Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ketahanan Pangan


2.1.1. Defenisi Ketahanan Pangan
Ada beberapa defenisi ketahanan pangan, antara lain :
1. Dalam undang undang No : 7 tahun 1996 tentang pangan, pengertian ketahanan
pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin
dari ketersediaan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata
dan terjangkau. Dari pengertian tersebut, tersirat bahwa upaya mewujudkan
ketahanan pangan nasional harus lebih dipahami sebagai pemenuhan kondisi
kondisi : (1) Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup,
dengan pengertian ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang
berasal dari tanaman, ternak dan ikan dan memenuhi kebutuhan atas karbohidrat,
vitamin dan mineral serta turunan, yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan
kesehatan manusia. (2) Terpenuhinya pangan dengan kondisi aman, diartikan
bebas dari pencemaran biologis, kimia, dan benda lain yang lain dapat
mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman
untuk kaidah agama. (3) Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata,
diartikan bahwa distribusi pangan harus mendukung tersedianya pangan pada
setiap saat dan merata di seluruh tanah air. (4) Terpenuhinya pangan dengan
kondisi terjangkau, diartikan bahwa pangan mudah diperoleh rumah tangga
dengan harga yang terjangkau.

Universitas Sumatera Utara

2. Internasional Confrence in Nutrition, (FAO/WHO, 1992) mendefenisikan


ketahanan pangan sebagai akses setiap rumah tangga atau individu untuk
memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup sehat.
3. World Food Summit 1996 memeperluas defenisi diatas dengan persyaratan
penerimaan pangan sesuai dengan nilai dan budaya setempat.
4. World Bank 1996: Ketahanan Pangan adalah: akses oleh semua orang pada segala
waktu atas pangan yang cukup untuk kehidupan yang sehat dan aktif.
5. Oxfam 2001: Ketahanan Pangan adalah kondisi ketika: setiap orang dalam segala
waktu memiliki akses dan kontrol atas jumlah pangan yang cukup dan kualitas
yang baik demi hidup yang aktif dan sehat. Dua kandungan makna tercantum di
sini yakni: ketersediaan dalam artian kualitas dan kuantitas dan akses (hak atas
pangan melalui pembelian, pertukaran maupun klaim).
6. FIVIMS (Food Insecurity and Vulnerability Information and Mapping Systems,
2005 ): Ketahanan Pangan adalah: kondisi ketika semua orang pada segala waktu
secara fisik, sosial dan ekonomi memiliki akses pada pangan yang cukup, aman
dan bergizi untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi (dietary needs) dan pilihan
pangan (food preferences) demi kehidupan yang aktif dan sehat.
7. Hasil Lokakarya Ketahanan Pangan Nasional (DEPTAN, 1996) mendefenisikan
ketahanan pangan adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan anggota
rumah tangga dalam jumlah, mutu dan ragam sesuai dengan budaya setempat dari
waktu kewaktu agar dapat hidup sehat.
Ketahanan pangan pada tataran nasional merupakan kemampuan suatu
bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan dalam jumlah

Universitas Sumatera Utara

yang cukup, mutu yang layak, aman, dan juga halal, yang didasarkan pada
optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumber daya domestik. Salah
satu indikator untuk mengukur ketahanan pangan adalah ketergantungan ketersediaan
pangan nasional terhadap impor (Litbang Deptan, 2005).
2.1.2. Sistem Ketahanan Pangan
Secara umum, ketahanan pangan mencakup 4 aspek, yaitu Kecukupan
(sufficiency), akses (access), keterjaminan (security), dan waktu (time) (Baliwaty ,
2004). Dengan adanya aspek tersebut maka ketahanan pangan dipandang menjadi
suatu sistem, yang merupakan rangkaian dari tiga komponen utama yaitu ketersediaan
dan stabilitas pangan (food availability dan stability), kemudahan memperoleh
pangan (food accessibility) dan pemanfaatan pangan.
Terwujudnya ketahanan pangan merupakan hasil kerja dari suatu sistem
yang terdiri dari

