Anda di halaman 1dari 6

IRONI DEMOKRASI

Sidang tahunan (ST) MPR yang semula direncanakan sepuluh hari


dan akhirnya dipercepat menjadi tujuh hari memboroskan biaya 20,7 miliar.
Biaya sebesar itu untuk membiayai acara yang melibatkan 700 anggota
MPR ditambah 250 orang pegawai sekjen MPR.
Banyak kalangan, termasuk sebagian anggota MPR sendiri, menilai
ST kali ini seakan hanya sebuah reuni dari orang-orang yang dipilih menjadi
wakil rakyat dengan biaya sangat besar yang diambil dari uang rakyat. ST
MPR ini ibarat reuni karena tidak memiliki nilai yang penting. Banyak agenda
pembahasan yang kurang mendesak. Perencanaan ST juga kurang baik.
Hal ini dapat kita lihat dari dipercepatnya ST 30 persen dari waktu yang
direncanakan semula. Seandainya sidang direncanakan dengan baik tentu
tidak akan muncul hal demikian. Percepatan ST ini mengisyaratkan bahwa
agenda yang dibicarakan kurang penting sehingga dapat dibicarakan dalam
waktu yang singkat; tidak perlu pembahasan, diskusi, serta perdebatan yang
lama dan mendalam. Ironisnya, semua ini harus dibiayai rakyat sekitar 20,7
miliar.
Inilah pemborosan uang rakyat yang justru dilakukan oleh wakil-wakil
mereka. Pemborosan uang rakyat oleh para anggota legislatif ini sama
parahnya dengan pemborosan uang rakyat oleh kalangan eksekutif.
Padahal, pada saat yang sama, banyak beban hidup rakyat justru semakin
berat karena dicabutnya subsidi oleh pemerintah. Ambil contoh pendidikan.
Kapitalisasi pendidikan ditambah dengan diterapkannya UU Pendidikan
yang tidak jelas menjadikan lembaga pendidikan bersifat independen dan
sebagian besar— kalau tidak bisa dikatakan seluruhnya— biaya dibebankan
kepada rakyat. Sidang Tahunan MPR tersebut sungguh bertolak belakang
dengan keadaan masyarakat yang pada bulan-bulan kemarin harus
kalangkabut mencari biaya untuk sekadar memasukkan anak mereka ke
sekolah. Para wakil rakyat sebagai cerminan dari pelaksana kedaulatan
rakyat secara praktis malah menghambur-hamburkan uang yang sejatinya
dipungut dari rakyat. Sangat getir, memang.
Tidak pentingnya ST MPR juga terlihat dari tidak dikritisinya
kebijakan Presiden. Artinya, pelaksanaan pemerintahan selama setahun ini
tidak dikritisi. Padahal, katanya MPR adalah wujud dari kedaulatan rakyat
dan pemerintah bertanggung jawab kepada rakyat. Kalau Presiden saja
tidak dikritisi, apalagi sistem yang rusak saat ini. Kalau demikian halnya,
bagaimana perbaikan menyeluruh dapat terwujud?
Inilah demokrasi, atau setidaknya, inilah pelaksanaan demokrasi.
Yang ada adalah formalisasi berbagai kepentingan dari pihak-pihak tertentu.
Kenyataan demikian tidak hanya terlihat di negeri ini, tetapi juga di negara
kampiun demokrasi seperti AS, Inggris, dan negaranegara Eropa. Sekali
lagi, yang ada adalah formalisasi kepentingan. Substansinya sendiri, yaitu
kemaslahatan rakyat, tidak mendapat tempat. Inilah demokrasi dan
pelaksanaannya di dunia.
Konsep kedaulatan rakyat yang terdengar begitu membius ternyata
hanya sekadar khayalan yang sangat jauh dari kenyataan. Dalam sistem
demokrasi, pemerintah menjalankan kontrak dari rakyat untuk menjalankan
pemerintahan dengan mendapat gaji dari rakyat. Anehnya, pihak yang digaji
menjadi lebih berkuasa atas pihak yang menggaji. Pekerja lebih berkuasa
atas majikan daripada sang majikan sendiri. Jika rakyat berdaulat, mengapa
rakyat dan kehendak rakyat tidak diperhatikan; mengapa pemerintah yang
katanya bekerja untuk rakyat malah banyak memaksa rakyat; mengapa
justru rakyat yang menuruti keinginan penguasa? Lalu di manakah
kedaulatan rakyat itu? Inilah sebagian dari ironi demokrasi. Kedaulatan
rakyat sebagai pilar demokrasi ternyata hanya ilusi. Demokrasi hanyalah
formalisasi berbagai kepentingan dari pihak-pihak tertentu, tidak lebih.
Rakyat tetap saja sebagai obyek penderita, tidak menjadi subyek.

