Terapi Oksigen - Yolanda Shinta P
Terapi Oksigen - Yolanda Shinta P
TERAPI OKSIGEN
Pembimbing:
dr. Aunun Rofiq, Sp.An
Disusun oleh:
Yolanda Shinta P T
G4A014070
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Oksigen adalah gas yang merupakan hasil dari fotosintesis tumbuhan
yang menunjang metabolisme seluler pada seluruh organisme aerob, termasuk
manusia. Oksigen (O2) adalah gas yang tidak berbau, tidak berwarna, dan
tidak memiliki rasa yang berada di sekitar kita. Udara yang kita hirup
mengandung 21% O2 (National Home Oxygen Patients Association, 2013).
Terapi oksigen adalah tindakan untuk meningkatkan tekanan parsial
oksigen
pada
inspirasi.
Terapi
oksigen
memiliki
tujuan
tuntuk
2. Distribusi
Setelah ventilasi, udara yang telah memasuki saluran napas
akan didistribusikan ke seluruh paru, lalu kemudian masuk ke dalam
alveoli. Distribusi udara tidak merata di seluruh lapang paru. Udara
yang masuk akan cenderung masuk ke bagian basal paru pada posisi
berdiri atau duduk, dan ke bagian dorsal pada saat berbaring. Hal ini
dipengaruhi
oleh
adanya
gravitasi
dan perbedaan
tekanan
intrapleural antara bagian basal paru dan bagian apeks paru. Bagian
basal paru memiliki tekanan intra pleural yang lebih rendah
dibandingkan dengan bagian apeks, sehingga bagian basal dapat
lebih mudah mengembang dan udara lebih mudah masuk
(Hedenstierna, 2009.).
Distribusi volume udara yang diinspirasi merupakan fungsi
langsung dari resistance (R) dan compliance (C) yang disebut
sebagai RC time constant. Pada keadaan normal, dua buah alveolus
yang berdekatan akan memiliki distribusi yang sama karena nilai R
dan C yang sama. Pada bronkiolus yang menyempit atau pada
alveoli yang kaku nilai R dan C akan lebih tinggi dibandingkan
dengan keadaan yang normal. Alveoli dengan nilai R dan C yang
tinggi akan mendapat distribusi udara yang lebih sedikit sehingga
underventilated (Djojodibroto, 2007).
3. Difusi
Proses difusi merupakan proses perpindahan gas menembus
selaput alveolokapiler. Oksigen berdifusi secara pasif dari bentuk
gas di alveolus menuju plasma dan eritrosit dan menuju plasma dan
sel darah merah. Jumlah yang dapat mengalami difusi melalui
membran ditentukan oleh area permukaan yang tersedia untuk
difusi, ketebalan membran, perbedaan tekanan di antara jaringan,
dan solubilitas gas tersebut di jaringan (Hedenstierna, 2009.).
4. Perfusi
Proses perfusi adalah proses pengambilan gas oleh aliran
darah kapiler paru yang adekuat. Aliran darah di paru dipengaruhi
oleh tekanan dan resistensi vaskuler. Aliran darah di dalam paru
memiliki tekanan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan
tekanan darah sistemik, yaitu hampir satu per lima dari diastole
normal (Djojodibroto, 2007 & Hedenstierna, 2009).
B. HUBUNGAN ANTARA VENTILASI-PERFUSI
Ventilasi dan perfusi pada orang normal hampir seimbang kecuali pada
bagian apeks paru. Sirkulasi pulmoner dengan tekanan dan resistensi rendah
menyebabkan aliran darah di basis paru lebih besar dibandingkan dengan
bagian apeks. Hal ini juga dipengaruhi oleh adanya gaya gravitasi. Nilai ratarata rasio antara ventilasi terhadap perfusi adalah 0,8 (Price& Wilson, 2006).
V/Q= 0,8
V = ventilasi alveolar normal (4L/menit)
Q = curah jantung normal (5L/menit)
Ketidakseimbangan antara proses ventilasi-perfusi kebanyakan terjadi
pada penyakit pernapasan. Hal yang dapat terjadi adalah tidak terdapat
ventilasi tetapi perfusi masih normal, dengan rasio ventilasi-perfusi kurang
dari 0,8 atau ventilasi normal tetapi tanpa perfusi, dengan rasio ventilasiperfusi lebih dari 0,8 (Price&Wilson, 2006).
