Anda di halaman 1dari 34

1

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Sejak pertama kali dilaporkan pada tahun 2012 dari Saudi Arabia, sekitar 30%

dari pasien yang positif terjangkit MERS-CoV (Middle East Respiratory


Syndrome-Coronavirus) telah meninggal dunia.(1) Dari kasus-kasus yang telah
teridentifikasi--pada orang-orang yang baru saja berkunjung ke daerah Timur
Tengah-- ditemukan bahwa penyebaran penyakit ini berhubungan secara langsung
maupun tidak langsung dengan Timur Tengah, dimana penularan secara humanto-human telah terjadi baik di lingkungan tempat tinggal, tempat bekerja, maupun
pelayanan kesehatan. Metode transmisi virus sampai saat ini masih belum
diketahui. Virus diduga berasal dari hewan, namun sejauh ini virus belum
ditemukan pada spesies hewan apapun. Secara umum infeksi MERS-CoV
memiliki gejala seperti pneumonia, namun dapat juga menyebabkan gagal ginjal.
Gejala-gejala yang paling sering timbul adalah demam, batuk, dan kesulitan
bernapas. Sementara gejala atipikal seperti diare pernah ditemukan pada pasien
dengan imunosupresi.(2) Infeksi MERS-CoV menampilkan gambaran gejala yang
lebih berat pada pasien dengan penyakit penyerta dan lanjut usia.
Sampai saat ini kasus infeksi MERS-CoV telah ditemukan di negara-negara:
Saudi Arabia, Qatar, Yordania, the United Arab Emirates (UAE), Oman, Kuwait,
Yemen, Lebanon, Iran, Algeria, Inggris, Perancis, Itali, Yunani, Jerman, Belanda,
Tunisia, Mesir, Malaysia, Filipina dan Amerika.
Berdasarkan bukti-bukti yang ada telah timbul kecurigaan bahwa adanya
kontak dengan unta hidup atau produk-produk yang berasal dari unta (susu,
daging, dsb.) memiliki peranan dalam transmisi virus yang menjadi penyebab
penyakit ini.(3)

BAB 2
ANATOMI DAN FISIOLOGI

Sistem respirasi dibedakan menjadi dua saluran yaitu, saluran napas bagian
atas dan saluran napas bagian bawah. Saluran napas bagian atas terdiri dari:
rongga hidung, faring dan laring. Saluran napas bagias bawah terdiri dari trakea,
bronkus, bronkiolus, dan paru-paru.

2.1. Saluran Napas Bagian Atas(4)

Gambar 2.1.1.1 Saluran napas bagian atas


Sumber:
http://intranet.tdmu.edu.ua/data/kafedra/internal/i_nurse/classes_stud

2.1.1 Hidung

Hidung adalah saluran pernapasan yang pertama. Ketika proses


pernapasan berlangsung, udara yang diinspirasi melalui rongga hidung
akan menjalani tiga proses yaitu penyaringan (filtrasi), penghangatan, dan
pelembaban. Hidung terdiri atas bagian- bagian sebagai berikut:
-

Bagian luar dinding terdiri dari kulit.

Lapisan tengah terdiri dari otot-otot dan tulang rawan.

Lapisan dalam terdiri dari selaput lender yang berlipat-lipat yang


dinamakan karang hidung ( konka nasalis ), yang berjumlah 3 buah
yaitu: konka nasalis inferior, konka nasalis media, dan konka
nasalis superior.

Diantara konka nasalis terdapat 3 buah lekukan meatus, yaitu: meatus


superior, meatus inferior dan meatus media. Meatus-meatus ini yang
dilewati oleh udara pernapasan , sebelah dalam terdapat lubang yang
berhubungan dengan tekak yang disebut koana.

Dasar rongga hidung dibentuk oleh rahang atas ke atas rongga hidung
berhubungan dengan rongga yang disebut sinus paranasalis yaitu sinus
maksilaris pada rahang atas, sinus frontalis pada tulang dahi, sinus
sfenoidalis pada rongga tulang baji, dan sinus etmoidalis pada rongga
tulang tapis.

Pada sinus etmoidalis keluar ujung-ujung saraf penciuman yang menuju ke


konka nasalis . Pada konka nasalis terdapat sel-sel penciuman , sel tersebut
terutama terdapat pada di bagian atas. Pada hidung di bagian mukosa
terdapat serabut saraf atau reseptor dari saraf penciuman ( nervus
olfaktorius ).

Di sebelah konka bagian kiri kanan dan sebelah atas dari langit-langit
terdapat satu lubang pembuluh yang menghubungkan rongga tekak dengan
rongga pendengaran tengah . Saluran ini disebut tuba auditiva eustachi
yang menghubungkan telinga tengah dengan faring dan laring. Hidung
juga berhubungan dengan saluran air mata atau tuba lakrimalis.

Rongga hidung dilapisi dengan membran mukosa yang sangat banyak


mengandung vaskular yang disebut mukosa hidung. Lendir di sekresi
secara terus-menerus oleh sel-sel goblet yang melapisi permukaan mukosa
hidung dan bergerak ke belakang ke nasofaring oleh gerakan silia.

2.1.2 Faring

Merupakan pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai


persambungannya dengan esofagus pada ketinggian tulang rawan krikoid.
Berdasarkan letaknya faring dibagi menjadi:
- Nasofaring terletak tepat di belakang cavum nasi , di bawah basis
crania dan di depan vertebrae cervicalis I dan II. Nasofaring membuka
bagian depan ke dalam cavum nasi dan ke bawah ke dalam orofaring.
Tuba eusthacius membuka ke dalam didnding lateralnya pada setiap
sisi. Pharyngeal tonsil (tonsil nasofaring) adalah bantalan jaringan
-

limfe pada dinding posteriosuperior nasofaring.


Orofaring
Merupakan pertemuan rongga mulut dengan faring,terdapat pangkal
lidah). Orofaring adalah gabungan sistem respirasi dan pencernaan ,

makanan masuk dari mulut dan udara masuk dari nasofaring dan paru.
Laringofaring(terjadi persilangan antara aliran udara dan aliran
makanan)
Laringofaring merupakan bagian dari faring yang terletak tepat di
belakang laring, dan dengan ujung atas esofagus.

