Anda di halaman 1dari 20

RINGKASAN

Reading 7

The Field Approach : Culture and group life


as quasi-stationary processes
Kurt Lewin

MUHTAR
P0205213310

MANAJEMEN KEPEMIMPINAN PEMUDA


PROGRAM STUDI PERENCANAAN PENGEMBANGAN WILAYAH
PASCA SARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014

Ringkasan:

THE FIELD APPROACH : CULTURE AND GROUP LIFE AS QUASI-STATIONARY


PROCESSES
BIDANG PENDEKATAN: KEBUDAYAAN DAN KELOMPOK HIDUP SEBAGAI
PROSES KUASI-STASIONER
Kurt Lewin
MUHTAR
P0205213310
PPW/MANAJEMEN KEPEMIMPINAN PEMUDA

Pertanyaan yang utama adalah apa yang harus diubah dan bagaimana mengubahnya ?
Kebiasaan dari satu individu atau kelompok bukanlah sesuatu yang statis dan bukan
juga sesuatu yang berada dalam ruangan yang kosong.
Kebiasaan dari individu adalah proses yang mengalir dan berjalan atau quasi stationer
Contoh budaya atau kebiasaan dari individu yang akan berpengaruh dalam
kelompoknya adalah pola makan
Pola makan mempengaruhi cara mendapatkan nafkah, bagaimana memproduksi
bahan makanan, berapa jumlah dan kecepatan dalam produksi bahan makanan,
Penggunaan air sungai, dari mencari nafkah dan bermain; menjadi anggota dari sebuah
kota, keluarga, kelas sosial, kelompok agama, bangsa; hidup di iklim yang panas atau
dingin, di daerah pedesaan atau kota, di kabupaten dengan bahan makanan yang baik dan
restoran, atau di daerah pasokan makanan miskin dan tidak teratur.
Pola makan kelompok menyiratkan bahwa konstelasi kekuatan-kekuatan dalam satu
negara berjalan dan seimbang selama kebutuhan itu terpenuhi.
Kebiasaan harus dipahami sebagai akibat dari kekuatan dalam organisme dan ruang
hidupnya, dalam kelompok dan perubahannya.
untuk memprediksi perubahan kita harus memahami kehidupan kelompok sebagai
akibat dari konstelasi kekuatan tertentu dalam pengaturan yang lebih besar
prediksi ilmiah atau saran untuk metode perubahan harus didasarkan pada analisis
salah satu kelompok atau bidang untuk mewakili secara keseluruhan termasuk aspek
psikologis dan nonpsychological nya.

1.
2.
3.
4.

Contoh Kasus :
Pengaruh Penutupan Lokalisasi Kramat Tunggak terhadap masyarakat sekitar.
Belajar dari Pengalaman Totalitas dalam Meningkatkan Status Gizi Anak melalui
Pendekatan Positive Deviance
Kehidupan sosial kader PKS
Rasulullah Muhammad dalam membentuk pemerintahan islam dimulai dengan
membina kelompok kecil sahabatnya dengan merubah pola hidupnya yang jahiliyah
ke kehidupan yang beradab di Makkah dan memperluasnya dengan hijrah ke

madinah, dan di madinah mulai dterapkan aturan-aturan kehidupan yang berbeda


dengan kehidupan rakyatnya sebelumnya dan menjadi cikal bakal gaya hidup islam
yang menguasai bumi ini dan masih bisa dirasakan sampai saat ini.
Pengaruh Penutupan Lokalisasi Kramat Tunggak terhadap masyarakat sekitar.
Dalam sejarahnya, Jakarta pernah memiliki tempat pelacuran yang dikenal dengan nama
lokalisasi Kramat Tunggak, di kawasan Kelurahan Tugu Utara, Kecamatan Koja, Jakarta
Utara. Pada perjalanannya, lokalisasi terbesar di Ibu Kota tersebut berakhir dengan penutupan
atas desakan masyarakat karena tingginya masalah kriminalitas dan sosial.
Sejak ditutup pada akhir 1999, kawasan tersebut kini berubah. Di atas lahan bekas tempat
prostitusi era 1970-1999 ini, berdiri Jakarta Islamic Centre, sebuah lembaga pengkajian dan
pengembangan Islam di Jakarta. Masa lalu yang kelam dampak dari kehidupan malam pun
berakhir.
Secara sosiologis, keluarga yang terbatas sumberdayanya cenderung untuk melakukan
sosialisasi pekerjaan, profesi, usaha, atau aktivitas kepada generasi berikutnya di sekitar
lingkunan pekerjaan mereka. Seperti kita ketahui ada jaringan aktivitas atau pekerjaan yang
terkonstruksi melalui transaksi seksual seperti PSK, germo, mucikari, tukang pukul atau
'penjaga' keamanan, konsumen, dan sebagainya.
Lingkaran aktivitas atau pekerjaan ini berubah seiring dengan berubahnya lingkungan
lokalisasi menjadi Islamic Centre dan merubah pula lingkungan sekitarnya bila dilembagakan
keberadaannya terus menerus akan semakin memperbesar kuantitas serta memperluas
jaringan aktivitas dalam dunia keislaman dan sampai saat ini hampir kita tidak mengenal
kalau tempat ini dan sekitarnya pernah menjadi lokalisasi.
Kebijakan Pemerintah Meningkatkan Status Gizi Anak melalui Pendekatan Positive
Deviance
Perkembangan model perubahan sosial (social change) yang menarik perhatian banyak pihak,
salah satunya adalah Positive Deviance (Penyimpangan Positif) yang menuntut keterlibatan
masyarakat, menggunakan resources yang ada pada masyarakat sehingga sustainability-nya
akan terjaga. Namun model Positive Deviance ini harus dimulai pada kelompok kecil yang
intensitas interaksi sosial mereka cukup tinggi dan pada akhirnya ditemukan solusi dalam
kelompok kecil tersebut, tidak dari luar kelompok. Sehingga model ini memberikan impact
yang signifikan bagi komunitas sekitarnya.
Positive Deviance sebagai sebuah model perubahan prilaku telah dibuktikan di puluhan
negara berkembang, seperti perubahan prilaku dalam mengurangi malnutrisi di Vietnam,
Myanmar, Nepal/Buthan, Bolivia, Bangladesh dan lainnya; pencegahan penyebaran
HIV/AIDS di dunia ketiga, pencegahan mutilasi perempuan di Egypt, konflik etnis di Afrika
dan lainnya.

