Anda di halaman 1dari 51

1

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Penyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan bawaan berupa aganglionik

usus, mulai dari spinkter ani interna ke arah proksimal dengan panjang yang
bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum
dengan gejala klinis berupa gangguan pasase usus.
Pasien dengan penyakit Hirschprung ini pertama kali di laporkan pada tahun
1691 oleh Frederick Ruysch, tetapi Harald Hirschsprung baru mempublikasikan
penyakit ini pada tahun 1886 dengan deskripsi megakolon kongenital. Awalnya,
patofisiologi dari penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga tahun 1938,
dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai
pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian usus akibat
defisiensi ganglion.2
Pada tahun 1888, Hirschsprung melaporkan dua kasus bayi meninggal dengan
perut yang kembung akibat kolon yang sangat melebar dan penuh massa feses.
Penyakit ini disebut megakolon kongenitum dan merupakan kelainan yang
tersering dijumpai sebagai penyebab obstruksi usus pada neonatus.3
Penyakit Hirschsprung terjadi pada satu dari 5000 kelahiran hidup, Insidensi
penyakit Hirschsprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1
diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan
tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi
dengan penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit
Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto Mangunkusomo
Jakarta.
Kelainan pada penyakit ini biasanya ditemukan mulai dari bagian distal kolon
yaitu di peralihan antara usus dengan anus. Panjang dari bagian segmen yang
tidak mempunyai sel ganglion (aganglionik) itu biasanya berbeda-beda ; 75%

pasien terbatas pada bagian rektum dan sigmoid, 8% pasien mengalami segmen
aganglionik pada seluruh bagian kolon, dan jarang melibatkan usus kecil.
Setelah muncul penemuan kelainan histologik pada penyakit ini, barulah
ditemukan teknik operasi yang rasional untuk penyakit ini.
Mortalitas dari kondisi ini dalam beberapa dekade ini dapat dikurangi dengan
peningkatan dalam diagnosis, perawatan intensif neonatus, tekhnik pembedahan
dan diagnosis dan penatalaksanaan dengan enterokolitis.
1.2.

Rumusan Masalah
Laporan kasus ini membahas definisi, etiologi, epidemiologi, anatomi,

patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan, teknik pembedahan,


dan komplikasi dari penyakit Hirschsprung.
1.3.

Tujuan Penulisan
a. Memahami definisi, etiologi, epidemiologi, anatomi, patofisiologi,
manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan, teknik pembedahan, dan
komplikasi penyakit Hirschsprung.
b. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran.
c. Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan Program Pendidikan Pofesi
Dokter (P3D) di Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara RSUP Haji Adam Malik Medan.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Anatomi dan Histologi Usus Besar


Usus besar terdiri dari kolon, sekum, apendiks, dan rektum. Kolon terdiri atas

tiga bagian yaitu, pars ascendens, pars transversus, dan pars descendens. Bagian
akhir dari kolon pars descendens adalah sigmoid yang membentuk huruf S,
kemudian lanjut menjadi bagian yang lurus yaitu rektum. 4

Gambar 2.1. Anatomi usus besar


Usus memiliki empat lapisan yaitu tunica mucosa, tunica submukoca, tunica
muscularis,dan tunica serosa. Lapisan mukosa dilapisi oleh lamina propria dari
jaringan ikat longgar yang kaya akan pembuluh darah, pembuluh limfe, dan otot
polos. Lapisan submukosa terdiri atas jaringan ikat padat, pembuluh darah, dan
pembuluh limf. Lapisan ini juga terdiri atas pleksus Meissner. Lapisan muskularis
terdiri atas dua sub lapisan mengikuti arah sel otot. Lapisan internal yang dekat
dengan lumen mengikuti pola sirkuler, dan bagian eksternal mengikuti arah

longitudinal. Lapisan muskular juga terdiri dari pleksus Auerbach yang berada
diantara dua lapisan sirkular dan longitudinal. Sementara lapisan serosa terdiri
dari jaringan ikat longgar, pembuluh darah, pembuluh limfe, juga lapisan
squamous cell.5

Gambar 2.2. Lapisan Otot


Rektum memiliki 3 buah valvula yaitu valvula superior kiri, medial kanan dan
inferior kiri. 1/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvis dan tefiksasi,
sedangkan 1/3 bagian proksimal terletak di rongga abdomen dan relatif mobile.
Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana bagian anterior
lebih panjang dibanding posterior. Saluran anal (anal canal) adalah bagian
terakhir dari usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih
proksimal. Saluran anal dikelilingi oleh sfingter ani (eksternal dan internal) serta
otot-otot yang mengatur pasase isi rektum ke dunia luar . Sfingter ani eksterna
terdiri dari 3 sling : atas, medial dan depan..6
Persarafan motorik sfingter ani interna berasal dari serabut saraf simpatis ( N.
Hipogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut saraf simpatis
(N.Splancnicus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua jenis serabut saraf ini

membentuk pleksus rektalis, sedangkan muskulus levator ani dipersarafi oleh N


sakralis III dan IV. Nervus pudendalis mempersarafi sfingter ani eksterna dan
m.puborektalis. Saraf simpatis tidak memengaruhi otot rektum. Defekasi
sepenuhnya dikontrol oleh N. Splanknikus ( parasimpatis). Akibatnya kontinensia
sepenuhnya dipengaruhi oleh N. Pudendalis dan N.Splanknikus Pelvis
(parasimpatis).7
Sistem saraf otonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus:
a. Pleksus Auerbach: terletak dilapisan otot sirkuler dan longitudinal
b. Pleksus Henle : terletak di sepanjang batas dalam otot sirkuler
c. Pleksus Meissner: terletak di submukosa
2.2.

Embriologi Kolon
Dalam perkembangan embriologi normal, sel-sel neuro enterik bermigrasi

dari krista neural ke saluran gastrointestinal bagian atas kemudian melanjutkan


kearah distal. Sel-sel saraf pertama sampai di esofagus dalam gestasi minggu
kelima. Sel-sel saraf sampai di midgut dan mencapai kolon distal dalam minggu
ke 12. Migrasi berlangsung mula-mula ke dalam pleksus Auerbach, selanjutnya
sel-sel ini menuju kedalam pleksus Meissner. Sel-sel krista neural dalam
migrasinya dibimbing oleh berbagai glikoprotein neural atau serabut-serabut saraf
yang berkembang lebih awal daripada sel-sel krista neural.24
Glikoprotein yang berperan termasuk fibronektin dan asam hialuronik,
yang membentuk jalan bagi migrasi sel neural. Serabut saraf berkembang ke
bawah menuju saluran gastrointestinal dan kemudian bergerak menuju usus,
dimulai dari membran dasar dan berakhir di lapisan muscular. 21
Secara embriologi kolon kanan berasal dari usus tengah, sedangkan kolon
kiri sampai dengan rectum berasal dari usus belakang. Dalam perkembangan
embriologik kadang terjadi gangguan rotasi usus embrional sehingga kolon kanan
dan sekum mempunyai mesenterium yang bebas. Keadaan ini memudahkan
terjadinya putaran atau volvulus pada sebagian besar usus yang sama halnya dapat
terjadi dengan mesenterium yang panjang pada kolon sigmoid dengan radiksnya
yang sempit.24

2.3.

