamis di Iran, Arab Saudi, atau
Pakistan melimpahkan kekuasaan legislatif kepada negara, bukan kepada hukum Tuhan.
Misalnya, klaim tentang penutupan pintu keburukan kini diterapkan di Arab Saudi untuk
memberikan pembenaran terhadap serangkaian hukum yang membatasi gerak perempuan,
termasuk larangan mengendarai mobil bagi perempuan. Kasus tersebut merupakan bentuk kreasi
yang relatif baru dalam praktik negara Islam, dan dalam berbagai kasus hal semacam itu
berpuncak pada penggunaan Syariat untuk melecehkan Syariat.
Secara tradisional, para ahli hukum Islam bersikukuh bahwa para penguasa harus
berkonsultasi dengan para ahli hukum tentang semua hal yang terkait dengan persoalan hukum,
tapi para ahli hukum itu sendiri tidak pernah menuntut hak untuk menguasai jalannya
pemerintahan Islam secara langsung. Pada kenyataannya, hingga masa-masa belakangan ini, para
ahli hukum Sunni maupun Syi‘ah tidak pernah memegang kekuasaan politik secara langsung.7
Sepanjang sejarah Islam, para ahli hukum (‘ulama) telah menjalankan fungsi ekonomi, politik
dan administrasi, tapi yang paling penting adalah peran mereka sebagai penengah antara kelas
penguasa dan rakyat jelata. Seperti yang dikemukakan oleh Afaf Marsot: “[‘Ulama] adalah
pelayan Islam, penjaga tradisi, pemegang ilmu leluhur, dan penganjur moral bagi masyarakat
luas.”8 Selain memberikan legitimasi terhadap para penguasa, para ahli hukum juga
menggunakan pengaruh mereka untuk menjegal kebijakan-kebijakan yang tidak adil dan
seringkali memimpin atau memberikan legitimasi terhadap pemberontakan melawan kelas
penguasa. Namun, modernitas telah merubah para ulama dari statusnya sebagai “juru bicara
publik yang lantang” menjadi pejabat negara yang digaji yang hanya berperan sebagai pemberi
legitimasi bagi rezim penguasa di dunia Islam.9 Tumbangnya peran ulama dan pemihakan
mereka terhadap negara sekuler modern, dengan berbagai praktik sekulernya, telah membuka
pintu bagi negara untuk menjadi pembuat dan pelaksana hukum Tuhan; dengan begitu, negara
memiliki kekuasaan yang amat besar dan pada gilirannya semakin menyuburkan praktik-praktik
otoriter di berbagai negara Islam.

Pemerintahan konsultatif

Alquran menyuruh Nabi untuk berkonsultasi secara berkala dengan orang-orang Islam
tentang semua persoalan penting, dan menegaskan bahwa sebuah masyarakat yang menjalankan
urusannya melalui proses musyawarah merupakan masyarakat terpuji di mata Tuhan (Q.S.

8
3:159; 42:38). Banyak laporan-laporan sejarah yang menyebutkan bahwa Nabi berkonsultasi
secara berkala dengan para sahabatnya menyangkut persoalan-persoalan negara. Di samping itu,
tidak lama setelah Nabi wafat, konsep syura (musyawarah) menjadi sebuah simbol yang
menandai pentingnya politik dan legitimasi partisipatif. Kegagalan untuk menegakkan atau
mengamalkan syura menjadi tema umum yang dikumandangkan dalam kisah-kisah penindasan
dan pemberontakan. Misalnya, diriwayatkan bahwa sepupu Nabi, ‘Ali, mengritik Umar ibn al-
Khattab, khalifah kedua, dan Abu Bakar, khalifah pertama, karena keduanya tidak menghormati
lembaga syura dalam kasus pencalonan Abu Bakar sebagai khalifah yang tidak menyertakan
keluarga Nabi.10 Dan para penentang ‘Utsman ibn ‘Affan (memerintah dari tahun 23-35/644-
656), khalifah ketiga, menuduhnya telah menghancurkan lembaga syura dengan berbagai
kebijakannya yang disinyalir bernuansa nepotisme dan otoriter.
Meskipun pengertian syura dalam kisah-kisah sejarah itu tidak begitu jelas, konsep
tentang syura jelas tidak merujuk semata pada tindakan penguasa untuk meminta pendapat dari
tokoh-tokoh masyarakat; lebih luas lagi, ia menandai pentingnya perlawanan terhadap bentuk
kelaliman, pemerintahan yang otoriter, atau penindasan. Hal ini selaras dengan penentangan
hukum terhadap kelaliman (al-istibdad) dan pemerintahan yang didasarkan pada hawa nafsu dan
kesewenang-wenangan (al-hukm bi’l hawa wa al-tasallut). Bahkan meskipun para ahli hukum
Muslim melarang pemberontakan terhadap penguasa tiran, mereka tetap mentolerir pemerintahan
tirani sebagai keburukan yang diperlukan, bukan sebagai kebaikan yang diinginkan.
Setelah abad ke-3/9, konsep tentang syura mengambil bentuk kelembagaan yang konkrit
dalam diskursus para ahli hukum Muslim. Syura menjadi sebuah forum formal untuk meminta
pendapat para ahl al-syura (orang-orang yang diminta mengemukakan pendapat), yang menurut
literatur hukum merupakan kelompok yang juga membentuk ahl al-‘aqd (orang-orang yang
memilih penguasa). Para ahli hukum Sunni memperdebatkan apakah hasil dari proses konsultasi
itu mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (syrura mulzima) atau tidak (ghayra mulzima).
Jika syura dipandang mengikat, maka seorang penguasa harus mengikuti penetapan para ahl al-
syura. Namun, kebanyakan ahli hukum menyimpulkan bahwa penetapan para ahl al-syura
semata merupakan nasihat dan tidak mengikat. Tapi, banyak ahli hukum yang menegaskan
bahwa setelah melakukan konsultasi, seorang penguasa harus mengikuti pendapat yang paling
selaras dengan Alquran, sunnah, dan konsensus para ahli hukum. Al-Ghazali merujuk pada
konsensus umum ketika ia mengatakan bahwa: “Pengambilan keputusan yang lalim dan tidak-
konsultatif, meskipun dilakukan oleh orang yang bijak dan terpelajar, patut ditolak dan tidak bisa
diterima.”11
Para reformis modern menggunakan gagasan tentang pemerintahan konsultatif sebagai
bahan argumentasi untuk memperlihatkan kesesuaian yang mendasar antara Islam dan
demokrasi. Namun sekalipun jika etika syura dikembangkan menjadi sebuah konsep yang lebih
luas tentang pemerintahan partisipatif, persoalan tentang dominasi mayoritas memperlihatkan
bahwa komitmen moral yang melandasi proses pembuatan hukum sama pentingnya dengan
proses itu sendiri. Jadi, sekalipun jika syura diubah menjadi sebuah lembaga representasi
partisipatif, ia sendiri harus dibatasi oleh sebuah skema hak pribadi dan individual yang berperan
sebagai tujuan moral tertinggi, seperti keadilan. Dengan kata lain, syura harus dinilai bukan atas
dasar apa yang dihasilkan, tapi atas dasar nilai moral yang diwakilinya. Oleh karena itu, apapun
nilai dari berbagai pandangan yang berlawanan, perbedaan pendapat tetap ditolerir karena hal
tersebut dipandang sebagai bagian penting dari penegakan keadilan.
Tradisi Islam dalam pemikiran politik hukum menggambarkan gagasan tentang
representasi, konsultasi dan proses hukum. Tapi kandungan utama dari gagasan-gagasan tersebut

9
masih diperdebatkan dan tidak menggambarkan hubungan langsung antara Islam dan demokrasi.
Untuk memahami kemungkinan tentang Islam yang demokratis, kita harus melihat lebih dalam
lagi tentang peran manusia di tengah-tengah ciptaan Tuhan lainnya, dan posisi penting keadilan
dalam kehidupan manusia seperti yang ditegaskan dalam Alquran.