berbagai subsistem yang saling berinteraksi, yaitu subsistem

ketersediaan mencakup pengaturan kestabilan dan kesinambungan penyediaan


pangan. Ketersediaan pangan menyangkut masalah produksi, stok, impor dan ekspor,
yang harus dikelola sedemikian rupa, sehingga walaupun produksi pangan sebagaian
bersifat musiman, terbatas dan tersebar antar wilayah, pangan yang tersedia bagi
keluarga harus cukup volume dan jenisnya, serta stabil dari waktu kewaktu.
Sementara itu subsistem distribusi mencakup upaya memperlancar proses
peredaran pangan antar wilayah dan antar waktu serta stabilitas harga pangan. Hal ini
ditujukan untuk meningkatkan daya akses masyarakat terhadap pangan yang cukup.

Universitas Sumatera Utara

Surplus pangan tingkat

wilayah, belum menjamin kecukupan pangan bagi

individu/masyarakatnya.
Sedangkan subsistem konsumsi menyangkut pendidikan masyarakat agar
mempunyai pengetahuan gizi dan kesehatan yang baik, sehingga dapat mengelola
konsumsi individu secara optimal sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Konsumsi
pangan tanpa memperhatikan asupan zat gizi yang cukup dan berimbang tidak efektif
bagi pembentukan manusia yang sehat, daya tahan tubuh yang baik, cerdas dan
produktif (Thaha, dkk, 2000).
Apabila ketiga subsistem diatas tidak tercapai, maka ketahanan pangan tidak
mungkin terbangun dan akibatnya menimbulkan kerawanan pangan (Suryana, 2003).
2.1.3. Rawan pangan
Rawan

pangan

merupakan

suatu

kondisi

ketidakmampuan

untuk

memperoleh pangan yang cukup dan sesuai untuk hidup sehat dan berakvitas dengan
baik. Rawan pangan dapat dibedakan 2 jenis yaitu : (a) rawan pangan kronis, yaitu
ketidak cukupan pangan secara menetap akibat ketidakmampuan rumah tangga untuk
memperoleh pangan yang dibutuhkan melalui pembelian di pasar atau melalui
produksi sendiri. Kondisi ini berakar pada kemiskinan dan (b) rawan pangan transien/
transistori, yaitu penurunan akses terhadap pangan yang dibutuhkan rumah tangga
secara kontemporer. Hal ini disebabkan adanya bencana alam, kerusuhan, musim
yang menyimpang dan keadaan lain yang bersifat mendadak, sehingga menyebabkan
ketidakstabilan harga pangan, produksi, atau pendapatan (Baliwati, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Menurut Food An Agriculture Organization Of The United Nations (FAO)


dan Undang Undang nomor 7 tahun 1996 tentang pangan, maka kondisi rawan
pangan dapat diartikan bahwa individu atau rumah tangga masyarakat yang tidak
memiliki akses ekonomi (penghasilannya tidak memadai atau harga pangan tidak
terjangkau), tidak memiliki akses secara fisik, untuk memperoleh pangan yang cukup
kehidupan yang normal, sehat dan produktif, baik kualitas maupaun kuantitasnya.
Rawan pangan dapat mengakibatkan kelaparan, kurang gizi dan gangguan
kesehatan, termasuk didalamnya busung lapar. Bahkan dalam keadaan yang paling
fatal dan menyebabkan kematian.
Kejadian krisis pangan dan gizi dapat diantisipasi apabila gejala gejala
kekurangan pangan dan gizi serta masalahnya dapat secara dini diidentifikasi dan
kemudian dilakukan tindakan secara tepat dan cepat sesuai dengan kondisi yang ada
(Badan Ketahanan Pangan Propinsi Sumut, 2005).
2.2. Pendapatan Pangan Keluarga
Tingkat pendapatan menentukan jenis dan jumlah pangan yang akan dibeli
serta seberapa besar proporsi dari pendapatan yang akan dikeluarkan untuk membeli
pangan. Daya beli atau kemampuan keluarga untuk membeli pangan dipengaruhi oleh
pendapatan keluarga dan harga pangan itu sendiri. Perubahan pendapatan secara
langsung dapat mempengaruhi perubahan konsumsi pangan keluarga. Meningkatnya
pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan
kuantitas yang lebih baik. Sebaliknya, penurunan dalam hal kualitas dan kuantitas
pangan yang hendak dibeli.

