Anda di halaman 1dari 9

I

PENDAHULUAN

Ilmu

Lingkungan

sebagai

ilmu

yang

interdisipliner

bermaksud mengukur dan menilai perubahan atau dampak


kegiatan manusia terhadap ekosistem. Tujuannya adalah agar
dapat

mengelola

keberlangsungan

kehidupan

yang

ada,

terutama dalam dunia peternakan. Bagaimana manusia sebagai


bagian yang tidak terpisahkan dari ekosistem/lingkungannya
dapat mengupayakan keberlangsungan hidup makhluk dalam
lingkungannya. Sebagai peternak, maka objeknya adalah hewan
ternak. Kami kelompok 10 mendapat bagian membahas Respon
Populasi Babi Terhadap Tekanan Lingkungan.
Tujuan penulis menyusun

makalah ini adalah untuk

mengetahui bagaimana respon populasi ternak babi pada


tekanan lingkungan, terutama cekaman panas. Respon populasi
yang

kami

amati,

terbatas

pada

berbagai

akibat

yang

berhubungan dengan produksi pada babi. Selain itu faktor-faktor


apa saja yang dapat menyebabkan tekanan/stres pada ternak
babi.

II
PEMBAHASAN

Babi

(Sus

sp.)

adalah

hewan

bermoncong

panjang,

omnivora, dan diternakkan sebagai penghasil daging. Babi akan


menghasilkan produksi yang baik bila berada dalam kondisi
nyaman. Nyaman dalam arti ternak babi dapat melangsungkan
hidupnya tanpa berpengaruh pada produksi yang diharapkan
peternak. Karena saat ternak tidak merasa nyaman, maka akan
terjadi perubahan status faal yang dapat diamati peternak. Ini
menjadi indikator dalam mendeteksi produksi ternak yang
menurun.
Bahasan yang kami tuliskan berasal dari berbagai jurnal,
sehingga dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya, dengan
asumsi ternak babi yang dipelihara dalam proses penelitian
jurnal

dianggap

sama

dengan

babi

yang

diternakkan

di

Indonesia. Terkecuali hal tersebut, perlu juga dipertimbangkan


berbagai faktor internal yang dapat mempengaruhi ketahanan
ternak babi terhadap lingkungan seperti bangsa (breed), tingkat
adaptasi, daya aklimatisasi (penyesuaian dengan iklim) dan
status gizi.

Pembahasan pertama adalah mengenai pengaruh langsung


temperatur yang tinggi terhadap ternak babi. Pada temperatur
berapa babi masih dapat bertahan hidup dan seberapa lama
ternak

babi

dapat

hidup

pada

suhu

tersebut?

Jawaban

pertanyaan ini dijawab oleh penelitian yang dilaksanakan G.I.


Christison dan kolega. Mereka menguji seekor babi dengan bobot
badan 25 kg untuk diekspos pada lingkungan bertemperatur
38C selama 5 jam 15 menit. Suhu rektal babi awal adalah
39,1C naik menjadi 42,8C. 30 menit kemudian suhu lingkungan
dinaikkan hingga 44,8C. Setelah mencapai puncak suhu tadi,
suhu diturunkan sedikit (5C), namun ternak babi tersebut mati
20 menit kemudian (Christison, 1968). Hal ini menunjukkan
bahwa satu tekanan lingkungan yang ekstrim saja, yaitu
cekaman panas sudah dapat membunuh seekor babi.
Masih dari penelitian Christison di atas, 5 menit setelah
kematian (post mortem), diambil cuplikan darah babi tersebut
dan

didapat

menunjukkan
normalnya

hasil

keasaman

darah

menjadi

7,46.

metabolisme)

Asam

sebanyak

darah
lebih

laktat
99

mencapai

asam

dari

(menunjukkan

mg/100

mL

pH

7,37

kondisi

pH

hasil

sisa

darah,

padahal

normalnya hanya 11 mg/100 mL. Hal ini menunjukkan terjadinya


metabolisme yang tinggi, padahal ternak tidak melakukan
kegiatan aktif apapun. Artinya dalam keadaan diam pada kondisi
tertekan panas, tubuh akan bekerja lebih keras hanya untuk
mempertahankan suhu tubuh saja (homeostasis). Apalagi bila

dalam kondisi harus berproduksi, maka produksi dipastikan tidak


akan optimal.
Berbeda dengan temperatur, kelembaban terlihat tidak
terlalu mempengaruhi kehidupan ternak babi. Pernyataan ini
didapat dari penelitian S.R. Morrison dan kolega pada 1969.
Mereka menguji tiga kelompok babi, dimana masing-masing
kelompok dipelihara dalam kandang dengan lingkungan yang
terkendali selama 14 minggu. Kelembaban adalah presentasi air
yang terdapat dalam udara. Terdapat tiga tingkat perlakuan yaitu
kelembaban pada temperatur 22C, 28C dan 33C. Sedangkan
parameter produksi yang diamati adalah konsumsi pakan dan
pertambahan bobot badan (PBB). Semakin tinggi temperatur,
begitu juga kelembaban. Efek pada efisiensi pakan, temperatur
kulit dan temperatur kulit tidak berpengaruh signifikan, artinya
kelembaban hanya memiliki efek kecil pada pertumbuhan babi
(Morrison, 1969).
Kedua penelitian diatas dilakukan di benua yang memiliki 4
musim, bagaimana apabila dilakukan di negara tropis yang
hanya memiliki dua musim? A.F. Fraser pada tahun 1970 meneliti
kehidupan ternak babi di Jamaika. Hasilnya menunjukkan bahwa
ternak babi didapat rentan terhadap cekaman panas di negeri
yang

hangat.

Tekanan

yang

dilakukan

adalah

temperatur

lingkungan yang tinggi, penyinaran matahari, menghasilkan


pertumbuhan babi lebih rendah dibandingkan jenis babi yang
sama apabila dipelihara di negara sub-tropis (Fraser, 1970).

Penelitian selanjutnya mengamati efek cekaman panas


terhadap sekelompok ternak babi, terutama yang diukur adalah
tingkat imun. McGlone dan kolega mengevaluasi 48 ekor babi
lokal yang dibagi tiga kelompok yang ditempatkan di tiga
kandang terpisah. Semua kandang diawasi kamera CCTV untuk 3
hari pertama. Perlakuan temperatur yang digunakan adalah 24C
(kontrol) dan 33C (cekaman panas). Parameter status sosial
yang diamati adalah tingkah agonistik (menyerang, berkelahi)
individu. Parameter tingkat imun/kekebalan yang diamati adalah
kadar limfosit (zat darah yang menyerang benda asing dalam
tubuh) yang diambil pada setiap minggu perlakuan.
Suhu lebih tinggi merangsang ternak menjadi lebih agresif
(McGlone, 1994). Hasil penelitian McGLone menunjukkan bahwa
kekebalan dan sistem imun berhubungan. Ternak babi yang
berinisiatif menyerang (agresif) memiliki kadar limfosit yang
lebih tinggi daripada kelompok babi yang kurang dominan
(subordinat). Bahkan terdapat peningkatan neutrofil, penanda
penurunan produksi antibodi, pada ternak babi subordinat.
Artinya immunosupresi memang terjadi saat peningkatan suhu
lingkungan, terlebih pada ternak babi yang kalah dominan.
Penelitian Mullan dan kolega pada 2003 menunjukkan
akibat cekaman panas terhadap produksi susu pada ternak babi
betina pada masa laktasi/menyusui. Temperatur kandang yang
melebihi ECT (Evaporative Critical Temperature/ Temperatur
Penguapan Kritis) dari babi betina periode laktasi menyebabkan
berkurangnya Food intake (konsumsi pakan), pengeluaran air

susu, performa reproduksi dan tingkat pertumbuhan anak babi.