Fisiologi Refleks Defekasi


Ketika makanan memasuki lambung, pergerakan massa yang dipicu di kolon

disebut sebagai refleks gastrokolik yang diperantarai oleh gastrin dan persarafan
autonomik. Refleks gastroenterik dan refleks gastroileal akan mentransfer material
dari sekum ketika makan. Pergerakan dari sekum ke kolon transversus sangat
lambat, sehingga material yang terdiri dari banyak cairan akan diubah menjadi
lebih padat karena absorpsi air. Gelombang peristaltik di usus akan memindahkan
isi di sepanjang usus. 8
Kontraksi peristalsis yang cukup kuat akan muncul beberapa kali sehari.
Kontraksi ini akan memindahkan material dari kolon transversus ke bagian usus
besar selanjutnya. Stimulus berasal dari lambung dan usus, yang akan di
hantarkan ke pleksus saraf. Kontraksi tersebut akan memaksa feses untuk masuk
ke rektum dan menghasilkan keinginan untuk defekasi.8
Rektum biasanya dalam keadaan kosong, kecuali adanya kontraksi peristalsis
yang cukup kuat untuk memindahkan feses dari kolon sigmoid ke rektum.
Peregangan dinding rektum akan menghasilkan refleks defekasi. Refleks ini akan
menghasilkan dua umpan balik positif. Reseptor peregangan rektum akan memicu
kontrol defekasi yang dapat disadari. Refleks pertama dimediasi oleh inervasi
parasimpatis di pelvis. Refleks ini akan menyebabkan relaksasi sfingter anal
internal. Otot polos sfingter akan mengontrol pergerakan feses ke kanal anal.
Refleks kedua adalah refleks somatis yang memicu kontraksi segera dari sfingter
anal eksterna. N. Pudenda akan membawa perintah motorik.8
Kedua sfingter anal interna dan eksterna harus berelaksasi agar feses dapat
dikeluarkan. Tetapi, kedua refleks membuka sfingter internal namun menutup
sfingter eksternal. Pengeluaran feses harus dalam keadaan yang disadari untuk
membuka sfingter eksternal. Aktivitas lainnya yang dapat membantu pengeluaran
feses melalui peningkatan tekanan intraabdomen, seperti mengedan. Keinginan
untuk mengeluarkan feses muncul ketika tekanan di rektum mencapai 15 mmHg.
Jika tekanan ini melebihi 55 mmHg, sfingter anal eksternal akan relakasi secara

tidak sadar sehingga terjadi defekasi. Mekanisme ini muncul pada bayi dan pada
pasien dengan kerusakan medulla spinalis. 8

Gambar 2.3. Refleks Defekasi

2.4.

Definisi Penyakit Hirschsprungs


Penyakit Hirschsprungs adalah suatu penyakit kongenital yang disebabkan

oleh malformasi dari sistem parasimpatis pelvik yang mengakibatkan ketiadaan


sel-sel ganglion pada pleksus Auerbach dan Miessner pada bagian kolon distal.9

2.5.

Etiologi dan Faktor Risiko

Penyakit hirschprung berkaitan erat dengan genetik. Tidak adanya ganglion


dapat disebabkan oleh mutasi gen yang menyebabkan kegagalan pada migrasi,
diferensiasi atau kehidupan pada sel tersebut. Reseptor Tyrosine Kinase Gene
(RET) merupakan gen yang biasanya mengalami mutasi. Secara signifikan mutasi
gen RET juga ditemukan pada sindrom neoplasma endokrin multipel tipe IIA dan
IIB dan karsinoma tiroid medullar familiar. Penyakit Hirschprungs juga sering di
temukan pada anak dengan trisomi 21 (Sindrom Down). Gen yang telah bermutasi
tersebut bisa mengakibatkan defek saat embriogenesis. Sebuah studi yang pernah
dilakukan menunjukkan bahwa kolon yang normal memiliki banyak NCAM
(Neural Cell Adhesion Molecules), akan tetapi NCAM tidak ditemukan pada
bagian yang aganglionik pada penyakit Hirschprungs. NCAM ini diperkirakan
berperan penting dalam pembentukan sel ganglion pada saat embriogensis. 10
Adapun faktor risiko penyakit Hirschsprung adalah sebagai berikut:
a.
b.
c.

riwayat keluarga menderita penyakit Hirschsprung,


menderita Sindom Down,dan
laki-laki.22

2.6. Epidemiologi
Penyakit Hirschsprungs dapat terjadi dalam 1:5000 kelahiran. Risiko tertinggi
terjadinya penyakit Hirschsprungs biasanya pada pasien yang mempunyai riwayat
keluarga dengan Hirschsprungs dan pasien yang menderita Sindrom Down.
Daerah Rektosigmoid paling sering terkena sekitar 75% kasus, fleksura lienalis
atau transversum pada 17 kasus.9
Anak kembar dan adanya riwayat keturunan meningkatkan risiko terjadinya
Penyakit Hirschsprung. Laporan insidensi tersebut bervariasi sebesar 1,5-17%
dengan 130 kali lebih tinggi pada anak laki-laki dan 360 kali lebih tingi pada anak
perempuan. Penyakit Hirschsprungs lebih sering diturunkan oleh ibu yang
aganglionosis dibanding ayah. Sebanyak 12.5% dari kembaran pasien mengalami
aganglionosis total pada kolon ( sindrom Zuelzer-Wilson). Salah satu laporan

menyebutkan 4 keluarga dengan 22 pasangan kembar yang terkena, kebanyakan


mengalami aganglionosis segmen panjang. 9,11
2.7.

Klasifikasi
Hirschsprung dikategorikan berdasarkan seberapa banyak colon yang

terkena. Adapun klasifikasi dari Hirschsprungs Disease adalah sebagai berikut. 23


1. Ultra short segment: Ganglion tidak ada pada bagian yang sangat kecil
dari rektum.
2. Short segment: Ganglion tidak ada pada rectum dan sebagian kecil dari
kolon.
3. Long segment: Ganglion tidak ada pada rectum dan sebagian besar kolon.
4. Very long segment: Ganglion tidak ada pada seluruh kolon dan rektum
dan kadang sebagian usus kecil.

Gambar 2.4. Tipe penyakit Hirschsprung23

2.8.

Patogenesis

10

Kelainan pada penyakit ini berhubungan dengan spasme pada kolon distal dan
spfingter anus interna sehingga terjadi obstruksi. Sehingga pada bagian abnormal
akan mengalami kontraksi di segmen bagian distal, sedangkan bagian yang
normal akan mengalami dilatasi di bagian proksimalnya. 6 Dasar patofisologi
penyakit Hirschcprungs adalah tidak adanya

gelombang propulsif dan

abnormalitas atau hilangnya relakasasi dari sfingter anus internus yang


disebabkan aganglionosis, hipoganglionosis, atau disganglionosis pada usus yang
terkena.12,13
Tidak terdapatnya ganglion pada kolon menyebabkan peristaltik usus
menghilang sehingga feses dalam lumen kolon terhambat yang menimbulkan
terjadinya distensi dan penebalan dinding kolon di bagian proksimal daerah
aganglionik sebagai akibat usaha melewati daerah obstruksi di bawahnya.
Keadaan ini akan menimbulkan gejala obstruksi usus akut atau kronis yang
tergantung panjang usus yang mengalami aganglionik. Obstruksi kronis
menimbulkan distensi usus sehingga dinding usus mengalami iskemia yang
disertai iritasi feses dan menyebabkan invasi bakteri. Pada tahap selanjutnya
terjadi nekrosis, ulkus mukosa kolon, pneumomatosis, sampai perforasi kolon.
Keadaan ini menimbulkan gejala enterokolitis dari ringan sampai berat. Bahkan
terjadi sepsis, dan kehilangan cairan tubuh yang berlebihan.12,13,14
2.9.

Gejala Klinis
Pada bayi yang baru lahir biasanya terjadi keterlambatan pengeluaran

mekonium pertama, diikuti dengan distensi abdomen, dan muntah berwarna hijau.
Pada bayi normal, mekonium akan keluar dalam usia 24 jam pertama, namun pada
penyakit Hirschcprungs, mekonium keluar setelah 24 jam. Mekonium normalnya
berwarna hitam kehijauan, sedikit lengket dan dalam jumlah yang cukup. Diare
dapat menunjukkan adanya suatu enterokolitis.17,13
Pada anak yang lebih besar, dapat mengalami kesulitan makan, distensi
abdomen kronis, dan adanya riwayat konstipasi. Gejala penyerta lain seperti

11

impaksi feses, demam, dan diare menunjukkan terjadinya

tanda-tanda

enterokolitis, malnutrisi, dan gagal tumbuh.15,14


Pada pemeriksaan colok dubur, sfingter ani teraba hipertonus dan rektum
biasanya kosong. Tanda-tanda edema, bercak-bercak kemerahan disekitar
umbilikus, punggung, dan disekitar genitalia ditemukan bila telah terjadi
komplikasi peritonitis.15,12,14
2.10.