Pendekatan Sternin didasarkan dari hasil kerja yang dilakukan oleh Marian Zeitlin di
Universitas Tufts pada akhir 1980-an melakukan penelitian di beberapa rumah sakit di
komunitas yang sedang berkembang untuk mengetahui mengapa sebahagian kecil anak-anak
yang menderita kekurangan gizi (para penyimpang) mengatasi kondisi tersebut dengan lebih
baik dibanding dengan sebahagian besar anak-anak penderita kekurangan gizi lainnya, apa
yang membuat mereka mampu dengan cepat mengatasinya? (David Dorsey; 2000)
Dari penelitian ini muncul pemikiran untuk memperkuat penyimpangan positif sebagai
sebuah teori yang diuji oleh Sternin dan istrinya Monique pada tahun 1990-an dalam situasi
yang berbeda. Ide ini muncul sebagai tanggapan dari permintaan pemerintah Vietnam untuk
membantu
mengurangi
angka
malnutrisi
yang
luar
biasa.
Sternin tidak memakai solusi konvensional karena solusi itu hanya tentang: sistim sanitasi
yang buruk, ketidakpedulian, pola distribusi makanan, kemiskinan, dan buruknya akses
terhadap air bersih. Sementara ribuan bahkan jutaan anak tidak dapat menunggu sampai
masalah tersebut bisa diatasi. Akhirnya Sternin dan istrinya memutuskan untuk memperkuat
penyimpangan positif.
Dalam setiap komunitas, organiasi, atau kelompok sosial, terdapat beberapa individu yang
mempunyai prilaku dan kebiasaan tersendiri yang membuat mereka mampu mendapatkan
hasil yang lebih baik dibandingkan dengan orang di sekitarnya meskipun mereka mempunyai
sumberdaya yang sama. Tanpa disadari para penyimpang positif ini telah menemukan jalur
keberhasilan untuk seluruh kelompok apabila rahasia mereka dapat dianalisa, diisolasi, dan
kemudian dibagikan kepada seluruh kelompok.
Program Positive Deviance Sungai Lasi Kabupaten Solok, dan di kecamatan Bungus
Teluk Kabung, Kota Padang.
Seperti halnya setiap kegiatan yang positif, banyak pihak yang ingin mencoba menirunya.
Penggunaan pendekatan positive deviance dalam meningkatkan status gizi anak, secara
konsep, sudah dirancang sedemikian rupa sehingga kegiatannya menjadi sederhana dan
replicable atau bisa dilakukan dalam komunitas lain. Selain di Sungai Lasi Kabupaten Solok,
Totalitas juga telah mereplikasi kegiatan ini di kecamatan Bungus Teluk Kabung, Kota
Padang.
Positive deviance adalah suatu pekerjaan yang dimulai dengan nilai lokal (local wisdom).
Suatu pekerjaan yang dimulai dengan memanfaatkan nilai lokal jauh lebih efektif daripada
membawa nilai-nilai baru yang dipaksakan. Bagaimanapun nilai lokal merupakan suatu
komitmen dan prilaku yang sudah mengakar di dalam sebuah komunitas, dan hal itu mereka
lakukan dan jaga bersama secara terus menerus.

Reading 7
The Field Approach : Culture and group life as quasi-stationary processes
Kurt Lewin
This question of planed change or of any social engineering is identical with the question :
what conditions have to be changed to bring about a given result and how can one change
these conditions with the means at hand?
One should view the present situation the status quo as being maintained by certain condition
or forces. A culture for instance, the food habits of a certain group at a given time is not a
static affair but a live process like a river which moves but still keeps a recognizable form. In
other words, we have to deal, in group life as in individual life, with what is known in physics
as quasi stationary processes.
Food habits do not occur in empty space. They are part and parcel of the daily rhytm of being
awake and a sleep; of being alone and in a group; of earning a living and playing; of being a
member of a town, a family, a social class, a religious group, a nation; of living in a hot or
cool climate, in a rural area or a city, in a district with good groceries and restaurants, or in an
area of poor and irregular food supply. Samehow all of these factors affect food habits at any
given time . they determine the food habits of a group every day arfew just as the amount of
water supply and the nature of the river bed determine from day to day the flow of the river,
its constancy, or its change.
Food habits of a group, as well as such phenomena as the speed of production in a factory, are
the result of a multitude of forces. Some forces support each other, some oppose each other.
Some are driving forces. Other restraining forces. Like the velocity of a river, the actual
conduct of a group depends upon the level ( for instance, the speed of production) at which
these conflicting forces reach a state of equilibrium. To speak of a certain culture pattern for
instance, the food habits of a group implies that the constellation of these forces remains the
same for a period or at least that they find their state of equilibrium at a constant level during
that period.
Neither group habits not individual habits can be understood sufficiently by a theory
which limits its consideration to the processes. Instead, habits will have to be conceived of as
a result of forces in the organism and its life space, in the group and its setting. The structure
of the organism, of the group, of the setting. Or whatever name the field might have in the
given case, has to be represented and the forces in the various parts of the field have to be
analyzed if the processes ( which might be either constant habits or changes ) are to be
understood scientifically. The process is but the epi-phenomenon, the real object of study is
the constellation of forces.
Therefore, to predict which changes in conditions will have what result we have to conceive
of the life of the group as a result of specific constellation of forces within a larger setting. In
other words, scientific predictions or advice for methods of change should be based on any

analysis of the field as a whole including both its psychological and nonpsychological
aspects.

Membaca 7
Bidang Pendekatan: Kebudayaan dan kelompok hidup sebagai proses kuasi-stasioner
Kurt Lewin
Ini pertanyaan perubahan direncanakan atau apapun "rekayasa sosial" identik dengan
pertanyaan: apa "kondisi" harus diubah untuk membawa hasil yang diberikan dan bagaimana
seseorang dapat mengubah kondisi ini dengan cara di tangan?
Orang harus melihat situasi sekarang status quo sebagai yang dikelola oleh kondisi atau
kekuatan tertentu. Sebuah budaya misalnya, kebiasaan makanan dari kelompok tertentu pada
waktu tertentu bukanlah urusan statis tetapi proses hidup seperti sungai yang bergerak tapi
masih menyimpan bentuk dikenali. Dengan kata lain, kita harus berhadapan, dalam
kehidupan kelompok seperti dalam kehidupan individu, dengan apa yang dikenal dalam fisika
sebagai "quasi stasioner" proses.
Kebiasaan makanan tidak terjadi dalam ruang kosong. Mereka adalah bagian dari ritme
harian menjadi terjaga dan tidur; sendirian dan dalam kelompok; dari mencari nafkah dan
bermain; menjadi anggota dari sebuah kota, keluarga, kelas sosial, kelompok agama, bangsa;
hidup di iklim yang panas atau dingin, di daerah pedesaan atau kota, di kabupaten dengan
bahan makanan yang baik dan restoran, atau di daerah pasokan makanan miskin dan tidak
teratur. Entah kenapa semua faktor ini mempengaruhi kebiasaan makanan pada waktu
tertentu. mereka menentukan kebiasaan makanan dari kelompok setiap hari lagi seperti
jumlah pasokan air dan sifat dasar sungai menentukan dari hari ke hari aliran sungai,
keteguhan, atau perubahannya.
Kebiasaan makanan dari kelompok, serta fenomena seperti kecepatan produksi di pabrik,
adalah hasil dari banyak kekuatan. Beberapa pasukan mendukung satu sama lain, beberapa
saling bertentangan. Beberapa penggerak. Pasukan menahan lainnya. Seperti kecepatan
sungai, perilaku yang sebenarnya dari kelompok tergantung pada tingkat (misalnya,
kecepatan produksi) di mana kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan mencapai keadaan
keseimbangan. Untuk berbicara tentang pola budaya tertentu misalnya, kebiasaan makanan
kelompok menyiratkan bahwa konstelasi kekuatan-kekuatan ini tetap sama untuk periode
atau setidaknya bahwa mereka menemukan negara mereka keseimbangan pada tingkat yang
konstan selama periode itu.