2.1.3 Laring

Saluran udara dan bertindak sebagai pembentuk suara. Pada bagian


pangkal ditutup oleh sebuah katup yang disebut epiglottis, yang terdiri dari
tulang-tulanng rawan yang berfungsi ketika menelan makanan dengan
menutup laring.

Terletak pada garis tengah bagian depan leher, sebelah dalam kulit,
glandula tyroidea, dan beberapa otot kecil, dan di depan laringofaring dan
bagian atas esofagus.

Cartilago / tulang rawan pada laring ada 5 buah, terdiri dari sebagai
berikut:
-

Cartilago thyroidea 1 buah di depan jakun ( Adams apple) dan sangat


jelas terlihat pada pria. Berbentuk V, dengan V menonjol kedepan
leher sebagai jakun. Ujung batas posterior diatas adalah cornu
superior, penonjolan tempat melekatnya ligamen thyrohyoideum, dan
dibawah adalah cornu yang lebih kecil tempat beratikulasi dengan
bagian luar cartilago cricoidea.

Cartilago epiglottis 1 buah. Cartilago yang berbentuk daun dan


menonjol keatas dibelakang dasar lidah. Epiglottis ini melekat pada
bagian belakang V cartilago thyroideum. Plica aryepiglottica, berjalan
kebelakang dari bagian samping epiglottis menuju cartilago
arytenoidea, membentuk batas jalan masuk laring.

Cartilago cricoidea 1 buah yang berbentuk cincin. Cartilago berbentuk


cincin signet dengan bagian yang besar dibelakang. Terletak dibawah
cartilago tyroidea, dihubungkan dengan cartilago tersebut oleh
membrane

cricotyroidea.

Cornu

inferior

cartilago

thyroidea

berartikulasi dengan cartilago tyroidea pada setiap sisi. Membrana


cricottrakeale menghubungkan batas bawahnya dengan cincin trakea I.
-

Cartilago arytenoidea 2 buah yang berbentuk beker. Dua cartilago


kecil berbentuk piramid yang terletak pada basis cartilago cricoidea.
Plica vokalis pada tiap sisi melekat dibagian posterio sudut piramid
yang menonjol kedepan

Laring dilapisi oleh selaput lendir, kecuali pita suara dan bagian epiglottis
yang dilapisi oleh sel epitel berlapis.

2.2. Saluran Napas Bagian Bawah(4,5)

Gambar 2.2.1 Saluran napas bagian bawah


Sumber: http://www.studyblue.com/notes/note/n/chapter-22/deck/3076552
2.2.1 Trakea
Merupakan tabung fleksibel dengan panjang kira-kira 10 cm dengan
lebar 2,5 cm. trakea berjalan dari cartilago cricoidea kebawah pada
bagian depan leher dan dibelakang manubrium sterni, berakhir setinggi
angulus sternalis (pertautan antara manubrium dengan corpus sterni) atau

sampai kira-kira ketinggian vertebrata torakalis kelima dan di tempat ini


bercabang menjadi dua bronkus (bronchi).

Trakea tersusun atas 16 - 20 setengah lingkaran yang berupa cincin


tulang rawan yang diikat bersama oleh jaringan fibrosa dan yang
melengkapi lingkaran disebelah belakang trakea, selain itu juga membuat
beberapa jaringan otot.

2.2.2 Bronkus

Bronkus yang terbentuk dari belahan dua trakea pada ketinggian kira-kira
vertebrata torakalis kelima, mempunyai struktur serupa dengan trakea
dan dilapisi oleh.jenis sel yang sama.

Bronkus-bronkus itu berjalan ke bawah dan kesamping ke arah tampuk


paru. Bronckus kanan lebih pendek dan lebih lebar, dan lebih vertikal
daripada yang kiri, sedikit lebih tinggi darl arteri pulmonalis dan
mengeluarkan sebuah cabang utama lewat di bawah arteri, disebut
bronckus lobus bawah.

Bronkus kiri lebih panjang dan lebih langsing dari yang kanan, dan
berjalan di bawah arteri pulmonalis sebelurn di belah menjadi beberapa
cabang yang berjalan kelobus atas dan bawah.

Cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronkus
lobaris dan kernudian menjadi lobus segmentalis. Percabangan ini
berjalan terus menjadi bronkus yang ukurannya semakin kecil, sampai
akhirnya menjadi bronkhiolus terminalis, yaitu saluran udara terkecil
yang tidak mengandung alveoli (kantong udara).

Bronkhiolus terminalis memiliki garis tengah kurang lebih 1 mm.


Bronkhiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan. Tetapi dikelilingi
oleh otot polos sehingga ukurannya dapat berubah.

Seluruh saluran udara ke bawah sampai tingkat bronkbiolus terminalis


disebut saluran penghantar udara karena fungsi utamanya adalah sebagai
penghantar udara ke tempat pertukaran gas paru-paru, yaitu alveolus.

2.2.3 Paru-Paru

Gambar 2.2.3.1 Paru-paru


Sumber:
http://faculty.stcc.edu/AandP/AP/AP2pages/Units21to23/respiration/low
er.htm

Merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri atas


gelembung-gelembung kecil ( alveoli ). Alveolus yaitu tempat
pertukaran gas terdiri dari bronkhiolus respiratorius yang memiliki
kantong udara kecil atau alveoli pada dindingnya. Ductus alveolaris
seluruhnya dibatasi oleh alveoilis dan sakus alveolaris terminalis
merupakan akhir paru-paru, asinus atau.kadang disebut lobolus primer
memiliki tangan kira-kira 0,5 s/d 1,0 cm. Terdapat sekitar 20 kali
percabangan mulai dari trakea sampai Sakus Alveolaris. Alveolus
dipisahkan oleh dinding yang dinamakan pori-pori kohn.

Paru-paru dibagi menjadi dua bagian, yaitu paru-paru kanan yang terdiri
dari 3 lobus ( lobus pulmo dekstra superior, lobus pulmo dekstra media,
lobus pulmo dekstra inferior) dan paru-paru kiri yang terdiri dari 2 lobus
( lobus sinistra superior dan lobus sinistra inferior).

