Anda di halaman 1dari 26

Penggunaan Problem-based Learning (PBL) Berorientasi Kegiatan Lab untuk

Mencapai Kompetensi Fisika


Oleh: Mara Bangun Harahap*)
Abstrak
Secara umum seorang guru/dosen dikatakan telah selesai mengajar jika telah melaksanakan
pengajaran sesuai jam yang tersedia. Namun, apakah telah tercapai kompetensi? Belum
tentu. Bagaimana menyusun RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang dijamin
secara teori pendidikan akan mencapai kompetensi yang dirumuskan? Dalam makalah ini
diuraikan penggunaan PBL berorientasi kegiatan lab dalam pembelajaran fisika, yang
dijamin dari segi landasaan teori pendidikan akan mencapai kompetensi fisika yang
dirumuskan. Uraian terutama berkaitan dengan kompetensi fisika apa saja yang bisa
dicapai dengan penggunaan PBL, bagaimana merumuskan masalah serta langkah-langkah
pelaksanaan PBL di kelas.
Pendahuluan
Marilah kita simak beberapa hasil penelitian tentang pembelajaran berikut ini. Dahar
(1988:2) berdasarkan hasil penelitiannya mengemukakan bahwa seseorang dapat
mengajar, dan terus mengajar dengan baik tanpa siswa belajar. Pendapat Dahar tersebut
sebenarnya telah dikumandangkan oleh Bodner (1986:873) dengan pernyataan "Teaching
and learning are not synonymous, we can teach, and teach well, without having the
students learn" di Amerika Serikat (AS). Selain itu, dengan nada yang sama, van den Berg
(editor) (1991:17), berdasarkan beberapa hasil penelitian mereka, mengemukakan bahwa
di beberapa SMU, bahkan di beberapa perguruan tinggi di Indonesia, konsepsi peserta
didik tentang konsep konsep ilmu mengandung miskonsepsi.
Berdasarkan pada hasil penelitian ketiga pemerhati pendidikan itu saja, dapat
disimpulkan bahwa pengajaran yang tidak memperhatikan aspek teori pembelajaran tidak
menyebabkan siswa/mahasiswa belajar. Hasil penelitian menunjukkan pula, bahwa
pengajaran yang diyakini baik (teach well) di Amerika Serikatpun sering tidak
menghasilkan pembelajaran. Yang lebih gawat lagi, dalam pengajaran (bahkan pengajaran
yang dianggap baik) sering menimbulkan miskonsepsi (di Indonesia lihat van den Berg
*)

Prof. Dr. Mara Bangun Harahap, M.S adalah dosen fisika di FMIPA Unimed

(editor) (1991: 17)). Hestenes dan Halloun (dalam van Heuvelen, 1992:56) di Universitas
Arizona (Arizona State University) menemukan bahwa gaya (style) dosen tidak
mempengaruhi hasil belajar tentang pemahaman kualitatif mahasiswa. Mereka menemukan
pula bahwa hasil belajar mahasiswa yang diajar oleh profesor pemeroleh "award"
(hadiah) pendidikan, sama saja dengan hasil belajar mahasiswa yang diajar seorang
dosen baru (pengalaman mengajarnya minim), yang mengajar dengan mengacu pada
buku teks secara ketat.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang dapat mengajar
dengan baik tanpa peserta didik belajar. Pengajaran tersebut tidak mencapai kompetensi.
Berdasarkan itu, pengajaran yang seharusnya terjadi adalah pengajaran yang menimbulkan
belajar untuk pencapaian kompetensi. Dengan kata lain, pembelajaran (pengajaran yang
menimbulkan belajar) yang diinginkan adalah pembelajaran yang efektif untuk pencapaian
kompetensi. Guru/dosen/tutor/instruktur pakar atau efektif atau profesional adalah
guru/dosen/tutor/instruktur yang memiliki kompetensi: kepribadian, profesional, pedagogik
dan sosial yang mampu melaksanakan pembelajaran efektif untuk pencapaian kompetensi.
Pada bagian berikut diuraikan bagaimana cara melaksanakan pembelajaran yang efektif
untuk pencapaian kompetensi. Berdasarkan uraian berikut ini, akan jelas tergambar bahwa
pembelajaran yang diharapkan adalah: pembelajaran yang menggunakan model
pembelajaran yang tepat untuk pencapaian kompetensi. Jika pembelajaran tidak mencapai
kompetensi yang dirumuskan, maka pembelajaran tersebut tidak efektif. Guru maupun
dosen tersebut belum memiliki kompetensi pedagogik dalam pendidikan berbasis
kompetensi. Prinsip pembelajaran berbasis kompetensi terukur melalui tercapai tidaknya
kompetensi.
Penyusunan rencana Proses Belajar Mengajar (PBM) atau proses pembelajaran,
yang sebaiknya disusun dalam bentuk skenario, dalam penyusunan suatu RPP (Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran) berdasarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK),
ditargetkan untuk mencapai kompetensi yang telah dirumuskan. Dengan demikian,
penentuan apa saja yang harus dilakukan guru dan siswa dalam perencanaan proses
pembelajaran sangat mempengaruhi tercapai tidaknya kompetensi yang telah dirumuskan.
Arends (2001: 24) menyatakan bahwa konsep model pembelajaran yang
dikembangkan Joyce et al. (1992; 2000) dapat digunakan sebagai sumber rancangan proses
pembelajaran yang luaran atau hasil pelaksanaan rancangan proses pembelajaran tersebut
adalah kompetensi yang telah dirumuskan. Berdasarkan itu, disarankan mengimplemen-

tasikan model-model pembelajaran yang efektif dalam proses pembelajaran untuk


mencapai kompetensi yang dirumuskan. Model-model pembelajaran yang disarankan
digunakan oleh calon guru pemula (dalam microteaching, PPL dan selanjutnya digunakan
ketika menjadi guru pemula) maupun oleh dosen microteaching dan PPL adalah modelmodel pembelajaran yang merupakan hasil penelitian seperti mode-model yang
dikemukakan Joyce et al (1992; 2000) dan Arends (1997; 2001). Selain itu, dianjurkan
pula

menggunakan

model-model

yang

merupakan

hasil

pengembangan

model

pembelajaran berbasis penelitian yang dikembangkan dosen-dosen Unimed (lihat


misalnya: Armanto, 2005; Harahap, 2005; Sinaga, 2007) dan model-model lainnya yang
dikembangkan di Indonesia maupun luar negeri. Perlu diingatkan di sini, bahwa modelmodel yang dikembangkan dosen Unimed sifatnya sangat spesifik dibandingkan modelmodel pembelajaran yang dikemukakan Joyce et al (1992; 2000) dan Arends (1997; 2001)
yang bersifat umum (dapat digunakan untuk semua bidang studi dengan batasan hanya
pada jenis hasil belajar (kompetensi) yang dicapai dengan model tersebut).
Mengapa harus menggunakan model pembelajaran? Apakah tidak cukup
menggunakan metode dan/atau strategi pembelajaran saja? Menurut Arends (2001:
24) konsep model pembelajaran Joyce et al. dan Arends sendiri lebih luas dari konsep
strategi maupun metode pembelajaran. Dengan demikian, menggunakan model
pembelajaran yang ditawarkan Joyce et al. dan Arends serta para pengembang model
lainnya, berarti telah menggunakan metode dan strategi pembelajaran yang tersusun secara
sistematis dan telah teruji melalui penelitian untuk mencapai hasil belajar berupa
kompetensi yang spesifik untuk model-model tersebut.
Joyce et al. (1992: 4) mendefinisikan model pembelajaran sebagai berikut: A
model of teaching is a plan or pattern that we can use to design face to face teaching in
classrooms or tutorial settings and to shape instructional materials-including books, films,
tapes, and computer-mediated programs and curriculums (long term courses of study).
Lebih lanjut, Arends (2001: 24) mengemukakan: Models of teaching is an overall plan,
or pattern, for helping students to learn spesific kinds of knowledge, attitudes, or skills.
Berdasarkan pengertian konsep model pembelajaran seperti itu, maka setiap model
pembelajaran berfungsi memberikan arah dalam pendesainan pembelajaran dalam rangka
membantu peserta didik mencapai berbagai tujuan dan/atau kompetensi.
Joyce et al. (1992:13) menyatakan bahwa model pembelajaran mempunyai unsurunsur: landasan teori, strategi, dan langkah pengimplementasian (pemakaian) model di

