Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

KERATITIS VIRUS

Pembimbing:
dr. Irsad Sadri, Sp.M
Disusun oleh:
Ayesha Riandra
030.10.044

KEPANITERAAN KLINIK
STASE MATA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TRISAKTI
2015

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga referat yang berjudul Keratitis Virus ini dapat diselesaikan dengan
baik. Shalawat serta salam tidak lupa penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW
beserta keluarga dan sahabatnya.
Terima kasih penulis ucapkan kepada dr. Irsad Sadri, Sp.M yang telah membimbing dan
mengarahakan kepada penulis dalam menyelesaikan referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih terdapat ketidaksempurnaan. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun bagi penulisan ini.Semoga referat
ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan tentunya bagi penulis yang sedang menempuh
kegiatan kepaniteraan klinik Stase Mata RSUD Bekasi.
Bekasi, 31 Agutus2015

Penulis

DAFTAR ISI
2

KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................................5
2.1 Anatomi Kornea..................................................................................................................5
2.2 Fisiologi Kornea..................................................................................................................7
2.3 Keratitis...............................................................................................................................9
2.3.1 Definisi.............................................................................................................................9
2.3.2 Epidemiologi....................................................................................................................9
2.3.3 Patofisiologi.....................................................................................................................9
2.3.4 Etiologi...........................................................................................................................10
2.3.5.Klasifikasi.......................................................................................................................11
2.3.6 Diagnosis........................................................................................................................12
2.3.7 Tatalaksana.....................................................................................................................13
2.4 Keratitis Virus....................................................................................................................16
2.4.1 Keratitis Herpetik...........................................................................................................16
2.4.2 Keratitis Herpes Zooster.................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................26

BAB I
3

PENDAHULUAN
Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang merupakan bagian dari media
refraksi, kornea juga berfungsi sebagai superfic pelindung dan jendela yang dilalui berkas
cahaya menuju retina. Kornea terdiri atas 5 lapis yaitu epitel, superfic bowman, stroma,
superfic descemet, dan endotel. Endotel lebih penting daripada epitel dalam mekanisme
dehidrasi dan cedera kimiawi atau fisik pada endotel jauh lebih berat daripada cedera pada
epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan.
Sebaliknya cedera pada epitel hanya menyebabkan edema super sesaat pada stroma kornea
yang akan menghilang bila sel-sel epitel itu telah beregenerasi.
Kelainan kornea yang paling sering ditemukan adalah keratitis. Keratitis adalah
infeksi pada kornea yang ditandai dengan timbulnya infiltrat pada lapisan kornea, keratitis
dapat terjadi pada anak-anak maupun dewasa. Kornea merupakan salah satu media refraksi
penglihatan dan berperan besar dalam pembiasan cahaya diretina. Oleh karena itu setiap
kelainan pada kornea termasuk infeksi dapat menyebabkan terganggunya penglihatan.
Bakteri pada umumnya tidak dapat menyerang kornea yang sehat, namun beberapa kondisi
dapat menyebabkan infeksi bakteri terjadi. Contohnya, luka atau trauma pada mata dapat
menyebabkan kornea terinfeksi. Mata yang sangat kering juga dapat menurunkan mekanisme
pertahanan kornea. Keratitis merupakan suatu proses peradangan kornea yang dapat bersifat
akut maupun kronis yang disebabkan oleh berbagai faktor antara lain bakteri, jamur, virus
atau karena alergi. keratitis dapat dibagi menjadi beberapa golongan berdasarkan kedalaman
lesi pada kornea (tempatnya), penyebab dan bentuk klinisnya.
Gejala umum keratitis adalah visus turun perlahan, mata merah, rasa silau, dan merasa
ada benda asing di matanya. Gejala khususnya tergantung dari jenis-jenis keratitis yang
diderita oleh pasien. Gambaran klinik masing-masing keratitis pun berbeda-beda tergantung
dari jenis penyebab dan tingkat kedalaman yang terjadi di kornea, jika keratitis tidak
ditangani dengan benar maka penyakit ini akan berkembang menjadi suatu ulkus yang dapat
merusak kornea secara permanen sehingga akan menyebabkan gangguan penglihatan bahkan
dapat sampai menyebabkan kebutaan sehingga pengobatan keratitis haruslah cepat dan tepat
agar tidak menimbulkan komplikasi yang merugikan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Anatomi dan Fisiologi Kornea


Kornea (latin cornum=seperti tanduk) adalah selaput bening mata, bagian
selaput mata yang tembus cahaya. Kornea transparan (jernih), bentuknya hampir
sebagian lingkaran dengan diameter vertikal 10-11mm dan horizontal 11-12mm,
tebal 0,6-1mm terdiri dari 5 lapis . Kemudian indeks bias 1,375 dengan kekutan
pembiasan 80%. Sifat kornea yang dapat ditembus cahaya ini disebabkan oleh
struktur kornea yang uniform, avaskuler dan diturgesens atau keadaan dehidrasi
relative jaringan kornea, yang dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada
endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Endotel lebih penting daripada
epitel dalam mencegah dehidrasi, dan cedera kimiawi atau fisik. Pada endotel jauh
lebih berat daripada cedera pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel jauh menyebabkan
sifat transparan hilang dan edema kornea, sedangkan kerusakan epitel hanya
menyebabkan edema lokal sesaat karena akan menghilang seiring dengan regenerasi
epitel.