Tiap-tiap lobus terdiri dari belahan yang lebih kecil yang bernama
segmen. Paru-paru kiri memiliki 10 segmen yaitu 5 buah segmen pada
lobus superior dan lima lobus inferior. Paru-paru kiri juga memiliki 10
segmen, yaitu 5 buah segmen pada lobus superior, 2 buah segmen pada
lobus medialis, dan 3 segmen pada lobus inferior. Tiap-tiap segmen
masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang bernama lobulus.

Letak paru-paru di rongga dada datarnya menghadap ke tengah rongga


dada / kavum mediastinum.. Pada bagian tengah terdapat tampuk paruparu atau hilus. Pada mediastinum depan terletak jantung.

10

Paru-paru dibungkus oleh selapus tipis yang pernama pleura . Pleura


dibagi menjadi dua yaitu pleura visceral (selaput pembungkus) yaitu
selaput paru yang langsung membungkus paru-paru dan pleura parietal
yaitu selaput yang melapisi rongga dada sebelah luar. Antara kedua
lapisan ini terdapat rongga kavum yang disebut kavum pleura. Pada
keadaan normal, kavum pleura ini vakum/ hampa udara.

Suplai Darah
Setiap arteria pulmonalis, membawa darah deoksigenasi dari ventrikel
kanan jantung, memecah bersama dengan setiap bronkus menjadi
cabang- cabang untuk lobus, segmen dan lobules. Cabang-cabang
terminal berakhir dalam sebuah jaringan kapiler pada permukaan setiap
alveolus. Jaringan kapiler ini mengalir ke dalam vena yang secara
progresif makin besar, yang akhirnya membentuk vena pulmonalis, dua
pada setiap sisi, yang dilalui oleh darah yang teroksigenasi ke dalam
atrium kiri jantung. Artheria bronchiale yang lebih kecil dari aorta
menyuplai jaringan paru dengan darah yang teroksigenasi.

Gambar2.2.3.2. Vaskularisasi paru


Sumber: http://inness.blog112.fc2.com/blog-entry-1550.html

11

12

BAB 3
MERS-CoV
3.1. Pengertian MERS-CoV
MERS-CoV (Middle East Respiratory Syndrome-Coronavirus) adalah virus
yang termasuk dalam spesies coronavirus dan terletak dalam sub-family yang
sama dengan SARS-coronavirus. Secara genetik kerabat paling dekat dari MERSCoV yang telah ditemukan sampai saat ini merupakan coronavirus yang berasal
dari kelelawar, sehingga menimbulkan kecurigaan bahwa MERS-CoV juga
berasal dari kelelawar. Ada juga bukti-bukti yang mengarahkan bahwa virus
MERS-CoV ditransmisikan melalui kontak dengan unta atau kambing, namun
sampai sekarang belum ada data pasti yang mendukung teori tersebut.

Gambar 3.1. Filogenetik sub-family coronavirus


Sumber: http://jvi.asm.org/content/87/14/7790/F1.expansion.html

3.2 MERS-CoV dan SARS-CoV


Ditinjau dari kemiripan pola penyebaran dan reservoir asal antara MERS-CoV
dan SARS-CoV, penelitian-penelitian difokuskan pada pembandingan MERSCoV dengan SARS-CoV yang secara biologi molekular telah dipahami. Penelitian

13

dibidang infeksi menunjukan bahwa MERS-CoV tidak terikat pada reseptor yang
sama dengan SARS-CoV, yaitu angiotensin converting enzym 2 (ACE2), dan
bahwa MERS-CoV memiliki host yang sebarannya lebih luas dibandingkan
SARS-CoV. Struktur genom MERS-CoV memiliki kemiripan dengan coronavirus
lainnya, dengan dua per tiga band 5' mengkode protein non-struktural (NSPs)
yang dibutuhkan untuk replikasi genom virus, dan satu per tiga band 3' sisanya
mengkode gen-gen struktural yang membentuk virion virus (spike, selubung,
membran, dan protein nukleokapsid) dan empat gen aksesoris lainnya.
Terdapat satu kesamaan antara MERS-CoV dengan SARS-CoV dimana
keduanya memiliki kemampuan untuk menghambat respons interferon tipe I
(IFN) pada sel yang terinfeksi. Namun, MERS-CoV ditemukan jauh lebih sensitif
terhadap terapi IFN tipe exogenous dibanding SARS-CoV dimana fakta ini
mungkin penting dalam patogenesis infeksi MERS-CoV. Beberapa protein yang
dikode oleh SARS-CoV berfungsi sebagai antagonis innate immune signaling,
dan MERS-CoV juga mengkode beberapa antagonis IFN.

Gambar 3.2.1 Perbedaan SARS-CoV dan MERS-CoV


Sumber: http://virologytidbits.blogspot.com/2014/04/sars-cov-v-mers-covdifferences-and.html
MERS-CoV

3.3 Infeksi
MERS-CoV telah terbukti dapat menginfeksi sel-sel manusia, primata, babi,
dan kelelawar. Dari penelitian ex-vivo infeksi kultur sel epitel paru dan saluran
napas manusia didapatkan sel alveolar tipe II dan sel epitel paru tak bersilia (sel
Clara) sebagai target dari infeksi, bukan sel epitel bersilia yang mengeksprsikan