ruang kelas atau setting (latar) pembelajaran lainnya. Landasan teori suatu model
pembelajaran adalah penjelasan tentang tujuan-tujuan model, asumsi-asumsi teoretis
(theoretical assumptions), dan prinsip-prinsip reaksi serta konsep-konsep utama ( major
concepts) yang mendasari model. Strategi suatu model pembelajaran diartikan sebagai
deskripsi tentang pengoperasionalan model. Deskripsi tersebut dinyatakan dalam empat
konsep: sintaks, sistem sosial, prinsip-prinsip reaksi dan sistem pendukung. Deskripsi itu
merupakan aktivitas-aktivitas apa yang seharusnya terjadi, dan jika mungkin dalam urutan
(sequence) bagaimana aktivitas-aktivitas tersebut terjadi. Sintaks atau pemfasean model
merupakan penjelasan pengoperasian model (model in action). Sintaks dijelaskan dalam
term-term deretan aktivitas yang disebut fase (phase). Sistem sosial merupakan penjelasan
tentang peranan guru dan peserta didik dan keterhubungan serta jenis norma-norma yang
didukung. Di dalam prinsip-prinsip reaksi dijelaskan bagaimana sebaiknya guru
memandang peserta didik dan bagaimana berespons terhadap yang dilakukan peserta didik.
Seterusnya, di dalam sistem pendukung dijelaskan apa saja yang mungkin diperlukan
sebagai tambahan terhadap model yang berkaitan dengan pendukung keterampilan
manusia, kapasitas dan fasilitas. Langkah pengimpelementasian (pemakaian) model di
ruang kelas atau setting pembelajaran lainnya dapat berupa ilustrasi untuk berbagai disiplin
(subject areas), atau pedoman penerapan pada tingkat umur tertentu atau desain kurikulum
tertentu atau saran-saran pegkombinasian suatu model dengan model lainnya. Selain itu,
dapat pula berupa diskusi tentang point-point penting yang kelihatannya menjadi penyebab
sulitnya model diterapkan oleh pendidik di ruang kelas atau setting pembelajaran lainnya.
Dalam konsep model pembelajaran Joyce et al., unsur-unsur utama terjalin secara
harmonis. Unsur-unsur utama tersebut adalah: landasan teoretis, strategi dan langkah
pengimplementasian atau sintaks (pemakaian model di ruang kelas atau setting (latar)
pembelajaran lainnya). Dengan kata lain, kelihatan benang merah penghubung dari
landasan teori sampai dengan penerapan di ruang kelas.
Dalam buku Joyce et al. edisi keenam, terbitan tahun 2000, ditawarkan 21 (dua
puluh satu) model pembelajaran. Dua puluh satu model itu, mereka kembangkan
berdasarkan hasil pencarian dan penganalisisan berbagai sumber, terutama sumber yang
merupakan hasil penelitian selama 40 tahun (Joyce et al., 2000: 1). Timbul pertanyaan:
Apakah semua model itu harus dikuasai (difahami dan dapat digunakan sesuai
dengan rambu-rambu model) oleh calon guru pemula (dalam microteaching, PPL dan
selanjutnya digunakan ketika menjadi guru pemula) maupun dosen microteaching

dan PPL, agar alumni program S1 Unimed disebut memiliki kompetensi pedagogik:
merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran?.
Arends (2001, 24) menyatakan bahwa tidak realistik (unrealistic) meminta calon
guru pemula (beginner) untuk menguasai keduapuluh satu model tersebut, yang juga sama
tidak realistiknya meminta calon guru pemula ini untuk hanya menguasai satu buah dari
keduapuluh satu model itu. Jadi, berapa model yang harus dikuasai? Tahun 1997, Arends
menyatakan pemula paling tidak menguasai 4 (empat) model saja, yakni model
pembelajaran: Direct Instruction (DI); Cooperative Learning (CL); Problem-based
learning (PBL) atau disebut juga Problem-based Learning; dan Discussion (Arends, 1997:
12). Namun, pada tahun 2001 Arends menyatakan sebaiknya pemula menguasai sebanyak
6 (enam) model, yakni model pembelajaran: Lecture; Direct Instruction (DI); Concept
Teaching (CT); Cooperative Learning (CL); Problem-Based Learning (PBL); dan
Classroom Discussion (CD) (Arends, 2001: 24-25).
Selanjutnya, pada bagian berikut hanya diuraikan model pembelajaran PBL yang
sangat cocok digunakan untuk pencapaian kompetensi dalam pembelajaran fisika (IPA).
Pada dasarnya, dalam pembelajan fisika model pembelajaran lainnya juga dapat digunakan
untuk mencapai kompetensi yang sesuai dengan hasil belajar menggunakan model
tersebut.
Barangkali kita semua pernah mengikuti pengajaran guru atau dosen yang sangat
pandai membuat humor dan dominan hanya memakai metode ceramah dalam
pengajarannya, dan kitapun senang, antusias, dan serius, sampai tidak terasa waktu berlalu
dan suasana tetap gembira. Namun, ketika tiba masa ujian kita tidak mampu menjawab
soal-soal dan kitapun tidak lulus atau tidak memperoleh nilai baik. Apa yang salah?
Padahal pembelajaran menarik, dan kita mengikuti dengan serius, antusias dan bergembira.
Jawabannya adalah: guru atau dosen tadi tidak menggunakan model pembelajaran (yang
merupakan hasil penelitian) yang dapat mencapai kompetensi yang diinginkan dosen/guru
tersebut. Memang guru/dosen tadi telah memakai metode maupun strategi pembelajaran
dengan benar dan tepat (peserta didik mengikuti dengan gembira, serius dan antusias)
namun pelaksanaan metode maupun strategi tersebut tidak tersusun secara sistematis
berlandaskan teori-teori pembelajaran yang telah teruji melalui penelitian menuju
pencapaian kompetensi yang dirumuskan. Yang diharapkan adalah: pembelajaran yang
menggunakan model pembelajaran yang tepat untuk pencapaian kompetensi, yang di
dalam pelaksanaannya diselipkan juga humor sehingga peserta didik belajar dengan

gembira, antusias, tetapi tetap serius dan yang paling penting harus mencapai kompetensi.
Jika pembelajaran tidak mencapai kompetensi yang dirumuskan, maka pembelajaran
tersebut tidak efektif. Guru maupun dosen tersebut belum memiliki kompetensi pedagogik
dalam pendidikan berbasis kompetensi. Prinsip pembelajaran berbasis kompetensi terukur
melalui tercapai tidaknya kompetensi.
Menurut Arends (1997: 6-7) term model pembelajaran mempunyai 4 (empat)
atribut yang tidak dimiliki term strategi dan metode pembelajaran secara spesifik, yakni:
1).

rasional teoretis yang koheren, yang dibuat secara eksplisit oleh pencipta
atau pengembang model;

2).

pandangan (point of view) tentang apa dan bagaimana peserta didik belajar;

3).

prilaku mengajar yang diperlukan yang membuat model bekerja; dan

4).

struktur ruang kelas yang dibutuhkan (lihat gambar 1).