Gambar1
Anatomi Mata

Kornea merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri
atas lapis:
1) Epitel

Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang
tindih, satu lapis sel basal, sel polygonal dan sel gepeng.

Padas sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan
menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal
berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel polygonal di depannya melalui
desmosom dan macula okluden, ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan
glukosa yang merupakan barrier.

Sel basal menghasilkan membrane basal yang melekat erat kepadanya, bila terjadi
gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.

Epitel berasal dari ectoderm permukaan.

2) Membran Bowman

Terletak di bawah membrane basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang
tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.

Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.

3) Stroma

Terdiri dari lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya,
pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen
ini bercabang, terbentunya kembali serat kolagen memakan waktu lama yang kadangkadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupan
fibroblast terletak diantara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan
dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.

Terdiri dari jaringan yang tersusun sejajar dan sangat rapih. Karena inilah, kornea
sangat jernih. Diantaranya terdapat semen, badan-badan kornea, leukosit, wandering
cells, yang terdapat didalam lacuna, diantara serat-serat tersebut.

4) Membran Descement

Merupakan membrane aseluler dan merupakan batas belakang stroma kornea


dihasilkan sel endotel dan merupakan membrane basalnya.

Bersifat sangat elastic dan berkembang terus seumur hidup, dan mempunyai tebal 40
m.

5) Endotel

Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40m. Endotel
melekat pada membrane descement melalui hemidesmosom dan zonula okluden.

Gambar 2
Anatomi dan Histologi Kornea
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama saraf siliaris longus, saraf
nasosiliaris, saraf ke V saraf siliaris longus berjalan supra koroid , masuk kedalam
stroma kornea, menembus membrane bowman melepaskan selubung Schwannya.
Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf.
Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan didaerah limbus. Daya regenerasi saraf
sesudah dipotong didaerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan. Trauma atau penyakit
yang merusak endotel akan mengakibatkan system pompa endotel terganggu sehingga
dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea. Endotel tidak mempunyai daya
regenerasi.

2.2

Fisiologi Kornea
Kornea mempunyai dua fungsi utama yaitu sebagai medium refraksi dan untuk
memproteksi lensa intraokular. Kornea menjalankan dua fungsi utama ini dengan cara
mempertahankan sifat transparansi kornea dan pergantian dari jaringannya.
Transparansi kornea dimungkinkan oleh sifatnya yang avaskuler, memiliki struktur
yang uniform yang sifat deturgescence nya. Transparansi stroma dibentuk oleh
pengaturan fisis special dari komponen komponen fibril. Walaupun indeks refraksi
dari masing masing fibril kolagen berbeda dari substansi infibrilar, diameter yang
kecil (300 A) dari fibril dan jarak yang kecil diantara mereka (300 A) mengakibatkan
pemisahan dan regularitas yang menyebabkan sedikit pembiasan cahaya dibandingkan
dengan inhomogenitas optikalnya. Sifat deturgescence di jaga dengan pompa
bikarbonat aktif dari endotel dan fungsi barrier dari epitel dan endotel. Kornea di jaga
agar tetap berada pada keadaan basah dengan kadar air sebanyak 78%.
Peran kornea dalam proses refraksi cahaya bagi penglihatan seseorang sangatlah
penting. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 43,25 dioptri dari
total 58,6 kekuatan dioptri mata normal manusia, atau sekitar 74% dari seluruh
kekuatan dioptri mata normal. Hal ini mengakibatkan gangguan pada kornea dapat
memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam fungsi visus seseorang. Kornea
merupakan struktur vital dari mata dan oleh karenanya kornea sangat sensitif. Saraf
saraf kornea masuk dari stroma kornea melalui membran bowman dan berakhir secara
bebas diantara sel sel epithelial serta tidak memiliki selebung myelin lagi sekitar 2
3 mm dari limbus ke sentral kornea, sehingga menyebabkan sensitifitas yang tinggi
pada kornea.
Kornea menerima suplai sensoris dari bagian oftalmik nervus trigeminus. Sensasi
taktil yang terkecil pun dapat menyebabkan refleks penutupan mata. Setiap kerusakan
pada kornea (erosi, penetrasi benda asing atau keratokonjungtivitis ultraviolet)
mengekspose ujung saraf sensorik dan menyebabkan nyeri yang intens disertai
dengan refleks lakrimasi dan penutupan bola mata involunter. Trias yang terdiri atas
penutupan mata involunter (blepharospasme), refleks lakrimasi (epiphora) dan nyeri
selalu mengarahkan kepada kemungkinan adanya cedera kornea.
Seperti halnya lensa, sklera dan badan vitreous, kornea merupakan struktur jaringan
yang braditrofik, metabolismenya lambat dimana ini berarti penyembuhannya juga
lambat. Metabolisme kornea (asam amino dan glukosa) diperoleh dari 3 sumber,
yaitu:
8

Difusi dari kapiler kapiler disekitarnya

Difusi dari humor aquous

Difusi dari film air mata


Tiga lapisan film air mata prekornea memastikan bahwa kornea tetap lembut dan
membantu nutrisi kornea. Tanpa film air mata, permukaan epitel akan kasar dan
pasien akan melihat gambaran yang kabur. Enzim lisosom yang terdapat pada film air
mata juga melindungi mata dari infeksi.

