25
20
15
10
5
0
1
30
25
20
15
10
5
0
Label: Artikel
Pendahuluan
Pendidikan kecakapan hidup (life skills), tentu bukanlah istilah yang baru. Bahkan
sebagian besar orang akan menganggap pendidikan kecakapan hidup adalah
barang lama. Memang sudah sejak sekitar tahun 2000-an pemerintah, dalam
hal ini departemen pendidikan nasional, menggulirkan pendidikan kecakapan
hidup (PKH) yang kemudian diimplemetasikan mulai dari jenjang SD sampai
dengan SMA/SMK. Konsep yang sebenarnya sangat bagus tersebut setengah
kandas di tengah jalan. Meskipun para pakar pendidikan terus menggaungkan
PKH, namun pada taraf implementasinya, PKH mengalami banyak kendala
karena berbagai alasan.
Tulisan ini sekedar ingin menunjukkan betapa dekatnya kaitan antara pendidikan
karakter dan PKH. Artinya, kita seringkali melakukan perubahan-perubahan, yang
sebenarnya perubahan tersebut hanyalah memoles barang lama menjadi
barang baru, atau membungkus barang yang sama dengan bahan pembungkus
yang berbeda; namun substansinya tetap sama. Munculnya wacana pendidikan
karakter akhir-akhir ini sebenarnya merupakan penegasan kembali dari apa yang
telah disadari oleh para founding fathers dulu. Sejak awal para Pendiri Negara
sudah menyadari betapa pentingnya pembangunan karakter bangsa, sebab
tanpa karakter yang baik, apa yang dicita-citakan dalam pendirian negara ini
tidak akan berhasil. Dalam implementasinya, pendidikan karakter ini dinamakan
pendidikan budi pekerti, etika, pendidikan kepribadian, dan sebagainya.
Sedangkan PKH bila dicermati, juga berkaitan erat dengan bagaimana
Menurut Lickona dkk (2007) terdapat 11 prinsip agar pendidikan karakter dapat
berjalan efektif: (1) kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja
pendukungnya sebagai fondasi karakter yang baik, (2) definisikan 'karakter'
secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku, (3)
gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam
pengembangan karakter, (4) ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian,
(5) beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral, (6) buat kurikulum
akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta
didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil, (7)
usahakan mendorong motivasi diri siswa, (8) libatkan staf sekolah sebagai
komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung jawab dalam
pendidikan karakter dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama yang
membimbing pendidikan siswa, (9) tumbuhkan kebersamaan dalam
kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi inisiatif pendidikan
karakter, (10) libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam
upaya pembangunan karakter, (11) evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah
sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter
yang baik.
Berdasarkan kelemahan ini, serta juga didorong oleh kesadaran bahwa begitu
pentingnya pembangunan karakter melalui pendidikan, maka dalam rangka
program pembangunan karakter bangsa, aspek karakter diharapkan benar-benar
menjadi tujuan pembelajaran, sebagaimana aspek lain (kognitif dan
psikomotorik).
Bertumpu pada keadaan hasil pendidikan selama ini dan berbagai tuntutan,
tantangan, serta kebutuhan eksternal masa kini, banyak kalangan berpendapat
bahwa: (1) pendidikan harus ditujukan bagi kepentingan dan kebutuhan
masyarakat luas, bukan hanya bagi kelompok masyarakat tertentu, (2)
pendidikan harus berorientasi populistis, tidak boleh elistis semata, (3)
pendidikan harus mampu memenuhi kebutuhan dan hajat hidup masyarakat
luas, bukan sebagian kecil masyarakat, (4) pendidikan harus kontekstual dan
cocok dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat yang diidamkan, (5)
pembelajaran harus diarahkan untuk menyantuni pembelajar agar mampu hidup
mandiri dan otonom dalam hidup dan kehidupan masing-masing, bukan hanya
memiliki kepandaian akademis-intelektual, (6) sekolah harus senantiasa terlibat
dalam perubahan masyarakat, dan (7) sekolah juga merupakan lembaga
pembentukan kecakapan hidup, yang dibutuhkan oleh masyarakat luas dalam
hidup dan kehidupan sehari-hari, bukan penerusan ilmu pengetahuan teoritisakademis semata.
