Anda di halaman 1dari 12

HALAMAN DEPAN TUGAS MATA KULIAH

PROGRAM PASCASARJANA PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
SEMESTER 1, 2014-2015

Kode dan Nama Mata Kuliah

PL 6101 / Mitigasi dan Adaptasi Berbasis Komunitas

Tugas #

UAS

Nama Dosen Pengampu

Ir. Teti Armiati Argo MES. Ph.d

Judul Tugas

Saya menyatakan bahwa:


-

Tugas yang saya kumpulkan ini adalah tugas yang saya kerjakan sendiri dan saya siap
bertanggungjawab atas keseluruhan isi;
Segala usaha untuk menyitir tulisan orang lain (tidak terbatas namun termasuk dari buku, artikel
jurnal, tulisan tak terpublikasi, catatan kuliah, tugas mahasiswa lain, dan lainnya) telah direferensikan
dengan baik dan benar, sesuai dengan kaidah akademik yang baku dan berlaku, dan;
Plagiarisme merupakan tindak akademis tak terhormat dan patut mendapatkan sangsi seperti yang
tercantum dalam Peraturan Akademik dan Kemahasiswaan ITB tahun 2013.

Nama

Dodon

NIM

25413027

Tanggal Masuk

14 Desember 2014

Tanda Tangan

Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas dengan Konsep Manu Model di Kabupaten
Timur Tengah Selatan, NTT
Abstrak
Kabupaten TTS merupakan salah satu kabupaten yang memiliki ancaman perubahan iklim
berupa banjir dan kekeringan. Ketika musim hujan datang bencana banjir melanda sebagian
besar wilayah yang berdampak pada gangguan kegiatan masyarakat, kerusakan rumah dan
kerugian ekonomi lainnya. Ketika musim kering, ladang dan sawah menjadi kering dan
menyebabkan kelaparan. Masyarakat di Kabupaten TTS yang telah lama hidup diwilayah
rawan bencana memiliki pengetahuan terkait dengan berbagai tindakan pencegahan dari
risiko bencana atau dikenal dengan Manu Model. Manu Model merupakan sumber daya
lokal yang efektif dalam mengembangkan komunitas yang tahan terhadap bencana banjir.
PMPB NTT kemudian mengembangkan Manu model dengan mengintegrasikan dengan
pendekatan PRBBK. Makalah ini memberikan refleksi mengenai proses terbentuknya Manu
Model dan penerapan manu model dalam kerangka PRBBK. Konsep PRBBK dengan Manu
Model memerlukan beberapa syarat hingga berhasil di lokasi lain seperti sumber daya lokal,
fleksibelitas/adopted konsep dasar dan partisipasi komunitas yang tinggi. Temuan studi dari
makalah ini adalah keberhasilan dari proses pengembangan komunitas adalah dengan
mengembalikan definisi komunitas itu sendiri yaitu kemandirian masyarakat dengan
menggunakan sumber daya lokal yang ada.
Kata Kunci : Bencana, Komunitas, Manu Model, Perubahan Iklim, PMPB NTT.
I.

Pedahuluan
Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi yang memiliki iklim kering dengan tingkat
kemiskinan yang tinggi. Perubahan iklim dan bencana alam menjadi ancaman bagi kehidupan
masyarakat di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Salah satu fenomena iklim adalah peristiwa El
Nino pada tahun 1998 yang menyebabkan kegagalan panen dan kelaparan di berbagai penjuru di
NTT. Peristiwa ini mengundang besarnya berbagai bantuan yang besar dari pemerintah dan
lembaga internasional untuk pengadaan pangan. Bantuan ini jangka pendek memberikan solusi
untuk kelaparan yang melanda kawasan NTT, namun berdampak pada jangka panjang yaitu
merusak sistem ketahanan dan lokal yang dimiliki oleh masyarakat.
Berbagai bantuan yang ada cenderung menempatkan masyarakat sebagai objek yang
tidak memiliki kemampuan untuk bertahan dengan kondisi yang ada sehingga cenderung tidak
berkelanjutan. Kesadaran beberapa komunitas yang ada di NTT terkait pentingnya pelibatan
masyarakat lokal dalam membentuk penghidupan yang berkelanjutan mendorong mereka untuk
membentuk PIRP atau pusat informasi rawan pangan yang pada akhirnya berubah menjadi
Perhimpunan Masyarakat Penanganan Bencana (PMPB) NTT. PMPB mempunyai konsentrasi
bagaimana mengembangkan masyarakat lokal yang mampu beradaptasi dan hidup
berdampingan dengan berbagai bencana yang melanda masyarakat di NTT. Salah satu lokasi
yang menjadi sasaran PMPB adalah Kabupaten Timor Tengah Selatan. Kabupaten TTS