Pandangan Islam
Islam dengan tegas menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan
syariat, tidak di tangan rakyat maupun penguasa. Syariatlah yang berhak
menentukan hukum, sistem, dan aturan bagi mereka. Mereka tinggal
melaksanakannya. Allah Swt. berfirman:
!" # $%& #'$ ( )*'

+,- '
Sesungguhnya menetapkan hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah
memerintahkan agar kalian tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang
lurus. Akan tetapi, kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. (TQS Yusuf
[12]: 40).

Dalam ayat tersebut, Allah menjelaskan bahwa menentukan hukum


(kedaulatan) hanya milik Allah. Artinya, kedaulatan berada di tangan syariat.
Allah juga melarang manusia untuk menghambakan diri kepada selain Dia.
Penghambaan kepada selain Allah ini dapat terjadi ketika manusia
memberikan hak menentukan atau membuat hukum kepada selain Allah.
Sebab, itu berarti manusia telah menyekutukan Allah. Ini jelas sikap yang
sangat lancang. Sikap demikian tidak layak ditunjukkan oleh kaum Muslim
yang beriman kepada Allah dan bersaksi bahwa tiada Tuhan yang patut
disembah selain Allah.
Kita semua adalah orang-orang yang beriman dengan sepenuhnya
kepada Allah dan tidak akan menyekutukan-Nya. Jadi, tidak layak jika terjadi
penuhanan terhadap rakyat dengan cara memberikan otoritas kepada
mereka untuk membuat hukum.
Dengan demikian, demokrasi bertentangan sama sekali dengan
Islam. Memang, banyak kalangan yang menyamakan demokrasi dengan
konsep syura (musyawarah) dalam Islam. Padahal sesungguhnya syura
sangat berbeda dan bahkan bertolak belakang dengan demokrasi.
Islam memang mensyariatkan syura. Dalam Islam, syura hukumnya
sunnah. Syura menurut Islam adalah meminta pendapat orang yang diajak
bermusyawarah dalam perkara-perkara yang mubah. Hak syura merupakan
hak seluruh kaum Muslim terhadap Khalifah (kepala pemerintahan Islam).
Kaum Muslim memiliki hak terhadap Khalifah agar Khalifah dalam banyak
persoalan merujuk kepada mereka untuk meminta pendapat mereka. Untuk
melaksanakan hal ini, rakyat memilih wakil-wakil mereka yang akan menjadi
anggota majelis umat. Dengan demikian, majelis umat merupakan majelis
yang terdiri dari orang-orang yang mewakili kaum Muslim. Tujuannya adalah
agar aspirasi mereka menjadi bahan pertimbangan Khalifah dan majelis
umat sendiri menjadi tempat Khalifah untuk meminta masukan dalam
urusan-urusan kaum Muslim. Keberadaan majelis umat disyariatkan oleh
Islam.
Wewenang majelis umat ini antara lain: Pertama, memberi masukan
kepada Khalifah dalam aktivitas dan perkara praktis yang tidak memerlukan
penelitian dan analisis seperti masalah pendidikan, kesehatan, ekonomi,
perdagangan, dsb. Pendapat majelis dalam perkara ini bersifat mengikat
dan harus dilaksanakan oleh Khalifah. Coba bandingkan dengan sistem
demokrasi yang dalam berbagai urusan itu suara wakil rakyat yang katanya
memiliki kedaulatan ternyata tidak serta-merta mengikat pemerintah.
Sebaliknya, dalam masalah yang memerlukan penelitian dan analisis serta
keahlian/ilmu tertentu Khalifah boleh merujuk majelis, namun pendapat
majelis tidak mengikat.
Kedua, Khalifah boleh menyodorkan rancangan hukum dan undang-
undang syariah yang hendak diadopsi kepada majelis dan anggota majelis
yang Muslim berhak memberi masukan mana yang benar dan mana yang
salah menurut dalil syar’i (al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qiyas
Syar’i).
Ketiga, majelis berhak untuk mengoreksi seluruh tindakan Khalifah.
Jika masalah yang dikoreksi merupakan masalah dimana suara mayoritas
mengikat maka koreksi majelis mengikat Khalifah.
Keempat, majelis sebagai representasi aspirasi rakyat boleh
menampakkan ketidakridhaan kepada pembantu Khalifah (mu’awin),
gubernur (wali), dan amil (setingkat bupati). Jika ini terjadi, Khalifah harus
memenuhi suara majelis dan mengganti pejabat tersebut. Hal ini seperti
yang dilakukan oleh Rasulullah ketika mengganti al-Ala’ bin al-Hadhrami
karena ketidakridhaan wakil penduduk Bahrain. Yang seperti ini tidak terjadi
dalam sistem demokrasi. Ketentuan ini sangat berbeda dengan sistem
demokrasi. Kasus perselisihan DPRD beberapa daerah dengan pemerintah
pusat mengenai pengangkatan dan pencopotan gubernur atau walikota
beberapa waktu lalu menjadi contoh buruk sistem demokrasi dan
menunjukkan keunggulan sistem Islam.
Kelima, kaum Muslim yang menjadi anggota majelis umat berhak
membatasi calon yang akan dipilih menjadi khalifah. Pemilihan khalifah
dilakukan langsung oleh rakyat atau oleh anggota Majelis Umat yang muslim
sebagai representasi dari kaum Muslim. Selanjutnya calon yang
memenangkan pemilu di baiat menjadi Khalifah yang akan menjalankan
pemerintahan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw.
Ini hanya sebagian dari ketentuan sistem Islam berkait dengan
majelis umat. Dari sini tampak keadilan sistem Islam yang menempatkan
kedaulatan ada di tangan syariat dan kekuasaan ada di tangan umat.