Rasional Teoretis yang Koheren (Landasan Teoretik)
Pandangan (point of view) tentang apa dan bagaimana peserta didik belajar
(Tujuan Hasil Belajar Siswa)
Prilaku mengajar yang diperlukan yang membuat model bekerja (Tingkah
Laku Mengajar Guru)
Struktur ruang kelas yang dibutuhkan (Lingkungan Belajar dan Sistem
Pengelolaan)

Gambar 1: Fitur Model-model Pembelajaran (diadaptasi dari Arends, 1997: 7)


Berdasarkan fitur konsep model pembelajaran di atas, sebagi contoh model
pembelajaran DI, CL dan PBL dapat dideskripsikan secara skematik sebagai berikut:

Gambar 2: Kerangka Umum Model Pembelajaran DI, CL dan PBL


Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat bahwa kerangka umum ketiga model
mengandung komponen: Landasan Teoretik; Tujuan Pembelajaran yang terumus dalam
Hasil Belajar Siswa; Tingkah Laku Mengajar yang didasarkan pada sintaks model
pembelajaran; Lingkungan Belajar dan Sistem Pengelolaan berupa latar pembelajaran dan
pengelolaan proses pembelajaran. Setiap model pembelajaran mempunyai keempat
komponen tersebut.
Problem-based Learning (PBL) dan Pembelajaran Fisika
Model pembelajaran PBL secara skematik dapat dideskripsikan pada Gambar 3.
Model pembelajaran PBL mempunyai nama lain sebagai: Project-Based Teaching;
Authentic Learning dan Anchored Instruction (Arends, 2001: 348). Landasan teoretik
model pembelajaran CL adalah: teori Dewey tentang kelas berorientasi masalah;
konstruktivisme Piaget dan Vygotsky; serta belajar penemuan menurut Bruner. Efek
pembelajaran model PBL adalah pencapaian kompetensi berupa keterampilan inkuiri dan
pemecahan masalah, perilaku berperan orang dewasa, dan keterampilan belajar mandiri
(independen).

Gambar 3: Model Pembelajaran PBL


Sintaks model pembelajaran PBL dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 3: Sintaks Model Pembelajaran PBL

Arends (2004) menyatakan bahwa ada tiga hasil belajar (outcomes) yang diperoleh
pebelajar yang diajar dengan PBL yaitu: (1) inkuiri dan ketrampilan melakukan pemecahan
masalah, (2) belajar model peraturan orang dewasa (adult role behaviors), dan (3)

ketrampilan belajar mandiri (skills for independent learning). Pebelajar yang melakukan
inkuiri dalam pempelajaran akan menggunakan ketrampilan berpikir tingkat tinggi
(higher-order thinking skill) dimana mereka akan melakukan operasi mental seperti
induksi, deduksi, klasifikasi, dan reasoning. Karakteristik lingkungan belajar model
pembelajaran PBL adalah: keterbukaan, keterlibatan peserta didik secara aktif, dan
atmosfir kebebasan intelektual.
Pembelajaran Berbasis Masalah cukup tepat untuk merealisasikan tujuan-tujuan
pendidikan fisika (Tobin, 1986; AAAS, 1993). Sekarang ini, pendidik banyak menerapkan
pendekatan pembelajaran berbasis masalah dalam pendidikan fisika (Lazear, 1991;
Treagust & Peterson, 1998; Gallagher et al., 1999; Slavin, 1999; Greenwald, 2000; Yuzhi,
2003; enocak, 2005; Wilson, 2005; Kilic, 2006). Fakta bahwa pendidikan fisika
didasarkan pada keduanya,

praktek dan interpretasi, yakni sangat berhubungan

dengan kehidupan nyata, dan pembelajaran berbasis masalah memfasilitasi hubungan


keduanya. Dalam PBL, fokus pembelajaran ada pada masalah yang dipilih sehingga
pebelajar tidak saja mempelajari konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah tetapi
juga metode ilmiah untuk memecahkan masalah tersebut. Pebelajar tidak saja harus
memahami konsep yang relevan dengan masalah yang menjadi pusat perhatian tetapi juga
memperoleh pengalaman belajar yang berhubungan dengan ketrampilan menerapkan
metode ilmiah dalam pemecahan masalah dan menumbuhkan pola berpikir kritis.
PBL dimulai dengan suatu masalah yang memicu ketidaksetimbangan kognitif pada
diri pebelajar. Keadaan ini dapat mendorong rasa ingin tahu sehingga memunculkan
bermacam-macam

pertanyaan

disekitar

masalah.

Pada

lampiran

(http://www.udel.edu/pbl/overload.html) dicantumkan contoh masalah yang dapat diajukan


untuk pembelajaran fisika menggunakan PBL. Bila pertanyaan-pertanyaan tersebut telah
muncul dalam diri pebelajar maka motivasi intrinsik mereka untuk belajar akan tumbuh.
Pada kondisi tersebut diperlukan peran guru sebagai fasilitator untuk mengarahkan
pebelajar tentang pengetahuan apa yang diperlukan untuk memecahkan masalah, apa yang
harus dilakukan, atau bagaimana melakukannya dan seterusnya. Penerapan PBL dalam
pembelajaran dapat mendorong pebelajar mempunyai inisiatif untuk belajar secara
mandiri. Pengalaman ini sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari dimana
berkembangnya pola pikir dan pola kerja seseorang bergantung pada bagaimana dia
membelajarkan dirinya. Lebih lanjut. PBL juga bertujuan untuk membantu pebelajar

belajar secara mandiri. Pembelajaran PBL dapat diterapkan bila didukung lingkungan
belajar yang konstruktivistik.
Arends (2004) mengemukakan ada 5 fase (tahap) yang perlu dilakukan untuk
mengimplementasikan PBL. Fase-fase tersebut merujuk pada tahap-tahapan praktis yang
dilakukan dalam kegiatan pembelajaran dengan PBL sebagaimana disajikan pada Tabel 3.
Fase 1: Mengorientasikan siswa/mahasiswa pada masalah
Pembelajaran dimulai dengan menjelaskan tujuan pembelajaran dan aktivitasaktivitas yang akan dilakukan. Dalam penggunaan PBL, tahapan ini sangat penting dimana
guru/dosen harus menjelaskan dengan rinci apa yang harus dilakukan oleh pebelajar dan
juga oleh dosen. Disamping proses yang akan berlangsung, sangat penting juga dijelaskan
bagaimana guru/dosen akan mengevaluasi proses pembelajaran. Hal ini sangat penting
untuk memberikan motivasi agar siswa dapat terlibat dalam pembelajaran yang akan
dilakukan.
Fase 2: Mengorganisasikan pebelajar untuk belajar
Disamping mengembangkan ketrampilan memecahkan masalah, pembelajaran PBL
juga mendorong siswa/mahasiswa belajar berkolaborasi. Pemecahan suatu masalah sangat
membutuhkan kerjasama antar anggota. Guru/dosen dapat memulai kegiatan pembelajaran
dengan membentuk kelompok-kelompok siswa dimana masing-masing kelompok akan
memilih dan memecahkan masalah yang berbeda. Prinsip-prinsip pengelompokan siswa
dalam pembelajaran kooperatif dapat digunakan dalam konteks ini seperti: kelompok harus
heterogen, pentingnya interaksi antar anggota, komunikasi yang efektif, adanya tutor
sebaya, dan sebagainya. Guru/dosen sangat penting memonitor dan mengevaluasi kerja
masing-masing kelompok untuk menjaga kinerja dan dinamika kelompok selama
pembelajaran. Setelah pebelajar diorientasikan pada suatu masalah dan telah membentuk
kelompok belajar, selanjutnya guru/dosen dan pebelajar menetapkan subtopik-subtopik
yang spesifik, tugas-tugas penyelidikan, dan jadwal. Tantangan utama bagi guru/dosen
pada tahap ini adalah mengupayakan agar semua pebelajar aktif terlibat dalam sejumlah
kegiatan penyelidikan dan hasil-hasil penyelidikan ini dapat menghasilkan penyelesaian
terhadap permasalahan tersebut.