C. TRANSPORT O2, CO2 DAN KURVA DISOSIASI OKSIHEMOGLOBIN
Sistem respirasi dan sistem kardiovaskuler bekerja sama dalam proses
transport oksigen menuju sel. Oksigen dalam darah ditransport dalam dua
bentuk yaitu bentuk terlarut dalam plasma, dapat diukur dengan PaO2, dan
yang terikat dengan hemoglobin. Dalam 100 ml darah yang meninggalan
kapiler paru, lebih kurang membawa 20 ml oksigen, dan hanya sekitar 0,3 ml
molekul oksigen yang terlarut dalam plasma. Oksigen diikat oleh ion besi dari
unit heme pada hemoglobin, sehingga akan membentuk oksihemoglobin yang
ikatannya bersifat reversible (Nurcahyo, et al., 2013).
Homeostasis CO2 juga merupakan salah satu aspek penting dalam
kecukupan respirasi. Pembuangan CO2 dari jaringan memiliki 3 jalur. Hampir
10% CO2 larut dalam plasma, 20% CO2 berikatan dengan gugus amino pada
Hb membentuk karbaminohemoglobin, dan 10% diangkut dalam bentuk ion
bikarbonat (HCO3-). CO2 berikatan dengan air dalam reaksi berikut:
CO2 + H2O H2CO3 H+ + HCO3-
bikarbonat-karbonat.
Keseimbangan
asam-basa
tubuh
sangat
oksigen-hemoglobin.
Kurva
disosiasi
oksigen-hemoglobin
oksigen
dari darah
menuju
jaringan
dan akan
97
7,35-7,45
22-26 mEq/L
E. TERAPI OKSIGEN
Terapi oksigen merupakan pemberian oksigen sebagai suatu intervensi
medis dengan konsentrasi lebih tinggi dibanding dengan konsentrasi oksigen
dalam udara. Tujuan dari terapi oksigen antara lain untuk mempertahankan
oksigen jaringan yang adekuat sehingga mencegah hipoksia, menurunkan
kerja nafas, dan menurunkan kerja jantung (Nurcahyo, et al., 2013).
Hipoksia adalah kekurangan O2 di tingkat jaringan. Jaringan akan
mengalami hipoksia jika aliran oksigen tidak adekuat untuk memenuhi
metabolisme jaringan, dan dapat terjadi kira-kira 4-6 menit setelah ventilasi
spontan berhenti. Hipoksia dibagi dalam 4 jenis, antara lain:
a. Hipoksia hipoksik atau anoksia anoksik, jika PO 2 darah arteri
berkurang. Hipoksia hipoksik adalah masalah pada individu normal
di daerah ketingian dan merupakan penyulit pada penyakit-penyakit
sistem pernapasan seperti pneumonia. Gejala yang dapat muncul
pada keadaan ini adalah iritabilitas, insomnia, sakit kepala, sesak
napas, mual dan muntah.
b. Hipoksia anemik jika O2 darah arteri normal tetapi mengalami
denervasi. Hipoksia anemik tidak berat ketika istirahat, karena
adanya peningkatan kadar DPG di dalam sel darah merah, kecuali
jika defisiensi hemoglobin dalam jumlah besar. Penderita mungkin
cukup mengalami kesulitan ketika melakukan latihan fisik, karena
keterbatasan kemampuan penngangkutan O2 ke jaringan fisik.
c. Hipoksia stagnan, terjadi akibat sirkulasi yang lambat, Hal ini
merupakan masalah bagi organ seperti ginjal dan jantung ketika
terjadi syok. Pada gagal jantung kongestif, hati dan jaringan otak
dapat mengalami kerusakan akibat hipoksia stagnan.
d. Hipoksia histotoksik merupakan hipoksia yang disebabkan oleh
adanya kegagalan metabolisme seluler, karena adanya agen toksik,
endotoksemia, syok septik, defisensi sitemik dan penyakit
sistemiklainnya.
Kegagalan
proses
oksidasi
jaringan
sering
meningkatkan toleransi.
Pasien dengan PPOK diberikan oksigen sebanyak 1-2 L/menit.
PaO2 harus dipertahankan pada kurang lebih 60 mmHg (Singh, et
al., 2001).
Indikasi lain untuk terapi oksigen adalah:
1. Syok dengan berbagai penyebab
2. Infark miokard akut
3. Keadaan yang menyebabkan peningkatan metabolisme
4.
5.
6.
7.
rate
8. Asidosis
9. Anemia berat.
Terapi oksigen berdasarkan cara pemberiannya dibagi menjadi dua
jenis, yaitu sistem arus rendah dan sistem arus tinggi. Alat yang digunakan
pada sistem arus rendah meliputi (British Thoracic Society, 2008):
1. Kanul Nasal
Kanul nasal digunakan pada konsentrasi oksigen rendah
sampai sedang. Pemberian 1-6L/menit dengan kanul nasal dapat
mempengaruhi FiO2 sebanyak 24-44%. Setiap 1 L/menit oksigen
akan menambah kadar oksigen sebesar 4%. Pemberian oksigen >
4L/ menit pada beberapa orang dapat menyebabkan rasa tidak
nyaman dan rasa kering pada hidung, terutama jika diberikan
selama beberapa jam. Beberapa keuntungan dari penggunaan nasal
kanul adalah nyaman, rentang pemberian oksigen luas (antara 1-6
L), tidak menyebabkan sensasi klaustrofobik, dan pasien masih bisa
makan dan berbicara tanpa terganggu. Kerugian dari kanul nasal
adalah tidak dapat digunakan jika terdapat kongesti hidung. Selain
itu penggunaan kanul nasal dapat menyebabkan iritasi hidung.
oksigen
sebanyak
10-15
L/
menit
dengan
PaO2 yang melebihi 100 torr dan diberikan dalam jangka waktu
yang lama dapat menyebabkan keracunan oksigen. Pada keadaan
akut akan muncul kejang, pada keadaan kronis gejala yang muncul
seperti nyari di belakang tulang dada, nyeri sendi, kesemutan, mual,
muntah dan nafsu makan yang menurun.
III. KESIMPULAN
1. Respirasi adalah proses pertukaran gas antara darah dan lingkungan yang
terdiri dari empat proses yaitu ventilasi, distribusi, difusi dan perfusi.
2. Saturasi oksigen antara lain dipengaruhi oleh pH, PCO2, DPG dan
peningkatan suhu.
3. Indikasi utama dari pemberian terapi oksigen adalah hipoksemia, yaitu
penurunan PaO2 dan SaO2 di bawah nilai normal. Hipoksemia dapat
disebabkan oleh gangguan ventilasi perfusi, gangguan difusi, atau ketika
berada di tempat tinggi.
4. Pemberian terapi oksigen memiliki beberapa risiko dan efek samping antara
lain kebakaran, hipoksia, hipoventilasi, atelektasis paru, dan keracunan
oksigen.
DAFTAR PUSTAKA
British Thorax Society. 2008. Guideline for Emergency Oxygen Use in Adult
Patients. UK: BTS.
Djojodibroto D. 2007. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC
Ganong FW. 2003. Fisiologi Kedokteran Edisi 20.Jakarta: EGC.
Guyton AC, Hall JE. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ed. 11. Jakarta: EGC.
Latief AS. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi dan Terapi Intensif. Jakarta: FK
UI.
National Home Oxygen Patients Association. 2013. Understanding Oxygen
Therapy.
Available
at:
http://www.homeoxygen.org/assets/docs/Understanding%20Oxygen
%20Therapy%202013.pdf (Diakses pada 8/4/2015)
Nurcahyo WI, Susilowati D, Sutiyono D. 2013. Anestesiologi. Semarang: FK
UNDIP.
Price SA, Wilson LM. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Voume 2 Edisi 6. Jakarta: EGC.
Singh CP, Singh N, Singh J, Brar GK, Singh G. 2001. Oxygen Therapy. Indian
Academy of Clinical Medicine Volume 2 No.3: 178-179.