Anda di halaman 1dari 6

Usaha Mendalami Pemikiran: Sebuah Perspektif Terhadap Pernikahan LGBTE0.

1
Oleh, Moch. F Dzulfiqar
AS: Menikahlah walau sejenis
Permasalahan LGBT adalah kasus subjektif yang pastinya melibatkan cinta, atau singkatnya
atas nama cinta. Tetapi cinta itu sendiri bukanlah akar dari penyimpangan tersebut, melainkan
sebuah gerbang atau jalur yang dapat mengantar seseorang pada penyimpangan tersebut.
Mengapa cinta menjadi gerbang yang mengantarkan pada perilaku menyimpang tersebut?
Karena cinta itu sendiri adalah emosi yang melibatkan kesan-kesan tertentu terhadap sesuatu.
Misal, di kelas mahasiswa angkatan baru terdapat seorang mahasiswa yang tertarik dan suka
pada teman sekelas barunya tanpa tahu dengan pasti apa yang membuatnya tertarik dan suka.
Dari contoh tadi, kesan-kesan itu bisa berupa penampilan, perilaku, perkataan, ataupun sikap
yang memberi kesan cukup kuat untuk memunculkan emosi suka, bahkan cinta. Lalu, kesan
seperti apa yang membuat cinta mengantarkan pada hubungan LGBT? Apa yang melatar
belakangi kesan tersebut?
Kesan itu sendiri adalah daya-daya halus yang melibatkan asosiasi antara batin dan realitas
luar, kesan itu juga adalah sebuah rasa dalam batin yang menjadi pertimbangan mengenai suatu
realitas, apakah sesuatu itu indah atau tidak, apakah hal ini sopan atau tidak, apakah yang
dilakukan ini baik atau tidak, dan semacamnya adalah kesan dalam kesadaran dan hati nurani.
Secara ringkas kesan berarti persepsi yang disadari secara halus, dapat memasuki kesadaran
melalui suatu tindakan dan paksaan yang terlibat dengan realitas luar. Ketika suatu kesan
menimbulkan emosi cinta, hal yang paling tidak saya ketahui adalah, bahwa kesan itu terjadi
secara halus dan melibatkan suatu nilai personal ataupun kolektif, artinya seseorang bisa jatuh
cinta karena kesan yang dia dapat dari orang yang membuatnya jatuh cinta sesuai dengan kriteria
penilaian personal ataupun kolektif. Adapun kesan yang membawa pada emosi cinta itu
melibatkan paksaan, kesan seperti ini biasanya karena ada pertimbangan rasional dan moril,
kesan yang terjadi karena paksaan terdiri atas paksaan dalam diri dan paksaan dari luar, misal
jatuh cinta karena kekayaan, atau jatuh cinta karena kegigihan menghadapi kesulitan dalam
hidup. Dan terakhir, kesan ini hampir sama seperti pernyataan yang pertama, hanya saja tidak
melibatkan penilaian secara langsung, kesan ini terjadi secara halus melalui tatapan, kesan ini
bisa dibilang sebagai cinta pada pandangan pertama. Tatapan adalah focus utama yang
menjelaskan bagaimana kesan bisa terjadi. Mengambil kutipan terkenal dari Jean Paul Sartre,
orang lain adalah neraka, mengapa demikian? Menurut Sartre, orang lain dapat merenggut
kebebasan kita dan menjadikan kita objek bagi dirinya, dan hal ini terjadi karena tatapan. Ketika
kita ditatap, maka kita adalah objek bagi sang penatap, dimatanya kita bukanlah kita dengan
segala subjektifitas, melainkan objek yang tereduksi dari nilai-nilai subjektifitas dan kehilangan
kebebasan. Hal itulah yang menjadi dasar dari filsafat kebencian Sartre, meskipun begitu, Sartre
telah mengklasifikasikan macam-macam tatapan yang tidak melulu menyebabkan kebencian dan
konflik, akan tetapi saya belum mempelajari sejauh itu, sehingga dalam menarik hubungan
dengan kesan dan cinta pada pandangan pertama, saya meminjam konsep subjek dan objek
dalam gagasan orang lain adalah neraka. Tatapan yang memberi pengalaman cinta dalam
pandangan pertama memiliki dua kemungkinan, pertama orang yang menjadi cinta pada