14

ACE2 seperti target infeksi SARS-CoV. Menariknya, pada setidaknya satu kasus,
MERS-CoV juga menginfeksi sel endotel, menunjukan perbedaan mencolok
dengan SARS-CoV yang secara spesifik menginfeksi sel epitel bersilia di paruparu. Reseptor MERS-CoV baru-baru ini diidentifikasi sebagai dipeptidyl
peptidase 4 (DPP4) oleh analisis spektrometri massa in vitro dari ikatan protein
sel Huh7 pada protein spike MERS-CoV. Dari eksperimen-eksperimen yang ada,
DPP4 terbukti dibutuhkan untuk infeksi ke sel dan memiliki fungsi beragam
dalam homeostatis glukosa, aktivasi T-cell, fungsi neurotransmitter, dan modulasi
signal jantung. Inhibisi fungsi enzimatik dari DPP4 tidak mempengaruhi proses
entry virus pada in vitro, namun peran aktivitas enzimatik DPP4 belum diteliti
secara in vivo.
Analisis transkripsional dari sel yang terinfeksi MERS-CoV telah menunjukan
beberapa jalur spesifik yang termodulasi selama infeksi berlangsung. MERS-CoV
ditemukan memodulasi respons imun innate, presentasi antigen, mitogenactivated protein kinase (MAPK), dan jalur apoptosis. Inhibisi jalur MAPK
menghasilkan penurunan replikasi virus pada kultur, mengarah ke potensi terapi.
Lebih penting lagi, beberapa studi menemukan MERS-CoV, mirip dengan SARSCoV, tidak menginduksi respons awal IFN tipe I, menimbulkan dugaan bahwa
MERS-CoV mungkin mengkode protein-protein yang menghambat pendeteksian
sistem imun tubuh host terhadap RNA virus selama infeksi. Modulasi dari jalurjalur ini mungkin dapat menjadi jawaban penyebab meningkatnya lethalitas
infeksi MERS-CoV.(6)
3.4 EPIDEMIOLOGI
Sejak bulan maret 2012 hingga maret 2014 telah dicatat oleh WHO terdapat
206 kasus yang terinfeksi MERS-CoV, termasuk 86 orang yang meninggal.

15

Distribusi penyakit MERS terdapat kasus primer dan sekunder. Kasus primer
merupakan orang yang terinfeksi langsung oleh virus tersebut bukan dari orang
lain, lebih banyak menginfeksi orang yang lebih tua dan ber jenis kelamin lakilaki dibanding kasus sekunder. Kasus sekunder merupakan orang yang terinfeksi
MERS-CoV dari orang lain yang terinfeksi virus tersebut.

Sejauh ini, kasus primer hanya ditemukan di negara timur tengah yaitu Jordan,
Kuwait, Oman, Qatar, Saudia Arabia, dan United Arab Emirates (UAE).
Selain itu, negara lain yang terinfeksi MERS-CoV adalah Perancis, Jerman, Itali,
United Kingdom, Tunisia, Afrika Utara yang kebanyakan merupakan kasus
sekunder dari transmisi negara timur tengah.

16

Penyebaran Mers di Indonesia


Virus mers menyebar ke Indonesia melalui Jemaah haji atau umroh yang pulang
dari arab Saudi, namun pemerintah telah melakukan pemeriksaan kepada para
Jemaah haji atau umroh yang pulang dengan gejala demam dan batuk, dan sampai
saat ini didapatkan hasil negative, sepanjag januari 30 april, pasien dengan
suspek MERS dinyatakan negative setelah dilakukan pemeriksaan polymerase
charin reaction (PCR).
3.5 MANIFESTASI KLINIS
-

ISPA (Infeski Pernafasan Akut) :


o Demam 38 C, sakit tenggorokan, batuk, sesak nafas/nafas cepat

Pneumonia berat
o Pasien remaja atau dewasa dengan demam, batuk, frekuensi
pernapasan > 30x/menit, gangguan pernapasan berat

Diare (jarang ditemukan dalam kasus)

3.6 DIAGNOSIS
-

Anamnesis : demam > 38C, batuk dan sesak, ditanyakan pula riwayat

17

berpergian dari negara timut tengah 14 hari sebelum onset


-

Pemeriksaan Fisis: sesuai dengan gambaran Pneumonia

Radiologi : Foto thoraks dapat ditemukan infiltrat, konsolidasi sampai


gambaran ARDS

Laboratorium : ditentukan dari pemeriksaan PCR dari swab tenggorok dan


sputum.
Berdasarkan data yang didapat, masa inkubasi MERS-CoV berkisar antara 2-14
hari.
Pasien dengan penyakit komorbid biasanya akan lebih mudah terinfeksi
MERS-CoV dan selanjutnya menunjukan gejala yang lebih berat.(7)
Komorbid
Presentase
Diabetes
68%
Penyakit ginjal kronik
49%
Penyakit jantung kronik
28%
Hipertensi
34%
Penyakit paru kronik
26%
Tabel 3.6.1. Presentase penyakit komorbid pasien infeksi MERS-CoV
Sumber: Pedoman Umum Kesiapsiagaan Menghadapi MERS-Depkes (2013)
MERS-CoV menyerang orang pada usia 2-94 tahun dengan presentase
kasus 64% terjadi pada pria.
Merujuk dari definisi WHO, kasus MERS-CoV dapat diklasifikasikan menjadi:
1. Kasus dalam penyelidikan (underinvestigated case)
a) Seseorang dengan infeksi saluran napas akut dan tiga gejala di
bawah ini:
demam (380C) atau ada riwayat demam
batuk
pneumonia berdasarkan gambaran klinis atau radiologis
yang membutuhkan perawatan di rumah sakit
Perlu waspada pada pasien dengan gangguan sistem imun (immunocompromised)
karena gejala dan tanda tidak jelas.
DAN
salah satu dari kriteria berikut:

18

1) Memiliki riwayat perjalanan ke Timur Tengah (negara


terjangkit) dalam waktu 14 hari sebelum sakit kecuali ditemukan
etiologi /penyebab penyakit lain.
2) Adanya petugas kesehatan yang sakit dengan gejala yang sama
setelah merawat pasien ISPA berat (SARI/Severe Acute
Respiratory Infection), terutama pasien yang memerlukan
perawatan intensif, tanpa memperhatikan tempat tinggal atau
riwayat

berpergian,

kecuali

ditemukan

etiologi/penyebab

penyakit lain.
3) Adanya klaster pneumonia (gejala penyakit yang sama) dalam
periode 14 hari, tanpa memperhatikan tempat tinggal atau
riwayat

bepergian,

kecuali

ditemukan

etiologi/penyebab

penyakit lain.
4) Adanya perburukan perjalanan klinis yang mendadak meskipun
dengan pengobatan yang tepat, tanpa memperhatikan tempat
tinggal atau riwayat bepergian, kecuali ditemukan etiologi/
penyebab penyakit lain.
b) Seseorang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) ringan
sampai berat yang memiliki riwayat kontak erat dengan kasus
konfirmasi atau kasus probable infeksi MERS-CoV dalam waktu
14 hari sebelum sakit.
2. Kasus Probabel
a) Seseorang dengan pneumonia atau ARDS dengan bukti klinis,
radiologis atau histopatologis
DAN
Tidak tersedia pemeriksaan untuk MERS-CoV atau hasil
laboratoriumnya negative pada satu kali pemeriksaan spesimen
yang tidak adekuat.

