Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN
SKENARIO 4
Seorang pasien laki-laki 38 tahun dating ke puskesmas dengan keluhab batuk. Batuk dirasakan
sejak kurang lebih 2 bulan yang lalu. Batuk berdahak dan kadang disertai bercak darah. Dahal
biasanya bertambah jumlahnya pada pagi hari. Sejak beberapa hari yang lalu, pasien juga
mengeluhkan sering sesak. Pasien juga mengeluhkan sering demam hilang timbul dan
berkeringat malam hari. Pasien merupakan perokok sejak masih berusia sekitar 20 tahun dan
biasanya menghabiskan 1 bungkus setiap harinya. Pasien juga merasa badannya bertambah kurus
sejak sakit. Nenek pasien yang tinggal serumah juga mengalami batuk lama tetapi sudah
meninggal setahun yang lalu. Pada pemeriksaaan didapatkan berat badan 48 kg, tinggi badab 167
cm, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 92x/menit, frekuensi nafas 24x/menit, pemeriksaan fisik
toraks didapatkan hasil berupa dinding dada yang terlihat simetris, pada auskultasi didapatkan
ronkhi pada lapangan paru atas, tengah dan bawah kanan.
MIND MAP
Learning Objective (LO)

1. Tuberkulosis Paru (definisi, etiologi, epidemiologi, pathogenesis, manifestasi klinis,


diagnosis, penatalaksanaan)?
2. Kanker Paru (definisi, etiologi, epidemiologi, pathogenesis, manifestasi klinis, diagnosis,
penatalaksanaan)?
3. Bronkietasis (definisi, etiologi, epidemiologi, pathogenesis, manifestasi klinis, diagnosis,
penatalaksanaan)?
4. Analisis scenario

BAB II
PEMBAHASAN
1. Tuberkulosis Paru
Definisi
Setiap penyakit menular pada manusia dan hewan yang disebabkan oleh spesies
Mycobacterium dan ditandai dengan pembentukan tuberkel dan nekrosis kaseosa pada jaringanjaringan. Tuberkulosis paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronik yang sudah sangat lama
dikenal pada manusia, misalnya dia dihubungkan dengan tempat tinggal di daerah urban,
lingkungan yang padat, dibuktikan dengan adanya penemuan kerusakan tulang vertebra toraks
yang khas TB dari kerangka yang digali di Heidelberg dari kuburan zaman neolitikum, begitu
juga penemuan yang berasal dari mumi dan ukiran dinding piramid di Mesir kuno pada tahun
2000-4000 SM.
Epidemiologi
Pada bulan maret 1993 WHO mendeklarasikan TB sebagai global health emergency. TB
dianggap sebagai masalah kesehatan dunia yang penting karena lebih kurang 1/3 penduduk dunia
terinfeksi oleh mikobakterium TB. Pada tahun 1998 ada 3.617.047 kasus TB yang tercatat
diseluruh dunia.
Sebagian besar kasus TB ini (95%) dan kematiannya (98%) terjadi di negara-negara yang
sedang berkembang. Diantara penderita 75% berada pada usia produktif, yaitu 20-49 tahun.
Karena penduduk yang padat dan tingginya prevalensi maka lebih dari 65% dari kasus-kasus TB
yang baru dan kematian yang muncul terjadi di Asia.
Alasan utama munculnya atau meningkatnya beban TB global ini atara lain disebabkan
oleh :
1. Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara-negara yang sedang
berkembang.
2. Kegagalan program TB selama ini. Hal ini diakibatkan oleh:

Tidak memadainya komitmen politik dan penandaan

Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh masyarakat, penemuan


kasus/diagnosis yang tidak standar, obat tidak terjamin penyediaannya, tidak dilakukan

pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang standar, dan sebagainya)


Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan panduan obat yang tidak standar,

gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis)


Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG
Infrastuktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami krisis ekonomi
atau pergolakan masyarakat.

3. Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur umur
kependudukan.
4. Dampak pendemi HIV.
Indonesia merupakan negara dengan prevalensi TB ke-5 tertinggi di dunia. Berdasarkan
survei kesehatan rumah tangga 1985 dan survei kesehatan nasional 2001, TB menempat ranking
nomor tiga sebagai penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Prevalensi nasional terkahir TB
paru diperkirakan 0,24%. Sampai sekarang angka kejadian TB di Indonesia relatif terlepas dari
angka pandemi infesi HIV karena masih relatif rendahnya infeksi HIV, tapi hal ini mungkin akan
berubah di masa akan datang melihat semakin menignkatnya laporan infeksi HIV dari tahun
ketahun.
Etiologi
Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk
batang dengan ukuran panjang 1-4/m dan tebal 0,3-0,6/m. Yang tergolong dalam kuman
Mycobacterium tuberculosae complex adalah :
1.
2.
3.
4.
5.

M. tuberculosae
Varian Asian
Varian African I
Varian African II
M. Bovis.

Pembagian di atas berdasarkan perbedaan secara epidemiologi.


4

Cara penularan :

Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif


Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk

percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 dahak.
Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu
yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari
langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam

keadaan gelap dan lembab.


Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari
parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien

tersebut.
Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi
percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

Risiko penularan
1. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru
dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB
paru dengan BTA negatif.
2. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection
(ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar
1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun.
3. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.
4. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif.

Risiko menjadi sakit TB


1. Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.
2. Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000 terinfeksi
TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun. sekitar 50 di
antaranya adalah pasien TB BTA positif.
3. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan
tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk).
4. HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit TB.
Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular
immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti tuberkulosis, maka
5

yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila
jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan
demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.
Patogenesis
Tuberculosis Primer
Penularan tuberculosis paru terjadi karena kuman dibatukkkan atau dibersihkan keluar
menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam judara
bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan
kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulanbulan. Bila partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, akan menepel pada saluran napas atau
jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel <5 mikrometer. Kuman akan
dihadapi pertama oleh neutrofil, kemudian baru oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan
mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari percabangan trakeobronkial bersaa gerakan silia
dengan sekretnya.
Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Di
sini kuman dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru
akan berbentuk sarang tuberculosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau efek primer
atau sarang (focus) Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila
menjalar sampai ke pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman dapat juga masuk melalui
saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring dan kulit, terjadi limfadenopati regional
kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal
dan tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka kan terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru
menjadi TB milier.
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis
regional). Sarang primer limfangitis lokal+limfadenitis regional= kompleks primer (Ranke).
Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi:

Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang banyak terjadi.

Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotic, kalsifikasi di


hillus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya >5 mm dan 10% di

antaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman dormant.


Berkomplikasi dan menyebar secara:
a. Perkontinuitatum, yaitu menyebar ke sekitar
b. Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun pada paru disebelahnya.
Kuman dapat tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus.
c. Secara limfogen ke organ tubuh lainnya
d. Secara hematogen ke organ tubuh lainnya

Tuberculosis Sekunder
Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian tuberkulosis postprimer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer mempunyai nama yang
bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis
menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem kesehatan
rakyat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang
dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior. Sarang
dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. Nasib sarang pneumonik ini akan
mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :
1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat.
2. Sarang tadi mula mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan dengan
penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri menjadi lebih keras,
terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sebaliknya dapat juga
sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti
bila jaringan keju dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan
muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis,
kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Nasib kaviti ini :
Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang

pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan diatas.
Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut tuberkuloma.
Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tapi mungkin pula aktif kembali,
mencair lagi dan menjadi kaviti lagi.

Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity,
atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya mengecil. Kemungkinan
berakhir sebagai kaviti yang terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan seperti
bintang (stellate shaped).

Diagnosis
Anamnesis
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan
fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya
Keluhan terbanyak adalah:
8

Demam
Biasanya subfebril menyerupai demam influenza, tapi terkadang suhu dapat mencapai
40-41 oC dan bersifat hilang timbul.
Batuk/Batuk Darah
Terjadi kaena adanya iritasi pada bronkus. Sifat batuk dari batu kering kemudin setelah
timbul peradangan menjadi produktif. Keadaan lanjut berupa batuk darah karena terdapat

pembuluh darah yang pecah.


Sesak
Ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi settengah

bagian paru.
Nyeri Dada
Timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.

Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/ melepaskan napasnya.


Malaise
Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada napsu makan, badan makin
kurus, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam. Gejala malaise ini makin lama
makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.

Gejala klinik
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik (atau
gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik.
1. Gejala respiratorik
batuk 2 minggu
batuk darah
sesak napas
nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang
cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita terdiagnosis pada saat medical check up.
Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka penderita mungkin tidak ada gejala
batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk
membuang dahak ke luar.
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah
bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis

tuberkulosa terdapatgejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya
terdapat cairan.
2. Gejala sistemik
Demam
gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun
Pemeriksaan Jasmani
Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang
terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru.
Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan
kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex
dan segmen posterior , serta daerah apex lobus inferior.
Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik,
suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum. Pada
pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga
pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak
terdengar pada sisi yang terdapat cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di
daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak.
Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi cold abscess.
Pemeriksaan Bakteriologik
a. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang
sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini
dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan
lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan
biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)
b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturutturut atau dengan cara:

Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)


Dahak Pagi ( keesokan harinya )
10

Sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)


Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung dalam

pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak
mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasiliti, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan
apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.
Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek atau
untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml
sebelum dikirim ke laboratorium. Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas
objek dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus
dipastikan telah tertulis identitas penderita yang sesuai dengan formulir permohonan
pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan biakan kuman
Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah dengan cara :

Egg base media (Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh)


Agar base media : Middle brook
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat

mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than tuberculosis


(MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat
cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan
cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul.
Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. Pemeriksaan lain
atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis
dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :

Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen

superior lobus bawah


Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular
Bayangan bercak milier
Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
11

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif

Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas


Kalsifikasi atau fibrotic
Kompleks ranke
Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura

Luluh Paru (Destroyed Lung ) :

Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya
secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik luluh paru terdiri dari atelektasis,
multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit

hanya berdasarkan gambaran radiologik tersebut.


Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses penyakit

Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sbb
(terutama pada kasus BTA dahak negatif) :

Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak
lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari iga kedua depan
dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5 (sela iga

2) dan tidak dijumpai kaviti


Lesi luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal.

Pemeriksaan Penunjang
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu yang
dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional. Dalam perkembangan
kini ada beberapa teknik baru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih
cepat.
Polymerase chain reaction (PCR)
Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA
M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan
kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati masih memerlukan
ketelitian dalam pelaksanaannya. Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan
12

diagnosis sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standar.
Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang menunjang kearah
diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis TB ?
Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen pemeriksaan dapat berasal dari
paru maupun luar paru sesuai dengan organ yang terlibat.
Tatalaksana TB
Tujuan Pengobatan TB adalah:

Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup


Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk selanjutnya
Mencegah terjadinya kekambuhan TB
Menurunkan penularan TB
Mencegah terjadinya dan penularan TB resistan obat

Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan dengan maksud:

Tahap awal: pengobatan diberikan setiap hari, dengan tujuan untuk secara efektif
membantu menurunkan jumlah kuman yang ada di dalam tubuh pasien dan
meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resisten sejak
pasien belum mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal ini diberikan selama 2

bulan
Tahap lanjutan: tahap yang penting yang bertujuan untuk membunuh sisa kuman yang
masih ada di dalam tubuh sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya
kekambuhan.

Berikut adalah obat anti tuberkulosis (OAT) yang digunakan dalam tatalaksana TB:
Tabel: OAT lini pertama

13

Saat ini paduan OAT yang digunakan di Indonesia dibagi menjadi 4, yakni:

Katergori 1: 2(HRZE)/4(HR)3
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
- Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.
- Pasien TB paru terdiagnosis klinis
- Pasien TB ekstra paru
Katergori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati sebelumnya
(pengobatan ulang):
- Pasien kambuh
- Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya
- Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up)
Kategori anak: 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZA(S)/4-10HR
Obat untuk tatalaksana TB resisten obat yaitu OAT lini kedua: Kanamisin, Kapreomisin,
Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin dan PAS, serta OAT lini pertama
yaitu Pirazinamid dan Etambutol

Pemantauan kemajuan pengobatan TB


Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan
pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik
dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju
Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak
spesifik untuk TB. Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan dua contoh
uji dahak (sewaktu dan pagi).
14

Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila kedua contoh uji dahak tersebut negatif. Bila
salah satu contoh uji positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut
dinyatakan positif. Hasil dari pemeriksaan mikroskopis semua pasien sebelum memulai
pengobatan harus dicatat. Pemeriksaan ulang dahak pasien TB BTA positif merupakan suatu cara
terpenting untuk menilai hasil kemajuan pengobatan. Setelah pengobatan tahap awal, tanpa
memperhatikan hasil pemeriksaan ulang dahak apakah masih tetap BTA positif atau sudah
menjadi BTA negatif, pasien harus memulai pengobatan tahap lanjutan (tanpa pemberian OAT
sisipan apabila tidak mengalami konversi). Pada semua pasien TB BTA positif, pemeriksaan
ulang dahak selanjutnya dilakukan pada bulan ke 5. Apabila hasilnya negatif, pengobatan
dilanjutkan hingga seluruh dosis pengobatan selesai dan dilakukan pemeriksaan ulang dahak
kembali pada akhir pengobatan.

15

Berikut dijelaskan beberapa kategori hasil pengobatan pasien TB:


Tabel: Hasil pengobatan pasien TB

Efek samping OAT dan penatalaksanaannya


Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa mengalami efek
samping OAT yang berarti. Namun, beberapa pasien dapat saja mengalami efek samping yang
merugikan atau berat. Guna mengetahui terjadinya efek samping OAT, sangat penting untuk
memantau kondisi klinis pasien selama masa pengobatan sehingga efek samping berat dapat
segera diketahui dan ditatalaksana secara tepat. Pemeriksaan laboratorium secara rutin tidak
diperlukan.
Petugas kesehatan dapat memantau terjadinya efek samping dengan cara mengajarkan
kepada pasien unuk mengenal keluhan dan gejala umum efek samping serta menganjurkan
mereka segera melaporkan kondisinya kepada petugas kesehatan. Selain daripada hal tersebut,
petugas kesehatan harus selalu melakukan pemeriksaan dan aktif menanyakan keluhan pasien