2.3

Keratitis

2.3.1

Definisi Keratitis
Keratitis adalah radang pada kornea atau infiltrasi sel radang pada kornea yang
akan mengakibatkan kornea menjadi keruh sehingga tajam penglihatan menurun.
Infeksi pada kornea bisa mengenai lapisan superficial yaitu pada lapisan epitel atau
membran bowman dan lapisan profunda jika sudah mengenai lapisan stroma.

2.3.2

Epidemiologi Keratitis
Frekuensi keratitis di Amerika Serikat sebesar 5% di antara seluruh kasus
kelainan mata. Di negara-negara berkembang insidensi keratitis berkisar antara 5,920,7 per 100.000 orang tiap tahun. Insidensi keratitis pada tahun 1993 adalah 5,3 per
100.000 penduduk di Indonesia, perbandingan laki-laki dan perempuan tidak begitu
bermakna pada angka kejadian keratitis. Sedangkan predisposisi terjadinya keratitis
antara lain terjadi karena trauma, pemakaian lensa kontak dan perawatan lensa kontak
yang buruk, penggunaan lensa kontak yang berlebihan, Herpes genital atau infeksi
virus lain, kekebalan tubuh yang menurun karena penyakit lain, serta higienis dan
nutrisi yang tidak baik, dan kadang-kadang tidak diketahui penyebabnya.

2.3.3

Patofisiologi Keratitis
Terdapat beberapa kondisi yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya
inflamasi pada kornea seperti blefaritis, perubahan pada barrier epitel kornea (dry eyes),
penggunaan lensa kontak, lagopthalmos, gangguan paralitik, trauma dan penggunaan
preparat imunosupresif topical maupun sistemik. Kornea mendapatkan pemaparan
konstan dari mikroba dan pengaruh lingkungan, oleh sebab itu untuk melindunginya
kornea memiliki beberapa mekanisme pertahanan. Mekanisme pertahanan tersebut
9

termasuk refleks berkedip, fungsi antimikroba film air mata (lisosim), epitel hidrofobik
yang membentuk barrier terhadap difusi serta kemampuan epitel untuk beregenerasi
secara cepat dan lengkap.
Epitel merupakan barrier yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme ke dalam
kornea. Pada saat epitel mengalami trauma, struma yang avaskuler dan lapisan bowman
menjadi mudah untuk mengalami infeksi dengan organisme yang bervariasi, termasuk
bakteri, amoeba dan jamur. Streptokokus pneumonia merupakan pathogen kornea
bakterial, patogen-patogen yang lain membutuhkan inokulasi yang berat atau pada host
yang immunocompromised untuk dapat menghasilkan sebuah infeksi di kornea.Ketika
patogen telah menginvasi jaringan kornea melalui lesi kornea superfisial, beberapa
rantai kejadian tipikal akan terjadi, yaitu:

Lesi pada kornea

Patogen akan menginvasi dan mengkolonisasi struma kornea

Antibodi akan menginfiltrasi lokasi invasi patogen

Hasilnya akan tampak gambaran opasitas pada kornea dan titik invasi pathogen akan
membuka lebih luas dan memberikan gambaran infiltrasi kornea

Iritasi dari bilik mata depan dengan hipopion (umumnya berupa pus yang akan
berakumulasi pada lantai dari bilik mata depan)

Patogen akan menginvasi seluruh kornea.

Hasilnya stroma akan mengalami atropi dan melekat pada membarana descement yang
relatif kuat dan akan menghasilkan descematocele dimana hanya membaran descement
yang intak.

Ketika penyakit semakin progresif, perforasi dari membrane descement terjadi dan
humor aquos akan keluar. Hal ini disebut ulkus kornea perforata dan merupakan
indikasi bagi intervensi bedah secepatnya. Pasien akan menunjukkan gejala penurunan
visus progresif dan bola mata akan menjadi lunak.

2.3.4

Etiologi Keratitis
Keratitis dapat disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya:

Virus
10

Bakteri

Jamur

Paparan sinar ultraviolet seperti sinar matahari atau sunlamps. Hubungan ke sumber
cahaya yang kuat lainnya seperti pengelasan busur

Iritasi dari penggunaan berlebihan lensa kontak.

Mata kering yang disebabkan oleh kelopak mata robek atau tidak cukupnya
pembentukan air mata

Adanya benda asing di mata

Reaksi terhadap obat tetes mata, kosmetik, polusi, atau partikel udara seperti debu,
serbuk sari, jamur, atau ragi

