BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Penyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan bawaan berupa aganglionik
usus, mulai dari spinkter ani interna ke arah proksimal dengan panjang yang
bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum
dengan gejala klinis berupa gangguan pasase usus.
Pasien dengan penyakit Hirschprung ini pertama kali di laporkan pada tahun
1691 oleh Frederick Ruysch, tetapi Harald Hirschsprung baru mempublikasikan
penyakit ini pada tahun 1886 dengan deskripsi megakolon kongenital. Awalnya,
patofisiologi dari penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga tahun 1938,
dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai
pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian usus akibat
defisiensi ganglion.2
Pada tahun 1888, Hirschsprung melaporkan dua kasus bayi meninggal dengan
perut yang kembung akibat kolon yang sangat melebar dan penuh massa feses.
Penyakit ini disebut megakolon kongenitum dan merupakan kelainan yang
tersering dijumpai sebagai penyebab obstruksi usus pada neonatus.3
Penyakit Hirschsprung terjadi pada satu dari 5000 kelahiran hidup, Insidensi
penyakit Hirschsprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1
diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan
tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi
dengan penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit
Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto Mangunkusomo
Jakarta.
Kelainan pada penyakit ini biasanya ditemukan mulai dari bagian distal kolon
yaitu di peralihan antara usus dengan anus. Panjang dari bagian segmen yang
tidak mempunyai sel ganglion (aganglionik) itu biasanya berbeda-beda ; 75%
pasien terbatas pada bagian rektum dan sigmoid, 8% pasien mengalami segmen
aganglionik pada seluruh bagian kolon, dan jarang melibatkan usus kecil.
Setelah muncul penemuan kelainan histologik pada penyakit ini, barulah
ditemukan teknik operasi yang rasional untuk penyakit ini.
Mortalitas dari kondisi ini dalam beberapa dekade ini dapat dikurangi dengan
peningkatan dalam diagnosis, perawatan intensif neonatus, tekhnik pembedahan
dan diagnosis dan penatalaksanaan dengan enterokolitis.
1.2.
Rumusan Masalah
Laporan kasus ini membahas definisi, etiologi, epidemiologi, anatomi,
Tujuan Penulisan
a. Memahami definisi, etiologi, epidemiologi, anatomi, patofisiologi,
manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan, teknik pembedahan, dan
komplikasi penyakit Hirschsprung.
b. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran.
c. Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan Program Pendidikan Pofesi
Dokter (P3D) di Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara RSUP Haji Adam Malik Medan.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
tiga bagian yaitu, pars ascendens, pars transversus, dan pars descendens. Bagian
akhir dari kolon pars descendens adalah sigmoid yang membentuk huruf S,
kemudian lanjut menjadi bagian yang lurus yaitu rektum. 4
longitudinal. Lapisan muskular juga terdiri dari pleksus Auerbach yang berada
diantara dua lapisan sirkular dan longitudinal. Sementara lapisan serosa terdiri
dari jaringan ikat longgar, pembuluh darah, pembuluh limfe, juga lapisan
squamous cell.5
Embriologi Kolon
Dalam perkembangan embriologi normal, sel-sel neuro enterik bermigrasi
2.3.
disebut sebagai refleks gastrokolik yang diperantarai oleh gastrin dan persarafan
autonomik. Refleks gastroenterik dan refleks gastroileal akan mentransfer material
dari sekum ketika makan. Pergerakan dari sekum ke kolon transversus sangat
lambat, sehingga material yang terdiri dari banyak cairan akan diubah menjadi
lebih padat karena absorpsi air. Gelombang peristaltik di usus akan memindahkan
isi di sepanjang usus. 8
Kontraksi peristalsis yang cukup kuat akan muncul beberapa kali sehari.
Kontraksi ini akan memindahkan material dari kolon transversus ke bagian usus
besar selanjutnya. Stimulus berasal dari lambung dan usus, yang akan di
hantarkan ke pleksus saraf. Kontraksi tersebut akan memaksa feses untuk masuk
ke rektum dan menghasilkan keinginan untuk defekasi.8
Rektum biasanya dalam keadaan kosong, kecuali adanya kontraksi peristalsis
yang cukup kuat untuk memindahkan feses dari kolon sigmoid ke rektum.
Peregangan dinding rektum akan menghasilkan refleks defekasi. Refleks ini akan
menghasilkan dua umpan balik positif. Reseptor peregangan rektum akan memicu
kontrol defekasi yang dapat disadari. Refleks pertama dimediasi oleh inervasi
parasimpatis di pelvis. Refleks ini akan menyebabkan relaksasi sfingter anal
internal. Otot polos sfingter akan mengontrol pergerakan feses ke kanal anal.
Refleks kedua adalah refleks somatis yang memicu kontraksi segera dari sfingter
anal eksterna. N. Pudenda akan membawa perintah motorik.8
Kedua sfingter anal interna dan eksterna harus berelaksasi agar feses dapat
dikeluarkan. Tetapi, kedua refleks membuka sfingter internal namun menutup
sfingter eksternal. Pengeluaran feses harus dalam keadaan yang disadari untuk
membuka sfingter eksternal. Aktivitas lainnya yang dapat membantu pengeluaran
feses melalui peningkatan tekanan intraabdomen, seperti mengedan. Keinginan
untuk mengeluarkan feses muncul ketika tekanan di rektum mencapai 15 mmHg.
Jika tekanan ini melebihi 55 mmHg, sfingter anal eksternal akan relakasi secara
tidak sadar sehingga terjadi defekasi. Mekanisme ini muncul pada bayi dan pada
pasien dengan kerusakan medulla spinalis. 8
2.4.
2.5.
2.6. Epidemiologi
Penyakit Hirschsprungs dapat terjadi dalam 1:5000 kelahiran. Risiko tertinggi
terjadinya penyakit Hirschsprungs biasanya pada pasien yang mempunyai riwayat
keluarga dengan Hirschsprungs dan pasien yang menderita Sindrom Down.
Daerah Rektosigmoid paling sering terkena sekitar 75% kasus, fleksura lienalis
atau transversum pada 17 kasus.9
Anak kembar dan adanya riwayat keturunan meningkatkan risiko terjadinya
Penyakit Hirschsprung. Laporan insidensi tersebut bervariasi sebesar 1,5-17%
dengan 130 kali lebih tinggi pada anak laki-laki dan 360 kali lebih tingi pada anak
perempuan. Penyakit Hirschsprungs lebih sering diturunkan oleh ibu yang
aganglionosis dibanding ayah. Sebanyak 12.5% dari kembaran pasien mengalami
aganglionosis total pada kolon ( sindrom Zuelzer-Wilson). Salah satu laporan
Klasifikasi
Hirschsprung dikategorikan berdasarkan seberapa banyak colon yang
2.8.
Patogenesis
10
Kelainan pada penyakit ini berhubungan dengan spasme pada kolon distal dan
spfingter anus interna sehingga terjadi obstruksi. Sehingga pada bagian abnormal
akan mengalami kontraksi di segmen bagian distal, sedangkan bagian yang
normal akan mengalami dilatasi di bagian proksimalnya. 6 Dasar patofisologi
penyakit Hirschcprungs adalah tidak adanya
Gejala Klinis
Pada bayi yang baru lahir biasanya terjadi keterlambatan pengeluaran
mekonium pertama, diikuti dengan distensi abdomen, dan muntah berwarna hijau.
Pada bayi normal, mekonium akan keluar dalam usia 24 jam pertama, namun pada
penyakit Hirschcprungs, mekonium keluar setelah 24 jam. Mekonium normalnya
berwarna hitam kehijauan, sedikit lengket dan dalam jumlah yang cukup. Diare
dapat menunjukkan adanya suatu enterokolitis.17,13
Pada anak yang lebih besar, dapat mengalami kesulitan makan, distensi
abdomen kronis, dan adanya riwayat konstipasi. Gejala penyerta lain seperti
11
tanda-tanda
Pemeriksaan Penunjang
12
Gambar 2.5. Pemeriksaan barium enema menunjukkan zona transisi. Zona ini
merupakan transisi dari dilatasi usus yang biasanya diinervasi normal. 18
13
Gambar 2.7. Zona transisi yang khas, tampak dilatasi di antara kolon yang terisi
massa feses dibagian atas dan rektum yang relatif menyempit di bagian bawah. 20
Gambar 2.8. Rektum pada bayi baru lahir ini kelihatan lebih kecil dari sigmoid
dan kolon descendens, tetapi tidak terdapat zona transisi yang jelas. 20
14
Gambar 2.9. Pemeriksaan dengan kontras (barium enema) pada bayi lainnya
menunjukkan segmen aganglionik yang ireguler dan mengalami spasme. 20
Gambar 2.10. Tampak penyempitan dibagian rektum dan sigmoid pada foto
barium enema sisi lateral20
Semakin lanjut usia pasien saat terdeteksi penyakit ini, maka semakin jelas
perbedaan yang tampak antara usus yang normal dan abnormal19
15
Gambar 2.11.. Pemeriksaan barium enema pada bayi baru lahir dengan penyakit
Hirschsprung. Biasanya perubahan klasik dari penyakit ini tidak begitu jelas pada
periode neonatal.20
16
Gambar 2.13. Pemeriksaan barium enema pada seorang pria muda dengan
penyakit Hirschsprung tipe segmen pendek. Pria ini mengalami konstipasi kronis
yang berlangsung sepanjang hidupnya. Perhatikan adanya dilatasi usus besar dan
residu feses. 20
17
18
19
Gambar 2.17. Pemeriksaan double kontras barium enema tampak dilatasi bagian
atas dari rektum dan rectosigmoid junction yang terisi massa feses (pada anak
panah).17
Gambar 2.18. Foto CT scan dengan kontras potongan transversal tampak dilatasi
bagian proksimal rektum serta bagian rektosigmoid yang terisi massa feses. 17
20
Gambar 2.19. Foto CT scan kontras potongan transversal. Tampak zona transisi
dan penyempitan di bagian distal rektum.18
c. Pemeriksaan lainnya
Laboratorium Studi
CBC count: Tes ini dilakukan untuk mendeteksi terjadinya komplikasi
seperti enterokolitis yang disebabkan oleh penyakit Hirschsprung. Peningkatan
WBC count atau bandemia harus dicurigai terjadinya enterokolitis.18
Anorektal manometri
Gejala yang ditemukan adalah kegagalan relaksasi sfingter ani interna
ketika ekttum dilebarkan dengan balon. Keuntungan metode ini adalah bisa segera
dilakukan dan pasien dapat cepat pulang karena tidak dilakukan anestesi umum.
Metode ini lebih serig dilakukan pada pasien yang lebih besar dibandingkan pada
neonatus. Pada anak berusia lebih lanjut dengan keluhan sembelit kronis dan
riwayat atipikal baik untuk penyakit Hirschsprung atau konstipasi fungsional,
manometri anorektal dapat membantu dalam membuat diagnosis. Anak-anak
dengan penyakit Hirschsprung gagal untuk menunjukkan refleks relaksasi pada
spinkter ani interna dalam menanggapi inflasi balon dubur. 18
21
Biopsi rektum
Biopsi rektum merupakan tes yang paling akurat untuk mendeteksi
Diagnosis Banding
22
syndrome
Malarotation with volvulus
Incarcerated hernia
Jejunoileal atresia
Colonic atresia
Intestinal duplication
Intussusceptions
NEC
Obstruksi fungsional
Sepsis
Intracranial hemorrhage
Hypothyroidism
Maternal drug ingestion or
addiction
Adrenal hemorrhage
Hypermagnesemia
Hypokalemia
2.12. Penatalaksanaan
2.12.1. Non Pembedahan
Ketika diagnosis penyakit Hirschsprung disangkakan maka pasien
ditangani sebagai pasien obstruksi. Sesegera mungkin pasien dipuasakan dan
dilakukan dekompresi dengan memasang selang NGT dan kateter urin. IV line
dipasang untuk memastikan rehidrasi yang cukup dan antibiotik empiris sistemik
diberikan, lalu dilakukan rectal washing sebanyak 10 kg/BB21
2.12.2. Pembedahan
Penyakit Hirschsprungs memerlukan tindakan pembedahan sebagai
tatalaksana definitif pada semua kasus. Pendekatan pembedahan klasik terdiri dari
prosedur yang bertingkat. Ini termasuk pembuatan kolostomi pada neonatus,
diikuti dengan pembedahan definitif setelah berat anak >10 kg. Ada tiga prosedur
pembedahan pull-through yang saat ini digunakan. Untuk masing masing
operasi yang dilakukan, prinsip tatalaksana pada pembedahan adalah memastikan
23
lokasi dari usus dimana transisi antara usus berganglion dengan yang tak
berganglion terletak, reseksi segmen tak berganglion dari usus, dan melakukan
anastomosis dari usus berganglion ke anus ataupun ke selubung rektum.21
Sekarang sudah sepenuhnya diketahui bahwa operasi pull through dapat
dilakukan secara aman, bahkan pada periode neonatus. Pendekatan ini mengikuti
prinsip yang sama seperti pembedahan bertingkat dan menghindarkan pasien dari
pembedahan tambahan. Beberapa ahli bedah melakukan diseksi intra abdominal
menggunakan laparoskop. Pendekatan ini terutama berguna pada pembedahan
dengan pasien neonatus, karena memberikan visualisasi yang sangat baik pada
pelvis. Pada anak dengan distensi abdomen yang signifikan, dapat dilakukan
kolostomi untuk dekompresi.21
Dari ketiga prosedur operasi pull through yang dilakukan pada penyakit
Hirschsprungs, yang pertama adalah prosedur Swenson. Pada operasi ini, rektum
aganglion di diseksi dari pelvis dan dikeluarkan melalui anus. Kolon berganglion
kemudian disambungkan ke anus melalui pendekatan perineal. Prosedur kedua
adalah prosedur Duhamel, diseksi di luar rektum dibatasi pada ruang retrorektal,
dan kolon berganglion disambungkan secara posterior tepat di atas anus. Dinding
anterior pada kolon berganglion dan dinding posterior dari rektum aganglion
disambungkan menggunakan stapler. Meskipun kedua prosedur ini terbukti sangat
efektif, prosedur ini memiliki potensi untuk terjadi kerusakan pada syaraf
parasimpatik yang berada di sekitar rektum. Untuk menghindari masalah potensial
ini. Prosedur ketiga adalah prosedur Soave yang dikerjakan dengan mendiseksi
mukosa rektum secara keseluruhan dan kolon berganglion ditarik melewati
selubung muskular ini dan disambungkan pada anus.21
Pada semua kasus, sangat penting untuk memastikan lokasi usus
berganglion. Kebanyakan ahli bedah percaya bahwa anastomosis harus dilakukan
sekurangnya 5 cm dari titik dimana usus berganglion ditemukan. Hal ini
mencegah dari melakukan operasi pull through pada zona transisi, yang
24
25
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Fahmi
Gender
: Laki-laki
Umur
: 6 hari
MR
: 00.63.54.31
Ruangan
: RB4-Perinatologi
Tanggal masuk
: 4 Maret 2015
26
II. ANAMNESIS
Keluhan utama: Perut membesar
Telaah :
-
Hal ini dialami o.s sejak usia 2 hari, di mana perut o.s semakin
membesar. Sulit BAB (+) dan harus dibantu dengan potongan sabun.
Muntah dialami o.s saat usia 5 hari dengan frekuensi 1x, isi muntah
berupa sisa susu.
Saat ini o.s menangis kuat, mengisap kuat, dan gerak aktif.
Tiga hari yang lalu o.s pernah dirawat di RSUP HAM dengan keluhan
yang sama selama 2 hari, namun keluarga o.s minta pulang atas
permintaan sendiri.
RPT
: Tidak ada
RPO
: Tidak jelas
Riwayat Kehamilan : o.s anak ke-2, cukup bulan, riwayat ibu menderita
hipertensi (-), DM (-) dan demam saat hamil (-). ANC ke bidan.
Riwayat Kelahiran: o.s lahir secara SC atas indikasi letak lintang, BBL 3200
gram, segera menangis, biru (-).
III. STATUS PRESENS
Sensorium
: Compos Mentis
Tekanan Darah
: 120/80 mmHg
Temperatur
: 36,8oC
Nadi
: 100x/i
Pernafasan
: 22x/i
27
Mata
T/H/M
Leher
Toraks
Inspeksi
Perkusi
Palpasi
: soepel
Perkusi
: timpani
: oedem (-), tidak ada kelainan, pols 120x/menit, reg, T/V cukup,
akral hangat, CRT < 3
Inferior
V. Pemeriksaan Penunjang
Hasil Laboratorium 4 Maret 2015 di RSUP H. Adam Malik
WBC
RBC
Hb
Ht
Trombosit
Albumin
23.22 x 103/mm3
3.78 x 106/mm3
13.30 g%
39.30 %
335 x 103/ mm3
Faal Hati
3.9 g/dl (3,5-5,3)
Metabolism Karbohidrat
28
14
34.3
Kontrol
TT: Pasien
34.7
16.5
Kontrol
14
29
Pedicel intact
30
31
Foto BNO
32
Follow Up Pasien
26/2/2015 S : Luka bakar pada wajah, leher, dada, dan tangan kanan. Demam (-)
O : Sens: E4VETT M6, TD: 120/70 mmHg, HR: 128 x/menit, RR: 20
x/menit (terintubasi), Temp: 36,8 0C,
Kepala: Flame burn (+) grade IIa-b 4%
T/H/M: dbn/dbn/ edema (+) pada bibir
Leher: Flame burn (+) grade IIa-b 1%
Thoraks: Flame burn (+) grade IIa-b 6,5 %, bula (+)
Ekstremitas: Flame burn (+) grade IIa-b 2%
A : Post debridement a/I flame burn 13,5% grade IIa-b o/t face, neck,
chest, (R) arm
P : -Terintubasi dengan ETT No.6,5 cuffed at lip 26 cm terpasang
dengan T piece 5L/i
-IVFD RL 20 gtt/menit
-Fentanyl 200 mcg/50 cc NaCl 0,9% = 3cc/jam
-Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
-Inj Cefotaxime 1 gr/12 jam
33
27/2/2015 S : Luka bakar pada wajah, leher, dada, dan tangan kanan. Demam (-)
O : Sens: E4VETT M6, TD: 100/60 mmHg, HR: 92 x/menit, RR: 16
x/menit (terintubasi), Temp: 37,1 0C,
Kepala: Flame burn (+) grade IIa-b 4%
T/H/M: dbn/dbn/ edema (+) pada bibir
Leher: Flame burn (+) grade IIa-b 1%
Thoraks: Flame burn (+) grade IIa-b 6,5 %, bula(+)
Ekstremitas: Flame burn (+) grade IIa-b 2%
A : Post debridement a/I flame burn 13,5% grade IIa-b o/t face, neck,
chest, (R) arm
P :-Terintubasi dengan ETT No.6,5 cuffed at lip 26 cm terpasang
dengan T piece 5L/i
-IVFD D5% NaCl 0,45% (430 cc) + D40% (70cc) + KCl 10 mEq
+ Ca glukonas 10 cc = 42 cc/jam
-Inj Ceftriaxon 1gr/12 jam/IV (H2)
-Inj. Ranitidine 30 mg/8 jam/IV
-Fentanyl 200 mcg/50 cc NaCl 0,9% = 3,75cc/jam
-Inj. Midazolam 90 mcg dalam 50 cc NaCl 0,9% = 1 mcg/kgBB/i
-Diet SV Ensure 100 cc/3 jam/NGT + putih telur 2 butir
-Plasmanat 5% 200 cc = 8,3 cc/jam
Rencana:
Transfusi PRC = (12-9,1) x 30 x 4 = 348 cc = 175 cc/12 jam
Substitusi albumin = (3-2,4) x 30 x 0,8 = 14,4 mg. Albumin 20% 72
cc
Konsul anestesi untuk pemasangan CVC
34
Hasil laboratorium:
Hb/Ht/Leu/Plt: 9,10/27,50/10.550/268.000
PT/INR/aPTT/TT: 13,9(13,6)/1,02/ 23,8(35,5)/19,5(17,5)
Fibrinogen/D-dimer: 354/832
pH/PCO2/pO2/HCO3/Total CO2/BE/Sat O2:
7,413/40,8/159,8/22,5/26,8/0,9/99,4
SGOT/SGPT/ALP/Albumin: 24/12/104/3,1
KGD puasa: 149,2 mg/Dl
Kolesterol total/ Trigliserida/HDL/LDL: 106/126/23/55
Ur/Cr: 38,50/0,50
Asam urat: 5,5 mg/dL
Ca/Na/K/P/Cl/Mg: 8,2/137/4,3/2,9/106/2,17
Asam laktat, arteri: 0,8 mmol/L
CRP kualitatif: positif
Procalcitonin: 2,00
Urinalisis
Warna: kuning jernih
Glukosa: negatif
Bilirubin: negatif
Keton: negatif
Berat jenis: 1,020
pH: 6,0
Protein: negatif
Urobilinogen: positif
Nitrit: negatif
Leukosit: negatif
Darah: negatif
Sedimen urine:
Eritrosit/leukosit/epitel/casts/kristal/lain-lain: 0-1/0-1/0-1/(-)/(-)/yeast
(+)
35
28/2/2015 S : Luka bakar pada wajah, leher, dada, dan tangan kanan. Demam (-)
O : Sens: E4VETT M6, TD: 100/60 mmHg, HR: 89 x/menit, RR: 16
x/menit (terintubasi), Temp: 36, 30C,
Kepala: Flame burn (+) grade IIa-b 4%
T/H/M: dbn/dbn/ edema (+) pada bibir
Leher: Flame burn (+) grade IIa-b 1%
Thoraks: Flame burn (+) grade IIa-b 6,5 %, bula(+)
Ekstremitas: Flame burn (+) grade IIa-b 2%
A : Post debridement a/I flame burn 13,5% grade IIa-b o/t face, neck,
chest, (R) arm
P :-Terintubasi dengan ETT No.6,5 cuffed at lip 26 cm terpasang
dengan T piece 5L/i
-IVFD D5% NaCl 0,45% (430 cc) + D40% (70cc) + KCl 10 mEq
+ Ca glukonas 10 cc = 42 cc/jam
-Inj Ceftriaxon 1gr/12 jam/IV (H3)
-Inj. Ranitidine 30 mg/8 jam/IV
-Fentanyl 200 mcg/50 cc NaCl 0,9% = 3,75cc/jam
-Diet SV Ensure 100 cc/3 jam/NGT + putih telur 2 butir
-Plasmanat 5% 200 cc = 8,3 cc/jam
-Transfusi PRC 150 cc
1/3/2015 S : Luka bakar pada wajah, leher, dada, dan tangan kanan. Demam (-)
O : Sens: E4VETT M6, TD: 110/60 mmHg, HR: 90 x/menit, RR: 20
x/menit (terintubasi), Temp: 37,2 0C,
Kepala: Flame burn (+) grade IIa-b 4%
T/H/M: dbn/dbn/ edema (+) pada bibir
Leher: Flame burn (+) grade IIa-b 1%
Thoraks: Flame burn (+) grade IIa-b 6,5 %, bula(+)
36
37
3/3/2015
S : Luka bakar pada wajah, leher, dada, dan tangan kanan. Demam (-)
O : Sens: E4VETT M6, TD: 100/60 mmHg, HR: 84 x/menit, RR: 20
x/menit (terintubasi), Temp: 37, 4 0C,
Kepala: Flame burn (+) grade IIa-b 4%
T/H/M: dbn/dbn/ edema (+) pada bibir
Leher: Flame burn (+) grade IIa-b 1%
Thoraks: Flame burn (+) grade IIa-b 6,5 %, bula(+)
Ekstremitas: Flame burn (+) grade IIa-b 2%
A : Post debridement a/I flame burn 13,5% grade IIa-b o/t face, neck,
chest, (R) arm
P : -O2 nasal kanul 2-4 L/i
-IVFD D5% NaCl 0,45% (430 cc) + D40% (70cc) + KCl 10 mEq
+ Ca glukonas 10 cc = 62 cc/jam
-Inj Ceftriaxon 1gr/12 jam/IV (H6)
-Inj. Ranitidine 30 mg/8 jam/IV
-Inj. Ketorolac 10 mg/ 8 jam/IV
-Diet Pediasure 170 cc/4 jam/NGT + putih telur 3 butir
38
4/3/2015
S : Luka bakar pada wajah, leher, dada, dan tangan kanan. Demam (-)
O : Sens: E4V5 M6, TD: 110/60 mmHg, HR: 90 x/menit, RR: 20
x/menit (terintubasi), Temp: 37, 4 0C, UOP 4,1 cc/kgBB/6 jam
Kepala: Flame burn (+) grade IIa-b 4%
T/H/M: dbn/dbn/ edema (+) pada bibir
Leher: Flame burn (+) grade IIa-b 1%
Thoraks: Flame burn (+) grade IIa-b 6,5 %, bula(+)
Ekstremitas: Flame burn (+) grade IIa-b 2%
A : Post debridement a/I flame burn 13,5% grade IIa-b o/t face, neck,
chest, (R) arm
P : -O2 nasal kanul 2-4 L/i
-IVFD D5% NaCl 0,45% (430 cc) + D40% (70cc) + KCl 10 mEq
+ Ca glukonas 10 cc = 62 cc/jam
-Inj Ceftriaxon 1gr/12 jam/IV (H6)
-Inj. Metronidazole MD 225 mg/ 8 jam/IV
-Inj. Ranitidine 30 mg/8 jam/IV
-Inj. Ketorolac 10 mg/ 8 jam/IV
-Diet Pediasure 170 cc/4 jam/NGT + putih telur 3 butir
39
40
S : Luka bakar pada wajah, leher, dada, dan tangan kanan. Demam (-)
O : Sens: E4V5 M6, TD: 110/60 mmHg, HR: 86 x/menit, RR: 20
x/menit, Temp: 37, 4 0C, UOP 4,1 cc/kgBB/6 jam
Kepala: Flame burn (+) grade IIa-b 4%
T/H/M: dbn/dbn/ edema (+) pada bibir
Leher: Flame burn (+) grade IIa-b 1%
Thoraks: Flame burn (+) grade IIa-b 6,5 %, bula(+)
Ekstremitas: Flame burn (+) grade IIa-b 2%
A : Post debridement + Escharectomy a/i flame burn 13,5% grade IIab o/t face, neck, chest, (R) arm
P : -IVFD D5% NaCl 0,45% + D40%
-Inj.Ceftriaxon 1gr/12 jam/IV
-Inj.Plasmanat 8cc/jam
-Inj. Metronidazole MD 225 mg/ 8 jam/IV
41
7/3/2015
S : Luka bakar pada wajah, leher, dada, dan tangan kanan. Demam (-)
O : HD stabil
Kepala: Flame burn (+) grade IIa-b 4%
T/H/M: dbn/dbn/ edema (+) pada bibir
Leher: Flame burn (+) grade IIa-b 1%
Thoraks: Flame burn (+) grade IIa-b 6,5 %, bula(+)
Ekstremitas: Flame burn (+) grade IIa-b 2%
A : Post debridement + Escharectomy a/i flame burn 13,5% grade IIab o/t face, neck, chest, (R) arm
P : -IVFD D5% NaCl 0,45% + D40%
-Inj.Ceftriaxon 1gr/12 jam/IV
-Inj.Plasmanat 8cc/jam
-Inj. Metronidazole MD 225 mg/ 8 jam/IV
8/3/2015
S : Luka bakar pada wajah, leher, dada, dan tangan kanan. Demam (-)
O : HD stabil
Tampak luka tertutup perban. Pus (-). Darah (-)
Kepala: Flame burn (+) grade IIa-b 4%
T/H/M: dbn/dbn/ edema (+) pada bibir
Leher: Flame burn (+) grade IIa-b 1%
Thoraks: Flame burn (+) grade IIa-b 6,5 %, bula(+)
Ekstremitas: Flame burn (+) grade IIa-b 2%
A : Post debridement + Escharectomy a/i flame burn 13,5% grade IIab o/t face, neck, chest, (R) arm
P : -IVFD D5% NaCl 0,45% + D40%
-Inj.Ceftriaxon 1gr/12 jam/IV
-Inj.Plasmanat 8cc/jam
-Inj. Metronidazole MD 225 mg/ 8 jam/IV
42
9/3/2015
S : Luka bakar pada wajah, leher, dada, dan tangan kanan. Demam (-)
O : HD stabil.
Tampak luka tertutup perban. Darah (-), pus (-)
Kepala: Flame burn (+) grade IIa-b 4%
T/H/M: dbn/dbn/ edema (+) pada bibir
Leher: Flame burn (+) grade IIa-b 1%
Thoraks: Flame burn (+) grade IIa-b 6,5 %, bula(+)
Ekstremitas: Flame burn (+) grade IIa-b 2%
A : Post debridement + Escharectomy a/i flame burn 13,5% grade IIab o/t face, neck, chest, (R) arm
P : -IVFD D5% NaCl 0,45% + D40%
-Inj.Ceftriaxon 1gr/12 jam/IV
-Inj. Metronidazole MD 225 mg/ 8 jam/IV
-Diet MBTKTP 1300 kkal ekstra putih telur
Hasil Lab:
Hb/Ht/Leu/Plt: 12,20/36,40/15.060/357.000
Albumin: 3,4 g/dL
Na/K/Cl: 132/3,9/104
43
14/3/2015 S : Luka bakar pada wajah, leher, dada, dan tangan kanan. Demam (-)
O : HD stabil.
Tampak luka tertutup perban. Darah (-), pus (-)
Kepala: Flame burn (+) grade IIa-b 4%
T/H/M: dbn/dbn/ edema (+) pada bibir
Leher: Flame burn (+) grade IIa-b 1%
Thoraks: Flame burn (+) grade IIa-b 6,5 %, bula(+)
Ekstremitas: Flame burn (+) grade IIa-b 2%
A : Post debridement + Escharectomy a/i flame burn 13,5% grade IIIIIa-b o/t face, neck, chest, (R) arm
P : -IVFD D5% NaCl 0,45% + D40%
-Inj.Ceftriaxon 1gr/12 jam/IV
-Inj. Metronidazole MD 225 mg/ 8 jam/IV
-Diet MBTKTP 1300 kkal ekstra putih telur
Rencana: debridement hari ini
15/3/2015 S : Luka bakar pada wajah, leher, dada, dan tangan kanan. Demam (-)
O : HD stabil.
Tampak luka tertutup perban. Darah (-), pus (-)
Kepala: Flame burn (+) grade IIa-b 4%
T/H/M: dbn/dbn/ edema (+) pada bibir
Leher: Flame burn (+) grade IIa-b 1%
Thoraks: Flame burn (+) grade IIa-b 6,5 %, bula(+)
Ekstremitas: Flame burn (+) grade IIa-b 2%
A : Post debridement a/i flame burn 13,5% grade IIa-b o/t face, neck,
chest, (R) arm (H1)
P : -IVFD D5% NaCl 0,45% + D40%
-Inj.Ceftriaxon 1gr/12 jam/IV
-Inj. Metronidazole MD 225 mg/ 8 jam/IV
-Diet MBTKTP 1300 kkal ekstra putih telur
Hasil Lab:
44
Hb/Ht/Leu/Plt: 9,80/30,10/7.760/484.000
Albumin: 2,8 g/dL
Na/K/Cl: 134/3,4/109
16/3/2015 S : Luka bakar pada wajah, leher, dada, dan tangan kanan. Demam (-)
O : HD stabil.
Tampak luka tertutup perban. Darah (-), pus (-)
Kepala: Flame burn (+) grade IIa-b 4%
T/H/M: dbn/dbn/ edema (+) pada bibir
Leher: Flame burn (+) grade IIa-b 1%
Thoraks: Flame burn (+) grade IIa-b 6,5 %, bula(+)
Ekstremitas: Flame burn (+) grade IIa-b 2%
A : Post debridement a/i flame burn 13,5% grade IIa-b o/t face, neck,
chest, (R) arm (H2)
P : -IVFD D5% NaCl 0,45% + D40%
-Inj.Ceftriaxon 1gr/12 jam/IV
-Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
-Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam
-Diet MBTKTP 1300 kkal ekstra putih telur
45
17/3/2015 S : Luka bakar pada wajah, leher, dada, dan tangan kanan. Demam (-)
O : HD stabil.
Tampak luka tertutup perban. Darah (-), pus (-)
Kepala: Flame burn (+) grade IIa-b 4%
T/H/M: dbn/dbn/ edema (+) pada bibir
Leher: Flame burn (+) grade IIa-b 1%
Thoraks: Flame burn (+) grade IIa-b 6,5 %, bula(+)
Ekstremitas: Flame burn (+) grade IIa-b 2%
A : Post debridement a/i flame burn 13,5% grade IIa-b o/t face, neck,
chest, (R) arm (H3) + Post escharectomy
P : -IVFD D5% NaCl 0,45% + D40%
-Inj.Ceftriaxon 1gr/12 jam/IV
-Inj. Metronidazole MD 225 mg/ 8 jam/IV
-Diet MBTKTP 1300 kkal ekstra putih telur
18/3/2015 S : Luka bakar pada wajah, leher, dada, dan tangan kanan. Demam (-)
O : HD stabil.
Tampak luka tertutup perban. Darah (-), pus (-)
Kepala: Flame burn (+) grade IIa-b 4%
T/H/M: dbn/dbn/ edema (+) pada bibir
Leher: Flame burn (+) grade IIa-b 1%
Thoraks: Flame burn (+) grade IIa-b 6,5 %, bula(+)
Ekstremitas: Flame burn (+) grade IIa-b 2%
A : Post debridement a/i flame burn 13,5% grade IIa-b o/t face, neck,
chest, (R) arm (H4)
P : -IVFD D5% NaCl 0,45% + D40%
-Inj.Ceftriaxon 1gr/12 jam/IV
-Inj. Metronidazole MD 225 mg/ 8 jam/IV
-Diet MBTKTP 1300 kkal ekstra putih telur
Rencana: Susul hasil lab
46
19/3/2015 S : Luka bakar pada wajah, leher, dada, dan tangan kanan. Demam (-)
O : HD stabil.
Tampak luka tertutup perban. Darah (-), pus (-)
Kepala: Flame burn (+) grade IIa-b 4%
T/H/M: dbn/dbn/ edema (+) pada bibir
Leher: Flame burn (+) grade IIa-b 1%
Thoraks: Flame burn (+) grade IIa-b 6,5 %, bula(+)
Ekstremitas: Flame burn (+) grade IIa-b 2%
A : Post debridement a/i flame burn 13,5% grade IIa-b o/t face, neck,
chest, (R) arm (H5)
P : -IVFD D5% NaCl 0,45% + D40%
-Inj.Ceftriaxon 1gr/12 jam/IV
-Inj. Metronidazole MD 225 mg/ 8 jam/IV
-Inj. Ranitidine 50 mg/8 jam (k/p)
-Diet MBTKTP 1300 kkal ekstra putih telur
Hasil Lab:
Hb/Ht/Leu/Plt: 11,50/34,90/9.760/462.000
20/3/2015 S : Luka bakar pada wajah, leher, dada, dan tangan kanan. Demam (-)
O : HD stabil.
Tampak luka tertutup perban. Darah (-), pus (-)
Kepala: Flame burn (+) grade IIa-b 4%
T/H/M: dbn/dbn/ edema (+) pada bibir
Leher: Flame burn (+) grade IIa-b 1%
Thoraks: Flame burn (+) grade IIa-b 6,5 %, bula(+)
Ekstremitas: Flame burn (+) grade IIa-b 2%
A : Post debridement a/i flame burn 13,5% grade IIa-b o/t face, neck,
chest, (R) arm (H6)
P : -IVFD D5% NaCl 0,45% + D40%
-PCT 500 mg (k/p)
-Diet MBTKTP 1300 kkal ekstra putih telur
47
Hasil Laboratorium:
Albumin: 3,5 g/dL
23/3/2015 S : Luka bakar pada wajah, leher, dada, dan tangan kanan. Demam (-)
O : HD stabil.
Tampak luka tertutup perban. Darah (-), pus (-)
Kepala: Flame burn (+) grade IIa-b 4%
T/H/M: dbn/dbn/ edema (+) pada bibir
Leher: Flame burn (+) grade IIa-b 1%
Thoraks: Flame burn (+) grade IIa-b 6,5 %, bula(+)
Ekstremitas: Flame burn (+) grade IIa-b 2%
A : Post debridement a/i flame burn 13,5% grade IIa-b o/t face, neck,
chest, (R) arm (H9)
P : -IVFD D5% NaCl 0,45% + D40%
-PCT 500 mg (k/p)
-Diet MBTKTP 1300 kkal ekstra putih telur
Hasil Laboratorium
48
24/3/2015 S : Luka bakar pada wajah, leher, dada, dan tangan kanan. Demam (-)
O : HD stabil.
Tampak luka tertutup perban. Darah (-), pus (-)
Kepala: Flame burn (+) grade IIa-b 4%
T/H/M: dbn/dbn/ edema (+) pada bibir
Leher: Flame burn (+) grade IIa-b 1%
Thoraks: Flame burn (+) grade IIa-b 6,5 %, bula(+)
Ekstremitas: Flame burn (+) grade IIa-b 2%
A : Post debridement a/i flame burn 13,5% grade IIa-b o/t face, neck,
chest, (R) arm (H10)
P : -IVFD D5% NaCl 0,45% + D40%
-PCT 500 mg (k/p)
-Diet MBTKTP 1300 kkal ekstra putih telur
Rencana substitusi natrium
(135-133) x 0,6 x 85 + 2 x 85 = 272 mEq = 2 fl NaCl 0.9%
25/3/2015 S : Luka bakar pada wajah, leher, dada, dan tangan kanan. Demam (-)
O : HD stabil.
Tampak luka tertutup perban. Darah (-), pus (-)
Kepala: Flame burn (+) grade IIa-b 4%
T/H/M: dbn/dbn/ edema (+) pada bibir
Leher: Flame burn (+) grade IIa-b 1%
Thoraks: Flame burn (+) grade IIa-b 6,5 %, bula(+)
Ekstremitas: Flame burn (+) grade IIa-b 2%
A : Post debridement a/i flame burn 13,5% grade IIa-b o/t face, neck,
chest, (R) arm (H11)
P : -IVFD D5% NaCl 0,45% + D40%
-PCT 500 mg (k/p)
-Diet MBTKTP 1300 kkal ekstra putih telur
BAB IV
KESIMPULAN
49
50
DAFTAR PUSTAKA
1. Azila Aidawati Bt Hazwan, Radus Pakadang, Amir, BAB 1 dalam:
Hirschsprungs
Disease.
Bagian
Radiologi
Fakultas
Kedokteran
Universitas Hasanuddin.
2. Samuel Nurko MD, MPH, Hirschprung Disease dalam; American Motility
Society (AMS) and the International Foundation For Functional
Gastrointestinal Disorders (IFFGD)
3.
23
February
2015].
Available
from
URL:
http://surgery.med.umich.edu/pedriatric/clinical/physician _content/
9. Netter F interactive atlas of clinical anatomy. Icon learning System All
Right reserved;2003.
10. Sherwood L. Usus besar. Dalam: FIsiologi Manusia daro sel ke SIstem.
Edisi 2. Jakarta: EGC; 2000. Hal. 582
11. Holschneider A., Ure B.M., 2000. Chapter 34 Hirschsprungs Disease in:
Aschaft Pediatric Surgery 3rd ed W.B Saunders Company. Philadelphia.
page 453-468
51