Hal ini diperkuat dengan bukti berupa penurunan penyerapan
oksigen yang berkurang dari normal pada suhu 18C sebanyak
523 mL/menit menjadi 411 mL/menit pada suhu 28C. Penurunan
produksi yang terjadi adalah sebesar 25%, penurunan 40%
konsumsi pakan. Maka didapat solusi untuk mempertahankan
produksi laktasi adalah dengan mengurangi produksi panas yang
dihasilkan ternak melalui manipulasi pakan, yaitu pengurangan
serat dan lemak yang notabene menghasilkan panas lebih saat
dicerna. Alternatif lainnya adalah dengan memperluas area kulit
yang basah untuk mengurangi produksi panas pada ternak babi.
Cara sederhananya adalah dengan menyiram/membasahi kulit
babi secara berkala.
Sejauh ini pembahasan dapat dirangkum sebagai berikut:
Suhu terlalu tinggi dapat menyebabkan kematian cepat
pada ternak babi. Tidak seperti yang banyak diprediksi, ternyata
kelembaban tidak terlalu berpengaruh menimbulkan stres pada
ternak babi. Iklim Tropis lebih rentan menyebabkan stres bagi
babi

dibanding

iklim

subtropis.

Perbedaan

ukuran

tubuh

menjadikan strata sosial diantara para babi, menyebabkan


penurunan kekebalan tubuh/imun pada ternak babi yang lebih
kecil. Temperatur tinggi juga merangsang ternak menjadi lebih
agresif/agonistik. Temperatur tinggi menyebabkan penurunan
produksi susu, panting (pernafasan cepat) dan pertumbuhan
anak babi yang lambat di awal. Sejauh ini ilmu lingkungan dapat
memberi

solusi,

diantaranya

adalah

melalui

pendinginan

temperatur kandang, penyiraman dan modifikasi pakan untuk


menyeimbangkan nutrisi ransum. Karena hal tersebut tidak
berdampak buruk bagi lingkungan, tidak menimbulkan residu
dan minim efek samping.
III
PENUTUP

Kesimpulan
Berbagai

respon

populasi

ternak

babi

pada

tekanan

lingkungan, terutama cekaman panas terlihat pada perubahan


yang

terjadi

pada

parameter:

pertambahan

bobot

badan,

konsumsi pakan, produksi susu, sifat agonistik, status imun dan


daya hidup/viabilitas.
Faktor

lingkungan

diluar

manajemen

yang

dapat

menyebabkan stres pada ternak babi adalah temperatur tinggi,


paparan sinar matahari, strata sosial ternak, ketidakseimbangan
nutrisi pakan.

DAFTAR PUSTAKA

Christison, G.I. dan Heidenreich, C.J. 1968. Heat Death in A Pig.


International Journal of Biometeorology, Volume 12, hal. 365367.
Fraser, A.F. 1970. Studies on Heat Stress in Pigs in a Tropical
Environment. Tropical Animal Health and Production, Volume
2 halaman 76-86.
McGlone, J., Morrowtesch, L., Johnson, L. Salak. 1994. Heat and
Social Stress Effects on Pig Immune Measures. American
Society of Animal Science Journal, Volume 72 halaman 259269.
Morrison, S.R., Heitman Jr, H., dan Bond, T.EE. Effect of Humidity
on Swine St Temperatures Above Optimum. International
Journal of Biometeorology, Volume 13, hal. 135-139.
Mullan, B.P., Black, J.L., Lorrschy, M.L., dan Giles, L.R. 2003.
Lactation in The Sow During Heat Stress. Livestock
Production Science Journal, halaman 153-170.

MAKALAH ILMU LINGKUNGAN

Respon Ternak Babi


Terhadap Cekaman Panas

Oleh
Kelompok 10
Kelas D

Jajat Rohmana

200110110030

Muhammad Alfin

200110110183

Ogie Ramadhani

200110110207

Bayu Sitompul

200110110268

Fajar Rizki AK

200110110273

Fakultas Peternakan
Universitas Padjadjaran
2014

Anda mungkin juga menyukai