untuk berfungsi dan bertindak secara mandiri dan otonom dalam kehidupan
sehari-hari, tidak harus selalu meminta bantuan dan petunjuk pihak lain. Ini
berarti bahwa bentuk kecakapan hidup berupa pengetahuan sebagai praksis dan
kiat (praxis dan techne), bukan teori; pengetahuan sebagai skills of doing
sekaligus skills of being.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa kecakapan hidup lebih luas dari keterampilan
untuk bekerja, dan dapat dipilah menjadi lima, yaitu: (1) kecakapan mengenal
diri (self awarness), yang juga disebut kemampuan personal (personal skill), (2)
kecakapan berpikir rasional (thinking skill), (3) kecakapan sosial (social skill), (4)
kecakapan akademik (academic skill), dan (5) kecakapan vokasional (vocational
skill).
Tiga kecakapan yang pertama dinamakan General Life Skill (GLS), sedangkan
dua kecakapan yang terakhir disebut Specific Life Skill (SLS). Di alam kehidupan
nyata, antara GLS dan SLS, antara kecakapan mengenal diri, kecakapan berpikir
rasional, kecakapan sosial, kecakapan akdemik dan kecakapan vokasional tidak
berfungsi secara terpisah-pisah, atau tidak terpisah secara eksklusif (Depdiknas,
2002; Samani, 2007; Samani, 2011). Hal yang terjadi adalah peleburan
kecakapan-kecakapan tersebut, sehingga menyatu menjadi sebuah tindakan
individu yang melibatkan aspek fisik, mental, emosional dan intelektual. Derajat
kualitas tindakan individu dalam banyak hal dipengaruhi oleh kualitas
kematangan berbagai aspek pendukung tersebut di atas.
pada kecakapan hidup, dan (3) etika sosio religius bangsa dapat diintegrasikan
dalam proses pendidikan. Bertolak dari ketiga prinsip tersebut, maka
pengembangan kecakapan hidup tidak dalam bentuk mata pelajaran tersendiri,
melainkan diintegrasikan ke dalam mata pelajaran-mata pelajaran yang ada
selama ini dengan prinsip-prinsip yang sama di atas.
Temuan dari Tim Peneliti Universitas Negeri Malang (2002) mengenai faktorfaktor penghambat pendidikan kecakapan hidup di Jawa Timur menunjukkan
bahwa faktor internal yang berasal dari guru, sistem sekolah, kurikulum, serta
fasilitas yang dimiliki sekolah merupakan faktor penghambat yang utama. Faktor
penghambat yang lain juga termasuk faktor eksternal yang berasal dari
dukungan pemerintah, sosial/budaya, dukungan dunia usaha/industri, dan
dukungan orang tua. Hasil penelitian itu juga menjelaskan bahwa menurut
peringkatnya, guru menduduki peringkat pertama sebagai penghambat, disusul
berturut-turut oleh sistem sekolah, kurikulum, fasilitas, dukungan pemerintah,
dukungan dunia usaha/industri, orang tua, dan sosial budaya.
Terdapat benang merah antara PKH dan pendidikan karakter. PKH tidak hanya
melulu mengajarkan keterampilan (dalam arti hard-skills) kepada siswa, namun
juga mengajarkan karakter itu sendiri (soft skills). Bahkan sebagaimana
pendidikan karakter, PKH juga bukan merupakan konsep yang benar-benar baru.