19

DAN
Adanya

hubungan

epidemiologis

langsung

dengan

kasus

konfirmasi MERS-CoV.

b) Seseorang dengan pneumonia atau ARDS dengan bukti klinis,


radiologis atau histopatologis
DAN
Hasil pemeriksaan laboratorium inkonklusif (pemeriksaan skrining
hasilnya positif tanpa konfirmasi biomolekular).
DAN
Adanya

hubungan

epidemiologis

langsung

dengan

kasus

konfirmasi MERS-CoV.
3. Kasus Konfirmasi
Seseorang yang terinfeksi MERS-CoV dengan hasil pemeriksaan
laboratorium positif.(8)
--Pemeriksaan Laboratorium
Spesimen klinis rutin (kultur mikroorganisme sputum dan darah) pada
pasien dengan pneumonia, idealnya sebelum penggunaan antibiotik.
Spesimen dari saluran napas atas (hidung, nasofaring dan/ atau swab
tenggorokan) dan saluran napas bagian bawah (sputum, aspirat
endotrakeal, bilasan bronkoalveolar) dan dilakukan pemeriksaan virus
influenza A dan B,virus influenza A subtipe H1, H3, dan H5 di negaranegara dengan virus H5N1 ditemukan pada unggas (peternakan); RSV,
virus parainfluenza, rhinoviruses, adenonviruses, metapneumoviruses
manusia, dan corona virus baru.

20

Pemeriksaan spesimen coronavirus baru dilakukan dengan menggunakan


reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) spesimen dikirim
ke Laboratorium Badan Litbangkes RI Jakarta. Ambil spesimen serial dari
beberapa tempat dalam waktu beberapa hari (setiap 2-3 hari) untuk melihat
Viral shedding.
Dilakukan juga:
- pemeriksaan darah untuk menilai viremia,
- swab konjungtiva jika terdapat konjungtivitis,
- urin,
- tinja,
- cairan serebrospinal jika dapat dikerjakan
Data selama ini menunjukkan bahwa spesimen saluran napas bawah
cenderung lebih positif daripada spesimen saluran napas atas.

3.7 Perjalanan penyakit Infeksi MERS-CoV


Tabel 3.7. Perjalanan penyakit Infeksi MERS-CoV
Infeksi Pernapasan akut (ISPA)

Demam > 38 C sakit tenggorokan, batuk,


sesak/napas cepat
Kriteria napas cepat pada anak :
Usia < 2 bulan : 60 x/menit atau lebih
Usia 2-<12 bulan : 50x/menit atau lebih

Pneumonia berat

Usia 1 - <5 tahun : 40 x/menit atau lebih


Pasien remaja atau dewasa dengan demam,
batuk, frekuensi pernapasan > 30 kali/
menit, gangguan pernapasan berat, saturasi

21

Acute Respiratory Distress Syndrome

oksigen (SpO2) <90%


Onset: akut dalam waktu 1 minggu dari

(ARDS)

timbulnya gejala klinis atau perburukan


gejala respirasi, atau timbul gejala baru
Gambaran radiologis (misalnya foto toraks
atau CT scan): opasitas bilateral, yang
belum dapat dibedakan apakah karena efusi,
kolaps paru / kolaps lobar atau nodul
Edema paru: kegagalan pernafasan yang
belum diketahui penyebabnya, apakah
karena gagal jantung atau overload cairan

Tingkat hipoksemia:
ARDS ringan yaitu 200 mm Hg
<PaO2/FiO2 300 mm Hg dengan PEEP
atau CPAP 5 cm H2O;
ARDS sedang yaitu 100 mm Hg
<PaO2/FiO2 200 mm Hg dengan PEEP
5 cm H2O
ARDS berat yaitu PaO2/FiO2 100 mm
Hg dengan PEEP 5 cm H2O Ketika PaO2
tidak tersedia, rasio SpO2/FiO2 315
Sepsis

menunjukkan ARDS.
Terbukti infeksi atau diduga infeksi, dengan
dua atau lebih kondisi berikut:

suhu> 38 C atau <36 C,

HR> 90/min, RR> 20/min atau

PaCO2 <32 mm Hg,

sel darah putih> 12 000 atau

22

<4000/mm3 atau > 10% bentuk


imatur
Sepsis dengan disfungsi organ, hipoperfusi

Sepsis berat

(asidosis laktat) atau hipotensi. Disfungsi


organ meliputi: oliguria, cedera ginjal akut,
hipoksemia, transaminitis, koagulopati,
trombositopenia, perubahan kesadaran,
ileus atau hiperbilirubinemia.
Syok septik

Sepsis yang disertai hipotensi (sistole <90


mm Hg) meskipun sudah dilakukan
resusitasi cairan adekuat dan terdapat tanda

hipoperfusi.
SpO2 : saturasi oksigen, PaO2: tekanan parsial oksigen, FiO2 : fraksi
oksigen inspirasi,
CPAP :continuous positive airway pressure, PEEP : tekanan akhir ekspirasi
positif,
HR : denyut jantung, RR: tingkat pernapasan, PaCO2 : tekanan parsial
karbon dioksida,
SBP : tekanan darah sistolik.(9)
3.8 Pencegahan Infeksi MERS-CoV
Meskipun mekanisme pasti penularan infeksi MERS-CoV belum diketahui,
kemungkinan penularannya dapat melalui:

Langsung

atau bersin
Tidak langsung : melalui kontak dengan benda yang telah terkontaminasi

: melalui percikan dahak (droplet) pada saat pasien batuk

virus
Pencegah penularan infeksi dapat dilakukan dengan cara:
perilaku hidup bersih sehat
menghindari kontak erat dengan penderita
menggunakan masker

23

menjaga kebersihan tangan dengan sering mencuci tangan


menggunakan sabun
menerapkan etika batuk ketika sakit(8)

Langkah-langkah pengendalian infeksi:


1. Kewaspadaan standar
Terapkan secara rutin di semua fasilitas pelayanan kesehatan untuk
semua pasien. Tindakan pencegahan standar meliputi:
-

Kebersihan tangan dan penggunaan alat pelindung diri (APD)


untuk menghindari kontak langsung dengan darah pasien, cairan
tubuh, sekret (termasuk sekret pernapasan) dan kulit lecet atau
luka.

