Anda di halaman 1dari 5

DIARE Suatu keadaan dimana frekuensi sekresi cairan yang ada diusus melebihi frekuensi

normal atau absorpsi dengan konsistensi feses yang encer dinamakan diare. Diare dapat
bersifat akut (oleh infeksi dengan bakteri) atau kronis (kemungkinan berkaitan dengan berbagai
gangguan gastrointestinal). Disamping itu, diare terjadi akibat kelainan psikostomatik, kelainan
pada sistem endoketrin dan metabolisme, alergi oleh makanan atau obat-obat tertentu,
kekurangan vitamin dan sebagai akibat radiasi. Tubuh akan kehilangan banyak energi dan
elektrolit tubuh.
Berdasarkan tinjauan patogenetik dibedakan beberapa mekanisme penyebab diare seperti
kurangnya absorpsi zat osmotik dari lumen usus (diare osmotik), meningkatnya sekresi elektrolit
dan air ke dalam lumen usus (diare sekretorik), naiknya permeabilitas mukosa usus atau
terganggunya motilitas usus.
Obat dapat didefinisikan sebagai suatu zat yang dimaksudkan untuk dipakai dalam diagnosis,
mengurangi

rasa

sakit,

mengobati

atau

mencegah penyakit pada

manusia

atau

hewan. Farmakologi dasar atau sifat dari mekanisme kerja obat pada sistem tubuh harus
ditentukan termasuk menentukan toksisitasnya.
Aktivitas anti diare ditujukan hanya terbatas pada aktivitas yang dapat memperlambat peristaltik
usus sehingga mengurangi frekuensi defekasi dan memperbaiki konsistensi feses.
Dengan memilih secara teliti rute pemberian obat dan rancangan secara tepat produk obat,
maka bioavailabilitas obat aktif dapat diubah dari absorpai yang sangat cepat dan lengkap
menjadi lambat, kecepatan absorpsi yang diperlambat atau bahkan sampai tidak terjadi
absorpsi sistemik berbagai proses fisiologik normal yang berkaitan dengan distribusi dan
eliminasi biasanya tidak dipengaruhi oleh formulasi obat. Absorpsi sistemik suatu obat dari
tempat ekstravaskular dipengaruhi oleh sifat-sifat anatomik dan fisiologik tempat absorpsi serta
sifat-sifat fisiokimia atau produk obat. Biofarmasetika berusaha mengendalikan variabel-variabel
tersebut melalui rancangan suatu produk obat dengan tujuan terapetik tertentu. Oleh karena
faktor-faktor tersebut terlibat didalam bioavailibilitas obat, khususnya pada absorpsi dalam
saluran cerna, maka kadar obat sesudah pemakaian enteral lebih bervariasi dibandingkan
kadar obat setelah pemakaian parenteral (Shargel & Andrew, 1988).
Menurut teori klasik, diare disebabkan oleh meningkatnya peristaltik usus, hingga pelintasan
chymus sangat dipercepat dan masih mengandung banyak air pada saat meninggalkan tubuh
sebagai tinja. Diare viral dan diare akibat enterotoksin pada hakikatnya sembuh dengan
sendirinya sesudah lebih kurang 5 hari, setelah sel-sel epitel mukosa yang rusak diganti oleh
sel-sel baru. Hanya pada infeksi oleh bakteri invasif perlu diberikan suatu obat kemoterapeutik