Sejak lama kurikulum kita sudah menyebutkan bahwa tujuan pendidikan
mencakup juga penumbuhkembangan sikap jujur, disiplin, saling toleransi,
berpikir rasional dan kritis, bekerja keras, dan seterusnya, yang sebenarnya hal
tersebut identik dengan GLS. Dengan kata lain, seandainya konsep PKH yang
sudah sangat bagus itu benar-benar diimplementasikan dengan sepenuh hati,
maka karakter-karakter positif dan utama (jujur, cerdas, peduli, dan tangguh)
yang saat ini diusung oleh pendidikan karakter tersebut, sudah dapat dirasakan
hasilnya. Setidaknya, setelah lebih dari satu dasawarsa, implementasi konsep
tersebut sudah menunjukkan sedikit bukti keberhasilan dan memberikan
manfaatnya. Namun ternyata tidaklah seperti itu yang terjadi, dan bahkan
konsep PKH saat ini seolah-olah hilang tanpa bekas.
Tentu saja bukan faktor guru saja yang kemudian menjadi fokus perhatian. Zuhdi
(2010) menegaskan, pendidikan karakter di perguruan tinggi perlu melibatkan
berbagai komponen terkait yang didukung oleh proses pendidikan itu sendiri,
yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan warga
kampus, pengelolaan perkuliahan, pengelolaan berbagai kegiatan mahasiswa,
pemberdayaan sarana dan prasarana, serta etos kerja seluruh warga kampus.
Daftar Pustaka
Bashori, K. 2010. Menata Ulang Pendidikan Karakter Bangsa.
http://www.mediaindonesia.com/read/2010/03/15/129378/68/11/Menata-UlangPendidikan-Karakter-Bangsa. Diakses 10 September 2010.
Abstract: Life skill education is an education that provides learners with life skill
to face lifes problem, to live the life without feeling any pressures and find the
solution and to be able to handle the problem. An education that can combine
various lessons to become life skill that is needed by everyone, wherever she/he
is, employed or unemployed and whatever the occupation is. With those capital
life skill, the fresh graduate students can solve the problem of life, including to
find and create job field for those who cannot continue their study. Life skill
education in Elementary School is focused in General Life Skill (GLS) that consist
of self awareness, thinking skill, and social skill. This is based on the idea that
GLS is the basic of life skill which is needed to learn about the next life skill and
to be ready to get into the real life, whatever the activities are. Vocational skill
is also being developed but still in beginning level. The implementation of life
skill in Elementary School is considered in some models: (1) integrative model,
(2) complementative model, and (3) discreet model. Whatever the model is, the
important thing is the life skill learning has to placed the students as subject in
study. Students have the opportunity to study actively, mentally as well as
physically, and these can be achieved if learning environment is made to be
confortable and fun for the students.
Relevan dengan apa yang telah dipublikasikan oleh Bank Dunia (2000), modal
manusia telah dianggap aset paling utama kualitas pertumbuhan dan
pembangunan yang akan mendatangkan kesejahteraan. Begitu juga dengan
penegasan Kendall dan Marzano (1997) yang memastikan bahwa kecakapan
hidup (life skills) telah menjadi salah satu hal yang harus dimiliki dan dikuasai
oleh masyarakat, termasuk peserta didik, agar mereka mampu berperan aktif
dalam lapangan kerja yang ada serta mampu berkembang.
tahun 2003 dan NAFTA mulai 2020 (untuk negara maju mulai 2010), membuka
peluang masuknya tenaga kerja dari luar negeri yang berkualitas dan berdaya
saing tinggi, ke dalam dunia kerja di Indonesia; dan hal ini jelas mengancam
keberadaan tenaga kerja Indonesia, lebih-lebih bagi mereka yang tidak memiliki
kecakapan hidup yang memadai untuk memasuki kesempatan kerja yang ada.
Kenyataan ini mengimplikasikan bahwa keterbukaan negara dan masyarakat
Indonesia terhadap berbagai aktivitas sosial, ekonomi, budaya, dan komunikasi,
telah menuntut tersedianya modal manusia berupa kecakapan hidup yang
bermutu.
