Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

Aspek-Aspek Sosial Budaya yang Berkaitan dengan


Praktek Perkawinan, Kehamilan, Persalinan, Nifas,
dan BBL
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
D
I
S
U
S
U
N
O
L
E
H

NAMA
: YOSMA. SAIMIMA
KELAS
: 1C
JURUSAN : KEBIDANAN

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aspek sosial dan budaya sangat mempengaruhi pola kehidupan manusia. Di era globalisasi
sekarang ini dengan berbagai perubahan yang begitu ekstrem menuntut semua manusia harus
memperhatikan aspek sosial budaya. Salah satu masalah yang kini banyak merebak di kalangan
masyarakat adalah kematian ataupun kesakitan pada ibu dan anak yang sesungguhnya tidak
terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan di dalam masyarakat dimana mereka
berada.
Disadari atau tidak, faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti konsepsikonsepsi mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab- akibat antara makanan dan kondisi
sehat-sakit, kebiasaan dan ketidaktahuan, seringkali membawa dampak baik positif maupun
negatif terhadap kesehatan ibu dan anak.
Menjadi seorang bidan bukanlah hal yang mudah. Seorang bidan harus siap fisik maupun
mental, karena tugas seorang bidan sangatlah berat. Bidan yang siap mengabdi di kawasan
pedesaan mempunyai tantangan yang besar dalam mengubah pola kehidupan masyarakat yang
mempunyai dampak negatif tehadap kesehatan masyarakat. Tidak mudah mengubah pola pikir
ataupun sosial budaya masyarakat. Apa lagi masalah proses persalinan yang umum masih banyak
menggunakan dukun beranak.
Ditambah lagi tantangan konkret yang dihadapi bidan di pedesaan adalah kemiskinan,
pendidikan rendah, dan budaya. Karena itu, kemampuan mengenali masalah dan mencari solusi
bersama masyarakat menjadi kemampuan dasar yang harus dimiliki bidan.
Untuk itu seorang bidan agar dapat melakukan pendekatan terhadap masyarakat perlu
mempelajari sosial-budaya masyarakat tersebut, yang meliputi tingkat pengetahuan penduduk,
struktur pemerintahan, adat istiadat dan kebiasaan sehari-hari, pandangan norma dan nilai,
agama, bahasa, kesenian, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan wilayah tersebut.

B. Rumusan Masalah
1.

Bagaimana pengaruh aspek sosial budaya pada pelayanan kebidanan?

C. Tujuan
1.

Untuk mengetahui pengaruh aspek sosial budaya pada pelayanan kebidanan.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Aspek Sosial Budaya Perkawinan


Perkawinan merupakan wujud menyatukan dua sijoli ke dalam satu tujuan yang sama. Salah
satu tujuan perkawinan adalah mencapai kebahagiaan yang langgeng bersama pasangan hidup.
Namun, jalan menuju kebahagiaan tak selamanya mulus. Banyak hambatan, tantangan, dan
persoalan yang terkadang menggagalkan jalannya rumah tangga. Perbedaan latar sosial, budaya,
ataupun faktor lainnya merupakan penyebab munculnya hambatan dan konflik dalam proses
komunikasi dalam membina hubungan perkawinan, sebab karakter tiap individu berbeda-beda
antara satu dengan yang lainnya sehingga hal itu dapat berpengaruh pada cara pandangnya.
Dalam aspek sosial budaya perkawinan, ada faktor pendukung dan penghambat.
Faktor pendukung keberhasilan penyesuaian perkawinan mayoritas subjek terletak dalam hal
saling memberi dan menerima cinta, ekspresi afeksi, saling menghormati dan menghargai, saling
terbuka antara suami dan istri. Hal tersebut tercermin pada bagaimana pasangan suami-istri
menjaga kualitas hubungan antar pribadi dan pola-pola perilaku yang dimainkan oleh suami
maupun istri, serta kemampuan menghadapi dan menyikapi perbedaan yang muncul, sehingga
kebahagiaan dalam hidup berumah tangga akan tercapai.
Faktor penghambat yang mempersulit penyesuaian perkawinan mayoritas subjek terletak dalam
hal baik suami maupun istri tidak dapat menerima perubahan sifat dan kebiasaan di awal
perkawinan, suami maupun istri tidak berinisiatif menyelesaikan masalah, perbedaan budaya dan
agama di antara suami dan istri, suami maupun istri tidak tau peran dan tugasnya dalam rumah
tangga. Hal tersebut tercermin pada bagaimana pasangan suami istri menyikapi perubahan,
perbedaan, pola penyesuaian yang dimainkan dan munculnya hal-hal baru dalam perkawinan,
yang kesemuanya itu dirasa kurang membawa kebahagiaan hidup berumah tangga, sehingga
masing-masing pasangan gagal dalam menyesuaikan diri satu sama lain.