pandangan pertama menjadi objek di mata kita bila ciri dominan mempengaruhi ketertarikan,
seperti kecantikan dan ketampanan, maka kesan yang didapat adalah ciri dominan itu, sedang sisi
subjektif lainnya seperti kebiasaan, ucapan, gaya, tidaklah dipandang. Sedangkan kemungkinan
pada kedua, orang yang menjadi cinta pada pandangan pertama tetap memiliki subjektifitasnya
selama kesan pada ciri dominan itu diterima dan menjadi kaca mata untuk melihat sisi
subjektifitasnya, kemudian sisi subjektif itu diterima tanpa dipertentangkan dengan ciri dominan
atau nilai subjektif pengamat. Sebagai contoh, seorang siswi SMA jatuh cinta pada pandangan
pertama terhadap seorang siswa yang memiliki reputasi sebagai anak nakal di sekolahnya, dan
mereka bertemu pada saat siswa nakal itu sedang membuat kehebohan, siswi itu menilai siswa
nakal itu sebagai seorang anak laki-laki yang tampan, tetapi dia tidak menyayangkan perilaku
nakal yang menurut kebanyakan orang tidak pantas bagi seseorang yang terlihat tampan.
Untuk mencoba menjawab pertanyaan yang diajukan, saya memilih memakai pernyataan
kesan dan tatapan dalam cinta pada pandangan pertama. Alasannya, pada pernyataan pertama
dan kedua, akan melibatkan berbagai hal, seperti penilaian interpersonal, rasional, dan moril.
Sedangkan apabila saya mengkaji melalui pernyataan ketiga, diharapkan saya bisa leluasa
menelusuri sisi subjektif hingga yang terdalam pada seluruh manusia. Dalam membahas
bagaimana tatapan memunculkan kesan dan dari kesan menuju cinta dalam hubungan LGBT,
pertama-tama saya akan mencoba menggali lebih dalam apa itu kesan, kemudian dilanjutkan
dengan hubungannya terhadap cinta secara umum, terakhir mengerucut pada cinta LGBT.
Tiap harinya kita pasti menemui kesan, hampir pada apapun, baik disadari maupun tidak.
Secara umum kesan muncul disaat kita melakukan proses penilaian, semakin tinggi tingkat nilai
pada ekspektasi maka kita biasanya merasa terkesan hingga berkata aku terkesan! ataupun
sungguh mengesankan. Pada prosesnya, kesan yang disadari dan melalui suatu tindakan
biasanya merupakan kesan yang kritis dan secara aktif terlibat dalam proses penilaian, dengan
berbagai pertimbangan yang ditentukan. Sedangkan kesan yang tidak disadari cenderung
melibatkan peran emosi, dan ada tindakan berupa kekerasan yang bisa mempengaruhi
munculnya kesan tersebut. Sebagai contoh, pada saat pemerintah Amerika melegaslkan
pernikahan sejenis, maka banyak sekali netizen Indonesia yang terkejut dan menghujat, serta ada
pula yang memberi nasehat sebagai tanggapan, hal ini menunjukan bahwa kesan tidaklah kita
sadari, tetapi kita menyadari sesuatu yang buruk mengenai penyebab kesan itu. Sedangkan pada
kesan yang masuk melalui kekerasan terjadi apabila kita mengalami konflik yang bisa berujung
pada kekerasan fisik, verbal, maupun psikologis. Sebagai contoh, seorang anak yang sering
dipukuli oleh ayahnya dengan dalih untuk kedisiplinan, dia tidak akan mendapatkan kesan sesuai
dengan yang diharapkan oleh ayahnya, akan tetapi kesan yang didapat adalah bahwa figure ayah
serta atributnya memiliki hubungan dengan kekerasan.
Dari refleksi mengenai kesan pada paragraph sebelumnya, diketahui bahwa kesan itu
melibatkan nilai dan makna. Manusia adalah mahkluk yang selalu mencari makna. Manusia juga
mahkluk yang senantiasa membuat nilai maupun terikat pada nilai-nilai tertentu. Makna adalah
suatu hal yang secara halus kita ketahui tentang sesuatu. Makna menghasilkan interpretasi dari
suatu. Interpretasi dari makna dapat menghasilkan penilaian, baik-buruk, benar-salah, dan lain
sebagainya. Nilai yang dihasilkan terikat pada ruang dan waktu. Semakin suatu nilai

diekspektasikan, maka akan ada kecenderungan yang memotivasi pada nilai tersebut. Tapi sejauh
ini apakah makna dan nilai adalah hal yang sama?