Wahai Kaum Muslim,


Tampak jelas di hadapan kita bahwa sistem demokrasi hanyalah ilusi
dan khayalan yang membius. Dalam pelaksanaannya, demokrasi hanyalah
formalisasi dari berbagai kepentingan. Substansi demokrasi tidak
mendatangkan kemaslahatan bagi kita semua, namun hanya menjadikan
kita sebagai “obyek”-an dari pihak-pihak tertentu demi kepentingan mereka
sendiri, bukan untuk kepentingan dan kemaslahatan kita semua.

Wahai kaum Muslim,


Kita semua adalah pewaris sistem yang agung ini. Kita adalah
pewaris sistem yang dituntun oleh wahyu dari Allah yang Mahabenar ini.
Kita adalah kaum yang secara penuh beriman kepada Allah yang
Mahabenar dan Mahabijaksana. Oleh karena itu, tidak ada yang layak
diterapkan oleh kita sekalian kecuali sistem Islam. Tidak layak kita
merendahkan diri dengan menerapkan sistem lain yang bertentangan
dengan sistem yang agung ini. Sistem demokrasi yang memberikan
kedaulatan kepada rakyat tidak layak untuk kita ikuti. Sistem itu justru
menempatkan rakyat sebagai sekutu bagi Allah, Tuhan kita. Na‘ûdzu billâh
min dzâlik.
Oleh karena itu, wahai kaum Muslim, sudah saatnya kita melepaskan
sistem buruk itu dan kita terapkan sistem Islam yang agung ini. []

Anda mungkin juga menyukai