Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH SUMBER DAYA MANUSIA

PERSELISIHAN PERBURUHAN DALAM HAL PENGAKHIRAN


HUBUNGAN KERJA ( PHK )

Diajukan sebagai Tugas Mandiri Mata Kuliah NTM


Semester Ganjil Tahun Akademik 2014 / 2015
Angkatan XIII

Disusun Oleh :

Andri Irawan Sanjaya


( 2130 402 028 )
FAKULTAS MANAGEMENT PERHOTELAN
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI PARIWISATA
INTERNASIONAL
STEIN
JAKARTA

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul: PERSELISIHAN PERBURUHAN DALAM HAL PENGAKHIRAN
HUBUNGAN KERJA ( PHK )
Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan
tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk itu
dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Bapak Rum Haryono, M.M. selaku dosen pembimbing mata kuliah
Pengantar Bisnis dan semua pihak yang membantu dalam pembuatan karya tulis ini.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan karya tulis ini masih dari jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, penulis telah
berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat
selesai dengan baik dan oleh karenanya, penulis dengan rendah hati dan dengan tangan
terbuka menerima masukan,saran dan usul guna penyempurnaan karya tulis ini.
Akhirnya penulis berharap semoga karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat bagi
seluruh pembaca.

Jakarta, 13 Februari 2015

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian PHK
2.2 Jenis Jenis PHK
2.3 Mekanisme Dan Penyelesaian Perselisihan PHK
2.4 Kompensasi PHK

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Pada Tahun 1998 Indonesia mengalami masa yang sangat sulit karena pada saat itu
terjadi krisis moneter yang berimbas pada dunia industri. Hal ini membuat beberapa
badan usaha milik swasta maupun pemerintah melakukan Pemutusan Hubungan kerja
atau yang seringdisebut dengan PHK. Langkah ini terpaksa dilakukan karena salah satu
alasannya adalah perusahaan mengalami kerugian yang tidak sedikit,sementara
perusahaan mempunyai kewajiban untuk memberikan upah kepada pegawainya.
Pemutusan Hubungan Kerja merupakan suatu hal yang pada beberapa tahun yang
latu merupakan suatu kegiatan yang sangat ditakuti oleh karyawan yang masih aktif
bekerja. Hal ini dikarenakan kondisi kehidupan politik yang goyah, kemudian disusul
dengan carutmarutnya kondisi perekonomian yang berdampak pada banyak industri yang
harus gulung tikar, dan tentu saja berdampak pada pemutusan hubungan kerja yang
dilakukan dengan sangat tidak terencana. Kondisi inilah yang menyebabkan orang yang
bekerja pada waktu itu selalu dibayangi kekhawatiran dan kecemasan, kapan giliran
dirinya diberhentikan dari pekerjaan yang menjadi penopang hidup keluarganya.

RUMUSAN MASALAH
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makaiah ini adalah :
1.2.1

Apa definisi dari PHK?

1.2.2

Jelaskan Jenis-jenis PHK?

1.2.3

Jelaskan Mekanisme dan Penyelesaian PHK?

1.2.4

Bagaimana bentuk Penyelesaian Kompensasi PHK?

1.3 TUJUAN PENULISAN


1.3.1

Mengetahui dengan jelas definisi dari PemutusanHubungan Kerja (PHK).

1.3.2

Mengetahui Jenis-jenis dari Pemutusan Hubungan Kerja(PHK).

1.3.3

Mengetahui Mekanisme pemberian PHK kepadakaryawan dan cara


penyelesaian perselisihan yang akan timbulsetelah Pemutusan Hubungan
Kerja dilakukan.

1.3.4

Mengetahui Bentuk dari pemberian Kompensasi kepadakaryawan yang akan


mendapatkan PHK dari perusahaan.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN PHK


PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara karyawan dan perusahaan, apabila
kita mendengar istilah PHK yang biasa terlintas adalah pemecatan sepihak oleh pihak
perusahaan karena kesalahan karyawan. Karenanya, selama ini singkatan PHK memiliki
konotasi Negative. Padahal, kalau kita tilik definisi diatas yang diambil dari UU
No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan, dijelaskan PHK dapat terjadi karena bermacam
sebab. Intinya tidak persis sama dengan pengertian dipecat.
Menurut pasal 61 Undang Undang No. 13 tahun 2003 mengenai tenaga kerja,
perjanjian kerja dapat berakhir apabila :

Pekerja meninggal dunia

Jangka waktu kontak kerja telah berakhir

Adanya putusan pengadilan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan


hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap

Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian


kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat
menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