Pemeriksaan Penunjang

2.10.1. Pemeriksaan Radiologi


a. Foto polos abdomen (BNO)
Sulit untuk membedakan antara distensi kolon dengan distensi pada usus
kecil jika hanya melalui foto polos abdomen. Oleh karena itu, harus dilakukan
pemeriksaan radiologi lanjutan untuk mendiagnosa penyakit ini. Pemeriksaan
dengan barium enema adalah pemeriksaan yang terbaik untuk melihat obstruksi
yang disebabkan oleh penyakit Hirschsprung ini. 19
b. Pemeriksaan Barium Enema
Pemeriksaan yang merupakan standar dalam menegakkan diagnosa
Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas :
1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang
panjangnya bervariasi;
2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah
daerah dilatasi;
3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit
Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto
setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feses. Gambaran khasnya
adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feses kearah proksimal kolon.
Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung namun disertai dengan

12

obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan


sigmoid.16

Gambar 2.5. Pemeriksaan barium enema menunjukkan zona transisi. Zona ini
merupakan transisi dari dilatasi usus yang biasanya diinervasi normal. 18

Gambar 2.6. Pemeriksaan barium enema


pada penderita dengan penyakit
Hirschsprung. Tampak rektum yang
mengalami penyempitan, dilatasi
sigmoid serta pelebaran di bagian atas
dari zona transisi. 16

13

Gambar 2.7. Zona transisi yang khas, tampak dilatasi di antara kolon yang terisi
massa feses dibagian atas dan rektum yang relatif menyempit di bagian bawah. 20

Gambar 2.8. Rektum pada bayi baru lahir ini kelihatan lebih kecil dari sigmoid
dan kolon descendens, tetapi tidak terdapat zona transisi yang jelas. 20

14

Gambar 2.9. Pemeriksaan dengan kontras (barium enema) pada bayi lainnya
menunjukkan segmen aganglionik yang ireguler dan mengalami spasme. 20

Gambar 2.10. Tampak penyempitan dibagian rektum dan sigmoid pada foto
barium enema sisi lateral20
Semakin lanjut usia pasien saat terdeteksi penyakit ini, maka semakin jelas
perbedaan yang tampak antara usus yang normal dan abnormal19

15

Gambar 2.11.. Pemeriksaan barium enema pada bayi baru lahir dengan penyakit
Hirschsprung. Biasanya perubahan klasik dari penyakit ini tidak begitu jelas pada
periode neonatal.20

Gambar 2.12. Pemeriksaan barium enema yang dilakukan selanjutnya


memperlihatkan gambaran megakolon yang tipikal, zona transisi serta bagian
aganglionik yang tidak melebar.20

16

Gambar 2.13. Pemeriksaan barium enema pada seorang pria muda dengan
penyakit Hirschsprung tipe segmen pendek. Pria ini mengalami konstipasi kronis
yang berlangsung sepanjang hidupnya. Perhatikan adanya dilatasi usus besar dan
residu feses. 20

Gambar 2.14. Penyakit Hirschsprung. Pemeriksaan barium enema tampak


pengurangan kaliber rektum dan dilatasi loop usus besar dengan permukaan
mukosa yang ireguler (diskinesia).20

17

Gambar 2.15. Penyakit Hirschsprung pada bayi yang berusia 6 bulan


dengan riwayat konstipasi kronis. Foto barium enema sisi lateral ini menunjukkan
dilatasi pada sigmoid kolon proksimal dan kolon asendens 17
Pada orang dewasa yang menderita penyakit ini, biasanya lesi hanya
terbatas pada bagian sigmoid kolon atau rektum. Pemeriksaan yang dilakukan
pada penderita dewasa itu hampir sama seperti dengan pemeriksaan yang
dilakukan ke atas bayi, iaitu dengan pemeriksaan barium enema. Dalam suatu
studi, didapatkan pemeriksaan dengan CT scan juga bermanfaat untuk
menentukan letak zona transisi dari penyakit ini. Hasil gambaran CT scan yang
didapatkan juga sesuai dengan hasil pemeriksaan histopatologis pada biopsi
rektum. 17

18

Gambar 2.16. Gambaran penyakit Hirschsprung dengan segmen aganglionik di


bagian atas rektum pada seorang pria muda berusia 19 tahun. AC = ascending
colon, DC = descending colon. Segmen kolon yang lain dalam batas normal.17

19

Gambar 2.17. Pemeriksaan double kontras barium enema tampak dilatasi bagian
atas dari rektum dan rectosigmoid junction yang terisi massa feses (pada anak
panah).17

Gambar 2.18. Foto CT scan dengan kontras potongan transversal tampak dilatasi
bagian proksimal rektum serta bagian rektosigmoid yang terisi massa feses. 17

20

Gambar 2.19. Foto CT scan kontras potongan transversal. Tampak zona transisi
dan penyempitan di bagian distal rektum.18
c. Pemeriksaan lainnya
Laboratorium Studi
CBC count: Tes ini dilakukan untuk mendeteksi terjadinya komplikasi
seperti enterokolitis yang disebabkan oleh penyakit Hirschsprung. Peningkatan
WBC count atau bandemia harus dicurigai terjadinya enterokolitis.18

Anorektal manometri
Gejala yang ditemukan adalah kegagalan relaksasi sfingter ani interna

ketika ekttum dilebarkan dengan balon. Keuntungan metode ini adalah bisa segera
dilakukan dan pasien dapat cepat pulang karena tidak dilakukan anestesi umum.
Metode ini lebih serig dilakukan pada pasien yang lebih besar dibandingkan pada
neonatus. Pada anak berusia lebih lanjut dengan keluhan sembelit kronis dan
riwayat atipikal baik untuk penyakit Hirschsprung atau konstipasi fungsional,
manometri anorektal dapat membantu dalam membuat diagnosis. Anak-anak
dengan penyakit Hirschsprung gagal untuk menunjukkan refleks relaksasi pada
spinkter ani interna dalam menanggapi inflasi balon dubur. 18

21

Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat refleks anorektal pada pasien


yang dicurigai dengan penyakit Hischsprung. Orang yang menderita penyakit ini
biasanya akan kehilangan atau berkurang refleks anorektalnya. Penurunan refleks
anorektal yang dimaksudkan adalah kurangnya relaksasi pada bagian anus setelah
dilakukan inflasi balon di bagian rektum. Bagaimanapun, terdapat banyak
perbedaan pendapat tentang penilaian pada tes diagnostik ini. 21

Biopsi rektum
Biopsi rektum merupakan tes yang paling akurat untuk mendeteksi

penyakit Hirschsprung. Biopsi rektum merupakan gold standart untuk


mendiagnosis penyakit Hirscprung. Pada bayi baru lahir metode ini dapat
dilakukan dengan morbiditas minimal karena menggunakan suction khusus biopsi
rektum. Dokter mengambil bagian sangat kecil dari rektum untuk dilihat di bawah
mikroskop. Untuk pengambilan sampel biasanya diambil 2 cm diatas linea dentate
dan juga mengambil sampel yang normal dari yang normal ganglion hingga yang
aganglionik. Metode ini biasanya harus menggunakan anestesi umum karena
sampel yang diambil pada mukosa rektal lebih tebal. Anak-anak dengan penyakit
Hirschsprung tidak memiliki sel-sel ganglion pada sampel yang diambil. Pada
biopsi hisap, jaringan dikeluarkan dari kolon dengan menggunakan alat
penghisap. Karena tidak melibatkan pemotongan jaringan kolon maka tidak
diperlukan anestesi.
Jika biopsi menunjukkan adanya ganglion, penyakit Hirschsprung tidak
terbukti. Jika tidak terdapat sel-sel ganglion pada jaringan contoh, biopsi fullthickness biopsi diperlukan untuk mengkonfirmasi penyakit Hirschsprung. Pada
biopsi full-thickness lebih banyak jaringan dari lapisan yang lebih dalam
dikeluarkan secara bedah untuk kemudian diperiksa di bawah mikroskop. Tidak
adanya sel-sel ganglion menunjukkan penyakit Hirschsprung.19
2.11.

