Abstrak
Makalah ini mnyoroti keberadaan bahasa ibu di Indonesia, terutama bahasa ibu bahasa lokal.
Keterebatasan ranah pakai dan kedangkalan persepsi mengenai peran bahasa ibu dalam situasi
keanekabahasaan merupakan tantang berat bagi bahasa ibu bahasa lokal. Tantangan yang nyata
menguat di kalangan generasi muda perlu diempang untuk dapat mengembalikan peran bahasa
ibu dalam keranka piker yang lebih filosofis, dan bukan praktis-pragmatis.Sehubungan dengan
itu pula, perlu diidentifikasi harapan, dalam hal ini faktor pendukung bagi berperannya bahasa
ibu secara proporsional, di antaranya sebagai salah satu jatidiri pemakainya.
Faktor tantangan bagi bahasa ibu dimaksud, antara lain: kenakebahasaan, politik bahasa,
fungsi dan factor pendidikan. Sebaliknya, masih ada harapan bagi kehidupan bahasa ibu dilihat
dari sisi kesadaran nilai, kesadaran akan ranag penggunaan, dan pemaknaan terhadap peran ibu.
1. PENDAHULUAN
Isu keilmuan dalam bidang sosio-antropologi yang tidak pernah termakan zaman ialah
hal nilai dan hal jatidiri. Kedua hal ini saling berkaitan di dalam membangun keutuhan
kepribadian (personality).Nilai dan jatidiri berada secara takterpisahkan di dalam
merefleksikan tingkat peradaban suatu komunitas, baik etnik maupun bangsa.
Peradaban manusia terus berkembang, nilai dan jatidiri sering merosot sampai ke
titik nol yang menjadikan manusia berada dalam situasi anomi dan kehilangan jatidiri.
Nilai, yang karena memiliki ukuran relatif dan arbitrer, sering menjadi alasan untuk
dikesampingkan. Untuk memperkuat dalil pengabaian nilai itu,orang sering keluar dari
jatidirinya. Tidaklah mengherankan jika sepanjang sejarah umat manusia selalu saja ada
krisis nilai dan krisis jatidiri, yang secara takterpisahkan melahirkan krisis kepribadian.
Studi bahasa menempati konteks strategis di dalam membangun nilai dan jatidiri.
Pandangan dunia (world view), baik secara mikro maupun makro terlahir dan
diaplikasikan melalui bahasa. Pandangan dunia individu sebagai lokus utama jatidiri
terbentuk dengan dan dalam bahasa ibu. Pernyataan ini secara substansial telah ada sejak
idiom bahasa ibu dimunculkan. Meskipun tidak disebutkan secara pasti, kapan lahirnya
idiom bahasa ibu, namun dari sisi etimologis, dapat dipastikan bahwa konsep ini muncul
ketika masih berlakuknya bahasa Inggris Kuno.
Jika kini bahasa ibu menjadi topik menarik, sekaligus sebagai isu dengan muatan
fenomena yang mengkhawatirkan, hal itu merupakan kenisacayaan. Berbagai ungkapan
yang berpewatas ibu, seperti kasih ibu, telapak kaki ibu, doa ibu, restu ibu, merupakan
ungkapan yang berdaya magis, setidak-tidaknya mengandung kekuatan bagi anakanaknya di dalam menapki hidup.
Pertanyaan yang segera muncul berdasarkan analogi terhadap ungkapanungkapan di atas, yakni: Apakah bahasa ibu juga berdaya magis dan mengandung
kekuatan? Sidang seminar ini sepakat atau tidak, yang pasti bahwa bahasa ibu tidak
boleh disepelekan karena alasan teknologi, modernisasi, ataupun globalisasi, Bahasa ibu
ibarat nama yang kita terima dari pemberian orang tua, yang ketika kita memperoleh
tambahan berupa gelar, gelar tersebut tidak dapat menggantikan nama. Nama
mengandung nilai pewarisan dan nilai jatidiri yang sangat fundamental.
Beranalogi pada nama, bahasa ibu juga merupakan pewarisan yang bersifat
fundamental. Bahasa kedua dan repertoar kebahasaan lainnya merupakan label-label baru
yang berperan sebagai pelengkap di dalam membangun keadaban. Bahasa kedua sebagai
label baru dimaksud tidak sepatutnya menggusur bahasa ibu.
Idealisme terhadap bahasa ibu ternyata tidak sebangun dengan realitas yang
dihadapi. Dengan berbagai alasan, bahasa ibu cenderung tersisih, asing di rumah sendiri,
diingkari di luar rumah, dan akhirnya terhenti pewarisannya. Inilah yang dimaksudkan
sebagai tantangan terhadap bahasa ibu, yang patut didiskusikan di dalam seminar ini.
Tatangan bagi bahasa ibu dari berbagai perspektif bukan topik baru. Topik ini
terus
didiskusikan,
bahkan
diperdebatkan
untuk
menemukan
cara-cara
untuk
Politik bahasa (kebijakan bahasa) di Indonesia tidak hanya berorientasi pada kodifikasi
sistem kebahasaan dan penataan sistem pemakainnya, melainkan termasuk pula cara-cara
memelihara dan mempertahankan bahasa-bahasa kecil yang rawan punah. Bahasa ibu bahasa
lokal, bahasa ibu bahasa Indonesia, dan bahasa ibu bahasa asing memiliki daya hidup yang
berbeda sebagai konsekuensi dari rumusan kebijakan bahasa.
Luas wilayah pakai, kesanggupan suatu bahasa untuk menjadi sarana komunikasi
perhubungan luas, dan nilai ekonomi pemakaiannya merupakan tolok ukur gengsi bahasa.
Jika hal ini dikaitkan dengan bahasa ibu bahasa lokal, maka dapat diduga bagaimana kondisi
keterpurukan gengsi/ prestise bahasa ibu bahasa lokal.
3.3.
Fungsi bahasa adalah nilai pemakaian bahasa yang dirumuskan sebagai tugas pemakaian
bahasa itu di dalam kedudukan yang diberikan kepadanya. Fungsi yang dimaksudkan sebagai
nilai pemakaian semestinya bergantung pada persepsi pengguna.
Fungsi dasar bahasa ibu kiranya sudah sangat jelas dipahami. Akan tetapi jika fungsi itu
dikaitkan dengan kedudukannya, sebagaimana kedudukan bahasa di dalam politik bahasa
nasional, maka segera tampak keberpihakan yang tidak seimbang antara nilai pemakaian
bahasa ibu bahasa lokal, bahasa ibu bahasa nasional/ bahasa Negara, dan bahasa ibu bahasa
asing.
3.4.
Ada banyak fakta yang menunjukkan bahasa sebagian bahasa lokal, termasuk bahasa ibu
bahasa lokal mengalami pergeseran karena faktor pendidikan. Peningkatan keintelektualan
seseorang sering tidak sebangun dengan sikap positifnya terhadap bahasa ibu bahasa lokal,
meskipun diakui pula bahwa sebagian kelompok intelektual yang sungguh-sungguh
mempertahankan bahasa ibu sebagai jatidiri (setidak-tidaknya peserta seminar hari ini).
Di samping faktor mobilitas vertikal ini, terdapat anggapan bahwa anak perlu sedini
mungkin difasilitasi untuk menguasai bahasa-bahasa yang memiliki kemampuan mewahani
ipteks, ataupun bahasa yang memberikan jaminan dan kemudahan untuk memperoleh
pekerjaan dan dihargai tinggi. Kondisi ini berakibat pada para orangtua menempuh berbagai
cara agar anak-anaknya bisa berbahasa pertama bahasa Indonesia, bahkan bahasa Inggris.
Sering pula secara terstruktur persepsi itu merasuk para perancang kurikulum agar bahasa
Inggris menjadi mata pelajaran muatan lokal. Ironisnya, hal itu terjadi di kawasan yang
masyarakatnya sama sekali tidak membutuhkan bahasa Inggris sebagai sarana komunikasi
keseharian.
Dari banyak aspek, tampaknya bahasa ibu mendapatkan perhatian. Seminar semacam ini
merupakan bukti bahwa kita memperhatikan bahasa ibu. Namun, diskusi, debat, tawaran
solusi, termasuk keresahan-keresahan yang terungkap dalam seminar tidaklah cukup
membuat bahasa ibu terangkat jika tidak dibarengi dengan aksi nyata, baik dalam sikap
maupun tindakan.
Hal penting menyangkut sikap dan tindak untuk mengembalikan peran bahasa ibu,
terutama sebagai jatidiri ialah kesadaran akan ranah pakai. Dalam pemakaian bahasa dikenal
istilah ranah yang tipikal. Jika ranah tertentu tipikal terhadap penggunaan bahasa ibu,
mengapa diganti dengan penggunaan bahasa kedua?
Bahasa ibu mengemban fungsi-fungsi kemanusiaan (Romaine, 1995, dalam Mbete,
2007:1). Fungsi-fungsi kemanusiaan itu antara lain kesadaran akan nilai. Berbagai nilai hidup
diperoleh, dipahami, dan dikembangkan dalam bahasa ibu. Jika demikian, pengabaian
terhadap bahasa ibu diduga berdampak pada hilangnya kemampuan memaknai nilai oleh
penuturnya.
Salah satu nilai yang penting yang mencirikan kemanusiaan seseorang ialah kesadaran
kasih akan makna ibu. Sehubungan dengan itu, bahasa ibu menyiratkan makna kasih sayang.
Mestinya bahasa ibu mampu menjadi wahana kasih sayang, bukan sebalinya melahirkan
generasi pendurhaka. Masih adakah kesejajaran pikir, tutur dan tindak antara menyayangi ibu
dan menyayangi bahasa ibu? Jawabannya, kembali ke nurani masing-masing.
5. PENUTUP
Seminar Nasional Bahasa Ibu yang diselenggarakan oleh Program Studi Magister dan
Program Studi Doktor Linguistik ini sudah empat kali. Frekuensi seminar bukanlah menjadi
ukuran untuk kita semua menoleh pada nasib hidup bahasa ibu. Kualitas upaya kita, tidak
karena kepakaran kita, tetapi terutama karena gerakan nurani kita, menjadi secuil harapan
untuk menjadikan bahasa ibu sebagai jatidiri, setidak-tidaknya membuat kita belajar untuk
menjadi diri kita sendiri.
Kita tentu berharap agar seminar ini menjadi corong menempatkan bahasa ibu secara
proporsional dalam khasanah kebahasaan kita. Surga di bawah telapak kaki ibu, Nilai dan
keadaban ada di bawah bahasa ibu.
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, Chaedar. 1993. Sosiologi Bahasa. Bandung: Penerbit Angkasa.
Fill, Alwin and Muhlhausler (eds). The Ecolinguistics Reader, Language, Ecology and
Environment.
Fishman, Joshua A. 1972. Readings in the Sociology of Language. The Haque: Mouton &
co.N.V. Publishers.