Bagi saya pribadi, makna adalah tapal batas mengenai suatu hal, sedangkan nilai adalah
parameter terhadap tapal batas. Sebagai contoh, saya memaknai danau yang dalam dan gelap
sebagai sesuatu yang menakutkan, semakin dangkal dan jernih hal itu tidaklah menakutkan,
justru indah dan menenangkan. Gelap-jernih, dalam-dangkal, adalah parameter yang menentukan
tapal batas sebagai hal yang ditakuti atau disenangi. Dari contoh sederhana ini, makna dan nilai
adalah dua hal yang saling mempengaruhi, dapat saling menguatkan kesan, ataupun satu hal
yang berbanding lurus dengan hal lainnya. Jika makna dan nilai adalah tapal batas dan parameter,
bagaimana hubungannya dengan cinta?
Cinta? Kita semua menyadari jika cinta itu didapat dari orang lain, atau oleh suatu objek
tertentu. Kitapun menyadari bahwa cinta adalah sesuatu yang membuat kita senantiasa ingin
bersama dengan apa atau siapa yang kita cintai. Kedua pernyataan tadi mengingatkan pada
kutipan dari seorang filsuf Prancis, Lucan menyatakan bahwa dalam hati manusia ada
kekosongan dan kekosongan itu bisa diisi oleh kehadiran orang lain di dalamnya, hal inilah yang
dinamakan cinta. Ataupun pada pernyataan Gabriel Marcel, cinta adalah be with me. Dari
kedua hal itu, kita bisa dapatkan makna dan nilai, atau tapal batas dan parameter dari cinta.
Menurut pendapat Lucan, saya temukan bahwa orang lain adalah tapal batas dari cinta,
sedangkan kekosongan dan kehadiran di dalam hati sebagai parameternya. Dari pendapat
Marcel, saya temukan bahwa orang lain pun adalah tapal batasnya, sedangkan parameternya
adalah komitmen. Saya pun tertarik untuk memasukan pengertian dari cinta menurut saya, cinta
sebagaimana benci, kala kita jatuh cinta kita butuh seseorang atau hal yang kita cintai, begitu
pula ketika benci, kita bisa mencintai sesuatu disebabkan ada hal-hal yang diekspektasikan oleh
kita terhadap hal yang kita cintai, begitu pula dengan benci bisa disebabkan karena ada hal-hal
yng kita ekspektasikan sebagai potensi terhadap hal yang kita benci. Jadi cinta bukan berarti
absennya kebencian, ataupun sebaliknya. Ketika membahas cinta saya tidak bisa melepaskannya
dari benci, sebab dalam pandangan saya keduanya adalah satu. Focus kembali pada cinta, baik
dari konsep dua filsuf Prancis ataupun dari saya pribadi, saya akan membawa cinta pada satu
pengertian utuh untuk pembahasan kali ini. Cinta adalah penerimaan eksistensial yang tertinggi.
Mengapa? Karena untuk bereksistensi, kita harus ko-eksis, kita membutuhkan keberadaan orang
lain untuk mengadakan keberadaan kita sendiri. Lalu, dikatakan penerimaan tertinggi sebab
menuju cinta berarti mengakui eksistensi seseorang sampai tingkat subjektifitasnya, kita melihat
orang sebagai individu dengan segala subjektifitasnya. Ketika kita mengakui atau diakui
eksistensinya sebagai individu dengan segala subjektifitasnya, maka dalam konsep ada-di-dalamdunia, eksistensi itu berada pada zona Mitwelt, Umwelt, hingga Eigenwelt. Mitwelt adalah
lingkungan dimana terdapat perhubungan antara manusia dengan manusia lainnya, dari sini cinta
sudah nampak. Selanjutnya Umwelt atau dunia emosional, cinta dikatakan sebagai penerimaan
eksistensial tertinggi disebabkan apabila kita menerima subjektifitas seseorang, bukan
mengharuskannya beradaptasi dengan diri kita, maka kita menerimanya sebagai dasein bukan
objek yang menjadi instrument bagi kita dalam dunia emosional ini. Terakhir, Eigenwelt atau
dunia batin, dalam dunia inilah kita melihat ke dunia luar, dunia pemaknaan, jadi apabila orang