Diagnosis Banding

22

Diagnosis banding dari Penyakit Hirschcprungs harus meliputi seluruh


kelainan dengan obstruksi pada distal usus kecil dan kolon, meliputi:20
Obstruksi mekanik
Meconium ileus
- Simple
- Complicated (with meconium
cyst or peritonitis)
Meconium plug syndrome
Neonatal small left colon

syndrome
Malarotation with volvulus
Incarcerated hernia
Jejunoileal atresia
Colonic atresia
Intestinal duplication
Intussusceptions
NEC

Obstruksi fungsional
Sepsis
Intracranial hemorrhage
Hypothyroidism
Maternal drug ingestion or
addiction
Adrenal hemorrhage
Hypermagnesemia
Hypokalemia

2.12. Penatalaksanaan
2.12.1. Non Pembedahan
Ketika diagnosis penyakit Hirschsprung disangkakan maka pasien
ditangani sebagai pasien obstruksi. Sesegera mungkin pasien dipuasakan dan
dilakukan dekompresi dengan memasang selang NGT dan kateter urin. IV line
dipasang untuk memastikan rehidrasi yang cukup dan antibiotik empiris sistemik
diberikan, lalu dilakukan rectal washing sebanyak 10 kg/BB21

2.12.2. Pembedahan
Penyakit Hirschsprungs memerlukan tindakan pembedahan sebagai
tatalaksana definitif pada semua kasus. Pendekatan pembedahan klasik terdiri dari
prosedur yang bertingkat. Ini termasuk pembuatan kolostomi pada neonatus,
diikuti dengan pembedahan definitif setelah berat anak >10 kg. Ada tiga prosedur
pembedahan pull-through yang saat ini digunakan. Untuk masing masing
operasi yang dilakukan, prinsip tatalaksana pada pembedahan adalah memastikan

23

lokasi dari usus dimana transisi antara usus berganglion dengan yang tak
berganglion terletak, reseksi segmen tak berganglion dari usus, dan melakukan
anastomosis dari usus berganglion ke anus ataupun ke selubung rektum.21
Sekarang sudah sepenuhnya diketahui bahwa operasi pull through dapat
dilakukan secara aman, bahkan pada periode neonatus. Pendekatan ini mengikuti
prinsip yang sama seperti pembedahan bertingkat dan menghindarkan pasien dari
pembedahan tambahan. Beberapa ahli bedah melakukan diseksi intra abdominal
menggunakan laparoskop. Pendekatan ini terutama berguna pada pembedahan
dengan pasien neonatus, karena memberikan visualisasi yang sangat baik pada
pelvis. Pada anak dengan distensi abdomen yang signifikan, dapat dilakukan
kolostomi untuk dekompresi.21
Dari ketiga prosedur operasi pull through yang dilakukan pada penyakit
Hirschsprungs, yang pertama adalah prosedur Swenson. Pada operasi ini, rektum
aganglion di diseksi dari pelvis dan dikeluarkan melalui anus. Kolon berganglion
kemudian disambungkan ke anus melalui pendekatan perineal. Prosedur kedua
adalah prosedur Duhamel, diseksi di luar rektum dibatasi pada ruang retrorektal,
dan kolon berganglion disambungkan secara posterior tepat di atas anus. Dinding
anterior pada kolon berganglion dan dinding posterior dari rektum aganglion
disambungkan menggunakan stapler. Meskipun kedua prosedur ini terbukti sangat
efektif, prosedur ini memiliki potensi untuk terjadi kerusakan pada syaraf
parasimpatik yang berada di sekitar rektum. Untuk menghindari masalah potensial
ini. Prosedur ketiga adalah prosedur Soave yang dikerjakan dengan mendiseksi
mukosa rektum secara keseluruhan dan kolon berganglion ditarik melewati
selubung muskular ini dan disambungkan pada anus.21
Pada semua kasus, sangat penting untuk memastikan lokasi usus
berganglion. Kebanyakan ahli bedah percaya bahwa anastomosis harus dilakukan
sekurangnya 5 cm dari titik dimana usus berganglion ditemukan. Hal ini
mencegah dari melakukan operasi pull through pada zona transisi, yang

24

berkaitan dengan tingginya insidensi dari komplikasi akibat pengosongan tidak


optimal pada segmen pull through.21
2.13.

Komplikasi dan Prognosis

Komplikasi pada ketiga prosedur ini termasuk enterokolitis pos operasi,


konstipasi, dan striktur anastomosis. Seperti dijelaskan sebelumnya, hasil jangka
panjang dari ketiga prosedur sangat baik. 21

Gambar 2.20. Prosedur Duhamel

25

Gambar 2.21. Prosedur Swenson

Gambar 2.22. Prosedur Soave

BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama

: Fahmi

Gender

: Laki-laki

Umur

: 6 hari

MR

: 00.63.54.31

Ruangan

: RB4-Perinatologi

Tanggal masuk

: 4 Maret 2015

26

II. ANAMNESIS
Keluhan utama: Perut membesar
Telaah :
-

Hal ini dialami o.s sejak usia 2 hari, di mana perut o.s semakin
membesar. Sulit BAB (+) dan harus dibantu dengan potongan sabun.

Muntah dialami o.s saat usia 5 hari dengan frekuensi 1x, isi muntah
berupa sisa susu.

Saat ini o.s menangis kuat, mengisap kuat, dan gerak aktif.

BAB pertama keluar lebih dari 24 jam setelah lahir.

Tiga hari yang lalu o.s pernah dirawat di RSUP HAM dengan keluhan
yang sama selama 2 hari, namun keluarga o.s minta pulang atas
permintaan sendiri.

RPT

: Tidak ada

RPO

: Tidak jelas

Riwayat Kehamilan : o.s anak ke-2, cukup bulan, riwayat ibu menderita
hipertensi (-), DM (-) dan demam saat hamil (-). ANC ke bidan.
Riwayat Kelahiran: o.s lahir secara SC atas indikasi letak lintang, BBL 3200
gram, segera menangis, biru (-).
III. STATUS PRESENS
Sensorium

: Compos Mentis

Tekanan Darah

: 120/80 mmHg

Temperatur

: 36,8oC

Nadi

: 100x/i

Pernafasan

: 22x/i

IV. PEMERIKSAAN FISIK


A. Status Generalisata :
Kepala

: ubun-ubun besar terbuka (+)

27

Mata

: refleks cahaya (+/+), pupil isokor, konjungtiva palpebra inferior


pucat (-/-), sklera ikterus (-/-)

T/H/M

: dalam batas normal

Leher

: trakea medial, pembesaran KGB (-), TVJ R+2 cmH2O

Toraks
Inspeksi

: simetris fusiformis, retraksi dada (-)

Perkusi

: sonor pada kedua lapangan paru

Auskultasi : SP: vesikuler, ST: tidak dijumpai, RR : 40 x/menit


Jantung: S1 (N), S2 (N), Murmur (-), HR: 120 x/menit
Abdomen
Inspeksi

: distensi (+), tampak kontur usus

Palpasi

: soepel

Perkusi

: timpani

Auskultasi : peristaltik usus meningkat


Ekstremitas
Superior

: oedem (-), tidak ada kelainan, pols 120x/menit, reg, T/V cukup,
akral hangat, CRT < 3

Inferior

: oedem (-),tidak ada kelainan, pols 120x/menit, reg, T/V cukup,


akral hangat, CRT < 3

V. Pemeriksaan Penunjang
Hasil Laboratorium 4 Maret 2015 di RSUP H. Adam Malik
WBC
RBC
Hb
Ht
Trombosit
Albumin

23.22 x 103/mm3
3.78 x 106/mm3
13.30 g%
39.30 %
335 x 103/ mm3
Faal Hati
3.9 g/dl (3,5-5,3)
Metabolism Karbohidrat

28

Glukosa Darah (Sewaktu)


118,5
Faal Ginjal
Ureum
36.8 (<50)
Kreatinin
0.49 (0,70 - 1,20)
Elektrolit
Natrium (Na)
139 (135 - 155)
Kalium (K)
1.9 (3.6 - 5.5)
Klorida (Cl)
108 (96 - 106)
HST
PT: Pasien
19
Kontrol
aPTT: Pasien

14
34.3

Kontrol
TT: Pasien

34.7
16.5

Kontrol

14

Hasil Foto Baby Gram 4 Maret 2015 di RSUP HAM

Interpretasi Foto Baby gram

Scheedel : Ekstremitas atas dan bawah dalam batas normal

Thorax : Infiltrat minimal di perihilar dan parakardial kanan

29

Jantung ukuran normal

Vertebra: suspek gambaran hemivertebra thoracal 6

Pedicel intact

Diskus intervertebralis baik

Abdomen : distribusi udara usus tidak sampai ke pelvic minor, tampak


dilatasi dan penebalan dinding usus, tidak tampak udara bebas di
ekstralumen

Kesimpulan : Penebalan dinding usus dd hirscprungs disease

Hasil Foto BNO 5 Maret 2015 di RSUP HAM

Kesimpulan : Dilatasi dan penebalan dinding usus DD Neck, Hirschprung

30

Hasil Foto Barium Retensi 6 Maret 2015 di RSUP HAM

Kesimpulan : dilatasi kolon masih dengan massa fecal prominent masih


mungkin ec dd/ Hirschprung disease, onorectal stenosis
Hasil Foto Barium Enema 7 Maret 2015 di RSUP HAM

