Anda di halaman 1dari 3

Surat Terakhir

Oleh Moch. F Dzulfiqar


Untuk yang tercinta, Mariam dan anak-anak ku
Ingin sekali aku berjumpa, melihat mu dan anak-anak ku. Penantian mu dan aku hari ini
hampir terwujud. Aku bawakan rindu yang tak akan habis dibagi sehari. Juga beribu kisah untuk
anak-anak kita, juga uang yang bisa menyelamatkan hari-harimu esok, lusa, dan seterusnya.
Tetapi aku tidak punya hari esok, sayang maafkan aku.
Aku sudah dekat dengan perairan menuju pantai tempat mu tinggal. Kau tahu langit kosong
tanpa bintang menyambutku, seperti mimpiku tadi yang tak ada kehadiranmu dalam tidurku. Aku
terbangun dengan ketakutan berbekas dalam kesadaranku, dan kini ketakutan itu menjadi nyata
begitu gumpalan awan badai menyambut kami. Aku mendengar pesan kematian dari desiran
angin kencang yang berhembus melewati kapal ini. Dalam badai, gelombang raksasa seolah
menguji keperkasaan bahtera ini, riuh angin kencang seperti riuh para penonton yang melihat
pertandingan gulat, sementara petir menggelegar di segala penjuru seperti auman harimau yang
sedang memburu mangsa. Gelombang makin menggila disekitar kami seolah berusaha untuk
menelan kapal ini berserta kami di dalamnya, kemudian kecemasan mewujudkan dirinya dalam
sebuah imajinasi dimana mahkluk laut bergerombol menyantap kami. Kini aku merasa alam
seolah bersatu untuk menghapus keberadaan kami, dan aku bisa membayangkan dengan sangat
jelas mengapa Pascal menyebut manusia sebagai sepotong alang-alang. Barusan terdengar
suara yang memekakan pendengaranku, lalu terdengar langkah kaki orang-orang berlarian,
kurasa petir baru saja menyambar kapal ini. Lampu mati menyala, mati dan menyala, begitu
seterusnya, diiringi beberapa benda yang bergeser dan berjatuhan. Dalam hati aku berkata Eli,
Eli lama sabakhtani, semakin mencekam semakin aku ragu kan bertemu hari esok. Padahal aku
merindukanmu, merindukan senyumanmu yang lebih lembut dari kelembutan kulitmu. Aku
merindukan anak-anak kita, setinggi berapa si sulung sekarang? Kenakalan apa lagi yang
dilakukan si tengah, dan bagaimana wajah imut si bungsu? Yang terpaksa ku tinggalkan ketika
berusia enam bulan.

Ah, Mariam kamu lihat bercak darahku itu? Dan tulisanku yang semakin porak-poranda?
Mejaku tempat menuliskan pesan ini bergeser, tertarik kebelakang beserta ku yang sedang duduk
menyelesaikan pesan memilukan ini, kemudian mejanya menumbuk dadaku, menyisakan sakit
tapi tak sesakit dicabutnya harapan untuk bertemu denganmu, menyisakan rindu yang
menggerogoti tubuh, pikiran, dan jiwaku. Rinduku, rindumu, rindu anak-anak kita. Rinduku akan
menjadi hutang bagiku, rindumu akan menjadi kekosongan yang diisi duka, rindu anak-anak kita
juga menjadi beban untuk mu, juga perih dan sakit yang mengisi kekosongan buat mereka.
Saat ini aku menulis di dinding yang semula vertikal. Ku terima kapal ini sebagai peti
mati ku, ku terima laut ini sebagai kuburan ku, ku terima takdir yang menghilangkan
keberadaanku tanpa jejak dikubur dalam gemuruh laut yang dingin, gelap, dan berbuih. Inilah
surat terakhir untuk mu, ku sertakan semua uang yang ku dapat, ku percayakan surat dan uang ini
ke dalam botol whisky terakhirku. Tuhan semoga ombak dan alam masih mau berbelas kasih
untuk menyampaikan pesanku ini.
Yang tercinta maafkan aku.
Hey kawan kau bisa membacakan ini untuk ku? Aku tidak yakin apa aku membacanya
dengan dengan benar.
Mana, coba kulihat.
Jadi menurutmu apa itu, apa yang tertulis disana?
Aku pun tidak yakin, hey dari mana kau dapatkan ini?
dari botol ini yang semula mengapung di laut, lihat ada uangnya juga, sungguh
menyenangkan, kurasa uang ini cukup untuk membeli sebuah kapal baru, dan sisanya menjamin
kita untuk dapat hidup senang sekitar lima tahun kedepan!
Kalau begitu kurasa ini bisa jadi surat wasiat.
benar juga kau.

Hey sebaiknya kau kembalikan saja ke laut!


Hah?! Apa kau sudah gila? Untuk apa?
Mungkin saja itu berisi kutukan, sebab pesan dan uang itu kemungkinan ditujukan untuk
Mariam.
Kutukan? Mana mungkin, ini keberuntungan, lagi pula si Mariam itu tidak akan pernah
tahu.
Berikan itu padaku! Kita harus mengembalikannya dan menghormati wasiat itu serta
keinginan mereka yang mati di laut.
Baiklah, bagaimana jika beberapa lembar saja untuk ku, dan kau boleh mengambil
sejumlah yang aku ambil, lebih pun tidak mengapa, kau sendiri tahu bukan jika ikan akhir-akhir
ini sulit di dapat dan tidak banyak menguntungkan, untuk dimakan saja tidak cukup.
Tetap tidak bisa!
Aku tidak suka melakukannya, tapi kau tidak memberiku pilihan!

Anda mungkin juga menyukai