Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat telah mengenal secara luas dan turun temurun penggunaan
obat obat tradisional. Salah satunya adalah Pegagan (centella asatical (L.).
Pegagan ini dimanfaatkan dalam bentuk bahan segar, kering maupun dalam
bentuk ramuan atau jamu. Efek pengobatan dari pegagan secarara tradisisonal dan
secara ilmiah sudah lama berkembang. Pegagan telah dikenal sebagai obat untuk
revitalisasi tubuh dan pembuluh darah serta mampu memperkuat struktur jaringan
tubuh. Pegagan dapat diberikan sabagai obat kepada penderita insomnia, penderita
stress dan penderita kelainana mental.
Beberapa penelitian sudah pernah dilakukan untuk membuktikan efek
sedatif-hipnotik ekstrak Pegagan. Selain itu, Pegagan juga dapat mempercepat
perbaikan akson pada kerusakan saraf. Pegagan juga dapat meningkatkan faktor
pertahanan gaster berupa peningkatan sekresi musin gaster dan produksi
glikoprotein sel mukosa.
Mengingat betapa luas dan seringnya pemakaian Pegagan ini sebagai obat,
maka penggunaan tanaman ini harus melalui serangkaian uji, seperti uji khasiat,
toksisitas dan uji klinik. Dengan dasar tersebut dan mempertimbangkan
potensinya yang cukup tinggi, maka penulis tertarik untuk melakukan uji
toksisitas akut ekstrak pegagan untuk menetapkan potensi ketoksikan dari
tanaman Pegagan.
Uji toksisitas merupakan salah satu uji pra-klinik. Uji ini dilakukan untuk
mengukur derajat efek toksik suatu senyawa yang terjadi dalam waktu singkat,
yaitu 24 jam, setelah pemberiannya dalam dosis tunggal. Tolak ukur kuantitatif
yang paling sering digunakan untuk menyatakan kisaran dosis letal atau toksik
adalah dosis letal tengah (LD50). Penelitian ini dilakukan secara in vivo,
menggunakan hewan coba mencit dengan paparan tunggal dosis bertingkat.
Pengamatan meliputi jumlah hewan yang mati serta gejala klinis ketoksikan
senyawa pada 24 jam pertama pemberian ekstrak Pegagan.

1.2 Rumusan Masalah


Pada dosis berapakah ekstrak Pegagan (Centella asatical L.) memberikan
efek toksik pada mencit?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Menentukan nilai dosis ekstrak Pegagan (Centella asatical L.) yang
mengakibatkan kematian 50% populasi mencit.
2. Mengamati gejala gejala klinis ketoksikan setelah pemberian ekstrak
Pegagan (Centella asatical L.)
1.4 Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan informasi penelitian lebih lanjut mengenai toksisitas akut
pemberian

ekstrak Pegagan (Centella asatical (L.) Urban) terhadap

mencit.
2. Sebagai dasar evaluasi keamanan perancangan klinik.
3. Sebagai pedoman untuk memperkirakan risiko penggunaan ekstrak
Pegagan (Centella asatical (L.) oleh atau pemajanannya pada diri
manusia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pegagan
2.1.1 Klasifikasi

Gambar 2.1 Tanaman Pegagan


Kingdom

: Plantae

Divisio

: Spermathophyta

Subdivision : Angiospermae
Class

: Dicotyledonae

Ordo

: Umbilales

Family

: Umbilaferae (Apiaceaea)

Genus

: Centella

Species

: Centella asiatica (L) Urban

2.1.2

Nama
Daerah : Sumatera : daun kaki kuda, daun penggaga, pegagan, pegaga,

rumput kaki kuda, pegago. Jawa : antanan gede, antanan rambat (Sunda), gagangagan, ganggagan, kerok
batok, panegowang, rendeng, calingan rambat (Jawa), gan gagan, kos tekosan
(Madura) Bali: taidah Nusa Tenggara : belele (Sasak), kelai lere (Sawo)
Sulawesi : wisu-wisu, pagaga
(Makasar), daun tungke-tungke, cipubalawo (Bugis), hisu-hisu (Aselayar)
Halmahera : sarowati, kori-kori Ternate : kolotidi manora Irian : dogauke,
gogauke, sandanan

Asing : Broken copper coin, button grass, small-leaved horsehoof grass,


Indian pennywort, asya sutasi, brahmi, marsh penny, white rot, buabok, indische
waternavel, paardevoet (Belanda), gotu kola (India), ji xue cao (Cina).
2.1.3

Deskripsi Tanaman
Pegagan dikenal dengan nama latin Centella asiatica atau Hydrocotyle

asiatica. Nama ini diturunkan dari bahasa latin Hydro yang berarti air karena
tanaman ini sangat suka lingkungan yang lembab dan Cotyle yang berarti
mangkuk

karena

daunnya

yang

sedikit

berbentuk

cekung.

Pegagan

diklasifikasikan ke dalam famili Umbelliferae (Apiaceae), genus Centella dengan


nama spesies Centella asiatica L. (Urb.) (Winarto dan Surbakti, 2003). Tanaman
ini berasal dari Asia Tropik. Pegagan dikenal secara internasional dengan nama
Asiatic Pennywort, Indian Pennywort atau Gotu Cola (Heyne, 1987).
Pegagan berasal dari Asia Tropik tersebar di Asia Tenggara, India, Cina,
Jepang, Australia, dan negara-negara lain. Sejak ribuan tahun lalu, tanaman ini
telah digunakan sebagai obat untuk mengobati berbagai penyakit pada hampir
seluruh belahan dunia. Selain digunakan sebagai obat, pegagan juga dikonsumsi
sebagai lalap terutama oleh masyarakat di Jawa Barat. Menurut Lasmadiwati, dkk,
(2003) Jenis pegagan ada dua macam yaitu pegagan merah dan pegagan hijau.
Salah satu tumbuh-tumbuhan yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat
adalah pegagan, karena pegagan memiliki khasiat yang banyak sehingga dapat
digunakan sebagai obat tradisional. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan
yang berasal dari tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau
campuran dan bahan-bahan tersebut, yang secara tradisional telah digunakan
untuk pengobatan berdasarkan pengalaman (Zulkifli, 2008). Obat tradisional pada
saat ini banyak digunakan karena menurut beberapa penelitian tidak terlalu
menyebabkan efek samping, karena masih bisa dicerna oleh tubuh. Beberapa
perusahaan mengolah obat-obatan tradisional yang dimodifikasi lebih lanjut.
Bagian dari tumbuhan obat yang bisa dimanfaatkan adalah akar, rimpang, batang,
buah, daun dan bunga. Bentuk obat tradisional yang banyak dijual dipasar dalam
bentuk kapsul, serbuk, cair, simplisia dan tablet. Selain itu obat tradisional mudah

dijangkau olah masyarakat dan baik harga maupun ketersediaanya (Zulkifli,


2008).
2.1.4

Morfologi Tanaman

Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban) merupakan tanaman liar yang banyak
tumbuh di perkebunan, ladang, tepi jalan, pematangan sawah ataupun di ladang
agak basah (Besung, 2009). Pegagan tumbuh merayap menutupi tanah, tidak
memiliki batang, tinggi tanaman antara 10 50 cm. Pegagan memiliki daun satu
helaian yang tersusun dalam roset akar dan terdiri dari 2 10 helai daun. Daun
berwarna hijau dan berbentuk seperti kipas, buah berbentuk pinggang atau ginjal.
Pegagan juga memiliki daun yang permukaan dan punggungnya licin, tepinya
agak melengkung ke atas, bergerigi, dan kadang-kadang berambut, tulangnya
berpusat di pangkal dan tersebar ke ujung serta daunnya memiliki diameter 1-7
cm (Winarto, 2003).
Pegagan memiliki tangkai daun berbentuk seperti pelepah, agak panjang
dan berukuran 5 - 15 cm. Pada tangkai daun pegagan dipangkalnya terdapat daun
sisik yang sangat pendek, licin, tidak berbulu, berpadu dengan tangkai daun.
Pegagan memiliki bunga putih atau merah muda yang tersusun dalam karangan
yang berbentuk payung. Buah pegagan berbentuk lonjong atau pipih, berbau
harum dan rasanya pahit, panjang buah 2 2,5 mm. Buah pegagan berdinding
agak tebal, kulitnya keras, berlekuk dua, berusuk jelas, dan berwarna kuning
(Winarto, 2003).
Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban) merupakan tumbuhan berbiji
tertutup dan berkeping dua. Merupakan tanaman herba yang berpotensi dalam hal
farmakologi (Dasuki, 1991). Pegagan memiliki akar rimpang yang pendek serta
mempunyai geragih (Savitri, 2006), akar keluar dari buku dan berupa akar
tunggang berwarna putih. Stolon tumbuh dari system perakaran, memilki ukuran
yang panjang dan tumbuh menjalar . Pada setiap buku dari stolon akan tumbuh
tunas yang akan menjadi cikal bakal tumbuhan pegagan baru (Winarto, 2003).
Bunga tersusun dalam karangan berupa payung yang muncul dari ketiak
daun. Pada tiap karangan terdapat tiga buah bunga. Kelopak bunga berwarna hijau

dan mahkota bunga berwarna merah. Buah berukuran kecil, berwarna kuning
coklat dan berbentuk lonjong. Tumbuhan ini berkembangbiak dengan biji dan
sulur batang atau stolon (Djauhariya dan Hernani, 2004).
2.1.5