31

Kesimpulan : tidak tampak tanda-tanda Hirschprung


VI. DIAGNOSIS
Suspek Hirschprungs Disease
VII. RENCANA TERAPI
Rawat infant warmer, target suhu 36,5-37,5 C
Inj. Ceftazidime 140 mg/12 jam/IV
Inj. Gentamycin 14 mg/24 jam/IV
Inj. Metronidazole loading dose 45 mg, 12 jam kemudian maintenance
dose 22 mg/ 12 jam/IV
Jaga kehangatan
Wash out pagi dan sore
VII. RENCANA

Foto BNO

Foto Barium Retensi

Foto Barium Enema

32

Follow Up Pasien
26/2/2015 S : Luka bakar pada wajah, leher, dada, dan tangan kanan. Demam (-)
O : Sens: E4VETT M6, TD: 120/70 mmHg, HR: 128 x/menit, RR: 20
x/menit (terintubasi), Temp: 36,8 0C,
Kepala: Flame burn (+) grade IIa-b 4%
T/H/M: dbn/dbn/ edema (+) pada bibir
Leher: Flame burn (+) grade IIa-b 1%
Thoraks: Flame burn (+) grade IIa-b 6,5 %, bula (+)
Ekstremitas: Flame burn (+) grade IIa-b 2%
A : Post debridement a/I flame burn 13,5% grade IIa-b o/t face, neck,
chest, (R) arm
P : -Terintubasi dengan ETT No.6,5 cuffed at lip 26 cm terpasang
dengan T piece 5L/i
-IVFD RL 20 gtt/menit
-Fentanyl 200 mcg/50 cc NaCl 0,9% = 3cc/jam
-Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
-Inj Cefotaxime 1 gr/12 jam

33

-Diet SV 1500 kkal + 50 gr protein


Rencana: Cek DL, KGD, elektrolit, AGDA, RFT, LFT, Albumin,
CRP, Procalcitonin, D-dimer, Urinalisa, Kultur darah

27/2/2015 S : Luka bakar pada wajah, leher, dada, dan tangan kanan. Demam (-)
O : Sens: E4VETT M6, TD: 100/60 mmHg, HR: 92 x/menit, RR: 16
x/menit (terintubasi), Temp: 37,1 0C,
Kepala: Flame burn (+) grade IIa-b 4%
T/H/M: dbn/dbn/ edema (+) pada bibir
Leher: Flame burn (+) grade IIa-b 1%
Thoraks: Flame burn (+) grade IIa-b 6,5 %, bula(+)
Ekstremitas: Flame burn (+) grade IIa-b 2%
A : Post debridement a/I flame burn 13,5% grade IIa-b o/t face, neck,
chest, (R) arm
P :-Terintubasi dengan ETT No.6,5 cuffed at lip 26 cm terpasang
dengan T piece 5L/i
-IVFD D5% NaCl 0,45% (430 cc) + D40% (70cc) + KCl 10 mEq
+ Ca glukonas 10 cc = 42 cc/jam
-Inj Ceftriaxon 1gr/12 jam/IV (H2)
-Inj. Ranitidine 30 mg/8 jam/IV
-Fentanyl 200 mcg/50 cc NaCl 0,9% = 3,75cc/jam
-Inj. Midazolam 90 mcg dalam 50 cc NaCl 0,9% = 1 mcg/kgBB/i
-Diet SV Ensure 100 cc/3 jam/NGT + putih telur 2 butir
-Plasmanat 5% 200 cc = 8,3 cc/jam
Rencana:
Transfusi PRC = (12-9,1) x 30 x 4 = 348 cc = 175 cc/12 jam
Substitusi albumin = (3-2,4) x 30 x 0,8 = 14,4 mg. Albumin 20% 72
cc
Konsul anestesi untuk pemasangan CVC

34

Hasil laboratorium:
Hb/Ht/Leu/Plt: 9,10/27,50/10.550/268.000
PT/INR/aPTT/TT: 13,9(13,6)/1,02/ 23,8(35,5)/19,5(17,5)
Fibrinogen/D-dimer: 354/832
pH/PCO2/pO2/HCO3/Total CO2/BE/Sat O2:
7,413/40,8/159,8/22,5/26,8/0,9/99,4
SGOT/SGPT/ALP/Albumin: 24/12/104/3,1
KGD puasa: 149,2 mg/Dl
Kolesterol total/ Trigliserida/HDL/LDL: 106/126/23/55
Ur/Cr: 38,50/0,50
Asam urat: 5,5 mg/dL
Ca/Na/K/P/Cl/Mg: 8,2/137/4,3/2,9/106/2,17
Asam laktat, arteri: 0,8 mmol/L
CRP kualitatif: positif
Procalcitonin: 2,00
Urinalisis
Warna: kuning jernih
Glukosa: negatif
Bilirubin: negatif
Keton: negatif
Berat jenis: 1,020
pH: 6,0
Protein: negatif
Urobilinogen: positif
Nitrit: negatif
Leukosit: negatif
Darah: negatif
Sedimen urine:
Eritrosit/leukosit/epitel/casts/kristal/lain-lain: 0-1/0-1/0-1/(-)/(-)/yeast
(+)

35

28/2/2015 S : Luka bakar pada wajah, leher, dada, dan tangan kanan. Demam (-)
O : Sens: E4VETT M6, TD: 100/60 mmHg, HR: 89 x/menit, RR: 16
x/menit (terintubasi), Temp: 36, 30C,
Kepala: Flame burn (+) grade IIa-b 4%
T/H/M: dbn/dbn/ edema (+) pada bibir
Leher: Flame burn (+) grade IIa-b 1%
Thoraks: Flame burn (+) grade IIa-b 6,5 %, bula(+)
Ekstremitas: Flame burn (+) grade IIa-b 2%
A : Post debridement a/I flame burn 13,5% grade IIa-b o/t face, neck,
chest, (R) arm
P :-Terintubasi dengan ETT No.6,5 cuffed at lip 26 cm terpasang
dengan T piece 5L/i
-IVFD D5% NaCl 0,45% (430 cc) + D40% (70cc) + KCl 10 mEq
+ Ca glukonas 10 cc = 42 cc/jam
-Inj Ceftriaxon 1gr/12 jam/IV (H3)
-Inj. Ranitidine 30 mg/8 jam/IV
-Fentanyl 200 mcg/50 cc NaCl 0,9% = 3,75cc/jam
-Diet SV Ensure 100 cc/3 jam/NGT + putih telur 2 butir
-Plasmanat 5% 200 cc = 8,3 cc/jam
-Transfusi PRC 150 cc
1/3/2015 S : Luka bakar pada wajah, leher, dada, dan tangan kanan. Demam (-)
O : Sens: E4VETT M6, TD: 110/60 mmHg, HR: 90 x/menit, RR: 20
x/menit (terintubasi), Temp: 37,2 0C,
Kepala: Flame burn (+) grade IIa-b 4%
T/H/M: dbn/dbn/ edema (+) pada bibir
Leher: Flame burn (+) grade IIa-b 1%
Thoraks: Flame burn (+) grade IIa-b 6,5 %, bula(+)

36

Ekstremitas: Flame burn (+) grade IIa-b 2%


A : Post debridement a/I flame burn 13,5% grade IIa-b o/t face, neck,
chest, (R) arm
P :-Terintubasi dengan ETT No.6,5 cuffed at lip 26 cm terpasang
dengan T piece 5L/i
-IVFD D5% NaCl 0,45% (430 cc) + D40% (70cc) + KCl 10 mEq +
Ca glukonas 10 cc = 42 cc/jam
-Inj Ceftriaxon 1gr/12 jam/IV (H4)
-Inj. Ranitidine 30 mg/8 jam/IV
-Fentanyl 200 mcg/50 cc NaCl 0,9% = 3,75cc/jam
-Diet SV Ensure 100 cc/3 jam/NGT + putih telur 2 butir
-Plasmanat 5% 200 cc = 8,3 cc/jam
-Transfusi PRC 150 cc
-GV dengan sibro
2/3/2015 S : Luka bakar pada wajah, leher, dada, dan tangan kanan. Demam (-)
O : Sens: E4VETT M6, TD: 110/60 mmHg, HR: 102 x/menit, RR: 20
x/menit (terintubasi), Temp: 37,1 0C, UOP 4,7 cc/kg BB/jam
Kepala: Flame burn (+) grade IIa-b 4%
T/H/M: dbn/dbn/ edema (+) pada bibir
Leher: Flame burn (+) grade IIa-b 1%
Thoraks: Flame burn (+) grade IIa-b 6,5 %, bula(+)
Ekstremitas: Flame burn (+) grade IIa-b 2%
A : Post debridement a/I flame burn 13,5% grade IIa-b o/t face, neck,
chest, (R) arm
P :-Terintubasi dengan ETT No.6,5 cuffed at lip 26 cm terpasang
dengan T piece 3L/i
-IVFD D5% NaCl 0,45% (430 cc) + D40% (70cc) + KCl 10 mEq +
Ca glukonas 10 cc = 42 cc/jam
-Inj Ceftriaxon 1gr/12 jam/IV (H2)
-Inj. Ranitidine 30 mg/8 jam/IV
-Fentanyl 200 mcg/50 cc NaCl 0,9% = 3,75cc/jam

