Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kanker adalah penyakit akibat pertumbuhan tidak normal dari sel-sel jaringan tubuh yang
berubah menjadi sel kanker. Dalam perkembangannya, sel-sel kanker ini dapat menyebar ke
bagian tubuh lainnya sehingga dapat menyebabkan kematian. Dari tahun ke tahun peringkat
penyakit kanker sebagai penyebab kematian di banyak negara semakin mengkhawatirkan. WHO
memperkirakan kematian akibat kanker lebih tinggi dibandingkan dengan kematian akibat AIDS,
TB maupun malaria. Pada tahun 2008 ada 12 juta kasus baru di dunia dengan kematian 7,6 juta
orang akibat kanker. (WHO) Di Indonesia menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
kematian akibat kanker tahun 1992 ada 4,8%, tahun 1995 meningkat menjadi 5,0% dan tahun
2001 meningkat lagi menjadi 6,0%. Penyakit kanker menempati urutan kelima sebagai penyebab
kematian di Indonesia. (Olwin N dkk, 2009)
Di negara-negara maju yang penduduknya banyak mengkonsumsi makanan siap saji,
makanan dengan kadar lemak yang tinggi, kadar serat rendah, makanan yang mengandung bahan
pengawet (zat aditif) seperti makanan kaleng, sosis, makanan yang di asap dan konsumsi alkohol
di laporkan angka kejadian kanker saluran erna meningkat. Jepang, chili, finlandia dan islandia
merupakan negara-negara dengan angka kejadian kanker lambung paling tinggi di dunia. (Olwin
N dkk, 2009)
Kanker esofagus adalah kanker yang terjadi di esofagus, saluran yang menghubungkan
tenggorokan ke lambung. Esofagus membawa makanan yang ke lambung untuk dicerna. Kanker
esofagus biasanya bermula di sel yang melapisi bagian dalam esofagus. Kanker esofagus dapat
terjadi dimana saja sepanjang esofagus, akan tetapi di Amerika Serikat, kanker ini terjadi paling
sering di bagian terbawah esofagus. Pria lebih sering menderita kanker esofagus dibandingkan
wanita. Kanker esofagus merupakan kanker yang tidak sering ditemukan di Amerika Serikat. Di
tempat lain di dunia, seperti Asia dan beberapa bagian dari Afrika, kanker esofagus lebih sering
terjadi.
Di Indonesia, keganasan saluran cerna yang termasuk paling banyak dijumpai adalah
kanker kanker usus besar (karsinoma kolorektal) dan menempati urutan keenam dari penyakit
keganasan. (Olwin N dkk, 2009)

Dua jenis tumor yang paling sering ditemukan pada colorectal adalah adenoma atau
adenomatous polip dan adenocarcinoma. Carcinoma colorectal merupakan keganasan yang
paling sering pada traktus gastrointestinal.
Insidensi carcinoma colorectal di Indonesia cukup tinggi, demikian juga angka
kematiannya. Di Indonesia, insidensi pada wanita sebanding dengan pria. Sekitar 75% ditemukan
di rectosigmoid. Di Negara barat, perbandingan insidensi laki-laki: perempuan adalah 3:1,
kurang dari 50% ditemukan di rektosigmoid. Penyakit ini berhubungan dengan usia dan terjadi
lebih sering pada usia diatas 50 tahun. Deteksi dini dengan penanganan medical dan operatif
yang terus berkembang dapat menurunkan mortalitas carcinoma colorectal. (R Labianca dkk,
2010)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Colorectal
2.1.1 Struktur
Colon dimulai dari perbatasan ileum terminal-caecum, sepanjang 90-150 cm, sampai
perbatasan sigmoid-rectum. Terdiri dari caecum, colon ascendens, colon transversum, colon
descendens, dan colon sigmoideum. Caecum merupakan bagian terlebar (7,5 8,5 cm), dan
colon sigmoideum merupakan bagian tersempit (2,5 cm). Pada kasus obstruksi di distal,
caecum merupakan bagian yang paling sering ruptur. Lapisan dinding colon adalah mucosa,
submucosa, otot sirkular, otot longitudinal yang bergabung dengan taenia coli, dan serosa.
Kekuatan mekanis dari dinding colon berasal dari lapisan submucosa, yang memiliki
kandungan kolagen tertinggi. Colon ascendens dan colon descendens terfiksasi pada
retroperitoneal, sedangkan caecum, colon transversum, dan colon sigmoideum berada
intraperitoneal dan mobil. Omentum menempel pada colon transversum.
Rectum memiliki panjang 12-15 cm, mulai dari perbatasan sigmoid-rectum sampai
perbatasan rectum-anus. Taenia coli berakhir pada distal colon sigmoideum, dan lapisan otot
longitudinal dari rectum terus berlanjut. Pada bagian atas rectum masih ditutupi dengan
peritoneum di bagian anterior, sedangkan bagian bawahnya extraperitoneal. Rectum
dikelilingi oleh fascia pelvis.
2.1.2 Fisiologi
Pertukaran air dan elektrolit
Colon menyerap air, natrium, klorida, dan asam lemak rantai pendek, serta
mensekresikan kalium dan bikarbonat. Hal ini membantu mempertahankan keseimbangan
cairan dan mencegah dehidrasi. Kemampuan ini hilang pada pasien dengan ileostoma,
sehingga lebih mudah terjadi dehidrasi. Fungsi utama rectum adalah sebagai resevoir dan
menahan 1200cc cairan.
Motilitas colon
Pola kontraksi colon adalah pergerakan retrograd, kontraksi segmental, dan pergerakan
massa. Pergerakan massa akan menyebabkan perpindahan isi colon ke arah anus. Motilitas
colon dipengaruhi oleh emosi, hormon, dan diet.
Flora colon