Syarat Tumbuh
Pegagan dapat tumbuh hampir di semua tempat. Pegagan dapat tumbuh

pada ketinggian antara 0 2.500 m dari permukaan laut. Pegagan merah tumbuh
subur di tempat terbuka dan dapat hidup di tanah dengan kandungan hara sedikit.
Pegagan hijau dapat tumbuh di tempat terbuka atau ternaungi, biasanya tumbuh di
sawah atau di antara rerumputan. Pegagan hijau menyukai tanah yang memiliki
kandungan bahan organik tinggi, aerase baik, dan agak lembab.
2.1.6 Budidaya Tanaman
1. Penyiapan Lahan
Pegagan dapat dibudidakan di lahan atau menggunakan pot/polibeg.
Apabila ditanam di lahan, sebaiknya tanah dicangkul dengan kedalaman 20 cm,
dibersihkan dari gulma dan batubatuan. Kemudian dibuat bedengan dengan lebar
1 m dan tinggi 20 cm 30 cm, panjang bedengan disesuaikan dengan ukuran
lahan, jarak antar bedengan 50 cm. Apabila pegagan ditanam di dalam
pot/polibeg, sebaiknya pot/polibeg berdiameter 15 cm. Media tanam yang
digunakan kaya akan bahan organik dan gembur, dapat berupa campuran pasir,
tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 2 : 2 : 1.
2. Penyiapan Bibit
Bibit yang akan ditanam dapat diperoleh dengan cara memotong setiap
bukubuku tanaman pegagan yang memiliki stolon. Satu buku yang mempunyai
akar dapat tumbuh menjadi tanaman baru. Untuk budidaya pegagan, sebaiknya
satu bibit mempunyai tiga buku untuk menjamin pertumbuhan bibit.
3. Penanaman
Pada bedengan yang telah disiapkan di lahan, dibuat lubang tanam dengan
jarak 20 cm 30 cm dengan menggunakan tugal. Bibit ditanam dengan hati-hati
kemudian disiram. Bila pegagan ditanam di dalam pot/polibeg, media terlebih

dahulu dimasukkan ke dalam pot/polibeg. Dalam satu pot/polibeg dapat ditanam


satu atau lebih bibit, disiram, kemudian dipindahkan ke tempat yang teduh.
Apabila bibit telah tumbuh dengan baik, pot/polibeg dapat dipindahkan ke tempat
terbuka.
4. Pemeliharaan
Pupuk yang digunakan dalam budidaya pegagan adalah pupuk organik,
dapat berupa kompos atau pupuk kandang. Penggunaan pupuk kimia (anorganik)
sebaiknya dihindari karena dikhawatirkan dapat menimbulkan efek negatif. Pupuk
dapat disebar merata di atas bedengan atau dicampurkan pada media tanam di
pot/polibeg. Pemupukan susulan dilakukan sesuai dengan kondisi kesuburan
tanah. Penyiraman tanaman disesuaikan dengan kondisi kelembaban tanah.
Penyiraman dilakukan minimal sekali sehari. Pegagan hampir tidak pernah
terserang hama dan penyakit. Terkadang daun pegagan diserang kutu, untuk
mengendalikannya sebaiknya daun yang terserang dibuang. Tidak dianjurkan
menggunakan pestisida kimia karena residunya dapat menimbulkan efek negatif
bila pegagan dikonsumsi. Apabila serangan hama sangat mengganggu pertum
buhan pegagan, dapat digunakan pestisida nabati untuk mengendalikannya. Cara
pembuatan pestisida nabati adalah dengan mencampurkan tanaman mimba
(Azadiractha indica), tembakau (Nicotiana tabacum) dan akar tuba (Derris
eclipta). Semua bahan ditumbuk halus, kemudian direndam air, diaduk merata,
didiamkan selama satu malam. Keesokan harinya, campuran disaring, dilarutkan
dalam air hangat. Penyemprotan dapat dilakukan pada pagi atau sore hari, saat
tidak hujan (Mahendra, 2005).
2.1.7

Panen dan Pascapanen


Panen merupakan salah satu rangkaian tahapan dalam proses budidaya

tanaman obat. Penentuan tingkat kemasakan yang tepat pada saat umur panen
merupakan salah satu aspek agronomi penting untuk memperoleh produk yang
berkualitas tinggi. Setiap jenis tanaman memiliki waktu panen yang berbeda.
Derajat kematangan pada waktu pemanenan hasil sangat menentukan mutu hasil
akhir yang diperoleh.