9
2.3.5

Efek samping obat tertentu


Klasifikasi Keratitis
Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal :
I. Berdasarkan lapisan yang terkena, keratitis dibagi menjadi:
1. Keratitis Pungtata (Keratitis Pungtata Superfisial dan Keratitis Pungtata
Subepitel)
2. Keratitis Marginal
3. Keratitis Interstisial
II. Berdasarkan penyebabnya, keratitis diklasifikasikan menjadi:
Menurut Kausanya (Definisi Vaughan) :
1. Bakteri
a) Diplokok pneumonia
b) Streptokokus hemolitikus
c) Pseudomonas aerogenosa
d) Moraxella liquefaciens
e) Klebsiela pneumonia
2. Virus
a) Herpes simplek
11

b) Herpes zoster
c) Variola (jarang)
d) Vacinia (jarang)
3. Jamur
a) Candida
b) Aspergilin
c) Nocardia
d) Chepalosporum
4. Alergi terhadap :
a) Stafilokok (ulkus marginal)
b) Tuberkulo protein (keratitis flikten)
c) Toksin atau tidak diketahui penyebab yang tepat (ring ulcus = ulkus anularis)
5. Defisiensi vitamin : Avitaminosis A (Xeroftalmi)
6. Tidak diketahui penyebabnya (Ulkus mooren)
III. Berdasarkan bentuk klinisnya, keratitis diklasifikasikan menjadi:
1. Keratitis Flikten
2. Keratitis Sika
3. Keratitis Neuroparalitik
4. Keratitis Numuralis
2.3.6

Diagnosa
Anamnesis pasien penting pada penyakit kornea. Sering dapat diungkapkan
adanya riwayat trauma, benda asing dan abrasi merupakan dua lesi yang umum pada
kornea. Adanya riwayat penyakit kornea juga bermanfaat. Keratitis akibat infeksi
herpes simpleks sering kambuh, namun karena erosi kambuh sangat sakit dan keratitis
herpetik tidak, penyakit-penyakit ini dapat dibedakan dari gejalanya. Hendaknya pula
ditanyakan pemakaian obat lokal oleh pasien, karena mungkin telah memakai
kortikosteroid, yang dapat merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi, atau
oleh virus, terutama keratitis herpes simpleks. Juga mungkin terjadi imunosupresi
akibat penyakit-penyakit sistemik, seperti diabetes, AIDS, dan penyakit ganas, selain
oleh terapi imunosupresi khusus (Vaughan 2009).
Dokter memeriksa di bawah cahaya yang memadai. Pemeriksaan sering lebih
mudah dengan meneteskan anestesi lokal. Pemulusan fluorescein dapat memperjelas
lesi epitel superfisialis yang tidak mungkin tidak telihat bila tidak dipulas. Pemakaian
12

biomikroskop (slitlamp) penting untuk pemeriksaan kornea dengan benar; jika tidak
tersedia, dapat dipakai kaca pembesar dan pencahayaan terang. Harus diperhatikan
perjalanan pantulan cahaya saat menggerakkan cahaya di atas kornea. Daerah kasar
yang menandakan defek pada epitel terlihat dengan cara ini (Vaughan, 2009).
Mayoritas kasus keratitis bakteri pada komunitas diselesaikan dengan terapi
empiris dan dikelola tanpa hapusan atau kultur.Hapusan dan kultur sering membantu
dalam kasus dengan riwayat penyakit yang tidak jelas. Hipopion yang terjadi di mata
dengan keratitis bakteri biasanya steril, dan pungsi akuos atau vitreous tidak perlu
dilakukan kecuali ada kecurigaan yang tinggi oleh mikroba endophthalmitis.
Kultur adalah cara untuk mengidentifikasi organisme kausatif dan satusatunya cara untuk menentukan kepekaan terhadap antibiotik. Kultur sangat
membantu sebagai panduan modifikasi terapi pada pasien dengan respon klinis yang
tidak bagus dan untuk mengurangi toksisitas dengan mengelakkan obat-obatan yang
tidak perlu. Dalam perawatan mata secara empiris tanpa kultur dimana respon
klinisnya tidak bagus, kultur dapat membantu meskipun keterlambatan dalam
pemulihan pathogen dapat terjadi.
Sampel kornea diperoleh dengan memakai agen anestesi topikal dan
menggunakan instrumen steril untuk mendapatkan atau mengorek sampel dari daerah
yang terinfeksi pada kornea. Kapas steril juga dapat digunakan untuk mendapatkan
sampel. Ini paling mudah dilakukan dengan perbesaran Slit Lamp.
Biopsi kornea dapat diindikasikan jika terjadi respon yang minimal terhadap
pengobatan atau jika kultur telah negatif lebih dari satu kali dengan gambaran klinis
yang sangat mendukung suatu proses infeksi. Hal ini juga dapat diindikasikan jika
infiltrat terletak di pertengahan atau dalam stroma dengan jaringan atasnya tidak
terlibat.
Pada pasien kooperatif, biopsi kornea dapat dilakukan dengan bantuan Slit
Lamp atau mikroskop operasi. Setelah anestesi topikal, gunakan sebuah pisau untuk
mengambil sepotong kecil jaringan stroma, yang cukup besar untuk memungkinkan
pembelahan sehingga satu porsi dapat dikirim untuk kultur dan yang lainnya untuk
histopatologi. Spesimen biopsi harus disampaikanke laboratorium secara tepat waktu.
2.3.7