Hal lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah hingga tahun 1998/1999
masih ada sekitar 0,9 juta anak usia 7-12 tahun yang tidak berada pada sistem
persekolahan karena tidak mendaftar sekolah dan/atau putus sekolah (Jalal dan
Supriadi, 2001). Hal ini disebabkan oleh banyaknya jumlah penduduk miskin di
desa tertinggal dan daerah kumuh perkotaan yang tidak mampu membiayai
pendidikan bagi anak-anaknya. Di samping itu, terbatasnya sarana transportasi
terutama di pulau-pulau terpencil merupakan kendala bagi penduduk untuk
menjangkau layanan pendidikan. Walaupun jumlah 1,2 juta tidak terlalu besar,
namun hal ini tidak dapat diabaikan karena menyangkut hak setiap anak
Indonesia untuk mendapatkan layanan pendidikan.
Masalah lain yaitu masih banyaknya siswa yang mengulang kelas. Analisis Kohort
menunjukkan bahwa hanya 60,1% siswa SD/MI yang berhasil menyelesaikan
pendidikannya selama 6 tahun, sebanyak 24,1% dalam 7 tahun, 5,2% dalam 8
tahun, dan selebihnya dalam 9 tahun atau putus sekolah (Jalal dan Supriadi,
2001). Masalah besarnya proporsi siswa yang mengulang kelas atau putus
sekolah ini merupakan realitas sosial yang perlu segera mendapatkan respon
cepat dan tepat dari berbagai pihak untuk mengatasinya (Anonim, 2002).
Di Jawa Timur, NEM Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah relatif rendah dan
tidak mengalami peningkatan yang berarti. Profil Pendidikan Provinsi Jawa Timur
menunjukkan bahwa rerata NEM provinsi pada tahun pelajaran 2000/2001
adalah 32,76 untuk SD, 29,58 untuk MI, 33,61 untuk SLTP, dan 34,17 untuk MTs
(Dinas Pendidikan Jawa Timur, 2001).
Masalah di atas masih ditambah lagi dengan fakta bahwa sebagian besar
tamatan pendidikan dasar dan menengah umum tidak dapat terserap ke dalam
dunia kerja. Faktor-faktor penyebabnya antara lain adalah: (1) jumlah angkatan
kerja yang hanya tamatan pendidikan dasar dan menengah umum jauh lebih
besar daripada kesempatan kerja yang ada, (2) angkatan kerja tamatan
pendidikan dasar dan menengah umum kalah bersaing dengan angkatan kerja
tamatan pendidkan menengah khusus dan pendidikan profesional dalam
memasuki lapangan kerja, karena kecakapan yang mereka miliki sangat minim
dan terbatas, (3) kecakapan yang dibutuhkan oleh masyarakat luas khususnya
dunia kerja yang ada di masyarakat tidak sesuai dengan kecakapan yang dimiliki
tamatan pendidikan dasar dan menengah umum (Saryono, Djoko, 2002). Hal-hal
tersebut menyebabkan para lulusan pendidikan dasar dan menengah di
Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif, apalagi keunggulan kompetitif.
Bertolak dari berbagai gambaran di atas, dapat dilihat bahwa ada permasalahan
besar dan mendasar dengan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, yaitu
rendahnya mutu sistem pembelajaran atau sistem pendidikan di sekolah. Oleh
sebab itu, perlu dilakukan pengembangan sistem pendidikan yang mampu
mengatasi persoalan-persoalan tersebut.
Tahun 2001 Pemerintah Pusat, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional
mengembangkan konsep Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education),
yaitu suatu pendidikan yang dapat membekali peserta didik dengan kecakapan
hidup, yaitu keberanian menghadapi problema hidup dan kehidupan secara
wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara kreatif menemukan solusi serta
mampu mengatasinya. Pendidikan yang dapat mensinergikan berbagai mata
pelajaran menjadi kecakapan hidup yang diperlukan seseorang, di manapun ia
berada, bekerja atau tidak bekerja, apa pun profesinya. Dengan bekal kecakapan
hidup tersebut, diharapkan para lulusan akan mampu memecahkan problema
kehidupan yang dihadapi, termasuk mencari atau menciptakan pekerjaan bagi
mereka yang tidak melanjutkan pendidikannya (Depdiknas, 2002).