Fase 3: Membimbing penyelidikan individu dan kelompok


Inti dari PBL adalah penyelidikan. Mungkin saja setiap situasi permasalahan
memerlukan teknik penyelidikan yang berbeda, namun pada umumnya tentu melibatkan
karakter yang identik, yakni pengumpulan data dan eksperimen, berhipotesis dan
penjelasan, dan memberikan pemecahan. Pengumpulan data dan eksperimentasi
merupakan aspek yang sangat penting. Pada tahap ini, guru/dosen harus mendorong
pebelajar untuk mengumpulkan data dan melaksanakan eksperimen (mental maupun
aktual) sampai mereka betul-betul memahami dimensi situasi permasalahan. Tujuannya
adalah agar pebelajar mengumpulkan cukup informasi untuk menciptakan dan membangun
ide mereka sendiri. Pada fase ini seharusnya lebih dari sekedar membaca tentang masalahmasalah dalam buku-buku. Guru/dosen membantu pebelajar untuk mengumpulkan
informasi sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber, dan guru/dosen seharusnya
mengajukan pertanyaan pada pebelajar untuk berifikir tentang massalah dan ragam
informasi yang dibutuhkan untuk sampai pada pemecahan masalah yang dapat
dipertahankan.

Setelah

pebelajar

mengumpulkan

cukup

data

dan

memberikan

permasalahan tentang fenomena yang mereka selidiki, selanjutnya mereka mulai


menawarkan penjelasan dalam bentuk hipotesis, penjelesan, dan pemecahan. Selama
pengajaran pada fase ini, guru/dosen mendorong pebelajar untuk menyampikan semua ideidenya dan menerima secara penuh ide tersebut. Guru/dosen juga harus mengajukan
pertanyaan yang membuat mahasiswa berfikir tentang kelayakan hipotesis dan solusi yang
mereka buat serta tentang kualitas informasi yang dikumpulkan.
Fase 4: Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Tahap penyelidikan diikuti dengan menciptakan hasil karya dan memamerkannya.
Hendaknya hasil karya lebih dari sekedar laporan tertulis, melainkan dapat berupa suatu
videotape (yang menunjukkan situasi masalah dan pemecahan yang diusulkan), model
(perwujudan secara fisik dari situasi masalah dan pemecahannya), program komputer, dan
sajian multimedia. Tentunya kecanggihan hasil karya sangat dipengaruhi tingkat berfikir
pebelajar. Selanjutnya adalah memamerkan hasil karya pebelajar dan guru/dosen berperan
sebagai organisator pameran.
Fase 5: Menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah

Fase ini merupakan tahap akhir dalam PBL. Fase ini dimaksudkan untuk membantu
pebelajar menganalisis dan mengevaluasi proses mereka sendiri dan keterampilan
penyelidikan dan intelektual yang mereka gunakan. Selama fase ini guru/dosen meminta
pebelajar untuk merekonstruksi pemikiran dan aktivitas yang telah dilakukan selama
proses kegiatan belajarnya. Kapan mereka pertama kali memperoleh pemahaman yang
jelas tentang situasi masalah? Kapan mereka yakin dalam pemecahan tertentu? Mengapa
mereka dapat menerima penjelasan lebih siap dibanding yang lain? Mengapa mereka
menolak beberapa penjelasan? Mengapa mereka mengadopsi pemecahan akhir dari
mereka? Apakah mereka berubah pikiran tentang situasi masalah ketika penyelidikan
berlangsung? Apa penyebab perubahan itu? Apakah mereka akan melakukan secara
berbeda di waktu yang akan datang? Tentunya masih banyak lagi pertanyaan yang dapat
diajukan untuk memberikan umpan balik dan menginvestigasi kelemahan dan kekuatan
PBL.
Hubungan PBL Dengan Strategi Pembelajaran Fisika BerorientasiKegiatan Lab
Apa kaitan penggunan model pembelajaran PBL dengan strategi pembelajaran
fisika yang mengandung kegiatan pembelajaran berbasis laboratorium? Sebelum populer
penerapan model pembelajaran dalam pembelajaran untuk pencapaian kompetensi,
biasanya kegiatan lab dalam pembelajaran seolah terisolir sebagai kegiatan tersendiri.
Kegiatan laboratorium tersendiri, kegiatan teori di ruang kelas juga tersendiri.
Penggunaan model pembelajaran SCL mengharuskan kegiatan lab terintegrasi dengan
kegiatan yang selama ini disebut kegiatan teori

dalam fase-fase sintaks model

pembelajaran yang digunakan. Artinya, pelaksanaan kegiatan lab merupakan kegiatan


terintegrasi dengan kegiatan lainnya dalam fase-fase sintaks model pembelajaran yang
digunakan. Kegiatan pada fase-fase sintaks model pembelajaran bersama sama diarahkan
untuk mencapai kompetensi yang spesifik bagi model pembelajaran yang digunakan.
Simpulan dan Saran
PBL digunakan dalam pembelajaran fisika untuk mewujudkan tujuan-tujuan
pembelajaran fisika. Disarankan menggunakan PBL berorientasi kegiatan Lab, karena
cukup banyak situs-situs di internet yang telah menyediakan masalah-masalah fisika yang
dapat memicu pembelajaran fisika dengan PBL.

