DIKLAT MANAJEMEN
EKSTENSIFIKASI
JAKARTA, 2012
L.Y. HARI SIH ADVIANTO
WIDYAISWARA PUSDIKLAT
PAJAK
DURASI :
JAMLAT
Materi diskusi :
Subjek pajak
Objek Pajak
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak
Pelunasan PPh dalam Tahun Berjalan oleh WP
Sendiri
Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun
Berjalan melalui Pihak Lain
Pembukuan Terpisah Dan Perubahan Tahun
Buku
DASAR HUKUM
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan stbdtd UU Nomor 7 Tahun 1991 , UU
Nomor 10 Tahun 1994 UU Nomor 17 Tahun 2000 UU
No. 36 tahun 2008
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 94 TAHUN 2010
TENTANG
PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN
PELUNASAN
PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN
PER-43/PJ/2011 TENTANG PENENTUAN SUBJEK PAJAK
DALAM NEGERI DAN SUBJEK PAJAK LUAR NEGERI
SUBJEK PAJAK
Subjek ?
Subjek pajak ?
OP
Warisan belum terbagi
SUBJEK
PAJAK
Badan
BUT
OP
Warisan belum
terbagi
Badan
BUT
OP DN dan LN
warisan dapat di DN dan LN
Warisan : Menggunakan NPWP
alm. Dilaksanakan
ahliwaris/png jwb
S
U
B
J
E
K
P
A
J
A
K
DN
LN
Orang pribadi :
bertempat tinggal / berada di
indonesia > 183 hr dlm 12 bulan;
atau
- Dalam suatu tahun pajak berada di
indonesia dan mempunyai niat
bertempat tinggal di indonesia
Badan Yang didirikan atau bertempat
kedudukan di indonesia
Warisan yang belum terbagi sbg
satu kesatuan menggantikan yg
berhak
M
U
L
A
I
&
A
K
H
I
R
DN
Bdn Mulai
: Saat didirikan/berkedudukan di
indonesia
Berakhir : Saat dibubarkan atau tidak lagi
berkedudukan di Indonesia
LN
Op atau badan
dimulai :
mempunyai hubungan ekonomis
dengan Indonesia,
Akhir
: tidak lagi mempunyai hubungan
ekonomis dengan Indonesia
MULAI :
SAAT TIMBULNYA WARISAN
BERAKHIR :
SAAT WARISAN SELESAI DIBAGIKAN
internasional
yg
ditetapkan
9
dgn
OP SP DN menjadi WP DN
menerima / memperoleh penghasilan
dari Indonesia maupun dari luar Indonesia
melebihi PTKP
Badan SP DN menjadi WP DN , sejak saat didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia dan menerima penghasilan baik yang diterima atau
diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia.
SPLN :
OP tidak bertempat tinggal di Indonesia
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam 12 bulan,
badan : tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia:
Tempat tinggal :
Berdasarkan keadaan
sebenarnya
Jangka waktu 183 hari ditentukan dengan menghitung lamanya Subjek Pajak
orang pribadi berada di Indonesia, yang keberadaannya di Indonesia dapat
secara terus menerus atau terputus-putus, dan bagian dari hari dihitung penuh
1 (satu) hari.
Subjek Pajak orang pribadi dianggap mempunyai niat untuk bertempat tinggal di
Indonesia dalam hal:
a. Subjek Pajak orang pribadi menunjukkan niatnya secara tegas untuk
bertempat tinggal di Indonesia, yang dapat dibuktikan dengan dokumen
berupa:
1) Visa bekerja, atau
2) Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS),
lebih dari 183 hari hari atau kontrak/perjanjian untuk melakukan pekerjaan,
usaha, atau kegiatan yang dilakukan di Indonesia selama lebih 183 hari.
b. Subjek Pajak orang pribadi melakukan tindakan yang menunjukkan bahwa
dirinya akan bertempat tinggal di Indonesia atau bersiap untuk bertempat
tinggal di Indonesia, seperti menyewa atau mengontrak tempat, termasuk
menyewa tempat tinggal di Indonesia, memindahkan anggota keluarga atau
memperolbjek eh tempat yang disediakan oleh pihak lain.