B. Aspek Sosial Budaya Kehamilan


Selain menimbulkan kebahagiaan bagi wanita dan pasangannya, kehamilan juga dapat
menimbulkan kekhawatiran pada wanita pada trimester 1, 2 dan 3. Dengan menerapkan
manajemen asuhan kebidanan diharapkan bidan memperhatikan kebutuhan dasar manusia dalam
aspek bio-psiko-sosial-budaya dan spiritual. Tingkat kebutuhan tiap individu berbeda-beda.
Masa kehamilan dan persalinan pada manusia dideskripsikan oleh Bronislaw Malinawski (1927)
sebagai fokus perhatian yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Ibu hamil dan yang
akan bersalin dilindungi secara adat, religi dan moral atau kesusilaan berdasarkan tujuan untuk
menciptakan keseimbangan fisik antara ibu dan bayi, serta terutama untuk mencapai

kesejahteraan dan kebahagiaan. Kondisi tersebut dihadapkan pada kenyataan adanya trauma
persalinan dalam masyarakat, yang mengakibatkan ansietas pada ibu hamil (Malinowski, 1927)
Pada dasarnya, masyarakat mengkhawatirkan masa kehamilan dan persalinan karena
menganggap masa tersebut kritis karena dapat membahayakan bagi janin dan atau ibunya.
Tingkat kekritisan ini dapat dipandang berbeda oleh setiap individu, dan direspon oleh
masyarakat dengan berbagai strategi atau sikap, seperti upacara kehamilan, anjuran dan larangan
secara tradisional. Di samping itu, masyarakat secara umum berperilaku mementingkan
memelihara kesehatan kehamilan, sesuai pengetahuan kesehatan modern dan tradisional.
Strategi-strategi tersebut dilakukan warga masyarakat agar dapat dicapai kondisi kehamilan dan
persalinan ideal tanpa gangguan (Danandjaja,1980; Swasono, 1998)
Terlepas dari sudut pandang masyarakat tentang masa kehamilan dan persalinan yang kritis,
terdapat berbagai pandangan budaya (tuntutan budaya), serta faktor-faktor sosial lainnya dalam
kepentingan reproduksi. Hal tersebut meliputi:
1. Keinginan ideal perorangan untuk memiliki anak dengan jenis kelamin tertentu.
2. Mengatur waktu kelahiran.
3. Sikap menerima tidaknya kehamilan.
4. Kondisi hubungan suami istri.
5. Kondisi ketersediaan sumber social.
6. Pengalama perorangan mengatasi dan menghadapi komplikasi persalinan dan lain-lain.
Berbagai pandangan budaya dan faktor-faktor sosial tersebut dapat menjadi stressor yang
mendukung pandangan bahwa masa hamil dan bersalin dianggap kritis dan mengakibatkan
kekhawatiran bagi warga masyarakat. Pada masa kehamilan dan saat menjelang kelahiran, aspek
financial juga dapat menjadi masalah jika ibu hamil dan pasangannya belum bekerja, berhenti
bekerja, atau dengan penghasilan yang kurang. Ibu hamil mungkin tinggal di rumah kontrakan
yang tidak memenuhi syarat kesehatan dan dalam lingkungan kumuh sehingga membuat ibu
rentan terhadap kekurangan gizi pada masa kehamilan. Dalam setiap masyarakat ada mitos atau
kepercayaan tertentu yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial budaya dan adat istiadat
tertentu, seperti mitos mitoni :
1.
2.
3.

Tidak boleh makan makanan yang berbau amis.


Tidak boleh mempersiapkan keperluan untuk bayi sebelum lahir.
Ayah yang bekerja sebagai pencari nafkah berhak mendapat jumlah makanan yang lebih

4.

banyak dan bagian yang lebih baik dari pada anggota keluarganya yang lain.
Anak laki-laki diberi makan lebih dulu dari pada anak perempuan dan lain sebagainya.
Yang menentukan kuantitas, kualitas, dan jenis-jenis makanan yang seharusnya dan tidak

seharusnya dikonsumsi oleh anggota-anggota suatu rumah tangga, sesuai dengan kedudukan,

usia jenis kelamin, dan situasi-situasi tertentu. Walaupun pola makan ini sudah menjadi tradisi
atau kebiasaan, yang paling berperan mengatur menu setiap hari dan mendistribusikan makanan
kepada keluarga adalah ibu. Dengan kata lain, ibu mempunyai peran sebagai gate-keeper
keluarga.