lain sudah dimaknai sebagai individu dengan segala subjektifitasnya, maka akan menjadi dasar
diatas dasar untuk melihat individu itu di dunia nyata dalam keadaan yang sebenarnya.
Sebelumnya sudah kita ketahui kesan sebagai persepsi pada makna dan nilai yang
kemudian membawa kita pada pengertian cinta khusus pada pembahasan ini, cinta sebagai
penerimaan eksistensi tertinggi. Dan dalam penjelasannya, cinta adalah penerimaan subjektifitas
individu hingga dimensi Eigenwelt, hal ini masih dijelaskan sebagai generalisasi yang kemudian
dikhususkan tergantung pada konteks tertentu. Dalam hal ini saya bagi jadi dua tipe, cinta
komunal dan cinta intim, cinta komunal adalah rasa cinta yang dibentuk berdasarkan keterikatan
yang dibentuk dengan cara bersama dengan orang lain secara intens, cinta pada keluarga dan
sahabat adalah subtype dari cinta ini. Sedangkan cinta intim adalah cinta yang muncul setelah
ikatan dan penerimaan subjektifitas menggerakan kesadaran pada satu nilai khusus yang sama
yang dipahami bersama. Dari cinta intim inilah bisa dikenal adanya hubungan normal dan
abnormal. Jika dilihat kembali dari penjelasan cinta intim, bagaimana hubungan cinta LGBT bisa
terjadi?
Ada dua hal yang perlu dijadikan titik tolak pembahasan ini, pertama subjektifitas dan
kedua nilai. Subjektifitas dalam hal ini adalah sebuah jembatan kepada cinta, sebab begitu
menerima subjektifitas orang lain nilai benar-salah, baik-buruk, bisa disingkirkan untuk
menerima sosok tersebut dalam diri kita. Dari tahap ini selanjutnya akan ada timbal balik nilai
antar subjek yang baik satu sama lainnya akan saling melengkapi dan dipahami secara bersama.
Dari sini, perbedaan yang jelas antara cinta dengan hubungan normal dan LGBT terletak pada
ambang batas terhadap nilai. Artinya, setiap timbal balik nilai terjadi pada prosesnya bisa
terdapat adaptasi yang berujung pada pembiasaan, dan ada pula kemungkinan penghilangan nilai
yang sudah ada pada diri sebelumnya. Ketika adaptasi pada proses timbal balik nilai
berlangsung, nilai yang kita terima memiliki kesan tertentu, semakin kuat kesan yang
ditimbulkan maka semakin tinggi ambang batas toleransinya terhadap nilai yang sudah ada pada
kita. Bisa pula nilai itu awalnya memiliki kesan yang rendah, tetapi lama-kelamaan kita
menyadari kesan yang berlawanan dan melewati ambang batas dengan nilai yang kita miliki,
maka diri kita memasuki titik kritis dimana kita membuat keputusan, apakah kita akan
melenyapkan nilai yang berlawanan pada diri kita, atau menolak nilai yang datang dari luar. Di
titik inilah jembatan penerimaan subjektifitas bisa menjadi kecenderungan pada cinta hubungan
LGBT apabila beradaptasi pada nilai yang bersangkutan hingga melewati ambang batas, atau
nilai yang bersangkutan itu menghancurkan nilai kontra yang sudah ada sebelumnya, lalu
diterima.
Menanggapi AS : Menikahlah walau sejenis.
Menikahlah, jangan sejenis. Sebelumnya saya sudah mencoba mencari tahu akar dari
cinta hubungan LGBT menurut perspektif saya berdasarkan pada filsafat eksistensialisme.
Tanggapan saya menikahlah, jangan sejenis tidaklah membahas persoalan dikotonomi baikburuk, atau benar-salah, tetapi lebih pada nilai kesesuaian. Alasannya karena pada pembahasan
terakhir, kesesuaian nilai yang melewati ambang bataslah yang membawa pada kecenderungan
cinta LGBT. Selain itu pada dasarnya saya pun menyakini jika baik-buruk atau benar-salah pada
awalnya satu, kemudian menjadi terkotak-kotak oleh pemikiran manusia. Cinta itu bisa