Bertumpu pada keadaan hasil pendidikan selama ini dan berbagai tuntutan,
tantangan, serta kebutuhan eksternal masa kini, banyak kalangan berpendapat
bahwa: (1) pendidikan harus ditujukan bagi kepentingan dan kebutuhan
masyarakat luas, bukan hanya bagi kelompok masyarakat tertentu, (2)
pendidikan harus berorientasi populistis, tidak boleh elistis semata, (3)
pendidikan harus mampu memenuhi kebutuhan dan hajat hidup masyarakat
luas, bukan sebagian kecil masyarakat, (4) pendidikan harus kontekstual dan
cocok dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat yang diidamkan, (5)
pembelajaran harus diarahkan untuk menyantuni pembelajar agar mampu hidup
mandiri dan otonom dalam hidup dan kehidupan masing-masing, bukan hanya
memiliki kepandaian akademis-intelektual, (6) sekolah harus senantiasa terlibat
dalam perubahan masyarakat, dan (7) sekolah juga merupakan lembaga
pembentukan kecakapan hidup, yang dibutuhkan oleh masyarakat luas dalam
hidup dan kehidupan sehari-hari, bukan penerusan ilmu pengetahuan teoritisakademis semata.
secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif
mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya.
Dalam pandangan Kendall dan Marzano (1997), kecakapan hidup merupakan
diskripsi seperangkat kategori pengetahuan yang bersifat lintas isi atau
kemampuan yang dipandang penting dan dapat digunakan untuk dunia kerja.
Sedangkan Brolin (1989) mengemukakan bahwa kecakapan hidup merupakan
pengetahuan dan kemampuan yang dibutuhkan oleh seseorang untuk berfungsi
dan bertindak secara mandiri dan otonom dalam kehidupan sehari-hari, tidak
harus selalu meminta bantuan dan petunjuk pihak lain. Ini berarti bahwa bentuk
kecakapan hidup berupa pengetahuan sebagai praksis dan kiat (praxis dan
techne), bukan teori; pengetahuan sebagai skills of doing sekaligus skills of
being.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa kecakapan hidup lebih luas dari keterampilan
untuk bekerja, dan dapat dipilah menjadi lima, yaitu: (1) kecakapan mengenal
diri (self awarness), yang juga disebut kemampuan personal (personal skill), (2)
kecakapan berpikir rasional (thinking skill), (3) kecakapan sosial (social skill), (4)
kecakapan akademik (academic skill), dan (5) kecakapan vokasional (vocational
skill).
Tiga kecakapan yang pertama dinamakan General Life Skill (GLS), sedangkan
dua kecakapan yang terakhir disebut Specific Life Skill (SLS). Di alam kehidupan
nyata, antara GLS dan SLS, antara kecakapan mengenal diri, kecakapan berpikir
rasional, kecakapan sosial, kecakapan akdemik dan kecakapan vokasional tidak
berfungsi secara terpisah-pisah, atau tidak terpisah secara eksklusif (Depdiknas,
2002). Hal yang terjadi adalah peleburan kecakapan-kecakapan tersebut,
sehingga menyatu menjadi sebuah tindakan individu yang melibatkan aspek
fisik, mental, emosional dan intelektual. Derajat kualitas tindakan individu dalam
banyak hal dipengaruhi oleh kualitas kematangan berbagai aspek pendukung
tersebut di atas.
Pendidikan kecakapan hidup di SD difokuskan pada General Life Skill (GLS) yang
mencakup kesadaran diri atau kecakapan personal (self awareness), kecakapan
berpikir rasional (thinking skill) dan kecakapan sosial (social skill). Hal ini
didasarkan atas prinsip bahwa GLS merupakan fondasi kecakapan hidup yang
akan diperlukan untuk mempelajari kecakapan hidup berikutnya dan bahkan
untuk terjun dalam kehidupan sehari-hari, apa pun kegiatan seseorang.