Universitas Sumatera Utara

Tidak cukupnya persediaan pangan keluarga menunjukkkan adanya


kerawanan pangan keluarga (Household Food Insecurity), artinya kemampuan
keluarga untuk membeli pangan keluarga untuk memenuhi pangan, baik jumlah
maupun mutu gizinya bagi seluruh keluarga belum terpenuhi (Soekirman, 2000).
2.3. Pengeluaran Pangan keluarga
Hasil SUSENAS (1996-1998) menunjukkan pengeluaran bagi keluarga
miskin berkisar 60-80% dari pendapatan dan bagi keluarga mampu berkisar antara 20
-59%. Hal ini sesuai dengan hukum Engel, pada saat terjadinya peningkatan
pendapatan, konsumen/ keluarga akan membelanjakan pendapatannya untuk pangan
dengan proporsi yang semakin kecil. Sebaliknya bila pendapatan menurun, porsi
yang dibelanjakan untuk pangan makin meningkat (Soekirman, 2000). Sedangkan
menurut asumsi Berg (1986) persentasi pengeluaran pangan keluarga dikelompokkan
menjadi tiga kategori yaitu : pengeluaran pangan <45% dikatergorikan sebagai
keluarga kaya, pengeluaran pangan 46-79% dikategorikan sebagai keluaraga
menengah, dan pengeluaran pangan > 80% termasuk kategori keluarga miskin.
Peningkatan pendapatan berlebih lanjut tidak hanya akan meningkatkan
keanekaragaman konsumsi pangan, tetapi juga akan berakibat pada peningkatan
konsumsi lemak, protein hewani dan gula, termasuk peningkatan komsumsi pangan
dari luar rumah. Sedangkan disisi lain terjadi penurunan konsumsi pangan yang lebih
murah, yaitu pangan pokok berpati dan protein nabati (Soekirman, 2000).
2.4. Konsumsi Pangan
Konsumsi pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan
air baik yang diolah maupan yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan

Universitas Sumatera Utara

dan minuman bagi konsumsi manusia yang termasuk bahan tambahan pangan, bahan
baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan
atau pembuatan makanan dan minuman (Depkes, 2004).
Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan
yang dikonsumsi (dimakan) atau diminum seseorang atau kelompok orang pada
waktu tertentu. Jenis dan jumlah pangan merupakan informasi yang penting dalam
menghitung jumlah zat gizi yang dikonsumsi (Hardinsyah, 1994).
Secara umum, faktor faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah
faktor ekonomi dan harga dimana keadaan ekonomi keluarga relatif mudah diukur
dan berpengaruh besar pada konsumsi pangan, terutama pada golongan miskin, selain
pendapatan, faktor ekonomi yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah harga
pangan dan non pangan. Harga pangan yang tinggi menyebabkan berkurangnya daya
beli yang berarti pendapatan riil berkurang. Keadaan ini menyebabkan konsumsi
pangan berkurang sedangkan faktor sosio-budaya dan religi yaitu aspek sosial budaya
berarti fungsi pangan dalam masyarakat yang berkembang sesuai dengan keadaaan
lingkungan, agama, adat, kebiasaan dan pendidikan masyarakat tersebut. Kebudayaan
suatu masyarakat mempunyai kekuatan yang berpengaruh terhadap pemilihan bahan
makanan yang digunakan untuk dikonsumsi. Kebudayaan mempengaruhi seseorang
dalam konsumsi pangan yang menyangkut pemilihan jenis bahan pangan,
pengolahan, serta persiapan dan penyajiannya (Baliwati, 2004).
2.4.1. Kebutuhan Energi dan Protein