Keadilan dan Kasih Sayang

Keadilan memainkan peranan yang penting dalam diskursus Alquran: ia merupakan


kewajiban yang harus kita tunaikan kepada Tuhan, dan juga terhadap sesama manusia. Di
samping itu, perintah menegakkan keadilan terkait dengan kewajiban untuk menyeru pada
kebaikan dan melarang kejahatan, dan juga terkait dengan keharusan bersaksi atas nama Tuhan.
Meskipun Alquran tidak menentukan unsur-unsur pembentuk keadilan, ia menekankan
kemampuan manusia untuk mencapai keadilan sebagai sebuah bentuk tuntutan yang sangat
unik–sebuah kewajiban yang dibebankan kepada kita semua dalam kapasitas kita sebagai
khalifah Tuhan. Pada hakikatnya, Alquran menuntut sebuah komitmen terhadap tuntutan moral
yang bersifat samar tapi dapat dipahami melalui intuisi, akal dan pengalaman manusia.
Perdebatan Islam tentang bagaimana pemerintah menegakkan keadilan sangat mirip
dengan diskursus Barat abad ke-17 tentang karakteristik alami, atau sifat dasar manusia. Sebuah
pendapat–yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun dan Ghazali–menegaskan bahwa manusia secara
alamiah bersifat mudah marah, cenderung berselisih, dan tidak suka bekerja sama. Jadi,
pemerintahan dibutuhkan untuk memaksa manusia bekerja sama, meskipun hal itu bertentangan
dengan sifat alami mereka, dan untuk menjunjung keadilan dan kepentingan umum.
Mazhab pemikiran lainnya, misalnya al-Mawardi dan Ibn Abi al-‘Arabi, berargumen
bahwa Tuhan menciptakan manusia dalam kondisi yang lemah dan membutuhkan bantuan,
sehingga mereka akan membangun sebuah kerja sama ketika terdesak; kerja sama itu akan
membatasi ketidakadilan dengan cara membatasi kekuasaan yang kuat, dan melindungi hak yang
lemah. Pendapat yang lain mengatakah bahwa Tuhan menciptakan manusia berbeda satu sama
lain, sehingga mereka akan saling membutuhkan untuk mencapai tujuannya. Menurut pandangan
mazhab ini, manusia pada dasarnya menghendaki keadilan dan cenderung bekerja sama untuk
mencapainya. Sekalipun jika manusia mengeksploitasi anugerah Tuhan berupa kecerdasan dan
tuntunan Tuhan berupa hukum-hukum-Nya, melalui kerja sama mereka bisa mencapai tingkat
keadilan dan kepuasan moral yang lebih tinggi. Kemudian seorang penguasa diangkat ke tampuk
kekuasaannya melalui sebuah kontrak dengan rakyatnya, yang atas dasar kontrak tersebut ia
setuju untuk meningkatkan kerja sama yang telah terjalin dalam masyarakatnya dengan tujuan
membangun sebuah masyarakat yang adil.
Ketika merenungkan tuntutan untuk menegakkan keadilan, kita perlu memperhatikan
argumentasi hukum tentang keragaman dan kerja sama manusia. Alquran mengatakan bahwa
Tuhan telah menciptakan manusia berbeda-beda dan menjadikan mereka berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku agar mereka dapat saling mengenal satu sama lain. Para ahli hukum Muslim
berargumen bahwa ungkapan “saling mengenal satu sama lain” menunjukkan perlunya kerja
sama sosial dan tolong menolong untuk mencapai keadilan (Q.S. 49:13). Alquran juga mencatat
bahwa manusia selalu memiliki perbedaan antara satu dengan yang lainnya hingga akhir zaman.
Ia juga menjelaskan bahwa realitas keberagaman manusia merupakan bagian dari kebijaksanaan
Tuhan dan maksud penciptaan: “Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia mejadikan umat
manusia yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat …” (Q.S. 11:118).

10
Penghargaan dan pengakuan Alquran tentang keberagaman manusia memadukan
keberagaman tersebut ke dalam proses pencapaian keadilan yang dicita-citakan dan menciptakan
berbagai kemungkinan komitmen yang beragam dalam Islam modern. Komitmen tersebut dapat
dikembangkan menjadi sebuah etika yang menghargai perbedaan dan hak manusia untuk
berbeda, termasuk hak untuk memeluk agama atau keyakinan non-agama yang berbeda. Pada
tataran politis, hal tersebut dapat dikembangkan menjadi sebuah keyakinan normatif yang
memandang keadilan dan keberagaman sebagai nilai keadilan yang paling asasi yang harus
dilindungi oleh tatanan konsitusi yang demokratis. Lebih jauh lagi, ia dapat dikembangkan
menjadi sebuah gagasan tentang kekuasaan mandataris, di mana seorang penguasa diberi amanat
untuk menjaga nilai keadilan yang paling asasi dengan menjamin hak untuk berkumpul, bekerja
sama dan berbeda pendapat. Lebih jauh lagi, gagasan tentang pembatasan dapat dikembangkan
untuk menghalangi pemerintah agar tidak merusak upaya pencarian keadilan atau tidak
mengekang hak rakyat untuk bekerja sama, atau berbeda pendapat, dalam rangka mencari
keadilan itu. Penting untuk saya catat, jika pemerintah gagal melaksanakan kewajiban yang
tertuang dalam kontrak, maka ia kehilangan legitimasi kekuasaannya.
Namun, sayangnya terdapat beberapa faktor yang membatasi terlaksananya
kemungkinan-kemungkinan tersebut dalam Islam modern. Pada tataran teologis dan filosofis,
unsur-unsur keadilan tidak diteliti secara cermat dalam doktrin Islam. Penjelasan tentang
pembatasan itu terletak pada perbedaan mendasar dalam memahami karakteristik keadilan itu
sendiri. Apakah hukum Tuhan membatasi keadilan, atau apakah keadilan membatasi hukum
Tuhan? Jika kita mengambil pendapat pertama, maka apapun yang kita pahami sebagai hukum
Tuhan, di sanalah terdapat keadilan. Tapi jika kita mengambil pendapat kedua, maka apapun
yang dituntut oleh keadilan pada kenyataannya ia juga merupakan tuntutan Tuhan.
Jika kita dapat mengetahui apa yang dituntut oleh keadilan dengan cara menentukan
hukum Tuhan, maka kita tidak perlu melakukan berbagai upaya untuk mengetahui tuntutan
keadilan–apakah keadilan yang dimaksud bermakna kesetaraan kesempatan atau hasil, atau
membangun otonomi individu, atau memaksimalkan kemanfaatan kolektif, atau melindungi
kehormatan dasar manusia. Jika hukum Tuhan lebih didahulukan dari pada keadilan, maka
masyarakat yang adil bukan lagi merupakan persoalan tentang hak berbicara dan berkumpul,
atau hak untuk menggali berbagai sarana menuju keadilan, tapi semata tentang penerapan hukum
Tuhan.
Seandainya kita menerima pentingnya keadilan dalam diskursus Alquran, gagasan
tentang kekhalifahan manusia, dan gagasan bahwa tugas untuk menegakkan keadilan telah
dibebankan kepada manusia secara umum, maka kesimpulan yang masuk akal adalah bahwa
nilai keadilan harus mengendalikan dan memandu semua upaya penafsiran dan pemahaman
hukum Tuhan. Hal ini menuntut adanya sebuah perubahan paradigma dalam pemikiran Islam.
Menurut saya, keadilan merupakan perintah Tuhan, dan mewakili kedaulatan Tuhan. Tuhan
menggambarkan diri-Nya sebagai Yang Maha Adil, dan Alquran menegaskan bahwa Tuhan
telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang (Q.S. 6:12, 54). Lebih jauh lagi, maksud sebenarnya
dari diturunkannya pesan Tuhan kepada Nabi Muhammad adalah sebagai bentuk pemberian
kasih sayang Tuhan kepada seluruh manusia.12
Dalam diskursus Islam kasih sayang Tuhan bukan sekedar pengampunan, bukan juga
kesediaan untuk mengabaikan kesalahan dan dosa manusia,13 tapi merupakan kondisi di mana
seseorang mampu berbuat adil terhadap dirinya sendiri atau orang lain, dengan memberikan hak
yang semestinya kepada setiap individu. Secara mendasar bisa dikatakan bahwa kasih sayang
Tuhan terikat erat dengan sikap empati terhadap sesama–itulah sebabnya dalam Alquran, kasih