Bakteri yang paling banyak pada colon adalah bakteri anaerob Bacteroides. Escherichia
coli dan enterobacteria lainnya adalah bakteri aerob. Bakteri colon berperan penting dalam
produksi vitamin K. Supresi flora normal dengan antibiotik broad-spectrum dapat
menyebabkan pertumbuhan berlebih dari patogen, khususnya Clostridium difficile.
Gas colon
99% gas di colon adalah nitrogen, oksigen, carbon dioksida, hidrogen, dan metana. Gas
dalam usus berasal dari udara yang tertelan, fermentasi karbohidrat dan protein oleh bakteri
dalam lumen usus, dan difusi ke lumen usus dari darah. Dalam sehari, volume flatus sekitar
600cc.1
2.2 Etiologi & faktor risiko (R Labianca dkk, 2010)
Etiologi tumor colorectal belum diketahui secara pasti, namun diketahui bahwa
proliferasi neoplastik pada mukosa colorectal berhubungan dengan perubahan kode genetik,
pada germ line atau mutasi somatik yang didapat.
Faktor herediter
Faktor herediter merupakan salah satu faktor risiko. Diperkirakan bahwa 10-15%
carcinoma colorectal merupakan kasus familial, seperti pada Familial adenomatous
Polyposis (FAP) dan sindroma Lynch.
Usia
Usia merupakan faktor risiko dominan untuk carcinoma colorectal. Insidensi meningkat
diatas 50 tahun. Namun individu pada usia berapapun tetap saja dapat menderita carcinoma
colorectal, sehingga bila ditemukan gejala-gejala keganasan harus tetap dievaluasi.
Diet dan lingkungan
Penelitian menunjukkan bahwa carcinoma colorectal lebih sering terjadi pada populasi
yang mengkonsumsi diet tinggi lemak hewani dan rendah serat. Diet lemak jenuh dan tidak
jenuh yang tinggi meningkatkan risiko carcinoma colorectal, sedangkan diet asam oleat yang
tinggi (minyak ikan, minyak kelapa, minyak zaitun) tidak meningkatkan risiko. Lemak dapat
secara langsung meracuni mukosa colorectal dan menginduksi perubahan ke arah keganasan.
Sebaliknya, diet tinggi serat dapat menurunkan risiko. Diduga adanya hubungan antara
konsumi alkohol dengan insidensi carcinoma colorectal. Konsumsi calcium, selenium,
vitamin A, C, dan E, carotenoid, fenol tumbuhan dapat menurunkan risiko carcinoma
colorectal. Obesitas dan gaya hidup sedenter dapat meningkatkan mortalitas pasien

carcinoma colorectal. Pengaturan diet dan gaya hidup yang baik akan mencegah terjadinya
carcinoma colorectal. (Dagfinn Aune dkk, 2011)
Inflammarory bowel disease
Pasien dengan Inflammatory bowel disease, khususnya colitis ulceratif kronis,
berhubungan dengan meningkatnya risiko carcinoma colorectal. Hal ini diduga bahwa
inflamasi kronis merupakan predisposisi perubahan mukosa ke arah keaganasan. Risiko
tinggi terjadi keganasan bila onset pada usia muda, mengenai seluruh colon, dan menderita
lebih dari 10 tahun. Oleh karena itu perlu dilakukan skrining colonoscopy dengan biopsi
mukosa multipel secara acak setiap tahunnya pada pasien setelah 7-10 tahun menderita
pancolitis.
Faktor risiko lainnya (Olwin N dkk, 2009)
Merokok berhubungan dengan meningkatnya risiko adenoma colon, khususnya setelah
penggunaan lebih dari 35 tahun. Pasien dengan ureterosigmoidostomy meningkatkan risiko
terjadinya adenoma dan carcinoma. Tingginya kadar growth hormon dan insulin like growth
factor-1 akan meningkatkan risiko. Irradiasi pelvis dapat meningkatkan risiko carcinoma
recti.
Identifikasi faktor risiko carcinoma colorectal penting untuk menentukan program
skrining dan surveillance.
2.3 Patogenesis
Defek genetik
Selama lebih dari 2 dekade, penelitian menjelaskan mengenai defek genetik dan abnormalitas
molekular yang berhubungan dengan pembentukan dan progresifitas adenoma dan carcinoma
colorectal. Mutasi dapat menyebabkan aktivasi onkogen (K-ras) dan atau inaktivasi tumor
suppressor genes (APC,DCC (deleted in colorectal carcinoma), p53). Carcinoma colorectal
diduga berasal dari polip adenoma dengan akumulasi mutasi tersebut.
Defek pada gen APC pertama kali dideskripsikan pada pasien FAP dan ditemukan mutasi gen
APC. Hal tersebut ditemukan pada 80% carcinoma colorectal sporadis.
Gen APC merupakan tumor-suppressor gene. Mutasi pada alel-alel diperlukan untuk
memulai pembentukan polip. Kebanyakan mutasi adalah stop codon yang prematur, yang
menghasilkan protein APC yang terpotong. Pada FAP, lokasi mutasi berkorelasi dengan beratnya
gejala penyakit

Akumulasi mutasi-mutasi menyebabkan akumulasi genetik yang rusak yang menghasilkan


keganasan. K-ras merupakan proto-oncogen dan menyebabkan pembelahan sel yang tak
terkontrol. DCC merupakan tumor supressor gene dan kehilangan kemampuannya dalam
mendegenerasi keganasan. Tumor supressor genep53 merupakan protein yang penting untuk
menginisiasi apoptosis sel yang mempunyai kerusakan genetik yang tidak dapat diperbaiki.
(Dagfinn Aune dkk, 2011)
2.4 Gejala Klinik
Gejala awal dari karsinoma colorectal biasanya tidak jelas, seperti kehilangan berat badan
dan kelelahan. Gejala lokal pada usus biasanya jarang, dan baru timbul ketika tumor telah
tumbuh menjadi berukuran besar. Biasanya makin dekat dengan anus, maka gejala lokal pada
usus semakin sering muncul. (Ivy Bazensky, 2005)
Gejala klinik dibagi menjadi gejala lokal, gejala konstitusi, dan gejala metastasis3.
Gejala local:
Perubahan Pola BAB, dapat berupa konstipasi maupun diare.
Perasaan BAB yang tidak tuntas (tenesmus) dan diameter feces mengecil sering
ditemukan pada karsinoma colorectal.
Feces yang bercampur darah
Feces dengan mucus
Feces berwarna hitam seperti tar (melena) dapat timbul, tetapi biasanya lebih
berhubungan dengan kelainan pada traktus gastrointestinal bagian atas seperti
kelainan pada lambung atau duodenum.
Obstruksi usus menyebabkan nyeri, kembung, dan muntah yang seperti feces.
Dapat teraba massa di abdomen.

Gejala yang berhubungan dengan invasi karsinoma ke vesica urinaria


menyebabkan hematuria atau pneumaturia, atau invasi ke vagina menyebabkan
pengeluaran sekret vagina yang berbau. Ini terjadi pada stadium akhir,
menunjukkan tumor yang besar. (Ivy Bazensky, 2005)
Gejala konstitusi (sistemik) :
Kehilangan berat badan mungkin adalah gejala yang paling umum, disebabkan
karena hilangnya nafsu makan.
Anemia, menyebabkan pusing, mual, kelelahan, dan palpitasi. Secara klinik pasien
akan terlihat pucat dan hasil tes darah menunjukkan kadar haemoglobin yang
rendah. (R Labianca dkk, 2010)
Gejala metastasis
Metastasis pada hati menyebabkan :
Ikterus
Rasa nyeri di abdomen, lebih sering pada bagian atas dari epigastrium atau
dinding kanan abdomen.
Pembesaran hepar
Bekuan darah pada arteri dan vena, sindroma paraneoplastik yang berhubungan
dengan hiperkoagulabilitas dari darah.
2.5 Tumor ganas
2.5.1 Hereditary colorectal carcinoma
a. Familial Adenomatous Polyposis (FAP)
Merupakan polip adenoma yang berproses menuju keganasan mengikuti runtutan adenomacarcinoma, dimana jika tidak diterapi, maka insidensi perubahan keganasan adalah 100%.
b. Hereditary Nonpolyposis Colorectal Cancer (Lynchs Syndrome)

Sindroma ini dikrakteristikan oleh autosomal dominan yang diturunkan, manifestasi