Tatalaksana Keratitis
Tujuan penatalaksanaan keratitis adalah mengeradikasi penyebab keratitis,
menekan reaksi peradangan sehingga tidak memperberat destruksi pada kornea,
13

mempercepat penyembuhan defek epitel, mengatasi komplikasi, serta memperbaiki


ketajaman penglihatan. Ada beberapa hal yang perlu dinilai dalam mengevaluasi
keadaan klinis keratitis meliputi: rasa sakit, fotofobia, lakrimasi, rasa mengganjal,
ukuran ulkus dan luasnya infiltrat. Sebagian besar pakar menganjurkan melakukan
debridement sebelumnya. Debridement epitel kornea selain berperan untuk
pengambilan spesimen diagnostik, juga untuk menghilangkan sawar epitelial sehingga
obat lebih mudah menembus. Dalam hal ini juga untuk mengurangi subepithelial
"ghost" opacity yang sering mengikuti keratitis dendritik. Diharapkan debridement
juga mampu mengurangi kandungan virus epithelial jika penyebabnya virus,
konsekuensinya reaksi radang akan cepat berkurang.
Penatalaksanaan pada ketratitis pada prinsipnya adalah diberikan sesuai
dengan etiologi. Untuk virus dapat diberikan idoxuridine, trifluridin atau acyclovir.
Untuk bakteri gram positif pilihan pertama adalah cafazolin, penisilin G atau
vancomisin dan bakteri gram negatif dapat diberikan tobramisin, gentamisin atau
polimixin B. Pemberian antibiotik juga diindikasikan jika terdapat secret
mukopurulen, menunjukkan adanya infeksi campuran dengan bakteri. Untuk jamur
pilihan terapi yaitu: natamisin, amfoterisin atau fluconazol. Selain itu obat yang dapat
membantu epitelisasi dapat diberikan. Namun selain terapi berdasarkan etiologi, pada
keratitis ini sebaiknya juga diberikan terapi simptomatisnya agar dapat memberikan
rasa nyaman dan mengatasi keluhan-keluhan pasien. Pasien dapat diberi air mata
buatan, sikloplegik dan kortikosteroid. Pemberian air mata buatan yang mengandung
metilselulosa dan gelatin yang dipakai sebagai pelumas oftalmik, meningkatkan
viskositas, dan memperpanjang waktu kontak kornea dengan lingkungan luar.
Pemberian tetes kortikosteroid pada KPS ini bertujuan untuk mempercepat
penyembuhan dan mencegah terbentuknya jaringan parut pada kornea, dan juga
menghilangkan keluhan subjektif seperti fotobia namun pada umumnya pada
pemberian steroid dapat menyebabkan kekambuhan karena steroid juga dapat
memperpanjang infeksi dari virus jika memang etiologi dari keratitis tersebut adalah
virus.
Namun pemberian kortikosteroid topikal pada keratitis ini harus terus diawasi
dan terkontrol karena pemakaian kortikosteroid untuk waktu lama dapat
memperpanjang perjalanan penyakit hingga bertahun-tahun dan berakibat timbulnya
katarak dan glaukoma terinduksi steroid, menambah kemungkinan infeksi jamur,
14

menambah berat radang akibat infeksi bakteri juga steroid ini dapat menyembunyikan
gejala penyakit lain. Penggunaan kortikosteroid pada keratitis menurut beberapa
jurnal dapat dipertimbangkan untuk diganti dengan NSAID. Dari penelitian-penelitian
tersebut telah menunjukan bahwa NSAID dapat mengurangi keluhan subjektif pasien
dan juga mengatasi peradangannya seperti halnya kortikostroid namun lebih aman
dari steroid itu sendiri karena tidak akan menyebabkan katarak ataupun glaukoma
yang terinduksi steroid.
Lensa kontak sebagai terapi telah dipakai untuk mengendalikan gejala, supaya
dapat melindungi lapisan kornea pada waktu kornea bergesekan dengan palpebra,
khususnya pada kasus yang mengganggu. Pemberian siklopegik mengakibatkan
lumpuhnya otot sfingter iris sehingga terjadi dilatasi pupil dan mengakibatkan
paralisis otot siliar sehingga melemahkan akomodasi. Terdapat beberapa obat
sikloplegia yaitu atropin, homatropin, dan tropikamida.
Namun atropin (0,5%-2%) merupakan sikloplegik yang sangat kuat dan juga
bersifat midriatik sehingga biasanya tidak dijadikan pilihan terapi pada keratitis
tertentu misalnya KPS. Efek maksimal atropin dicapai setelah 30-40 menit dan bila
telah terjadi kelumpuhan otot akomodasi maka akan normal kembali dalam 2 minggu
setelah obat dihentikan. Atropin juga memberikan efek samping nadi cepat, demam,
merah, dan mulut kering. Homatropin (2%-5%) efeknya hilang lebih cepat dibanding
dengan atropin, efek maksimal dicapai dalam 20-90 menit dan akomodasi normal
kembali setelah 24 jam hingga 3 hari. Sedangkan trokamida (0,5%-1%) memberikan
efek setelah 15-20 menit, dengan efek maksimal dicapai setelah 20-30 menit dan
hilang setelah 3-6 jam. Obat ini sering dipakai untuk melebarkan pupil pada
pemeriksaan fundus okuli.
Pada keratitis yang telah mengalami penipisan stroma dapat ditambahkan lem
cyanoacrylate untuk menghentikan luluhnya stroma. Bila tindakan tersebut gagal,
harus dilakukan flap konjungtiva; bahkan bila perlu dilakukan keratoplasti. Flap
konjungtiva hanya dianjurkan bila masih ada sisa stroma kornea, bila sudah terjadi
descemetocele flap konjungtiva tidak perlu; tetapi dianjurkan dengan keratoplastik
lamellar.
Selain terapi medikamentosa sebaiknya diberikan pula edukasi pada pasien
keratitis. Pasien diberikan pengertian bahwa penyakit ini dapat berlangsung kronik
dan juga dapat terjadi kekambuhan. Pasien juga sebaiknya dianjurkan agar tidak
terlalu sering terpapar sinar matahari ataupun debu karena keratitis ini dapat juga
15