Baik kelompok "kebiasaan" bukan individual "kebiasaan" dapat dipahami cukup dengan teori
yang membatasi pertimbangan kepada proses. Sebaliknya, kebiasaan akan harus dipahami
sebagai akibat dari kekuatan dalam organisme dan ruang hidupnya, dalam kelompok dan
setelan. Struktur organisme, kelompok, dari pengaturan. Atau nama apapun lapangan
mungkin dalam kasus tertentu, harus diwakili dan kekuatan di berbagai bagian lapangan
harus dianalisis jika proses (yang mungkin berupa konstan "kebiasaan" atau perubahan) harus
dipahami secara ilmiah . Proses ini tapi epi-fenomena, objek nyata studi adalah konstelasi
kekuatan.
Oleh karena itu, untuk memprediksi perubahan dalam kondisi akan memiliki apa hasilnya
kita harus memahami kehidupan kelompok sebagai akibat dari konstelasi tertentu kekuatan
dalam pengaturan yang lebih besar. Dengan kata lain, prediksi ilmiah atau saran untuk
metode perubahan harus didasarkan pada analisis salah satu "lapangan secara keseluruhan"
termasuk aspek psikologis dan nonpsychological nya.

Ringkasan:
THE FIELD APPROACH : CULTURE AND GROUP LIFE AS QUASI-STATIONARY
PROCESSES
BIDANG PENDEKATAN: KEBUDAYAAN DAN KELOMPOK HIDUP SEBAGAI
PROSES KUASI-STASIONER
Kurt Lewin
MUHTAR
P0205213310
PPW/MANAJEMEN KEPEMIMPINAN PEMUDA

Pertanyaan yang utama adalah apa yang harus diubah dan bagaimana mengubahnya ?
Kebiasaan dari satu individu atau kelompok bukanlah sesuatu yang statis dan bukan
juga sesuatu yang berada dalam ruangan yang kosong.
Kebiasaan dari individu adalah proses yang mengalir dan berjalan atau quasi stationer
Contoh budaya atau kebiasaan dari individu yang akan berpengaruh dalam
kelompoknya adalah pola makan
Pola makan mempengaruhi cara mendapatkan nafkah, bagaimana memproduksi
bahan makanan, berapa jumlah dan kecepatan dalam produksi bahan makanan,
Penggunaan air sungai, dari mencari nafkah dan bermain; menjadi anggota dari
sebuah kota, keluarga, kelas sosial, kelompok agama, bangsa; hidup di iklim yang
panas atau dingin, di daerah pedesaan atau kota, di kabupaten dengan bahan makanan
yang baik dan restoran, atau di daerah pasokan makanan miskin dan tidak teratur.
Pola makan kelompok menyiratkan bahwa konstelasi kekuatan-kekuatan dalam satu
negara berjalan dan seimbang selama kebutuhan itu terpenuhi.
Kebiasaan harus dipahami sebagai akibat dari kekuatan dalam organisme dan ruang
hidupnya, dalam kelompok dan perubahannya.

untuk memprediksi perubahan kita harus memahami kehidupan kelompok sebagai


akibat dari konstelasi kekuatan tertentu dalam pengaturan yang lebih besar
prediksi ilmiah atau saran untuk metode perubahan harus didasarkan pada analisis
salah satu kelompok atau bidang untuk mewakili secara keseluruhan termasuk aspek
psikologis dan nonpsychological nya.
"Lokalisasi Dolly ditutup merupakan langkah tepat. Saya memberi apresiasi kepada Walikota
Surabaya Ibu Risma yang berketetapan hati menutup lokalisasi pelacuran di Dolly Surabaya,"
kata
Musnir
kepada
Harian
Terbit,
Rabu
(18/6).
Musnir menuturkan, setidaknya ada beberapa aspek yang akan muncul dari penutupan
lokalisasi Dolly ini. Pertama, menurut dia dari aspek sosial, masyarakat menghendaki
penutupan pelacuran karena bertentangan dengan kemanusiaan dan HAM. Kedua,
bertentangan dengan hukum. Tidak ada UU yang membolehkan pelancuran.
Ketiga, aspek ekonomi. Para gadis terpaksa menjadi pelacur untuk mendapat kehidupan yang
layak. "Akan tetapi pekerjaan melacur adalah hina di sisi Tuhan dan manusia. Mendekati
pelacuran
saja
tidak
boleh,
apalagi
melakukannya,"
tuturnya.
Terkait jalan ke luar yang ditawarkan Pemkot Surbaya, Musnir berpendapat jika Walikota
Surabaya itu sudah sangat manusiawi. Dia menjelaskan, bahwa pertama, alih profesi.
Para pelacur dan germo dilatih dalam berbagai bidang kegiatan sesuai bidang yang diminati.
Kedua rehabilitasi mental. Ketiga, pemberdayaan. Keempat, difasilitasi permodalan dan
tempat.
Kelima,
pengawasan.
"Kelima hal tersebut merupakan solusi untuk menutup lokalisasi pelacuran terbesar di Asia
Tenggara itu. Mereka yang menghalangi penutupan Dolly merupakan penjahat kemanusiaan,"
terangnya.
Senada dengan Musnir, pengamat sosial lainnya Erna Karim menyatakan, dengan ditutupnya
lokasisasi Dolly oleh Pemkot Surabaya artinya perubahan ke arah kemajuan dan kebaikan
untuk
masyarakat
selalu
harus
diusahakan
oleh
pemerintah.
Dia menuturkan, ditutupnya lokalisasi Dolly adalah sebuah usaha struktural melalui
kebijakan untuk tidak memperluas atau mencegah entitas keberadaan kantung 'komunitas'
masyarakat yang 'berpotensi' semakin kuat melakukan alih generasi profesi yang sama di
sekitar
transaksi
seksual
(pelacuran).
"Secara sosiologis, keluarga yang terbatas sumberdayanya cenderung untuk melakukan
sosialisasi pekerjaan, profesi, usaha, atau aktivitas kepada generasi berikutnya di sekitar
pekerjaan mereka. Seperti kita ketahui ada jaringan aktivitas atau pekerjaan yang
terkonstruksi melalui transaksi seksual seperti PSK, germo, mucikari, tukang pukul atau
'penjaga' keamanan, konsumen, dan sebagainya," tutur Erna kepada Harian Terbit, Rabu