keganasan terjadi pada usia muda, lesi predominan pada proximal colon, dan adanya tendensi
lesi synchronous dan metachronous. Pasien sebaiknya diterapi dengan colectomy subtotal.
Carcinoma berkembang dari polip adenoma melelui progresifitas adenoma-carcinoma yang
tipikal. Pada varian dari sindroma ini terdapat peningkatan insidensi keganasan endometium,
gaster, ovarium, dan traktus urinarius.
Kriteria untuk sindroma ini adalah:
Pada gambaran histopatologis, sejurang-kurangnya didapatkan asdanya 3 hubungan
dengan carcinoma colorectal, 2 dari hal tersebut merupakan derajat pertama.
Yang terlibat sekurang-kurangnya 2 generasi
Sekurang-kurangnya 1 pasien didiagnosis dibawah umur 50 tahun. (Ivy Bazensky,
2005)
2.5.2 Carcinoma colorectal
Insidensi
Carcinoma colorectal merupakan keganasan yang paling sering pada traktus
gastrointestinal. Insidensi carcinoma colorectal di Indonesia cukup tinggi, demikian juga angka
kematiannya. Insidensi pria sebanding dengan wanita. Carcinoma recti lebih sering pada lakilaki, sedangkan carcinoma colon lebih sering pada wanita. Penyakit ini berhubungan dengan usia
dan terjadi lebih sering pada usia diatas 50 tahun. (Ivy Bazensky, 2005)
Patologi
Secara makroskopis terdapat 3 tipe carcinoma colorectal. Tipe polipoid atau vegetatif
tumbuh menonjol ke dalam lumen usus., berbentuk bunga kol dan terutama ditemukan di caecum
dan colon ascendens. Tipe skirus mengakibatkan penyempitan sehingga terjadi stenosis dan
gejala obstruksi, terutama ditemukan di colon descendens, sigmoid dan rectum. Bentuk ulceratif
terjadi karena nekrosis di bagian sentral, terdapat di rectum. Pada tahap lebih lanjut, sebagian
besar carcinoma colon dapat mengalami ulserasi dan menjadi ulcus maligna.
Gejala klinis (Ivy Bazensky, 2005)
Gejala dan tanda dini carcinoma colorectal tidak ada. Umumnya gejala pertama timbul
karena penyulit, yaitu gangguan faal usus, obstruksi, perdarahan atau akibat metastasis.
2.5.2.1.Carcinoma colon kanan

Jarang terjadi stenosis dan faeces masih cair sehingga tidak ada faktor
obstruksi. Gambaran klinis tumor caecum dan colon ascendens tidah khas, gejala umumnya
nerupa dyspepsia, kelemahan umum, penurunan berat badan, dan anemia. Oleh karena itu
pasien sering datang dalam keadaan terlambat. Nyeri pada carcinoma colon kanan bermula di
epigastrium.
2.5.2.2 .Carcinoma colon kiri dan rectum
Sering bersifat skirotik sehingga banyak menimbulkan stenosis dan obstruksi, terlebih
karena faeces sudah padat. Menyebabkan perubahan pola defekasi, seperti konstipasi atau
defekasi dengan tenesmus. Makin ke distal letak tumor, faeces makin menipis, atau seperti
kotoran kambing, atau lebih cair disertai darah atau lendir. Tenesmus merupakan gejala yang
biasa didapat pada carcinoma rectum. Nyeri pada colon kiri bermula di bawah umbilicus
Pada pemerikasaan fisik, bila tumor kecil maka tidak teraba pada palpasi abdomen, bila
sudah terba berarti sudah menunjukkan keadaan lanjut. Massa di colon sigmoideum lebih
jelas teraba daripada massa di bagian lain colon. Pemeriksaan colok dubur merupakan
keharusan.

2.6 Pemeriksaan penunjang (R Labianca dkk, 2010)


Terdapat beberapa pemeriksaan yang berbeda untuk tujuan ini:
Pemeriksaan rectal secara digital (rectal toucher) : dokter memasukkan jarinya yang telah
memakai sarung tangan dan diberi lubrikasi untuk meraba daerah yang abnormal. Tindakan
ini hanya dapat mendeteksi tumor yang cukup besar pada bagian distal dari rektum, tetapi
berguna sebagai pemeriksaan skrining awal.
Fecal occult blood test (FOBT) : pemeriksaan terhadap darah dalam feces. Ada 2 tipe
pemeriksaan darah pada feces yaitu guaiac based (pemeriksaan kimiawi)
dan immunochemical. Pemeriksaan dengan cara kimiawi tidak spesifik, sebab 90% pasien
dengan FOBT positif tidak menderita karsinima colon. Sensitivitas dari
pemeriksaan immunochemical jauh lebih baik daripada pemeriksaan secara kimiawi.
Endoskopi

a.

Rectosigmoidoskopi
Rectosigmoidoskop yang kaku digunakan untuk menilai rectum dan colon sigmoideum
bagian distal.

b.

Fleksibel sigmoidoskopi dan colonoskopi


Sigmoidoskop dan colonoskop yang fleksibel dengan video atau fiberoptik dapat
memperlihatkan gambaran colon dan rectum dengan mutu yang baik. Sigmoidoskopi dan
colonoskopi dapat digunakan untuk diagnostik dan terapetik, merupakan metode yang
paling akurat untuk menilai colon. Prosedur ini sangat sensitif untuk mendeteksi dan
dapat untuk melakukan biopsi. Colonoskop untuk diagnostik memiliki satu saluran untuk
lewatnya alat-alat seperti snare, forcep biopsi, elektrocauter, dan sebagai jalan untuk
melakukan penghisapan dan irigasi. Colonoskop untuk terapetik mempunyai 2 saluran
yang dapat digunakan secara simultan untuk irigasi / penghisapan dan untuk lewatnya
alat-alat. (R Labianca dkk, 2010)

Double contrast barium enema (DCBE): pertama-tama persiapan untuk membersihkan colon
dilakukan sejak semalam sebelumnya. Barium enema dimasukkan, diikuti dengan
pemasukan udara untuk mengembangkan colon. Hasilnya adalah lapisan tipis dari barium
akan meliputi dinding sebelah dalam dari colon yang akan terlihat pada hasil pemeriksaan
sinar X. karsinoma atau polip prekarsinoma dapat dideteksi dengan cara ini. Namun teknik
ini dapat gagal mendeteksi polip yang datar (jarang ditemukan) atau berukuran kurang dari 1
cm.
Virtual colonoscopy menggantikan film sinar X pada pemeriksaan double contrast barium
enema dengan CT-Scan sehingga hasilnya lebih akurat.
Pencitraan (R Labianca dkk, 2010)
a.

X-ray foto polos dan colon in loop


X-ray foto polos dan colon in loop memiliki peranan penting dalam mengevaluasi pasien
yang diduga menderita carcinoma colorectal. Foto polos abdomen (supine, tegak, dan LLD)
berguna untuk mendeteksi pola gas usus yang menunjukkan adanya obstruksi. Colon in loop

berguna untuk mengevaluasi gejala obstruktif. Colon in loop dengan double contrast sensitif
untuk mendeteksi massa yang berdiameter lebih besar dari 1 cm. Deteksi massa yang kecil
sangat sulit, sehingga colonoscopy lebih disukai untuk mengevaluasi massa colon yang
nonobstruksi.
b.

CT scan
Computed Tomography (CT) digunakan untuk staging carcinoma colorectal, karena
kesensitivitasnya dalam mendeteksi metastasis.

c.

CT Colonografi (Virtual colonoscopy)


Virtual colonoscopy menggunakan CT helical dan rekonstruksi 3 dimensi untuk
mendeteksi lesi colon intralumen. Untuk memaksimalkan kesensitivitasan maka dilakukan
persiapan usus per oral, pemberian kontras per oral dan rectal, pendistensian colon. Alat ini
sensitif untuk melihat carcinoma colorectal yang berukuran lebih dari 1 cm. colonoskopi
tetap dibutuhkan jika terdapat lesi. Alat ini berguna sebagai pencitraan pada obstruksi colon
proximal. Keterbatasannya adalah terjadinya false positif akibat faeces, penyakit divertikula,
lipatan haustrae, artefak, dan ketidakmampuan mendeteksi adenoma yang datar.
Virtual colonoscopy carcinoma colorectal

d.

MRI
Magnetic Resonance Imaging (MRI) lebih sensitif daripada CT scan dalam mendeteksi
keterlibatan tulang atau dinding pelvis akibat perluasan carcinoma colorectal. Penggunaan
endorectal coil akan menambah sensitivitas.

e.

PET
Positron Emmision Tomography (PET) digunakan untuk pencitraan jaringan dengan
kadar glikolisis anaerob yang tinggi seperti pada tumor ganas. PET digunakan sebagai
tambahan pemeriksaan CT scan dalam staging carcinoma colorectal dan dapat digunakan
untuk membedakan kanker rekuren dengan fibrosis.

f.

Endorectal ultrasound
Endorectal ultrasound digunakan untuk mengevaluasi kedalaman invasi carcinoma recti.
Dinding rectum yang normal terdiri atas 5 lapisan. Ultrasound dapat membedakan tumor
jinak dari tumor invasif berdasarkan integritas lapiasan submukosa. Ultrasound dapat

membedakan tumor superficial T1-T2 dengan tumor yang lebih dalam T3-T4. Keakurasian
ultrasound dalam mendeteksi kedalamam invasi tumor intramural berkisar antara 81-94%.
Ultrasound juga dapat mendeteksi pembesaran nodus limfatikus perirectal, yang
menunjukkan metastasis ke nodus limfatikus, dimana keakurasiannnya adalah 58
83%. Ultrasound juga dapat digunakan untuk mendeteksi rekurensi lokal setelah
pembedahan.
Laboratorium (R Labianca dkk, 2010)
a.

Pemeriksaan darah samar pada faeces


Digunakan untuk tes skrining pada tumor colorectal yang asimptomatik, pada individu
dengan risiko sedang. Efikasi tes ini berdeasarkan tes serial karena kebanyakan carcinoma
colorectal berdarah secara intermiten. Tes ini merupakan tes nonspesifik untuk peroxidase
yang terkandung dalam haemoglobin. Perdarahan traktus gastrointestinal akan memberikan
hasil positif. Beberapa makanan (daging, beberapa buah dan sayuran, dan viamin C) dapat
memberikan false positif, sehingga pasien sebaiknya diet selama 2-3 hari sebelum tes. Tes ini
dapat ditingkatkan spesifik dan sensitivitasnya dengan menggunakan immunochemical. Hasil
positif pada tes ini sebaiknya dilanjutkan dengan pemeriksaan colonoskopi.

b.

Pemeriksaan DNA feces


Pemeriksaan DNA feces adalah teknologi baru yang berkembang untuk skrining
karsinoma colorectal. Adenoma premalignan dan karsinoma menhasilkan marker DNA yang
tidak terdegradasi selama proses pencernaan dan tetap stabil di dalam feces. Hasil penelitian
pemeriksaan ini memiliki sensitivitas 71-91%

c.

Tumor marker
Tumor marker seperti CEA, CA 19-9, dan CA-50 digunakan untuk pasien carcinoma
colorectal. Carcinoembrionic antigen (CEA) yang paling umum digunakan, sedangkan CA
19-9 dan CA-50 tidak rutin digunakan. CEA dapat meningkat pada 60-90% pasien dengan
carcinoma colorectal. Namun CEA bukan merupakan tes skrining yang efektif untuk
keganasan. CEA tidak spesifik karena dapat meningkat juga pada pasien dengan carcinoma
selain carcinoma colorectal.
d. Tes serum

Pemeriksaan fungsi hepar seperti alkali fosfatase, SGPT, SGOT, SGGT, dan LDH dapat
memprediksi kemungkinan metastasis ke hepar.
Biopsi
Biopsi dilakukan melalui endoskopi. Hasil patologi dari biopsi dapat mendeskripsikan
tipe sel dan gradasi tumor. Tipe sel yang paling sering didapat pada carcinoma colorectal
adalah adenocarcinoma (95%).
Histopatologi carcinoma colorectal
Biopsi nodus limfatikus sentinel
Teknik ini digunakan pada beberapa keganasan, biasanya pada carcinoma mammae dan
melanoma. Tujuan biopsi ini adalah untuk mengidentifikasi nodus limfatikus pertama yang
sering menjadi tempat pertama metastasis. Pada colorectal carcinoma, teknik ini bertujuan untuk
meningkatkan hasil staging. Pemeriksaan yang intensif dengan potongan histopatologi yang
multipel, imunohistokimia, dan reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) dapat
mendeteksi mikrometastasis pada pasien yang diketahui N0 pada teknik konvensional.
(R Labianca dkk, 2010)
2.7. Klasifikasi
American Joint Committee on Cancer memakai sistem TNM. Sistem ini memisahkan dan
mengidentifikasi berdasarkan kedalaman dari invasi tumor (T), status nodus limfatikus regional
(N) dan ada tidaknya metastase (M) (R Labianca dkk, 2010)
a.Sistem TNM (R Labianca dkk, 2010)
Tabel 1. Klasifikasi carcinoma colorectal berdasarkan sistem TNM
Stadium 0
Stadium I

Tis
T1

N0
N0

M0
M0

Stadium II

T2
T3

N0
N0

M0
M0

Stadium III

T4
Semua T

N0
N1

M0
M0

Stadium IV
Tumor Primer

Semua T

N2,N3
Semua N

M0
M1

TX: Tumor primer tidak bisa ditemukan


T0: Tidak ada bukti tumor primer
Tis: Carcinoma insitu
T1: Tumor menginvasi submukosa
T2: Tumor menginvasi muscularis propria
T3: Tumor menginvasi muscularis propria sampai subserosa atau kedalam non peritonealisasi
pericolic atau perirectal
T4: Tumor menyebabkan adanya perforasi ke peritoneum visceral atau invasi ke organ atau
struktur lain.
Nodus limfatikus regional
NX: Nodus limfatikus regional tidak ditemukan
N0: Tidak ada metastase nodus limfatikus regional
N1: Metastase pada 1-3 nodus limfatikus pericolica atau perirectal
N2: Metastase pada 4 atau lebih nodus limfatikus pericolica atau perirectal
N3: Metastase pada semua nodus limfatikus sepanjang cabang pembuluh darah
Metastase jauh
MX: Adanya metastase jauh tidak dapat dinilai
M1: Tidak ada metastase
M2: Metastase
Sistem TNM ini dapat dikonversikan ke sistem Duke yang lebih sederhana
Stadium I dari TNM sama dengan Duke A
Stadium II dari TNM sama dengan Duke B
Stadium III dari TNM sama dengan Duke C
Stadium IV dari TNM sama dengan Duke D

b. Sistem Dukes (R Labianca dkk, 2010)


Tabel 2. Klasifikasi Duke

Dukes

Dalamnya infiltrasi

Prognosis hidup
setelah 5 tahun
97%
80%
65%

A
B
C

Terbatas di dinding usus


Menembus lapisan muskularis mukosa
Metastasis ke kelenjar limfe

C1

Beberapa kelenjar limfe dekat tumor primer

35%

C2
D

Dalam kelenjar limfe jauh


Metastasis jauh

<5%

Staging TNM carcinoma colorectal klasifikasi Duke (R Labianca dkk, 2010)


c.AJCC stage groupings
Stadium karsinoma biasanya dituliskan sebagai angka I,II,III,IV, yang merupakan turunan
dari sistem TNM, berdasarkan prognosisnya. Angka yang lebih besar menunjukkan karsinoma
yang lebih lanjut dan hasil akhir yang lebih buruk. (R Labianca dkk, 2010)
Stage 0 Tis, N0, M0
Stage I T1, N0, M0
T2, N0, M0
Stage IIA T3, N0, M0
Stage IIB T4, N0, M0
Stage IIIA T1, N1, M0
T2, N1, M0
Stage IIIB T3, N1, M0
T4, N1, M0

Stage IIIC Any T, N2, M0


Stage IV Any T, Any N, M1
2.8. Penatalaksanaan (R Labianca dkk, 2010)
A. Pembedahan
Pembedahan dapat dikategorikan menjadi curative, palliative, bypass, fecal
diversion,atau open-and-close.
Curative, tindakan ini dapat dilakukan bila tumor terlokalisir. Karsinoma yang sangat dini
seperti polip biasanya dapat disembuhkan dengan polypectomy pada saat colonoscopy.
Tumor yang lebih lanjut membutuhkan sebagian colon yang mengandung tumor dibuang
hingga batas tertentu (contohnya colectomy) dan reseksi radikal en-bloc dari mesenterium
dan lymph node untuk mengurangi resiko rekurensi. Jika mungkin bagian yang tersisa
dari colon dilakukan anastomosis, jika tidak memungkinkan anus buatan (stoma) harus
dibuat. Pembedahan terhadap metastase ke hepar yang terisolasi dapat menyembuhkan
pada pasien tertentu. Dengan semakin majunya kemoterapi, maka semakin banyak pasien
yang ditawarkan pembedahan terhadap metastasis ke hepar yang terisolasi. (R Labianca
dkk, 2010)
Palliative, dilakukan jika terdapat metastasis yang multipel. Reseksi dari tumor primer
masih dianjurkan untuk menghindari kematian akibat perdarahan, invasi, ataupun efek
katabolik. Dilakukan bila tumor tidak dapat direseksi untuk mencegah dan mengatasi
obstruksi atau menghentikan perdarahan supaya kualitas hidup penderita baik. Jika tumor
tidak dapat diangkat maka dapat dilakukan bedah pintas atau anus pretenaturalis. Pada
metastasis ke hepar yang tidak lebih dari 2 atau 3 nodul dapat dipertimbangkan eksisi
metastasi. Pemberian sitostatika melalui arteri hepatica, yaitu perfusi secara selektif,
kadang disertai terapi embolisasi. (R Labianca dkk, 2010)
Jika tumor menginvasi struktur disekitarnya sehingga eksisi sulit dilakukan, maka ahli
bedah lebih menyukai melakukan bypass dari tumor (ileotransverse bypass) atau

melakukan fecal diversion dengan pembuatan stoma pada tempat yang lebih proximal.
(Gary M Ginsberg dkk, 2010)
Pada kasus terburuk dapat dilakukan pembedahan open-and-close. Hal ini dilakukan jika
ahli bedah menemukan tumor tidak dapat direseksi dan usus kecil sudah terinvasi, dan
tindakan lebih lanjut akan lebih membahayakan pasien. Dengan majunya teknik
pencitraan hal ini sudah jarang terjadi. (Gary M Ginsberg dkk, 2010)
Laparoscopic-assisted colectomy adalah teknik yang kurang invasif yang dapat
mengurangi ukuran sayatan dan nyeri pasca operasi. (Gary M Ginsberg dkk, 2010)
Komplikasi dari pembedahan antara lain :
Infeksi luka
Impotensi
Dehiscence atau hernia
anastomosis bocor atau terlepas, menyebabkan pembentukan abscess atau fistula, dan atau
peritonitis.
Perdarahan dengan atau tanpa pembentukan hematom
Adhesi menyebabkan obstruksi usus
Cedera organ di sekitarnya (seringnya usus kecil, ureter, limpa, dan vesica urinaria)
Komplikasi Cardiopulmonal seperti infark miocard, pneumonia, aritmia cordis, emboli
paru dan sebagainya. (Gary M Ginsberg dkk, 2010)
Tujuan utama tindakan bedah adalah memperlancar saluran cerna, baik bersifat kuratif
maupun nonkuratif. Kemoterapi dan radiasi bersifat paliatif dan tidak memberikan manfaat
kuratif. Bedah kuratif dilakukan bila tidak ditemukan gejala penyebaran lokal maupun jauh.

Tindakan bedah terdiri atas reseksi luas carcinoma primer dan kelenjar limfe regional. Bila
sudah ada metastasis jauh, tumor primer akan direseksi juga dengan maksud mencegah obstruksi,
perdarahan, anemia, inkontinensia, fistel dan nyeri. (Gary M Ginsberg dkk, 2010)
Pada carcinoma caecum atau colon ascendens dilakukan hemicolectomy kanan. Pembuluh
darah ileocolica, colica dextra, dan cabang kanan dari colica media diligasi dan dipisahkan.
Ileum terminal sekitar 10 cm ikut direseksi, kemudian dibuat anastomosis ileum dengan colon
transversum. (Gary M Ginsberg dkk, 2010)
Pada carcinoma di flexura hepatica atau di proximal colon transversum dilakukan
hemicolectomy kanan yang diperluas. Caranya sama dengan hemicolectomy kanan namun
dilakukan ligasi pembuluh darah colica media pada pangkalnya. Colon kanan dan proximal
colon transversum direseksi dan dilakukan anastomosis ileum dengan colon transversum distal.
Jika aliran darah diragukan, maka reseksi dapat diperluas sampai flexura lienalis dan dilakukan
anastomosis ileum dengan colon descendens. (R Labianca dkk, 2010)
Pada carcinoma colon transversum tengah dan distal dilakukan colectomy transversum.
Dilakukan ligasi pembuluh darah colica media. Kemudian dilakukan anastomosis colocolonik.
Pada carcinoma colon transversum distal, flexura lienalis, dan colon descendens
dilakukan hemicolectomy kiri. Cabang kiri pembuluh darah colica media, colica kiri, dan cabang
pertama pembuluh darah sigmoid diligasi. Kemudian dibuat anastomosis colocolonik.
Pada carcinoma colon transversum distal dapat dilakukan hemicolectomy kiri yang
diperluas. Caranya sama dengan hemicolectomy kiri, namun dilakukan ligasi pada cabang kanan
pembuluh darah colica media. (R Labianca dkk, 2010)
Pada carcinoma colon sigmoideum dilakukan colectomy sigmoideum.Dilakukan ligasi dan
pemisahan cabang sigmoig dari arteri mesenterica inferior. Colon sigmoideum direseksi sampai
batas refleksi peritoneum dan dibuat anastomosis colon descendens dengan rectum bagian atas.
(R Labianca dkk, 2010)
Colectomy total dan subtotal dilakukan pada pasien dengan familial adenomatous
poliposis. Pada prosedur ini, pembuluh darah ileocolica, colica dextra, colica media, dan colica