Jadi, pihak yang mengakhiri perjanjian kerja sebelum jangka waktu yang ditentukan,
wajib membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai
batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Perusahaan dapat melakukan PHK apabila pekerja melakukan pelanggaran terhadap
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama (PKB). Akan tetapi
sebelum mem-PHK, perusahaan wajib memberikan surat peringatan secara 3 kali
berturut-turut. Perusahaan juga dapat menentukan sanksi yang layak tergantung jenis
pelanggaran, dan untuk pelanggaran tertentu, perusahaan bisa mengeluarkan SP 3 secara
langsung atau langsung memecat. Semua hal ini diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahan masing-masing. Karena setiap perusahaan mempunyai peraturan yang
berbeda-beda.
Selain karena kesalahan pekerja, pemecatan mungkin dilakukan karena alasan lain.
Misalnya bila perusahaan memutuskan melakukan efisiensi, penggabungan atau
peleburan, dalam keadaan merugi/pailit. PHK akan terjadi karena keadaan diluar kuasa
perusahaan.
Bagi pekerja yang diPHK, alasan PHK berperan besar dalam menentukan apakah
pekerja tersebut berhak atau tidak berhak atas uang pesangon, uang penghargaan dan
uang penggantian hak. Peraturan mengenai uang pesangon, uang penghargaan dan uang

penggantian hak diatur dalam pasal 156, pasal 160 sampai pasal 169 UU No. 13 tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan.

2.2 JENIS-JENIS PHK


2.2.1 PHK Pada Kondisi Normal ( Sukarela )
Menurut UU No. 13 tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan, pihak perusahaan dapat
saja melakukan PHK dalam berbagai kondisi seperti di bawah ini:
a.

Pengunduran diri secara baik-baik atas kemauan sendiri


Bagi pekerja yang mengundurkan diri secara baik-baik tidak berhak mendapat
uang pesangon sesuai ketentuan pasal 156 ayat 2. Yang bersangkutan juga tidak
berhak mendapatkan uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan pasal 156 ayat 3
tetapi berhak mendapatkan uang penggantian hak mendapatkan 1 kali ketentuan
pasal 156 ayat 4.
Apabila pekerja tersebut mengundurkan diri secara mendadak tanpa mengikuti
prosedur sesuai ketentuan yang berlaku (diajukan 30 hari sebelum tanggal
pengunduran diri) maka pekerja tersebut hanya mendapatkan uang penggantian hak.
Tetapi kalau mengikuti prosedur maka pekerja tersebut mendapatkan uang pisah
yang besar nilainya berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja yang
tertuang dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) atau peraturan perusahaan.

b.

Pengunduran diri secara tertulis atas kemauan sendiri karena berakhirnya

hubungan kerja
Bagi pekerja kontrak yang mengundurkan diri karena masa kontrak berakhir,
maka pekerja tersebut tidak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan pasal 154
ayat 2 dan uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan pasal 156 ayat 3 juga uang
pisah tetapi berhak atas penggantian hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat 4.

c.

Pengunduran diri karena mencapai usia pensiun.


Mengenai batasan usia pensiun perlu disepakati antara pengusaha dan pekerja
dan dituangkan dalam perjanjian kerja bersama atau peraturan perusahaan. Batasan
usia pensiun yang dimaksud adalah penentuan usia berdasarkan usia kelahiran dan
berdasarkan jumlah tahun masa kerja.
Contoh :
Seseorang pekerja dikatakan pensiun apabila sudah mencapai usia 55. Apabila
seorang pekerja sudah mencapai usia 55 tahun maka secara otomatis dikategorikan
pensiun walaupun masa kerjanya belum mencapai 25 tahun. Tetapi sebaliknya
walaupun usianya belum mencapai 55 tahun tetapi lama masa kerja sudah mencapai
25 tahun berturut-turut di perusahaan yang sama maka pekerja tersebut dikategorikan
pensiun. Apa pun kategori pensiunnya, pekerja tersebut berhak mendapat uang
pesangon 2 kali ketentuan pasal 156 ayat 2 dan uang penghargaan masa kerja 1 kali
ketentuan pasal 156 ayat 4 tetapi tidak berhak mendapat uang pisah.

2.2.2 PHK Pada Kondisi Tidak Normal ( Tidak Sukarela )


Menurut UU No. 13 tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan, pihak perusahaan dapat
saja melakukan PHK dalam berbagai kondisi seperti di bawah ini:
a.

Pekerja melakukan kesalahan berat


Kesalahan apa saja yang termasuk dalam kategori kesalahan berat?

Pekerja telah melakukan penipuan, pencurian, penggelapan barang dan atau uang
milik perusahan.

Pekerja memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan


perusahan.

Pekerja mabuk, minum - minuman keras, memakai atau mengedarkan narkotika,


psikotropika, dan zat aktif lainnya, dilingkungan kerja.

Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja.

Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi, teman sekerja atau


perusahaan dilingkungan kerja.

Membujuk teman sekerja atau perusahaan untuk melakukan perbuatan yang


bertentangan dengan Undang-undang.

Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya
barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan.

Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau perusahaan dalam
keadaan bahaya ditempat kerja.

Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya


dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara.

Melakukan perbuatan lainnya dilingkungan perusahaan yang diancam hukuman


pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Pekerja yang diputuskan hubungan kerjanya berdasarkan kesalahan berat hanya

dapat memperoleh uang pengganti hak sedang bagi pekerja yang tugas dan fungsi
tidak mewakili kepentingan perusahaan secara langsung,selain memperoleh uang
pengganti, juga diberikan uang pisah yang besarnya diatur dalam Perjanjian Kerja,
Peraturan Perusahaan, dan atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB).

b.

Pekerja ditahan pihak yang berwajib.


Perusahaan dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap pekerja
setelah 6 (enam) bulan tidak melakukan pekerjaan yang disebabkan masih dalam
proses pidana. Dalam ketentuan bahwa perusahaan wajib membayar kepada pekerja

atau buruh uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ditambah uang
pengganti hak.
Untuk Pemutusan Hubungan Kerja ini tanpa harus ada penetapan dari lembaga
Penyelesaian Hubungan Industrial tetapi apabila Pengadilan memutuskan perkara
pidana sebelum 6 (enam) bulan dan pekerja dinyatakan tidak bersalah, perusahaan
wajib mempekerjakan kembali.

c.

Perusahaan/perusahaan mengalami kerugian


Apabila perusahaan bangkrut dan ditutup karena mengalami kerugian secara
terus menerus selama 2 (dua) tahun, perusahaan dapat melakukan Pemutusan
Hubungan Kerja terhadap pekerja.
Syaratnya adalah harus membuktikan kerugian tersebut dengan laporan
keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik. Dan
perusahaan wajib memberikan uang pesangon 1 (satu) kali ketentuan dan uang
pengganti hak.

d.

Pekerja mangkir terus menerus


Perusahaan dapat memutuskan hubungan kerja apabila pekerja tidak masuk
selama 5 hari berturut-turut tanpa keterangan tertulis yang dilengkapi bukti-bukti

yang sah meskipun telah dipanggil 2 kali secara patut dan tertulis oleh perusahaan.
Dalam situasi seperti ini, pekerja dianggap telah mengundurkandiri. Keterangan dan
bukti yang sah yang menunjukkan alasan pekerja tidak masuk, harus diserahkan
paling lambat pada hari pertama pekerja masuk kerja dan untuk panggilan patut
diartikan bahwa panggilan dengan tenggang waktu paling lama 3 hari kerja dengan di
alamatkan pada alamat pekerja yang bersangkutan atau alamat yang dicatatkan pada
perusahaan.
Pekerja yang di-PHK akibat mangkir, berhak menerima uang pengganti hak dan
uang pisah yang besarnya dalam pelaksanaannya diatur dalam Perjanjian kerja,
Peraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama.
e.

Pekerja meninggal dunia


Hubungan kerja otomatis akan berakhir ketika pekerja meninggal dunia.
Perusahaan berkewajiban untuk memberikan uang yang besarnya 2 kali uang
pesangon, 1 kali uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak. Adapun
sebagai ahli waris janda/duda atau kalau tidak ada anak atau juga tidak ada keturunan
garis lurus keatas/kebawah selam tidak diatur dalam perjanjian kerja, Peraturan
Perusahaan, Perjanjian Kerja Bersama.

f.

Pekerja melakukan pelanggaran


Di dalam hubungan kerja ada suatu ikatan antara pekerja dengan perusahaan
yang berupa perjanjian kerja , peraturan perusahaan,dan Perjanjian Kerja Bersama
yang dibuat oleh perusahaan atau secara bersama-sama antara pekerja/serikat pekerja