(18/6).
Dia menjelaskan, lingkaran aktivitas atau pekerjaan ini bila dilembagakan keberadaannya
terus menerus akan semakin memperbesar kuantitas serta memperluas jaringan aktivitas
transaksi seksual antargenerasi. Sehingga, lanjut Erna, perlu dilakukan perubahan struktural
dengan
menutup
lokalisasi
Dolly.
"Namun, pemkot Surabaya harus melakukan usaha pengalihan profesi dan jaringan aktivitas
yang ada selama ini dengan melakukan pelatihan-pelatihan yang bersifat keagamaan,
pendidikan formal dan non formal (kursus-kursus keterampilan), merekonstruksi jaringan
ekonomi masyarakat Dolly ke arah positif untuk alih generasi berdimensi ekonomi,"
pungkasnya.
Sementara itu, anggota Komisi VIII DPR RI, Ali Maschan Musa, menghimbau kepada
pemerintah untuk memberikan kompensasi berupa latihan keterampilan kepada para PSK
paska Dolly ditutup. "Kami memang setuju jika itu (Dolly) ditutup, tapi kan mereka juga
harus dibina serta diberikan skill keterampilan," kata Ali di Gedung DPR, Rabu (18/6).
Karena itu, Ali menegaskan Komisi VIII DPR selaku komisi yang membidangi masalah
sosial akan mendorong agar anggaran untuk para PSK disiapkan. Anggaran itu akan
digunakan untuk memberi latihan keterampilan, agar setelah keluar dari lokalisasi, mereka
tetap mempunyai pekerjaan. "Kami berharap agar Komisi VIII mendukung anggarannya
lewat
menteri
sosial,"
ujarnya.
Di sisi lain, Wakil Dewan Syuro PKB itu mengatakan, tidak ada alasan para PSK di Dolly
menolak uang jaminan dari pemerintah meski tidak sebesar pendapatan mereka setiap hari.
"Ya, ukuran nggak cukup standarnya itu apa, itu kan juga harus jelas. Tapi, standar Rp5 juta
menurut
saya
untuk
sementara
cukup,"
bebernya.
Untuk itu, Ali menyarankan ke depan agar para PSK tak kembali lagi ke habitatnya (Dolly),
maka Pemkot harus mampu membangun pusat perbelanjaan. "Kalau perlu dibuatkan pasar,
misalnya
mal,"
pungkasnya.
Seperti diketahui, Walikota Surabaya Tri Rismaharini, menutup lokalisasi Dolly pada 18 Juni
2014
lebih
cepat
sehari
dibandingkan
rencana
awal.
Risma mengatakan, saat ini Pemkot Surabaya mempersiapkan transfer pekerjaan sehingga
eks PSK itu nantinya bisa berusaha dan ke luar dari pekerjaan sebelumnya. "Kita ajarkan buat
kue, kerajinan, telor asin dan lain-lain. Artinya kita bisa melakukan itu, kita harus angkat
saudara
kita
yang
tertindas,"
kata
Risma.
Lebih lanjut Risma mengatakan, sebanyak 1.200-an eks PSK Dolly sudah diverifikasi dan
saat ini jumlahnya bertambah menjadi 1.400 orang. Sebagai antisipasi agar eks PSK itu tidak
kembali
lagi,
maka
akan
dilakukan
pemantauan
dan
razia
rutin.

Karena eks PSK itu 99 persen bukan warga Surabaya, maka Risma meminta bantuan
Kementerian Sosial untuk merehabilitasi mereka terutama yang akan kembali ke kampung
asalnya. "Kami minta bantuan dari Kemensos untuk uang saku eks PSK, untuk mucikari dari
Gubernur Jawa Timur. Pemkot Surabaya merekondisikan alih profesi dan siapkan
infrastrukturnya," kata Risma.

Positive Deviance, Sebuah Pendekatan untuk Perubahan Sosial


Belajar dari Pengalaman Totalitas dalam Meningkatkan Status Gizi Anak melalui
Pendekatan Positive Deviance
Penulis

:Totalitas

Pendahuluan
Perubahan sosial merupakan keniscayaan yang mesti dilakukan dalam evolusioner kehidupan
manusia, seiring dengan kebutuhan manusia itu sendiri menuju kehidupan yang lebih layak.
Banyak sudah teori-teori dan praktek perubahan sosial yang telah diciptakan, dipromosikan,
dan dilakukan. Namun tidak sedikit dari praktek terbaik perubahan sosial tersebut yang
harus dipaksakan demi tercapainya kebutuhan global yang pada akhirnya harus masuk ke
dalam kantong TBU (True But Useless) atau benar tapi sia-sia.
Perkembangan model perubahan sosial (social change) yang menarik perhatian banyak pihak,
salah satunya adalah Positive Deviance (Penyimpangan Positif) yang menuntut keterlibatan
masyarakat, menggunakan resources yang ada pada masyarakat sehingga sustainability-nya
akan terjaga. Namun model Positive Deviance ini harus dimulai pada kelompok kecil yang
intensitas interaksi sosial mereka cukup tinggi dan pada akhirnya ditemukan solusi dalam
kelompok kecil tersebut, tidak dari luar kelompok. Sehingga model ini memberikan impact
yang signifikan bagi komunitas sekitarnya.
Positive Deviance sebagai sebuah model perubahan prilaku telah dibuktikan di puluhan
negara berkembang, seperti perubahan prilaku dalam mengurangi malnutrisi di Vietnam,
Myanmar, Nepal/Buthan, Bolivia, Bangladesh dan lainnya; pencegahan penyebaran
HIV/AIDS di dunia ketiga, pencegahan mutilasi perempuan di Egypt, konflik etnis di Afrika
dan
lainnya.
Kilas Perjalanan Positive Deviance
Solutions to community problems already exist within the community, Jerry Sternin
mengadopsi sebuah pendekatan radikal untuk melakukan perubahan dengan pemikiran:
perubahan yang sesungguhnya dimulai dari dalam. (David Dorsey; 2000).
Setidaknya menurut Jerry Sternin permasalahannya tidak terletak pada para pakar atau pada
komunitas tersebut, penerapan model tradisional untuk melakukan perubahan sosial dan
organisasional tidak akan berhasil dan belum pernah berhasil, mungkin permasalahannya
terletak pada proses bagaimana perubahan itu terjadi secara holistik, namun esensinya adalah