OP yang merupakan WNI yang bekerja di luar negeri lebih dari 183 hari
dalam jangka waktu 12 bulan merupakan subjek pajak luar negeri.
Tetap merupakan SPDN apabila tidak memiliki atau tidak dapat
menunjukkan salah satu dokumen tanda pengenal resmi yang masih berlaku
sebagai penduduk di luar negeri
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi sehubungan
dengan pekerjaannya di luar Indonesia dan penghasilannya bersumber dari
luar Indonesia, tidak dikenai Pajak Penghasilan di Indonesia.
Dalam hal menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari
Indonesia, penghasilan tersebut dikenai PPh sesuai ketentuan yang berlaku.
Subjek pajak OPDN yang meninggalkan Indonesia untuk selamalamanya dan OP WNI menjadi subjek pajak luar negeri sejak
meninggalkan Indonesia.
Tetap diwajibkan menyampaikan SPT Tahunan PPh untuk
melaporkan dan mempertanggungjawabkan jumlah pajak yang
sebenarnya terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
dalam Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak terakhir dalam
statusnya sebagai SPDN
SP OP DN yang meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya
harus menyampaikan SPT Tahunan PPh paling lambat saat
meninggalkan Indonesia.
Saat berakhir dan saat dimulainya kewajiban pajak subjektif bagi subjek pajak
dalam negeri dan subjek pajak luar negeri diterapkan kepada Subjek Pajak
setelah status Subjek Pajak orang pribadi atau badan ditentukan
Dalam hal orang pribadi atau badan merupakan subjek pajak dalam negeri
dari negara mitra/jurisdiksi mitra P3B dan subjek pajak dalam negeri, status
subjek pajak orang pribadi atau badan dimaksud ditentukan berdasarkan
ketentuan dalam P3B yang terkait.
PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 94 TAHUN 2010
TENTANG
PENGHITUNGAN PENGHASILAN
KENA PAJAK DAN PELUNASAN
PAJAK PENGHASILAN DALAM
TAHUN BERJALAN
OBJEK PAJAK
PP 94 / 2010
Pasal 2
Objek pajak berupa dividen tidak termasuk pemberian saham bonus
yang dilakukan tanpa penyetoran yang berasal dari:
a. kapitalisasi agio saham kepada pemegang saham yang telah
menyetor modal atau membeli saham di atas harga nominal,
sepanjang jumlah nilai nominal saham yang dimilikinya setelah
pembagian saham bonus tidak melebihi jumlah setoran modal;
(Pasal 4 ayat (1) huruf g UU PPh )
Contoh
Kasus
kembali,
Pasal 4
(1) Agio saham tidak termasuk objek pajak.
(2) Disagio saham bukan merupakan pengurang ph bruto.
Rp. 500.000.000,-
Pasal 8
Hubungan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan Psl 4 ayat (3)
Bantuan atau sumbangan bagi pihak yang menerima bukan
merupakan objek pajak sepanjang diterima tidak dalam
rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan
kepemilikan, atau hubungan penguasaan di antara pihakpihak yang bersangkutan
Tn B
Tn A
DIR
Tn C
PT.
X
kom
BAB III
PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK
Pasal 11
(1) Biaya pengembangan tanaman industri yang berumur > 1 tahun
dan hanya 1 kali memberikan hasil, dikapitalisasi selama periode
pengembangan dan merupakan bagian dari harga pokok
penjualan pada saat hasil tanaman industri dijual.
(2) Biaya pemeliharaan ternak yang berumur > 1 tahun dan hanya 1
kali
memberikan
hasil,
dikapitalisasi
selama
periode
pemeliharaan dan merupakan bagian dari HPP pada saat ternak
dijual.
biaya pengembangan" = seluruh pengeluaran yang terkait dengan tanaman
industri termasuk pembelian bibit, pemeliharaan, dan pembesaran tanaman
sampai dijual.
"biaya pemeliharaan" adalah seluruh pengeluaran yang terkait dengan ternak
termasuk pembelian bibit, pemeliharaan, dan pembesaran ternak sampai dijual.
Pasal 12
1. Pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham :
a. berasal dari dana milik pemegang saham sendiri
b. Modal pemberi pinjaman telah disetor seluruhnya;
c. pemberi pinjaman tidak dalam keadaan merugi;&
d. PT sedang mengalami kesulitan keuangan .
2. Apabila tidak memenuhi ketentuan di atas terutang bunga dengan
tingkat suku bunga wajar.
Pasal 13
Termasuk non deductible:
a. biaya untuk 3 M penghasilan yang:
1. bukan merupakan objek pajak;
2. pengenaan pajaknya bersifat final; dan/atau
3. dikenakan pajak Norma Pasal 14 dan Pasal 15 UU PPh
b. Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan.
475/KMK.04/1996 NORMA PENGHITUNGAN KHUSUS WAJIB PAJAK
PERUSAHAAN PENERBANGAN DALAM NEGERI
634/KMK.04/1994 WAJIB PAJAK LUAR NEGERI YANG MEMPUNYAI
KANTOR PERWAKILAN DAGANG DI INDONESIA jo KEP 667/PJ./2001 (1% nilai ekspor bruto. pph 0,44% dari nilai ekspor
bruto dan bersifat final.)
628/KMK.04/1991 WAJIB PAJAK BADAN YANG MELAKUKAN
KEGIATAN USAHA DI BIDANG PENGEBORAN MINYAK DAN GAS BUMI
543/KMK.03/2002 WAJIB PAJAK USAHA JASA MAKLON (CONTRCT
MANUFACTURING) INTERNASIONAL DI BIDANG PRODUKSI MAINAN
ANAK-ANAK
BAB IV
PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN
OLEH WAJIB PAJAK SENDIRI
Pasal 14
OP DN yang menerima penghasilan di atas PTKP dari badan-badan
yang tidak wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 21 , wajib:
a. memiliki NPWP;
b. melaksanakan sendiri PPh terutang dalam tahun berjalan; dan
c. melaporkan penghitungan dan pembayaran PPh tahun berjalan
dalam SPT Tahunan.
Kantor perwakilan negara asing dan organisasi internasional
tertentu
SPT 1770 S DARI SATU ATAU LEBIH PEMBERI KERJA
18. ANGSURAN PPh PASAL 25 TAHUN PAJAK BERIKUTNYA SEBESAR ..
1/12 X Pajak yang harus dibayar sendiri
BAB V
PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN
BERJALAN MELALUI PIHAK LAIN
Pasal 15
(1) Pemotongan PPh oleh Pasal 21 ayat (1) Penghasilan dilakukan
pada akhir bulan:
a. terjadinya pembayaran; atau
b. terutangnya penghasilan
tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
(2) Pemungutan PPh Pasal 22 ayat (1), dilakukan pada saat:
a. pembayaran; atau
b. tertentu lainnya yang diatur oleh Menteri Keuangan.
(3) Pemotongan PPh Pasal 23 ayat (1) dan (3), dilakukan pada akhir
bulan:
a. dibayarkannya penghasilan;
b. disediakan untuk dibayarkannya penghasilan; atau
c. jatuh temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan,
tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
Saat terutangnya PPh Pasal 23
saat pembayaran, saat disediakan untuk dibayarkan : dividen
jatuh tempo : bunga dan sewa
saat yang ditentukan dalam kontrak : royalti, imbalan jasa teknik atau jasa
manajemen atau jasa lainnya
Yang dimaksud dengan "saat disediakan untuk dibayarkan":
a. perusahaan yang tidak go public : saat dibukukan sebagai utang dividen,
yaitu pada saat pembagian dividen diumumkan / ditentukan dalam
RUPSTahunan. Dividen sementara (dividen interim), maka PPh Pasal 23
terutang pada saat diumumkan atau ditentukan dalam Rapat Direksi atau
pemegang saham.
Pasal 16
Dalam hal pemotongan PPh Pasal 23 atau Pasal 26 dilakukan pada
tahun pajak yang berbeda dengan tahun pajak pengakuan penghasilan,
maka atas PPh yang telah dipotong tersebut dapat dikreditkan pada
tahun pajak dilakukan pemotongan.
Contoh:
Oktober 2009 PT A memberikan pinjaman PT B; Rp1.000.000.000,00 tingkat
bunga sebesar 10% per tahun.
Jatuh tempo pembayaran bunga setiap tanggal 1 April dan 1 Oktober.
1 April 2010, PT B membayar bunga Rp 50.000.000,00 kepada PT A.
Atas bunga ini, PT A telah mengakui sebagai penghasilan di tahun 2009
sebesar Rp25.000.000,00 (bunga selama Oktober s.d Desember 2009).
PT B melakukan pemotongan PPh Pasal 23 pada saat jatuh tempo
pembayaran pada tanggal l April 2010 sebesar Rp7.500.000,00 (15% x
Rp50.000.000,00)
kepada PT A diberikan bukti pemotongannya.
Atas pemotongan PPh Pasal 23 tersebut, dapat dikreditkan oleh PT A pada
tahun 2010.
Pasal 17
Dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak, dapat ditetapkan saat
pengakuan penghasilan dan biaya dalam hal-hal tertentu sesuai
dengan kebijakan Pemerintah.
Pada dasarnya saat pengakuan biaya dan penghasilan matching of costs
againts revenues.
Namun, dalam hal-hal tertentu karena kebijakan Pemerintah, antara lain:
a. saat pengakuan penghasilan bank berupa bunga kredit non performing
loan dalam rangka menunjang percepatan proses restrukturisasi
perbankan sesuai dengan kebijakan Pemerintah; atau
b. saat pengakuan penghasilan dan biaya bagi Wajib Pajak karena
adanya perubahan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan.
Pasal 18
(1) PPh atas pembayaran royalti yang dilakukan dengan cara bagi
hasil dipotong oleh pihak yang wajib membayarkan.
(2) Ketentuan mengenai dasar pemotongan PPh atas pembayaran
royalti diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 19
Dalam hal penghasilan tidak dikenai PPh yang bersifat final dengan
PP tersendiri, atas penghasilan tersebut dikenai PPh berdasarkan
tarif Pasal 17
Pasal 20
PPh yang dipotong atau dipungut berdasarkan tarif pemotongan
atau pemungutan cfm Pasal 21 ayat (5a), Pasal 22 ayat (3), dan
Pasal 23 ayat (1a) dapat dikreditkan terhadap PPh yang terutang
untuk tahun pajak yang bersangkutan setelah Wajib Pajak tersebut
memiliki NPWP.
Pasal 21
(1) WP yang dalam tahun pajak berjalan dapat membuktikan tidak
akan terutang PPh karena:
a. mengalami kerugian fiskal;
b. berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal; atau
c. PPh yang telah dibayar > dari PPh yang akan terutang,
dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan
dan/atau pemungutan PPh oleh pihak lain kepada Direktur
Jenderal Pajak.
(2) WP yang atas penghasilannya hanya dikenakan pajak bersifat
final, dapat mengajukan permohonan pembebasan dari
pemotongan dan/atau pemungutan PPh yang dapat dikreditkan
kepada Direktur Jenderal Pajak.
(3) Ketentuan lebih lanjut diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak. PER - 1/PJ/2011
Pasal 22
Dalam menghitung PPh Pasal 26 ayat (4), terhadap BUT yang
terutang PPh pada suatu tahun pajak, kerugian fiskal tidak dapat
dikompensasikan lagi dengan Ph KP setelah dikurangi dengan PPh
Penghasilan neto komersial BUT tahun 2009: Rp 16.000.000.000,00
penyesuaian fiskal positif
Rp 1.500.000.000,00.
kerugian tahun yg dapat dikompensasikan
Rp 7.500.000.000,00.
-----------------------------------------------------------------------------------------------Uraian
PPh Pasal 17
PPh Pasal 26 (4)
-----------------------------------------------------------------------------------------------Penghasilan Neto Komersial
16.000.000.000,00
Penyesuaian Fiskal Positif
1.500.000.000,00
Penghasilan Neto Fiskal
17.500.000.000,00
Kompensasi Kerugian
7.500.000.000,00
Penghasilan Kena Pajak
10.000.000.000,00
PPh Badan Terutang 28%
2.800.000.000,00
PKP setelah dikurangi pajak
7.200.000.000,00
PPh Pasal 26 (4) = 20%
1.440.000.000,00
------------------------------------------------------------------------------------------------Dalam menghitung PPh Pasal 26 ayat (4), kompensasi kerugian sebesar
Rp7.500.000.000,00 tersebut tidak boleh diperhitungkan sebagai pengurang
Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi pajak (Rp7.200.000.000,00).
. Pasal 23
(1)
BAB VI
PENERAPAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
MENGENAI PERSETUJUAN PENGHINDARAN
PAJAK BERGANDA DAN PERTUKARAN
INFORMASI
Pasal 24
(1) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda hanya berlaku bagi
orang pribadi atau badan yang merupakan Subjek Pajak:
a. dalam negeri dari Indonesia; dan/atau
b. dari negara mitra persetujuan penghindaran pajak berganda,
yang dibuktikan dengan Surat Keterangan Domisili.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerapan Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda diatur dengan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak.
NOMOR PER - 35/PJ/2010
Pasal 25
(1) Direktur Jenderal Pajak dapat melaksanakan kesepakatan
dengan negara mitra dalam rangka pertukaran informasi,
prosedur persetujuan bersama, dan bantuan penagihan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian pertukaran
informasi, pelaksanaan prosedur persetujuan bersama,
dan pelaksanaan bantuan penagihan diatur dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 26
(1) Dalam hal terdapat ketentuan perpajakan yang diatur dalam
perjanjian internasional yang berbeda dengan ketentuan
perpajakan yang diatur dalam UU PPh , perlakuan
perpajakannya didasarkan pada ketentuan dalam perjanjian
tersebut sampai dengan berakhirnya perjanjian dimaksud,
dengan syarat perjanjian tersebut telah sesuai dengan
Undang-Undang tentang Perjanjian Internasional.
(2) Pelaksanaan perlakuan perpajakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat persetujuan Menteri
Keuangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan perlakuan
perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat
2) diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan.
BAB VII
PEMBUKUAN TERPISAH DAN PERUBAHAN TAHUN BUKU
Pasal 27
(1) WP harus menyelenggarakan pembukuan secara terpisah dalam hal:
a. memiliki usaha yang penghasilannya dikenai Pajak Penghasilan
yang bersifat final dan tidak final;
b. menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek
pajak dan bukan objek pajak; atau
c. mendapatkan dan tidak mendapatkan fasilitas perpajakan
sebagaimana diatur dalam Pasal 31A UU PPh
(2) Biaya bersama bagi Wajib Pajak yang tidak dapat dipisahkan dalam
rangka penghitungan besarnya Penghasilan Kena Pajak,
pembebanannya dialokasikan secara proporsional.
Pasal 28
(1) Wajib Pajak yang melakukan perubahan tahun buku dan telah
mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (6) UUKUP, harus melaporkan
penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam bagian tahun
buku yang tidak termasuk dalam tahun buku yang baru dalam
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tersendiri untuk
Bagian Tahun Pajak yang bersangkutan.
(2)
Tahun Pajak III : Bagian Tahun Pajak 2009 (Oktober s.d. des)
BAB VIII
FASILITAS PEMBEBASAN ATAU PENGURANGAN PAJAK
PENGHASILAN BADAN DALAM RANGKA PENANAMAN MODAL
Pasal 29
(1) Kepada WP yang melakukan penanaman modal baru industri
pionir, yang tidak mendapatkan fasilitas Pasal 31A UU PPh dapat
diberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak
Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
(5) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal.
(2) Industri pionir adalah industri yang memiliki keterkaitan yang luas,
memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi,
memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis
bagi perekonomian nasional.
Pasal 30
Ketentuan mengenai pemberian fasilitas pembebasan atau
pengurangan PPh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.