Kecakapan vokasional (vocational skill) juga dikembangkan namun barulah pada
tahap awal (Depdiknas, 2002).
program-program kurikuler, kurikulum yang ada, dan atau mata pelajaran yang
ada. Berbagai program kurikuler dan mata pelajaran yang ada seharusnya
bermuatan atau berisi kecakapan hidup. Model ini memerlukan kesiapan dan
kemampuan tinggi dari sekolah, kepala sekolah, dan guru mata pelajaran. Kepala
sekolah dan guru harus pandai dan cekatan menyiasati dan menjabarkan
kurikulum, mengelola pembelajaran, dan mengembangkan penilaian. Ini berarti,
mereka harus kreatif, penuh inisiatif, dan kaya gagasan. Keuntungannya, model
ini relatif murah, tidak membutuhkan ongkos mahal, dan tidak menambah beban
sekolah terutama kepala sekolah, guru, dan peserta didik.
Temuan dari Tim Peneliti Universitas Negeri Malang (2002) mengenai faktorfaktor penghambat pendidikan kecakapan hidup di Jawa Timur menunjukkan
bahwa faktor internal yang berasal dari guru, sistem sekolah, kurikulum, serta
fasilitas yang dimiliki sekolah merupakan faktor penghambat yang utama. Faktor
penghambat yang lain juga termasuk faktor eksternal yang berasal dari
dukungan pemerintah, sosial/budaya, dukungan dunia usaha/industri, dan
dukungan orang tua.
Jelaslah bahwa banyak faktor penghambat yang sangat mungkin dihadapi oleh
sekolah dalam rangka implementasi pendidikan kecakapan hidup, baik itu faktor
internal dari sekolah sendiri maupun faktor eksternal. Memperhatikan kendalakendala tersebut, maka di dalam implementasi pendidikan kecakapan hidup di
sekolah, tahap awal yang harus dilakukan adalah memberikan pengertian dan
pemahaman kepada pelaksana sekolah (terutama guru dan kepala sekolah)
mengenai pendidikan kecakapan hidup itu sendiri. Hal ini penting karena
berdasarkan temuan di atas, ternyata faktor guru merupakan salah satu
penghambat utama, yang antara lain karena guru kurang mengerti pendidikan
Implementasi pendidikan kecakapan hidup di SD harus ditangani secara hatihati, serius, dan cermat. Kesalahan dalam penanganan hanya akan
memunculkan masalah baru dalam pendidikan di SD. Sebaliknya penanganan
yang benar akan membuat sebagian besar permasalah pendidikan di SD
sekaligus permasalah sosial-ekonomi masyarakat dapat diatasi. Ini berarti
keberhasilan atau kegagalannya sangat bergantung pada para pelaku pendidikan
itu sendiri, pakar-pakar pendidikan, birokrat, dan semua stakeholder pendidikan.
Penutup
Daftar Pustaka
Dinas Pendidikan Jawa Barat. 2002. Pendidikan Berbasis Luas Kecakapan Hidup
dengan Model Pelaksanaan Pembelajaran Hidup di Sekolah. Bandung: CV Dwi
Rama.
Dinas Pendidikan Jawa Timur. 2001. Profil Pendidikan Jawa Timur Tahun
2000/2001. Surabaya: Dinas Pendidikan Jawa Timur.
Jalal, Fasli dan Supriadi, Dedi. Editor. 2001. Reformasi Pendidikan dalam Konteks
Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
30
25
20
15
10
5
0
1
12
10
8
6
4
2
0
1
10 11 12 13 14 15
14
12
10
8
6
4
2
0
1
30
25
20
15
10
5
0
25
20
15
10
5
0
1
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
1
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
1
16
14
12
10
8
6
4
2
0
1
20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
1
14
12
10
8
6
4
2
0
16
14
12
10
8
6
4
2
0
1
30
25
20
15
10
5
0
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
1
20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
1
16
14
12
10
8
6
4
2
0
1
25
20
15
10
5
0
1
25
20
15
10
5
0
1
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
25
20
15
10
5
0
1
25
20
15
10
5
0
1
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
1
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0