37

-Diet SV Ensure 100 cc/3 jam/NGT + putih telur 2 butir


-Plasmanat 5% 200 cc = 8,3 cc/jam
Rencana: Susul hasil lab post transfuse
Susul hasil kultur
Hasil kultur urine: tidak ada pertumbuhan bakteri
Kultur darah: tidak ada pertumbuhan bakteri
Hasil lab:
Hb/Ht/Leu/Plt: 12,50/38,50/13.960/257.000

3/3/2015

S : Luka bakar pada wajah, leher, dada, dan tangan kanan. Demam (-)
O : Sens: E4VETT M6, TD: 100/60 mmHg, HR: 84 x/menit, RR: 20
x/menit (terintubasi), Temp: 37, 4 0C,
Kepala: Flame burn (+) grade IIa-b 4%
T/H/M: dbn/dbn/ edema (+) pada bibir
Leher: Flame burn (+) grade IIa-b 1%
Thoraks: Flame burn (+) grade IIa-b 6,5 %, bula(+)
Ekstremitas: Flame burn (+) grade IIa-b 2%
A : Post debridement a/I flame burn 13,5% grade IIa-b o/t face, neck,
chest, (R) arm
P : -O2 nasal kanul 2-4 L/i
-IVFD D5% NaCl 0,45% (430 cc) + D40% (70cc) + KCl 10 mEq
+ Ca glukonas 10 cc = 62 cc/jam
-Inj Ceftriaxon 1gr/12 jam/IV (H6)
-Inj. Ranitidine 30 mg/8 jam/IV
-Inj. Ketorolac 10 mg/ 8 jam/IV
-Diet Pediasure 170 cc/4 jam/NGT + putih telur 3 butir

38

-Plasmanat 5% 200 cc = 8,3 cc/jam


Rencana: GV hari ini
Cek DL, KGD, elektrolit, AGDA, RFT, LFT, Albumin, CRP,
Procalcitonin, HST
Transfusi Albumin 20% 72 cc gandeng dengan 72 cc D5% habis
dalam 4 jam

4/3/2015

S : Luka bakar pada wajah, leher, dada, dan tangan kanan. Demam (-)
O : Sens: E4V5 M6, TD: 110/60 mmHg, HR: 90 x/menit, RR: 20
x/menit (terintubasi), Temp: 37, 4 0C, UOP 4,1 cc/kgBB/6 jam
Kepala: Flame burn (+) grade IIa-b 4%
T/H/M: dbn/dbn/ edema (+) pada bibir
Leher: Flame burn (+) grade IIa-b 1%
Thoraks: Flame burn (+) grade IIa-b 6,5 %, bula(+)
Ekstremitas: Flame burn (+) grade IIa-b 2%
A : Post debridement a/I flame burn 13,5% grade IIa-b o/t face, neck,
chest, (R) arm
P : -O2 nasal kanul 2-4 L/i
-IVFD D5% NaCl 0,45% (430 cc) + D40% (70cc) + KCl 10 mEq
+ Ca glukonas 10 cc = 62 cc/jam
-Inj Ceftriaxon 1gr/12 jam/IV (H6)
-Inj. Metronidazole MD 225 mg/ 8 jam/IV
-Inj. Ranitidine 30 mg/8 jam/IV
-Inj. Ketorolac 10 mg/ 8 jam/IV
-Diet Pediasure 170 cc/4 jam/NGT + putih telur 3 butir

39

-Plasmanat 5% 200 cc = 8,3 cc/jam


Rencana: Persiapan operasi
Hasil lab:
Hb/Ht/Leu/Plt: 12,30/37,30/8.180/393.000
PT/INR/aPTT/TT: 11,8(14,0)/0,84/ 22,5(34,7)/11,5(14,0)
pH/PCO2/pO2/HCO3/Total CO2/BE/Sat O2:
7,45/23,0/202,0/16,0/16,7/-6,8/100
SGOT/SGPT/Albumin:29/42/3,8
KGD sewaktu: 140 mg/dL
Ur/Cr: 39,00/0,42
Na/K/Cl: 137/4,5/105
Phosphor/Ca: 4,3/9,7
Asam laktat arteri: 1,5
CRP kualitatif: Negatif
5/3/2015

Procalcitonin: 0,07 ng/mL


S : Luka bakar pada wajah, leher, dada, dan tangan kanan. Demam (-)
O : Sens: E4V5 M6, TD: 110/60 mmHg, HR: 94 x/menit, RR: 20
x/menit (terintubasi), Temp: 37, 4 0C, UOP 4,1 cc/kgBB/6 jam
Kepala: Flame burn (+) grade IIa-b 4%
T/H/M: dbn/dbn/ edema (+) pada bibir
Leher: Flame burn (+) grade IIa-b 1%
Thoraks: Flame burn (+) grade IIa-b 6,5 %, bula(+)
Ekstremitas: Flame burn (+) grade IIa-b 2%
A : Post debridement a/I flame burn 13,5% grade IIa-b o/t face, neck,
chest, (R) arm
P : -O2 nasal kanul 2-4 L/i
-IVFD D5% NaCl 0,45% (430 cc) + D40% (70cc) + KCl 10 mEq
+ Ca glukonas 10 cc = 62 cc/jam
-Inj Ceftriaxon 1gr/12 jam/IV (H6)
-Inj. Metronidazole MD 225 mg/ 8 jam/IV

40

-Inj. Ranitidine 30 mg/8 jam/IV


-Inj. Ketorolac 10 mg/ 8 jam/IV
-Diet Pediasure 170 cc/4 jam/NGT + putih telur 3 butir
-Plasmanat 5% 200 cc = 8,3 cc/jam
Rencana: Transfusi PRC 180 cc
Hasil lab:
Hb/Ht/Leu/Plt: 10,50/32,50/13.920/165.000
PT/INR/aPTT/TT: 15,2(13,8)/1,10/ 24,0(34,7)/19,8(14,5)
Waktu perdarahan: 4
D-dimer: 832 ng/mL
pH/PCO2/pO2/HCO3/Total CO2/BE/Sat O2:
7,347/26,5/164,8/14,2/15,0/-10,5/99,3
Albumin: 3,1 g/dL
KGD puasa: 97,10 mg/dL
Na/K/Cl: 137/4,5/105
6/3/2015

S : Luka bakar pada wajah, leher, dada, dan tangan kanan. Demam (-)
O : Sens: E4V5 M6, TD: 110/60 mmHg, HR: 86 x/menit, RR: 20
x/menit, Temp: 37, 4 0C, UOP 4,1 cc/kgBB/6 jam
Kepala: Flame burn (+) grade IIa-b 4%
T/H/M: dbn/dbn/ edema (+) pada bibir
Leher: Flame burn (+) grade IIa-b 1%
Thoraks: Flame burn (+) grade IIa-b 6,5 %, bula(+)
Ekstremitas: Flame burn (+) grade IIa-b 2%
A : Post debridement + Escharectomy a/i flame burn 13,5% grade IIab o/t face, neck, chest, (R) arm
P : -IVFD D5% NaCl 0,45% + D40%
-Inj.Ceftriaxon 1gr/12 jam/IV
-Inj.Plasmanat 8cc/jam
-Inj. Metronidazole MD 225 mg/ 8 jam/IV