10

dengan perusahaan, yang isinya minimal hak dan kewajiban masing-msing pihak dan
syarat-syarat kerja, dengan perjanjian yang telah disetujui oleh masing-masing pihak
diharapkan didalam implementasinya tidak dilanggar oleh salah satu pihak.
Pelanggaran terhadap perjanjian yang ada tentunya ada sangsi yang berupa
teguran lisan atau surat tertulis, sampai ada juga yang berupa surat peringatan.
Sedang untuk surat peringatan tertulis dapat dibuat surat peringatan ke I, ke II,
sampai ke III. masing-masing berlakunya surat peringatan selam 6 bulan sehingga
apabila pekerja sudah diberi peringatan sampai 3 kali berturut-turut dalam 6 bulan
terhadap pelanggaran yang sama maka berdasarkan peraturan yang ada kecuali
ditentukan lain yang ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan
,Perjanjian kerja Bersama, maka perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan
kerja. Perusahaan Berkewajiban memberikan uang pesangon 1 dari ketentuan, uang
penghargaan masa kerja 1 kali ketentuan dan uang pengganti hak yang besarnya
ditentukan dalam peraturan yang ada.

g.

Perubahan status, penggabungan, pelemburan atau perubahan kepemilikan


Bagi pekerja yang diakhiri hubungan kerjanya karena alasan tersebut di atas maka :

Pekerja yang tidak bersedia melanjutkan hubungan kerjanya, pekerja tersebut


berhak atas uang pesangon 1 kali sesuai ketentuan pasal 156 ayat 2 dan uang
penghargaan masa kerja 1 kali sesuai pasal 156 ayat 3 dan uang penggantian hak
sesuai ketentuan pasal 156 ayat 4 dan tidak berhak mendapatkan uang pisah.

11

Perusahaan tidak bersedia menerima pekerja di perusahaannya maka bagi pekerja


tersebut berhak atas uang pesangon 2 kali ketentuan pasal 156 ayat 2 dan uang
penghargaan masa kerja pasal 156 ayat 3 dan uang penggantian hak sesuai
ketentuan pasal 156 ayat 4 dan tidak berhak mendapat uang pisah.

h.

Pemutusan Hubungan Kerja karena alasan Efisiensi


Bagi pekerja yang mengakhiri hubungan kerjanya karena efisiensi maka pekerja
tersebut berhak atas uang pesangon 2 kali ketentuan pasal 156 ayat 3 dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat 3 dan uang penghargaan masa kerja
1 kali ketentuan pasal 156 ayat 4 tetapi tidak berhak mendapatkan uang pisah.

2.3 MEKANISME DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN PHK

Mekanisme PHK
Selain karena pengunduran diri dan hal-hal tertentu dibawah ini, PHK harus

dilakukan melalui penetapan Lembaga Penyelesaian Hubungan Industrial ( LPHI ). Halhal tersebut adalah :
A. Karyawan masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan
secara tertulis sebelumnya.
B. Karyawan mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan
sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha.

12

C. Karyawan mencapai usia pensiun sesuai ketetapan dalam perjanajian kerja,


peraturan perusahaan, perjanjian kerja sama bersama, atau peraturan perundangundangan.
D. Karyawan meninggal dunia
E. Karyawan ditahan
F. Pengusaha tidak terbukti melakukan pelanggaran yang dituduhkankaryawan
melakukan permohonan PHK

1. Perselisihan perburuhan meliputi:

Dari pihak majikan

Pihak majikan menolak buruh-buruh seluruhnya atau sebagian untuk menjalankan


pekerjaan sebagai akibat perselisihan perburuhan, dilakukan dengan maksud untuk
menekan atau membantu majikan lainnya menekan supaya buruh menerima hubungan
kerja, syarat0syarat kerja dan atau keadaan perburuhan.

13

Dari pihak buruh

Pihak buruh secara kolektif mengehentikan atau memperlambat jalannya pekerjaan,


sebagai akibat perselisihan perburuhan dilakukan dengan maksud untuk menekan atau
membantu golongan buruh lain menekan supaya majikan menerima hubungan kerja,
syarat-syarat kerja dan atau keadaan perburuhan.

2. Tatacara Mengajukan Perselihan Perburuhan

Terlebih dahulu perlu dipahami tentang tuntutan hak-hak normatif seperti uang,
pesangon, uang jasa, uang lembur dan uang cuti. Tuntutannya biasanya diajukan ke
DEPNAKER setempat, biasanya ditangani oleh saksi syarat-syarat dan hubungan kerja.

Guna mengajukan tuntutan hak itu biasanya disusun sebagai berikut:

14

Identitas Penuntut.
Fakta Hukum.
Uraian besarnya hak-hak yang dituntut (rinci).
Kesimpulan (memuat hal-hal yang menjadi tuntutan dari penuntut atas haknya)
Tanda tangan oleh penuntut.