DAFTAR PUSTAKA
Savin-Baden, M. (2003). Facilitating Problem-based Learning. Berkshire: The Society for
Research into Higher Education & Open University Press.
Savin-Baden, M. & Major, C.H. (2004). Foundations of Problem-based Learning. New
York: Open University Press, McGraw - Hill Education.
Arends, R.I. (1997). Classroom Instruction and Management. New York: The McGrawHill Companies, Inc.
(2001). Learning to Teach (Fifth ed.). Boston: McGraw-Hill.
.(2004). Guide to Field Experiences and Portfolio Development to Accompany
Learning to Teach, Sixth Edition. Boston: McGraw-Hill Higher Education.
Armanto, D. dkk. (2004). Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Berbasis
Kompetensi dan Berkonteks lokal Bagi guru dan Siswa SD/MI di Sumatera Utara.
(Penelitian Hibah Bersaing). Medan: Unimed.
Bodner, M. (1986). "Constructivisme: A Theory of Knowledge". Journal of Chemical
Education. 63 (10), 873-877.
Dahar, R. W. (1988). "Konstruktivisme dalam Mengajar dan Belajar: Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Tetap pada FPMIPA IKIP Bandung, Bandung.
Delisle, R. (1997). How to Use Problem-based Learning in The Classroom. Alexandria,
Virginia: ASCD.
Harahap, M.B. (2005). Efek Model Pembelajaran Konstruktivis Kognitif-Sosial dan Non
Konstruktivis Konvensional terhadap Hasil Belajar Fisika Dasar Mahasiswa
Program S-1 PMIPA LPTK-FKIP Universitas. (Disertasi). Bandung: PPs UPI
Bandung
Joyce, B. et al. (1992). Models of Teaching (Fourth ed.). Massachusetts: Allyn and Bacon.
........................ (2000). Models of Teaching (Sixth ed.). Boston: Allyn and Bacon.
Savin-Baden, M. (2003). Facilitating Problem-based Learning. Berkshire: The Society for
Research into Higher Education & Open University Press.
Savin-Baden, M. & Major, C.H. (2004). Foundations of Problem-based Learning. New
York: Open University Press, McGraw - Hill Education
Sinaga, B. (2007). Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Berdasarkan
Masalah Berbasis Budaya Batak. (Disertasi). Surabaya: PPs UNESA Surabaya.
van dan Berg, Euwe (Editor) (1991). Miskonsepsi Fisika dan Remediasi. Salatiga:
Universitas Kristen Satya Wacana.

van Heuvelen, Alan (1992). "Models of Learning and Teaching", Dalam Diane Grayson
(Eds.). Workshop on Research in Science and Mathematics Education,
Proceedings, Cathedral Peak, South Africa.
http://www.udel.edu/pbl/overload.html diakses Senin 31 Mei 2010 jam 23.00)
Lampiran 1
Problems: A Key Factor in PBL
Barbara Duch,
Center for Teaching Effectiveness
Example Problems:
-- Physics: Level 1, Level 2, Level 3
How does problem-based learning differ from other forms of active, group, or studentcentered learning? The primary distinction is the focus on introducing concepts to students
by challenging them to solve a real world problem. In contrast to the more traditional
approach of assigning an application problem at the end of a conceptual unit, PBL uses
problems to motivate, focus, and initiate student learning.
Therefore, a critical factor in the success of PBL is the problem itself. What are the
characteristics of good problems? Where can you find problems or cases in your discipline
to use in your courses?
Characteristics of good problems
Many faculty who have adapted PBL in their courses, and students who have taken those
courses agree on several factors that are essential for good problems (or cases).
1. An effective problem must first engage students' interest, and motivate them to
probe for deeper understanding of the concepts being introduced. It should relate
the subject to the real world, so that students have a stake in solving the problem.
2. Good problems require students to make decisions or judgements based on facts,
information, logic and/or rationalization. Students should be required to justify all
decisions and reasoning based on the principles being learned. Problems should
require students to define what assumptions are needed (and why), what
information is relevant, and/or what steps or procedures are required in order to
solve them.
3. Cooperation from all members of the student group should be necessary in order to
effectively work through a good problem. The length and complexity of the
problem or case must be controlled so that students realize that a "divide and
conquer" effort will not be an effective problem-solving strategy. For example, a
problem that consists of a series of straight-forward "end of chapter" questions will
be divided by the group and assigned to individuals and then reassembled for the
assignment submission. In this case, students end up learning less not more.

4. The initial questions in the problem should have one or more of the following
characteristics so that all students in the groups are initially drawn into a discussion
of the topic:
o open-ended, not limited to one correct answer
o connected to previously learned knowledge
o controversial issues that will elicite diverse opinions
This strategy keeps the students functioning as a group, drawing on each other's
knowledge and ideas, rather than encouraging them to work individually at the
outset of the problem.
5. The content objectives of the course should be incorporated into the problems,
connecting previous knowledge to new concepts, and connecting new knowledge to
concepts in other courses and/or disciplines.
Higher order thinking skills
In addition to these characteristics, good problems should challenge students to achieve
higher-level critical thinking. Too often, students view learning as remembering facts,
terms and definitions in order to answer questions on tests. Many students seem to lack the
ability or motivation to go beyond factual material to a deeper understanding of course
material. In Bloom's Taxonomy of Educational Objectives (1956), cognitive levels along
with parallel student activities are arranged from simple to complex (see table below). PBL
problems should strive to induce students to learn at the higher Bloom levels, where they
analyze, synthesize and evaluate rather than simply define and explain.
(((Bagaimana pembelajaran berbasis masalah berbeda dari bentuk-bentuk aktif, kelompok,
atau pembelajaran yang berpusat pada siswa? Perbedaan utama adalah fokus pada
memperkenalkan konsep kepada siswa dengan menantang mereka untuk memecahkan
masalah dunia nyata. Berbeda dengan pendekatan yang lebih tradisional menempatkan
masalah aplikasi pada akhir unit konseptual, PBL menggunakan masalah untuk
memotivasi, fokus, dan memulai belajar siswa.
Oleh karena itu, faktor penting dalam keberhasilan PBL adalah masalah itu
sendiri. Apakah karakteristik masalah yang baik? Di mana Anda dapat menemukan
masalah atau kasus dalam disiplin Anda untuk digunakan dalam program Anda?
Karakteristik masalah yang baik
Banyak fakultas yang telah diadaptasi PBL dalam program mereka, dan mahasiswa yang
telah mengambil program mereka setuju pada beberapa faktor yang penting untuk masalah
yang baik (atau kasus).
1. Sebuah masalah yang efektif harus terlebih dahulu melibatkan minat siswa, dan
memotivasi mereka untuk menyelidiki untuk memahami lebih dalam tentang konsepkonsep yang diperkenalkan. Harus menghubungkan tunduk pada dunia nyata, sehingga
siswa memiliki saham dalam memecahkan masalah.
2. masalah yang baik mengharuskan mahasiswa untuk membuat keputusan atau penilaian
berdasarkan fakta, informasi, logika dan / atau rasionalisasi. Siswa harus diminta untuk
membenarkan semua keputusan dan penalaran berdasarkan prinsip-prinsip yang
dipelajari.Masalah harus menuntut siswa untuk menentukan apa asumsi yang dibutuhkan
(dan mengapa), informasi apa yang relevan dan / atau apa langkah atau prosedur yang
diperlukan untuk menyelesaikannya.