16

pada saat mereka datang ke fasyankes untuk mengambil obat. Efek samping yang terjadi pada
pasien dan tindak lanjut yang diberikan harus dicatat pada kartu pengobatannya.
Secara umum, seorang pasien yang mengalami efek samping ringan sebaiknya tetap
melanjutkan pengobatannya dan diberikan petunjuk cara mengatasinya atau pengobatan
tambahan untuk menghilangkan keluhannya. Apabia pasien mengalami efek samping berat,
pengobatan harus dihentikan sementara dan pasien dirujuk kepada dokter atau fasyankes rujukan
guna penatalaksanaan lebih lanjut. Pasien yang mengalami efek samping berat sebaiknya dirawat
di rumah sakit. Tabel berikut menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan pendekatan
keluhan dan gejala.
Tabel: Efek samping ringan OAT

17

Tabel: Efek samping berat OAT

Komplikasi TB
Penyakit TB paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi.
Komplikasi dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi lanjutan

Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, Poncets arthropathy


Komplikasi lanjutan: obstruksi jalan napas, kerusakan parenkim berat (fibrosis paru, kor
pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, sindrom gagal napas dewasa (ARDS), sering terjadi
pasa TB milier dan kavitas TB

2. KANKER PARU
Definisi
Kanker paru adalah tumor ganas paru primer yang berasal dari saluran napas atau epitel
bronkus. Terjadinya kanker ditandai dengan pertumbuhan sel yang tidak normal, tidak terbatas,
dan merusak sel sel jaringan yang normal. Proses keganasan pada epitel bronkus didahului oleh
masa prakanker. Perubahan pertama yang terjadi pada masa prakanker disebut metaplasia
skuamosa yang ditandai dengan perubahan bentuk epitel dan menghilangnya silia.

Epidemiologi
18

Data WHO tahun 2000 setiap tahunnya di seluruh dunia terdapat 1,2juta orang penderita
kanker paru atau 12,3 % dari seluruh penyakit keganasan. 1,2 juta orang penderita akan
meninggal dunia atau 17,8 % dari mortalitas total tumor
Etiologi dan Faktor Risiko Kanker Paru
Seperti umumnya kanker yang lain, penyebab yang pasti dari kanker paru belum
diketahui, tapi paparan atau inhalasi berkepanjangan suatu zat yang bersifat karsinogenik
merupakan factor penyebab utama disamping adanya faktor lain seperti kekebalan tubuh,
genetik, dan lain-lain. Dibawah ini akan diuraikan mengenai factor risiko penyebab terjadinya
kanker paru :
a. Merokok
Menurut Van Houtte, merokok merupakan faktor yang berperan paling penting, yaitu
85% dari seluruh kasus. Rokok mengandung lebih dari 4000 bahan kimia, diantaranya telah
diidentifikasi dapat menyebabkan kanker. Kejadian kanker paru pada perokok dipengaruhi oleh
usia mulai merokok, jumlah batang rokok yang diisap setiap hari, lamanya kebiasaan merokok,
dan lamanya berhenti merokok.
b. Perokok pasif
Semakin banyak orang yang tertarik dengan hubungan antara perokok pasif, atau
mengisap asap rokok yang ditemukan oleh orang lain di dalam ruang tertutup, dengan risiko
terjadinya kanker paru. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pada orang-orang yang
tidak merokok, tetapi mengisap asap dari orang lain, risiko mendapatkan kanker paru meningkat
dua kali. Diduga ada 3.000 kematian akibat kanker paru tiap tahun di Amerika Serikat terjadi
pada perokok pasif.
c. Polusi udara
Kematian akibat kanker paru juga berkaitan dengan polusi udara, tetapi pengaruhnya
kecil bila dibandingkan dengan merokok kretek. Kematian akibat kanker paru jumlahnya dua
kali lebih banyak di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan. Bukti statistic juga
menyatakan bahwa penyakit ini lebih sering ditemukan pada masyarakat dengan kelas tingkat
social ekonomi yang paling rendah dan berkurang pada mereka dengan kelas yang lebih tinggi.
Hal ini, sebagian dapat dijelaskan dari kenyataan bahwa kelompok social ekonomi yang lebih
rendah cenderung hidup lebih dekat dengan tempat pekerjaan mereka, tempat udara
19

kemungkinan besar lebih tercemar oleh polusi. Suatu karsinogen yang ditemukan dalam udara
polusi (juga ditemukan pada asap rokok) adalah benzpiren.
d. Paparan zat karsinogen
Beberapa zat karsinogen seperti asbestos, uranium, radon, arsen, kromium, nikel,
polisiklik hidrokarbon, dan vinil klorida dapat menyebabkan kanker paru. Risiko kanker paru di
antara pekerja yang menangani asbes kira-kira sepuluh kali lebih besar dari pada masyarakat
umum. Risiko kanker paru baik akibat kontak dengan asbes maupun uranium meningkat kalau
orang tersebut juga merokok.
e. Diet
Beberapa penelitian melaporkan bahwa rendahnya konsumsi terhadap betakarotene,
selenium, dan vitamin A menyebabkan tingginya risiko terkena kanker paru .
f. Genetik
Terdapat bukti bahwa anggota keluarga pasien kanker paru berisiko lebih besar terkena
penyakit ini. Penelitian sitogenik dan genetic molekuler memperlihatkan bahwa mutasi pada
protoonkogen dan gen-gen penekan tumor memiliki arti penting dalam timbul dan
berkembangnya kanker paru. Tujuan khususnya adalah pengaktifan onkogen (termasuk juga gengen K-rasdanmyc) dan menonaktifkan gen-gen penekan tumor (termasuk gen rb, p53, dan
CDKN2).
g. Penyakit paru
Penyakit paru seperti tuberculosis dan penyakit paru obstruktif kronik juga dapat menjadi
risiko kanker paru. Seseorang dengan penyakit paru obstruktif kronik berisiko empat sampai
enam kali lebih besar terkena kanker paru ketika efek dari merokok dihilangkan.
Patofisiologi
Dari etiologi yang menyerang percabangan segmen/ sub bronkus menyebabkan cilia
hilang dan deskuamasi sehingga terjadi pengendapan karsinogen. Dengan adanya pengendapan
karsinogen maka menyebabkan metaplasia, hyperplasia dan displasia. Bila lesi perifer yang
disebabkan oleh metaplasia, hyperplasia dan displasia menembus ruang pleura, biasa timbul
efusi pleura, dan bisa diikuti invasi langsung pada kosta dan korpus vertebra. Lesi yang letaknya
sentral berasal dari salah satu cabang bronkus yang terbesar. Lesi ini menyebabkan obstuksi dan
ulserasi bronkus dengan diikuti dengan supurasi di bagian distal. Gejala gejala yang timbul
20

dapat berupa batuk, hemoptysis, dispneu, demam, dan dingin. Wheezing unilateral dapat
terdengan pada auskultasi. Pada stadium lanjut, penurunan berat badan biasanya menunjukkan
adanya metastase, khususnya pada hati. Kanker paru dapat bermetastase ke struktur struktur
terdekat seperti kelenjar limfe, dinding esofagus, pericardium, otak, tulang rangka
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis baik tanda maupun gejala kanker paru sangat bervariasi. Faktorfaktor seperti lokasi tumor, keterlibatan kelenjar getah bening di berbagai lokasi, dan keterlibatan
berbagai organ jauh dapat mempengaruhi manifestasi klinis kanker paru. Manifestasi klinis
kanker paru dapat dikategorikan menjadi

Manifestasi Lokal Kanker Paru (Intrapulmonal Intratorakal)


