Anda di halaman 1dari 38

30

25
20
15
10
5
0
1

30
25
20
15
10
5
0

Label: Artikel

Oleh Luthfiyah Nurlaela

Pendahuluan

Istilah pendidikan karakter sudah banyak dikupas di berbagai


kesempatan, baik secara verbal maupun tulisan, lebih-lebih sejak beberapa
tahun terakhir ini. Sebagaimana diketahui, dalam rangka membangun bangsa
dan negara ke depan, kementerian pendidikan nasional telah mencanangkan
pendidikan karakter sejak tanggal 2 Mei tahun 2010. Selain menjadi bagian dari
proses pembentukan akhlak anak bangsa, pendidikan karakter juga diharapkan
mampu menjadi fondasi utama dalam mensukseskan Indonesia Emas 2025. Di
lingkungan Kemendiknas sendiri, pendidikan karakter menjadi fokus pendidikan
di seluruh jenjang pendidikan yang dibinannya.

Pendidikan karakter bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk


memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan
kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Pendidikan
Karakter adalah proses pemberian tuntunan peserta/anak didik agar menjadi
manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa
dan karsa. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik memiliki
karakter yang baik meliputi kejujuran, tanggung jawab, cerdas, bersih dan
sehat, peduli, dan kreatif. Karakter tersebut diharapkan menjadi kepribadian
utuh yang mencerminkan keselarasan dan keharmonisan dari olah hati, pikir,
raga, serta rasa dan karsa.

Pendidikan kecakapan hidup (life skills), tentu bukanlah istilah yang baru. Bahkan
sebagian besar orang akan menganggap pendidikan kecakapan hidup adalah
barang lama. Memang sudah sejak sekitar tahun 2000-an pemerintah, dalam
hal ini departemen pendidikan nasional, menggulirkan pendidikan kecakapan
hidup (PKH) yang kemudian diimplemetasikan mulai dari jenjang SD sampai
dengan SMA/SMK. Konsep yang sebenarnya sangat bagus tersebut setengah
kandas di tengah jalan. Meskipun para pakar pendidikan terus menggaungkan
PKH, namun pada taraf implementasinya, PKH mengalami banyak kendala
karena berbagai alasan.

Tulisan ini sekedar ingin menunjukkan betapa dekatnya kaitan antara pendidikan
karakter dan PKH. Artinya, kita seringkali melakukan perubahan-perubahan, yang
sebenarnya perubahan tersebut hanyalah memoles barang lama menjadi
barang baru, atau membungkus barang yang sama dengan bahan pembungkus
yang berbeda; namun substansinya tetap sama. Munculnya wacana pendidikan
karakter akhir-akhir ini sebenarnya merupakan penegasan kembali dari apa yang
telah disadari oleh para founding fathers dulu. Sejak awal para Pendiri Negara
sudah menyadari betapa pentingnya pembangunan karakter bangsa, sebab
tanpa karakter yang baik, apa yang dicita-citakan dalam pendirian negara ini
tidak akan berhasil. Dalam implementasinya, pendidikan karakter ini dinamakan
pendidikan budi pekerti, etika, pendidikan kepribadian, dan sebagainya.
Sedangkan PKH bila dicermati, juga berkaitan erat dengan bagaimana

membangun karakter peserta didik, sehingga mereka memiliki kemampuan


untuk bisa hidup dan bertahan dalam segala situasi kapan dan di mana pun
mereka berada. Tanpa karakter yang baik dan tangguh, kemampuan tersebut
tidak akan dapat diperoleh.

Apakah Pendidikan Karakter?

Sebelum menguraikan pengertian pendidikan karakter, perlu disepakati dahulu


pengertian karakter. Istilah karakter (Yunani: charakter) berarti tanda-tanda
abadi. Tanda-tanda yang melekat pada diri individu, yang membedakan individu
satu dari lainnya. Pengertian karakter dalam hal ini adalah karakter baik, dan
membangun karakter berarti membangun sifat-sifat positif, terhormat, dan etika
yang baik. Sifat-sifat yang melibatkan aturan berperilaku baik dan
mengembangkan kebiasaan baik, yang hanya dapat terjadi melalui suatu praktik
yang berulang.

Karakter juga dimaknai sebagai kebaikan atau eksentrisitas seseorang. Sebagian


orang menganggap karakter bersifat personal, sementara yang lain memandang
lebih bersifat behavioral. Karakter dimaknai sebagai seperangkat karakteristik
psikologi individu yang mempengaruhi kemampuan dan menimbulkan dorongan
seseorang untuk memfungsikannya secara moral. Secara sederhana karakter
terdiri dari sifat-sifat tersebut yang mengarahkan seseorang untuk melakukan
suatu hal secara benar atau tidak.

Berkowitz (dalam Damon, 2002) mendefinisikan karakter sebagai anatomi moral.


Berkowitz meyakini bahwa fungsi moral seseorang dipengaruhi oleh karakteristik
psikologisnya. Karakter sebagai anatomi moral adalah komponen psikologi yang
membuat seseorang memiliki moral seutuhnya. Dalam anatomi moral tercakup
tujuh bagian, yakni perilaku moral, nilai-nilai moral, kepribadian moral, emosi
moral, pertimbangan atau pemikiran moral, identitas moral, dan karakteristik
dasar.

Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I


UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan
nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki
kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu
bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang
cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan
lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas
nilai-nilai luhur bangsa serta agama.

Secara akademis, pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan nilai,


pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, atau pendidikan
akhlak, yang tujuannya mengembangkan kemampuan peserta didik untuk
memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik itu, dan
mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.
Karena itu, muatan pendidikan karakter secara psikologis mencakup dimensi
moral reasoning, moral feeling, dan moral behaviour (Lickona, 1991).

Secara praktis, pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai


kebaikan kepada warga sekolah atau kampus yang meliputi komponen
pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilainilai tersebut, baik dalam berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa (YME),
sesama manusia, lingkungan, maupun nusa dan bangsa, sehingga menjadi
manusia paripurna (insan kamil). Pendidikan karakter di sekolah dan perguruan
tinggi perlu melibatkan berbagai komponen terkait yang didukung oleh proses
pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian,
kualitas hubungan warga kampus, pengelolaan perkuliahan, pengelolaan
berbagai kegiatan mahasiswa, pemberdayaan sarana dan prasarana, serta etos
kerja seluruh warga kampus (Zuhdi, dkk: 2010).

Menurut Lickona dkk (2007) terdapat 11 prinsip agar pendidikan karakter dapat
berjalan efektif: (1) kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja
pendukungnya sebagai fondasi karakter yang baik, (2) definisikan 'karakter'
secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku, (3)
gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam
pengembangan karakter, (4) ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian,
(5) beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral, (6) buat kurikulum
akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta
didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil, (7)
usahakan mendorong motivasi diri siswa, (8) libatkan staf sekolah sebagai
komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung jawab dalam
pendidikan karakter dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama yang
membimbing pendidikan siswa, (9) tumbuhkan kebersamaan dalam
kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi inisiatif pendidikan
karakter, (10) libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam
upaya pembangunan karakter, (11) evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah
sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter
yang baik.

Di dalam pembelajaran di kelas, karakter juga diharapkan sebagai salah satu


hasil belajar atau kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa. Sebagaimana yang

pernah dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, bahwa: pendidikan adalah daya


upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter),
pikiran (intelek), dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisah-pisahkan
agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita. Namun
kenyataannya, aspek karakter di dalam pembelajaran seringkali dianaktirikan.
Karakter lebih banyak dianggap sebagai efek pengiring (nurturant effects), dan
bukan sebagai efek pembelajaran (instructional effect).

Dari sinilah masalah dimulai. Pengalaman menunjukkan keterampilan proses dan


tujuan-tujuan yang bersifat afektif dan perilaku itu tidak muncul, walaupun siswa
dinyatakan telah menguasai aspek kognitif dan psikomotoriknya. Penelitian Nur,
dkk (1996) menyimpulkan bahwa kemampuan siswa dalam keterampilan proses
sangat rendah. Ditemukan pula pola pembelajaran di sekolah sangat berorientasi
pada produk, sehingga kegiatan pembelajaran yang dimaksudkan untuk
menumbuhkan keterampilan proses tidak dilaksanakan. Penelitian Blazely, dkk
(1997) menemukan fenomena yang mirip, sehingga pembelajaran seakan
menjadi penumpukan fakta, konsep, dan teori semata.

Berdasarkan kelemahan ini, serta juga didorong oleh kesadaran bahwa begitu
pentingnya pembangunan karakter melalui pendidikan, maka dalam rangka
program pembangunan karakter bangsa, aspek karakter diharapkan benar-benar
menjadi tujuan pembelajaran, sebagaimana aspek lain (kognitif dan
psikomotorik).

Agar aspek karakter benar-benar menjadi instructional effect, maka


pembelajaran karakter harus sengaja dirancang. Berbicara tentang perancangan
pembelajaran, tentu saja menyangkut bagaimana mengembangan Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang berbasis karakter. Dalam RPP harus
sengaja merancang: 1) karakter apa yang akan dicapai melalui pembelajaran
tertentu. Karakter yang dimaksud harus dicantumkan dalam indikator dan tujuan
pembelajaran; 2) untuk mencapai karakter yang telah dicantumkan di dalam
indikator dan tujuan pembelajaran tersebut, diperlukan pula rancangan kegiatan
pembelajaran yang akan dilakukan. Pengalaman belajar apa yang akan dihayati
oleh siswa, harus tergambar dalam skenario pembelajaran; dan 3) untuk
mengukur apakah proses pembelajaran yang dilakukan untuk memperoleh
karakter yang telah dirumuskan telah tercapai atau belum, diperlukan rancangan
penilaian/asesmen yang akan digunakan.

Dalam pendidikan karakter penting sekali dikembangkan nilai-nilai etika inti


seperti kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan rasa hormat
terhadap diri dan orang lain bersama dengan nilai-nilai kinerja pendukungnya
seperti ketekunan, etos kerja yang tinggi, dan kegigihan--sebagai basis karakter

yang baik. Sekolah harus berkomitmen untuk mengembangkan karakter peserta


didik berdasarkan nilai-nilai dimaksud, mendefinisikannya dalam bentuk perilaku
yang dapat diamati dalam kehidupan sekolah sehari-hari, mencontohkan nilainilai itu, mengkaji dan mendiskusikannya, menggunakannya sebagai dasar
dalam hubungan antarmanusia, dan mengapresiasi manifestasi nilai-nilai
tersebut di sekolah dan masyarakat (Bashori, 2010).

Apakah Pendidikan kecakapan Hidup?

Bertumpu pada keadaan hasil pendidikan selama ini dan berbagai tuntutan,
tantangan, serta kebutuhan eksternal masa kini, banyak kalangan berpendapat
bahwa: (1) pendidikan harus ditujukan bagi kepentingan dan kebutuhan
masyarakat luas, bukan hanya bagi kelompok masyarakat tertentu, (2)
pendidikan harus berorientasi populistis, tidak boleh elistis semata, (3)
pendidikan harus mampu memenuhi kebutuhan dan hajat hidup masyarakat
luas, bukan sebagian kecil masyarakat, (4) pendidikan harus kontekstual dan
cocok dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat yang diidamkan, (5)
pembelajaran harus diarahkan untuk menyantuni pembelajar agar mampu hidup
mandiri dan otonom dalam hidup dan kehidupan masing-masing, bukan hanya
memiliki kepandaian akademis-intelektual, (6) sekolah harus senantiasa terlibat
dalam perubahan masyarakat, dan (7) sekolah juga merupakan lembaga
pembentukan kecakapan hidup, yang dibutuhkan oleh masyarakat luas dalam
hidup dan kehidupan sehari-hari, bukan penerusan ilmu pengetahuan teoritisakademis semata.

Sebagai konsekuensi dari pendapat-pendapat di atas, maka muncullah kemudian


antara lain pendidikan kecakapan hidup. Berbagai negara di dunia saat ini
sedang mengembangkan pendidikan berorientasi kecakapan hidup dengan
bertumpu pada masyarakat luas. Sejak tahun 2002, pemerintah Indonesia juga
secara sungguh-sungguh, terprogram, dan terencana mencoba mengembangkan
pendidikan kecakapan hidup dengan menggunakan paradigma pendidikan
berbasis masyarakat luas.

Menurut Departemen Pendidikan Nasional (2002), kecakapan hidup adalah


kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema
hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara
proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu
mengatasinya. Dalam pandangan Kendall dan Marzano (1997), kecakapan hidup
merupakan diskripsi seperangkat kategori pengetahuan yang bersifat lintas isi
atau kemampuan yang dipandang penting dan dapat digunakan untuk dunia
kerja. Sedangkan Brolin (1989) mengemukakan bahwa kecakapan hidup
merupakan pengetahuan dan kemampuan yang dibutuhkan oleh seseorang

untuk berfungsi dan bertindak secara mandiri dan otonom dalam kehidupan
sehari-hari, tidak harus selalu meminta bantuan dan petunjuk pihak lain. Ini
berarti bahwa bentuk kecakapan hidup berupa pengetahuan sebagai praksis dan
kiat (praxis dan techne), bukan teori; pengetahuan sebagai skills of doing
sekaligus skills of being.

Lebih lanjut dikemukakan bahwa kecakapan hidup lebih luas dari keterampilan
untuk bekerja, dan dapat dipilah menjadi lima, yaitu: (1) kecakapan mengenal
diri (self awarness), yang juga disebut kemampuan personal (personal skill), (2)
kecakapan berpikir rasional (thinking skill), (3) kecakapan sosial (social skill), (4)
kecakapan akademik (academic skill), dan (5) kecakapan vokasional (vocational
skill).

Tiga kecakapan yang pertama dinamakan General Life Skill (GLS), sedangkan
dua kecakapan yang terakhir disebut Specific Life Skill (SLS). Di alam kehidupan
nyata, antara GLS dan SLS, antara kecakapan mengenal diri, kecakapan berpikir
rasional, kecakapan sosial, kecakapan akdemik dan kecakapan vokasional tidak
berfungsi secara terpisah-pisah, atau tidak terpisah secara eksklusif (Depdiknas,
2002; Samani, 2007; Samani, 2011). Hal yang terjadi adalah peleburan
kecakapan-kecakapan tersebut, sehingga menyatu menjadi sebuah tindakan
individu yang melibatkan aspek fisik, mental, emosional dan intelektual. Derajat
kualitas tindakan individu dalam banyak hal dipengaruhi oleh kualitas
kematangan berbagai aspek pendukung tersebut di atas.

Tujuan pendidikan kecakapan hidup adalah memfungsikan pendidikan sesuai


dengan fitrahnya, yaitu mengembangkan potensi manusiawi peserta didik untuk
menghadapi perannya di masa datang. Secara khusus, pendidikan yang
berorientasi kecakapan hidup bertujuan: (1) mengaktualisasikan potensi peserta
didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problema yang dihadapi, (2)
memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan pembelajaran
yang fleksibel, sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis luas, dan (3)
mengoptimalisasikan pemanfaatan sumberdaya di lingkungan sekolah, dengan
memberikan peluang pemanfaatan sumberdaya yang ada di masyarakat, sesuai
dengan prinsip manajemen berbasis sekolah (Depdiknas, 2002).

Pendidikan kecakapan hidup bukanlah membentuk mata pelajaran-mata


pelajaran baru, tetapi mensinergikan berbagai mata pelajaran menjadi
kecakapan hidup yang diperlukan seseorang, di manapun ia berada, bekerja atau
tidak bekerja, apapun profesinya. Ada tiga prinsip mendasar dalam
pengembangan pendidikan kecakapan hidup, yaitu: (1) tidak mengubah sistem
pendidikan yang berlaku saat ini, (2) tidak harus dengan mengubah kurikulum,
sebab yang justru diperlukan adalah pensiasatan kurikulum untuk diorientasikan

pada kecakapan hidup, dan (3) etika sosio religius bangsa dapat diintegrasikan
dalam proses pendidikan. Bertolak dari ketiga prinsip tersebut, maka
pengembangan kecakapan hidup tidak dalam bentuk mata pelajaran tersendiri,
melainkan diintegrasikan ke dalam mata pelajaran-mata pelajaran yang ada
selama ini dengan prinsip-prinsip yang sama di atas.

Walaupun pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup dapat bervariasi disesuaikan


dengan kondisi anak dan lingkungannya, namun memiliki prinsip-prinsip umum
yang sama. Prinsip-prinsip umum yang khususnya terkait dengan kebijakan
pendidikan di Indonesia, selain ketiga prinsip dasar di atas, juga meliputi: (1)
pembelajaran menggunakan prinsip learning to know, learning to do, learning to
be, dan learning to live together, (2) pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup
dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah (MBS), (3) potensi wilayah
sekitar sekolah dapat direfleksikan dalam penyelenggaraan pendidikan, sesuai
dengan prinsip pendidikan kontekstual dan pendidikan berbasis luas (broad
based education, (4) paradigma learning to life and school to work dapat
dijadikan dasar kegiatan pendidikan, sehingga terjadi pertautan antara
pendidikan dengan kebutuhan nyata peserta didik, dan (5) penyelenggaraan
pendidikan senantiasa diarahkan agar peserta didik menuju hidup yang sehat
dan berkualitas; mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang luas; serta
memiliki akses untuk mampu memenuhi standar hidupnya secara layak
(Depdiknas, 2002).

Relevan dengan pendapat di atas, prinsip umum implementasi pendidikan


kecakapan hidup adalah meliputi: (1) tidak harus atau tidak perlu mengubah
bangun dasar atau sistem pendidikan nasional yang sekarang berlaku; ini
mesyaratkan format dan model implementasi pendidikan kecakapan hidup yang
fleksibel dan bervariasi, (2) tidak harus atau tidak perlu mengubah kurikulum
formal dan ideal (normatif) yang sekarang berlaku, karena kurikulum operasional
dapat disiasati sedemikian rupa guna mengimplementasikan pendidikan
kecakapan hidup, (3) harus mengedepankan paradigma learning for life and
school to work yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik; ini berarti
membutuhkan suatu kajian kebutuhan-kebutuhan hidup dan kehidupan pada
masa depan, (4) harus mengedepankan paradigma learning from the people
atau kearifan masyarakat setempat yang berkenaan denbgan kehidupan
mereka; ini memerlukan inventori kemampuan, kemauan, dan pengetahuan
masyarakat setempat dalam mempertahankan, menjalani, dan mengembangkan
hidup dan kehidupan, (5) harus mengutamakan paradigma pendidikan berbasis
komunitas atau pendidikan masyarakat luas (community based learning atau
broad based education).

Implementasi pendidikan kecakapan hidup dapat mempertimbangkan beberapa


model, antara lain adalah: (1) model integratif, (2) model komplementatif, dan
(3) model diskrit (Saryono, 2002). Dalam model integratif, implemetasi
pendidikan kecakapan hidup melekat dan terpadu dalam program-program
kurikuler, kurikulum yang ada, dan atau mata pelajaran yang ada. Berbagai
program kurikuler dan mata pelajaran yang ada seharusnya bermuatan atau
berisi kecakapan hidup. Model ini memerlukan kesiapan dan kemampuan tinggi
dari sekolah, kepala sekolah, dan guru mata pelajaran. Kepala sekolah dan guru
harus pandai dan cekatan menyiasati dan menjabarkan kurikulum, mengelola
pembelajaran, dan mengembangkan penilaian. Ini berarti, mereka harus kreatif,
penuh inisiatif, dan kaya gagasan. Keuntungannya, model ini relatif murah, tidak
membutuhkan ongkos mahal, dan tidak menambah beban sekolah terutama
kepala sekolah, guru, dan peserta didik.

Dalam model komplementatif, implementasi pendidikan kecakapan hidup


dimasukkan dan atau ditambahkan ke dalam program pendidikan kurikuler dan
struktur kurikulum yang ada; bukan mata pelajaran. Pelaksanaannya bisa berupa
menambahkan mata pelajaran kecakapan hidup dalam struktur kurikulum atau
menyelenggarakan program kecakapan hidup dalam kalender pendidikan. Model
ini tentu saja membutuhkan waktu tersendiri, guru tersendiri di bidang
kecakapan hidup, dan ongkos yang relatif besar. Selain itu, penggunaan model
ini dapat menambah beban tugas siswa dan guru selain beban finansial sekolah.
Meskipun demikian, model ini dapat digunakan secara optimal dan intensif untuk
membentuk kecakapan hidup pada peserta didik.

Dalam model diskrit, implementasi pendidikan kecakapan hidup dipisahkan dan


dilepaskan dari program-program kurikuler, kurikulum reguler, dan atau mata
pelajaran (pembelajaran kurikuler). Pelaksanaannya dapat berupa
pengembangan program kecakapan hidup yang dikemas dan disajikan secara
khusus kepada peserta didik. Penyajiannya bisa terkait dengan program
kokurikuler atau bisa juga berbentuk program ekstrakurikuler. Model ini
membutuhkan persiapan yang matang, ongkos yang relatif besar, dan kesiapan
sekolah yang baik. Selain itu, model ini memerlukan perencanaan yang baik agar
tidak salah penerapan. Meskipun demikian, model ini dapat digunakan
membentuk kecakapan hidup peserta didik secara komprehensif dan leluasa.

Model manapun yang dipilih, yang penting adalah bahwa pembelajaran


kecakapan hidup tersebut pada hakikatnya adalah pembelajaran yang
menempatkan siswa sebagai pelaku belajar. Siswa mempunyai kesempatan
untuk belajar aktif, baik mental maupun fisik, dan hal ini dapat diperoleh bila
lingkungan belajar dibuat menyenangkan bagi siswa.
Model pembelajaran

yang dimaksud adalah model pembelajaran aktif. Model pembelajaran aktif


merupakan model pembelajaran yang membuat siswa melakukan perbuatan
untuk beroleh pengalaman, interaksi, komunikasi, dan refleksi. Siswa akan
belajar banyak melalui perbuatan beroleh pengalaman langsung. Dengan
berbuat, siswa mengaktifkan lebih banyak indera daripada hanya melalui
mendengarkan. Selanjutnya kecakapan interaksi akan dimiliki oleh siswa bila
pelajaran berlangsung dalam suasana interaksi dengan orang lain, misalnya
berdiskusi dan bertanya-jawab. Sedangkan kecakapan komunikasi merupakan
kecakapan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan, baik secara lisan
maupun tulisan, dan hal ini menjadi kebutuhan setiap manusia dalam rangka
mengungkapkan dirinya untuk mencapai kepuasan. Kemudian bila seseorang
mengungkapkan gagasannya kepada orang lain dan mendapat tanggapan maka
orang itu akan merenungkan kembali gagasannya, kemudian melakukan
perbaikan, sehingga memiliki gagasan yang lebih mantap. Inilah yang dimaksud
refleksi. Refleksi ini dapat terjadi sebagai akibat dari interaksi dan komunikasi.

Temuan dari Tim Peneliti Universitas Negeri Malang (2002) mengenai faktorfaktor penghambat pendidikan kecakapan hidup di Jawa Timur menunjukkan
bahwa faktor internal yang berasal dari guru, sistem sekolah, kurikulum, serta
fasilitas yang dimiliki sekolah merupakan faktor penghambat yang utama. Faktor
penghambat yang lain juga termasuk faktor eksternal yang berasal dari
dukungan pemerintah, sosial/budaya, dukungan dunia usaha/industri, dan
dukungan orang tua. Hasil penelitian itu juga menjelaskan bahwa menurut
peringkatnya, guru menduduki peringkat pertama sebagai penghambat, disusul
berturut-turut oleh sistem sekolah, kurikulum, fasilitas, dukungan pemerintah,
dukungan dunia usaha/industri, orang tua, dan sosial budaya.

Faktor penghambat dari guru meliputi guru kurang mengerti pendidikan


kecakapan hidup, kurang profesional dalam mengajar, tidak mempunyai
keterampilan khusus, gaji rendah, motivasi untuk berkembang rendah, dan
kurang tekun dalam mengembangkan diri. Faktor penghambat sistem sekolah
meliputi sistem yang sering berubah-ubah, tidak mendukung pelaksanaan
pendidikan kecakapan hidup, kurang terpadu antar jenjang, dan kurang waktu
dalam pembinaan keterampilan siswa.

Selanjutnya faktor penghambat kurikulum meliputi terlalu sarat materi, kurang


sesuai dengan aset unggulan daerah, masih seragam terpusat, tidak mengarah
kepada pendidikan kecakapan hidup serta mengabaikan minat dan bakat siswa.
Faktor penghambat dari sisi fasilitas meliputi fasilitas kurang memadai, fasilitas
yang ada kurang mendukung pendidikan kecakapan hidup, dan fasilitas tidak
merata antara sekolah meskipun untuk jenjang sekolah yang sama.

Sementara itu faktor penghambat dukungan pemerintah meliputi bantuan dana


tidak merata, relatif kecil, nara sumber ahli pendidikan kecakapan hidup sedikit,
bantuan yang ada kurang mendukung pelaksanaan program pendidikan
kecakapan hidup, pola dukungan sering berubah-ubah, dan ambivalensi antara
Depdiknas dengan Departemen Agama pada pengelolaan pendidikan dasar dan
menengah.

Sedangkan faktor penghambat dukungan dunia industri adalah meliputi


keterbatasan jumlah serta sumber daya dunia usahja/industri di daerah, merasa
tidak mempunyai ikatan, tidak ada akad kerja sama yang jelas, alokasi waktu
sekolah dengan dunia usaha/industri yang tidak seiring dan tidak ada koordinasi.
Kemudian mengenai faktor penghambat sosial/budaya adalah meliputi tatanan
sosial/budaya yang tidak mendukung siswa sekolah bekerja, tidak memahami
pendidikan kecakapan hidup, serta masih berorientasi pada perolehan gelar
sesudah selesai sekolah. Penghambat dari orang tua meliputi kebanyakan
berpendapatan rendah sedangkan yang berpendapatan tinggi kurang sadar,
tidak mengerti pendidikan kecakapan hidup, pola pikir berorientasi pada gelar
kesarjanaan, dan motivasi untuk mendorong anak memperoleh kecakapan hidup
rendah.

Berangkat dari pengalaman, sebagian besar sekolah, mulai jenjang SD sampai


SMA, memaknai PKH identik dengan pemberian keterampilan kepada siswa,
misalnya keterampilan menjahit, elektronika, berkebun, dan sebagainya. Banyak
sekolah yang tidak memahami bahwa mengembangkan kepribadian siswa
adalah juga merupakan bagian dari PKH. Membimbing siswa untuk berperilaku
jujur, bertanggung-jawab, mampu bekerja sama, peduli dan empati, serta
mampu bekerja keras, jarang dipahami sebagai bagian dari PKH.

Penutup: Antisipasi untuk Pendidikan Karakter

Belajar dari pengalaman implementasi PKH, jelaslah bahwa banyak faktor


penghambat yang dihadapi oleh sekolah dalam rangka implementasi pendidikan
kecakapan hidup, baik itu faktor internal dari sekolah sendiri maupun faktor
eksternal. Pendidikan karakter perlu mengantisipasi berbagai kendala yang
mungkin juga tidak akan jauh berbeda. Banyak program yang awalnya tampak
begitu ideal, namun kandas di tengah jalan pada tahap implementasinya. Sebut
saja Manajemen Berbasis Masyarakat Luas (yang salah satu bentuknya adalah
PKH ini), Manajemen Berbasis Sekolah, dan beberapa program lain yang terkesan
hanya dilaksanakan dengan setengah hati. Seringkali program yang pada awal
implementasinya sudah sangat baik, tiba-tiba dikebiri oleh adanya kebijakankebijakan baru yang agak atau bahkan kontradiktif dengan kebijakan yang
sedang diterapkan.

Terdapat benang merah antara PKH dan pendidikan karakter. PKH tidak hanya
melulu mengajarkan keterampilan (dalam arti hard-skills) kepada siswa, namun
juga mengajarkan karakter itu sendiri (soft skills). Bahkan sebagaimana
pendidikan karakter, PKH juga bukan merupakan konsep yang benar-benar baru.
Sejak lama kurikulum kita sudah menyebutkan bahwa tujuan pendidikan
mencakup juga penumbuhkembangan sikap jujur, disiplin, saling toleransi,
berpikir rasional dan kritis, bekerja keras, dan seterusnya, yang sebenarnya hal
tersebut identik dengan GLS. Dengan kata lain, seandainya konsep PKH yang
sudah sangat bagus itu benar-benar diimplementasikan dengan sepenuh hati,
maka karakter-karakter positif dan utama (jujur, cerdas, peduli, dan tangguh)
yang saat ini diusung oleh pendidikan karakter tersebut, sudah dapat dirasakan
hasilnya. Setidaknya, setelah lebih dari satu dasawarsa, implementasi konsep
tersebut sudah menunjukkan sedikit bukti keberhasilan dan memberikan
manfaatnya. Namun ternyata tidaklah seperti itu yang terjadi, dan bahkan
konsep PKH saat ini seolah-olah hilang tanpa bekas.

Memperhatikan kendala-kendala tersebut, maka di dalam implementasi


pendidikan karakter di sekolah, tahap awal yang harus dilakukan adalah
memberikan pengertian dan pemahaman kepada pelaksana sekolah (terutama
guru dan kepala sekolah) mengenai pendidikan karakter itu sendiri. Hal ini
penting karena berdasarkan uraian di atas, ternyata faktor guru merupakan
salah satu penghambat utama, yang antara lain karena guru kurang mengerti
pendidikan kecakapan hidup, kurang profesional dalam mengajar, tidak
mempunyai keterampilan khusus, dan kurang tekun dalam mengembangkan diri.

Tentu saja bukan faktor guru saja yang kemudian menjadi fokus perhatian. Zuhdi
(2010) menegaskan, pendidikan karakter di perguruan tinggi perlu melibatkan
berbagai komponen terkait yang didukung oleh proses pendidikan itu sendiri,
yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan warga
kampus, pengelolaan perkuliahan, pengelolaan berbagai kegiatan mahasiswa,
pemberdayaan sarana dan prasarana, serta etos kerja seluruh warga kampus.

Daftar Pustaka
Bashori, K. 2010. Menata Ulang Pendidikan Karakter Bangsa.
http://www.mediaindonesia.com/read/2010/03/15/129378/68/11/Menata-UlangPendidikan-Karakter-Bangsa. Diakses 10 September 2010.

Berkowitz, Marvin W. 2002. The Science of Character Education, dalam William


Damon( ed.), Bringing in a New Era in Character Education. California: Hoover
Institution Press.
Blazely, Lloyd D. Et. All. 1997. Science Study. Jakarta: The Japan Grant
Foundation.
Brolin, D.E. 1989. Life Centered Career Education: A Competency Based
Approach. Reston VA: The Council for Exepctional Children.
Depdiknas. 2002. Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Kecakapan Hidup. Buku I, II,
dan III. Jakarta: Depdiknas.
Dinas Pendidikan Jawa Barat. 2002. Pendidikan Berbasis Luas Kecakapan Hidup
dengan Model Pelaksanaan Pembelajaran Hidup di Sekolah. Bandung: CV Dwi
Rama.
Dinas Pendidikan Jawa Timur. 2001. Profil Pendidikan Jawa Timur Tahun
2000/2001. Surabaya: Dinas Pendidikan Jawa Timur.
Kendall, John S dan Marzano, Robert J. 1997. Content Knowledge: A Compedium
of Standards and Benchmarkes for K-12 Education. Aurora, Colorado, USA: Mc
REL Mid Continent Regional Educational Laboratory; Alexandria, Virginia, USA:
ASCD.
Samani, Muchlas. 2007. Menggagas Pendidikan Bermakna. Surabaya: SIC.
Samani, Muchlas. 2011. Merenungkan Kembali Arah Pendidikan. Dalam
Rekonstuksi Pendidikan. Surabaya: Unesa University Press.
Saryono, Djoko. 2002. Pendidikan Kecakapan Hidup: Konsepsi dan
Implementasinya di Sekolah. Makalah dalam Workshop Pengembangan Sistem
Pendidikan Dasar dan Menengah Berorientasi Kecakapan Hidup di Jawa Timur, 11
November 2002, Universitas Negeri Malang.
Tim Peneliti. 2002. Penelitian Pengembangan Pendidikan Jawa Timur. Laporan
Penelitian tidak diterbitkan. Lembaga Penelitian Universitas Negeri Malang
bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Timur.
Zuhdi, Darmiyati, dkk. 2010. Pendidikan Karakter dengan pendekatan
Komprehensif. Yogyakarta: UNY Press.

(Gambar Ilustrasi from: http://vivieanggaria.files.wordpress.com)

PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP DI SEKOLAH DASAR DAN PROBLEMATIKANYA


Filed under: Uncategorized Tags: Kecakapan hi dup di SD, Life skill di SD
luthfiyahnurlaela @ 3:48 pm

Abstrak: Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education) adalah suatu


pendidikan yang dapat membekali peserta didik dengan kecakapan hidup, yaitu
keberanian menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa
merasa tertekan, kemudian secara kreatif menemukan solusi serta mampu
mengatasinya. Pendidikan yang dapat mensinergikan berbagai mata pelajaran
menjadi kecakapan hidup yang diperlukan seseorang, di manapun ia berada,
bekerja atau tidak bekerja, apa pun profesinya. Dengan bekal kecakapan hidup
tersebut, diharapkan para lulusan akan mampu memecahkan problema
kehidupan yang dihadapi, termasuk mencari atau menciptakan pekerjaan bagi
mereka yang tidak melanjutkan pendidikannya. Pendidikan kecakapan hidup di
SD difokuskan pada General Life Skill (GLS) yang mencakup kesadaran diri atau
kecakapan personal (self awareness), kecakapan berpikir rasional (thinking skill)
dan kecakapan sosial (social skill). Hal ini didasarkan atas prinsip bahwa GLS
merupakan fondasi kecakapan hidup yang akan diperlukan untuk mempelajari
kecakapan hidup berikutnya dan bahkan untuk terjun dalam kehidupan seharihari, apa pun kegiatan seseorang. Kecakapan vokasional (vocational skill) juga
dikembangkan namun barulah pada tahap awal. Implementasi pendidikan
kecakapan hidup di SD dapat mempertimbangkan beberapa yaitu: (1) model
integratif, (2) model komplementatif, dan (3) model diskrit. Model manapun yang
dipilih, yang penting adalah bahwa pembelajaran kecakapan hidup tersebut pada
hakikatnya adalah pembelajaran yang menempatkan siswa sebagai pelaku
belajar. Siswa mempunyai kesempatan untuk belajar aktif, baik mental maupun
fisik, dan hal ini dapat diperoleh bila lingkungan belajar dibuat menyenangkan
bagi siswa.

Abstract: Life skill education is an education that provides learners with life skill
to face lifes problem, to live the life without feeling any pressures and find the
solution and to be able to handle the problem. An education that can combine
various lessons to become life skill that is needed by everyone, wherever she/he
is, employed or unemployed and whatever the occupation is. With those capital
life skill, the fresh graduate students can solve the problem of life, including to
find and create job field for those who cannot continue their study. Life skill
education in Elementary School is focused in General Life Skill (GLS) that consist
of self awareness, thinking skill, and social skill. This is based on the idea that
GLS is the basic of life skill which is needed to learn about the next life skill and
to be ready to get into the real life, whatever the activities are. Vocational skill
is also being developed but still in beginning level. The implementation of life
skill in Elementary School is considered in some models: (1) integrative model,
(2) complementative model, and (3) discreet model. Whatever the model is, the
important thing is the life skill learning has to placed the students as subject in
study. Students have the opportunity to study actively, mentally as well as
physically, and these can be achieved if learning environment is made to be
confortable and fun for the students.

Kata Kunci: Kecakapan Hidup, pendidikan, implementasi, kendala, Sekolah Dasar

Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan kebutuhan yang


mendesak dan penting, lebih-lebih bila dikaitkan dengan konteks global,
nasional, maupun regional. Dalam konteks global dapat ditegaskan bahwa pada
saat ini (abad 21), dunia sedang berada pada abad pengetahuan. Segala sesuatu
lebih bertumpu atau berbasis pengetahuan; dan hal-hal yang tidak berbasis
pengetahuan akan segera tergeser dan terpinggirkan. Peter Drucks
mengemukakan, keberhasilan masyarakat berpengetahuan akan menggantikan
dominasi masyarakat informasi dan industrial, masyarakat pertanian (praindustrial), dan masyarakat pra-pertanian. Dengan demikian, orang-orang tanpa
pengetahuan dan kecakapan hidup akan tergeser dan terpinggirkan, sebab
mereka tidak akan mampu berperan dalam berbagai aktivitas utama kehidupan
manusia yang berbasis pengetahuan dan kecakapan hidup (Tim Peneliti
Universitas Negeri Malang, 2002).

Betapa penting dan sentralnya modal pengetahuan dan intelektual (termasuk


kecakapan hidup) dalam abad pengetahuan ditegaskan oleh Amstrong (2002).
Dengan modal pengetahuan dan kecakapan hidup yang berkualitas dan unggul,
setiap orang akan mampu berperan secara berarti dalam suatu bidang
kehidupan, termasuk dalam dunia kerja, serta memiliki kemampuan untuk
berkembang. Hal ini mengimplikasikan bahwa manusia berpengetahuan dan
berkecakapan hidup akan menjadi manusia yang unggul dan mampu
berkembang, sedangkan manusia yang tidak memiliki modal pengetahuan dan
kecakapan hidup akan terbelakang.

Relevan dengan apa yang telah dipublikasikan oleh Bank Dunia (2000), modal
manusia telah dianggap aset paling utama kualitas pertumbuhan dan
pembangunan yang akan mendatangkan kesejahteraan. Begitu juga dengan
penegasan Kendall dan Marzano (1997) yang memastikan bahwa kecakapan
hidup (life skills) telah menjadi salah satu hal yang harus dimiliki dan dikuasai
oleh masyarakat, termasuk peserta didik, agar mereka mampu berperan aktif
dalam lapangan kerja yang ada serta mampu berkembang.

Negara dan masyarakat di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, tengah


memasuki dunia tanpa batas (borderless world) sebagai akibat perkembangan
teknologi komunikasi, dampak globalisasi komunikasi, dan kesepakatankesepakatan internasional. Adanya kesepakatan perdagangan bebas AFTA mulai

tahun 2003 dan NAFTA mulai 2020 (untuk negara maju mulai 2010), membuka
peluang masuknya tenaga kerja dari luar negeri yang berkualitas dan berdaya
saing tinggi, ke dalam dunia kerja di Indonesia; dan hal ini jelas mengancam
keberadaan tenaga kerja Indonesia, lebih-lebih bagi mereka yang tidak memiliki
kecakapan hidup yang memadai untuk memasuki kesempatan kerja yang ada.
Kenyataan ini mengimplikasikan bahwa keterbukaan negara dan masyarakat
Indonesia terhadap berbagai aktivitas sosial, ekonomi, budaya, dan komunikasi,
telah menuntut tersedianya modal manusia berupa kecakapan hidup yang
bermutu.

Berbagai temuan tentang rendahnya kualitas SDM Indonesia telah dikemukakan


di berbagai forum maupun media massa. Peringkat Indeks Pembangunan
Manusia (Human Development Index/HDI) Indonesia, khususnya pada peringkat
pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala, makin lama
makin menurun. Pada tahun 1996, Indonesia menempati peringkat 102 dari 174
negara, pada tahun 1997 naik ke urutan 99, namun merosot lagi ke urutan 105
pada tahun 1998, dan semakin merosot ke urutan 109 pada tahun 1999. Data
yang dilaporkan The World Economic Forum (2000) menempatkan Indonesia
sebagai negara berdaya saing rendah, yaitu menempati urutan 37 dari 57
negara yang disurvai. Lebih dari 60% tenaga Indonesia hanya lulusan SD/MI atau
tidak tamat SD/MI.

Hal lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah hingga tahun 1998/1999
masih ada sekitar 0,9 juta anak usia 7-12 tahun yang tidak berada pada sistem
persekolahan karena tidak mendaftar sekolah dan/atau putus sekolah (Jalal dan
Supriadi, 2001). Hal ini disebabkan oleh banyaknya jumlah penduduk miskin di
desa tertinggal dan daerah kumuh perkotaan yang tidak mampu membiayai
pendidikan bagi anak-anaknya. Di samping itu, terbatasnya sarana transportasi
terutama di pulau-pulau terpencil merupakan kendala bagi penduduk untuk
menjangkau layanan pendidikan. Walaupun jumlah 1,2 juta tidak terlalu besar,
namun hal ini tidak dapat diabaikan karena menyangkut hak setiap anak
Indonesia untuk mendapatkan layanan pendidikan.

Masalah lain yaitu masih banyaknya siswa yang mengulang kelas. Analisis Kohort
menunjukkan bahwa hanya 60,1% siswa SD/MI yang berhasil menyelesaikan
pendidikannya selama 6 tahun, sebanyak 24,1% dalam 7 tahun, 5,2% dalam 8
tahun, dan selebihnya dalam 9 tahun atau putus sekolah (Jalal dan Supriadi,
2001). Masalah besarnya proporsi siswa yang mengulang kelas atau putus
sekolah ini merupakan realitas sosial yang perlu segera mendapatkan respon
cepat dan tepat dari berbagai pihak untuk mengatasinya (Anonim, 2002).

Di Jawa Timur, NEM Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah relatif rendah dan
tidak mengalami peningkatan yang berarti. Profil Pendidikan Provinsi Jawa Timur
menunjukkan bahwa rerata NEM provinsi pada tahun pelajaran 2000/2001
adalah 32,76 untuk SD, 29,58 untuk MI, 33,61 untuk SLTP, dan 34,17 untuk MTs
(Dinas Pendidikan Jawa Timur, 2001).

Masalah di atas masih ditambah lagi dengan fakta bahwa sebagian besar
tamatan pendidikan dasar dan menengah umum tidak dapat terserap ke dalam
dunia kerja. Faktor-faktor penyebabnya antara lain adalah: (1) jumlah angkatan
kerja yang hanya tamatan pendidikan dasar dan menengah umum jauh lebih
besar daripada kesempatan kerja yang ada, (2) angkatan kerja tamatan
pendidikan dasar dan menengah umum kalah bersaing dengan angkatan kerja
tamatan pendidkan menengah khusus dan pendidikan profesional dalam
memasuki lapangan kerja, karena kecakapan yang mereka miliki sangat minim
dan terbatas, (3) kecakapan yang dibutuhkan oleh masyarakat luas khususnya
dunia kerja yang ada di masyarakat tidak sesuai dengan kecakapan yang dimiliki
tamatan pendidikan dasar dan menengah umum (Saryono, Djoko, 2002). Hal-hal
tersebut menyebabkan para lulusan pendidikan dasar dan menengah di
Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif, apalagi keunggulan kompetitif.

Saryono, Djoko (2002) juga mengemukakan bahwa keadaan tersebut disebabkan


oleh adanya empat kecenderungan utama dalam penyelenggaraan pendidikan
dasar dan menengah umum, yaitu: (1) pendidikan dasar dan menengah umum
memang dirancang berdasarkan paradigma kebutuhan tingkat tinggi (high
based-education) dan sekolah berorientasi akademis-intelektual, oleh sebab itu
siswa tidak pernah disiapkan untuk memasuki lapangan kerja, apalagi membuka
dan menciptakan lapangan kerja, (2) sistem pembelajaran mengabaikan
kecakapan (techne atau praxis) yang perlu dimiliki dan dibutuhkan oleh siswa
dalam kehidupan sehari-hari, (3) akibat kecenderungan pertama dan kedua
tersebut, sekolah pada umumnya tidak memiliki, apalagi mengembangkan,
suatu program bimbingan karir alternatif yang dapat membekali siswa dengan
kecakapan tertentu di samping kemampuan akademis, dan (4) sekolah pada
umumnya tidak dikembangkan berdasarkan kebutuhan dan perkembangan dunia
kerja, masyarakat, dan kehidupan sehari-hari secara antisipatoris sehingga
seolah-olah sekolah terlepas dan terpisah dari dunia sekelilingnya.

Bertolak dari berbagai gambaran di atas, dapat dilihat bahwa ada permasalahan
besar dan mendasar dengan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, yaitu
rendahnya mutu sistem pembelajaran atau sistem pendidikan di sekolah. Oleh
sebab itu, perlu dilakukan pengembangan sistem pendidikan yang mampu
mengatasi persoalan-persoalan tersebut.

Tahun 2001 Pemerintah Pusat, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional
mengembangkan konsep Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education),
yaitu suatu pendidikan yang dapat membekali peserta didik dengan kecakapan
hidup, yaitu keberanian menghadapi problema hidup dan kehidupan secara
wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara kreatif menemukan solusi serta
mampu mengatasinya. Pendidikan yang dapat mensinergikan berbagai mata
pelajaran menjadi kecakapan hidup yang diperlukan seseorang, di manapun ia
berada, bekerja atau tidak bekerja, apa pun profesinya. Dengan bekal kecakapan
hidup tersebut, diharapkan para lulusan akan mampu memecahkan problema
kehidupan yang dihadapi, termasuk mencari atau menciptakan pekerjaan bagi
mereka yang tidak melanjutkan pendidikannya (Depdiknas, 2002).

Apakah Pendidikan Kecakapan Hidup?

Bertumpu pada keadaan hasil pendidikan selama ini dan berbagai tuntutan,
tantangan, serta kebutuhan eksternal masa kini, banyak kalangan berpendapat
bahwa: (1) pendidikan harus ditujukan bagi kepentingan dan kebutuhan
masyarakat luas, bukan hanya bagi kelompok masyarakat tertentu, (2)
pendidikan harus berorientasi populistis, tidak boleh elistis semata, (3)
pendidikan harus mampu memenuhi kebutuhan dan hajat hidup masyarakat
luas, bukan sebagian kecil masyarakat, (4) pendidikan harus kontekstual dan
cocok dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat yang diidamkan, (5)
pembelajaran harus diarahkan untuk menyantuni pembelajar agar mampu hidup
mandiri dan otonom dalam hidup dan kehidupan masing-masing, bukan hanya
memiliki kepandaian akademis-intelektual, (6) sekolah harus senantiasa terlibat
dalam perubahan masyarakat, dan (7) sekolah juga merupakan lembaga
pembentukan kecakapan hidup, yang dibutuhkan oleh masyarakat luas dalam
hidup dan kehidupan sehari-hari, bukan penerusan ilmu pengetahuan teoritisakademis semata.

Sebagai konsekuensi dari pendapat-pendapat di atas, maka muncullah kemudian


antara lain pendidikan kecakapan hidup. Berbagai negara di dunia saat ini
sedang mengembangkan pendidikan berorientasi kecakapan hidup dengan
bertumpu pada masyarakat luas. Sejak tahun 2002, pemerintah Indonesia juga
secara sungguh-sungguh, terprogram, dan terencana mencoba mengembangkan
pendidikan kecakapan hidup dengan menggunakan paradigma pendidikan
berbasis masyarakat luas.

Menurut Depdiknas (2002), kecakapan hidup adalah kecakapan yang dimiliki


seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup dan kehidupan

secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif
mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya.
Dalam pandangan Kendall dan Marzano (1997), kecakapan hidup merupakan
diskripsi seperangkat kategori pengetahuan yang bersifat lintas isi atau
kemampuan yang dipandang penting dan dapat digunakan untuk dunia kerja.
Sedangkan Brolin (1989) mengemukakan bahwa kecakapan hidup merupakan
pengetahuan dan kemampuan yang dibutuhkan oleh seseorang untuk berfungsi
dan bertindak secara mandiri dan otonom dalam kehidupan sehari-hari, tidak
harus selalu meminta bantuan dan petunjuk pihak lain. Ini berarti bahwa bentuk
kecakapan hidup berupa pengetahuan sebagai praksis dan kiat (praxis dan
techne), bukan teori; pengetahuan sebagai skills of doing sekaligus skills of
being.

Lebih lanjut dikemukakan bahwa kecakapan hidup lebih luas dari keterampilan
untuk bekerja, dan dapat dipilah menjadi lima, yaitu: (1) kecakapan mengenal
diri (self awarness), yang juga disebut kemampuan personal (personal skill), (2)
kecakapan berpikir rasional (thinking skill), (3) kecakapan sosial (social skill), (4)
kecakapan akademik (academic skill), dan (5) kecakapan vokasional (vocational
skill).

Tiga kecakapan yang pertama dinamakan General Life Skill (GLS), sedangkan
dua kecakapan yang terakhir disebut Specific Life Skill (SLS). Di alam kehidupan
nyata, antara GLS dan SLS, antara kecakapan mengenal diri, kecakapan berpikir
rasional, kecakapan sosial, kecakapan akdemik dan kecakapan vokasional tidak
berfungsi secara terpisah-pisah, atau tidak terpisah secara eksklusif (Depdiknas,
2002). Hal yang terjadi adalah peleburan kecakapan-kecakapan tersebut,
sehingga menyatu menjadi sebuah tindakan individu yang melibatkan aspek
fisik, mental, emosional dan intelektual. Derajat kualitas tindakan individu dalam
banyak hal dipengaruhi oleh kualitas kematangan berbagai aspek pendukung
tersebut di atas.

Tujuan pendidikan kecakapan hidup adalah memfungsikan pendidikan sesuai


dengan fitrahnya, yaitu mengembangkan potensi manusiawi peserta didik untuk
menghadapi perannya di masa datang. Secara khusus, pendidikan yang
berorientasi kecakapan hidup bertujuan: (1) mengaktualisasikan potensi peserta
didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problema yang dihadapi, (2)
memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan pembelajaran
yang fleksibel, sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis luas, dan (3)
mengoptimalisasikan pemanfaatan sumberdaya di lingkungan sekolah, dengan
memberikan peluang pemanfaatan sumberdaya yang ada di masyarakat, sesuai
dengan prinsip manajemen berbasis sekolah (Depdiknas, 2002).

Pendidikan kecakapan hidup bukanlah membentuk mata pelajaran-mata


pelajaran baru, tetapi mensinergikan berbagai mata pelajaran menjadi
kecakapan hidup yang diperlukan seseorang, di manapun ia berada, bekerja atau
tidak bekerja, apapun profesinya. Ada tiga prinsip mendasar dalam
pengembangan pendidikan kecakapan hidup, yaitu: (1) tidak mengubah sistem
pendidikan yang berlaku saat ini, (2) tidak harus dengan mengubah kurikulum,
sebab yang justru diperlukan adalah pensiasatan kurikulum untuk diorientasikan
pada kecakapan hidup, dan (3) etika sosio religius bangsa dapat diintegrasikan
dalam proses pendidikan. Bertolak dari ketiga prinsip tersebut, maka
pengembangan kecakapan hidup tidak dalam bentuk mata pelajaran tersendiri,
melainkan diintegrasikan ke dalam mata pelajaran-mata pelajaran yang ada
selama ini dengan prinsip-prinsip yang sama di atas.

Walaupun pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup dapat bervariasi disesuaikan


dengan kondisi anak dan lingkungannya, namun memiliki prinsip-prinsip umum
yang sama. Prinsip-prinsip umum yang khususnya terkait dengan kebijakan
pendidikan di Indonesia, selain ketiga prinsip dasar di atas, juga meliputi: (1)
pembelajaran menggunakan prinsip learning to know, learning to do, learning to
be, dan learning to live together, (2) pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup
dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah (MBS), (3) potensi wilayah
sekitar sekolah dapat direfleksikan dalam penyelenggaraan pendidikan, sesuai
dengan prinsip pendidikan kontekstual dan pendidikan berbasis luas (broad
based education0, (4) paradigma learning to life and school to work dapat
dijadikan dasar kegiatan pendidikan, sehingga terjadi pertautan antara
pendidikan dengan kebutuhan nyata peserta didik, dan (5) penyelenggaraan
pendidikan senantiasa diarahkan agar peserta didik menuju hidup yang sehat
dan berkualitas; mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang luas; serta
memiliki akses untuk mampu memenuhi standar hidupnya secara layak
(Depdiknas, 2002).

Relevan dengan pendapat di atas, prinsip umum implementasi pendidikan


kecakapan hidup adalah meliputi: (1) tidak harus atau tidak perlu mengubah
bangun dasar atau sistem pendidikan nasional yang sekarang berlaku; ini
mesyaratkan format dan model implementasi pendidikan kecakapan hidup yang
fleksibel dan bervariasi, (2) tidak harus atau tidak perlu mengubah kurikulum
formal dan ideal (normatif) yang sekarang berlaku, karena kurikulum operasional
dapat disiasati sedemikian rupa guna mengimplementasikan pendidikan
kecakapan hidup, (3) harus mengedepankan paradigma learning for life and
school to work yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik; ini berarti
membutuhkan suatu kajian kebutuhan-kebutuhan hidup dan kehidupan pada
masa depan, (4) harus mengedepankan paradigma learning from the people
atau kearifan masyarakat setempat yang berkenaan denbgan kehidupan
mereka; ini memerlukan inventori kemampuan, kemauan, dan pengetahuan
masyarakat setempat dalam mempertahankan, menjalani, dan mengembangkan

hidup dan kehidupan, (5) harus mengutamakan paradigma pendidikan berbasis


komunitas atau pendidikan masyarakat luas (community based learning atau
broad based education).

Pendidikan Kecakapan Hidup di SD dan Problematikanya

Pendidikan kecakapan hidup di SD difokuskan pada General Life Skill (GLS) yang
mencakup kesadaran diri atau kecakapan personal (self awareness), kecakapan
berpikir rasional (thinking skill) dan kecakapan sosial (social skill). Hal ini
didasarkan atas prinsip bahwa GLS merupakan fondasi kecakapan hidup yang
akan diperlukan untuk mempelajari kecakapan hidup berikutnya dan bahkan
untuk terjun dalam kehidupan sehari-hari, apa pun kegiatan seseorang.
Kecakapan vokasional (vocational skill) juga dikembangkan namun barulah pada
tahap awal (Depdiknas, 2002).

Berdasarkan Depdiknas (2002) juga dikemukakan bahwa kemampuan mengenal


diri sendiri (self awareness) mencakup: (1) penghayatan diri sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa, anggota masyarakat dan warga negara, serta (2)
menyadari dan mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, sekaligus
menjadikannya sebagai modal dalam meningkatkan dirinya sebagai individu
yang bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungannya. Sedangkan kecakapan
berpikir rasional (thinking skill) mencakup: (1) kecakapan menggali dan
menemukan informasi (information searching), (2) kecakapan mengolah
informasi dan mengambil keputusan (information processing and decision
making skills), serta kecakapan memecahkan masalah secara kreatif (creative
problem solving skill). Selanjutnya kecakapan sosial atau kecakapan
interpersonal (social skill) mencakup: (1) kecakapan komunikasi dengan empati
(communication skill), dan (2) kecakapan bekerjasama (collaboration skill).

Sebagaimana disinggung di atas, bahwa ada beberapa prinsip umum dan


mendasar dalam pelaksanaan pendidikan berorientasi kecakapan hidup di semua
jenjang pendidikan. Prinsip-prinsip tersebut hendaknya benar-benar dipedomani
semua pihak yang terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan
penilaian implementasi pendidikan kecakapan hidup.

Implementasi pendidikan kecakapan hidup di SD dapat mempertimbangkan


beberapa model, antara lain adalah: (1) model integratif, (2) model
komplementatif, dan (3) model diskrit (Saryono, Djoko: 2002). Dalam model
integratif, implemetasi pendidikan kecakapan hidup melekat dan terpadu dalam

program-program kurikuler, kurikulum yang ada, dan atau mata pelajaran yang
ada. Berbagai program kurikuler dan mata pelajaran yang ada seharusnya
bermuatan atau berisi kecakapan hidup. Model ini memerlukan kesiapan dan
kemampuan tinggi dari sekolah, kepala sekolah, dan guru mata pelajaran. Kepala
sekolah dan guru harus pandai dan cekatan menyiasati dan menjabarkan
kurikulum, mengelola pembelajaran, dan mengembangkan penilaian. Ini berarti,
mereka harus kreatif, penuh inisiatif, dan kaya gagasan. Keuntungannya, model
ini relatif murah, tidak membutuhkan ongkos mahal, dan tidak menambah beban
sekolah terutama kepala sekolah, guru, dan peserta didik.

Dalam model komplementatif, implementasi pendidikan kecakapan hidup


dimasukkan dan atau ditambahkan ke dalam program pendidikan kurikuler dan
struktur kurikulum yang ada; bukan mata pelajaran. Pelaksanaannya bisa berupa
menambahkan mata pelajaran kecakapan hidup dalam struktur kurikulum atau
menyelenggarakan program kecakapan hidup dalam kalender pendidikan. Model
ini tentu saja membutuhkan waktu tersendiri, guru tersendiri di bidang
kecakapan hidup, dan ongkos yang relatif besar. Selain itu, penggunaan model
ini dapat menambah beban tugas siswa dan guru selain beban finansial sekolah.
Meskipun demikian, model ini dapat digunakan secara optimal dan intensif untuk
membentuk kecakapan hidup pada peserta didik.

Dalam model diskrit, implementasi pendidikan kecakapan hidup dipisahkan dan


dilepaskan dari program-program kurikuler, kurikulum reguler, dan atau mata
pelajaran (pembelajaran kurikuler). Pelaksanaannya dapat berupa
pengembangan program kecakapan hidup yang dikemas dan disajikan secara
khusus kepada peserta didik. Penyajiannya bisa terkait dengan program
kokurikuler atau bisa juga berbentuk program ekstrakurikuler. Model ini
membutuhkan persiapan yang matang, ongkos yang relatif besar, dan kesiapan
sekolah yang baik. Selain itu, model ini memerlukan perencanaan yang baik agar
tidak salah penerapan. Meskipun demikian, model ini dapat digunakan
membentuk kecakapan hidup peserta didik secara komprehensif dan leluasa.

Model manapun yang dipilih, yang penting adalah bahwa pembelajaran


kecakapan hidup tersebut pada hakikatnya adalah pembelajaran yang
menempatkan siswa sebagai pelaku belajar. Siswa mempunyai kesempatan
untuk belajar aktif, baik mental maupun fisik, dan hal ini dapat diperoleh bila
lingkungan belajar dibuat menyenangkan bagi siswa.

Model pembelajaran yang dimaksud adalah model pembelajaran aktif. Model


pembelajaran aktif merupakan model pembelajaran yang membuat siswa
melakukan perbuatan untuk beroleh pengalaman, interaksi, komunikasi, dan
refleksi. Siswa akan belajar banyak melalui perbuatan beroleh pengalaman

langsung. Dengan berbuat, siswa mengaktifkan lebih banyak indera daripada


hanya melalui mendengarkan. Selanjutnya kecakapan interaksi akan dimiliki oleh
siswa bila pelajaran berlangsung dalam suasana interaksi dengan orang lain,
misalnya berdiskusi dan bertanya-jawab. Sedangkan kecakapan komunikasi
merupakan kecakapan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan, baik secara
lisan maupun tulisan, dan hal ini menjadi kebutuhan setiap manusia dalam
rangka mengungkapkan dirinya untuk mencapai kepuasan. Kemudian bila
seseorang mengungkapkan gagasannya kepada orang lain dan mendapat
tanggapan maka orang itu akan merenungkan kembali gagasannya, kemudian
melakukan perbaikan, sehingga memiliki gagasan yang lebih mantap. Inilah
yang dimaksud refleksi. Refleksi ini dapat terjadi sebagai akibat dari interaksi
dan komunikasi.

Berkaitan dengan implementasi pendidikan kecakapan hidup, ada baiknya


dipertimbangkan juga berbagai problematika berupa kendala yang sangat
mungkin dihadapi di lapangan, mengingat konsep pendidikan kecakapan hidup
ini merupakan konsep yang relatif baru sehingga belum sepenuhnya dipahami
baik oleh pelaksana pendidikan maupun masyarakat luas pada umumnya.

Temuan dari Tim Peneliti Universitas Negeri Malang (2002) mengenai faktorfaktor penghambat pendidikan kecakapan hidup di Jawa Timur menunjukkan
bahwa faktor internal yang berasal dari guru, sistem sekolah, kurikulum, serta
fasilitas yang dimiliki sekolah merupakan faktor penghambat yang utama. Faktor
penghambat yang lain juga termasuk faktor eksternal yang berasal dari
dukungan pemerintah, sosial/budaya, dukungan dunia usaha/industri, dan
dukungan orang tua.

Hasil penelitian itu juga menjelaskan bahwa menurut peringkatnya, guru


menduduki peringkat pertama sebagai penghambat, disusul berturut-turut oleh
sistem sekolah, kurikulum, fasilitas, dukungan pemerintah, dukungan dunia
usaha/industri, orang tua, dan sosial budaya.

Faktor penghambat dari guru meliputi guru kurang mengerti pendidikan


kecakapan hidup, kurang profesional dalam mengajar, tidak mempunyai
keterampilan khusus, gaji rendah, motivasi untuk berkembang rendah, dan
kurang tekun dalam mengembangkan diri. Faktor penghambat sistem sekolah
meliputi sistem yang sering berubah-ubah, tidak mendukung pelaksanaan
pendidikan kecakapan hidup, kurang terpadu antar jenjang, dan kurang waktu
dalam pembinaan keterampilan siswa.

Selanjutnya faktor penghambat kurikulum meliputi terlalu sarat materi, kurang


sesuai dengan aset unggulan daerah, masih seragam terpusat, tidak mengarah
kepada pendidikan kecakapan hidup serta mengabaikan minat dan bakat siswa.
Faktor penghambat dari sisi fasilitas meliputi fasilitas kurang memadai, fasilitas
yang ada kurang mendukung pendidikan kecakapan hidup, dan fasilitas tidak
merata antara sekolah meskipun untuk jenjang sekolah yang sama.

Sementara itu faktor penghambat dukungan pemerintah meliputi bantuan dana


tidak merata, relatif kecil, nara sumber ahli pendidikan kecakapan hidup sedikit,
bantuan yang ada kurang mendukung pelaksanaan program pendidikan
kecakapan hidup, pola dukungan sering berubah-ubah, dan ambivalensi antara
Depdiknas dengan Departemen Agama pada pengelolaan pendidikan dasar dan
menengah.

Sedangkan faktor penghambat dukungan dunia industri adalah meliputi


keterbatasan jumlah serta sumber daya dunia usahja/industri di daerah, merasa
tidak mempunyai ikatan, tidak ada akad kerja sama yang jelas, alokasi waktu
sekolah dengan dunia usaha/industri yang tidak seiring dan tidak ada koordinasi.
Kemudian mengenai faktor penghambat sosial/budaya adalah meliputi tatanan
sosial/budaya yang tidak mendukung siswa sekolah bekerja, tidak memahami
pendidikan kecakapan hidup, serta masih berorientasi pada perolehan gelar
sesudah selesai sekolah. Penghambat dari orang tua meliputi kebanyakan
berpendapatan rendah sedangkan yang berpendapatan tinggi kurang sadar,
tidak mengerti pendidikan kecakapan hidup, pola pikir berorientasi pada gelar
kesarjanaan, dan motivasi untuk mendorong anak memperoleh kecakapan hidup
rendah.

Selanjutnya, khusus di SD/MI, kendala utama pengembangan pendidikan


kecakapan hidup adalah guru kurang mengerti pendidikan kecakapan hidup,
kurikulum masih terpusat serta tidak sesuai dengan aset unggulan daerah,
fasilitas kurang memadai serta tidak seragam, dan kurang dukungan dunia
usaha/industri serta pemerintah.

Jelaslah bahwa banyak faktor penghambat yang sangat mungkin dihadapi oleh
sekolah dalam rangka implementasi pendidikan kecakapan hidup, baik itu faktor
internal dari sekolah sendiri maupun faktor eksternal. Memperhatikan kendalakendala tersebut, maka di dalam implementasi pendidikan kecakapan hidup di
sekolah, tahap awal yang harus dilakukan adalah memberikan pengertian dan
pemahaman kepada pelaksana sekolah (terutama guru dan kepala sekolah)
mengenai pendidikan kecakapan hidup itu sendiri. Hal ini penting karena
berdasarkan temuan di atas, ternyata faktor guru merupakan salah satu
penghambat utama, yang antara lain karena guru kurang mengerti pendidikan

kecakapan hidup, kurang profesional dalam mengajar, tidak mempunyai


keterampilan khusus, dan kurang tekun dalam mengembangkan diri.
Implementasi pendidikan kecakapan hidup di sekolah, khususnya SD, tidak akan
berhasil dengan baik bila berbagai kendala di atas, terutama yang terkait dengan
faktor guru, belum diatasi lebih dahulu.

Keberhasilan implementasi pendidikan kecakapan hidup tidak hanya bergantung


pada model yang digunakan, namun juga sangat bergantung pada terpenuhi
tidaknya syarat-syarat minimal yang harus diupayakan untuk masing-masing
model. Model-model implementasi di atas sifatnya adalah kondisional, oleh
sebab itu pihak sekolah perlu memilih dan menggunakannya secara hati-hati
sesuai dengan kondisi, kemampuan, dan keinginan sekolah beserta seluruh
stakeholder-nya. Model mana pu yang dipilih, implementasi pendidikan
kecakapan hidup membutuhkan suatu reorientasi kurikulum, pembelajaran, dan
penilaian (Saryono, Djoko, 2002). Selain itu juga memerlukan reformasi
manajemen sekolah, budaya sekolah, dan peningkatan hubungan sekolah
dengan masyarakat.

Implementasi pendidikan kecakapan hidup di SD harus ditangani secara hatihati, serius, dan cermat. Kesalahan dalam penanganan hanya akan
memunculkan masalah baru dalam pendidikan di SD. Sebaliknya penanganan
yang benar akan membuat sebagian besar permasalah pendidikan di SD
sekaligus permasalah sosial-ekonomi masyarakat dapat diatasi. Ini berarti
keberhasilan atau kegagalannya sangat bergantung pada para pelaku pendidikan
itu sendiri, pakar-pakar pendidikan, birokrat, dan semua stakeholder pendidikan.

Penutup

GBHN 1999 menegaskan perlunya diversifikasi kurikulum yang dapat melayani


keanekaragaman kemampuan sumberdaya manusia, kemampuan siswa, sarana
pembelajaran, dan budaya di daerah. Diversifikasi kurikulum menjamin hasil
pendidikan yang dapat membentuk masyarakat Indonesia yang damai,
demokratis, serta berdaya saing untuk maju dan sejahtera (Suharyono, 2001).

Sebagai paradigma dan perspektif baru penyelenggaraan pendidikan di sekolah,


khususnya SD, pendidikan kecakapan hidup merupakan perluasan konsepsi,
fungsi, dan peranan pendidikan perssekolahan untuk meningkatkan
kebermaknaan dan kegunaan pendidikan bagi masyarakat, dunia kerja, dan
kehidupan sehari-hari. Pendidikan kecakapan hidup merupakan salah satu wujud

solusi atas permasalahan pendidikan sekaligus sosial-ekonomis masyarakat


Indonesia.

Daftar Pustaka

Amstrong, Thomas. Terjemahan T. Hermaya. 2002. Kind sof Smart: Menemukan


dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligence.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Anonim. 2002. Kecakapan Hidup Bersinergi Kontekstual. Majalah UNESA. Nomer


13 Tahun III, Agustus-September.

Brolin, D.E. 1989. Life Centered Career Education: A Competency Based


Approach. Reston VA: The Council for Exepctional Children.

Depdiknas. 2002. Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Kecakapan Hidup. Buku I, II,


dan III. Jakarta: Depdiknas.

Dinas Pendidikan Jawa Barat. 2002. Pendidikan Berbasis Luas Kecakapan Hidup
dengan Model Pelaksanaan Pembelajaran Hidup di Sekolah. Bandung: CV Dwi
Rama.

Dinas Pendidikan Jawa Timur. 2001. Profil Pendidikan Jawa Timur Tahun
2000/2001. Surabaya: Dinas Pendidikan Jawa Timur.

Jalal, Fasli dan Supriadi, Dedi. Editor. 2001. Reformasi Pendidikan dalam Konteks
Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.

Kendall, John S dan Marzano, Robert J. 1997. Content Knowledge: A Compedium


of Standards and Benchmarkes for K-12 Education. Aurora, Colorado, USA: Mc
REL Mid Continent Regional Educational Laboratory; Alexandria, Virginia, USA:
ASCD.

Saryono, Djoko. 2002. Pendidikan Kecakapan Hidup: Konsepsi dan


Implementasinya di Sekolah. Makalah dalam Workshop Pengembangan Sistem
Pendidikan Dasar dan Menengah Berorientasi Kecakapan Hidup di Jawa Timur, 11
November 2002, Universitas Negeri Malang.

Suharyono. 2001. Kurikulum Masa Depan: Pengembangan Kurikulum Berbasis


Kompetensi. Jurnal Gentengkali. Vol 3 Nomer 11 dan 12: 46.

Tim Peneliti. 2002. Penelitian Pengembangan Pendidikan Jawa Timur. Laporan


Penelitian tidak diterbitkan. Lembaga Penelitian Universitas Negeri Malang
bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Timur.
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
1

30
25
20
15
10
5
0
1

12
10
8
6
4
2
0
1

10 11 12 13 14 15

14
12
10
8
6
4
2
0
1

30
25
20
15
10
5
0

25
20
15
10
5
0
1

18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
1

18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
1

16
14
12
10
8
6
4
2
0
1

20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
1

14
12
10
8
6
4
2
0

16
14
12
10
8
6
4
2
0
1

30
25
20
15
10
5
0

18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
1

20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
1

16
14
12
10
8
6
4
2
0
1

25
20
15
10
5
0
1

25
20
15
10
5
0
1

18
16
14
12
10
8
6
4
2
0

25
20
15
10
5
0
1

25
20
15
10
5
0
1

18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
1

18
16
14
12
10
8
6
4
2
0

Anda mungkin juga menyukai