C. Aspek Sosial Budaya Persalinan


Persalinan normal adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan plasenta) yang
telah cukup bulan atau dapat hidup di luar kandungan melalui jalan lahir secara spontan dengan
presentasi belakang kepala dan tanpa komplikasi. Persalinan/partus dibagi menjadi 4 kala, yaitu
kala I, II, III, dan IV.
1. Kala I
Periode persalinan ini dimulai dari pembukaan 1 cm sampai 10 cm (lengkap). Dalam kala ini
ada beberapa fase, yaitu :
a. Fase laten : pembukaan servik kurang dari 3 cm, servik membuka perlahan selama fase ini
dan biasanya berlangsung tidak lebih dari 8 jam
b. Fase aktif : kontraksi di atas 3 kali dalam 10 menit, lama kontraksi 40 detik atau lebih dan
mulas, pembukaan dari 4 cm sampai 10 cm (lengkap) dan terdapat penurunan bagian terbawah
janin.
2. Kala II
Periode ini dimulai dari ketika pembukaan lengkap sampai lahirnya seluruh tubuh janin.
Tanda dan gejala persalinan kala II meliputi :
a. Ibu ingin mengejan.
b. Perineum menonjol.
c. Vulva dan anus membuka.
d. Meningkatnya pengeluaran darah dan lender.
e. Kepala telah turun didasar panggul.
Diagnosis pasti persalinan kala II adalah bila saat dilakukan pemeriksaan dalam didapatkan
pembukaan serviks lengkap dan kepala bayi terlihat pada introitus vagina.
3.

Kala III
Periode ini dimulai sejak bayi lahir sampai plasenta lahir. Normalnya pelepasan plasenta

berkisar 15-30 menit setelah bayi lahir. Pada persalinan kala III miometerium akan berkontraksi
mengikuti berkurangnya ukuran rongga uterus ini menyebabkan pula berkurangnya ukuran
tempat pelekatan plasenta. Karena tempat pelekatan menjadi kecil, sedangkan ukuran plasenta
tidak berubah, plasenta akan terlepas dari dinding uteri. Setelah lepas, plasenta akan turun ke
segmen bawah rahim.
Tanda-tanda pelepasan plasenta meliputi:
a. Bentuk uterus globuler.

b.
c.

Tali pusat bertambah panjang (tanda afeld).


Semburan darah tiba-tiba.

Cara pelepasan plasenta ada dua, yaitu:


a.

Cara Schultze
Pelepasan dimulai pada bagian tengah plasenta dan terjadi hematoma retroplasentae
yang selanjutnya mengangkat plasenta dari dasarnya. Plasenta dengan hematoma di
atasnya sekarang jatuh ke bawah dan menarik lepas selaput janin. Bagian plasenta yang
tampak pada vulva adalah permukaan fetal, sedangkan hematoma sekarang berada dalam
kantong yang berputar balik. Pada pelepasan secara Schultze tidak ada pendarahan
sebelum plasenta lahir atau sekurang-kurangnya terlepas seluruhnya. Baru seluruh
b.

plasenta lahir darah banyak mengalir.


Cara Ducan
Pelepasan dimulai dari tepi plasenta. Darah mengalir antara selaput janin dan dinding
rahim, jadi pendarahan sudah ada sejak sebagian dari plasenta lepas dan terus
berlangsung sampai plasenta lepas secara keseluruhan. Pelepasan secara Ducan sering

terjadi pada plasenta letak rendah.