merupakan salah satu kabupaten yang mengadopsi pendekatan PRBBK atau sudah dikenal
dalam bentuk Manu Model. Manu Model merupakan pendekatan lintas bencana yang dimiliki
masyarakat dalam upaya pengurangan risiko bencana banjir dan kekeringan.
Tulisan ini berfokus pada bagaimana praktek Manu Model dalam upaya pengurangan risiko
bencana dan adaptasi perubahan iklim di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Tulisan ini
memberikan

gambaran

bagaimana

pemberdayaan

pengetahuan

lokal

(Manu Model)

dikembangkan dalam skala komunitas serta ditransfer di wilayah lainnya di Indonesia. Manu
Model ini memberikan kesadaran bahwa masyarakat lokal yang telah lama hidup berdampingan
dengan bencana alam telah mampu beradaptasi dengan berbagai penyesuaian dan dukungan
pengetahuan yang mereka miliki. Tujuan dari makalah ini adalah mengidentifikasi bagaimana
masyarakat lokal yang telah memiliki pola atau model tersendiri untuk tahan terhadap berbagai
fenomena yang ada disekitar mereka menjadi sumber pengetahuan dari pengembangan
komunitas mereka dalam usaha pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim.
Selain itu, makalah ini memberikan manfaat bagaimana pengembangan komunitas dengan
memberdayakan berbagai pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat dalam skala yang lebih
luas.
II.

Metodologi
Metodologi dalam penelitian ini adalah literatur review dan content analysis. Literature
review dilakukan dari berbagai dokumen yang terkait dengan bagaimana pengembangan
komunitas oleh PMPB NTT terutama yang terkait dengan pengurangan risiko bencana dan
adaptasi terhadap perubahan iklim berbasis komunitas khususnya terkait bagaimana konsep
Manu Model di NTT. Sementara itu content analysis menganalisis bagaimana pengembangan
Manu Model menjadi sebuah tindakan yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam merespon
berbagai kejadian yang ada. Metode pengumpulan data dengan menggunakan literatur review
dan internet.

III.

Literatur Review
Pendekatan pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim pada awalnya
merupakan suatu pendekatan yang bottom-up (Lassa, 2009). Penekanan pendekatan ini terletak
bagaimana hasil kajian sains diterjemahkan kedalam berbagai langkah yang menurut para
pengambil kebijakan dapat mengurangi risiko dari suatu fenomena alam. Pendekatan bottom up
memiliki kelemahan terutama yang terkait dengan pemahaman dan kemampuan masyarakat
mengaplikasikan berbagai langkah-langkah yang ada (van Aalst, Cannon dan Burton 2008 ).
Masyarakat memiliki kemampuan untuk menganalisis dan memahami berbagai ancaman yang