terjadi pada konjungtivitis vernal yang biasanya tercetus karena paparan sinar
matahari, udara panas, dan debu, terutama jika pasien tersebut memang telah memiliki
riwayat atopi sebelumnya. Pasien pun harus dilarang mengucek matanya karena dapat
memperberat lesi yang telah ada.Pada keratitis dengan etiologi bakteri, virus, maupun
jamur sebaiknya kita menyarankan pasien untuk mencegah transmisi penyakitnya
dengan menjaga kebersihan diri dengan mencuci tangan, membersihkan lap atau
handuk, sapu tangan, dan tissue.
2.4

Keratitis Virus

2.4.1

Keratitis Herpetik
Herpes Simpleks
Herpes Simpleks Virus (HSV) merupakan salah satu infeksi virus tersering pada
kornea. Virus herpes simpleks menempati manusia sebagai host, merupakan parasit
intraselular obligat, dapat ditemukan pada mukosa, rongga hidung, rongga mulut,
vagina dan mata. Penularan dapat terjadi melalui kontak dengan cairan danjaringan
mata, rongga hidung, mulut, alat kelamin yang mengandung virus.
HSV yang menyerang manusia terdiri dari dua tipe yaitu HSV tipe 1 dan tipe 2. HSV
tipe 1 (HSV-1) infeksinya terutama pada daerah orofasial dan ocular, sementara HSV
tipe 2 (HSV-2) umumnya ditularkan melalui hubungan seksual dan menyebabkan
penyakit genitalia. HSV-2 jarang namun dapat menginfeksi mata melalui kontak
orofasial dengan lesi genitalia dan secara tidak sengaja ditularkan kepada neonatus
ketika neonatus lahir secara normal pada ibu yang teinfeksi HSV-2.

Patofisiologi
Patofisiologi keratitis herpes simpleks dibagi dalam 2 bentuk :

Pada epitelial : kerusakan terjadi akibat pembiakan virus intraepitelial mengakibatkan


kerusakan sel epitel dan membentuk tukak kornea superfisial.

Pada stromal : terjadi reaksi imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang yaitu
reaksi antigen-antibodi yang menarik sel radang ke dalam stroma. Sel radang ini
mengeluarkan bahan proteolitik untuk merusak virus tetapi juga akan merusak stroma
di sekitarnya.

16

Karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak


segera datang, seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi.
Maka badan kornea, wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma
kornea, segera bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi
pembuluh darah yang terdapat dilimbus dan tampak sebagai injeksi perikornea.
Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit
polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak
sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak jelas dan permukaan
tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan timbulah ulkus kornea.
Lesi kornea dapat digolongkan menjadi 5 jenis, yaitu:
a. Keratitis Dendritik
Paling khas, yang ditandai oleh percabangan linear khas dengan tepian kabur, dan
memiliki bulbus-bulbus terminalis pada ujungnya, yang akan terwarnai oleh
fluoresin dan berkurangnya sensasi kornea.

a.

b.

17

Gambar 1. a) Keratitis Dendritik tanpa flourescin; b) Keratitis Dendritik


yang diwarnai dengan fluoresin
b. Ulserasi geografik (ameboid)
Bentuk ulkus dendritik kronik dengan lesi dendritik halus yang bentuknya lebih
lebar. Tepian ulkus tidak terlalu kabur. Sensasi kornea menurun seperti pada
penyakit kornea lainnya. Keadaan ini terutama terjadi pada mata yang diobati
dengan steroid topikal secara kurang hati-hati.

Gambar 2. Ulkus geografik


c. Keratitis trofik
Terjadi jika ulkus geografik tidak mengalami penyembuhan epitel.
d. Keratitis disiformis
Terjadi karena hipersensitivitas terhadap virus herpes yang ditandai dengan
penebalan stroma pada zona sentral dan edema epitel yang disertai iritis dan
presipitat keratik.

18

Gambar 3. Keratitis Disiformi

e. Keratitis nekrotik (infiltratif)


Bentuk ini jarang terjadi, tetapi sangat serius karena dapat menimbulkan perforasi
dan pembentukan parut kornea. Stroma kornea menjadi seperti keju dan keruh
akibat infiltrasi aktif dan destruksi.
2

Diagnosis
Anamnesis
Pasien dengan HSV keratitis mengeluh nyeri, fotofobia, penglihatan kabur, mata
berair, mata merah, tajam penglihatan turun terutama jika bagian pusat yang terkena
konjungtivitis folikularis akut disertai blefaritis vesikuler yang ulseratif, serta
pembengkakan kelenjar limfe regional. Kebanyakan penderita juga disertai keratitis
epitelial dan dapat mengenai stroma tetapi jarang. Pada dasarnya infeksi primer ini
dapat sembuh sendiri, akan tetapi pada keadaan tertentu di mana daya tahan tubuh
sangat lemah akan menjadi parah dan menyerang stroma.