3. Tatacara Penyelesaian Perselisihan Perburuhan

Biparteit system
Adalah upaya damai antara buruh dengan majikan (pengusaha) atau anjuran
depnaker. Pada sistem ini biasanya pihak depnaker meminta bukti-bukti baik dari buruh
maupun majikan. Apabila buruh dan majikan tidak mencapai perdamaian. Maka depnaker
mengambil keputusan yang isinya bersifat anjuran dan karenanya tidak mengikat. Namun
apabila menurut penilaiannya ia tidak mampu, maka diserahkan segera ke panitia
penyelesaian perselisihan perburuhan daerah (P4D).

Triparteit System
Adalah upaya damai yang diprakarsai oleh Depnaker dengan para pihaknya adalah:
Majikan, Organisasi buruh (SPSI) dan Depnaker sendiri.

15

Enquete
Adalah pemeriksaan saksi-saksi di persidangan dalam perkara perdata, baik yang
dimajukan oleh penggugat maupun tergugat (JCT Simorangkir, Cs. 1980: 51).

Arbritase
Adalah peradilan wasit, peradilan yang akan memberikan keputusan mengenai
persengkataan antara pihak yang bersengketa tanpa melalui pengadilan (PCT Simongkir,
Cs. 1980: 18).

Undang-undang yang mengatur buruh dan hubungan buruh di negeri ini merupakan
dasar untuk hubungan antara perusahaan dan serikat buruh.
Dua jenis yang nyata dari perundang-undangan yang mempengaruhi buruh dan
majikan telah diberlakukan. Yang pertama mengenai jam kerja, peraturan keselamatan
dan kesehatan. Kelompok undang-undang ini disebut sebagai perundang-undangan kerja.
Yang kedua mengenai hak-hak dan tanggung jawab dari serikat buruh dan majikan.
Ini akan disebut sebagai undang-undang buruh.

Perundang-undangan Kerja
Pengendalian yang terdahulu terhadap jam kerja berlaku secara khusus bagi wanita
dan anak-anak. Pada tahun 1924, Kongres ini berhasil mengajukan sebuah amndemen
undang-undang yang memberikan kekuasaan kepadanya untuk mengatur buruh dari
16

orang-orang yang berusia dbawah 18 tahun. Tetapi, semua negara bagian mempunyai
semacam undang-undang yang mengatur lamanya hari kerja dan penggunaan buruh anakanak. Banyak negara bagian mempunyai perundang-undangan yang membatasi jam kerja
bagi wanita pada pekerjaan tertentu. Banyak juga negara bagian mengatur upah minimum
yang dapat dibayarkan kepada para karyawan.

UU standar buruh yang adil (Fair Labor Standar Act) Tahun 1938.
Undang-undang ini berisikan ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan upah
dan jam diindustri-industri yang terlibat dalam perdagangan antar negara bagian. Berlaku
sejak 24 Oktober 1940, undang-undang ini pertama-tama menyatakan bahwa para
karyawan harus diberi kompensasi dengan tarif 11/2 standar tarif upah mereka untuk
bekerja lebih dari empat puluh jam perminggu.
Undang-undang itu menetapkan bahwa setiap waktu seorang karyawan diijinkan
untuk bekerja harus dihitung sebagai waktu kerja. Semua waktu yang dihabiskan dalam
penggunaan fisik atau mental yang dikendalikan atau diharuskan oleh majikan dan
dikerjakan untuk keuntungan majikan harus dihitung sebagai waktu kerja. Jadi, pekerjaan
yang tidak diminta namun diijinkan adalah waktu kerja. Bila pekerjaan diijinkan diluar
tempaat-tempat itu bahkan dirumah karyawan, dihitung sebagai waktu kerja.
Undang-undang itu mengatakan bahwa seorang majikan tidak boleh membedabedakan berdasarkan jenis kelamin dengan membayar karyawan dari salah satu jenis
kelamin dengan tarif yang lebih rendah daripada tarif yang dibayarkan kepada jenis
kelamin yang berlawanan. Ini berlaku bagi pekerjaan yang sama pada pekerjaan-