3. Kerjasama dari semua anggota kelompok mahasiswa harus perlu untuk bekerja secara
efektif melalui masalah yang baik. Panjang dan kompleksitas masalah atau kasus harus
dikontrol agar siswa menyadari bahwa membagi "dan menaklukkan" upaya tidak akan
menjadi strategi pemecahan masalah yang efektif. Misalnya, masalah yang terdiri dari
serangkaian lurus-maju "akhir bab" pertanyaan-pertanyaan akan dibagi oleh kelompok dan
ditugaskan untuk individu dan kemudian dipasang kembali untuk penyerahan tugas. Dalam
hal ini, siswa akhirnya belajar kurang tidak lebih.
4. Pertanyaan-pertanyaan awal dalam masalah ini harus memiliki satu atau lebih
karakteristik berikut agar semua siswa dalam kelompok pada awalnya ditarik ke dalam
diskusi tentang topik:
o terbuka, tidak terbatas pada satu jawaban yang benar
o terhubung ke pengetahuan dipelajari sebelumnya
o kontroversial isu-isu yang akan elicite opini yang beragam
Strategi ini membuat siswa berfungsi sebagai sebuah kelompok, gambar pada masingmasing pengetahuan dan ide-ide, bukan mendorong mereka untuk bekerja secara
individual pada awal masalah.
5. Tujuan konten tentu saja harus dimasukkan ke dalam masalah, menghubungkan
pengetahuan sebelumnya dengan konsep baru, dan menghubungkan pengetahuan baru
dengan konsep dalam program lain dan / atau disiplin.
Orde Tinggi keterampilan berpikir
Selain karakteristik ini, masalah yang baik harus menantang siswa untuk berpikir kritis
mencapai tingkat yang lebih tinggi. Terlalu sering, siswa melihat belajar sebagai mengingat
fakta, istilah dan definisi untuk menjawab pertanyaan dalam tes. Banyak siswa yang
tampaknya tidak memiliki kemampuan atau motivasi untuk melampaui materi faktual ke
pemahaman yang lebih mendalam tentang materi pelajaran. Dalam Taksonomi Bloom
Tujuan Pendidikan (1956), tingkat kognitif bersama dengan kegiatan-kegiatan siswa
paralel disusun dari yang sederhana sampai yang kompleks (lihat tabel di bawah). masalah
PBL harus berjuang keras untuk mendorong siswa untuk belajar di tingkat Bloom yang
lebih tinggi, di mana mereka menganalisis, mensintesis dan mengevaluasi bukan sekadar
menentukan dan menjelaskan)))

Bloom's Cognitive
Level

Student Activity

Evaluation

Making a judgment based on a pre-established set of criteria

Synthesis

Producing something new or original from component parts

Analysis

Breaking material down into its component parts to see


interrelationships / hierarchy of ideas

Application

Using a concept or principle to solve a problem

Comprehension

Explaining/interpreting the meaning of material

Knowledge

Remembering facts, terms, concepts, definitions, principles

Reference: Bloom, B. (1956) Taxonomy of Educational Objectives, New York: McKay.

Where to find good problems


So now that we know what makes a good problem for use in PBL -- where can you find
them in your discipline? Unfortunately, in most of our undergraduate content areas, there
are no books, manuals or notebooks of PBL problems. Most of us who use PBL in our
classes have had to write our own. Some faculty use video-clips, stories, novels, articles in
the popular press, and research papers as a basis for a problem. Frequently, faculty find a
typical textbook problem, and rewrite it as an open-ended, real world problem. Some
examples from physics and biology are shown, although the ideas behind the adaptations
will work in any discipline.
A Level 1 problem is a typical end-of-chapter problem, at Bloom's Knowledge or
Comprehension cogitive level. The problem is generally confined to the topic(s) addressed
in the chapter, and all the information needed to solve the problem is given.
A Level 2 problem adds a story-telling aspect to the end-of-chapter problem. This adds
some motivation for students to solve the problem, and it requires students to go beyond
simple "plug-and-chug" in order to solve it. There may even be some decision-making
involved, placing the questioning at Bloom's Comprehension or Application level. All the
information needed to solve it is given in the problem or the chapter.
A Level 3 problem is a good PBL problem, at Bloom's Analysis, Synthesis or Evaluation
levels. It is related to the real world, drawing the student into the problem. Not all the
information needed is given in the problem, or chapter, or perhaps even in the texbook.
Students will need to do some research, discover new material, arrive at judgements and
decisions based on the information learned. The problem may have more than one
acceptable answer, based on the assumptions students make.

Examples:
Physics: Level 1
A simplified electrical circuit for a home is shown below. Calculate the currents through
the fuse, lightbulb, electric crock and toaster.

Reference: Van Heuvelan, A. (1986) Physics: A General Introduction, Harper Collins.

Physics: Level 2
Jim and Jenny just moved into a rental house. Early Sunday morning, Jim decides to
surprize Jenny and cook breakfast for her. He starts cooking bacon in the electric frying
pan (1000-watt) while he perks the coffee (600-watt). Jim decides to make some toast
(700-watt) while he waits for the bacon and coffee to finish cooking. Just before he starts
the toaster, Jim notices that the kitchen circuit is protected by a 20 amp fuse. He looks
around and can't find any spare fuses. Should Jim start the toast now, or wait until the
coffee and bacon are done? (Assume that the appliances are in a parallel circuit.) Will it
matter if Jim has the overhead light (100-watt) on or not?
Physics: Level 3
OVERLOAD
(page 1)
Rita and Arman are building their dreamhouse. They have already designed the layout of
all the rooms, with the help of Arman's father who is an architect. You are good friends
with Rita and Arman and since you've just studied circuits in your physics class, you are
interested in the wiring plans for the new home. Rita tells you that the house will have 4
bedrooms, a family room, living room, dining room, 2 bathrooms, a utility/wash room, and
a combination kitchen/breakfast area. Arman tells you that he doesn't know how many
circuits his house needs in order to be safe. In fact, Arman isn't even sure he knows what a
circuit is, or how a circuit breaker works. Does he need some 240 V lines as well as 120
V ? What voltage are the electrical lines coming into the house? How are the ratings on the
circuit breakers determined? How are houses wired?
Using your knowledge of physics, answer Arman's questions. If you don't know the
answer, where can you find the information you need? What questions should you ask Rita
and Arman in order to determine their wiring needs?
(When finished with these questions, ask your instructor for page 2.)
(page 2)
Rita tells you that they will have many appliances in the kitchen. A microwave,
refrigerator, blender, toaster oven, toaster, can opener, electric fry pan, electric wok, mixer,
clock radio, clock, crock pot, and dishwasher. Arman says that his computer and printer,
and Rita's ironing and sewing "stuff" will be in the same bedroom. Arman uses an electric
razor, while Rita uses a blow dryer and curling iron in the main bath.
They also inform you that in the morning, Arman cooks breakfast while Rita does her hair
in the bathroom. And in the evening, while Rita cooks dinner, Arman works on his
computer or watches TV in the living room. Rita likes to sew or iron while Arman does the
budget on the computer.
They show you a sketch of the floor plans for the house. The dimensions of the rooms are
as follows: kitchen: 12'x15', living room: 15'x25', spare bedroom: 10'x12'.
Is there a minimum number of outlets that must be wired for each room? How are
overhead light switches wired into the circuit?

Sketch the wiring diagram for the kitchen. Do you need more than one circuit breaker for
the kitchen? Design the wiring so that no circuit breaker opens while Rita is using several
of her appliances cooking dinner. Be sure to give several examples of multiple appliance
use.
When you have answered these questions and sketched the wiring diagram, check with
your instructor before doing the final activity.
Construct a wiring plan for the kitchen, main bathroom, spare bedroom, and living room in
the new house with the minimum number of circuits which will still suit Arman's and Rita's
mode of living. Your design should insure that no circuit breakers will trip during the busy
mornings or evenings. Be sure to include the normal items in rooms (lights, stereo, VCR,
etc.) as you plan your wiring diagram.
Written by Barbara J. Duch
May, 1995; Revised January 1996