bahwa kita tidak bisa mengimpor perubahan dari luar ke dalam. Solusi yang bijak adalah kita
harus mencari kegiatan-kegiatan kecil yang menyimpang akan tapi terbukti berhasil yang
ada di komunitas dan kemudian memperkuat kegiatan-kegiatan tersebut. Awal perubahan
besar akan terjadi ketika kita berhasil menemukannya.
Itu telah dibuktikan Sternin ketika bertugas membantu menyelamatkan anak-anak kelaparan
dan mengalami kasus gizi buruk di Vietnam dengan menggunakan pendekatan yang telah
terbukti berhasil menumbangkan pemikiran-pemikiran konvensional secara terencana, tegas,
dramatis dan sukses.
Pendekatan Sternin didasarkan dari hasil kerja yang dilakukan oleh Marian Zeitlin di
Universitas Tufts pada akhir 1980-an melakukan penelitian di beberapa rumah sakit di
komunitas yang sedang berkembang untuk mengetahui mengapa sebahagian kecil anak-anak
yang menderita kekurangan gizi (para penyimpang) mengatasi kondisi tersebut dengan lebih
baik dibanding dengan sebahagian besar anak-anak penderita kekurangan gizi lainnya, apa
yang membuat mereka mampu dengan cepat mengatasinya? (David Dorsey; 2000)
Dari penelitian ini muncul pemikiran untuk memperkuat penyimpangan positif sebagai
sebuah teori yang diuji oleh Sternin dan istrinya Monique pada tahun 1990-an dalam situasi
yang berbeda. Ide ini muncul sebagai tanggapan dari permintaan pemerintah Vietnam untuk
membantu
mengurangi
angka
malnutrisi
yang
luar
biasa.
Sternin tidak memakai solusi konvensional karena solusi itu hanya tentang: sistim sanitasi
yang buruk, ketidakpedulian, pola distribusi makanan, kemiskinan, dan buruknya akses
terhadap air bersih. Sementara ribuan bahkan jutaan anak tidak dapat menunggu sampai
masalah tersebut bisa diatasi. Akhirnya Sternin dan istrinya memutuskan untuk memperkuat
penyimpangan positif.
Dalam setiap komunitas, organiasi, atau kelompok sosial, terdapat beberapa individu yang
mempunyai prilaku dan kebiasaan tersendiri yang membuat mereka mampu mendapatkan
hasil yang lebih baik dibandingkan dengan orang di sekitarnya meskipun mereka mempunyai
sumberdaya yang sama. Tanpa disadari para penyimpang positif ini telah menemukan jalur
keberhasilan untuk seluruh kelompok apabila rahasia mereka dapat dianalisa, diisolasi, dan
kemudian dibagikan kepada seluruh kelompok.
Dalam melakukan tugasnya di Vietnam, Sternin menjalani langkah-langkah sebagai berikut:
Pertama, jangan beranggapan kalau anda sudah memiliki solusinya; Kedua, jangan
mengangggapnya sebagai sebuah pesta makan malam dengan banyak orang dan sumberdaya
yang berbeda; Ketiga, biarkan mereka melakukannya sendiri; Keempat, identifikasi kebijakan
konfensional; Kelima, identifikasi dan analisa para penyimpang; Keenam, biarkan para
penyimpang mengadopsi penyimpangan dengan sendirinya; Ketujuh, amati hasil dan
publikasikan; Kedelapan, ulangi langkah satu hingga tujuh. (David Dorsey; 2000)
Konsep Umum Positive Deviance
Dalam positive deviance, secara teoritis ada tahapan yang harus dilakukan yang disebut
dengan istilah 6 D sebagai langkah yang harus dilalui dengan catatan yang melakukannya
adalah komunitas yang bersangkutan yang didampingi oleh fasilitator. Tahapan tersebut
adalah sebagai berikut:

Define, tetapkan atau definisikan masalah dan solusinya, dengarkan apa penyebabnya
(analisis situasi) menurut mereka/komunitas sehingga lahir problem statement dari
komunitas. Misalnya, dalam suatu kelompok masyarakat, anak-anak keluarga miskin
mengalami kekurangan gizi.
Determine, tentukan apakah ada orang-orang dari komunitas mereka yang telah
menunjukkan prilaku yang diharapkan atau menyimpang (deviants) dari keluarga miskin
yang lain. Misalnya, ada anak dari keluarga miskin yang gizinya baik, sementara mereka
berasal dari tempat yang sama dan menggunakan sumber yang sama
Discover, cari tahu apa yang membuat penyimpang mampu menemukan solusi yang lebih
baik dari pada tetanggganya. Misalnya, penyimpang memberikan makanan secara aktif
kepada anaknya, memberikan makanan yang bergizi (bersumber lokal) walau tidak biasa
dikonsumsi oleh orang lain, memberi makan lebih sering kepada anaknya. Pastikan
penyimpang tidak mendapatkan subsidi dari sanak keluarganya yang mampu, baik yang
berada di perkampungan itu maupun di daerah lain, sehingga itu juga merupakan penyebab
anak tersebut menjadi lebih sehat.
Design, rancang dan susun strategi yang memampukan orang lain mengakses dan
mengadopsi prilaku baru tersebut. Misalnya, membuat program gizi dan peserta diwajibkan
membawa food contributions berupa makanan penyimpang dan mempraktekkannya secara
aktif. Atau ada strategi lain yang bersumber kepada kebiasaan lokal yang bisa mendukung
pengadopsian prilaku penyimpang yang sehat tadi.
Discern, amati tingkat efektivitas intervensi melalui pengawasan dan monitoring yang
dilakukan secara terus menerus. Misalnya, mengukur status gizi anak-anak yang ikut program
gizi dengan penimbangan dan dampaknya kepada anak-anak sepanjang waktu. Juga jangan
lupa mengukur tingkat kepedulian anggota masyarakat lain terhadap peningkatan gizi anak,
karena ini juga merupakan peningkatan kapasitas masyarakat terhadap kesehatan terutama
gizi anak.
Disseminate, sebarluaskan kesuksesan kepada kelompok lain yang sesuai. Misalnya, bentuk
sebuah Universitas Hidup (laboratorium sosial) sebagai tempat belajar bagi orang lain yang
tertarik untuk mengadopsi prilaku mereka sendiri di tempat lain dan siap berpartisipasi dalam
program tersebut. Untuk pendukung juga lebih bagus dilakukan kampanye terhadap
peningkatan status gizi anak yang lebih efektif dan efisien daripada pola yang konvensional.
Jadikan isu ini menjadi isu komunitas, tidak isu pribadi hanya keluarga yang terkena kasus
gizi buruk saja.
Implementasi Positive Deviance dalam Konteks Perbaikan Gizi
Membuat design dan melakukan sebuah program ataupun kegiatan berbasis masyarakat
dengan memanfaatkan model Positive Deviance adalah merupakan hal yang sederhana walau
tidak mudah. Hal ini karena ada beberapa proses pencarian, penggalian dan penyelidikan
yang menjadi awal titik kritis yang membutuhkan kehati-hatian dan keseriusan dalam
penyaringannya, di samping titik kritis lain seperti pekerjaan ini harus benar-benar partisipatif
dan melibatkan komunitas dari awal memulai aktivitas.
Beberapa catatan penting dirasa perlu diungkapkan dari pengalaman Totalitas melaksanakan
program Inovasi Gizi Anak Nagari (INGAN) dalam menjalani proses standar implementasi

perbaikan gizi dengan model Positive Deviance (PD) di Sungai Lasi Kabupaten Solok,
Sumatera
Barat
adalah
sebagai
berikut:
1.