Universitas Sumatera Utara

Fungsi makanan sebagai sumber energi banyak diperoleh dari bahan bahan
makanan yang mengandung karbohidrat. Karbohidrat dikonsumsi dalam berbagai
bentuk dan sumber. Karbohidrat merupakan sumber energi utama yang memungkin
manusia dapt beraktifitas sehari hari. Sebanyak 60-70% kebetuhan energi tubuh
manusia diperoleh dari karbohidrat, sisanya berasal dari protein dan lemak. Sumber
utama karbohidrat diperoleh dari beras (hasil olahannya), jagung, ubi, dll (Rimbawan
dan Siagian,2004). Hardinsyah, dkk (1989) sumber energi lainnya adalah protein ,
dimana fungsi protein dalam tubuh

berguna sebagi sumber pembangun atau

pertumbuhan, pemeliharaan jaringan yang rusak, pengatur serta untuk mempertahan


kan daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit tertentu. Sumber utama protein
berasal dari nabati (berasal dari tumbuhan) dan hewani (daging, susu dan hasil
olahannya).

Universitas Sumatera Utara

Menurut Widia Karya Nasional Pangan dan Gizi Tahun 2004, angka
kecukupan energi rata-rata yang dianjurkan (per orang per hari) adalah :
Tabel 2.1. Angka Kecukupan Energi dan Protein Rata Rata yang Dianjurkan
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24

Umur
Anak :
0-6 bl
7-11 bl
1-3 th
4-6 th
7-9 th
Pria
10-12 th
13-15 th
16-18 th
19-29 th
30-49 th
50-64 th
65+ th
Wanita
10-12 th
13-15 th
16-18 th
19-29 th
30-49 th
50-64 th
65+ th
Hamil
Trimester I
Trimester 2
Trimester 3
Menyusui
6 bl pertama
6 bl kedua

Energi (Kkal)

Protein (gr)

550
650
1000
1550
1800

10
16
25
39
45

2050
2400
2600
2550
2350
2250
2050

50
60
65
60
60
60
60

2050
2350
2200
1900
1800
1750
1600

50
57
55
50
50
50
45

+ 180
+ 300
+300

+ 17
+ 17
+ 17

+ 500
+ 550

+ 17
+ 17

Sumber :Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi
VIII Jakarta 17- 19 Mei 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi daerah dan
Globalisasi. LIPI. Jakarta

Universitas Sumatera Utara

2.5. Status gizi Anak Balita


Menurut Supariasa

2001 status gizi merupakan ekspresi dari keadaan

keseimbangan dalam bentuk variabel

tertentu, atau perwujudan nutriture dalam

bentuk variabel tertentu.


Menurut Mc Lareen yang dikutip oleh Berg (1981) memberikan batasan gizi
atau nutrisi sebagai suatu proses dimana mahluk hidup memanfaatkan makanan untuk
keperluan pemeliharaan fungsi organ tubuh, pertumbuhan dan penghasil energi.
Manfaat makanan diperoleh melalui proses pencernaan, penyerapan, transport dalam
tubuh, penyimpanan, metabolisme dan membuang sisa yang tidak diperlukan oleh
tubuh.
Menurut Siswono (2002), status gizi seseorang sangat dipengaruhi oleh
banyak faktor antara lain tingkat pendapatan, pengetahuan gizi dan budaya setempat.
Tingginya pendapatan tidak diimbangi dengan pengetahuan gizi yang cukup, akan
menyebabkan seseorang menjadi konsumtif dalam pola makan sehari hari. Dapat
dipastikan bahwa pemilihan suatu bahan makanan lebih didasarkan pada
pertimbangan selera ketimbang gizi.
Sedangkan menurut Idrus dan Kusnanto (1990), keadaan gizi adalah akibat
dari keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat gizi serta penggunaan zat gizi
tersebut. Sedangkan status gizi adalah ekspresi dari keseimbangan dalam bentuk
variabel variabel tertentu status gizi adalah keadaan kesehatan yang berhubungan
dengan penggunaan makanan oleh tubuh. Status gizi merupakan keadaan seseorang
sebagai refleksi dari konsumsi pangan serta penggunaannya oleh tubuh. Ketidak
seimbangan antara intake dengan kebutuhan mengakibatkan terjadinya malnutrisi.