4. Kala IV
Periode ini dimulai setelah lahinya plasenta sampai 1 jam setelah itu. Pemantauan pada kala
IV meliputi:
a.
Kelengkapan plasenta dan selaput ketuban,
b. Perkiraan pengeluaran darah,
c. Laserasi atau luka episiotomy pada perineum dengan pendarahan aktif, dan
d. Keadaan umum serta tanda-tanda vital ibu
Memasuki masa persalinan merupakan suatu periode yang kritis bagi para ibu hamil karena
segala kemungkinan dapat terjadi sebelum berakhir dengan selamat atau dengan kematian. Di
daerah pedesaan, kebanyakan ibu hamil masih mempercayai dukun beranak untuk menolong
persalinan yang biasanya dilakukan di rumah. Data survey kesehatan rumah tangga tahun 1992
menunjukkan bahwa 65% persalinan ditolong oleh dukun beranak. Beberapa penelitian yang
pernah dilakukan mengungkapkan bahwa masih terdapat praktek persalinan oleh dukun yang
dapat membahayakan ibu.
Pemilihan dukun beranak sebagai penolong persalinan pada dasarnya disebabkan oleh
beberapa alasan antara lain:
1.
2.
3.

Dikenal secara dekat.


Biaya murah.
Mengerti dan dapat membantu dalam upacara adat yang berkaitan dengan kelahiran anak.

4.

Dapat merawat ibu dan bayi sampai 40 hari di samping akibat keterbatsan jangkauan
pelayanan kesehatan yang ada.
Interaksi antara kondisi kesehatan ibu hamil dengan kemampuan penolong persalinan sangat

menentukan hasil persalinan yaitu kematian atau bertahan hidup. Secara medis, penyebab klasik
kematian ibu akibat melahirkan adalah pendarahan, infeksi dan ekslamsia (keracunan
kehamilan). Kondisi-kondisi tersebut bila tidak ditangani secara tepat dan profesional dapat
berakibat fatal bagi ibu dan proses persalinan. Namun, kefatalan ini sering terjadi tidak hanya
karena penanganan yang kurang baik tetapi, juga karena ada faktor keterlambatan pengambilan
keputusan dalam keluarga. Umumnya, di daerah pedesaan, keputusan perawatan medis yang
akan dipilih harus dengan persetujuan kerabat yang lebih tua atau keputusan ada di tangan suami
yang sering kali menjadi panic melihat keadaan kritis yang terjadi. Kepanikan dan ketidak tahuan
akan gejala-gejala tertentu saat persalinan dapat menghambat tindakan yang seharusnya
dilakukan secara cepat. Tidak jarang pula nasihat yang diberikan oleh teman atau tetangga
mempengaruhi keputusan yang diambil.
Selain itu, sering kali kondisi tersebut diperberat oleh faktor geografis, karena jarak rumah
ibu dengan tempat pelayanan kesehatan cukup jauh, tidak tersedianya transportasi, atau kendala
ekonomi dan adanya tanggapan bahwa membawa ibu ke rumah sakit akan membutuhkan biaya
yang mahal. Selain faktor keterlambatan dalam pengambilan keputusan, faktor geografis dan
faktor ekonomi, keterlambatan mencari pertolongan disebabkan juga sikap pasrah dari
masyarakat bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan takdir yang tidak dapat dihindari.
Selain pada masa hamil, pantangan atau anjuran masih diberlakukan juga pada masa pasca
persalinan.
Pantangan atau anjuran yang berkaitan dengan proses pemulihan kondisi fisik misalnya:
1.
2.

Ada makanan tertentu yang sebaiknya dikonsumsi untuk memperbanyak produksi ASI
Ada makanan tertentu yang dilarang karena dianggap dapat mempengaruhi kesehatan bayi.
Secara tradisional ada praktik-praktik yang dilakukan dukun beranak untuk
mengembalikan kondisi fisik dan kesehatan ibu. Misalnya;

1.
2.

Mengurut perut yang bertujuan untuk mengembalikan rahim ke posisi semula.


Memasukkan ramuan-ramuan seperti daun-daunan ke dalam vagina dengan maksud untuk

3.

membersihkan darah dan cairan yang keluar karena proses persalinan.


Member jamu tertentu untuk memperkuat tubuh (Iskandar et al, 1996).

D. Aspek Sosial Budaya Masa Nifas


Masa nifas adalah masa pulih kembali mulai dari persalinan selesai sampai alat-alat
kandungan kembali seperti sebelum hamil, lama masa nias yaitu 6-8 minggu (Rustam
1.
2.
3.
4.
5.