41

7/3/2015

S : Luka bakar pada wajah, leher, dada, dan tangan kanan. Demam (-)
O : HD stabil
Kepala: Flame burn (+) grade IIa-b 4%
T/H/M: dbn/dbn/ edema (+) pada bibir
Leher: Flame burn (+) grade IIa-b 1%
Thoraks: Flame burn (+) grade IIa-b 6,5 %, bula(+)
Ekstremitas: Flame burn (+) grade IIa-b 2%
A : Post debridement + Escharectomy a/i flame burn 13,5% grade IIab o/t face, neck, chest, (R) arm
P : -IVFD D5% NaCl 0,45% + D40%
-Inj.Ceftriaxon 1gr/12 jam/IV
-Inj.Plasmanat 8cc/jam
-Inj. Metronidazole MD 225 mg/ 8 jam/IV

8/3/2015

S : Luka bakar pada wajah, leher, dada, dan tangan kanan. Demam (-)
O : HD stabil
Tampak luka tertutup perban. Pus (-). Darah (-)
Kepala: Flame burn (+) grade IIa-b 4%
T/H/M: dbn/dbn/ edema (+) pada bibir
Leher: Flame burn (+) grade IIa-b 1%
Thoraks: Flame burn (+) grade IIa-b 6,5 %, bula(+)
Ekstremitas: Flame burn (+) grade IIa-b 2%
A : Post debridement + Escharectomy a/i flame burn 13,5% grade IIab o/t face, neck, chest, (R) arm
P : -IVFD D5% NaCl 0,45% + D40%
-Inj.Ceftriaxon 1gr/12 jam/IV
-Inj.Plasmanat 8cc/jam
-Inj. Metronidazole MD 225 mg/ 8 jam/IV

42

9/3/2015

S : Luka bakar pada wajah, leher, dada, dan tangan kanan. Demam (-)
O : HD stabil.
Tampak luka tertutup perban. Darah (-), pus (-)
Kepala: Flame burn (+) grade IIa-b 4%
T/H/M: dbn/dbn/ edema (+) pada bibir
Leher: Flame burn (+) grade IIa-b 1%
Thoraks: Flame burn (+) grade IIa-b 6,5 %, bula(+)
Ekstremitas: Flame burn (+) grade IIa-b 2%
A : Post debridement + Escharectomy a/i flame burn 13,5% grade IIab o/t face, neck, chest, (R) arm
P : -IVFD D5% NaCl 0,45% + D40%
-Inj.Ceftriaxon 1gr/12 jam/IV
-Inj. Metronidazole MD 225 mg/ 8 jam/IV
-Diet MBTKTP 1300 kkal ekstra putih telur
Hasil Lab:
Hb/Ht/Leu/Plt: 12,20/36,40/15.060/357.000
Albumin: 3,4 g/dL
Na/K/Cl: 132/3,9/104

43

14/3/2015 S : Luka bakar pada wajah, leher, dada, dan tangan kanan. Demam (-)
O : HD stabil.
Tampak luka tertutup perban. Darah (-), pus (-)
Kepala: Flame burn (+) grade IIa-b 4%
T/H/M: dbn/dbn/ edema (+) pada bibir
Leher: Flame burn (+) grade IIa-b 1%
Thoraks: Flame burn (+) grade IIa-b 6,5 %, bula(+)
Ekstremitas: Flame burn (+) grade IIa-b 2%
A : Post debridement + Escharectomy a/i flame burn 13,5% grade IIIIIa-b o/t face, neck, chest, (R) arm
P : -IVFD D5% NaCl 0,45% + D40%
-Inj.Ceftriaxon 1gr/12 jam/IV
-Inj. Metronidazole MD 225 mg/ 8 jam/IV
-Diet MBTKTP 1300 kkal ekstra putih telur
Rencana: debridement hari ini
15/3/2015 S : Luka bakar pada wajah, leher, dada, dan tangan kanan. Demam (-)
O : HD stabil.
Tampak luka tertutup perban. Darah (-), pus (-)
Kepala: Flame burn (+) grade IIa-b 4%
T/H/M: dbn/dbn/ edema (+) pada bibir
Leher: Flame burn (+) grade IIa-b 1%
Thoraks: Flame burn (+) grade IIa-b 6,5 %, bula(+)
Ekstremitas: Flame burn (+) grade IIa-b 2%
A : Post debridement a/i flame burn 13,5% grade IIa-b o/t face, neck,
chest, (R) arm (H1)
P : -IVFD D5% NaCl 0,45% + D40%
-Inj.Ceftriaxon 1gr/12 jam/IV
-Inj. Metronidazole MD 225 mg/ 8 jam/IV
-Diet MBTKTP 1300 kkal ekstra putih telur
Hasil Lab:

44

Hb/Ht/Leu/Plt: 9,80/30,10/7.760/484.000
Albumin: 2,8 g/dL
Na/K/Cl: 134/3,4/109
16/3/2015 S : Luka bakar pada wajah, leher, dada, dan tangan kanan. Demam (-)
O : HD stabil.
Tampak luka tertutup perban. Darah (-), pus (-)
Kepala: Flame burn (+) grade IIa-b 4%
T/H/M: dbn/dbn/ edema (+) pada bibir
Leher: Flame burn (+) grade IIa-b 1%
Thoraks: Flame burn (+) grade IIa-b 6,5 %, bula(+)
Ekstremitas: Flame burn (+) grade IIa-b 2%
A : Post debridement a/i flame burn 13,5% grade IIa-b o/t face, neck,
chest, (R) arm (H2)
P : -IVFD D5% NaCl 0,45% + D40%
-Inj.Ceftriaxon 1gr/12 jam/IV
-Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
-Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam
-Diet MBTKTP 1300 kkal ekstra putih telur

45

17/3/2015 S : Luka bakar pada wajah, leher, dada, dan tangan kanan. Demam (-)
O : HD stabil.
Tampak luka tertutup perban. Darah (-), pus (-)
Kepala: Flame burn (+) grade IIa-b 4%
T/H/M: dbn/dbn/ edema (+) pada bibir
Leher: Flame burn (+) grade IIa-b 1%
Thoraks: Flame burn (+) grade IIa-b 6,5 %, bula(+)
Ekstremitas: Flame burn (+) grade IIa-b 2%
A : Post debridement a/i flame burn 13,5% grade IIa-b o/t face, neck,
chest, (R) arm (H3) + Post escharectomy
P : -IVFD D5% NaCl 0,45% + D40%
-Inj.Ceftriaxon 1gr/12 jam/IV
-Inj. Metronidazole MD 225 mg/ 8 jam/IV
-Diet MBTKTP 1300 kkal ekstra putih telur
18/3/2015 S : Luka bakar pada wajah, leher, dada, dan tangan kanan. Demam (-)
O : HD stabil.
Tampak luka tertutup perban. Darah (-), pus (-)
Kepala: Flame burn (+) grade IIa-b 4%
T/H/M: dbn/dbn/ edema (+) pada bibir
Leher: Flame burn (+) grade IIa-b 1%
Thoraks: Flame burn (+) grade IIa-b 6,5 %, bula(+)
Ekstremitas: Flame burn (+) grade IIa-b 2%
A : Post debridement a/i flame burn 13,5% grade IIa-b o/t face, neck,
chest, (R) arm (H4)
P : -IVFD D5% NaCl 0,45% + D40%
-Inj.Ceftriaxon 1gr/12 jam/IV
-Inj. Metronidazole MD 225 mg/ 8 jam/IV
-Diet MBTKTP 1300 kkal ekstra putih telur
Rencana: Susul hasil lab

46

19/3/2015 S : Luka bakar pada wajah, leher, dada, dan tangan kanan. Demam (-)
O : HD stabil.
Tampak luka tertutup perban. Darah (-), pus (-)
Kepala: Flame burn (+) grade IIa-b 4%
T/H/M: dbn/dbn/ edema (+) pada bibir
Leher: Flame burn (+) grade IIa-b 1%
Thoraks: Flame burn (+) grade IIa-b 6,5 %, bula(+)
Ekstremitas: Flame burn (+) grade IIa-b 2%
A : Post debridement a/i flame burn 13,5% grade IIa-b o/t face, neck,
chest, (R) arm (H5)
P : -IVFD D5% NaCl 0,45% + D40%
-Inj.Ceftriaxon 1gr/12 jam/IV
-Inj. Metronidazole MD 225 mg/ 8 jam/IV
-Inj. Ranitidine 50 mg/8 jam (k/p)
-Diet MBTKTP 1300 kkal ekstra putih telur
Hasil Lab:
Hb/Ht/Leu/Plt: 11,50/34,90/9.760/462.000
20/3/2015 S : Luka bakar pada wajah, leher, dada, dan tangan kanan. Demam (-)
O : HD stabil.
Tampak luka tertutup perban. Darah (-), pus (-)
Kepala: Flame burn (+) grade IIa-b 4%
T/H/M: dbn/dbn/ edema (+) pada bibir
Leher: Flame burn (+) grade IIa-b 1%
Thoraks: Flame burn (+) grade IIa-b 6,5 %, bula(+)
Ekstremitas: Flame burn (+) grade IIa-b 2%
A : Post debridement a/i flame burn 13,5% grade IIa-b o/t face, neck,
chest, (R) arm (H6)
P : -IVFD D5% NaCl 0,45% + D40%
-PCT 500 mg (k/p)
-Diet MBTKTP 1300 kkal ekstra putih telur