11
sayang Tuhan disandingkan dengan perlunya manusia bersikap sabar dan toleran terhadap
sesamanya.14 Yang paling penting lagi adalah bahwa dalam diskursus Alquran, keberagaman dan
perbedaan di antara sesama manusia merupakan bentuk rahmat Tuhan kepada seluruh manusia
(Q.S. 11:119).15 Persepsi yang memungkinkan seseorang memahami, menghargai, dan
memperkaya dirinya dengan keberagaman manusia merupakan salah satu unsur penting untuk
membentuk masyarakat yang adil dan untuk mencapai keadilan. Tuntutan Tuhan kepada manusia
secara umum dan kepada umat Islam secara khusus adalah, seperti yang dinyatakan dalam
Alquran, “untuk mengenal satu sama lain,” dan memanfaatkan pengetahuan itu untuk
mewujudkan keadilan.
Jadi, dari sudut pandang tersebut, mandat Tuhan bagi pemerintahan Islam adalah untuk
mewujudkan keadilan dengan berlandaskan kasih sayang. Meskipun hidup bersama dalam
kedamaian merupakan syarat utama untuk tumbuhnya kasih sayang, untuk mewujudkan
pengenalan terhadap sesama dan untuk mencapai keadilan, manusia perlu bekerja sama
mewujudkan kebaikan dan keindahan, dengan cara mengembangkan diskursus moral yang
terencana. Menerapkan aturan-aturan hukum semata, sekalipun jika aturan-aturan semacam itu
merupakan hasil dari penafsiran terhadap kitab suci, belum dipandang cukup untuk mewujudkan
kasih sayang–kemampuan alami untuk memahami sesama–atau, terutama, keadilan.
Jadi, prinsip kasih sayang dan keadilan merupakan tuntutan utama Tuhan, dan kedaulatan
Tuhan terletak pada kenyataan bahwa Tuhan adalah pemegang otoritas yang mendelegasikan
kepada manusia tugas untuk mewujudkan keadilan di muka bumi dengan menjalankan nilai-nilai
yang mendekati sifat-sifat ketuhanan.16 Konsep tentang kedaulatan Tuhan ini tidak
menggantikan peran manusia melalui tuntutan penegakan hukum Tuhan secara mekanis, tapi
konsep tersebut justru menyalurkan peran manusia dan bahkan mengedepankan peran tersebut
sejauh ia dapat memberikan sumbangsih terhadap terwujudnya keadilan. Penting untuk saya
catat bahwa menurut diskursus hukum kita tidak mungkin mencapai keadilan kecuali jika setiap
orang diberikan hak secara semestinya. Tantangan bagi manusia sebagai khalifah Tuhan adalah
bagaimana ia mengakui bahwa ada sebuah hak, memahami siapa yang memiliki hak semacam
itu, dan akhirnya memastikan bahwa pemiliknya telah menikmati haknya. Sebuah masyarakat
yang gagal dalam melaksanakan tugas tersebut–tidak peduli berapa banyak aturan yang telah
diterapkan–bukanlah masyarakat yang diliputi kasih sayang atau keadilan. Pembahasan ini
membawa kita pada pembahasan seputar kemungkinan adanya hak individu dalam Islam.

Hak-Hak Individu

Semua demokrasi konstitusional memberikan perlindungan terhadap kepentingan


individu, seperti kebebasan untuk berbicara dan berkumpul, kedudukan yang sama di depan
hukum, hak untuk memiliki harta benda, dan jaminan proses hukum di pengadilan. Tapi hak
mana saja yang harus dilindungi, dan sejauh mana perlindungan diberikan, merupakan wilayah
bahasan berbagai jenis teori dan praktik. Di sini saya berasumsi bahwa apapun karakteristik hak
itu, kepentingan individu harus diperlakukan sebagai hal yang tidak bisa diganggu gugat. Ia
merupakan kepentingan yang jika dilanggar akan melukai rasa harga diri korban dan
menghancurkan kemampuannya untuk memahami eksistensinya. Jadi, penggunaan penyiksaan
dan larangan pemenuhan kebutuhan pangan dan perumahan, atau sarana pertahanan hidup
lainnya, seperti pekerjaan, merupakan hal yang tidak bisa diterima.
Untuk memahami posisi kepentingan tersebut dalam Islam, perlu kita catat bahwa tujuan
Syariat menurut teori hukum adalah mewujudkan kesejahteraan manusia (tahqiq masalih al-