Kontak dekat dengan pasien yang mengalami gejala pernapasan


(misalnya batuk atau bersin) pada saat memberikan pelayanan,
gunakan pelindung mata karena semprotan sekresi dapat
mengenai mata.

Pencegahan jarum suntik atau cedera benda tajam,

Pengelolaan limbah yang aman; pembersihan dan disinfeksi


peralatan serta pembersihan lingkungan.

2. Tindakan pencegahan droplet


-

Gunakan masker bedah bila bekerja dalam radius 1 meter dari

pasien.
Tempatkan pasien dalam kamar tunggal, atau berkelompok dengan

diagnosis penyebab penyakit yang sama.


Jika diagnosis penyebab penyakit tidak mungkin diketahui,
kelompokkan pasien dengan diagnosis klinis yang sama dan
berbasis faktor risiko epidemiologi yang sama dengan pemisahan
minimal 1 meter.

24

Batasi gerakan pasien dan pastikan bahwa pasien memakai masker

medis saat berada di luar kamar.


3. Tindakan pencegahan airborne
Pastikan bahwa petugas kesehatan menggunakan APD (sarung tangan,
baju lengan panjang, pelindung mata, dan respirator partikulat (N95
atau yang setara)) ketika melakukan prosedur tindakan yang dapat
menimbulkan aerosol. - Bila mungkin, gunakan satu kamar berventilasi
adekuat ketika melakukan prosedur yang menimbulkan aerosol.
3.9 Penatalaksanaan Infeksi MERS-CoV
a) Terapi oksigen

Berikan terapi oksigen pada pasien dengan tanda depresi napas


berat, hipoksemia (SpO2 <90%) atau syok.

Mulai terapi oksigen dengan 5 L/ menit lalu titrasi sampai SpO2


90% pada orang dewasa yang tidak hamil dan SpO2 92-95%
pada pasien hamil.

Pulse oximetry, oksigen, selang oksigen dan masker harus


tersedia di semua tempat yang merawat pasien ISPA berat/ SARI.

JANGAN membatasi oksigen dengan alasan ventilatory drive terganggu.


b) Antibiotik empirik untuk pneumonia
Pada pasien pneumonia komunitas (CAP) dan diduga terinfeksi MERSCoV, dapat

diberikan

antibiotik

secara

empirik

(berdasarkan

epidemiologi dan pola kuman setempat) secepat mungkin sampai tegak


diagnosis. Terapi empirik kemudian disesuaikan berdasarkan hasil uji
kepekaan.
c) Manajemen cairan konservatif
Pada pasien ISPA berat/SARI harus hati-hati dalam pemberian cairan
intravena, karena resusitasi cairan secara agresif dapat memperburuk
oksigenasi, terutama dalam situasi terdapat keterbatasan ventilasi
mekanis.

25

d) Pemberian kortikosteroid
Tidak memberikan kortikosteroid sistemik dosis tinggi atau terapi
tambahan lainnya untuk pneumonitis virus diluar konteks uji klinis.
Penggunaan jangka panjang sistemik kortikosteroid dosis tinggi dapat
menyebabkan efek samping yang serius pada pasien dengan ISPA berat/
SARI, termasuk infeksi oportunistik, nekrosis avascular, infeksi baru
bakteri dan kemungkinan terjadi replikasi virus yang berkepanjangan.
Oleh karena itu, kortikosteroid harus dihindari kecuali diindikasikan
untuk alasan lain.
e) Pemantauan secara ketat pasien dengan ISPA berat/ SARI bila terdapat
tanda-tanda perburukan klinis, seperti gagal nafas, hipoperfusi jaringan,
syok dan memerlukan perawatan intensif (ICU).
f) Pada depresi napas berat, hipoksemia, ARDS :

Kenali kasus yang berat, pada kasus dengan gangguan


pernapasan berat mungkin tidak cukup hanya diberikan
oksigen saja, walaupun sudah diberikan oksigen tinggi
Meskipun oksigen yang diberikan sudah tinggi (10 sampai 15 L /
menit) dengan reservoir mask, dan konsentrasi oksigen (FiO2)
yang tinggi (antara 0,60 dan 0,95), pasien dapat terus mengalami
work of breathing atau hipoksemia yang disebabkan oleh tingginya
fraksi shunt intrapulmonary sehingga membutuhkan ventilasi
mekanis.

Apabila tersedia alat dan petugas medis yang terlatih, ventilasi


mekanis harus diberikan secara dini pada pasien dengan work
of breathing atau hipoksemia yang berkelanjutan meskipun
telah diberikan oksigen aliran tinggi
Pada kondisi sumber daya yang terbatas, jenis ventilasi mekanis
yang diberikan akan ditentukan oleh ketersediaan alat dan
pengalaman klinisi. Pemberian ventilasi mekanik dapat berupa

26

ventilasi non-invasif (NIV) yaitu pemberian ventilasi melalui


masker dengan suport atau ventilasi mekanik invasif melalui
endotracheal tube atau trakeostomi.

Pertimbangkan NIV jika terdapat petugas medis yang terlatih


pada pasien imunosupresi, dan kasus ARDS ringan tanpa
gangguan kesadaran atau gagal jantung
NIV adalah ventilasi bi-level positive airway pressure melalui
masker ketat. Hal ini mengurangi kebutuhan untuk intubasi
endotrakeal pada pasien dengan eksaserbasi penyakit paru
obstruktif kronik yang berat dan edema paru kardiogenik. Terdapat
bukti yang cukup untuk penggunaan NIV pada pasien pneumonia
berat atau ARDS, kecuali imunosupresi. Pasien dengan ARDS
ringan dapat dipertimbangkan untuk diberikan NIV.

Jika diberikan NIV, pantau pasien secara ketat di ICU, jika


NIV tidak berhasil, jangan menunda intubasi endotrakeal.