Mochtar, 1998, hal. 115). Tujuan perawatan masa nifas yaitu:


Memulihkan kesehatan umum penderita,
Mendapatkan kesehatan emosi yang stabil,
Mencegah terjadinya ineksi dan komplikasi,
Memperlancar pembentukan ASI, dan
Agar penderita dapat melaksanaan perawatan sampai masa nifas selesai dan memelihara
bayi dengan baik.
Keadaan psikologis pada masa nifas meliputi insting keibuan, yang merupakan perasaan dan

dorongan yang dibawa sejak manusia dilahirkan, yang ada dalam seorang wanita untuk menjadi
seorang ibu yang selalu memberi kasih sayang kepada anaknya. Sikap ini berada dengan sikap
pria dewasa. Walaupun mereka menyukai anak bayi, tetapi pendekatannya berbeda dengan
wanita. Reaksi ibu setelah melahirkan ditentukan oleh tempramennya. Bila ibu bertempramen
gembira, ibu biasanya menjadi ibu yang lebih sukses, sedangkan ibu yang selalu murung
kemungkinan mengalami kesulitan dalam tugasnya sebagai seorang ibu. Selain itu, kemungkinan
pula timbul reaksi kecemasan reaksi kekecewaan karena kedatangan bayinya belum diharapkan.
Untuk mengadakan penyesuaian tersebut kemungkinan ibu dapat mengatasinya sendiri atau
memerlukan bantuan. Oleh karena itu, tugas bidan untuk memberi bantuan yang merupakan
bimbingan agar ibu dapat mengatasi masalahnya. Kebutuhan ibu masa nifas meliputi:
1.

Kebutuhan fisik,
Selama hamil umumnya menurun walaupun tidak sakit. Untuk memenuhi kebutuhan fisik
seperti istirahat, makanan yang bergizi, lingkungan bersih dilakukan pengawasan dan perawatan

2.

yang sempurna serta pengertian dari lingkungan setelah ibu pulang nanti.
Kebutuhan psikologis.
Kebutuhan bagi tiap-tiap individu bahwa manusia butuh diakui, dihargai, diperhatikan oleh
manusia lain. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan psikologis, bidan dan keluarga harus

3.

bersikap dan bertindak bijaksana dan menunjukan rasa simpati dan menghormati.
Kebutuhan sosial,
Ibu dipenuhi dengan memfasilitasi pasangan atau keluarga mendampingi ibu bila murung,
menunjukkan rasa saying pada bayi, memberi bantuan dan pelajaran yang dibutuhkan untuk
mengembalikan kesehatannya.

E. Aspek Sosial Budaya Terkait Bayi Baru Lahir

Bayi baru lahir adalah bayi baru lahir dari kehamilan yang aterm (37-42 minggu). Bayi baru

5.

lahir yang dilahirkan dalam kondisi normal mempunyai cirri-ciri sebagai berikut:
1. Berat badan 2500-4000gram.
2. Panjang badan 48-52 cm.
3. Lingkar badan 30-38 cm.
4. Lingkar kepala 33-35 cm.
Bunyi jantung dalam menit pertama kira-kira 180 denyut/menit kemudian menurun sampai 120-

6.
7.

160 denyut/menit.
Pernafasan pada menit pertama kira-kira 80 kali/menit kemudian menurun sampai 40 kali/menit.
Kulit kemerah-merahan dan licin karena jaringan subkutan terbentuk dan diliputi verniks

kaseosa.
8. Rambut lanugo tidak terlihat, rambut tampak sempurna.
9. Kuku agak panjang dan lemas.
10. Pada bayi laki-laki Testis sudah turun, pada bayi perempuan genetalia labia mayora telah
menutupi labia minora.
11. Reflek hisap dan menelan sudah terbentuk dengan baik.
12. Reflek moro sudah baik, bayi dikagetkan akan memperlihatkan gerakan tangan seperli memeluk.
13. Reflek Graff sudah baik, bila diletakkan suatu benda ke telapak tangan maka akan
menggenggam.
14. Eliminasi, urine dan mekonium akan keluar dalam 24 jam pertama (Saifuddin, 2006)
Beberapa aspek sosial budaya yang dilakukan dikalangan masyarakat Indonesia terkait
dengan bayi baru lahir, antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.

Bayi harus memakai gurita supaya perutnya tidak membuncit.


Bayi dibedong supaya tidak mudah terkejut, juga dapat menghangatkan badannya.
Bayi saat dimandikan ditarik-tarik hidungnya agar menjadi lebih mancung.
Ari-arinya harus dicuci bersih sebelum di kubur supaya bau badan tidak bau nantinya.
Ibu tidak boleh membiasakan duduk dalam posisi tidur waktu menggendong bayi agar dahi bayi

6.
7.
8.

tidak maju (jenong atau nonong).