17

pekerjaan yang memerlukan kecakapan, usaha dan tanggung jawab yang sama dan
dilaksanakan dalam kondisi kerja yang serupa. Undang-undang Standar Buruh yang Adil
dilaksanakan oleh Divisi Upah dan Jam dari Departemen Tenaga Kerja AS.
Undang-undang Wagner tahun 1952, atau dikenal sebagai undang-undang hubungan
buruh nasional (National Labor Relations Act), jelas merupakan suatu undang-undang
karyawan karena peraturan-peraturannya dibuat untuk mengendalikan tindakan-tindakan
dari para majikan. Secara umum, undang-undang ini menjamin hak karyawan untuk
berorganisasi. Ini dicapai dengan ketentuan bahwa majikan akan melanggar hukum bila :

a. Menolak untuk melakukan perundingan secara koleltif dengan perwakilan yang dipilih
oleh karyawan.
b. Mengganggu hak karyawan untuk melakukan perundingan secara kolektif.
c. Mendikte dengan cara apapun kepada para pejabat buruh tentang prosedur administrasi
mereka.
d. Mendiskriminasikan anggota serikat buruh baik dalam memperkerjakan atau
pemecatan.
e. Mendiskriminasikan karyawan yang mengambil keuntungan dari hak-hak mereka
sesuai dengan undang-undang.

18

Undang-undang ini menetapkan Dewan Hubungan Buruh Nasional untuk


melaksanakan ketentuan-ketentuan dari undang-undang ini dalam menyelesaikan
perselisihan-perselisihan. Badan ini juga bertindak sebagai semacam pengadilan dalam
melindungi karyawan terhadap praktek-praktek yang tidak adil. Salah satu fungsi
pokoknya adalah untuk mencegah atau memperbaiki kelima praktek yang melanggar
hukum yang disebutkan diatas. Fungsi yang lain adalah untuk menetapkan unit-unit yang
melakukan perundingan dan organisasi yang tepat untuk mewakili karyawan.

Undang-undang ini menganggap bahwa adalah merupakan suatu praktek buruh yang
tidak adil seorang majikan bila:

a. Menolak untuk berunding secara kolektif dengan karyawan.


b. Mendorong atau membatasi keanggotaan dalam suatu organisasi buruh.
c. Menyumbangkan bantuan finansiil atau hal-hal lainnya kepada suatu organisasi buruh.
d. Mengganggu organisasi atau administrasi dari suatu organisasi.
e. Mendiskriminasikan seorang karyawan karena kesaksian yang diberikan oleh
karyawan itu.

19

Undang-undang Landrum-griffin. Dengan bekerja dibawah suatu tekanan pemerintah


yang paling hebat selama bertahun-tahun, pada tanggal 4 September 1959,
Kongressmengesahkan amademen pokok yang pertama tentang penyusunan kembali
buruh pada Undang-Undang di atas. Undang-undang ini adalah Undang-undang
Pelaporan dan Penyingkapan Buruh Manajemen (Labor Management Reporting and
Disclosure Act), yang biasanya disebut Landrum-Griffin Act. Nama ini sangat tepat,
karena bagian terbesar dari undang-undang ini mengharuskan untuk membuat
serangkaian laporan kepada sekretaris seriakat buruh. Undang-undang ini dibuat untuk
mengatur urusan-urusan internal serikat buruh dengan mengharuskan:

1. Melaporkan tentang undang-undang dasar dan anggaran rumah dari organisasi serikat
buruh.
2. Melaporkan tentang kebijaksaan administrasi serikat buruh yang mengenai bayaran
permulaan, iuran serikat buruh dan beban finansiil lainnya; pemanggilan rapat-rapat
serikat buruh, persyaratan keanggotaan dalam serikat buruh dan ratifukasi kontrak.
3. Laporan finansiil tahunan oleh serikat buruh, yang menunjukkan jumlah modal,
pertanggungjawaban dan penerimaan uang kontan, gaji para pejabat, dan pinjaman
kepada anggota, penjabat serikat buruh atau perusahaan-perusahaan.
4. Laporan tentang transaksi finansiil pribadi pada pihak pejabat serikat buruh yang
mungkin dalam suatu hal bertentangan dengan kepentingan-kepentingan terbaik dari
serikat buruh.

20

5. Laporan oleh majikan tentang tiap pemecahan yang dilakukan untuk mencegah
karyawan mereka berorganisasi; misalnya karyawan disewa untuk menyabot usaha-usaha
perorganisasian oleh perwakilan serikat buruh.