Universitas Sumatera Utara

Malnutrisi terdiri dari : 1) under weight terjadi apabila intake < kebutuhan, dan 2)
obesitas, terjadi apabila intake > kebutuhan (Halomoan, 1999).
Status gizi anak balita secara langsung dipengaruhi oleh asupan gizi
(konsumsi pangan) dan penyakit infeksi. Kedua penyebab tersebut sering terjadi dan
saling mempengaruhi. Penyebab langsung ini dapat timbul karena

tiga faktor

penyebab tidak langsung seperti ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, pola
pengasuhan anak serta ketersediaan air bersih dan pelayanan kesehatan dasar. Lebih
jauh masalah gizi disebabkan oleh kemiskinan, pendidikan, ketahanan pangan dan
kesempatan kerja yang sempit (Depkes RI, 1995).
2.6. Pengukuran Status Gizi Balita
Untuk mengetahui , menilai status gizi dapat dilakukan secara langsung
dengan pemeriksaan Antropometri, pemeriksaan tanda tanda klinik, penilaian secara
biokimia dan pemeriksaan biofisik. Untuk penelitian di lapangan lebih sering
digunakan Antropometri, karena relatif murah dan mudah, objektif dan dapat dengan
cepat dilakukan pengukuran serta dapat dilakukan setiap orang setelah dilatih.
Status gizi anak balita dapat diukur dengan indeks antropometri BB/U, TB/U, dan
BB/TB.
2.6.1. Penilaian Status Gizi Secara Antropometri

Supariasa, dkk (2002), mendefenisikan antropometri adalah ukuran tubuh.


Maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi
tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat dan tingkat gizi.

Universitas Sumatera Utara

Pengukuran antropometri relatif mudah dilaksanakan, akan tetapi untuk berbagai


cara, pengukuran antropometri ini membutuhkan keterampilan, peralatan dan
keterangan untuk pelaksanaanya. Jika dilihat dari tujuannya antropometri dapat
dibagi menjadi dua yaitu :
1. Untuk ukuran massa jaringan : pengukuran berat badan, tebal lemak dibawah
kulit, lingkar lengan atas. Ukuran massa jaringan ini sifatnya sensitive, cepat
berubah, mudah turun naik dan menggambarkan keadaan sekarang.
2. Untuk ukuran linier : pengukuran tinggi badan, lingkar kepala dan lingkar dada.
Ukuran linier sifatnya spesifik, perubahan relatif lambat, ukurannya tetap atau
naik, dapat menggambarkan riwayat masa lalu.
Parameter dan indeks antropometri yang umum digunakan untuk menilai status
gizi anak adalah indikator Berat Badan Menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan
menurut Umur (TB/U), Berat Badan menurut Tinggi badan (BB/TB) (Depkes RI,
1995)
2.6.1.1 Indeks Berat Badan Menurut Umur (BB/U)
Supariasa (2002), berat badan merupakan salah satu ukuran antropometri
yang memberikan gambaran tetang massa tubuh (otot dan lemak), karena massa
tubuh sangat sensitif terhadap perubahan yang mendadak misalnya karena penyakit
infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya makanan yang dikonsumsi maka
berat badan merupakan ukuran antropometri yang sangat labil. Dalam keadaan
normal, dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara intake dan
kebutuhan zat gizi terjamin, berat badan berkembang mengikuti pertambahan umur.