Lampiran 2
RENCANA PELASANAAN PEMBELAJARAN
Sekolah: SMA N ANTAH BERANTAH
Mata Pelajaran: FISIKA
Kelas/Semester: XII / 2
Alokasi Waktu: 8 x 45 menit (4 x pertemuan)
1. Standar Kompetensi
Menerapkan konsep kelistrikan (baik statis maupun dinamis) dan kemagnetan
dalam berbagai penyelesaian masalah dan berbagai produk teknologi
2. Kompetensi Dasar
Mengidentifikasi penerapan listrik AC dan DC dalam kehidupan sehari-hari
3. Indikator
a. Menjelaskan karakteristik masalah pemasangan sirkuit listrik perumahan yang
pemecahannya terkait dengan model-model rangkaian listrik
b. Mendeskripsikan besaran-besaran listrik yang terlibat dalam masalah perakitan
rangkaian (sirkuit) listrik perumahan
c. Merancang model sirkut rangkaian rumah berdasarkan spesifikasi yang ditentukan
dalam masalah perakitan sirkuit perumahan
d. Menyelesaikam masalah perakitan sirkuit perumahan menggunakan keterampilan
proses.
e. Menyusun dokumen tertulis tentang karakteristik lengkap model sirkuit perumahan
yang disusun untuk pemecahan masalah sirkuit perumahan

f. Membuat model rangkaian simulasi dari model pemecahan masalah sirkuit listrik
perumahan.
Materi Pokok
Rangkaian Listrik AC
Materi Prasyarat
Rankaian seri, paralel dan seri paralel arus AC
Media dan sumber belajar
RPP, Buku Petunjuk Guru, Buku Siswa, Lembar Kerja Siswa, komponen listrik untuk
perakitan model simulasi rangkaian listrik.
Model Pembelajaran:
Problem-based Learning
Skenario Pembelajaran
TAHAP PBL

TINGKAH LAKU GURU/SISWA

Tahap 1

- Guru
menjelaskan
tujuan
pembelajaran
dengan
menyampaikan
standar
kompetensi,
kompetensi
dasar,
dan
Orientasi siswa
indicator hasil belajar;
pada masalah
- Melaksanakan pretest untuk mengetahui pengetahuan awal
(30 menit)
siswa terhadap bahan kajian yang akan dibahas;
- Menjelaskan logistik yang dibutuhkan, seperti pembentukan
kelompok belajar dan tugas dari masing-masing kelompok,
serta mengarahkan siswa untuk berkumpul dengan
kelompoknya masing-masing;
- Guru mendistribusikan isi permasalahan yang akan dicari
solusinya oleh siswa yang berkaitan dengan masalah
pemasangan sirkuit listrik perumahan, kemudian memotivasi
siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah;
- Guru mendiskusikan rubrik asesmen yang akan digunakan
dalam menilai kegiatan/ hasil karya siswa.
Tahap 2

- Guru
membantu
siswa
mendefinisikan
dan
mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan
Mengorganisasi
masalah tersebut;
siswa
untuk
belajar
- Guru mengarahkan siswa untuk melakukan kajian teori yang
relevan dengan masalah di perpustakaan;
(60 menit)
- Siswa diarahkan juga untuk mencari nara sumber lainnya,
baik dari siswa atau guru yang relevan;
- Guru mengarahkan siswa untuk membuat laporan hasil

diskusi dan menyempurnakannya


kelompoknya masing-masing;

di

rumah

dengan

Kegiatan pembelajaran berbasis masalah pada tatap muka I ditutup dengan


menyampaikan rencana kegiatan pada pertemuan berikutnya (tatap muka II). Untuk itu,
diinformasikan kepada siswa dapat mempersiapkan diri dengan lebih baik dengan
menyiapkan sumber belajar dan saran pendukung lainnya.
Masalah yang didistribusikan adalah artikel yang diperoleh dari internet, yang
relevan dengan masalah sirkuit listrik perumahan. Artikel tersebut adalah:
Masalah 1
Rita dan Arman sedang membangun dreamhouse mereka. Mereka telah merancang
tata letak semua ruangan, dengan bantuan ayah Arman yang arsitek. Anda bersahabat baik
dengan Rita dan Arman dan Anda baru saja mempelajari sirkuit di kelas fisika Anda, Anda
tertarik pada rencana pengkabelan sirkuit untuk rumah baru. Rita mengatakan kepada anda
bahwa rumahnya akan memiliki 4 kamar tidur, ruang keluarga, ruang tamu, ruang makan,
2 kamar mandi, sebuah utilitas/kamar mandi, dan dapur kombinasi/daerah sarapan. Arman
memberitahu Anda bahwa dia tidak tahu berapa banyak kebutuhan sirkuit rumahnya agar
aman. Bahkan, Arman tidak yakin dia tahu apa-apa tentang sirkuit, atau cara kerja suatu
pemutus sirkuit. Apakah ia membutuhkan 240 V AC atau 120 V? Apa tegangan listrik
jalur masuk ke rumah? Bagaimana peringkat pada pemutus sirkuit ditentukan? Bagaimana
pengkabelan rumah?
Gunakan pengetahuan Anda tentang fisika, untuk menjawab pertanyaan Arman. Jika Anda
tidak tahu jawabannya, di mana Anda dapat menemukan informasi yang Anda
butuhkan? Pertanyaan apa yang harus Anda berikan pada Rita dan Arman untuk
menentukan kebutuhan kabel?
(Setelah selesai dengan pertanyaan-pertanyaan ini, lanjutkan halaman ke masalah ke 2)
Masalah ke 2
Rita memberitahu Anda bahwa mereka akan memiliki banyak peralatan dapur. Sebuah
microwave, kulkas, blender, oven pemanggang roti, pembuka kaleng, panci goreng listrik,
wajan listrik, mixer, radio jam, jam, panci kuali, dan mesin cuci piring. Arman mengatakan
bahwa ada komputer dan printer, dan Rita menyetrika dan menjahit di kamar tidur yang

sama. Arman menggunakan pisau cukur listrik, sementara Rita menggunakan hair dryer
dan curling iron dalam kamar mandi utama.
Mereka juga menginformasikan bahwa di pagi hari, Arman memasak sarapan sementara
Rita mencuci rambutnya di kamar mandi. Dan di malam hari, sementara Rita memasak
makan malam, Arman bekerja pada komputer atau menonton TV di ruang tamu. Rita suka
menjahit sementara Arman tidak suka anggaran yang membengkak

pada komputer.

Mereka menunjukkan sebuah sketsa rencana untuk lantai rumah. Dimensi ruang
adalah sebagai berikut:
dapur: 12'x15 ', ruang tamu:

15'x25', kamar

tidur untuk tamu:

10'x12 '.

Apakah ada jumlah minimum outlet yang harus ditransfer untuk setiap kamar? Bagaimana
kabel saklar lampu overhead ke rangkaian?
Sketsa diagram pengkabelan untuk dapur: Apakah Anda perlu lebih dari satu pemutus
sirkuit untuk dapur? Desainlah kabel sehingga tidak ada pemutus sirkuit terbuka sementara
Rita menggunakan beberapa peralatan memasak makan malam nya. Pastikan untuk
memberikan beberapa contoh penggunaan beberapa alat. Bila Anda telah menjawab
pertanyaan-pertanyaan ini dan membuat sketsa diagram pengkabelan, cek dengan guru
Anda sebelum melakukan aktivitas akhir. Buatlah rencana kabel untuk dapur, kamar
mandi utama, kamar tidur, dan ruang tamu di rumah baru dengan jumlah minimum sirkuit
yang masih akan sesuai untuk gaya hidup Arman dan Rita. Desain harus memastikan
bahwa tidak ada pemutus arus ketika pada pagi atau malam hari ang sibuk. Pastikan untuk
menyertakan item normal dalam kamar (lampu, stereo, VCR, dll) ketika Anda
merencanakan diagram pengkabelan Anda.

Dengan mencermati artikel di atas, lakukan hal-hal, sebagai berikut!