yang bersifat mempenetrasi baik ke dalam jaringan, seperti amoksisiklin dan tetrasiklin, sulfa
usus dan furazolidon (Tjay, 2005).
Agar suatu obat dapat mencapai tempat kerja dijaringan atau organ, obat tersebut harus
melewati berbagai macam membran sel. Terdapat beberapa teori mengenai struktur yang pasti
dari membran sel, termasuk model unit membran dan model mosaik cair (dinamik). Pada
umumnya membran sel mempunyai struktur lipoprotein yang bertindak sebagai membran lipid
semipermeabel. Berbagai penyelidikan telah dilakukan menggunakan berbagai obat dengan
berbeda strukturdan sifat fisikokimia dan dengan bermacam-macam membran sel, sebagai
hasilnya diketahui mekanisme pengangkutan beberapa obat lewat membran sel (Shargel &
Andrew, 1988).
Dalam farmakokinetik, absorpsi didefinisikan sebagai jumlah obat yang mencapai sirkulasi
umum dalam bentuk tidak berubah. Apabila suatu obat tidak diberikan secara langsung ke
dalam pembuluh darah, maka obat tersebut harus diangkut ke sirkulasi umum sebelum obat itu
dapat dihitung. Oleh karena itu, obat yang dimetabolisme atau secara kimia diubah pada tempat
pemakaian atau dalam persinggahannya, menurut definisi berarti tidak diabsorpsi. Definisi ini
terutama timbul diluar keperluan, karena keterbatasan eksperimen dan fisiologis dalam
mengukur manifestasi absorpsi pada hewan atau manusia yang menggunakan obat tersebut.
Dalam hal ini, laju dan besarnya absorpsi obat sama dengan bioavailibilitas obat
(Lachman, dkk, 1989).
Obat paling sering diberikan dengan cara oral. Walaupun beberapa obat yang digunakan
secara oral dimaksudkan larut dalam mulut, sebagian besar obat yang digunakan secara oral
adalah ditelan. Dibandingkan dengan cara-cara lainnya, cara oral dianggap paling alami, tidak
sulit, menyenangkan dan aman dalam hal pemberian obat. Hal-hal yang tidak menguntungkan
pada pemberian secara oral termasuk respon obat yang lambat (bila dibandingkan dengan
obat-obat yang diberika secara parenteral) kemungkinan absorpsi obat yang tidak teratur, yang
tergantung pada faktor-faktor seperti perbaikan yang mendasar, jumlah atau jenis makanan
dalam saluran cerna, dan perusakan beberapa obat oleh reaksi dari lambung atau oleh enzimenzim dari saluran cerna (Ansel, 1989).
Pemberian subkutan (hipodemik) dari obat-obat meliputi injeksi melalui lapisan kulit kedalam
jaringan longgar dibawah kulit. Injeksi subkutan biasanya diberikan pada lengan depan, pangkal
lengan, paha atau nates. Jika pasien akan menerima suntikan yang berulang-ulang, paling baik
tempat penyuntikan berganti-ganti untuk mengurangi perangsangan pada jaringan (Ansel,
1989).

Hanya pada infeksi oleh bakteri invasif perlu diberikan suatu obat kemoterapeutik yang bersifat
memprenetasi baik ke dalam jaringan, seperti amoksisilin dan tetrasiklin, sulfa-usus dan
furazolidon. Obat-obat ini sebaiknya jangan diberikan lebih dari 7-10 hari, kecuali bila setelah
sembuh diarenya, pasien masih tetap mengeluarkan bakteri dalam tinja (Tjay, 2002).
Kelompok obat yang sering kali digunakan pada diare adalah:
1.Kemoterapeutik untuk terapi kausal, yakni memberantas bakteri penyebab diare, seperti
antibiotika, sulfonamida, kinolon, dan funazolidon.
2. Obstipansia untuk terapi simtomatis, yang dapat menghentikan diare dengan beberapa cara,
yakni:
a. Zat-zat penekan peristaltik sehingga memberikan lebih banyak waktu untuk resorpsi air dan
elektrolit oleh mukosa usus: candu dan alkaloidnya, derivat-derivat petidin (difenoksilat dan
loperamida), dan antikolinergik (atropin, ekstra belladonna).
b. Adstringensia, yang menciutkan selaput lendir usus, misalnya asam semak (tanin) dan
tannalbumin, garam-garam bismut, dan aluminium.
c. Adsorbensia,
Pemberian absorben untuk pada permukaannya dapat menyerap (adsorpsi) zat-zat beracun
(toksin) yang dihasilkan oleh bakteri atau yang adakalanya berasal dari makanan (udang,
ikan). misalnya carbo adsorbens
3. Spasmolitika,yakni zat-zat yang dapat melepaskan kejang-kejang otot yang sering kali
mengakibatkan nyeri perut pada diare, antara lain papaverin dan oksifenonium (Tjay, 2002).
Lini pertama pengobatan diare akut, seperti pada gastroenteritis, ialah mencegah atau
mengatasi pengeluaran berlebihan cairan dan elektrolit, terutama penting bagi pasien bayi dan
usia lanjut. Dehidrasi adalah suatu keadaan dimana tubuh kekurangan cairan yang dapat
berakibat kematian, utamanya pada anak/bayi bila tidak segera diatasi. Oralit tidak
menghentikan diare tetapi mengganti cairan tubuh yang hilang bersama tinja. Dengan
menggantikan cairan tubuh tersebut, terjadinya dehidrasi dapat dihindarkan. Oralit tersedia
dalam bentuik serbuk untuk dilarutkan dan dalam bentuk larutan, diminum perlahan-lahan
(Anonim, 2000).
Terapi diare harus disesuaikan dengan penyebabnya. Diare perjalanan dan diare musim panas
akut merupakan penyakit yang sembuh sendiri (self limiting disease) dan tidak memerlukan
penanganan dengan obat-obat khusus. Penanganan terapeutik yang terpenting adalah
penggantian cairan dan elektrolit secukupnya. Pada kehilangan cairan dan elektrolit dalam
jumlah besar, perlu diberi substitusi secara parenteral (Mutschler, 1991).
Kelompok obat yang sering kali digunakan pada diare adalah:

1. Kemoterapeutika, untuk terapi kasual, yakni memberantas bakteri penyebab diare,


seperti antibiotika, sulfonamida, kinolon, dan furazolidon.
2. Obstipansia, untuk terapi smomatis, yang dapat menghentikan diare dengan beberapa
caya, yakni:
1. Zat-zat penekan peristaltik, sehingga memberikan lebih banyak waktu untuk resorpsi air
dan elektrolit oleh mukosa usus.
2. Adstringensia, yang menciutkan selaput lendir usus, misalnya asam samak (tanin) dan
tannalbumin, garam-garam bismut, dan aluminium.
3. Adsorbensia, misalnya carbo absorbens yang pada permukaannya dapat muenyerap
(adsorpsi) zat toksin yang dihasilkan oleh bakteri atau makanan.
4. Smasmolitika, yakni zat-zat yang dapat melepaskan kejang-kejang otot yang sering kali
mengakibatkan nyeri perut pada diare, antara lain papaverin dan oksifenonium (Tjay,
2002).
Diare akut dapat dibedakan berdasarkan penyebab terjadinya seperti diare akibat virus (Virus
melekat pada sel-sel mukosa usus, yang menjadi rusak sehingga kapasitas resorpsi menurun
dan sekresi air dan elektrolit memegang peranan), diare bakterial (Bakteri yang berasal dari
makanan yang terinfeksi menjadi invasif dan menyerbu ke dalam mukosa kemudian
memperbanyak diri dan membentuk toksin-toksin yang diresopsi ke dalam darah dan
menimbulkan gejala hebat), diare parasiter (disebabkan oleh parasit seperti Entamoeba
histolytica, Giardia Llambia, Cryptosporidium, dan Cyclospora), diare akibat enterotoksin (akibat
kuman-kuman yang membentuk enterotoksin. Toksin melekat pada sel-sel mukosa dan
merusaknya, diare ini bersifat selfmiting yaitu akan sembuh sendiri tanpa pengobatan setelah
sel mukosa yang rusak diganti dengan yang baru) (Tjay, 2002).
Disamping itu, ada juga diare kronis (dapat disebabkan oleh penyalahgunaan laksatif,
intoleransi laktosa, penyakit peradangan usus, sindrom malabsorpsi, kelainan endokrin,
sindrom usus iritabel, dan kelainan lain). Pengobatan diare kronik harus ditujukan untuk
memperbaiki penyebab diare dan bukan meredakan gejalanya. Pengobatan dengan zat-zat
antidiare nonspesifik dapat menutupi kelainan yang mendasarinya (Mutschler, 1991).
Ada obat yang menimbulkan diare sebagai efek samping, misalnya antibiotikan berspektrum
luas. Namun, ada pula akibat penyakit seperti kanker usus, dan beberapa penyakit cacing
(misalnya cacing pita, cacing gelang) (Tjay, 2002).
Pencegahan diare pada dasarnya adalah hygine, khususnya cuci tangan dengan baik sebelum
makan atau mengolah makanan. Begitu pula dengan alat-alat dapur dan bahan makanan
supaya dicuci dengan baik. Selain itu adapun pencegahan lain yang dapat dilakukan adalah:

1. Diare wisatawan pada dasarnya dapat dicegah dengan tindakan-tindakan prevensi yang
sama. Segala sesuatu yang tidak dimasak atau dikupas janganlah dimakan.
2. Profilaksis. Pencegahan dengan antibiotika pada prinsipnya tidak dianjurkan berhubung
resiko terjadi resistensi. Obat yang layak digunakan adalah doksiklin 100 mg.
3. Vaksinasi dapat dilakukan untuk tifus dengan oral (Vivotif, yang mengandung basil hidup
yang tidak patogen lagi, dan memberikan imunitas selama minimal 3 tahun) atau
parenteral (Mutschler, 1991).

Anda mungkin juga menyukai