Gejala yang paling sering adalah batuk kronis dengan/tanpa produksi sputum. Produksi
sputum yang berlebih merupakan suatu gejala karsinoma sel bronkoalveolar
(bronchoalveolar cell carcinoma). Hemoptisis (batuk darah) merupakan gejala pada
hampir 50% kasus. Nyeri dada juga umum terjadi dan bervariasi mulai dari nyeri pada
lokasi tumor atau nyeri yang lebih berat oleh karena adanya invasi ke dinding dada atau
mediastinum. Susah bernafas (dyspnea) dan penurunan berat badan juga sering dikeluhkan
oleh pasien kanker paru. Pneumonia fokal rekuren dan pneumonia segmental mungkin
terjadi karena lesi obstruktif dalam saluran nafas. Mengi unilateral dan monofonik jarang
terjadi karena adanya tumor bronkial obstruksi. Stridor dapat ditemukan bila trakea sudah

terlibat.
Manifestasi Ekstrapulmonal Intratorakal
Manifestasi ini disebabkan oleh adanya invasi/ekstensi kanker paru ke struktur/organ
sekitarnya. Sesak nafas dan nyeri dada bisa disebabkan oleh keterlibatan pleura atau
perikardial. Efusi pleura dapat menyebabkan sesak nafas, dan efusi perikardial dapat
menimbulkan gangguan kardiovaskuler. Tumor lobus atas kanan atau kelenjar
mediastinum dapat menginvasi atau menyebabkan kompresi vena kava superior dari
eksternal. Dengan demikian pasien tersebut akan menunjukkan suatu sindroma vena kava
superior, yaitu nyeri kepala, wajah sembab/plethora, lehar edema dan kongesti, pelebaran
vena-vena dada. Tumor apeks dapat meluas dan melibatkan cabang simpatis superior dan
menyebabkan sindroma Horner, melibatkan pleksus brakialis dan menyebabkan nyeri
pada leher dan bahu dengan atrofi dari otot-otot kecil tangan. Tumor di sebelah kiri dapat
21

mengkompresi nervus laringeus rekurensyang berjalan di atas arcus aorta dan


menyebabkan suara serak dan paralisis pita suara kiri. Invasi tumor langsung atau kelenjar
mediastinum yang membesar dapat menyebabkan kompresi esophagus dan akhirnya

disfagia.
Manifestasi Ekstratorakal Non Metastasis
Kira-kira 10-20% pasien kanker paru mengalami sindroma paraneoplastik. Biasanya hal
ini terjadi bukan disebabkan oleh tumor, melainkan karena zat hormon/peptida yang
dihasilkan oleh tumor itu sendiri. Pasien dapat menunjukkan gejala-gejala seperti mudah
lelah, mual, nyeri abdomen, confusion, atau gejala yang lebih spesifik seperti galaktorea
(galactorrhea). Produksi hormon lebih sering terjadi pada karsinoma sel kecil dan
beberapa sel menunjukkan karakteristik neuro-endokrin. Peptida yang disekresi berupa
adrenocorticotrophic hormone (ACTH),

antidiuretic hormone (ADH), kalsitonin,

oksitosin dan hormon paratiroid. Walaupun kadar peptide-peptida ini tinggi pada pasienpasien kanker paru, namun hanya sekitar 5% pasien yang menunjukkan sindroma
klinisnya. Jari tabuh (clubbing finger) dan hypertrophic pulmonary osteo-arthropathy
(HPOA) juga termasuk manifestasi non metastasis dari kanker paru. Neuropati perifer dan
sindroma neurologi seperti sindroma miastenia Lambert-Eaton juga dihubungkan dengan

kanker paru.
Manifestasi Ekstratorakal Metastasis
Penurunan berat badan >20% dari berat badan sebelumnya (bulan sebelumnya) sering
mengindikasikan adanya metastasis. Pasien dengan metastasis ke hepar sering
mengeluhkan penurunan berat badan. Kanker paru umumnya juga bermetastasis ke
kelenjar adrenal, tulang, otak, dan kulit. Keterlibatan organ-organ ini dapat menyebabkan
nyeri local. Metastasis ke tulang dapat terjadi ke tulang mana saja namun cenderung
melibatkan tulang iga, vertebra, humerus, dan tulang femur. Bila terjadi metastasis ke
otak, maka akan terdapat gejala-gejala neurologi, seperti confusion, perubahan
kepribadian, dan kejang. Kelenjar getah bening supraklavikular dan servikal anterior dapat
terlibat pada 25% pasien dan sebaiknya dinilai secara rutin dalam mengevaluasi pasien
kanker paru.

Patologi
a.Kanker paru tipe sel kecil
22

Kanker paru tipe sel kecil atau small cell lung cancer (SCLC) meliputi15% dari seluruh
kanker paru. SCLC ini terdiri dari beberapa subtipehistologi yaitu sel oat, sel poligonal,
limfositik dan sel spindel. Lokasi yang paling sering adalah pada daerah sentral atau hilus (95%)
sedangkan sisanya di daerah perifer (5%). Pasien dengan SCLC biasanya telah menunjukkan
berbagai gejala dan tanda penyakit pada saat SCLC di diagnosis. Penurunan kondisi klinis yang
cepat pada seseorang yang terdapat massa di daerah thorax ini dapat mengindikasikan adanya
SCLC.Metastase SCLC biasanya melalui jalur peredaran darah ke otak, sumsum tulang dan hati.
Effusi pleura sering terjadi pada SCLC. Sering kambuh pada tempat yang baru setelah
radioterapi atau kemoterapi. SCLC dihubungkan dengan sindrom paraneoplastik seperti
SIADH,Hiperkoagulasi, sindrom ACTH ektopik, sindrom myastenia danhiperkalsemia.
b.Kanker paru tipe bukan sel kecil
Kanker paru tipe bukan sel kecil atau non-small cell lung cancer (NSCLC)dibagi atas tiga
variant yaitu karsinoma sel skuamosa, adenokarsinoma dan kanker sel besar yang
dikelompokkan menjadi satu karena memiliki persamaan dalam presentasi tumor, terapi dan
perjalanan alamiahnya.Karsinoma sel skuamosa merupakan 30% dari kanker paru lebih sering
terjadi di perifer dan secara klinis biasanya terlokalisasi pada tempatnya dan kekambuhan setelah
operasi maupun radiasi atau kemoterapi biasanya pada tempat yang sama. Karsinoma sel
skuamosa

ini

dihubungkan

dengansindrom

paraneoplastik

seperti

hiperkalsemia

dan

hiperkoagulasi.
Adenokarsinoma dan kanker sel besar meliputi 60% kanker paru dimana keduanya sering
berlokasi di perifer namun adenokarsinoma dapat juga terjadi di sentral. Secara klinis pasien
dengan adenokarsinoma biasanya menunjukkan gambaran nodul di perifer dan biasanya telah
mengalamimetastase regional. Adenokarsinoma dan kanker sel besar memiliki perjalanan
penyakit dan penyebaran yang sama yaitu melalui aliran darah paling banyak ke tulang, hati dan
otak. Kedua kanker ini berhubungan dengan sindrom paraneoplastik seperti hipertropik
osteoartropati, hiperkoagulasi, hiperkalsemia, dan ginekomastia (kanker sel besar).