12
‘ibad). Secara khusus, para ahli hukum Islam membagi kesejahteraan manusia ke dalam tiga
kategori: kesejahteraan primer (daruriyyat), kesejahteraan sekunder (hajiyyat) dan kesejahteraan
tertier (kamaliyyat atau tahsiniyyat). Menurut para ahli hukum Muslim, hukum dan kebijakan
pemerintah harus memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut, mengikuti urutan prioritasnya–
pertama keserjahteraan primer, lalu sekunder dan terakhir tertier. Kesejahteraan primer dibagi
lebih jauh ke dalam lima kepentingan utama–al-daruriyyat al-khamsah: agama, kehidupan, akal,
keturunan atau kehormatan, dan harta benda. Tapi para ahli hukum Muslim tidak
mengembangkan kelima nilai dasar tersebut ke dalam kategori yang lebih luas, dan kemudian
menggali implikasi teoritis dari masing-masing nilai tersebut. Mereka menganalisa aturan hukum
yang dipandang dapat melayani nilai-nilai tersebut dan menyimpulkan bahwa dengan
menghimpun aturan-aturan spesifik tersebut, kelima nilai tersebut bisa terwujud. Jadi, misalnya,
para ahli hukum Muslim berargumen bahwa larangan pembunuhan dalam hukum Islam
bertujuan melindungi nilai dasar kehidupan, hukuman terhadap orang yang murtad bertujuan
melindungi kepentingan agama, larangan terhadap minuman beralkohol bertujuan melindungi
akal, larangan terhadap praktik pelacuran dan perzinaan bertujuan melindungi keturunan, dan
hak untuk mendapat ganti rugi bertujuan melindungi harta benda. Namun, membatasi
perlindungan akal hanya dengan menetapkan larangan terhadap minuman beralkohol, atau
perlindungan terhadap kehidupan hanya dengan menetapkan larangan membunuh, tidak cukup
memadai. Sayangnya, tradisi hukum tampaknya telah mereduksi kelima nilai tersebut ke dalam
tujuan-tujuan yang bersifat teknis. Padahal, kelima nilai tersebut bisa berperan sebagai landasan
bagi sebuah teori yang sistematis tentang hak individu di dunia modern.17
Yang pasti, tradisi hukum Islam mengungkapkan sejumlah besar pandangan yang
mempelihatkan perlindungan terhadap individu. Misalnya, para ahli hukum Muslim telah
mengembangkan gagasan tentang praduga tak bersalah dalam kasus kriminal dan perdata, dan
berargumen bahwa penuduh dibebankan dengan pembuktian (al-bayyina ‘ala man idda‘a).
Dalam hal-hal yang terkait dengan bid’ah, para ahli hukum Muslim selalu berargumen bahwa
jauh lebih baik membebaskan ribuan pelaku bid’ah dari pada keliru menjatuhkan hukuman
kepada seorang Muslim yang jujur. Dalam kasus-kasus kriminal, para ahli hukum berargumen
bahwa jauh lebih baik membebaskan seseorang yang bersalah dari pada terjerumus pada risiko
menghukum orang yang tidak bersalah. Lebih jauh lagi, banyak ahli hukum yang mengecam
praktik penahanan dan pengurungan terhadap kelompok heterodok sekalipun ketika kelompok
tersebut menyatakan secara terbuka sikap heterodok mereka (seperti kelompok Khawarij), dan
berargumen bahwa kelompok-kelompok semacam itu tidak boleh dilecehkan atau diganggu
kecuali jika mereka mulai mengangkat senjata dan menunjukkan niat yang nyata untuk
memberontak pemerintah. Para ahli hukum Muslim juga mengecam penggunaan siksaan, dengan
berargumen bahwa Nabi melarang penggunaan muthla (penggunaan alat siksa) dalam semua
situasi,18 dan tidak memperkenankan penggunaan pengakuan hasil pemaksaan dalam semua
persoalan hukum dan politik.19 Pada kenyataannya, sejumlah besar ahli hukum telah
mengemukakan sebuah doktrin yang mirip dengan doktrin pembebasan dari tuduhan bersalah
yang dipraktikkan dalam sistem hukum Amerika–pengakuan atau bukti yang diperoleh dari
proses pemaksaan dinilai tidak sah dalam persidangan. Yang menarik adalah bahwa beberapa
ahli hukum bahkan menegaskan bahwa para hakim yang bersandar pada sebuah pengakuan
semacam itu dalam memutuskan kasus kriminal dipandang telah bertanggung jawab atas
penetapan keputusan yang keliru. Kebanyakan ahli hukum berargumen bahwa tergugat atau
keluarganya boleh mengajukan gugatan balik untuk memperoleh ganti rugi kepada hakim
tersebut secara khusus, dan kepada khalifah dan wakilnya secara umum, karena pemerintah

13
dipandang bertanggung jawab karena berdiam diri atas tindakan hakim-hakimnya yang
bertentangan dengan hukum.
Namun, diskursus yang paling menarik tentang persoalan tersebut dalam tradisi hukum
Islam adalah seputar hak Tuhan dan hak manusia. Hak Tuhan (huquq Allah) adalah hak yang
sepenuhnya dimiliki Tuhan dalam arti bahwa hanya Tuhan yang dapat menetapkan hukuman atas
pelanggaran terhadap hak-hak tersebut, dan hanya Tuhan yang memiliki hak untuk memberi
maaf atas pelanggaran semacam itu. Namun, hak-hak yang secara eksplisit tidak dimiliki Tuhan
kemudian diserahkan kepada manusia. Sementara pelanggaran terhadap hak-hak Tuhan hanya
bisa diampuni oleh Tuhan melalui tobat yang benar, pelanggaran terhadap hak-hak manusia
hanya bisa dimaafkan oleh individu yang bersangkutan. Jadi, hak mendapat ganti rugi dimiliki
secara pribadi oleh semua manusia dan pelanggaran terhadapnya hanya dapat dimaafkan oleh
individu yang bersangkutan. Baik pemerintah maupun Tuhan sekalipun tidak memiliki hak untuk
memberi ampunan atau membayarkan ganti rugi, jika ia telah menjadi bagian dari hak manusia.
Para ahli hukum Muslim tidak melukiskan seperangkat hak yang tidak bisa diganggu
gugat dan berlaku umum yang dimiliki oleh setiap orang dalam setiap kesempatan. Tapi, mereka
memandang hak-hak individu sebagai hak yang berasal dari sebab hukum (legal cause) akibat
pelanggaran hukum. Seseorang tidak memiliki hak hingga ia dizalimi, dan oleh karena itu ia
berhak mengklaim ganti rugi atau pembalasan. Untuk merubah paradigma tersebut diperlukan
sebuah transformasi konsep tradisional tentang hak, sehingga hak menjadi harta milik individu,
tanpa mempertimbangkan apakah terdapat sebab hukum dari tindakan tersebut. Seperangkat hak
yang diakui bersifat abadi adalah hak-hak yang dipandang penting untuk mewujudkan
masyarakat yang adil dan menjunjung tinggi kasih sayang. Menurut saya, ia pasti merupakan hak
yang menjamin keselamatan fisik dan kehormatan manusia. Bisa saja hak-hak individu yang
relevan adalah kelima nilai yang disebutkan di atas, tapi persoalan tersebut harus dianalisa ulang
dari sudut pandang keberagaman manusia. Dalam konteks ini, komitmen terhadap hak-hak
manusia tidak menunjukkan penafian komitmen kepada Tuhan, tapi justru merupakan bentuk
penghormatan terhadap keberagaman manusia, penghargaan terhadap khalifah Tuhan,
perwujudan kasih sayang, dan upaya pencapaian tujuan tertinggi keadilan.
Penting untuk saya catat bahwa ternyata bukan tradisi hukum Islam pra-modern yang
menyodorkan hambatan terbesar bagi pengembangan hak-hak individu dalam Islam. Hambatan
serius justru berasal dari orang-orang Islam modern sendiri. Terutama pada paruh kedua abad ini,
sejumlah besar orang Islam membentuk asumsi yang tidak berdasar bahwa hukum Islam
mengarahkan perhatian utamanya pada kewajiban, bukan pada hak, dan bahwa konsep Islam
tentang hak bersifat kolektif, bukan individual. Meskipun demikian, kedua asumsi tersebut hanya
didasarkan pada asumsi kultural tentang “pihak lain” yang bukan Barat. Hal itu seolah-olah
menegaskan bahwa para penafsir itu telah membakukan konsep Judeo-Kristen atau mungkin
konsep Barat tentang hak, dan mengasumsikan bahwa Islam harus memiliki konsep yang
berbeda.
Pada kenyataannya, klaim-klaim tentang hak individu atau kolektif pada dasarnya
bersifat anakronis. Para ahli hukum Muslim pra-modern tidak menegaskan sebuah visi tentang
hak yang bersifat kolektif atau individual. Mereka memang berbicara tentang al-haqq al-‘amm
(hak publik), dan sering menegaskan bahwa hak publik harus didahulukan dari pada hak pribadi.
Tapi hal tersebut berujung pada sebuah penegasan bahwa kelompok terbesar tidak boleh
dirampas hak-haknya oleh kelompok yang lebih kecil. Misalnya, sebagai sebuah adagium hukum
hal tersebut telah digunakan untuk memberikan pembenaran terhadap gagasan tentang public
takings (penghasilan publik?) atau hak membangun sarana publik di atas tanah milik pribadi.