dikatakan baik, tetapi cinta yang membawa hubungan LGBT adalah sesuatu yang buruk, dari sini
kita melihat cinta sebagai hal yang baik, tetapi dibaliknya ada hubungan LGBT sebagai hal yang
buruk, maka baik dan buruk itu harus dimaknai bersama, yang masing-masingnya saling
membelakangi. Dari asumsi tadi, cinta yang baik dan hubungan LGBT yang buruk
dibelakangannya tidak lantas menjadikannya buruk sepenuhnya, hanya saja tidak sesuai, dan bisa
jadi sesuai bila diturunkan pada tingkat cinta komunal yang memang sejatinya tidak memandang
gender sebagai syarat kesesuaian. Lebih lanjut lagi saya akan menjelaskan hal ini melalui
pemaknaan mitos Adam dan Hawa akan melibatkan lebih banyak dari perspektif agama Yahudi
dan Kristen.
Seperti yang kita ketahui, Adam diciptakan Tuhan sebagai seorang laki-laki. Dikarenakan
Adam merasa kesepian, Tuhan lalu mengambil tulang rusuk Adam dan menciptakan seorang
perempuan untuk menemani Adam. Lalu, dalam sosok seekor ular, iblis yang terusir dari surga
menyelinap dan menggoda Adam dan Hawa untuk memakan buah dari pohon pengetahuan dan
pohon kehidupan. Setelah Adam dan Hawa akhirnya tertipu bujuk rayu sang iblis, dan memakan
buah dari kedua pohon itu, mereka kemudian mengetahui bahwa dengan berpasangan mereka
dapat bereproduksi dan memiliki keturunan.
Diciptakannnya Adam sebagai seorang laki-laki bagi saya merupakan makna bahwa pada
awalnya rasio dan emosi itu seimbang. Lalu, baik maskulinitas maupun feminin adalah satu.
Kemudian, pengambilan tulang rusuk Adam untuk menciptakan Hawa bagi saya bermakna
sebagai perbedaan itu terlahir dari pemisahan yang sudah ada, dan perbedaan ini akhirnya
menjadi sesuatu yang saling melengkapi dan memahami, lalu kembali menjadi satu. Setelah
memakan buah pengetahuan dan kehidupan lalu mendapat pengetahuan untuk bereproduksi,
bermakna sebagai nilai mutlak pada individu yang bersesuian dengan peran jenis kelaminnya,
dan hal ini menunjukan bahwa kedua jenis kelamin ada karena saling membutuhkan untuk bisa
menjalankan perannya sesuai dengan nilai mutlak. Dari penciptaan Adam dan Hawa, tujuan
adanya berpasang-pasangan dan memiliki perbedaan, adalah untuk menunjukan masing-masing
memiliki nilai mutlak yang tidak dimiliki oleh yang lain, dan hal ini juga menunjukan
ketidaksempurnaan manusia karena hanya dibekali nilai mutlak tertentu sedang nilai lainnya ada
pada lawan jenisnya.
Nilai mutlak itu sendiri saya definisikan sebagai berbagai nilai asali pada manusia yang
ada sebagaimana adanya, menjalankan fungsinya sebagai mana adanya. Nilai ini dapat diketahui
salah satunya dengan melihat jenis kelamin sebagai bagian yang mewakili kesesuaian seluruh
tubuh kita. Dan nilai ini nyata begitu kita memahaminya sebagai mana adanya, sebab pemaknaan
cenderung akan memunculkan negasi, pada akhirnya nilai mutlak mengalami kepudaran. Nilai
mutlak yang dipamahi semestinya akan membawa pada harmoni, yaitu suatu kondisi dimana diri
mengalami keselarasan dengan atribut yang melekat padanya. Sebaliknya, nilai mutlak yang
ditentang dan diingkari akan menimbulkan distorsi, akibatnya pikiran akan terus menerus
berupaya menghasilkan ilusi-ilusi yang diekspektasikan.
Sampai disini saya pribadi masih mengembangkan solusi untuk menemukan kembali nilai
mutlak yang diharapkan dapat memberi kesadaran pada manusia supaya berbuat yang sesuai.
Karena itu, jika pembaca ingin memberi masukan berupa saran atau kritik, dengan senang hati

saya terima, mudah-mudahan membantu saya. Silakan kirim ke alamat email pribadi saya,
moch.fariz.dz13@gmail.com
Terima Kasih Sudah Membaca Buah Pemikiran Saya

Anda mungkin juga menyukai