Stadium CA Paru
Tahapan perkembangan kanker paru dibedakan menjadi dua, yaitu perkembangan SCLC
dan perkembangan NSCLC.
23

1.Perkembangan SCLC

Tahap terbatas, yaitu kanker yang hanya ditemukan pada satu bagian paru-paru saja dan

pada jaringan disekitarnya.


Tahap ekstensif, yaitu kanker yang ditemukan pada jaringan dada di luar paru-paru tempat
asalnya. Atau kanker ditemukan pada organ-organ tubuh yang jauh.

2.Perkembangan NSCLC

Tahap tersembunyi merupakan tahap ditemukannya sel kanker pada dahak (sputum)
pasien di dalam sampel air saat bronkoskopi, tetapi tidak terlihat adanya tumor di paru-

paru.
Stadium 0 merupakan tahap ditemukannya sel-sel kanker hanya pada lapisan terdalam

paru-paru dan tidak bersifat invasif.


Stadium I merupakan tahap kanker yang hanya ditemukan pada paru-paru dan belum

menyebar ke kelenjar getah bening sekitarnya.


Stadium II merupakan tahap kanker yang ditemukan pada paru-paru dan kelenjar getah

bening di dekatnya.
Stadium III merupakan tahap kanker yang telah menyebar ke daerah di sekitarnya, seperti
dinding dada, diafragma, pembuluh besar atau kelenjar getah bening di sisi yang sama

atau pun sisi berlawanan dari tumor tersebut.


Stadium IV merupakan tahap kanker yang ditemukan lebih dari satu lobus paru-paru
yang sama, atau di paru-paru yang lain. Sel-sel kanker telah menyebar juga ke organ
tubuh lainnya, misalnya ke otak, kelenjar adrenalin, hati, dan tulang.

Pemeriksaan Diagnostik
A.Foto dada secara postero-anterior
Pada foto dada PA dapat dilihat adanya gambaran massa di daerah hilus atau parahiler
atau apeks, lesi parenkim, obstruksi, kolaps didaerah peripleura dan pembesaran mediastinum
B.Pemeriksaan CT-scan dan MRI
Pemeriksaan CT-scan dada lebih sensitif dibandingkan dengan fotodada PA karena dapat
mendeteksi massa ukuran 3 mm. MRI dilakukan untuk mengetahui penyebaran tumor ke tulang
belakang

24

C.Pemeriksaan Bone scaning


Pemeriksaan ini juga dilakukan untuk mengetahui adanya metastasis tumor ke tulang. Zat
radioaktif yang dialirkan pada pembuluh darah yang melayani tulang yang dicurigai telah
mengalami metastasis akan diserap oleh sel kanker yang kemudiandi scan akan memperlihatkan
gambaran berbeda dari sel normalsekitarnya.
D.Pemeriksaan Sitologi
Pemeriksaan sitologi dilakukan dengan pemeriksan sitologi sputumterutama pada kasus
tumor paru yang menginvasi saluran nafasdengan gejala batuk. Dalam pemeriksaan mikroskopis
akanditemukan gambaran sel-sel kanker dalam sputum. Pemeriksaan initidak invasif
E.Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi merupakan standar baku penegakandiagnosis kanker paru.
Pengumpulan

bahannya

dapat

melalui bronkoskopi,

biopsi

transtorakal,

torakoskopi,

mediastinoskopi dantorakotomi. Hasil pemeriksaan dapat mengklasifikasikan tipekanker. SCLC


ditandai dengan gambaran yang khas dari sel kecilmirip gandum dengan sitoplasma yang sedikit
dalam sarang-sarangatau kelompok tanpa organisasi skuamosa atau glandular. PadaSCC ditandai
dengan variasi sel-sel neoplasma yang berkeratinyang berdiferensiasi baik sampai dengan tumor
anaplastik dengan beberapa fokus diferensiasi. Pada adenokarsinoma ditandai dengansel-sel
kanker berbentuk sel kelenjar dengan produksi musin dandikelilingi dengan jaringan
desmoplastik di sekitarnya. Sedangkan pada karsinoma sel besar menunjukkan gambaran
histologi yanganeh dan tidak khas selain ketiga jenis lainnya, bisa dalam bentuk skuamosa dan
glandular dengan diferrensiasi buruk dengan seldatia, sel jernih dan varian sel berbentuk
kumparan di dalamnya.
F.Pemeriksaan Serologi
Beberapa petanda kanker paru yang dipakai sebagai penunjangdiagnosis yaitu CEA
(carcinoma embryonic antigen), NSE(neuron-spesific enolase) dan Cyfra 21-1(Cytokeratin
fragment19).
G.Bronkoskopi
Dilakukan dengan memasukkan alat bronkoskof ke dalam bronkusuntuk melihat secara
langsung tumor atau kanker pada salurannafas dan juga dapat digunakan untuk mengambil bahan

25

biopsi. Jika kanker terdapat pada saluran nafas maka akan tampak jaringankanker yang mengisi
ruang saluran nafas di antara sel normal.
H.Thorakosintesis
Dilakukan apabila kanker yang mengenai jaringan paru telahmenimbulkan efusi pleura
atau suatu ruang dalam paru yang terisicairan eksudat atau transudat akibat invasi sel-sel kanker.
I.

Pemeriksaan Laboratorium lainnya


Pada pemeriksaan darah lengkap dan serum penderita kanker parudapat ditemukan
adanya tanda-tanda yang terkait dengan paraneoplastik sindrom dan adanya metastasis seperti :
anemia,trombosis, granulositosis, sitopenia dan leukoeritroblastosis (pada pemeriksaan sumsum
tulang), hiperkalsemia, hipofosfatemia,hiponatremia dan hipokalemia
J. Biopsi Trans Torakal (TTB)
Biopsi dengan TTB terutama untuk lesi yang letaknya perifer dengan ukuran < 2 cm,
sensitivitasnya mencapai 90 95 %.
K. Torakotomi
Totakotomi untuk diagnostic kanker paru dikerjakan bila bermacam macam prosedur
non invasif dan invasif sebelumnya gagal mendapatkan sel tumor.

CA PARU/ KANKER PARU


26

Tatalaksana Karsinoma Paru


Pembedahan
Reseksi bedah adalah metoda yang lebih dipilih untuk pasien dengan tumor setempat
tanpa adanya penyebaran metastatik dan mereka yang fungsi parunya masih baik. Tiga tipe
reseksi paru yang mungkin dilakukan : lobektomi ( satu lobus paru diangkat), lobektomi sleeve
(lobus yang mengalami kanker diangkat dan segmen bronkus besar direseksi) dan
Pneumonektomi (pengangkatan seluruh paru). Sebelum, pembedahan, status jantung paru pasien
harus ditentukan untuk penatalaksanaan praoperasi dan pascaoperasi pasien yang menjalani
bedah dada.
Radioterapi
Terapi radiasi ini sangat bermanfaat dalam pengendalian neoplasma yang tidak dapat
direseksi tetapi yang responsip terhadap radiasi. Radiasi juga dapat digunakan untuk mengurangi
ukuran tumor atau untuk membuat tumor yang tidak dapat dioperasi menjadi dapat dioperasi.
Radiasi juga digunakan sebagai pengobatan paliatif untuk menghilangkan tekanan tumor pada
struktur vital. Radiasi dapat membantu menghilangkan batuk, nyeri dada, dispnea, homoptisis,
nyeri tulang dan hepar.
Komplikasi radiasi termasuk esofagitis, pneunonitis dan radiasi fibrosis paru, yang dapat
merusak kapasitas ventilasi dan difusi secara signifikan mengurangi ketersediaan paru. Radiasi
juga dapat mempengaruhi jantung. Status nutrisi dan tampilan psikologis pasien dipantau selama
pengobatan, sejalan dengan tanda-tanda anemia dan infeksi.Pada beberapa kasus yang
inoperable, radio terapi dilakukan sebagai pengobatan kuratif dan bisa juga sebagai terapi
adjuvan/paliatif pada tumor dengan komplikasi seperti mengurangi efek obstruksi /penekanan
tumor dengan komplikasi seperti mengurangi efek obstruksi/ penekanan terhadap pembuluh
darah/bronkus.
Efek samping yang terjadi adalah disfagia karena esofagitis post radiasi, sedangkan
pneumonitis post radiasi jarang terjadi (<10%). Radiasi dengan dosis paruh yang bertujuan
kuratif secara teoritis bermanfaat pada kasus yang inoperabel tapi belum disokong data
percobaan klinis.