14
Prinsip tersebut juga digunakan untuk melarang praktik para dokter yang tidak memenuhi
standar kualifikasi.20 Tapi seperti yang telah dibahas di atas, para ahli hukum Muslim tidak
membenarkan, misalnya, pembunuhan atau penyiksaan manusia untuk mewujudkan
kesejahteraan negara atau kepentingan publik.
Barangkali, penegasan tentang pentingnya perspektif kolektifitas dan orientasi kewajiban
dalam Islam muncul dari karakteristik reaktif dalam kebanyakan diskursus hukum Islam
kontemporer. Namun, gagasan tentang hak individu sebenarnya lebih mudah mendapat
pembenaran dalam Islam dari pada hak kolektif. Tuhan menciptakan manusia sebagai individu-
individu, dan pertanggungjawaban mereka di akhirat kelak juga dilakukan secara individual.
Seseorang yang memiliki komitmen untuk mempertahankan dan melindungi kemaslahatan
individu berarti telah menghargai ciptaan Tuhan. Masing-masing individu mencerminkan
gambaran semesta keagungan Tuhan. Mengapa seorang Muslim harus memegang komitmen
untuk melindungi hak dan kemaslahatan sesama manusia? Jawabannya adalah bahwa Tuhan
telah menetapkan komitmen semacam itu ketika Dia meniupkan ruh-Nya ke dalam setiap diri
manusia. Itulah sebabnya mengapa Alquran menegaskan bahwa siapapun yang membunuh
sesamanya secara tidak benar dipandang telah membunuh semua manusia; seolah-olah pelaku
pembunuhan telah membunuh kesucian ilahi dan menghancurkan makna ketuhanan yang
terdalam (Q.S. 5:32).
Lebih jauh lagi, Alquran tidak membedakan antara kesucian seorang Muslim dengan
non-Muslim.21 Seperti yang dinyatakan secara berulang-ulang dalam Alquran, tidak seorangpun
manusia yang dapat membatasi kepengasihan Tuhan dengan cara apapun, atau memilih-milih
siapa yang berhak menerimanya (Q.S. 2:105; 3:74; 35:2; 38:9; 39:38; 40:7; 43:32). Dengan
kenyataan itu, saya ingin menegaskan bahwa baik Muslim maupun non-Muslim bisa menjadi
penerima atau pemberi kasih sayang ilahi. Yang menjadi ukuran nilai moral dalam kehidupan
dunia saat ini adalah kedekatan seseorang kepada Tuhan melalui keadilan, bukan label
keagamaannya. Yang menjadi ukuran di akhirat kelak adalah hal lain, dan hal tersebut
merupakan hak prerogatif Tuhan. Tuhan akan merealisasikan hak-Nya di akhirat kelak dengan
cara yang menurut-Nya paling sesuai. Tapi, kewajiban moral yang paling penting bagi kita di
muka bumi ini adalah merealisasikan hak sesama. Komitmen untuk menghargai hak-hak
manusia paralel dengan komitmen untuk melindungi ciptaan Tuhan, dan pada akhirnya juga
merupakan komitmen terhadap Tuhan sendiri.

Syariat dan Negara Demokratis

Sebuah bentuk demokrasi yang muncul dari dalam wilayah agama Islam harus menerima
gagasan tentang kedaulatan Tuhan: ia tidak dapat meletakkan kedaulatan rakyat di atas
kedaulatan Tuhan, tapi justru harus memperlihatkan bagaimana kedaulatan rakyat–beserta
gagasan bahwa warga negara memiliki hak dan tanggung jawab yang sebanding untuk
mewujudkan keadilan dengan kasih sayang–mengekspresikan otoritas Tuhan. Sama halnya, ia
tidak dapat menolak gagasan bahwa hukum Tuhan harus didahulukan dari pada hukum manusia,
tapi justru harus memperlihatkan bagaimana pembentukan hukum yang demokratis menghormati
prioritas tersebut. Saya sengaja menempatkan bahasan tentang Syariat dan Negara di akhir
tulisan karena saya perlu terlebih dahulu meletakkan landasan pembahasan tersebut. Sebagai
bagian dari landasan tersebut, kita perlu menghargai posisi penting Syariat bagi kehidupan
seorang Muslim. Syariat adalah Jalan Tuhan; ia direpresentasikan dengan seperangkat prinsip-

15
prinsip normatif, metodologi untuk menghasilkan aturan hukum, dan seperangkat aturan hukum
positif. Seperti yang telah dimaklumi bersama, Syariat mengatasi beragam mazhab pemikiran
dan pendekatan, yang semuanya sama-sama sah dan ortodoks.22 Meskipun demikian, Syariat
secara keseluruhan, beserta semua mazhab dan berbagai pendapat yang berbeda, tetap
merupakan Jalan dan Hukum Tuhan.
Bagian terbesar Syariat tidak ditetapkan secara eksplisit oleh Tuhan. Syariat justru
mengandalkan upaya interpretasi agen manusia untuk menghasilkan dan melaksanakan hukum-
hukumnya. Namun, sesungguhnya Syariat merupakan nilai inti yang harus dilestarikan oleh
masyarakat. Paradoks ini ditampilkan dalam bentuk ketegangan antara kewajiban untuk hidup
berlandaskan hukum Tuhan dengan kenyataan bahwa hukum tersebut terbentuk semata melalui
penetapan interpretasi subyektif manusia. Bahkan sekiranya ada sebuah pemahaman tunggal
bahwa sebuah perintah positif tertentu benar-benar mencerminkan hukum Tuhan, masih ada
banyak sekali kemungkinan pelaksanaan dan penerapan yang bersifat subyektif. Dilema ini
sedikit terpecahkan dalam diskursus Islam dengan cara membuat perbedaan antara fikih dan
Syariat. Dikatakan bahwa Syariat merupakan Gagasan Ideal Tuhan, berada di atas langit, dan
tidak terpengaruh atau tercemar oleh ketidakpastian. Fikih merupakan upaya manusia untuk
memahami dan menerapkan gagasan ideal Syariat. Oleh karena itu, Syariat bersifat kekal, suci
dan tanpa cacat–sementara fikih tidak demikian.23
Sebagai bagian dari landasan doktrinal dalam diskursus ini, pembahasan para ahli hukum
Sunni berfokus pada sebuah hadis yang dinisbatkan kepada Nabi, yang berbunyi: “Setiap
mujtahid (ahli hukum yang berusaha keras menemukan jawaban yang benar) dipandang benar”
atau “Setiap mujtahid akan mendapat pahala.” Hal ini mengisyaratkan bahwa jawaban yang
benar untuk sebuah pertanyaan yang sama bisa lebih dari satu. Menurut para ahli hukum Sunni,
hal itu memunculkan persoalan tentang tujuan dan motif di balik pencarian Kehendak Tuhan.
Apa sebenarnya Tujuan Tuhan memberikan berbagai petunjuk ke arah hukum-Nya dan
kemudian menuntut manusia untuk melakukan pencarian? Jika Tuhan menghendaki manusia
untuk mencapai satu jawaban yang benar, maka bagaimana mungkin setiap penafsir atau ahli
hukum dipandang benar? Dengan ungkapan lain, adakah satu jawaban yang benar untuk setiap
persoalan hukum, dan apakah orang-orang Islam dibebani kewajiban hukum untuk menemukan
jawaban tersebut?
Mayoritas ahli hukum Sunni sepakat bahwa ketekunan yang dilandasi kejujuran dalam
mencari kehendak Tuhan cukup memadai untuk melindungi diri dari tuntutan di hadapan Tuhan
kelak. Di luar semua itu, para ahli hukum terbagi ke dalam dua kelompok utama. Kelompok
utama, yang dikenal dengan mukhatti’ah, berargumen bahwa pada dasarnya dalam setiap
persoalan hukum terdapat satu jawaban yang benar; namun hanya Tuhan yang tahu jawaban
yang benar itu, dan kebenaran tersebut hanya akan terungkap pada hari akhirat kelak. Manusia
sebagian besar tidak dapat mengetahui secara pasti apakah mereka telah menemukan jawaban
yang benar itu. Dalam pengertian ini, setiap mujtahid dipandang benar karena telah mencoba
mencari jawaban; namun, seseorang mujtahid mungkin dapat mencapai kebenaran sedangkan
yang lainnya mungkin keliru. Di akhirat kelak, Tuhan akan memberitahu semua orang tentang
siapa yang tepat dan siapa yang keliru. Ketepatan di sini berarti bahwa seorang mujtahid diberi
penghargaan atas upayanya, tapi hal itu tidak berarti bahwa semua jawaban sama-sama benar.
Mazhab kedua, yang dikenal dengan sebutan musawwibah, berargumen bahwa tidak ada
satupun jawaban yang benar-benar tepat (hukm mu‘ayyan) yang harus ditemukan oleh manusia:
bagaimanapun, jika ada jawaban yang tepat, Tuhan akan memberikan hujjah yang menunjukkan
kepastian dan kejelasan aturan Tuhan. Tuhan tidak akan memerintahkan manusia menemukan