27

Jika tersedia peralatan dan petugas medis terlatih, lanjutkan dengan


intubasi endotrakeal untuk memberikan ventilasi mekanik invasif.
Pasien dengan ARDS, terutama pada pasien obesitas atau hamil, dapat terjadi
desaturasi cepat selama intubasi. Pasien dilakukan oksigenasi pra intubasi dengan
100% FiO2 selama 5 menit, melalui bag-valve masker/ ambu bag atau NIV dan
kemudian dilanjutkan dengan intubasi.

Gunakan lung protective strategy ventilation (LPV) untuk pasien


dengan ARDS
Menerapkan strategi ventilasi menggunakan volume rendah dan tekanan
rendah, target volume tidal 6 ml / kgbb, tekanan plateau (Pplat) dari 30
cm H2O dan SpO2 88-93 % atau PaO2 55-80 mmHg (7,3-10,6 kPa) telah
terbukti mengurangi angka kematian pada populasi pasien ARDS.

Untuk mencapai target LPV, dimungkinkan permissive hypercapnia.


Untuk mencapai target SpO2, gunakan PEEP adekuat untuk mengatasi
hipoksemia.
-

Double triggering, bentuk umum dari asynchrony, dapat diatasi dengan


meningkatkan aliran inspirasi, memperpanjang waktu inspirasi,
suction trachea, membuang air dari tabung ventilator, dan mengatasi
kebocoran sirkuit.

Tingkat kedalaman sedasi harus dipertimbangkan jika tidak dapat


mengendalikan volume tidal.

Pasien tidak boleh terlepas dari ventilator. Bila terjadi terlepasnya


ventilator dapat mengakibatkan hilangnya PEEP dan kolaps paru.

Gunakan kateter in-line untuk suction

Minimalkan transportasi.

28

Pada pasien dengan ARDS berat, pertimbangkan terapi ajuvan awal,


terutama jika gagal mencapai target LPV
-

Pemberian blokade neuromuskular 48 jam pertama


berhubungan dengan peningkatan kelangsungan hidup dan
peningkatan waktu bebas ventilator tanpa menyebabkan
kelemahan otot yang signifikan.

Posisi prone pada pasien dapat meningkatkan oksigenasi


dan kelangsungan hidup tetapi perlu perawatan khusus saat
mengubah posisi pasien dengan aman

Lung Recruitment Manuver dan PEEP yang tinggi dapat


meningkatkan oksigenasi dan mengurangi kebutuhan terapi
lainnya

Gunakan strategi tatalaksana cairan konservatif untuk


pasien ARDS yang tidak shock untuk mempersingkat
durasi ventilasi mekanik

g) Pada syok sepsis:

Kenali syok sepsis yaitu ketika pasien mengalami hipotensi


(SBP <90 mm Hg) yang menetap setelah challenge pemberian
cairan atau tanda-tanda hipoperfusi jaringan (konsentrasi
laktat darah> 4 mmol / L) dan mulai resusitasi
Prosedur resusitasi tersedia di situs Surviving Sepsis Campaign.
Dalam kondisi terbatasnya sumber daya, tindakan intervensi dapat
dimodifikasi berdasarkan ketersediaan dan pengalaman dengan alat
pemantauan hemodinamik invasif (yaitu kateter vena sentral,
kateter arteri) dan obat-obatan.

Berikan cairan infus kristaloid secara dini dan cepat untuk


syok sepsis

29

Berikan cairan kristaloid, yaitu normal saline atau larutan


RL untuk loading cairan / bolus (yaitu 1 L lebih dalam 30
menit atau lebih cepat), dan

Tentukan butuh atau tidaknya bolus cairan selanjutnya


berdasarkan respon (misalnya apakah target perfusi
membaik atau tidak).

Resusitasi cairan yang berlebihan dapat menyebabkan


gangguan pernapasan.

Jika tidak ada respon terhadap beban cairan dan ditemukan


tanda-tanda

volume

overload

(yaitu

crackles

pada

auskultasi, edema paru pada foto toraks), pemberian cairan


harus dikurangi atau dihentikan. Hal ini sangat penting
khususnya pada sumber daya yang terbatas di mana
ventilasi mekanik tidak tersedia.
-

Jangan memberikan cairan hipotonik atau solusi berbasis


starch untuk resusitasi. Starch berhubungan dengan
peningkatan insiden disfungsi dan gagal ginjal.

Jangan gunakan balans cairan sebagai panduan untuk


mengelola atau mengurangi volume pemberian loading
cairan.

Gunakan vasopresor ketika syok tetap berlanjut meskipun


resusitasi cairan telah diberikan secara adekuat
-

Vasopresor (norepinefrin, epinefrin dan dopamin) paling


aman diberikan melalui kateter vena sentral, dengan
pengawasan ketat. Pemantauan tekanan darah dilakukan
lebih sering. Pemberian vasopresor diberikan pada dosis

30

minimum yang diperlukan untuk mempertahankan perfusi


(SBP> 90 mm Hg) guna mencegah efek samping.
-

Dalam kondisi keterbatasan sumber daya, jika kateter vena


sentral tidak tersedia, vasopressor dapat diberikan dengan
hati-hati melalui IV perifer dan dipantau dengan seksama
tanda-tanda ekstravasasi dan nekrosis. Jika hal ini terjadi,
hentikan infus.

Pertimbangkan pemberian hidrokortison intravena (sampai


200 mg / hari) atau prednisolon (sampai 75 mg / hari) pada
pasien dengan syok persisten yang membutuhkan
peningkatan dosis vasopresor.