27

Pasien dengan metastasis sebatas N1-2 atau saat operasi terlihat tumor sudah merambat
sebatas sayatan operasi maka radiasi post operasi dianjurkan untuk diberikan. Radiasi preoperasi
untuk mengecilkan ukuran tumor agar misalnya pada reseksi lebih komplit pada pancoast tumor
atau stadium III b dilaporkan bermanfaat dari beberapa sentra kanker. Radiasi palatif. Pada kasus
sindrom vena cava superior atau kasus dengan komplikasi dalam rongga dada akibat kanker
seperti hemoptisis, batuk refrakter, atelektasis, megurangi nyeri akibat metastasis kranium dan
tulang, juga amat berguna.
Kemoterapi
Kemoterapi digunakan untuk mengganggu pola pertumbuhan tumor, untuk menangani
pasien dengan umor paru sel kecil atau dengan metastasis luas dan untuk melengkapi bedah atau
terapi radiasi. Kemoterapi memeberikan peredaan, terutama nyeri, tetapi kemoterapi tidak
memberikan penyembuhan dan jarang dapat memperpanjang hidup. Kemoterapi bermanfaat
dalam mengurangi gejala-gejala tekanan dari kanker paru dan dalam mengobati metastasis otak,
medulla spinalis dan pericardium.
Penggunaan resimen kemoterapi agresif (dosis tinggi) harus didampingi dengan rescue
sel induk darah yang berasal dari sumsum tulang atau darah tepi yang akan menggantikan sel
induk darah akibat mieloablatif. Penilaian respon pengobatan kanker dapat dibagi menjadi lima
golongan seperti : a) remisi komplit, tidak tampak seluruh tumor terukur atau lesi terdeteksi
selama lebih dari 4 minggu; b) remisi parsial, tumor mengecil >50% tuor terukur atau >50%
jumlah lesi terdeteksi menghilang; c) stable disease pengecilan 50% atau <25% membesar d)
progresif tampak beberapa lesi baruatau >25% membesar; e) lokoprogresif; tumor membesar
didalam radius tumor (lokal).
Kemoterapi digunakan sebagai terapi baku untuk pasien mulai dari stadium III A dan
untuk pengobatan paliatif.kemoterapi adjuvan diberikan mulai dari stadium II dengan sasaran
lokoregional tumor dapat direseksi lengkap, cara pemberian diberikan setelah terapi lokal
definitif dengan pembedahan, radioterapi atau keduanya.
Pemilihan obat
Kebanyakan obat sitostatik mempunyai aktivitas cukup baik dengan tingkat respon 1533%, walaupun demikian penggunaan obat tunggal tidak mencapaia remisi komplit . kombinasi
beberapa sitostatik telah banyak diteliti untuk meingkatkan tingkat respon yang akan berdampak
28

pada harapan hidup baru. Terdiri dari siklofosfamid, doksorubisin metatotreksat dan prokarbisin,
tingkat respon regimen ini 26 %.
Terapi Biologi.
BCG, Levamisole, interferon dan interleukin, penggunaannya dengan kombinasi
modalitas lainnya masih kontroversial.
Terapi Gen
Akhir-akhir ini dikembangkan penyelarasan gen (Chimeric) dengan cara transplantasi
stem sel dari darah tepi maupun tulang alogenik.
Diet yang Dibutuhkan
Bayam, wortel, brokoli, kol, tomat merah, dan stroberi merupakan sayuran dan buah yang
banyak mengandung zat penangkal kanker. Bagi perokok atau mantan perokok, makanan
tersebut mampu memangkas risiko kanker paru-paru. Selain disantap sebagai masakan, sayuran
bisa dikonsumsi sebagai jus. Stroberi bisa dimakan segar, dibuat jus, atau disantap bersama
sereal.
Keterbatasan asupan selenium berpotensi menumbuhkan sel kanker, terutama kanker
paru-paru, kanker prostat, kanker payudara, kanker usus besar, kanker empedu, kanker otak,
kanker leher. Dengan asupan selenium yang cukup, kemungkinan tumbuhnya kanker tersebut
dapat dibabat..
Komplikasi Karsinoma Paru
Potensial Komplikasi
a. Reaksi bedah dapat mengakibatkan gagal napas terutama ketika system jantung paru
terganggu sebelum pembedahan dilakukan sebelumnya.
b. Terapi radiasi dapat mengakibatkan penurunan fungsi jantung paru.
c. Kemoterapi, terutama dalam kombinasi dengan terapi radiasi, dapat menyebabkan
pneumonitis. Selain itu, toksisitas dan leukeumia adalah potensial efek samping dari
kemoterapi.
d. Fibrosis paru, perikarditis, mielitis, dan kor pulmonal adalah sebagian dari komplikasi
yang diketahui.
3. BRONKIETASIS
29

Definisi
Bronkiektasis (BE)adalah penyakit saluran napas kronik ditandai dengan dilatasi
abnormal yang permanen disertai rusaknya dinding bronkus. Biasanya pada daerah tersebut
ditemukan perubahan yang bervariasi termasuk di dalamnya inflamasi transmural, edema
mukosa (BE silindris), ulserasi (BE kistik) dengan neovaskularisasi dan timbul obstruksi
berulang karena infeksi sehingga terjadi perubahan arsitektur dinding bronkus serta fungsinya.
Etiologi
Bronkiektasis biasanya didapat pada masa anak-anak. Kerusakan bronkus pada penyakit
ini hampir selalu disebabkan oleh infeksi. Penyebab infeksi tersering adalah H. Influenza dan P.
Aeruginosa. Infeksi oleh bakteri lain, seperti Klebsiela dan Staphylococus Aureus disebabkan
oleh absen atau terlambatnya pemberian antibiotik pada pengobatan pneumonia. Bronkiektasis
ditemukan pula pada pasien dengan infeksi HIV atau virus lainnya, seperti adenovirus atau virus
influenza.
Faktor penyebab noninfeksi yang dapat menyebabkan penyakit ini adalah paparan
substansi toksik, misalnya terhirup gas toksik (amonia, aspirasi asam dari cairan lambung dan
lain-lain). Kemungkinan adanya faktor imun yang terlibat belum diketahui dengan pasti karena
bronkektasis dapat ditemukan pula pada pasien kolitis ulseratif, reumathoid artritis, dan sindrom
Sjorgen.
Faktor terjadinya bronkiektasis dapat dibagi menjadi tiga, yaitu :
1. Kekurangan mekanisme pertahanan yang didapat atau kongenital, biasanya kelainan
imunologi berupa kekurangan globulin gamma atau kelainan imunitas selular atau
kekurangan alfa-1antitripsin.
2. Kelainan struktur kongenital seperti fibrosis kistik, sindrom Kartagener, kekurangan
kartilago bronkus, dan kifoskoliosis kongenital.
3. Penyakit paru primer seperti tumor paru, benda asing, atau tuberkulosis paru.