16
jawaban yang tepat sementara petunjuk obyektif untuk menemukan jawaban tersebut tidak
tersedia. Jika memang ada kebenaran obyektif bagi semua hal, Tuhan akan menjadikan
kebenaran itu bisa diketahui di dunia ini. Dalam berbagai kondisi, kebenaran hukum, atau
ketepatan bergantung pada keyakinan dan pembuktian, dan validitas dari sebuah aturan atau
tindakan hukum seringkali bergantung pada kaidah-kaidah persepsi (rules of recognition) yang
menjadi syarat keberadaannya. Manusia tidak dibebani dengan kewajiban untuk menemukan
hasil yang abstrak, sulit dipahami dan benar secara hukum. Pada kenyataannya manusia hanya
dibebani dengan kewajiban untuk secara sungguh-sungguh menganalisa sebuah persoalan dan
kemudian mengikuti hasil-hasil ijtihad mereka sendiri. Menurut al-Juwayni, misalnya, yang
dikehendaki Tuhan dari manusia adalah mencari kebenaran–meniti kehidupan sambil
mendekatkan diri sepenuhnya pada Tuhan. Al-Juwayni menjelaskan: seolah-olah Tuhan berkata
kepada manusia, “Perintah-Ku pada hamba-hamba-Ku sebanding dengan besarnya keimanan
mereka. Jadi, siapa saja yang yakin bahwa ia diwajibkan melakukan sesuatu, maka bertindak atas
dasar keyakinannya itu merupakan perintah-Ku.”24 Perintah Tuhan kepada manusia adalah agar
mereka bersungguh-sungguh melakukan pencarian, dan hukum Tuhan akan ditunda hingga
manusia memperoleh kepastian yang kuat tentang hukum tersebut. Ketika keyakinan yang kuat
terbentuk, hukum Tuhan mengikuti keyakinan kuat yang dibentuk oleh individu tersebut.
Singkatnya, jika seseorang secara jujur dan tulus meyakini bahwa hukum Tuhan adalah begini
dan begitu, maka baginya ia menjadi hukum Tuhan.
Pendapat mazhab kedua ini memunculkan persoalan rumit seputar penerapan Syariat
dalam masyarakat. Pendapat ini mengisyaratkan bahwa hukum Tuhan adalah upaya pencarian
hukum Tuhan itu sendiri; jika tidak, maka beban hukum (taklif) sepenuhnya bergantung pada
subyektifitas dan kejujuran dari keyakinan seseorang. Berdasarkan sudut pandang mazhab
pertama, hukum apapun yang diterapkan oleh negara, hukum tersebut secara potensial
merupakan hukum Tuhan, dan kita tidak akan mengetahui hukum Tuhan yang sebenarnya
hingga akhir zaman. Dari sudut pandang mazhab kedua, hukum apapun yang diterapkan oleh
negara bukanlah hukum Tuhan, kecuali jika orang yang harus menjalankan hukum tersebut
meyakininya sebagai kehendak dan perintah Tuhan. Mazhab pertama menangguhkan
pengetahuan tentang hukum Tuhan hingga kita memasuki alam akhirat, dan mazhab kedua
menggantungkan pengetahuan itu pada validitas proses dan kejujuran sebuah keyakinan.
Dengan berpijak pada warisan pemikiran ini, saya memandang bahwa Syariat harus
diletakkan dalam politik Islam sebagai konstruksi simbolis tentang kesempurnaan Tuhan yang
berada di luar jangkauan manusia. Seperti yang dinyatakan oleh Ibn Qayyim, ia merupakan
hakikat keadilan, kebaikan, dan keindahan ilahi. Kesempurnaannya terpelihara dalam Pikiran
Tuhan, sementara segala sesuatu yang disalurkan melalui agen manusia pasti akan tercemar oleh
ketidaksempurnaan manusia. Dengan ungkapan lain, Syariat yang diwahyukan Tuhan benar-
benar sempurna, tapi ketika dipahami oleh manusia, ia menjadi tidak sempurna dan bersifat
kondisional. Para ahli hukum harus terus menggali gagasan utama Syariat dan mengerahkan
upaya mereka yang tidak sempurna itu untuk memahami kesempurnaan Tuhan. Selama
argumentasi yang dibangun itu bersifat normatif, ia tidak akan mampu mencapai kehendak
Tuhan, sehingga hukum apapun yang akan diterapkan pasti berpotensi mengalami kegagalan.
Syariat bukan hanya sekedar kumpulan hukum (seperangkat aturan positif), tapi juga mencakup
senarai prinsip, metodologi, dan proses diskursus yang diarahkan untuk mencapai kehendak
Tuhan. Dengan demikian, Syariat merupakan sebuah karya yang berkesinambungan dan tidak
pernah rampung.