berada disekitar mereka (Nyong et al, 2009) sebagai gambaran studi kasus masyarakat di Sahel
yang beradaptasi dari kekeringan dan bencana banjir. Penelitian lain juga menyebutkan
bagaimana masyarakat adat bertahan dengan berbagai sumber daya alam dengan cara
memodifikasi tindakan meraka dengan ancaman yang sering melanda mereka (Nakmoffa, 2009)
Perubahan iklim yang memiliki karakteristik ketidakpastian kepastian yang menambah
tantangan penyesuain yang kompleks bagi maysarakat adat terutama yang terkait dengan
berbagai ancaman seperti kebakaran, banjir dan berbagai isu isu pengelolaan lingkungan lokal
(Bardsley dan Wiseman, 2012). Kapasitas adaptasi masyarakat adat terbentuk dari
pengembangan dari pengetahuan masyarakat lokal terhadap pengetahuan ekologi tradisional
yang digabungkan dengan berbagai tindakan pencegahan seperti meninggikan rumah dan
adaptasi masa tanam bagi petani untuk menghindari musim kering (Bardsley dan Wiseman,
2012).
Dalam studi yang dilakukan oleh Bardsley dan Wiseman (2012), pengetahuan masyarakat
adat terhadap berbagai tindakan pencegahan umumnya masih terbatas pada tindakan individu
masyarakat lokal yang dilakukan secara kolektif. Ketahanan masyarakat secara kolektif dapat
terbentuk dengan beberapa komponen seperti terdapatnya potensi secara individu usaha untuk
mengurangi risiko bencana alam, kepercayaan dan keadilan sesama, keterlibatan masyarakat
lokal, fleksibelitas serta modal sosial sesama masyarakat (Norris et al, 2008).
Konsep pendekatan pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim berbasis
komunitas sudah lama diperkenalkan oleh berbagai forum dan penelitian di dunia seperti ADPC
Bangkok, World Bank dan IFRC. Penelitian yang dilakukan oleh Van Aalst, Cannon dan Burton
(2008) menunjukan bagaimana komunitas mampu mengurangi risiko dan memberikan
ketahanan masyarakat dalam menghadapi fenomena perubahan iklim. Salah satu pendekatan
pengurangan risiko bencana yang sudah dikenal adalah CBDRM (community based disaster risk
management). Konsep CBDRM ini merupakan suatu konsep pengurangan risiko bencana yang
berfokus pada bagaimana partisipasi penuh dari masyarakat, konsep ini menekankan bagaimana
oleh, dari dan untuk masyarakat.
Konsep CBDRM diadopsi

oleh

berbagai

negara

untuk

dikembangkan

dan

diimplementasikan, termasuk Indonesia. Di Indonesia konsep ini dikena dengan konsep PRBBK
atau pengurangan risiko bencana berbasis komunitas. PRBBK merupakan upaya pemberdayaan
komunitas agar dapat mengelolah bencana dengan tingkat keterlibatan pihak/kelompok
masyarakat dalam pengurangan risiko bencana yang inklusif berkelanjutan di mana masyarakat
terlibat atau difasilitasi untuk terlibat aktif dalam pengelolaan risiko bencana (perencanaan,
implementasi, pengawasan, evaluasi) dengan input sumber daya lokal maksimum dan input
eksternal minimum (Lassa, 2009). Pendekatan ini menekankan pada bagaimana komunitas harus

melakukan interprestasi sendri atas ancaman dan risiko bencana yang mereka hadapi melakukan
prioritas penanganan/pengurangan risiko bencana yang dihadapinya, mengurangi serta
memantau dan mengevaluasi kinerjanya sendiri dalam upaya pengurangan bencana. Dasar
pemikiran dari pendekatan ini adalah masyarakat yang berhadapan langsung dengan ancaman
bukan berarti mereka tidak berdaya (seperti yang diasumsikan oleh kamu teknokrat), melainkan
mereka mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dan mempertahankan penghidupan
mereka yang berkelanjutan (Lassa, 2009).
Komunitas harus dikembangkan dari potensi dan pengetahuan lokal yang dimiliki oleh
masyarakat. Kegagalan suatu pengembangan komunitas lebih karena sebagian besar agendaagenda PRB dan adaptasi perubahan iklim tidak lahir dari dasar pemikiran yang dimiliki oleh
komunitas lokal, sehingga berbagai pendekatan dan tindakan yang ada cenderung pragmatis dan
tidak menjadi prioritas komunitas (Lassa, 2009). PRBBK juga didefinisikan sebagai upaya
pemberdayaan komunitas agar dapat mengelola risiko bencana dengan tingkat keterlibatan pihak
atau kelompok masyarakat dalam perencanaan dan pemanfaatan sumber daya lokal dalam
kegiatan implementasi oleh masyarakat sendiri (Abarquez & Murshed, 2004).
PRBBK atau CBDRM merupakan pendekatan yang mendorong pada bagaimana
komunitas masyarakat lokal untuk merespon berbagai kejadian bencana yang ada ditempat
mereka. Respon masyarakat ini berupa interprestasi dari komunitas terkait dengan bencana yang
ada seperti melakukan prioritas penanganan/pengurangan risiko bencana yang ada dan
mengurangi serti memantau dan mengevaluasi kinerja mereka sendiri dalam upaya pengurangan
risiko bencana (Lassa dkk 2009, hal.8). Berikut ini merupakan tahapan dari PRBBK/CBDRM
yang pada intinya seperti sebuah input-proses dan out put :

Gambar 1. Proses-Proses dan Sistematika PRBBK (Lassa, Nakmofa & Ramli 2007)
IV.

Diskusi
Pengetahuan/tindakan lokal merupakan pengetahuan/tindakan yang diperoleh berdasarkan
pengamatan pemahaman yang kemudian melandasi tindakan respon yang dilakukan

oleh

masyarakat suatu daerah terhadap berbagai fenomana yang ada di daerah tersebut (Nyong et al,

2007). Masyarakat Kabupaten Timur Tengah Selatan (TTS) memiliki beberapa tindakan respon
yang untuk menghindarkan mereka terhadap berbagai ancaman khususnya bencana banjir dan
kekeringan. Tindakan masyarakat lokal ini diterjemahkan oleh PMPB NTT kedalam konsep
Manu modal. Konsep Manu Model terbentuk didasarkan pengetahuan lokal masyarakat di Desa
Toineke (keluarga Manu) dalam merespon kejadian bencana banjir yang sering melanda wilayah
tersebut. Manu Model lahir berdasarkan pengamatan oleh Bapak Manu dari kejadian-kejadian
bencana banjir yang telah bertahun-tahun terjadi wilayah tersebut. Pengamatan tersebut
memberikan pemahaman bagaimana karakteristik bencana banjir (ketinggian, lama genangan
dan seberapa luas). Berdasarkan pengamatan bapak Manu maka didapatkan ketinggian
genangan sebesar 1 meter, sehingga semua konstruksi rumah dan bangunan yang lain harus
ditinggikan lebih dari satu meter (gambar 2). Kemampuan bapak manu ini kemudian
menginspiransi untuk diadopsi dan ditransfer ke anggota masyarakat yang lain dan berbagai
wilayah yang memiliki ancaman yang sama terutama untuk bencana banjir dan kekeringan atau
sekarang dikenal sebagai Manu Model. Manu Model merupakan pendekatan yang dilakukan
oleh masyarakat lokal untuk mengurangi risiko bencana dan perubahan iklim yang melanda
mereka. Beberapa tindakan lainnya yang menggunakan konsep pengetahuan tradisional adalah
sumur air minum di Desa Toineke untuk menghindari kenaikan permukaan air banjir dari tahun
ke tahun dari Sungai Toineke (3b) dan inovasi kandang ternak yang ditinggikan untuk
menghindari genangan banjir yang tinggi (4b) serta replikasi kandang ternak (Manu model)
dibeberapa wilayah di Kabupaten Timor Tengah Selatan (4c).

Gambar 2. Ilustrasi Penerapan Manu Model di Desa Toineke, Kabupaten Timur Tengah Selatan
(Nakmofa dan Lassa, 2009)
Keluarga Bapak Manu memiliki ketahanan yang tinggi terhadap bencana banjir yang ada,
dengan berbagai tindakan-tindakan pencegahan. Fenomena yang dilakukan oleh Bapak Manu
merupakan salah satu bentuk praktek hidup bersama bencana yang juga banyak ditemukan
diberbagai penelitian lainnya seperti Wara (dalam Community Based Approach to Disaster Risk
Reduction and Climate Change Adaptation Towards Sustainable Livelihood: Ten Years
Experiences From PMPB Kupang oleh Nakmofa dan Lassa, 2009) di Bangladesh dan Vietnam
dimana masyarakat hidup di wilayah rawan bencana banjir dengan mengkontruksi rumah

panggung

sehingga

ketika

bencana banjir mereka tidak


terpapar. Ketika peneliti dari
PMPB

NTT

pertanyaan
tidak

mengajukan

mengapa mereka

melarikan

diri

ketika

bencana

banjir?

mereka

menjawab

Anak John, buat

apa bapak lari dari banjir.


Bapak sudah hitung-2 biasanya
banjir
Gambar 3. Penerapan Manu Model dalam Konsep
PRBBK di Kabupaten Timur Tengah Selatan

naik

sampe

mana,

biasanya sampe di sini, jadi


sumur pung bibir harus di atas
sini. Kandang ayam dan babi

pung dasar juga bapa su hitung, jadi sonde akan kena (Lassa, 2009). Petikan wawancara ini
menunjukan bagaimana pengetahuan lokal memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri
terhadap perubahan-perubahan lingkungan yang ada. Pendekatan manajemen bencana sudah
seharusnya mulai berfokus pada bagaimana sumber daya lokal, bagaiman manajemen sumber
daya lokal yang ada sehingga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan ketahanan masyarakat.
4.1 Penerapan Manu Model sebagai Bagian Pengembangan Komunitas di Kabupaten TTS
Salah satu syarat berhasilnya suatu pengembangan komunitas adalah adanya sumber daya
lokal, modal sosial dan komunikasi risiko yang baik diantara masyarakat atau anggota
komunitas yang ada. Manu Model merupakan modal yang kuat untuk dikembangkan karena
berasal komunitas itu sendiri (sumber daya pengetahuan lokal). PMPB NTT melakukan
pendekatan PRBBK dengan mengembangkan konsep Manu Model, khususnya wilayah
Kabupaten Timur Tengah Selatan. Gambar 3 menunjukan bagaimana tahapan dalam
pengembangan masyarakat di Desa Toineke dengan cara mendorong kesadaran dan pengamatan
masyarakat terkait dengan bagaimana fenomena alam dan perubahan lingkungan yang ada
(integrasi konsep Manu Model kedalam pendekatan PRBBK). Berikut ini beberapa tahapan
yang dilakukan oleh PMPB NTT dalam mengembangkan masyarakat di Desa Toineke :
(1) PMPB NTT melakukan identifikasi awal bagaimana kondisi bencana yang ada, kerentanan
lokasi pengembangan seperti apa dan kapasitas lokal yang memungkinkan masyarakat

adopsi dan dikembangkan. Desa Toineke merupakan Desa yang rentan terjadi bencana banjir
dan kekerigan yang panjang pada musim kemarau.
(2) Fasilitator PMPB NTT, Live in di Desa Toineke, (mengikuti keseharian mulai dari pengajian,
kegiatan di warung kopi/memposisikan diri sebagai bagian dari komunitas) serta melakukan
pemetaan sosial terkait dengan karakteristik masyarakat yang ada di Desa Toineke
(3) Masyarakat di Desa Toineke, diminta memberikan analisis ancaman di Desa Toineke,
umumnya masyarakat diminta memberikan gambaran dan pemetaan desa lokasi ancaman
yang ada, tahapan ini sebenarnya mencoba membuka ingatan sejarah bencana di Desa
Toineke. Masyarakat bercerita dan dianalisis terkait dengan besarnya potensi bencana yang
ada (tinggi, luasan, lama genanga, lama musim kemarau).
(4) Hasil analisis ancaman yang melanda masyarakat Desa Toineke, kemudian dijadikan acuan
untuk menyadarkan masyarakat dan mulai melakukan diskusi terkait dengan berbagai
tindakan dan sumber daya yang dimungkikan dilakukan oleh masyarakat di Desa Toineke.
Apa yang dilakukan Pak Manu kemudian diadopsi dan disempurnakan (hasil observasi dari
PMPB NTT di Kabupaten Belu) yang dimiliki oleh masyarakat berdasarkan analisis
ancaman yang ada (Manu Model). Masyarakat Toineke umumnya menerima dengan baik
alur komunikasi dan pesan yang disampaikan karena berasal dari potensi dan kemampuan
lokal mereka sendiri dan dapat mereka lihat manfaatnya secara langsung di Keluarga Pak
Manu.
(5) Masyarakat dan PMPB NTT menyusun berbagai rencana aksi yang dapat dilakukan ketika
bencana banjir melanda Desa Toineke. Rencana aksi ini disusun berdasarkan pengetahuan
lokal dan pemahaman yang dimiliki oleh mereka. Tahapan ini lebih menitikberatkan
bagaimana peningkatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana alam dengan
semua sumber daya lokal yang mereka miliki, seperti kayu, bahan makanan, dan modal
sosial di Desa Toineke (Lassa, 2009).
(6) Implementasi dari Rencana aksi tersebut berupa pendampingan kepada masyarakat Desa
Toineke misalnya dalam pembangunan dan perencanaan fasilitas/konstruksi rumah. Selain
itu, pendampingan juga diberikan kedalam bentuk bagaimana pengetahuan dan pemahaman
mereka yang dituangkan dalam bentuk peraturan Desa Toineke. Peraturan Desa Toineke ini
menitikberatkan bagaimana manajemen sumber daya lokal yang dimiliki oleh masyarakat
sehingga dapat meningkatkan kapasitas masyarakat seperti skema gudang bersama Desa
Toineke untuk menghindari kekeringan. Selain itu, dalam perdes ini juga ditentukan tempat
berkumpul bersama yang telah disepakati dan pembagian tugas masing-masing masyarakat
ketika terjadi bencana melanda. Implementasi dari rencana aksi ini berfokus pada bagaimana

Manu Model di implementasikan kepada keluarga yang lain sehingga manfaat yang
dirasakan oleh keluarga yang lain di Desa Toineke.
(7) Monitoring dan Evaluasi (Monev), tahapan ini menekankan pada dokumentasi berbagai
tindakan yang dilakukan oleh masyarakat. Monev menekankan bagaimana pelaksanaan
pengembangan masyarakat dapat memberikan manfaat kepada masyarakat dan hasil monev
juga dimungkinkan untuk diadopsi wilayah lain yang memiliki karakteristik yang sama.
4.2 Refleksi Pengembangan Manu Model ke Pembangunan Komunitas
Penerapan Manu Model dalam PRBBK yang dilakukan oleh PMPB NTT, menitik beratkan
pada bagaimana sumber daya lokal yang dimiliki oleh masyarakat dapat dikembangkan untuk
komunitas lokal tersebut. PMPB NTT kemudian mengembangkan bagaimana berbagai kearifan
lokal atau pengetahuan lokal yang ada dapat menjadi sumber daya utama yang dikembangkan
wilayah tersebut. Pada intinya konsep PRBBK yang dilakukan oleh PMPB NTT
mengembalikan pengertian dan definsi dari pengembangan komunitas yaitu bagaimana sumber
daya dan pengetahuan lokal yang dijadikan modal utama. Dalam konteks perubahan iklim dan
Gambar 4. Penerapan dan
bencana alam, presepsi dan respon masyarakat yang
Replikasi Konsep Manu Model
adaptif terhadap perubahan iklim menjadi bagian dari
kedalam Pengembangan
Komunitas
modal utama dalam pengembangan komunitas. Manu
Model

yang

dikembangkan

oleh

PMPB

NTT

memberikan kita pesan bahwa pengembangan komunitas tidak hanya berfokus pada bagaimana
program program pemerintah ataupun lembaga donor berjalan, melainkan juga bagaimana suatu
komunitas yang mendiami suatu lokasi tersebut dapat berjalan secara bersama serta merespon
berbagai perubahan yang ada.
Gambar 4 menunjukan bagaimana konsep PRBBK yang dikembangkan oleh PMPB NTT dapat
dikembangkan diwilayah lain dengan mempertimbangkan beberapa hal utama yang ada seperti
sumber daya lokal, partisipasi komunitas dan konsep CBDRM sendiri. Sumber daya lokal
merupakan modal utama dalam pengembangan komunitas yang terdiri dari kearifan lokal dan
komunikasi yang ada diantara masyarakat anggota komunitas. Sebagai ilustrasi beberapa
wilayah di Indonesia memiliki beberapa kearifan lokal yang dapat dikembangkan menjadi
kearifan komunitas seperti rumah panggung di Kabupaten Belu NTT, Rumah rakit di Sumatera
Selatan, Smong di Kepulauan Nias, dan budaya di masyarakat Gunung Merapi.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah partisipasi masyarakat, pengembangan komunitas
suatu lokasi harus diikuti dengan partisipasi komunitas. Partisipasi komunitas ini memberikan
gambaran bagaimana modal sosial yang ada dilokasi tersebut akan mendukung pengembangan
komunitas. Partisipasi komunitas ini akan mendorong collective action yang memperkuat dan

memperluas manfaat dari manfaat suatu tindakan


adaptasi. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah
fleksibelitas dari konsep CBDRM sehingga sumber
daya dan pengetahuan lokal yang ada dapat diadopsi
dan berjalan dengan lancar. Konsep CBDRM yang
fleksibel juga memungkinkan adanya inovasi yang
dapat memperkuat kelembagaan dari komunitas yang
ada.
Kesimpulan

V.

Pembangunan

dan

pengembangan

masyarakat

berarti meningkatkan kemampuan dan ketahanan


masyarakat dalam menghadapi berbagai tantangan.
Bencana alam dan perubahan iklim merupakan salah
satu

ancaman

yang

mengancam

kehidupan

masyarakat. Masyarakat yang telah lama berada


dilokasi bencana alam dan terdampak perubahan iklim umumnya memiliki tindakan-tindakan
untuk pencegahan dan pengurangan risiko bencana yang ada. Respon dan tindakan yang
dilakukan merupakan hasil pengamatan yang didukung dengan berbagai sumber daya lain yang
dapat dimanfaatkan. Masyarakat di Desa Toineke merupakan contoh bagaimana sebagian
masyarakat merespon berbagai ancaman dengan efektif dan efisien serta secara mandiri
dilakukan dengan melakukan tindakan-tindakan seperti meninggikan kandang ternak dan elevasi
rumah. Pada mulainya tindakan ini hanya dilakukan oleh Keluarga Manu yang kemudian
ditransfer ke keluarga lain yang ada di Desa Toineke atau Manu Model.
Temuan studi yang terjadi di Desa Toineke ini kemudian dikembangkan dengan
mengintegrasikan antara Manu Model dengan konsep CBDRM (ADPC Bangkok) dan
partisipasi komunitas oleh PMPB NTT. Manu Model ini menekankan bagaimana masyarakat
yang berada di lokasi bencana bukan berarti tidak berdaya, melainkan memiliki pengetahuan
dan sumber daya yang bermanfaat dalam bertahan dalam kondisi perubahan yang ada di lokasi
tersebut.
PRBBK atau pengurangan risiko bencana berbasis komunitas di Kabupaten Timur Tengah
Selatan (TTS) dikembangkan dengan mengatur bagaimana sumber daya lokal yang dimiliki
mereka dapat ditransfer dan dimanfaatkan untuk mempertahankan diri dari perubahan iklim dan
bencana alam yang melanda. Konsep PRBBK dengan Model Manu berpotensi diterapkan

ditempat lain dengan memperhatikan beberapa komponen utama seperti sumber daya lokal
(kearifan lokal dan komunikasi lokal), partisipasi komunitas (modal sosial dan collective action)
dan konsep CBDRM yang fleksibel serta adopted.
Referensi
Bardsley, Douglas dan Wilseman, Nathanael. (2012). Climate change vulnerability and social development for remote
indigenous communities of South Australia. Global Enviromental Change. Elselvier
Boli, Yoseph et.al. 2004 Panduan Penanganan Resiko Bencana Berbasis Masyarakat (Community Based Disaster
Risk Management). FKPB Kupang. Tersedia online (akses 10 Desember 2014) http://www.nttacademia.org/CBDRM/Draft-Module-CBDRM-FKPB-January-2004.pdf)
Lassa, Jonatan, Paripurno, E.T., Magatani, A., Purwanti, H., Lethek, Dj., Pujiono Ed. (2009) Panduan Pengurangan
Risiko Bencana Berbasis Komunitas. Penerbit Grasindo (Gramedia Widiasarana Indonesia) Jakarta. Tersedia
online (akses 7 Desember 2014) http://www.ntt-academia.org/files/PRBBK2009.pdf )
Nakmofa, Yulius dan Lassa, Jonatan (2009) Community Based Approach to Disaster Risk Reduction and Climate
Change Adaptation Towards Sustainable Livelihood: Ten Years Experiences From PMPB Kupang. Journal of
NTT
Development
Studies.
Tersedia
online
(akses
10
Desember
2014)
http://nttacademia.org/nttstudies/Nakmofa2009.pdf)
Nakmofa, Yulius (2009) PRBBK dan Penghidupan Berkelanjutan: Catatan Pengalaman Lapangan PMPB Kupang.
Didalam Lassa, Jonatan Ed. Conference Proceeding, Community Based Disaster Risk Reduction and Climate
Change Adaptation in Indonesia. National Conference Community Based Disaster Risk Reduction V, Makassar,
Indonesia 5 - 8 Oktober 2009.
Norris, Fran H., Stevens., Susan., Pfefferbaum, Betty., Wyche Karen F dan Pfefferbaum, Rose L (2009) Community
Resilience as a Metaphor, Theory, Set of Capacities, and Strategy for Disaster Readiness.
Journal Community Pschology. Springer
Nyong, A., Adesina, F dan Elasha, Osman. (2007). The value of indigenous knowledge in climate change mitigation
and adaptation strategies in the African Sahel. Journal of Mitigation and Adaptation Strategies for Global
Change. Springer
van Aalst, Maarten K., Terry Cannon dan Ian Burton (2008) Community level adaptation to climate change: The
potential role of participatory community risk assessment. Global Environmental Change Volume 18, Issue 1,
Februari 2008, Hal 165-17

Lembar Evaluasi
Nama Mahasiswa: Dodon
No. Tugas: UAS
Skema Penilaian
1. Presentasi paper
Judul, nama, dan NIM tertulis lengkap.
Dicantumkan nomor halaman, font yang terbaca.
Tidak ada lagi kesalahan ketik, kesalahan spelling dan
gramatikal.
Gambar, tabel, dan foto ditempatkan secara tepat dalam teks.
Semua referensi dituliskan mengikuti style guide.
Semua informasi yang dibutuhkan (termasuk lampiran)
tersedia.
2. Organisasi argumen
Judul harus menginformasikan isi tulisan, tidak terlalu
panjang. Tesis dinyatakan tegas.
Tujuan penulisan ternyatakan tepat dan eksplisit.
Tulisan terorganisisr sehingga teridentifikasi sub-bagian dan
diakhiri dengan kesimpulan dan referensi.
Penggunaan bahasa yang spesifik, teratur, dan menunjukkan
ikatan yang jelas dengan pernyataan tesis.
Kesimpulan: secara efektif menutup tulisan, mengikat semua
elemen yang dipertimbangkan sebelumnya.
3. Isi tulisan
Sintesis informasi dilakukan secara detil dan terpaku. Harus
solid, padat, dan teratur.
Mereferensi: variasi sumber/ide yang teriset baik, sumber
informasi berkualitas yang akan mempengaruhi kredibilitas
tulisan.
Jelas, tajam, terbaca dan koheren. Jika diperlukan daftar
singkatan, silakan dilakukan.
Pemasukan yang terlambat ... hari (5% per hari)
Komentar Lanjutan:

Nilai Akhir

NIM: 25413027
Komentar

Anda mungkin juga menyukai