19

Keratitis virus
Pemeriksaan pada Kornea
1. Uji Fluoresein
Uji untuk melihat adanya defek pada epitel kornea. Caranya kertas fluoresein
dibasahi terlebih dahulu dengan garam fisiologis kemudian diletakkan pada saccus
konjungtiva inferior setelah terlebih dahulu penderita diberi anestesi lokal.
Penderita diminta menutup matanya selama 20 detik, kemudian kertas diangkat.
Defek kornea akan terlihat berwarna hijau sebagai uji fluoresein positif.
2. Uji Fistel
Uji untuk mengetahui letak dan adanya kebocoran kornea. Pada konjungtiva
inferior ditaruh kertas fluoresein. Bila terdapat fistel kornea akan terlihat
pengaliran cairan mata berwarna hijau.
3. Uji Placido
Untuk melihat kelengkungan kornea. Caranya dengan memakai papan plasido
yaitu papan dengan gambaran lingkaran konsentris putih hitam yang menghadap
pada sumber cahaya, sedang pasien berdiri membelakangi sumber cahaya. Melalui
lubang di tengah dilihat gambaran bayangan plasido pada kornea. Normal
bayangan plasido pada kornea berupa lingkaran konsentris.
4. Uji Sensibilitas Kornea
Uji untuk menilai fungsi saraf trigeminus kornea. Caranya dengan meminta
penderita melihat jauh ke depan, kemudian dirangsang dengan kapas basah dari
bagian lateral kornea. Bila terdapat refleks mengedip, rasa sakit atau mata berair
berarti fungsi saraf trigeminus dan fasial baik.

20

Pemeriksaan Penunjang
Usapan epitel dengan Giemsa multinuklear noda dapat menunjukkan sel-sel raksasa,
yang dihasilkan dari perpaduan dari sel-sel epitel kornea yang terinfeksi dan virus
intranuclear inklusi
3

Tatalaksana
Debridement
Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epithelial, karena virus
berlokasi didalam epithelial. Debridement juga mengurangi beban antigenic virus
pada stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea namun epitel yang
terinfeksi mudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan aplikator berujung kapas
khusus. Obat siklopegik seperti atropine 1% atau homatropin 5% diteteskan kedalam
sakus konjungtiva, dan ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien harus diperiksa setiap
hari dan diganti penutupnya sampai defek korneanya sembuh umumnya dalam 72
jam.
Terapi Obat

IDU (Idoxuridine) analog pirimidin (terdapat dalam larutan 1% dan diberikan setiap
jam, salep 0,5% diberikan setiap 4 jam)
Vibrabin: sama dengan IDU tetapi hanya terdapat dalam bentuk salep
Trifluorotimetidin (TFT): sama dengan IDU, diberikan 1% setiap 4 jam
Asiklovir (salep 3%), diberikan setiap 4 jam.
Asiklovir oral dapat bermanfaat untuk herpes mata berat, khususnya pada orang atopi
yang rentan terhadap penyakit herpes mata dan kulit agresif.
Terapi Bedah
Keratoplasti penetrans mungkin diindikasikan untuk rehabilitasi penglihatan pasien
yang mempunyai parut kornea yang berat, namun hendaknya dilakukan beberapa
bulan setelah penyakit herpes non aktif.
2.4.2 Herpes Zooster

21

Keratitis Herpes Zoster menimbulkan gejala yang umum terjadi pada keratitis seperti
nyeri, mata merah, dan dapat menyebabkan penurunan visus. Pada kelopak akan
terlihat vesikel dan infiltrate pada kornea. Vesikel tersebar sesuai dengan dermatom
yang dipersarafi saraf trigeminus yang dapat progresif dengan terbentuknya jaringan
parut. Daerah yang terkena tidak melewati garis media.

Gambar. Keratitis Herpes Zoster


Sumber : www.emedicine.medscape.com
Herpes Zoster keratitis bermanifestasi dalam bentuk klinis yaitu :

Keratitis epithelial akut


Gejala awal mulai muncul dua hari setelah onset kemerahan di kulit dan sembuh
secara spontan beberapa hari kemudian. Ditandai dengan adanya lesi dendritik kecil
dan halus (pseudodendrit) yang positif jika di tes fluoresen.

Gambar. A.Lesi Dendritik pada Keratitis Herpes Zoster, B. dengan tes Fluoresen
Sumber : Journal of the American Academy of Family Physicians

Keratitis nummular
Keratitis nummular mungkin mengikuti keratitis epitelial akut, biasanya sepuluh hari
setelah onset kemerahan di kulit. Ditandai dengan adanya multiple granular infiltrat
pada stroma anterior dikelilingi oleh halo of stromal haze pada daerah yang
22

sebelumnya terkena punctate epitel dan pseudodendrit. Biasanya lesi ini hanya
bersifat sementara, tetapi dapat pula meninggalkan jaringan parut yang samar-samar.
Lesi memberi respon pada pemberian steroid tapi dapat recurrence jika pemberian
dihentikan terlalu cepat.

Gambar. Keratitis Nummularis


Sumber : Journal of the American Academy of Family Physicians
Keratitis Disciform
Keratitis Disciform adalah infiltrasi stroma yang mendalam biasanya berkembang 3-4
bulan setelah fase akut awal, dan biasanya didahului olehkeratitis stroma akut epitel
atau anterior keratitis stroma. Pada pemeriksaanakan tampak disk shaped, well
defined, disertai edema stromal difus tanpadisertai vaskularisasi. Pada tahap ini akan
tampak jelas edema pada kornea dan inflamasi pada bilik mata depan. Edema
disciformik ini dapat mengakibatkan jaringan parut, neovaskularisai atau kadang
ditemukan adanya deposisi lemak.

23

Gambar . Keratitis Disciform


Sumber : Wills Eye Hospital Atlas of Clinical Ophthalmology

Keratitis Neurotropik
Neurotropik keratitis ditandai dengan kehilangan sensasi kornea bisa disertaidengan
adanya perforasi pada kornea, dimana jika sudah terjadi perforasi, maka proses
epitelisasi akan sulit. Hal ini akan menyebabkan mudahnya terjadi infeksi sekunder
pada mata.

Gambar. Tipe tipe Keratitis Herpes Zoster : A. Punctate Ephitelial Keratitis,


B. Microdendritic Epithelialulcer, C.Nummular Keratitis, D. Disciform Keratitis
Tatalaksana
Pengobatan biasanya tidak spesifik dan hanya simtomatis. Pengobatan dengan memberikan
asiklovir dan pada usia lanjut dapat diberi steroid.
Terapi sistemik
1

Obat antivirus oral

Obat ini secara signifikan dapat mengurangi rasa sakit, mengurangi timbulnya vesikel,
menghentikan perkembangan virus, dan mengurangi kejadian serta komplikasi lebih lanjut.
Agar efektif, pengobatan harus dimulai segera setelah timbulnya ruam, namun hal ini tidak
berpengaruh pada post herpetik neuralgia. Pengobatan dapat diberikan acyclovir dengan dosis
800 mg, 5 kali sehari selama10 hari atau Valasiklovir dengan dosis 1 g tiga kali sehari selama
10 hari, famciclovir, 500 mg/ 8 jam selama 7-10 hari. Terapi dimulainya 72 jam sejak
timbulnya kemerahan.

24

Analgetik

Rasa nyeri terasa sangat parah pada 2 minggu pertama dari serangan. Sehingga harus
diberikan pengobatan dengan analgesik seperti kombinasi dari mefenamic acid dengan
paracetamol atau pentazocin atau petidin ( ketika sangat berat).
3

Steroid sistemik

Digunakan dengan dosis tinggi untuk menghambat perkembangan penyakit pada post
herpetic neuralgia. Namun resiko steroid dosis tinggi pada lansia harus dipertimbangkan.
Steroid pada umumnya digunakan untuk menangani komplikasi dari kasus neurologis seperti
kelumpuhan nervus okulomotorius dan neuritis optik. Pemakaian steroid sistemik masih
kontroversial.
Terapi lokal untuk mata
1

Untuk keratitis zoster :.


a

Tetes mata steroid 4 kali sehari.

Obat tetes mata yang mengandung Cyclopegics seperti Cyclopentolate atau


salep mata atropin.

Salep mata acyclovir 3% diberikan 5 kali sehari selama 2 minggu.

Untuk mencegah adanya infeksi sekunder dapat diberikan antibiotik topikal.

Apabila terdapat glaukoma sekunder

Obat tetes mata Timolol 0,5 % atau Betaxolol 0,5%

Acetazolamide oral 250mg diberikan 4 kali sehari.

Untuk ulkus kornea neuroparalisis yang disebabkan oleh herpes zoster, dilakukan
Tarsorrhaphy lateral.

Kerusakan epitel yang menetap digunakan :


a

Tetes air mata buatan

Soft contact lens bandage

25

Keratoplasti

Tindakan ini diperlukan untuk rehabilitasi pengelihatan pasien herpes zoster dengan jaringan
parut yang tebal. Namun hal ini beresiko tinggi.

26

DAFTAR PUSTAKA
1.Roderick B. Kornea. In: Vaughan & Asbury. Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta :
EGC. 2009.
2.Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2012
3.Gerhard K. Lang. Ophthalmology A Pocket Textbook Atlas 2nd. Stuttgart New
York. 2006.
4.Bruce J, Chris C, Anthony B. Lectures Notes Oftalmologi Edisi Kesembilan.
Blackwell Science. 2003.
5.American Academy of Ophthalmology. External Eye Disease and Cornea. San
Fransisco. 2009
6.Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata edisi2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2002. p.113
116
7.Mansjoer, Arif M. Kapita Selekta edisi-3 jilid-1. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
2001.
8.Thygeson P. "Superficial Punctate Keratitis". Journal of the American Medical
Association.1997. Available at : http://webeye. ophth.uiowa.edu/
dept/service/cornea/cornea.htm
9.Reed, KK. 2007. Thygeson's SPK photos. Nova Southeastern Univesity College of
Optometry 3200 South University Drive Ft. Lauderdale, Florida. Available at:
http://www.fechter.com/Thygesons.htm.
10.Vaughan, Daniel. Oftalmologi Umum. Edisi 14 Cetakan Pertama. Widya
Medika.Jakarta, 2009

27

Anda mungkin juga menyukai