1. Kumpulkanlah informasi, dengan menerapkan tabel berikut:
Apa yang
diketahui

Apa yang ingin


diketahui

Bagaimana cara
mengetahui

2. Konsep-konsep apa saja yang berhubungan dengan artikel itu!


3. Temukan suatu masalah yang berkaitan dengan kehidupan nyata!
4. Buatlah proposal penyelesain masalah sesuai dengan masalah yang
ditemukan, dimana proposal mencakup: latar belakang masalah,

perumusan masalah, kajian pusaka (berkaitan dengan sirkuit listrik


perumahan), dan metode penelitian.
Tatap Muka II (2 jam pelajaran atau 2 x 45 menit)
Kegiatan pembelajaran berbasis masalah untuk
TAHAP PBL

TINGKAH LAKU GURU/SISWA

Tahap 1

- Guru menjelaskan tujuan pembelajaran dan memberikan


komentar terhadap pembelajaran sebelumnya;
Orientasi siswa
pada masalah
- Memberikan arahan terhadap strategi pembelajaran sehingga
pembelajaran efektif, efesien, dan bermakna;
(10 menit)
- Guru memberikan penegasan terhadap hubungan konsep
rangkain listrik dengan kehidupan (penegasan masalah).
Tahap 2

- Guru mengarahkan siswa untuk kumpul dalam


kelompoknya, kemudian membimbing siswa melakukan
Mengorganisasi
kajian masalah dan diskusi kelompok;
siswa
untuk
belajar
- Siswa diarahkan untuk disiplin dengan tugasnya masingmasing agar tugas dapat diselesaiakan efektif dan efesien;
(50 menit)
- Guru membimbing dan memotivasi siswa dalam mencari
konsep-konsep dan masalah yang relevan.
Tahap 3

- Guru memberikan bimbingan kepada


kelompok dalam membuat proposal;

masing-masing

Membimbing
penyelidikan
- Siswa menyusun proposal dan diarahkan agar mencakup
individu maupun
latar belakang masalah, perumusan masalah, kajian pusaka,
kelompok
dan metode penelitian;
(30 menit)

- Guru memberikan bimbingan tentang teknik membuat latar


belakang masalah, perumusan masalah, kajian pusaka, dan
metode penelitian;
- Guru memberikan informasi, agar proposal tersebut dapat
dituntaskan di rumah dengan kelompoknya masing-masing.

Kegiatan pembelajaran berbasis masalah pada tatap muka II ditutup dengan


menyampaikan rencana kegiatan pada pertemuan berikutnya (tatap muka III), yang
meliputi presentasi proposal dan pendistribusian LKS. Untuk itu, diinformasikan kepada
siswa dapat mempersiapkan diri dengan lebih baik dengan menyiapkan sumber belajar dan
saran pendukung lainnya.
Tatap Muka III (2 jam pelajaran atau 2 x 45 menit)
Kegiatan pembelajaran berbasis masalah pada tatap muka III, sebagai berikut:
TAHAP PBL

TINGKAH LAKU GURU/SISWA

Tahap 1

- Guru menjelaskan tujuan pembelajaran dan memberikan


komentar terhadap pembelajaran sebelumnya, serta
Orientasi siswa
permasalahan rangkaian listrik dalam kehidupan;
pada masalah
- Guru mendiskusikan rubrik asesmen yang akan digunakan
(5 menit)
dalam menilai kegiatan/ hasil karya siswa.
Tahap 2

- Guru mengarahkan siswa untuk kumpul dalam


kelompoknya,
kemudian
menginformasikan
untuk
Mengorganisasi
melakukan
diskusi;
siswa
untuk
belajar
- Guru membimbing kegiatan diskusi kepada semua kelompok
dengan berkeliling kelas
(5 menit)
Tahap 3

- Guru memberikan bimbingan agar dilakukan Tanya jawab


dalam kelompok sebagai persiapan presentasi;

Membimbing
penyelidikan
- Siswa menyusun hand out yang digunakan untuk presentasi
individu maupun
dan guru melakukan bimbingan kepada setiap kelompok;
kelompok
- Guru memberikan informasi, agar materi materi yang ada
(30 menit)
dalam proposal dipahami dengan baik;
Tahap 4

- Dengan menggunakan undian, salah satu kelompok


mempresentasikan proposalnya, serta kelompok lain sebagai
Mengembangkan
penyangga dan agar mempersiapkan pertanyaan;
dan menyajikan
hasil karya
- Presentasi dilakukan untuk dua kelompok dan guru berperan
sebagai fasilitator, mediator, dan suvervisor;
(50 menit)
- Siswa diarahkan dan dimotivasi untuk membuat/menjawab
pertanyaan yang bersifat kontekstual.
Kegiatan pembelajaran berbasis masalah pada tatap muka III ditutup dengan
mendistribusikan LKS untuk dikerjakan secara individual di rumah, serta menyampaikan
rencana kegiatan pada pertemuan berikutnya (tatap muka IV).

Tatap Muka IV (2 jam pelajaran atau 2 x 45 menit)


Kegiatan pembelajaran berbasis masalah untuk tatap muka IV, sebagai berikut:
TAHAP PBL

TINGKAH LAKU GURU/SISWA

Tahap 1

- Guru menjelaskan tujuan pembelajaran dan memberikan


komentar terhadap pembelajaran sebelumnya;
Orientasi siswa
pada masalah
- Guru mendiskusikan rubrik asesmen yang akan digunakan
dalam menilai kegiatan/ hasil karya siswa.
(5 menit)
Tahap 2
Mengorganisasi

- Guru mengarahkan siswa untuk kumpul


kelompoknya,
kemudian
menginformasikan

dalam
untuk

siswa
belajar

untuk

mempersiapkan diri untuk melakukan presentasi;

(5 menit)
Tahap 3

- Guru memberikan bimbingan agar dilakukan Tanya jawab


dalam kelompok sebagai persiapan presentasi;

Membimbing
penyelidikan
- Siswa menyusun hand out yang digunakan untuk presentasi
individu maupun
dan guru melakukan bimbingan kepada setiap kelompok;
kelompok
(5 menit)
Tahap 4

- Dengan menggunakan undian, salah satu kelompok


mempresentasikan proposalnya, serta kelompok lain sebagai
Mengembangkan
penyangga dan agar mempersiapkan pertanyaan;
dan menyajikan
hasil karya
- Presentasi dilakukan untuk dua kelompok dan guru berperan
sebagai fasilitator, mediator, dan suvervisor;
(50 menit)
- Siswa diarahkan dan dimotivasi untuk membuat/menjawab
pertanyaan yang bersifat kontekstual.
Tahap 5
Menganalisis
dan
mengevaluasi
proses
pemecahan
masalah
(25 menit)

- Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau


evaluasi terhadap proposal yang dibuat;
- Guru memberikan informasi dan klarifikasi terhadap
pertanyaan dan jawaban siswa;
- Guru melakukan posttes untuk mengetahui hasil belajar
siswa

Observasi, Evaluasi, dan Refleksi


Selama pembelajaran berlangsung, guru melakukan observasi terhadap strategi
pembelajaran yang diterapkan dan melakukan perekaman terhadap proses belajar mengajar
yang berlangsung.
Berdasarkan observasi dan evaluasi tersebut, maka diakukan refleksi untuk
melihat seberapa besar keberhasilan dan kegagalan dalam penerapan model pembelajaran
yang dirancang.

Anda mungkin juga menyukai