Bayi baru lahir diberi minum grape water agar perutnya tidak kembung.
Bayi baru lahir diberikan minum kopi setets agar tidak terkena penyakit stroke.
Bayi baru lahir rambutnya dipotong atau di botakin dan diberi minyak kemiri atau lidah buaya

9.
10.
11.
12.
13.

agar rambutnya tumbuh cepat dan hitam.


Bayi cegukan diberi tisu basah atau kertas dibasahi di kening agar cegukannya hilang.
Sapu lidi atau bangle bumbu dapur ditaruh di sebelah bantal untuk mengusir hantu jahat.
Bulu mata di gunting agar lentik.
Dagu lancip akibat sering ditarik.
Di bawah bantal bayi ditaruh gunting lipat dan di tempat tidurnya dipukul-pukul menggunakan

sapu lidi agar bayi tidur nyenyak.


14. Bayi yang baru lahir tidak boleh difoto agar tidak menjadi narsis ketika dewasa.
15. Bayi tidak boleh diajak keluar rumah sebelum berusia 40hari.

16. Terkait makanan pada bayi baru lahir, ibu dilarang makan pedas, nanti feses bayi ada cabe rawit
utuh, padahal maksudnya adalah mencegah bayi mengalami sakit perut jika ibu menggonsumsi
makanan pedas, makan semangka menyebabkan perut bayi besar dan keras sebab sawan
semangka dan sebagainya.
Diantara berbagai aspek sosial budaya yang dilakukan oleh masyarakat tersebut, yang
terbukti kebenarannya dan benar-benar tidak masuk akal kadang membuat masyarakat menjadi
bingung. Memang ada benarnya bebrapa aspek sosial budaya yang ada, yang terkadang jika kita
ikuti akan bermanfaat. Misalnya, Bayi tidak boleh keluar sebelum 40 hari, sebab fisik bayi belum
sekuat fisik orang dewasa jika kontak dengan udara luar akan menyebabkan sakit, dan supaya
bayi tidak tertular virus dari orang sakit yang kadang kita tidak sadari pada tempat yang ramai.
Sedangkan kerugiannya jika kita sangat mempercayai hal tersebut antara lain bayi pada usia
sebelum 40 hari mempunyai beberapa kebutuhan yang harus dipenuhi dan harus keluar rumah.
Misalnya untuk imunisasi, berubat ke pelayanan kesehatan ketika bayi mengalami demam atau
pilek, Bayi memakai gurita agar perutnya tidak buncit, padahal jika dikaitkan dengan kesehatan,
bayi memakai gurita terlalu kencang dapat mengurangi daya pernafasan pada bayi yang pada
akhirnya bayi tersebut sesak nafas, karena bayi lebih banyak menggunakan pola pernafasan
perut, berbeda dengan orang dewasa yang menggunakan dada.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bidan sebagai salah seorang anggota tim kesehatan yang terdekat dengan masyarakat,
mempunyai peran yang sangat menentukan dalam meningkatkan status kesehatan masyarakat,
khususnya kesehatan ibu dan anak di wilayah kerjanya.
Seorang bidan harus mampu menggerakkan peran serta masyarakat khususnya, berkaitan
dengan kesehatan ibu hamil, ibu bersalin, bufas, bayi baru lahir, anak remaja dan usia lanjut.

Seorang bidan juga harus memiliki kompetensi yang cukup berkaitan dengan tugas, peran serta
tanggung jawabnya.
Seorang bidan perlu mempelajari sosial-budaya masyarakat tersebut, yang meliputi tingkat
pengetahuan penduduk, struktur pemerintahan, adat istiadat dan kebiasaan sehari-hari,
pandangan norma dan nilai, agama, bahasa, kesenian, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan
wilayah tersebut.
Melalui kegiatan-kegiatan kebudayaan tradisional setempat bidan dapat berperan aktif untuk
melakukan promosi kesehatan kepada masyaratkat dengan melakukan penyuluhan kesehatan di
sela-sela acara kesenian atau kebudayaan tradisional tersebut.

B. Saran
Penulis menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan yang diharapkan,
karena masih terbatasnya pengetahuan penulis. Olehnya itu penulis mengharapkan kritik dan
saran yang sifatnya membangun. Makalah ini perlu dikaji ulang agar dapat sempurna dan
makalah ini harus digunakan sebagaimana mestinya.
Diposkan oleh Putri Andini di 18.20
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: AKBID KUTAI HUSADA SMSTR 1

Anda mungkin juga menyukai