sinistra diligasi dan dipisahkan. Pembuluh darah rectalis superior dipertahankan. Jika diperlukan
untuk mempertahankan colon sigmoideum, maka pembuluh darah sigmoid distal dipertahankan
dan anastomosis dibuat antara ileum dan colon sigmoideum distal (subtotal colectomy dengan
anastomosis ileosigmoid). Jika colon sigmoideum direseksi, pembuluh darah sigmoidf diligasi
dan dipisahkan, dan dibuat anastomosis ileum dengan rectum bagian atas (total abdominal
colectomy dengan anastomosis ileorectal). Jika anastomosis dikontraindikasikan, maka dibuat
end-ileostomy dan rectum atau colon sigmoideum digunakan sebagai fistula mucus atau
Hartmann pouch. (Gary M Ginsberg dkk, 2010)

Tabel 3. Terapi carcinoma colorectal menurut stadium (R Labianca dkk, 2010)


Stadium
Stadium 0

Terapi
Eksisi lokal secara komplit melalui

(Tumor In Situ)
Stadium 1

endoskopi
Reseksi colon atau rectum

(Carcinoma Colorectal terlokalisasi)

Dapat ditambah adjuvant kemoterapi


pada pasien tertentu (usia muda,
temuan histologi yang beresiko

Stadium 2

tinggi)
Reseksi colon atau rectum

(Carcinoma Colorectal terlokalisasi)

Dapat ditambah adjuvant kemoterapi


pada pasien tertentu (usia muda,
temuan histologi yang beresiko

Stadium 3

tinggi)
Adjuvant kemoterapi, radioterapi

(Metastasis ke nodus limfatikus)

imunoterapi.

Stadium 4

Reseksi radikal
Adjuvant kemoterapi

(Metastasis jauh)

Reseksi hepar bila terdapat metastasis


ke hepar
Terapi Paliatif

2.9. Prognosis
Prognosis tergantung dari ada tidaknya metastasis jauh, yaitu klasifikasi penyebaran
carcinoma dan tingkat keganasan sel tumor. Bila disertai diferensiasi sel tumor yang buruk, maka
prognosisnya sangat buruk. Angka harapan hidup pada stadium awal adalah 5 kali lipat lebih
besar dari stadium akhir. (R Labianca dkk, 2010)
2.10 Follow-up (R Labianca dkk, 2010)
U.S. National Comprehensive Cancer Network dan American Society of Clinical
Oncology memberikan panduan untuk follow-up karsinoma colon :
Pemeriksaan fisik setiap 3 sampai 6 bulan selama 2 tahun., lalu setiap 6 bulan selama
5 tahun.
CT-scan dada, abdomen, dan pelvis dapat dipertimbangkan untuk dilakukan secara
rutin selama 3 tahun pertama pada pasien dengan resiko tinggi terjadi rekurensi.
Colonoscopy dapat dilakukan 1 tahun setelahnya, kecuali belum dilakukan pada
sebelum pembedahan karena adanya massa yang menghalangi. Dalam kasus tersebut
sebaiknya dilakukan setelah 3 Sampai 6 bulan.
PET or ultrasound scanning, chest X-rays, pemeriksaan darah lengkap atau tes fungsi
hati tidak disarankan.

BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Diagnosis karsinoma kolon ditegakkan dari anamnesis berupa adanya
gangguan pola defekasi, pemeriksaan fisik di mana teraba massa di abdomen, dan
untuk mengetahui letak dari tumor dilakukan pemeriksaan radiologis berupa colon
in loop dengan barium enema double contrast yang dapat menunjukkan gambaran

filling defect, berupa penonjolan kedalam lumen, kerancuan dinding kolon,


ataupun kekakuandinding kolon .Penanganan pada kasus ini berupa pembedahan,
dilanjutkan dengan penentuanstadium karsinoma setelah jaringan
diangkat. Diagnosis pasti karsinoma ini diperoleh berdasarkan pemeriksaan
histopatologi. Terapi adjuvant berupa radioterapi dankemoterapi diberikan
berdasarkan stadium yang ditunjukkan.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai