Anda di halaman 1dari 9

TRAUMA KEPALA

Trauma kepala adalah setiap trauma pada kepala yang menyebabkan cedera pada kulit
kepala, tulang tengkorak maupun otak. Trauma pada kepala dapat menyebabkan fraktur pada
tengkorak dan trauma jaringan lunak / otak atau kulit seperti kontusio / memar otak, edema otak,
perdarahan atau laserasi, dengan derajat yang bervariasi tergantung pada luas daerah trauma.
Dampak trauma kepala pada system tubuh lain :
Faktor kardiovaskuler

Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup aktivitas atipikal


miokardial, perubahan tekanan vaskuler dan edema paru.

Tidak adanya stimulus endogen saraf simpatis mempengaruhi penurunan kontraktilitas


ventrikel. Hal ini menyebabkan penurunan curah jantung dan meningkatkan tekanan atrium kiri.
Akibatnya tubuh berkompensasi dengan meningkatkan tekanan sistolik. Pengaruh dari adanya
peningkatan tekanan atrium kiri adalah terjadinya edema paru.

Faktor Respiratori

Adanya edema paru pada trauma kepala dan vasokonstriksi paru atau hipertensi paru
menyebabkan hiperpnoe dan bronkokonstriksi

Konsentrasi oksigen dan karbon dioksida mempengaruhi aliran darah. Bila PO2 rendah,
aliran darah bertambah karena terjadi vasodilatasi. Penurunan PCO2, akan terjadi alkalosis yang
menyebabkan vasokonstriksi (arteri kecil) dan penurunan CBF (cerebral blood fluid).

Edema otak ini menyebabkan kematian otak (iskemik) dan tingginya tekanan intra
kranial (TIK) yang dapat menyebabkan herniasi dan penekanan batang otak atau medulla
oblongata

Faktor metabolisme

Pada trauma kepala terjadi perubahan metabolisme seperti trauma tubuh lainnya yaitu
kecenderungan retensi natrium dan air dan hilangnya sejumlah nitrogen

Retensi natrium juga disebabkan karena adanya stimulus terhadap hipotalamus, yang
menyebabkan pelepasan ACTH dan sekresi aldosteron.

Faktor gastrointestinal

Trauma kepala juga mempengaruhi sistem gastrointestinal. Setelah trauma kepala (3 hari)
terdapat respon tubuh dengan merangsang aktivitas hipotalamus dan stimulus vagal. Hal ini akan
merangsang lambung menjadi hiperasiditas.

Faktor psikologis

Selain dampak masalah yang mempengaruhi fisik pasien, trauma kepala pada pasien
adalah suatu pengalaman yang menakutkan. Gejala sisa yang timbul pascatrauma akan
mempengaruhi psikis pasien. Demikian pula pada trauma berat yang menyebabkan penurunan
kesadaran dan penurunan fungsi neurologis akan mempengaruhi psikososial pasien dan
keluarga.

Mekanisme Terjadinya Trauma Kepala


Mekanisme cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat
ringannya konsekuensi patofisiologi dari trauma kepala kepala. Pada trauma kepala terjadi
akselerasi (gerakan yang cepat dan mendadak yang terjadi jika benda yang sedang bergerak
membentur kepala yang diam) dan deselerasi (penghentian akselerasi secara mendadak yaitu jika
kepala membentur benda yang tidak bergerak). Pada waktu akselerasi berlangsung, terjadi dua
kejadian yaitu akselerasi tengkorak ke arah dampak (kup) dan pergeseran otak ke arah yang
berlawanan dengan arah dampak primer (kontra kup). Apabila akselerasi disebabkan oleh
pukulan pada oksiput, maka pada tempat di bawah tampak terdapat tekanan positif akibat
identasi ditambah tekanan positif yang dihasilkan oleh akselerasi tengkorak ke arah dampak dan
penggeseran otak ke arah yang berlawanan. Di seberang tempat terdapat tekanan negatif akibat
akselerasi kepala yang ketika itu juga akan ditiadakan oleh tekanan yang positif yang diakibatkan
oleh pergeseran seluruh otak.
Maka pada trauma kepala dengan dampak pada oksiput, gaya kompresi di bawah
berdampak cukup besar untuk bisa menimbulkan lesi. Lesi tersebut bisa berupa perdarahan pada
permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil tanpa kerusakan pada duramater (lesi
kontusio). Jika lesi terjadi di bawah dampak disebut lesi kontusio kup dan jika terjadi di
seberang dampak disebut lesi kontusio kontra kup. Sehingga dari sana bisa timbul gejalagejala deficit neurologist berupa reflek babinski yang positif dan kelumpuhan UMN. Setelah
kesadaran pulih kembali, si penderita biasanya menunjukkan gambaran organic brain syndrom
dan berdampak juga pada autoregulasi pembuluh darah serebral, sehingga terdapat vasoparalisis.

Akselerasi dan penggeseran otak yang terjadi bersifat linear dan bahkan akselerasi yang
sering kalidiakibatkan oleh trauma kepala disebut akselerasi rotarik. Pergeseran otak pada
akselerasi dan deselerasi linear dan rotarik bisa menarik dan memutuskan vena-vena yang
menjembatani selaput arakhnoida dan dura sehingga timbul perdarahan subdural. Vena-vena
tersebut Bridging Veins.
Pada umumnya trauma kepala terjadi sebagai akibat kecelakaan. Pada trauma kepala
mempunyai beberapa macam, yaitu :
1. Trauma kepala terbuka

Trauma kepala ini menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi duramater.
Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak menusuk otak

Fraktur longitudinal sering menyebabkan kerusakan pada meatus akustikus interna,


foramen jugularis dan tuba eustachius. Setelah 2-3 hari akan tampak battle sign (warna biru
dibelakang telinga diatas os mastoid) dan otorrhoe (liquor keluar dari telinga). Perdarahan dari
telinga dengan trauma kepala hampir selalu disebabkan oleh retak tulang dasar tengkorak.

Fraktur basis tengkorak tidak selalu dapat dideteksi oleh foto rontgen, karena terjadi
sangat dasar. Tanda-tanda klinik yang dapat membantu mendiagnosa adalah :
o Battle sign ( warna biru/ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid )
o Hemotipanum ( perdarahan di daerah gendang telinga )
o Periorbital ecchymosis ( mata warna hitam tanpa trauma langsung )
o Rhinorrhoe ( liquor keluar dari hidung )
o Otorrhoe ( liquor keluar dari telinga)

2. Trauma Kepala Tertutup


Trauma kepala tertutup terjadi pada Komusio serebri (Gegar otak), Kontusio serebri
(Memar otak), Perdarahan sub dural, Perdarahan Intraserebral .
Komusio serebri ( Gegar otak )

Komusio serebri ( Gegar otak ) merupakan bentuk trauma kapitis ringan, dimana
terjadi pingsan (kurang dari 10 menit). Gejala lain mungkin termasuk pusing, noda-noda didepan
mata dan linglung.

Berdasarkan atas lokasi benturan, lesi dibedakan atas koup kontusio dimana lesi terjadi
pada sisi benturan, dan tempat benturan. Pada kepala yang relatif diam biasanya terjadi lesi koup,
sedang bila kepala dalam keadaan bebas bergerak akan terjadi kontra koup.

Gejala perdarahan epidural yang klasik atau temporal berupa kesadaran yang makin
menurun, disertai oleh anisokoria pada mata ke sisi dan mungkin terjadi hemiparese
kontralateral. SEdangkan perdarahan epidural di daerah frontal dan parietal atas tidak
memberikan gejala khas selain penurunan kesadaran (biasanya somnolen) yang tidak membaik
setelah beberapa hari.

Perdarahan sub dural


Perdarahan sub duralmerupakan perdarahan antara duramater dan arakhnoid, yang
biasanya meliputi perdarahan vena. Perdarahan subdural dibedakan atas akut, subakut, dan
kronis.

Perdarahan subdural akut sering dihubungkan dengan cedera otak besar dan cedera batang
otak. Tanda-tanda akan gejala klinis berupa sakit kepala, perasaan kantuk, dan kebingungan,
respon yang lambat, dan gelisah. Keadaan kritis terlihat dengan adanya perlambatan reaksi
ipsilateral pupil.

Perdarahan subdural subakut, biasanya berkembang 7 sampai 10 hari setelah cedera dan
dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat. Tekanan serebral yang terus-menerus
menyuebabkan penurunan tingkat kesadaran yang dalam

Perdarahan subdural kronik, terjadi karena luka ringan. Mulanya perdarahan kecil
memasuki ruang subdural. Beberapa minggu kemudian menumpuk di sekitar membran vaskuler
dan pelan-pelan meluas. Gejala mungkin tidak terjadi dalam beberapa mingggu atau bulan.
Keadaan ini pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi pupil dan motorik.

Perdarahan Intraserebral
Merupakan penumpukan darah pada jaringan otak. Perdarahan
mungkin
menyertai contra coup phenomenon. Kebanvalan dihubungkan dengan kontusio dan terjadi
dalam area frontal dan temporal. Akibat adanya substansi darah dalam jaringan otak akan
menimbulkan edema otak. Gejala neurologik tergantung dari ukuran dan lokasi perdarahan.
Lokasi Terjadinya Trauma Kepala:

Pada kulit kepala: terjadi robekan pada kulit kepala atau pada jenis trauma kepala ringan.
Pada tengkorak atau otak: terjadi benturan keras, terkena benda tumpul pada kepala atau pada
jenis trauma kepala terbuka dan berat.

Berdasarkan berat ringannya trauma kepala terbagi menjadi 3 yaitu:


1.

Cedera kepala ringan :


Jika GCS (Skala Koma Glasgow) antara 15-13, dapat terjadi kehilangan kesadaran
kurang dari 30 menit, tidak terdapat fraktur tengkorak, kontusio atau hematoma.
a) Tidak kehilangan kesadaran
b) Satu kali atau tidak ada muntah
c) Stabil dan sadar
d) Dapat mengalami luka lecet atau laserasi di kulit kepala
e) Pemeriksaan lainnya normal
2. Cedera kepala sedang :
Jika nilai GCS antara 9-12, hilang kesadaran antara 30 menit sampai 24 jam, dapat
disertai fraktur tengkorak, disorientasi ringan.
a) Kehilangan kesadaran singkat saat kejadian
b) Saat ini sadar atau berespon terhadap suara. Mungkin mengantuk
c) Dua atau lebih episode muntah
d) Sakit kepala persisten
e) Kejang singkat (<2menit) satu kali segera setelah trauma
f) Mungkin mengalami luka lecet, hematoma, atau laserasi di kulit kepala
g) Pemeriksaan lainnya normal

3. Cedera kepala berat :


Jika GCS antara 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, biasanya disertai kontusio,
laserasi atau adanya hematoma dan edema serebral.
a) Kehilangan kesadaran dalam waktu lama
b) Status kesadaran menurun responsif hanya terhadap nyeri atau tidak responsif
c) Terdapat kebocoran LCS dari hidung atau telinga
d)Tanda-tanda neurologis lokal (pupil yang tidak sana, kelemahan sesisi)
e) Tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial:
e.1. Herniasi unkus: dilatasi pupil ipsilateral akibat kompresi nervus okulomotor
e.2. Herniasi sentral: kompresi batang otak menyebabkan bradikardi dan hipertensi
f) Trauma kepala yang berpenetrasi
g) Kejang (selain Kejang singkat (<2menit) satu kali segera setelah trauma)

Penanganan korban trauma kepala :


Pertolongan pertama pada korban trauma kepala pra rumah sakit :
Fokus penanganan korban dengan cedera kepala pada area pra rumah sakit adalah
menyelamatkan nyawa dan mencegah kecacatan. Pada fase pra rumah sakit titik berat diberikan
pada menjaga kelancaran jalan nafas, kontrol adanya perdarahan dan syock, stabilisasi pasien
dan transportasi ke rumah sakit terdekat.
Peran masyarakat awam :
1.

AIR WAY (Menjaga kelancaran jalan nafas)


Tanda obyektif dapat diketahui dengan tiga pengamatan look, listen and feel. Look
berarti melihat adanya gerakan pengembangan dada dan listen adalah mendengarkan suara
pernafasan. Seringkali suara mengorok dan bunyi gurgling (bunyi cairan) menandakan adanya
hambatan jalan nafas. Sedangkan feel adalah merasakan adanya hembusan udara saat klien

melakukan ekspirasi yang bisa kita rasakan pasa pipi maupun punggung tangan penolong. Jikas
ketiga tanda ini dapat kita temukan artinya pernafasan klien masih ada.
Untuk memperlancar jalan nafas, lakukan upaya dengan dua metode yaitu Haed till dan Chin lift,
yaitu tindakan mendorong kepala agak kebelakang dan menganggakt dagu ke atas. Dengfan
manuver ini maka jalan nafas akan terbuka sehingga aliran udara bisa lancar sampai di paru. Bila
korban dicurigai adanya trauma cervical yang biasanya ditandai dari adanya jejas pada dada,
leher, dan muka/wajah, maka dua manuver tadi harus dihindari agar tidak menambah cedera
leher yang terjadi tetapi lakukan Jaw Thrust Manoever.

2. BREATHING (Menjaga/membantu bernafas)


Bila airway sudah baik belum tentu pernafasan akan baik, sehingga perlu selalu
dilakukan pemeriksaan apakah pernafasan penderita sudah adekuat atau belum.
Perubahan pernafasan dapat kita lihat dari pengamatan frekwensi pernafasan normalnya pada
orang dewasa frekwensi pernafasan per menit adalah 12 20 kali permenit sedangkan anak 15
30 kali per menit. Sehingga pada orang dewasa dikatakan abnormal bila pernafasan lebih dari 30
atau kurang dari 10 setiap menit. Pada pasien yang didapati mengalami henti nafas, maka
tindakan yang dilakukan adalah melakukan pernafasan buatan. Tindakan ini dapat dilakukan
melalui mouth to mouth. Tindakan pemberian fasas buatan secara langsung dari mulut ke mulut
sudah tidak dianjurkan karena beresio terjadinya infeksi atau penularan penyakit, karena itu
penolong harus menggunakan barrier device (alat poerantara).
3. CIRCULATIONS (Memertahankan sirkuilasi dan kontrol perdarahan).
Seringkali pasien dengan trauma juga mengalami perdarahan. Hall yang harus dilakukan
adalah bagaimana agar perdarahan bisa segera dihentikan. Beberapa perdahahan kecil dan
perdarahan vena mungkin lebih mudah diatasi, sedangkan perdarahan arteri biasanya sulit diatasi
dan dapat segera menyebabkan syock sirkulasi.
Tanda-tanda adanya kehilangan cairan (darah) dapat di ketahui dari pemeriksaan sederhana
seperti nadi, tekanan darah dan respirasi. Pada perdarahan ringan kurang dari 750 ml biasanya
ditemukan tekanan darah masih normal dan nadi lebih dari 100 kali per menit dan pernafasan
meningkat 20 30 kali per menit. Pada perdarahan sedang dan berat Tekanan darah akan
menurun disertai peningkatan nadi dan respirasi lebih dari perdarahan ringan.
Perdarahan dapat dikontrol dengan melakukan bebat tekan pada daerah luka. Dengan bebet tekan
ini diharapkan pembuluh darah yang rusak akan dapat di tutup sehingga perdarahan akan dapat
di kurangi. Penggunanna teknik ikatan (torniquet) tidak dianjurkan karena tindakan ini beresiko

mengakibatkan terhentinya vaskularisasi ke ujung ekstremitas yang dapat mengakibatkan


kematian jaringan.
4. EVAKUASI DAN STABILISASI (pemindahan dan mempertahankan posisi)
Kebanyakan para penolong yang tidak tahu cara-cara pengangkatan dan pemindahan
penderita yang benar akan membuat cedera semakin parah pada saat pemindahan penderita.
Beberapa hal yang harus diperhatikan oelh penolong saat melakukan pemindahan adalah :
a.
paksakan

Kenali kemampuan diri dan kemampuan pasangan kita, jika tidak mampu jangan

b.

Kedua kaki berjarak sebahu kita, satu kaki sedikit di depan kaki sebelahnya.

c.

Berjongkok jangan membungkuk saat mengangkat.

d.

Tubuh sedekat mungkin dengan beban yang harus diangkat.


Pada pasien dengan trauma cervikal dan tulang belakang pemindahan penderita harus
dilakukan dengan hati hati dan tidak dapat dilakukan sendirian. Tiga penolong dengan masingmasing menyangga bagian atas tengah dan bawah akan mengurangi kemungkinan cedera
menjadi lebih parah. Dalam memiringkan juga perlu dilakukan secara bersama yang disebut
dengan teknik log roll. Untuk menghindari cedera sekunder gunakan bidai, long spine board dan
neck colar untuk mensabilkan posisi penderita.
5. TRANSPOTRASI. (pengangkutan menuju Rumah Sakit)
Pemilihan sarana transportasi yang salah juga bisa menimbulkan cedera yang lebih parah
pada pasien. Idealnya transportasi pasien cedera kepala adalah menggunakan ambulan dengan
peralatan trauma. Tetapi untuk daerah yang akses pertolongan pertama oleh ambulan tidak bisa
cepat, jangan berlama-lama untuk menunggu datangnya ambulan. Pilih mobil dengan kriteria
sebagai berikut:
Pilih mobil yang bisa membawa pasien dengan tidur terlentang tanpa memanipulasi pergerakan
tulang belakang, penolong leluasa bergerak untuk memberikan pertolongan bila selama
perjalanan terjadi sesuatu. Hal yang juga penting selama perjalanan adalah komunikasi dengan
pihak rumah sakit. Dengan melaporkan kondisi korban, penanganan yang telah dan sedang
dilakukan termasuk meminta petunjuk darii petugas pelayanan gawat darurat rumah sakit tentang
apa yang harus dikerjakan bila menemui kesulitan. Pihak unit gawat darurat juga dapat
mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk pertolongan korban sesampainya di rumah
sakit

Anda mungkin juga menyukai