Putuskan apakah PD & Hearth memungkinkan untuk masyarakat dampingan

Dalam proses memutuskan apakah kegiatan ini memungkinkan dilakukan dalam sebuah
komunitas sebaiknya ada beberapa hal yang harus diperhatikan, diantaranya prevalensi
kekurangan gizi terhadap anak di dalam komunitas yang akan diintervensi di atas 30% (gizi
baik dan gizi kurang) karena kalau ternyata kurang dari jumlah tersebut dikhawatirkan solusi
ini kurang efektif karena ternyata kondisi gizi anak di komunitas tersebut sudah cukup baik
dan solusi lain mungkin lebih efektif dilakukan secara intensif. Di Nagari Taruang-taruang
yang di data melalui penimbangan langsung ke rumah-rumah penduduk karena khawatir dari
jumlah anak ternyata tidak semuanya yang datang penimbangan di posyandu, didapat 43,7%
anak yang mengalami kekurangan gizi, sedangkan di Nagari Sungai Durian ditemukan
51,35% anak yang mengalami kekurangan gizi.
Setelah mendapatkan angka valid dari penimbangan langsung, sebelumnya juga dihindari
kendala teknis akan mungkin menghambat proses penimbangan, seperti keakuratan
timbangan yang digunakan karena itu dapat membuat pekerjaan yang akan dilakukan menjadi
sia-sia. Selanjutnya dilakukan survey tentang ketersediaan sumberdaya makanan yang akan
dikonsumsi oleh masyarakat. Masyarakat 2 nagari di Sungai Lasi ternyata mencukupi
kebutuhan makanannya sebagian dari hasil lahan garapan mereka dan sebagian lagi dibeli di
pasar dan warung. Artinya, ketersediaan makanan di dua daerah tersebut dalam keadaan
normal terjamin. Kondisi normal dimaksud adalah diukur dengan kemampuan daya beli dan
kondisi hasil pertanian yang ada serta pendapatan masyarakat. Juga perlu diperhatikan bahwa
masyarakat tidak dalam mendapatkan bantuan makanan atau yang lainnya yang berhubungan
dengan akses makanan dalam jangka pendek dari pihak luar. Apabila masyarakat
mendapatkan bantuan dari pihak luar, hal itu berarti masyarakat memang tidak mampu
mengakses makanan secara mandiri, Makanya program ini boleh diklasifikasikan kepada
masa rehabilitasi, bukan emergency karena dalam keadaan emergency program ini tidak
efektif dilakukan.
Survey ini menjadi penting karena program perbaikan gizi akan dilakukan dalam waktu yang
panjang oleh masyarakat secara partisipatif, bukan hanya kegiatan jangka pendek dan
pastikan bahwa sumberdaya tersebut adalah berasal dari lokal dan tidak didatangkan dari luar
komunitas atau dari luar daerah. Apabila sumberdaya tersebut berasal dari daerah lain, maka
ketersediaan setiap waktu dan juga kemampuan masyarakat dalam mengaksesnya diragukan,
apalagi dengan kondisi perekonomian di Sungai Lasi yang cukup sulit bagi mereka
mendatangkan sumberdaya dari luar.
Kondisi lain yang perlu dipantau sehubungan dengan justifikasi dalam memilih program ini
sebagai solusi kekurangan gizi adalah adanya faktor penghambat selain yang disebutkan di
atas, seperti cacingan pada anak, angka TB yang tinggi, diare, pneumonia, dan KLB penyakit
campak yang mengharuskan pihak pelaksana program menuntaskan dulu penyakit tersebut
dengan intervensi medis sebelum melakukan program. Di Sungai Lasi tidak ditemukan faktor
penghambat di atas, kecuali diare yang dialami oleh beberapa anak dan satu orang anak
direkomendasikan harus mendapat perawatan medis secara intensif karena mangalami
gangguan pertumbuhan dan perkembangan.

Tahapan selanjutnya yang harus dilakukan adalah meminta kesediaan dari keluarga yang
mempunyai anak, khususnya yang mengalami gangguan gizi (setelah ditimbang) untuk
berkomitmen mengikuti program. Hal ini tidaklah mudah, karena seorang fasilitator harus
tanggap kepada perasaan dan kebutuhan keluarga, misalnya orang tua akan marah jika
anaknya dikatakan kurang gizi (walaupun kenyataannya benar). Carilah bahasa yang lebih
halus dan tidak vulgar, seperti, hasil timbangan anak ibu kurang dari yang seharusnya atau
bahasa lainnya yang tidak akan membuat orang tua tersinggung. Karena ketersinggungan itu
berdampak kepada keengganan untuk terlibat dalam program dan menurunkan motivasi
untuk memperbaiki gizi anak.
Hal lain yang harus diperhatikan adalah menumbuhkan kepedulian orang tua (tidak hanya
istri, akan tetapi juga suami dang anggota keluarga lainnya) terhadap kesehatan dan gizi anak.
Sang istri yang sudah mengetahui urgensi kecukupan gizi anak juga harus memotivasi sang
suami dan anggota keluarga lainnya. Pasangan suami istri di Koto Tuo, Sungai Lasi,
misalnya. Sang suami membawa anak mereka ke pos gizi -menggantikan istrinya- dan
berdiskusi bersama keluarga lainnya. Sang istri sangat bangga bahwa suaminya punya
kepedulian yang tinggi terhadap kesehatan anak mereka. Sehingga mereka rutin bergantian
dan bahkan sering bersama mengikuti sesi gizi di kampung mereka.
Meminta komitmen dari pemuka masyarakat setempat untuk mendukung program ini
merupakah keharusan, karena dengan dukungan dalam pertemuan-pertemuan di masyarakat,
membuat motivasi masyarakat menjadi lebih tinggi untuk berpartisipasi. Seperti di Pos Gizi
Koto Tuo, Wali Jorong, pemuka masyarakat lainnya bersama masyarakat dan pemuda
bergotongroyong memperbaiki bangunan yang akan dijadikan sebagai pos gizi bagi anakanak mereka, ini merupakan awal yang sangat baik dalam menjalankan program yang
partisipatif.
Dari pengalaman di lapangan, faktor tempat menjadi berpengaruh bagi kelancaran program,
pernah dilakukan di beberapa rumah kader atau rumah penduduk, namun peserta merasakan
ada kecanggungan. Apalagi bagi yang pernah berkonflik, rata-rata mereka mencari alasan
untuk tidak bisa datang dalam kegiatan pos gizi. Bangunan umum ternyata menjadi solusi
yang lebih baik karena berbagai kecanggungan akan hilang karena masyarakat merasa sama
mempunyai
hak
memanfaatkannya.
2.