Di era globalisasi dirasakan oleh kaum buruh di seluruh dunia sebagai era revolusi
perbudakan modern yang menghilangkan existensi buruh sebagai manusia. Buruh sebagai
manusia ciptaan Tuhan mulai kehilangan martabatnya. Buruh tidak dipandang dan
diperlakukan secara manusiawi. Kenyataan yang kita lihat dan rasakan sehari-hari, buruh
hanya diperalakukan sebagai alat yang bisa digunakan kaum kapital untuk mencapai
tujuannya semata.
Hal demikian juga terjadi di Indonesia, dimana hidup dan penhidupan kaum buruh
dari waktu ke waktu tidak menunjukkan perbaikan taraf hidup, yang terjadi justru
kebalikannya, kaum buruh mengalami degradasi sebagai manusia.
Secara politik posisi tawar kaum buruh semakin lemah dan dilemahkan oleh sistem
yang dibuat rezim berkuasa. Secara ekonomi kaum buruh tidak bisa menikmati hasil
keringatnya secara maksimal, karena hasil yang diterimanya tidak bisa untuk hidup
secara layak seperti yang diamanatkan konstitusi kita. Pendapatan kaum buruh pekerja
hanya sekedar tetap bisa bertahan hidup saja. Hal ini bisa terjadi lagi-lagi oleh sistem
yang diciptakan oleh kaum kapital bersama rezim yang berkuasa.
Dalam kurun waktu 6 tahun terakhir ini sudah terjadi pergantian kepemimpinan
negara di Indonesia. Mulai dari rezim Soeharto, Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati
Soekarno Putri, hingga ke Soesilo Bambang Yudhoyono. Namun belum satu pun Presiden

21

yang membuat kebijakan di bidang ketenagakerjaan yang berpihak kepada kaum yang
lemah, yaitu kaum buruh/rakyat pekerja. Tetapi yang dilakukan justru membuat kebijakan
yang menguatkan posisi kapital global dan memarjinalkan kaum buruh.
Lemahnya gerakan demokrasi yang didukung oleh organisasi-organisasi rakyat
maupun kalangan intelektual makin terlihat setelah era reformasi berjalan 6 tahun. Sejak
tahun 1998 tidak ada langkah-langkah penyesuaian sosial maupun struktural. Ditamgah
lagi dengan desakan lembaga-lembaga internasional yang memaksakan paket-paket
kebijakan neoliberalisme. Wajar saja bila UU No.13/2003 tentang ketenagakerjaan dan
UU No.2/2004 tentang PPHI jelas-jelas menganut paradigma liberal. Peran perlindungan
negara atas buruh semakin terkikis dengan adanya konsep relasi antara buruh dan
majikan yang tidak adil.
Dalam konteks gerakan buruh di Indonesia yang kita lihat selama Orde Baru hingga
saat ini menghadapi masalah pelik. Ada tiga faktor yang membuat gerakkan buruh saat
ini mengalami involusi (mengalami keruwetan di dalam). Pertama, selama orde baru,
gerakan buruh dibungkam dan diputus sama sekali dari sejarah panjang gerakkan buruh
yang ada sebelumnya. Rezim Soeharto secara sengaja dan sistematis menghilangkan
sejarah panjang gerakan buruh dari catatan sejarah. Gerakan buruh kehilangan sesuatu
yang teramat penting untuk dipelajari.
Kedua, gerakan buruh status qua maupun yang independen, sejak Orde Baru hingga
saat ini tidak mendapat teladan yang memadai tentang organisasi yyang indipenden, kuat
dan demokratis. SPSI selama Orde Baru dikontrol oleh pemerintah sehingga sama sekali
tidak demokratis secara internal. Ketiga, Euforia reformasi telah membuat banyak serikat
buruh lupa diri. Mereka menganggap kondisi nasional dan global sudah cukup kondusif
22

untuk mengembangkan serikat buruh. Pada saat yang sama , serikat buruh gamang
menghadapi persoalan semakin mudahnya modal berpindah mencari tempat yang lebih
menguntungkan secara ekonomis terutama untuk sektor-sektor padat karya. Untuk
memerangi fenomena ini sangat sulit menggalang solidaritas buruh internasional.
Keadaan diatas, tentu tidak kita inginkan bersama dan tidak bisa dibiarkan. Keadaan
harus kita rubah ke arah lebih baik, gerakkan yang melibatkan seluruh elemen masyarakat
merupakan jawaban untuk dapat mendesak agar pemerintahan yang berkuasa sekarang
ini, bisa membuat kenijakan yang lebih menonjolkan peran negara yang melindungi
rakyat. Dan, jangan ada lagi darah rakyat yang ditumpahkan atau dikorbankan hanya
untuk kepentingan kapitalis global.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang pemerintahannya mampu membuat kebijakan
yang menghargai dan meningkatkan harkat martabat kaum pekerja sebagai manusia.
Karena disadari atau tidak bahwa sebuah bangsa di dunia ini hidup dalam setiap tetes
keringat pekerja. Setiap tetes keringat pekerja merupakan pemutar roda ekonomi negara.
Mereka memberikan penghidupan bagi berjuta-juta manusia lain. ( Soetrisno, 2009,
Federasi Serikat Petani Indonesia, Serikat Buruh Jabotabek (SBJ).
Dalam sebuah negara kapitalis, Antonio Gramsci, seorang pemikir neo-marxis dari
Italia, membagi struktur masyarakat kedalam beberapa lapisan. Masyarakat petani ada di
lapisan paling bawah. Di atasnya ada kelas buruh yang harus membanting tulang untuk
keperluan masyarakat lapisan atasnya, pengusaha. Lapisan paling atas adalah negara yang