17
Penjelasan konkritnya adalah sebagai berikut: jika sebuah pendapat diadopsi dan
dilaksanakan oleh sebuah negara, pendapat tersebut tidak bisa dikatakan sebagai hukum Tuhan.
Setelah melalui proses penetapan dan penegakan oleh negara, pendapat hukum itu tidak lagi
semata mengandung potensi–ia menjadi hukum yang sebenarnya, yang diterapkan dan
dilaksanakan. Tapi, hukum yang telah diterapkan dan dilaksanakan bukanlah hukum Tuhan–ia
menjadi hukum negara. Dengan demikian, hukum agama sebuah negara merupakan istilah yang
kontradiktif, karena hukum itu seharusnya hanya milik negara atau milik Tuhan semata, dan
selama penjelasan dan pelaksanaan hukum itu bersandar pada agen subyektif negara, maka
hukum tersebut pasti bukanlah hukum Tuhan. Kalau tidak begitu, maka kita harus mau mengakui
bahwa kegagalan hukum negara pada kenyataannya merupakan kegagalan hukum Tuhan, dan
akhirnya juga berarti kegagalan Tuhan sendiri. Dalam konsep teologi Islam, kemungkinan
tersebut tidak dapat diterima.25
Tentu saja, tantangan terbesar bagi pendapat tersebut adalah argumentasi bahwa Tuhan
dan Nabi-Nya telah menetapkan perintah hukum yang jelas yang tidak dapat diabaikan. Secara
argumentatif bisa dikatakan bahwa Tuhan telah menetapkan hukum-Nya secara jelas dan tepat
karena Dia ingin membatasi peran agen manusia dan menutup kemungkinan melakukan inovasi.
Tapi–kembali lagi pada pendapat yang telah saya tekankan sebelumnya–bagaimanapun jelas dan
akuratnya pernyataan dalam Alquran dan sunah, yang diambil dari kedua sumber itu harus
dinegosiasikan melalui agen manusia. Misalnya, Alquran menyebutkan, “Laki-laki yang mencuri
dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang
mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (Q.S. 5:38). Meskipun kandungan hukum dari ayat tersebut tampak jelas, ia
setidaknya menuntut manusia untuk menafsirkan makna “pencuri,” “memotong,” “tangan,” dan
“balasan.” Alquran menggunakan ungkapan iqta‘u, dari akar kata qata‘a, yang bisa bermakna
“memutuskan” atau “memotong,” tapi ia juga bisa berarti “bersikap tegas,” “mengakhiri,”
“mencegah,” atau “menjauhkan seseorang.”26 Apapun makna yang kita ambil dari teks tersebut,
pertanyaannya kemudian adalah dapatkah seorang penafsir mengklaim dengan penuh kepastian
bahwa penetapan yang ia capai identik dengan penetapan yang dikehendaki Tuhan? Dan
sekalipun ketika persoalan makna itu berhasil dipecahkan, dapatkah hukum tersebut
dilaksanakan dengan jalan sedemikian rupa sehingga kita dapat mengklaim bahwa hasilnya
sesuai dengan kehendak Tuhan? Pengetahuan dan keadilan Tuhan bersifat sempurna, dan
manusia tidak mungkin menentukan atau melaksanakan hukum dengan cara sedemikian rupa
sehingga sepenuhnya terhindar dari kemungkinan melakukan kesalahan. Hal ini tidak berarti
bahwa pencarian hukum Tuhan berujung pada kesia-siaan; ia hanya berarti bahwa penafsiran
para ahli hukum merupakan pemenuhan kehendak Tuhan, tapi hukum-hukum yang dikodifikasi
dan diterapkan oleh negara tidak dapat dipandang sebagai pemenuhan kehendak Tuhan yang
sebenarnya.
Dalam sejarah Islam, secara kelembagaan ulama, yaitu para ahli hukum, dapat dan benar-
benar bertindak sebagai penafsir Firman Tuhan, penjaga moral masyarakat, dan pengawas yang
mengingatkan dan mengarahkan bangsa pada tujuan tertinggi, yaitu Tuhan.27 Tapi hukum
negara, apapun asal-usul dan landasannya, merupakan milik negara semata. Berdasarkan konsep
ini, tidak ada hukum agama yang dapat atau boleh ditegakkan oleh negara. Semua hukum yang
dijelaskan dan diterapkan dalam sebuah negara sepenuhnya merupakan hukum manusia, dan
harus diperlakukan sebagai hukum manusia. Hukum-hukum tersebut merupakan bagian dari
hukum Syariat hanya sejauh pengertian bahwa pendapat hukum manusia bisa dikatakan sebagai
bagian dari Syariat. Sebuah undang-undang, sekalipun bersumber dari Syariat, bukanlah Syariat.

18
Dalam ungkapan yang berbeda, manusia (creation), dengan seluruh kekayaan tekstual dan non-
tekstual, dapat dan harus menghasilkan hak yang mendasar dan hukum yang terorganisir
(arganizational law) yang mampu menghargai dan menjunjung tinggi hak tersebut. Tapi hak dan
hukum itu tidak mencerminkan kesempurnaan ciptaan Tuhan. Berdasarkan paradigma tersebut,
demokrasi merupakan sebuah sistem yang memadai dari perspektif Islam karena selain
mengungkapkan sisi penting manusia–yaitu statusnya sebagai khalifah Tuhan–pada saat yang
sama juga mencegah negara bertindak sebagai juru bicara Tuhan dengan meletakkan otoritas
tertinggi di tangan rakyat, bukan di tangan ulama. Di samping itu pendidik moral memiliki peran
yang serius, karena mereka harus siap membimbing masyarakat untuk mendekati Tuhan. Tapi
kehendak kelompok mayoritas sekalipun–sebaik apapun moralitas mereka–tidak dapat mewakili
kehendak Tuhan. Dan dalam kasus yang paling buruk–jika kelompok mayoritas lepas dari
bimbingan para ulama, jika kelompok mayoritas bersikeras untuk menyimpang dari jalan Tuhan,
tapi masih menghormati hak-hak dasar individu, termasuk hak untuk mempertimbangkan
penciptaan dengan hati-hati dan menyeru pada jalan Tuhan–individu-individu yang membentuk
kelompok mayoritas itu tetap harus bertanggung jawab kepada Tuhan di akhirat kelak.[]
1
Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Syawkani, Nayl al-Awthar Syarh Muntaqa al-Akhbar (Kairo: Dar
al-Hadits, t.t.), jilid 7:166; Syihab al-Din ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari (Beirut:
Dar al-Fikr, 1993), jilid 14:303.
2
Ironisnya, kelompok fundamentalis Syi‘ah dan Sunni mengecam kelompok Khawarij dan memandang
mereka sebagai kelompok heretik, tapi hal ini bukan karena kelompok-kelompok modern itu tidak sepakat dengan
slogan politik kelompok Khawarij, melainkan karena mereka telah membunuh Ali, sepupu Nabi.
3
Abd Allah ibn Muslim ibn Qutayba, al-Imama wa al-Siyasa, ed. Zini Taha (Kairo: Mu’assasat al-Halabi,
1967), h. 21. Buku ini secara tradisional dikenal dengan nama Ta’rikh al-Khulafa’.
4
Mu‘tazilah adalah sebuah mazhab pemikiran teologis yang pemeluknya menyebut diri mereka sebagai ahl
al-‘adalah wa al-tawhid (kelompok pembela keadilan dan keesaan Tuhan). Kelompok tersebut dapat ditelusuri asal-
usulnya dalam pemikiran Wasil ibn ‘Atha’ (w. 131/748) dari Basrah. Kelompok Mu‘tazilah sering digambarkan
sebagai kelompok rasionalis karena mereka menekankan teologi yang rasional. Mereka juga menganggap keadilan
dan menyeru pada kebaikan dan melarang kejahatan sebagai bagian dari rukun Iman. Lima rukun iman yang
dicetuskan oleh kelompok tersebut adalah: (1) tawhid (percaya kepada keesaan Tuhan); (2) ‘adl (keadilan); (3) al-
wa‘d wa al-wa‘id (janji berupa balasan pahala dan ancaman berupa hukuman); (4) al-manzilah bayna al-
manzilatayn (mereka yang melakukan dosa besar tidak lagi dipandang sebagai seorang Muslim dan tidak juga
dipandang kafir); (5) al-amr bi al-ma‘ruf wa al-nahy ‘an al-munkar (memerintah kebaikan dan melarang
keburukan).
5
Dengan mengutip contoh tindakan Nabi di Madinah, al-Asam menjelaskan bahwa hal ini mencakup
perempuan yang beriman, tapi tidak mencakup non-Muslim atau para budak. Diriwayatkan bahwa setelah hijrah ke
Madinah, Nabi mengambil sumpah setia dari sejumlah perempuan dan laki-laki Madinah. Muhammad ‘Imara, al-
Islam wa Falsafat al-Hukm (Beirut: t.p., 1979), h. 431-432.
6
‘Imara, al-Islam, 435.
7
Setelah Prancis angkat kaki dari Mesir tahun 1801, Umar Makram dan para ulama berhasil mengalahkan
orang-orang Prancis yang masih tertinggal di Mesir. Bukannya menguasai sendiri pemerintahan yang baru
terbentuk, para ulama menyerahkan pemerintahan kepada Muhammad Ali, orang Mesir keturunan Albania.
8
Afaf Lutfi al-Sayyid Marsot, “The Ulama of Cairo in the Eighteenth and Nineteenth Century,” dalam
Scholars, Saints, and Sufis, ed. Nikki Keddi (Berkeley: University of California Press, 1972), h. 149.
9
Daniel Crecelius, “Egyptian Ulama and Modernization, dalam Scholars, h. 167-209, 168.
10
Jalal al-Din al-Suyuti, Ta’rikh al-Khulafa’, ed. Ibrahim Abu al-Fadl (Kairo: Dar al-Nahda, 1976), h. 109.