Mobilisasi masyarakat dan pemilihan orang yang akan terlibat dalam program

Sosialisasikan program kepada pemuka masyarakat dan masyarakat luas dengan menggali
keinginan mereka terhadap kondisi kekurangan gizi yang dialami anak-anak di daerah
mereka. Dukungan dari masyarakat secara luas harus didapat dengan melakukan pendekatanpendekatan partisipatif, sehingga target partisipasi yang diharuskan program bisa terwujud
tidak hanya dari keluarga peserta program, akan tetapi juga dari masyarakat secara luas.
Program pos gizi merupakan program masyarakat, sehingga menuntut partisipasi masyarakat
dari awal proses program.
Sementara itu, pelaksana program yang datang dari luar berfungsi sebagai fasilitator karena
mereka pada dasarnya tidak mengetahui apa yang terjadi di masyarakat, apa nilai-nilai yang
hidup dan tumbuh di masyarakat, apa prilaku umum dan khusus masyarakat, dan lain
sebagainya yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Satu hal yang pasti harus
dilakukan oleh fasilitator program ini adalah menjamin terlaksananya program oleh
masyarakat. Ini bukan kerja mudah. Malah pada awal program mobilitas fasilitator dituntut

sangat tinggi, karena proses awal ini akan menentukan keberhasilan program. Pastikan semua
elemen
yang
terkait
dengan
program
berjalan
dengan
baik.
3.

Persiapkan penjajakan Positive Deviance

Seperti halnya setiap memulai sesuatu aktivitas di lapangan, fasilitator/surveyor harus


mempersiapkan segala sesuatu hal yang akan berguna untuk mencapai tujuan, begitu juga
halnya dengan penjajakan positive deviance ini. Di antara persiapannya adalah :

4.

a. Persiapkan data sekunder; Biasanya data ini ada di posyandu atau polindes dan
puskesmas, data sekunder ini bertujuan untuk memudahkan dalam menelusuri
keluarga mana yang pantas dikunjungi atau dijajaki.

b. Persiapkan lokasi dan keluarga yang akan dijajaki; Tentukan lokasi dan keluarga
mana yang akan dijajaki sehingga penjajakan akan lebih terarah kepada target.
Biasanya keluarga yang akan dikunjungi lebih dari 3 (tiga) keluarga, mengingat
proses penjajakan yang harus teliti dan sulitnya menemukan perilaku menyimpang
dalam sebuah keluarga.

c. Atur waktu pertemuan dengan keluarga; Jangan sampai terlalu menggangu keluarga
yang akan dikunjungi. Faktor ini harus diperhatikan dengan serius, walau terlihat
hanya remeh-temeh, namun ini merupakan kesan pertama yang ditangkap masyarakat.
Jika kesan ini tidak bagus atau dalam artian keluarga yang dikunjungi merasa sangat
terganggu, maka masyarakat akan membuat pencitraan tersendiri terhadap
fasilitator/surveyor.

d. Persiapkan alat pendukung; Persiapkan alat-alat pendukung yang nantinya


diperlukan, seperti alat tulis, data sekunder, timbangan dan lainnya yang dibutuhkan.

e. Buatkan daftar pertanyaan dan pengamatan sebagai pegangan untuk


fasilitator/surveyor yang akan bertugas.

f. Bagi tenaga; Biasanya penjajakan ini dilakukan secara bersama dengan melibatkan
kader di desa secara partisipatif, maka tenaga yang tersedia harus dibagi ke berbagai
keluarga yang masuk ke dalam list yang akan dikunjungi. Dalam mengunjungi
keluarga jangan terlalu ramai dan jangan terkesan fasilitator/surveyor menginterogasi
keluarga.

g. Bekali fasilitator/surveyor dengan teknik dan etika penjajakan keluarga.

Lakukan penjajakan Positive Deviance

Mulailah melakukan penjajakan dengan lebih akrab dengan keluarga dan anak, masuklah ke
dalam dunia mereka, jangan bawa dunia baru kepada mereka. Usahakan semua keluarga
(termasuk pengasuh) yang dijajaki hadir dalam proses penjajakan, karena mereka merupakan
sumber informasi. Tanyakan dan amati beberapa hal yang menyangkut bahan makanan dan
cara memasak, pola pemberian makanan terhadap anak, pola pengasuhan anak dan penerapan
prilaku sehat terhadap anak dan keluarga.

Dalam proses penjajakan, seorang fasilitator/surveyor harus banyak mengamati, tidak hanya
bertanya, termasuk kondisi kebersihan dan lingkungan. Sering kali penjajakan tidak bisa
dilakukan hanya pada hari itu, tidak jarang fasilitator/surveyor harus kembali mengamati
keluarga tersebut pada hari yang lain, misalnya mengamati cara masak keluarga, pola
pemberian makanan si anak dan lain sebagainya, sehingga penjajakan akan lebih sempurna.
Konfrontasikan data yang didapat dari keluarga dengan pandangan dan hasil pengamatan
tetangga mereka, karena tetangga biasanya banyak tahu sebagai orang yang berada di
lingkungan mereka. Jika tetangga merasa keberatan dengan data yang fasilitator/surveyor
dapatkan,
maka
lakukan
pengamatan
ulang.
5.

Rancang Proses Transformasi Pengalaman

Setelah dilakukan penyimpangan positif, lakukan pertemuan untuk merancang sesi


transformasi pengalaman dalam hal (bahan makanan dan cara memasak, pola pemberian
makanan terhadap anak, pola pengasuhan anak dan penerapan prilaku sehat terhadap anak
dan keluarga) yang sesuai dengan hasil penjajakan positive deviance yang telah dilakukan.
Proses transformasi pengalaman ini sering disebut juga sesi hearth.
Buatlah rancangan untuk jangka pendek dan jangka panjang secara bersama dan gali
kesadaran masyarakat untuk peduli terhadap kesehatan anak, keluarga dan lingkungan
mereka. Karena pada dasarnya manusia bertahan hidup dengan komunitas, bukan individu.
Setidaknya
harus
ada
kepedulian
orang
lain
terhadap
dirinya.
6.

Lakukan Proses Transformasi Pengalaman

Setelah membuat rancangan proses transformasi pengalaman secara bersama dengan peserta
lainnya, maka selanjutnya lakukan prosesi sesuai dengan rancangan tersebut. Pastikan bahwa
dalam proses transformasi pengalaman juga dilakukan sesi memasak bersama dan
mempraktekkan prilaku sehat pada anak.
Pertama, kumpulkan kontribusi dari para peserta, biasanya adalah bahan makanan lokal,
peralatan masak beserta kelengkapan, seperti kayu bakan atau minyak tanah jika memasak
dengan kompor.
Kedua, terangkan dan berbagilah tentang apa yang akan dimasak (tentu masakan lokal yang
pernah/sering dilakukan ibu yang berhasil) oleh ibu yang anaknya sehat. Lalu uraikan
komponen yang akan dimasak dan terangkan kadar gizi yang terkandung di dalamnya.
Sementara sesi ini berjalan, anak-anak perlu diperhatikan dan diasuh oleh beberapa ibu atau
kakak-kakak mereka, sehingga tidak mengganggu proses transformasi dan memasak.
Ketiga, lakukan makan bersama serta memulai dengan mencuci tangan secara bersama (agar
menjadi kebiasaan), lalu terapkan prilaku baik lainnya sebelum makan, seperti membaca doa
dan lainnya.
Keempat, setelah makan lakukanlah diskusi seputar gizi, pengasuhan anak, kebersihan
personal dan lingkungan, sehingga mereka dapat berbagi dan mendapatkan pengetahuan serta
pengalaman baru.

Kelima, sepakati menu dan topik diskusi untuk hari berikutnya secara bersama, dan tetapkan
jenis kontribusi yang harus dibawa peserta, sehingga pada hari selanjutnya prosesi ini bisa
dilakukan tepat waktu.
Bagilah waktu dengan cermat, dan jangan terlalu lama dalam prosesi tranformasi
pengalaman, utamakanlah kwalitasnya, sehingga aktivitas sehari-hari keluarga tidak terlalu
terganggu.
7.

Dukung prilaku baru

Dalam melakukan sesi transformasi pengalaman, baik memasak, makan bersama,


mempraktekkan kebersihan anak serta berdiskusi, hal yang terpenting dilakukan adalah
memberikan penghargaan terhadap setiap pendapat atau tanggapan walaupun remeh.
Dukunglah prilaku baru bagi semua peserta yang melakukannya, berikan terus motivasi
kepada mereka serta yakinkan mereka bahwa yang mereka lakukan adalah benar dan sangat
baik untuk kesehatan anak mereka.
Mendukung prilaku baru ini tidak melulu dilakukan dalam sesi transformasi pengalaman ini,
akan tetapi juga akan lebih efektif dan mengena jika mendukung prilaku mereka dengan
mendatangi rumah mereka sambil mengamati pola dan prilaku keluarga dalam memasak,
mengasuh, memberi makan anak serta kesehatan personal dan lingkungan mereka. Motivasi
dan
dukung
terus
prilaku
sehat
yang
mereka
lakukan.
8.

Ciptakan kegiatan pendukung agar kegiatan tidak menjemukan

Seperti juga halnya dengan setiap kegiatan rutin, jika tidak ada suatu kondisi yang membuat
nyaman, maka semua orang akan mereasa jenuh. Begitu juga halnya dengan kegiatan ini,
peserta akan lebih cepat jenuh, apalagi di tengah aktivitas keseharian para ibu-ibu peserta
yang cukup sibuk. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk menghilangkan kejenuhan dalam
melakukan kegiatan ini, diantaranya adalah seperti yang biasa dilakukan yaitu arisan atau
julo-julo, sehingga ada sesuatu yang akan mereka harapkan atau bawa pulang di setiap sesi.
Selain itu, jika memungkinkan, kelompok pos gizi juga dapat melakukan kegiatan membuat
kerajinan tangan yang bisa dipasarkan atau melakukan kegiatan ekonomis lainnya. Sehingga
di samping melakukan aktivitas demi kesehatan anaknya, juga mereka mendapatkan
penghasilan tambahan dari kegiatan pendukung yang mereka lakukan. Akan tetapi pastikan
bahwa kegiatan pendukung ini jangan sampai menjadi kegiatan utama sehingga perlahan
akan mengabaikan kegiatan peningkatan status gizi terhadap anak-anak mereka, baik ketika
berada
di
pos
gizi
maupun
di
rumah
masing-masing.
9.

Ulang sesi Hearth jika diperlukan

Setelah melakukan prosesi langkah pertama sampai dengan langkah kedelapan, akan ada
terasa sesuatu hal yang baru dan positif. Namun kegiatan Positive Deviance ini tidaklah
seperti mengkonsumsi obat, sekali membeli, meminumnya dan setelah itu langsung sehat,
akan tetapi ini adalah suatu proses sosial yang tidak bisa dilakukan hanya sekali jalan.
Banyak anak yang status gizinya meningkat setelah mengikuti satu sesi hearth ini (selama
tiga bulan). Namun, ada beberapa kasus status gizi anak tidak mengalami peningkatan yang

berarti selama satu sesi itu. Hal ini bisa disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya ada
penyakit lain sebagai penyebab.
Jika ternyata setelah mengikuti satu kali sesi hearth (3 bulan) dirasakan peningkatan status
gizi anak belum seperti yang diharapkan, maka dianjurkan sekali untuk mengulangi lagi
mengikuti sesi hearth berikutnya. Sebab pada dasarya anak-anak suka untuk berkumpul dan
bersosialisasi antar sesama mereka, dan tidak sedikit juga anak-anak yang tetap ikut sesi ini
walaupun
sudah
lulus
atau
status
gizinya
normal.
10.

Perluas program Positive Deviance & Hearth

Seperti halnya setiap kegiatan yang positif, banyak pihak yang ingin mencoba menirunya.
Penggunaan pendekatan positive deviance dalam meningkatkan status gizi anak, secara
konsep, sudah dirancang sedemikian rupa sehingga kegiatannya menjadi sederhana dan
replicable atau bisa dilakukan dalam komunitas lain. Selain di Sungai Lasi Kabupaten Solok,
Totalitas juga telah mereplikasi kegiatan ini di kecamatan Bungus Teluk Kabung, Kota
Padang.
Positive deviance adalah suatu pekerjaan yang dimulai dengan nilai lokal (local wisdom).
Suatu pekerjaan yang dimulai dengan memanfaatkan nilai lokal jauh lebih efektif daripada
membawa nilai-nilai baru yang dipaksakan. Bagaimanapun nilai lokal merupakan suatu
komitmen dan prilaku yang sudah mengakar di dalam sebuah komunitas, dan hal itu mereka
lakukan dan jaga bersama secara terus menerus.
Di lain sisi, dalam implementasi program dengan model positive deviance menuntut aktivitas
partisipatif sebagai roh dari keberlangsungan dan keberlanjutan program di tingkat
komunitas. Sangat banyak program atau kegiatan yang positif menjadi sia-sia disebabkan hal
sederhana yang terabaikan semenjak aktivitas dimulai. Niat baik dan kegiatan baik akan
menjadi kurang berarti jika tidak dilaksanakan dengan cara yang baik pula. Maka tugas
selanjutnya
adalah
menjaga
keberlanjutan
program/kegiatan.
DAFTAR

PUSTAKA

Deanden, K., N. Quan, M. Do, D. Marsh, D. Schroeder, H. Pachon, L. Tran, Influences on


Health
Behavior,
Child
Survival
Connections
Donna Sillan, Deviasi Positif/Hearth, Child Survival and Collaborations and Resources
(CORE)
Group
Dorsey,
David,
Positive
Deviance,
FC,
2000
Mercy
Corps,
Notulensi
Training
Penyimpangan
Positif,
Padang,
2003
PCI/Indonesia,
Training
Deviasi
Positif
(DePo),
Jakarta,
2002
Positivedeviance.org, Introduction to PD, 2002, Supported by a Grant From The Ford
Foundation
Save The Children Experience, The Positive Deviance Hearth Nutrition Model, 2002
Soelaiman, M. Munawar, Dinamika Masyarakat Transisi Mencari Alternatif Teori Sosiologi
dan
Arah
Perubahan,
Pustaka
Pelajar,
1998
Sternin, Jerry and Choo, Robert, The Power of Positive Deviancy, Harvard Bussines Review,
2000
The PD Network, Positive Deviance Pendekatan Pemecahan Masalah Masyarakat Berbasis
Masyarakat, Vol 1, No 1, 2003

Anda mungkin juga menyukai