23

menarik pajak dari pengusaha. Ironisnya, pajak itu ibarat suap agar negara melindungi
kepentingan pengusaha melalui perangkat hukum, militer, pendidikan dan agama.
Kondisi Indonesia saat ini tak jauh berbeda dengan yang digambarkan Gramsci.
Negara, dalam hal ini pemerintah, lebih sering menjadi alat pengusaha.
Negara, menurut Islam, seharusnya berperan ibarat wasit yang menjaga aturan main
perburuhan. Termasuk di dalamnya mengenai kewajiban pengusaha secara sukarela
mengembalikan nilai lebih kepada pekerjanya. Negara harus melakukan upaya paksa
jika pengusaha tak mau menjalankannya secara sukarela. Dengan demikian peran negara
dalam sistem Islam bertolak belakang dengan sistem kapitalisme.
Pada bagian lain, pemerintah juga berkewajiban membentuk lembaga seperti Wilayat
al-Hisbah, Wilayat al-Qadha atau Wilayat al-Mazhalim. Ketiga lembaga ini mempunyai
tujuan yang sama yaitu menciptakan ketertiban dan keadilan di masyarakat. Dalam
ukuran tertentu, wilayat al-Hisbah sudah termaktub dalam UU No 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. (Jalil, Abdul. 2008. Teologi Buruh.
Yogyakarta: LKIS).

2.4 KOMPENSASI PHK


Perhitungan uang Pesangon (UP) paling sedikit sebagai berikut :
Masa kerja uang pesangon :
Masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 (satu) bulan upah
Masa kerja 1 2 tahun, 2 (dua) bulan upah

24

Masa kerja 2 3 tahun, 3 (tiga) bulan upah


Masa kerja 3 4 tahun, 4 (empat) bulan upah
Masa kerja 4 5 tahun, 5 (lima) bulan upah
Masa kerja 5 6 tahun, 6 (enam) bulan upah
Masa kerja 6 7 tahun, 7 (tujuh) bulan upah
Masa kerja 7 8 tahun, 8 (delapan) bulan upah
Masa kerja 8 tahun atau lebih 9 (sembilan) bulan upah

Uang pengganti hak yang seharunya diterima (UPH) meliputi :


Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur
Biaya atau ongkos pulang untuk karyawan/buruh dankeluarganya ketempa dimana
karyawan/buruh diterima bekerja.
Penggantian perumahan serta pengibatan danperawatan ditetapkan 15% dari uang
pesangon dan/atau uangpenghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat
Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja,peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.

25

BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
PHK sebagai menifestasi pensiun yang dilaksanakan pada konsisitidak normal
namapkanya masih merupakan ancaman yangmencemaskan karyawan. Dunia industri
Negara maju yang masih sajamencari upah buruh yang murah, senantiasa berusaha
menempatkaninvestasinya di Negara-negara yang lebih menjanjikan keuntungan
yangbesar, walaupun harus menutup dan merelokasi atau memindahkanpabriknya ke
Negara lain.

26

3.2 SARAN
Semakin banyaknya perselisihan masalah perburuhan maka solusi
utamanya adalah iut campur Pemerintah dalam menegaskan pada setiap
pengusaha agar menepati dan mentaati peraturan soal ketenaga kerjaan
sehingga meminimalisasi pergesekan antara kepentingan para buruh dan
tujuan para pengusaha.

DAFTAR PUSTAKA

Flippo, E.B., 1984. Personnel Management. 5th edition. Sydney: McGrawHillInternational Book Company.Manulang, S. H. 1988.
Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia.Jakarta: Penerbit Rineka
Cipta.Kumara, A., Utami, M.S., Rosyid, H.F., 003.
Strategi Mengoptimalkan Diri, BalaiPustaka, Jakarta.
Darwan Prinst, Hukum ketenaga kerjaan Indonesia, 1994, hal 1
Sendjung H. Manulang, pokok-pokok hokum ketenaga kerjaan di Indonesia.2001.

27

hal. 1.
Lalu Husni. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. 2003. hal. 15
Ibid. hal 16
Lalu Husni. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. 2003. hal. 20
Ibid. hal. 33

28

Anda mungkin juga menyukai