Universitas Sumatera Utara

Sebaliknya keadaan abnormal, terdapat dua kemungkinan perkembangan berat badan


yaitu berkembang lebih cepat atau berkembang lebih lambat dari keadaan normal.
Berdasarkan sifat-sifat ini, maka indeks berat badan menurut umur (BB/U) digunakan
sebagai salah satu indikator status gizi. Oleh karena sifat berat badan yang stabil
maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang pada saat kini
(current nutritional status).
2.6.1.2 Indeks Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)
Tinggi badan merupakan ukuran antropometri yang menggambarkan
pertumbuhan skeletal. Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersamaan
dangan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan,
relatif kurang sensitif terhadap masalah defisiensi zat gizi jangka pendek. Pengaruh
defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan baru akan tampak pada saat yang cukup
lama.
Indeks TB/U lebih menggambarkan status gizi masa lampau, dan dapat juga
digunakan sebagai indikator perkembangan sosial ekonomi masyarakat. Keadaan
tinggi badan anak pada usia sekolah (tujuh tahun), menggambarkan status gizi masa
balitanya. Masalah penggunaan indeks TB/U pada masa balita, baik yang berkaitan
dengan kesahihan pengukuran tinggi badan maupun ketelitian data umur (Jahari,
1998).
2.6.1.3 Indeks Berat Badan Menurut Tingi Badan (BB/TB)
Berat badan memiliki hubungan linear dengan tinggi badan. Dalam keadaan
normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertambahan tinggi badan

Universitas Sumatera Utara

dengan percepatan tertentu. Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk
menyatakan status gizi masa kini dan masa lalu, terlebih bila data umur yang akurat
sulit diperoleh. Oleh karena itu indeks berat badan menurut tinggi badan disebut pula
sebagai indikator yang independen terhadap umur. Karena BB/TB memiliki
keuntungan dan kelemahan, terutama bila digunakan terhadap anak balita (B. Abas,
1998).
2.7. Desa Tertinggal
2.7.1. Pengertian Desa Tertinggal
Pengertian desa tertinggal, didefinisikan berdasarkan kondisi sosial, ekonomi,
budaya dan wilayah (fungsi inter dan intra spasial baik pada aspek alam, aspek
manusia, maupun prasarana pendukungnya). Desa tertinggal adalah daerah yang
relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional dan ratarata status sosial ekonomi yang relatif rendah. Suatu desa dikategorikan sebagai desa
tertinggal karena beberapa faktor penyebab antara lain faktor geografis. Umumnya
secara geografis desa tertinggal relatif sulit dijangkau karena letaknya yang jauh di
pedalaman, perbukitan/pegunungan, kepulauan, pesisir, dan pulau-pulau terpencil
atau karena faktor geomorfologis lainnya sehingga sulit dijangkau oleh jaringan baik
transportasi maupun media komunikasi. Sebaran desa tertinggal secara geografis
digolongkan menjadi beberapa kelompok antara lain desa yang terletak di pulaupulau kecil, gugusan pulau yang berpenduduk dan memiliki kesulitan akses ke daerah
lain yang lebih maju, daerah yang secara administratif sebagian atau seluruhnya
terletak diperbatasan, desa yang terletak di wilayah rawan bencana alam baik gempa,

Universitas Sumatera Utara

longsor, gunung api, maupun banjir atau daerah yang sebagian besar wilayahnya
berupa pesisir. Permasalahan yang dihadapi desa tertinggal antara lain kualitas
sumber daya manusia di daerah tertinggal relatif lebih rendah di bawah rata-rata
nasional akibat terbatasnya akses masyarakat terhadap kesehatan (Kementrian Daerah
Tertinggal, 2004).
2.8. Kerangka Konsep
Kondisi desa tertinggal dapat mempengaruhi kondisi ketahanan pangan
keluarga baik secara kualitatif maupun kuantitatif dan merupakan penyebab tidak
langsung masalah status gizi anak balita.

Status Gizi Balita


Ketahanan
Berdasarkan
Pangan Keluarga
Gambar
Ketahan
Pangan
Keluarga di Desa
Desa 2.1. Kerangka Konsep Gambaran
Indeks
Pola Makan
:
Tertinggal
Anak Balita
- BB/U
- Kualitatif
Tertinggal
Kecamatan Pintupohan Meranti
- TB/U
- Kuantitatif

- BB/TB

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai