Ah, Mariam kamu lihat bercak darahku itu? Dan tulisanku yang semakin porak-poranda?
Mejaku tempat menuliskan pesan ini bergeser, tertarik kebelakang beserta ku yang sedang duduk
menyelesaikan pesan memilukan ini, kemudian mejanya menumbuk dadaku, menyisakan sakit
tapi tak sesakit dicabutnya harapan untuk bertemu denganmu, menyisakan rindu yang
menggerogoti tubuh, pikiran, dan jiwaku. Rinduku, rindumu, rindu anak-anak kita. Rinduku akan
menjadi hutang bagiku, rindumu akan menjadi kekosongan yang diisi duka, rindu anak-anak kita
juga menjadi beban untuk mu, juga perih dan sakit yang mengisi kekosongan buat mereka.
Saat ini aku menulis di dinding yang semula vertikal. Ku terima kapal ini sebagai peti
mati ku, ku terima laut ini sebagai kuburan ku, ku terima takdir yang menghilangkan
keberadaanku tanpa jejak dikubur dalam gemuruh laut yang dingin, gelap, dan berbuih. Inilah
surat terakhir untuk mu, ku sertakan semua uang yang ku dapat, ku percayakan surat dan uang ini
ke dalam botol whisky terakhirku. Tuhan semoga ombak dan alam masih mau berbelas kasih
untuk menyampaikan pesanku ini.
Yang tercinta maafkan aku.
Hey kawan kau bisa membacakan ini untuk ku? Aku tidak yakin apa aku membacanya
dengan dengan benar.
Mana, coba kulihat.
Jadi menurutmu apa itu, apa yang tertulis disana?
Aku pun tidak yakin, hey dari mana kau dapatkan ini?
dari botol ini yang semula mengapung di laut, lihat ada uangnya juga, sungguh
menyenangkan, kurasa uang ini cukup untuk membeli sebuah kapal baru, dan sisanya menjamin
kita untuk dapat hidup senang sekitar lima tahun kedepan!
Kalau begitu kurasa ini bisa jadi surat wasiat.
benar juga kau.