19
11
Abu Hamid al-Ghazali, Fada’ih al-Bathiniyya, ed. Abd al-Rahman (Kairo: Dar al-Qawmiyya, 1964), h.
186, 191; Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abd al-Mu‘thi Muhammad, al-Fikr al-Siyasi fi al-Islam: Syakhsiyyat wa
Madzahib (Alexandria: Dar al-Jami’at al-Misriyya, 1978), h. 399-403.
12
Q.S. 21:107, yang ditujukan kepada Nabi, berbunyi: “Tidaklah Kami mengutusmu kecuali sebagai
rahmat bagi semesta alam.” Lihat juga Q.S. 16:89. Pada kenyataannya, Alquran menggambarkan bahwa
keseluruhan pesan Islam dilandasi oleh rahmat dan kasih sayang. Islam diutus untuk mengajarkan dan menegakkan
nilai-nilai tersebut di tengah-tengah manusia. Saya percaya bahwa bagi orang-orang Islam, hal tersebut menciptakan
sebuah tugas normatif untuk menyebarkan kasih sayang (Q.S. 27:77; 29:51; 45:20). Tapi mengajarkan cinta kasih
mustahil dilakukan kecuali jika kita telah mengetahuinya, dan pengetahuan semacam itu tidak dapat dibatasi pada
teks semata. Ta‘aruf (mengenal sesama) yang dilandasai dengan etika kepedulian inilah yang dapat membuka pintu
pengetahuan tentang kasih sayang, dan kemudian mengajarkannya kepada orang lain.
13
Dalam istilah Alquran, rahma (kasih sayang) tidak terbatas pada maghfira (pengampunan).
14
Secara eksplisit Alquran memerintahkan manusia untuk memperlakukan sesama dengan kesabaran dan
kasih sayang (Q.S. 90:17) dan tidak melanggar batas kewenangan mereka dengan mengklaim telah mengetahui
siapa yang berhak memperoleh kasih sayang Tuhan dan siapa yang tidak (Q.S. 43:32). Teori moral Islam yang
berfokus pada kasih sayang sebagai sebuah nilai melengkapi etika kepedulian (ethic of care) yang dikembangkan
dalam teori moral Barat.
15
Gagasan ini juga dicontohkan dalam sebuah hadis yang dinisbatkan kepada Nabi yang menegaskan
bahwa perbedaan dan keberagaman pendapat umat Islam merupakan sumber kasih sayang Tuhan kepada orang-
orang Islam.
16
Tentu saja, mendekati Tuhan tidak berarti bercita-cita menjadi Tuhan. Mendekati Tuhan berarti
mencerminkan keindahan dan nilai-nilai ilahi, dan berjuang untuk mewujudkan sebanyak mungkin keindahan dan
nilai-nilai tersebut. Saya memulainya dengan sebuah asumsi teologis bahwa Tuhan tidak dapat dipahami oleh akal
manusia. Namun, Tuhan mengajarkan nilai-nilai moral yang memancar dari sifat Tuhan, dan nilai-nilai itu juga
terpancar pada ciptaan-Nya. Dengan merenungkan keindahan ilahi semaksimal mungkin, manusia dapat mendekati
Tuhan dengan lebih baik. Semakin besar kemampuan manusia menghubungkan dirinya pada kebaikan, keadilan,
kasih sayang dan keseimbangan, yang menjadi perwujudan Tuhan, semakin besar kemampuannya untuk
mencerminkan, atau menggambarkan sifat-sifat Tuhan, dan semakin besar kemampuannya untuk membentuk rasa
keindahan dan kebijakan yang mendekati keindahan dan kebijakan Tuhan.
17
Saya berargumen bahwa perlindungan terhadap agama harus dikembangkan sehingga mencakup
perlindungan terhadap kebebasan menganut keyakinan agama; perlindungan terhadap kehidupan harus dipahami
bahwa mengambil nyawa seseorang harus dilakukan atas dasar alasan yang benar dan merupakan hasil dari proses
yang benar; perlindungan terhadap akal harus dimaknai sebagai hak untuk berpikir, berekspresi dan memilih
keyakinan secara bebas; perlindungan terhadap kehormatan harus dimaknai sebagai perlindungan terhadap martabat
manusia; dan perlindungan terhadap harta benda harus dimaknai sebagai hak untuk memperoleh ganti rugi atas
hilangnya harta benda.
18
Namun, para ahli hukum Muslim tidak menganggap pelukaan tangan dan kaki sebagai hukuman bagi
pencurian atau penghilangan anggota tubuh terhadap kasus perampokan.
19
Sejumlah besar ahli hukum dalam sejarah Islam telah dihukum mati dan dibunuh karena mengemukakan
pendapat bahwa dukungan politik (bay‘a) yang diperoleh secara paksa dipandang tidak sah. Para ahli hukum
Muslim menggambarkan kematian para ulama karena persoalan tersebut sebagai kematian musabara. Hal ini
menjadi sebuah diskursus penting karena para khalifah terbiasa menyogok atau mengancam tokoh-tokoh masyarakat
dan para ahli hukum untuk memperoleh dukungan (bay‘a) mereka.
20
Para ahli hukum Muslim juga menegaskan bahwa hak dan kewajiban yang bersifat khusus harus
diprioritaskan dari pada hak dan kewajiban yang bersifat umum. Tapi, lagi-lagi, hal ini merupakan sebuah prinsip
hukum yang berlaku bagi hukum keagenan dan kepercayaan. Meskipun prinsip tersebut dapat diperluas dan
dikembangkan untuk mendukung hak-hak individu pada masa modern ini, secara historis, ia memiliki makna yang
lebih teknis dan legalistis.

20
21
Beberapa ahli hukum pra-modern membedakan antara Muslim dan non-Muslim terutama dalam
persoalan yang menyangkut pertanggungjawaban kriminal dan ganti rugi dalam hukum pidana.
22
Empat mazhab Sunni yang masih bertahan hingga kini adalah mazhab Hanafi, Maliki, Syafi‘i dan
Hanbali.
23
Saya menyederhanakan doktrin yang rumit ini untuk menjelaskan konsep tersebut. Para ahli hukum
Muslim terlibat dalam diskursus yang panjang ketika membedakan antara konsep Syari‘ah dengan Fikih.
24
Al-Juwayni, Kitab al-Ijtihad, h. 61.
25
Sepanjang menyangkut persoalan ini, diskursus Islam kontemporer mengidap sejenis penyakit
kemunafikan. Seringkali, orang-orang Islam menghadapi krisis eksistensial jika hukum Islam yang dipaksakan itu
membuahkan kepedihan dan penderitaan sosial. Untuk memecahkan krisis tersebut, orang-orang Islam seringkali
harus mengklaim bahwa terjadi kegagalan dalam tataran implementasi. Sikap apologetis yang memalukan ini bisa
dihindari jika orang-orang Islam dapat menanggalkan gagasan tentang hukum negara Syari‘ah yang tidak logis itu.
26
Ahmed Ali berargumen dalam Al-Quran: A Contemporary Translation (Princeton University Press,
2001) bahwa kata-kata yang digunakan dalam Alquran tidak berarti memotong anggota tubuh, tapi bermakna
“mencegah tangannya dari tindak pencurian dengan menggunakan sarana pencegahan …” (113). Para ahli hukum
Islam klasik meletakkan persyaratan sedemikian rupa sehingga pada praktiknya pemotongan anggota tubuh mustahil
terlaksana.
27
Agar para ulama dapat memainkan peranan yang berarti dalam sebuah masyarakat madani, mereka harus
terlebih dahulu memperoleh kembali kebebasan moral dan kelembagaannya.

21

Anda mungkin juga menyukai