3.10 Pencegahan Komplikasi


Langkah-langkah berikut dapat dilakukan untuk pencegahan komplikasi pada
pasien kritis/berat:(9)
Tabel 3.10.1. Pencegahan Komplikasi
Antisipasi dampak
Mengurangi hari

Tindakan
-Protokol penyapihan meliputi penilaian harian kesiapan

penggunaan ventilasi

bernapas spontan

mekanis invasif

- Protokol Sedasi untuk titrasi pemberian obat penenang pada

(IMV)

target tertentu, dengan atau tanpa interupsi harian infus obat

Mengurangi kejadian

penenang
-Intubasi oral adalah lebih baik daripada intubasi nasal

ventilator-associated

-Lakukan perawatan antiseptik oral secara teratur

pneumonia

-Jaga pasien dalam posisi semi-telentang


-Gunakan sistem penyedotan tertutup, kuras dan buang
kondensat dalam pipa secara periodik
-Gunakan sirkuit ventilator baru untuk setiap pasien, ganti
sirkuit jika kotor atau rusak
-Ganti alat heat moisture exchanger jika tidak berfungsi, ketika
kotor atau setiap 5-7 hari -kurangi hari IMV

31

Mengurangi kejadian

-Gunakan obat profilaksis (heparin 5000 unit subkutan dua kali

tromboemboli vena

sehari) pada pasien tanpa kontraindikasi.


-Pasien dengan kontraindikasi, gunakan perangkat profilaksis

Mengurangi kejadian

mekanik seperti intermiten pneumatic compression device.


Gunakan checklist sederhana selama pemasangan kateter IV

infeksi terkait kateter

sebagai pengingat dari setiap langkah yang diperlukan untuk

aliran darah

pemasangan yang steril dan pengingat harian untuk melepas

Mengurangi kejadian

kateter jika tidak diperlukan


Rubah posisi pasien setiap dua jam

ulkus karena tekanan


Mengurangi kejadian

Berikan nutrisi enteral dini (dalam waktu 24-48 jam pertama),

stres ulcer dan

berikan histamin-2 receptor blocker atau proton-pump

pendarahan lambung

inhibitors

Mengurangi kejadian

Mobilisasi dini

kelemahan terkait
ICU
3.11 Vaksin dan terapi spesifik MERS-CoV
Saat ini belum terdapat vaksin maupun terapi spesifik tersedia untuk MERSCoV. Beberapa literatur mencatat terdapat variasi terapi yang dapat menghambat
replikasi MERS-CoV pada kultur sel. Namun belum ada satu pun yang diteliti
secara in vivo dikarenakan kurangnya model hewan untuk penelitian. Salah satu
aspek yang dapat dikembangkan saat ini ialah menggunakan pengetahuan tentang
SARS-CoV dan membandingkannya dengan MERS-CoV. IFN sebelumnya
sudah digunakan pada banyak model untuk proteksi melawan penyakit yang
disebabkan oleh SARS-CoV. MERS-CoV juga ditemukan sensitif terhadap terapi
IFN pada penelitian in vitro. Ribavirin, yang dikenal sebagai inhibitor RNA
virus, juga telah didapatkan memiliki kemampuan untuk menghambat replikasi
MERS-CoV. Apabila digunakan bersama, kedua zat di atas dapat menghambat
MERS-CoV sampai dengan tingkat nonmolar. Inhibitor jalur MAPK, SB203580,

32

terbukti dapat menghambat replikasi MERS-CoV pada sel VerE6. Terapi dan
vaksin tambahan lainnya sekarang ini sedang dalam pengembangan.

3.12 Prognosis
Ad Vitam

: dubia ad malam

Berdasarkan laporan WHO, sampai dengan tanggal 11 Juni 2014 dari 699
kasus MERS-CoV yang teridentifikasi didapatkan sekurang-kurangnya 209
kematian ( 30%).
Ad Functionam

: dubia ad malam

Dari 402 kasus MERS-CoV yang dilaporkan Saudi Arabia kepada WHO,
periode 11 April-9 Juni 2014, setengahnya merupakan pasien yang
mengalami gejala penyakit berat, termasuk didalamnya 114 orang yang
akhirnya meninggal dunia.(10)
Ad Sanationam

: dubia ad bonam

Pada penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus, diharapkan pasien yang
telah sembuh memiliki kekebalan tubuh (antibodi) sehingga bisa terhindar
dari infeksi berulang oleh virus yang sama.

33

DAFTAR PUSTAKA
1. Centers for Disease Control and Prevention. Middle East Respiratory
Syndrome (MERS). 2014. Available at: http://www.cdc.gov/coronavirus/mers/.
Accessed: September 4, 2014.
2. WHO. Middle East respiratory syndrome-coronavirus (MERS-CoV)-Update.
2013. Available at: http://www.who.int/ith/updates/20130605/en/. Accessed:
September 4, 2014.
3. Public Healthy Agency of Canada. Public Health Notice: Middle East
Respiratory Syndrome Coronavirus (MERS-CoV). 2014. Available at:
http://www.phac-aspc.gc.ca/phn-asp/2013/ncoronavirus-eng.php.

Accessed:

September 4, 2014.
4. Ganong WF. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Ed. 22. Jakarta: EGC.
5. Syaifuddin. 2009. Fisiologi Tubuh Manusia Untuk Mahasiswa Keperawatan
Ed. 2. Jakarta: Salemba Medika.
6. Coleman CM, Frieman MB (2013) Emergence of the Middle East Respiratory
Syndrome

Coronavirus.

PLoS

Pathog

9(9):

e1003595.

doi:10.1371/journal.ppat.1003595.
7. Centers for Disease Control and Prevention. Middle East Respiratory
Syndrome (MERS)-symptoms and complications. 2014. Available at:
http://www.cdc.gov/coronavirus/MERS/about/symptoms.html.
September 4, 2014.

Accessed:

34

8. Depkes RI. Pedoman umum kesiapsiagaan menghadapi middle east respiratory


syndrome-coronavirus.

2013.

Available

at:

http://www.depkes.go.id/resources/download/puskes-haji/1-pedoman-umumkesiapsiagaan-menghadapi-mers-cov.pdf. Accessed: September 5, 2014.


9. Depkes RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi saluran napas akut berat suspek
MERS-CoV.

2013.

Available

at:

http://www.depkes.go.id/resources/download/puskes-haji/4-pedomantatalaksana-klinis-ispa-berat-suspek-mers-cov.pdf. Accessed: September 5,


2014.
10. WHO. Middle east respiratory syndrome coronavirus (MERS-CoV) summary
and

literature

update-as

of

11

June

2014.

2014.

http://www.who.int/csr/disease/coronavirus_infections/MERSCoV_summary_update_
20140611.pdf?ua=1. Accessed: September 5, 2014.

Available

at:

Anda mungkin juga menyukai