30

Epidemiologi
Diperkirakan bahwa 110.00 orang penduduk di Amerika Serikat saat ini dirawat dengan
bronkiektasis non-kistik fibrosis. Prevalensi di Amerika Serikat 4,2 per 100.000 orang berusia 18
34 tahun dan 272 per 100.000 orang di antara penduduk berusia >75 tahun. Peningkatan ini
prevalensi ini berkesinambungan dengan semakin meluasnya penggunaan high resolution chest
CT (HRCT). Ditambah lagi, ada peningkatan jumlah pasien dengan infeksi paru Nontuberculosis
mycobacterium (NTM) yang didiagnosis juga menderita bronkiektasis. Di luar Amerika Utara,
bronkiektasis merupkan masalah klinis yang umum dijumpai, tapi prevalensi di dunia belum
diketahui. Secara mendunia, kelompok demografis tertentu diketahui memiliki risiko yang
meningkat untuk perkembangan bronkiektasis, termasuk individu yang memiliki akses buruk ke
pelayanan kesehatan atau adanya infeksi paru yang tinggi pada anak.
Patogenesis
Patogenesis dari bronkiektasis tergantung dari faktor penyebabnya. Apabila bronkiektasis
timbul secara kongenital, patogenesisnya belum diketahui namun diduga sangat terkait dengan
faktor genetik dan faktor pertumbuhan dan perkembangan fetus dalam kandungan. Pada kasus
bronkiektasis yang didapat, mekanisme patogenesis dipengaruhi oleh beberapa hal utama yaitu:
faktor obstruksi bronkus, faktor infeksi pada bronkus atau paru, faktor adanya penyakit tertentu,
dan faktor intrinsik. Secara umum patogenesis dari bronkiektasis dapat dijelaskan sebagai
berikut:

31

Skema: Patofisiologi Bronkiektasis


Penegakan diagnosis
Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda klinis yang timbul pada pasien bronkiektasis tergantung pada luas dan
beratnya penyakit, lokasi kelainannya, dan ada atau tidaknya komplikasi lanjut. Ciri khas
penyakit ini adalah adanya batuk kronik disertai produksi sputum, adanya hemoptisis, dan
pneumonia berulang, di mana gejala ini dapat berat maupun ringan sesuai tingkat keparahan
penyakit. Berikut keluhan yang sering muncul pada penyakit ini

Batuk produktif yang kronik, sputum bervariasi (mukoid jika tidak ada infeksi sekunder,

purulen jika ada infeksi sekunder) terutama pagi hari.


Hemoptisis (50-70 % kasus)
Sesak Napas (Dispnea) pada 50 % kasus
32

Demam berulang yang menandakan infeksi berulang

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya batuk produktif disertai ronki basah (82 %)
atau kering (44%) di daerah predisposisi (biasanya di daerah lobus bawah kiri atai tengah kanan),
kadang dijumpai suara mengi atau wheezing (21%). Perkusi pekak juga dapat ditemukan pada
pemeriksaan fisik thoraks. Selain itu juga dapat ditemukan sianosis, jari tabuh, dan tanda
komplikasi bronkiektasis (tanda hipoksemia kronik, cor pulmonale, atau gagal ventrikel kanan)
pada pemeriksaan fisik umum.
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium: Umumnya tidak khas, kadang ditemukan polisitemia,

anemia, atau leukositosis


Pemeriksaan Radiologis: Foto rontgen thoraks postero-anterior dan lateral tetap menjadi
pemeriksaan awal yang penting, meskipun gambaran radiologis yang normal tidak dapat
menyingkirkan kemungkinan bronkiektasis. Pemeriksaan ini juga tidak sensitif dalam
menentukan derajat penyakit. Dari foto polos dapat ditemukan gambaran seperti jalur
tram, cincin, garis paralel, dan struktur tubular. Selain itu, pada kasus bronkiektasis

sakular (13% kasus) ditemukan gambaran khas honey comb (seperti sarang tawon)
Pemeriksaan Faal Paru: kelainan faal paru yang terjadi tergantung pada luas dan
beratnya penyakit. Fungsi ventilasi masih dapat normal pada kelainan ringan. Pada
penyakit yang lanjut atau difus, kapasitas vital dan VEP1 biasanya menurun akibat
obstruksi aliran udara pernapasan. Penurunan PaO2 derajat ringan sampai berat juga dapat

terjadi dan menggambarkan timbulnya abnormalitas perfusi oksigen di paru


Pemeriksaan HRCT ( High Resolution Computed Tomography)
Pemeriksaan ini merupakan standar baku dalam pemeriksaan bronkiektasis. Sifatnya non
invasif dan hasilnya akurat, di mana sensitifitas dan spesifisitasnya lebih dari 95%.
Karakteristik yang muncul pada pemeriksaan ini ialah bronchial tapering yang menurun,
bronkus terlihat 1 cm pada tepi paru, dan rasio ukuran bronkoarteri yang meningkat [4,6,11]

33

Gambar: Pemeriksaan HRCT ( High Resolution Computed Tomography)


Pemeriksaan Bronkografi: pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menegakan
diagnosis karena foto rotgen tidak spesifik dan jika pemeriksaan HRCT tidak dapat
dilakukan.

Tingkatan Penyakit (Menurut Brewis)

34

a. Bronkiektasis Ringan:batuk-batuk, sputum berwarna hijau (jika ada perubuhan posisi


tubuh, ada infeksi sekunder), hemoptisis sangat ringan, pasien tampak sehat, fungsi paru
normal, dan foto thoraks normal.
b. Bronkiektasis Sedang: batuk produkstif setiap saat, sputum diproduksi setiap saat
berwarna hijau jarang mukoid dan berbau busuk, sering ada hemoptisis, pasien umumnya
masih tampak sehat dan funsi paru masih normal, jarang ada jari tabuh, pada pemeriksaan
fisik paru sering ditemukan ronki basah kasar, namun foto thoraks masih dapat dikatakan
normal.
c. Bronkiektasis Berat: batuk produktif dengan sputum banyak yang kotor dan berbau,
sering ditemukan pneumonia dengan hemoptisis dan nyeri pleura, sering ditemukan juga
jari tabuh, sianosis, dan tanda gagal paru. Keadaan umum kurang baik, dan sudah ada
abnormalitas pada foto thoraks.
PENATALAKSANAAN
Pengelolaan Umum (untuk semua pasien)

Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat bagi pasien, seperti membuat ruangan

hangat, dan edukasi untuk berhenti merokok serta menghindari alergen (seperti debu)
Memperbaiki drainase sekret bronkus dengan cara melakukan drainase postural,

mencairkan sputum yang kental (inhalasi uap panas, obat mukolitik)


Mengatur posisi tempat tidur pasien agar memudahkan drainase sekret bronkus
Mengontrol ISPA agar mencegah pemajanan kuman

Pengelolaan Khusus
Kemoterapi: dapat menjadi pilihan terapi untuk secara kontinu mengontrol ISPA, untuk
mengobati eksaserbasi infeksi akut pada bronkus atau paru, atau pada keduanya.
Kemoterapi di sini menggunakan obat antibiotik tertentu yang terpilih berdasarkan hasil
uji sensitivitas kuman dan data empirik. Terapi ini diberikan selama 10-14 hari.
Selanjutnya dapat diberikan terapi antibiotik jangka panjang jika keluhan sangat berat
dan terjadi eksaserbasi akut lebih dari 3 kali dalam setahun, di mana regimen antibiotik
ditentukan berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologis.

35

Drainase Sekret dengan Bronkoskop: penting dilakukan pada permulaan perawatan


pasien untuk menentukan asal sekret/ sputum, mengidentifikasi lokasi obstruksi bronkus,
dan menghilangkan obstruksi denga suction drainage.
Pengobatan Simptomatik:
- Bronkodilator: dapat diberikan apabila ditemukan tanda obstruksi bronkus dari hasil
-

uji faal paru (VEP1 < 70%) dan atau ditemukan uji brokodilator positif
Pemberian Oksigen: apabila terjadi hipoksia (terutama saat terjadi eksaserbasi akut),

pada komplikasi bronkitis kronik alirak oksigen harus rendah (cukup 1 L/ menit)
- Pengobatan Hemoptisis: dengan obat-obatan hemostatik hasilnya baik.
- Pengobatan Demam: dengan antipireutik
Pembedahan
Operasi hingga saat ini bukan merupakan pilihan utama terapi, terutama jika
terapi antibiotik dan suportif masih efektif, namun jika keluhan meningkatkan morbiditas
reseksi segmental/ lobus paru dapat bermanfaat untuk mengatasinya. Hasil penelitian
menunjukan bahwa antibiotik spektrum luas dapat memberikan perbaikan yang cukup
bermakna sehingga tindakan bedah dapat ditunda.

Pencegahan
Timbulnya bronkiektasis sebenarnya dapat dicegah kecuali pada bentuk kongenital. Menurut
kepustakaan beberapa tindakan pencegahan bronkiektasis anatara lain:

Pengobatan antibiotik atau cara lain yang tepat pada semua bentuk pneumonia yang

timbul pada anak


Vaksinasi terhadap pertusis, difteri, TB, HiB, pneumonia, dan lain-lain pada anak dapat
mengurangi resiko infeksi berulang yang memicu komplikasi berupa bronkiektasis

Prognosis
Prognosis pasien bronkiektasis tergantung pada berat-ringannya serta luasnya penyakit
waktu pasien berobat pertama kali. Pemilihan pengobatan secara tepat (konservatif atau
pembedahan) dapat memperbaiki prognosis penyakit.
Pada kasus-kasus yang berat dan tidak diobati, prognosisnya jelek, survivalnya tidak akan
lebih dari 5-15 tahun. Kematian pasien tersebut biasanya karena pneumonia, empiema, payah
jantung kanan, hemoptisis dan lain-lain. Pada kasus-kasus tanpa komplikasi bronchitis kronik
berat dan difus biasanya disabilitasnya ringan.
36

Kelainan pada bronkiektasis biasanya mengenai bronkus dengan ukuran sedang. Adanya
peradangan dapat menyebabkan destruksi lapisan muscular dan elastic dari bronkus serta dapat
pula menyebabkan kerusakan daerah peri bronchial. Kerusakan ini biasanya akan menyebabkan
timbulnya daerah fibrosis terutama pada daerah peribronkial.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

37

Tuberkulosis adalah penyakit infeksi bakteri kronis yang menular, sebagian besar menyerang
paru tetapi juga dapat menyerang organ tubuh lainnya.

Tuberkulosis paru disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis.

Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA (+) saat batuk/bersin, bakteri menyebar ke
udara dalam bentuk droplet.

Patogenesis TB paru adalah saat droplet terhirup melewati system pertahanan mukosilier
bronkus dan terus berjalan sampai ke alveolus dan menetap di sana. Kelanjutan dari proses
ini bergantung dari daya tahan tubuh masing-masing individu.

Diagnosis ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Gejala klinis utama TB paru adalah batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau
lebih. Gejala tambahan yang mungkin menyertai adalah batuk darah, sesak nafas dan rasa
nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan
(malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan dan demam/meriang lebih dari
sebulan

Komplikasi TB paru antara lain dapat timbul pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, usus
Poncetsarthropathy. Sedangkan komplikasi lanjut dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas,
kerusakan parenkim paru, korpulmonal, amiloidosis, karsinomaparu, dan sindrom gagal
napas (sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB)

Tipe pasien TB paru berdasarkan riwayat pengobatan dibagi menjadi: kasus baru, relaps,
drop out, gagal, pindahan, kasus kroinis dan tuberkulosis resistensi ganda.

Pengobatan TB paru menurut strategi DOTS diberikan selama 6-8 bulan dengan
menggunakan paduan beberapa obat atau diberikan dalam bentuk kombinasi dengan jumlah
yang tepat dan teratur, supaya semua kuman dapat dibunuh. Obat-obat yang dipergunakan
sebagai obat anti tuberkulosis (OAT) yaitu : Isoniazid (INH), Rifampisin (R), Pirazinamid
(Z), Streptomisin (S) danEtambutol (E)

38

10 Hasil pengobatan TB paru dibedakan menjadi: sembuh, pengobatan lengkap, gagal, putus
berobat, dan meninggal.
11 Evaluasi pengobatan dapat menggunakan metode klinis, bakteriologis, dan radiologis.
Daftar Pustaka
1

Kementerian Kesehatan RI, 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.

Jakarta: Kemenkes RI
Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi

Pertama. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2008.


Fishman AP, Ellas JA, Fishman JA, Grippi MA, Senior RM, Pack AI. Fishmans

Pulmonary Diseases and Disorders. Fourth Edi. New York: Mc Graw Hill; 2008.
Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, K MS, Setiyohadi B, Syam AF. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam Jilid II. Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014.
Cantin L, Bankier AA, Eisenberg RL. Bronchiectasis. AJR Am J Roentgenol
[Internet].

2009

Sep

[cited

2015

Apr

8];193(3):W15871.

Available

from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19696251 [Accessed 25 May 2015]


Hill AT, Pasteur M, Cornford C, Welham S, Bilton D. Primary care summary of the
British Thoracic Society Guideline on the management of non-cystic fibrosis
bronchiectasis. Prim Care Respir J [Internet]. 2011 Jun [cited 2015 May
26];20(2):13540.

Available

from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21336465 [Accessed 25 May 2015]


Emmons EE. Bronchiectasis [Internet]. Medscape. 2014 [cited 2014 May 25]. p.
Drugs & Diseases. Available from:http://emedicine.medscape.com/article/296961-

overview
Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Loscalzo J, Braunwald E, Jameson JL, et al.
Harissons Principles of internal Medicine. 17th Editi. New York: Mc Graw Hill;

2008.
Pasteur MC, Bilton D, Hill AT. British Thoracic Society guideline for non-CF
bronchiectasis. Thorax [Internet]. 2010 Jul [cited 2015 May 9];65 Suppl 1:i158.
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20627931 [Accessed 25 May
2015]

39

40

Anda mungkin juga menyukai