47

Hasil Laboratorium:
Albumin: 3,5 g/dL

23/3/2015 S : Luka bakar pada wajah, leher, dada, dan tangan kanan. Demam (-)
O : HD stabil.
Tampak luka tertutup perban. Darah (-), pus (-)
Kepala: Flame burn (+) grade IIa-b 4%
T/H/M: dbn/dbn/ edema (+) pada bibir
Leher: Flame burn (+) grade IIa-b 1%
Thoraks: Flame burn (+) grade IIa-b 6,5 %, bula(+)
Ekstremitas: Flame burn (+) grade IIa-b 2%
A : Post debridement a/i flame burn 13,5% grade IIa-b o/t face, neck,
chest, (R) arm (H9)
P : -IVFD D5% NaCl 0,45% + D40%
-PCT 500 mg (k/p)
-Diet MBTKTP 1300 kkal ekstra putih telur
Hasil Laboratorium

48

24/3/2015 S : Luka bakar pada wajah, leher, dada, dan tangan kanan. Demam (-)
O : HD stabil.
Tampak luka tertutup perban. Darah (-), pus (-)
Kepala: Flame burn (+) grade IIa-b 4%
T/H/M: dbn/dbn/ edema (+) pada bibir
Leher: Flame burn (+) grade IIa-b 1%
Thoraks: Flame burn (+) grade IIa-b 6,5 %, bula(+)
Ekstremitas: Flame burn (+) grade IIa-b 2%
A : Post debridement a/i flame burn 13,5% grade IIa-b o/t face, neck,
chest, (R) arm (H10)
P : -IVFD D5% NaCl 0,45% + D40%
-PCT 500 mg (k/p)
-Diet MBTKTP 1300 kkal ekstra putih telur
Rencana substitusi natrium
(135-133) x 0,6 x 85 + 2 x 85 = 272 mEq = 2 fl NaCl 0.9%
25/3/2015 S : Luka bakar pada wajah, leher, dada, dan tangan kanan. Demam (-)
O : HD stabil.
Tampak luka tertutup perban. Darah (-), pus (-)
Kepala: Flame burn (+) grade IIa-b 4%
T/H/M: dbn/dbn/ edema (+) pada bibir
Leher: Flame burn (+) grade IIa-b 1%
Thoraks: Flame burn (+) grade IIa-b 6,5 %, bula(+)
Ekstremitas: Flame burn (+) grade IIa-b 2%
A : Post debridement a/i flame burn 13,5% grade IIa-b o/t face, neck,
chest, (R) arm (H11)
P : -IVFD D5% NaCl 0,45% + D40%
-PCT 500 mg (k/p)
-Diet MBTKTP 1300 kkal ekstra putih telur

BAB IV
KESIMPULAN

49

Seorang bayi laki-laki, usia 6 hari, datang dengan keluhan perut


membesar yang dialami o.s sejak usia 2 hari, di mana perut o.s semakin lama
semakin membesar disertai dengan keluhan sulit BAB yang harus dibantu dengan
potongan sabun. Muntah juga dialami o.s saat usia 5 hari dengan frekuensi 1x, isi
muntah berupa sisa susu. Saat ini o.s menangis kuat,, mengisap kuat, dan gerakan
aktif. BAB pertama keluar lebih dari 24 jam setelah lahir. Tiga hari yang lalu o.s
pernah dirawat di RSUP HAM dengan keluhan yang sama selama 2 hari, namun
keluarga o.s minta pulang atas permintaan sendiri dengan riwayat penggunaan
obat tidak jelas. Saat ini o.s dilakukan tindakan pemeriksaaan laboratorium, foto
polos abdomen, barium enema, barium retensi, dan kolonoskopi.

50

DAFTAR PUSTAKA
1. Azila Aidawati Bt Hazwan, Radus Pakadang, Amir, BAB 1 dalam:
Hirschsprungs

Disease.

Bagian

Radiologi

Fakultas

Kedokteran

Universitas Hasanuddin.
2. Samuel Nurko MD, MPH, Hirschprung Disease dalam; American Motility
Society (AMS) and the International Foundation For Functional
Gastrointestinal Disorders (IFFGD)
3.

Nur Rahmat Wibowo, Hermanto, BAB 1 dalam: Hirschsprungs Disease.


Bagian SMF Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Tanjung Pura.

4. Sherwood., Lauralee., 2010. Fundamentals of Human Physiology 4th


edition. Brooks-Cole:USA.
5. Junquiera, Luiz Carlos., & Jose, Carneiro. Basic Histology Text and Atlas
11th Edition. Mc Graw Hill : Philadelphia.
6. Martini, Frederic H., Judi, Nath., & Edwin, Bartholomew. Martini :
Fundamentals of Anatomy & Physiology 9th Edition.
7. Warner B.W. 2004. Chapter 70 Pedriatric Surgery in Towsend Sabiston
Textbook Of Surgery. 17th ed. Elveiser-Saunders. Philadelphia. Page 21132114
8. University of Michigan Pedriatric Surgery. Hirschprungs disease.
[Online].2005.[Cited:

23

February

2015].

Available

from

URL:

http://surgery.med.umich.edu/pedriatric/clinical/physician _content/
9. Netter F interactive atlas of clinical anatomy. Icon learning System All
Right reserved;2003.
10. Sherwood L. Usus besar. Dalam: FIsiologi Manusia daro sel ke SIstem.
Edisi 2. Jakarta: EGC; 2000. Hal. 582
11. Holschneider A., Ure B.M., 2000. Chapter 34 Hirschsprungs Disease in:
Aschaft Pediatric Surgery 3rd ed W.B Saunders Company. Philadelphia.
page 453-468

51

12. Kartono D. Penyakit Hirschsprung: Perbandingan Prosedur Swenson dan


Duhamel Modifikasi. Disertasi. Pascasarjana FKUI.1993.
13. Pasumarthy L, Srour JW. Hisrschprungs Disease: A Case to Remember.
Practical Gastroenterology. 2008: 42-45.
14. Nurko SMD. Hirschsprungs Disease. Center for Motility and Functional
Gastrointestinal Disorder.2007.
15. Irawan, B., Pengamatan fungsi anorektal pada penderita penyakit
Hirschprung pasca operasi pull- through. Bagian Ilmu Bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2003:1-15.
16. Abbas, K.,

and Mitchell, F., Developmental Anomalies. In Robin

Pathologic Basis of Disease 8th Edition. 2005:601.


17. Neville, H.L.,

Penyakit Hirschprung. Pediatric, updated on July 13,

2010. Assess in www.emedicine.com.


18. Corman, L., Lippincott Williams and Wilkins. Ed. 5. 2005: 559-560.
19. William, E., Brant, E., Helms, C.A., Pediatric Abdomen and Pelvis
Fundamentals of Diagnostic. Pediatric Radiology. Ed.3.
20. Kessman JMD. Hirschsprungs Disease: Diagnosis and Management.
American Family Physician. 2006;74:1319-1322.
21. Brunicardi, F. Charles et al., 2014. Schwartzs Principles of Surgery 10th
Edition. Mc Graw Hill : Philadelphia.
22. Badash, M., Hirschsprungs Disease. EBSCO Publishing. 2011 : 1- 4.
23. Holschneider A., Ure B.M., 2000. Chapter 34 Hirschsprungs Disease in:
Ashcraft Pediatric Surgery 3rd edition W.B. Saunders Company.
Philadelphia. page 453-468.
24. T.W Sadler, 1995, Langmans Medical Embryology 6 th Ed. United Stated
Of America: William & Willkins

Anda mungkin juga menyukai