Yuliani et al. (1992) menyatakan bahwa pada tanaman obat derajat


kematangan berhubungan dengan jumlah kandungan zat berkhasiat. Dengan
demikian pada saat pemungutan hasil dari setiap organ tanaman perlu
diperhatikan waktu yang tepat. Selanjutnya Sutedjo (1990) menambahkan cara
melakukan panen bagian-bagian tanaman yang berkhasiat obat harus dilakukan
dengan perlakuan tertentu agar kandungan zat berkhasiatnya tidak merosot,
sehingga dengan perlakuan-perlakuan tersebut akan dihasilkan simplisia yang
memenuhi persyaratan sebagaimana dikehendaki oleh para konsumen.
Pemanenan dilakukan terhadap pegagan yang berdaun segar, berukuran
lebar dan tidak terserang hama atau penyakit. Waktu panen yang terlalu cepat
sebaiknya tidak dilakukan karena pembentukan zat-zat yang terkandung di dalam
pegagan belum sempurna. Sebaliknya, panen yang terlambat dapat mengakibatkan
daun menjadi keras dan tua (Winarto dan Surbakti, 2003). Sembiring (2007)
menambahkan pemanenan yang terlambat menyebabkan daun mengalami
penuaan (senescence) sehingga mutunya rendah karena bahan aktifnya sudah
terdegradasi.
Panen pegagan biasanya dilakukan setelah tanaman berumur 3 4 bulan,
dengan cara memangkas bagian daun dan batangnya. Selang pemanenan dengan
panen selanjutnya sekitar dua bulan. Hasil produksi total sekitar 15 - 25 ton /ha
segar atau setara 1,5 - 2,5 ton/ha kering (Januwati dan Yusron, 2005).
Pemanenan pegagan yang ditanam di bedengan dapat dilakukan sebanyak 3 kali
dengan cara memotong tanaman dari pangkal daun. Pemotongan dilakukan
dengan alat yang bersih dan tajam. Di samping itu harus dihindari terjadinya
pelukaan di permukaan batang yang dipotong. Sulur tetap dibiarkan tumbuh
sampai panen terakhir. Jadi selama periode panen tersebut dapat dilakukan
pemanenan sesuai dengan kebutuhan. Sementara itu, pemanenan pegagan yang
ditanam dalam polibag sebaiknya dilakukan sekali saja. Hal ini disebabkan jumlah
dan ukuran hara di media tanam (polibag) terbatas (Winarto dan Surbakti, 2003).
Fosfor merupakan salah satu unsur hara makro yang diperlukan oleh
tanaman, yang berperan penting pada berbagai proses kehidupan seperti
fotosintesis, metabolisme karbohidrat dan proses aliran energi dalam tanaman

(Satari, 1987). Fosfor merupakan bagian yang esensial dari berbagai gula fosfat
yang berperan dalam reaksi-reaksi pada fase gelap fotosintesis, respirasi dan
berbagai proses metabolisme lainnya. Fosfor juga merupakan bagian nukleotida
(RNA dan DNA) dan fosfolipida penyusun membran (Lakitan, 2008).
Ketersediaan fosfor bagi tanaman sangat bergantung pada konsentrasi orthofosfat
primer (H2PO4-) dan ion orthofosfat sekunder (HPO42-). Absorsi kedua ion ini
dipengaruhi oleh pH tanah (Novizan, 2005). Soepardi (1983) dan Leiwakabessy
(1988) menambahkan bahwa, pada pH yang rendah absorsi ion orthofosfat primer
lebih dominan dibandingkan dengan ion orthofosfat sekunder. Fosfor diserap
tanaman dalam bentuk ion H2PO4- atau HPO42-, tergantung pH larutan tanah.
Pada pH 7.22 jumlah ion H2PO4- sama dengan HPO42-, di bawah pH 6.5
sebagian besar dalam bentuk ion H2PO4- dan di atas pH 7.22 sebagian besar
dalam bentuk ion HPO42-. Tanaman menyerap ion H2PO4- lebih cepat dari pada
ion HPO42-. Senyawa fosfat organik dapat diserap tanaman, akan tetapi dalam
jumlah kecil (Tisdale et al., 1985 ).
Fosfor berperan dalam pembentukan lemak dan albumin, penyusun asam
nukleat, fosfolipid, koenzim NAD dan NADP, penyusun ATP, melawan pengaruh
buruk nitrogen, perkembangan akar halus dan akar rambut serta ketahanan
terhadap penyakit. Kadar fosfor rendah bagi tanaman berakibat kahat P sehingga
mengurangi sintesis protein, sebab fosfor adalah sumber energi untuk mengubah
asimilat menjadi

nukleoprotein. Kekahatan ini

menyebabkan terjadinya

penimbunan gula pada bagian vegetatif tanaman yang mendorong pembentukan


antosianin sehingga warna daun berubah menjadi hijau tua. Daun tua berwarna
coklat gelap saat gugur (Salisbury dan Ross, 1995). Ismunadji et al. (1991)
menyatakan bahwa tanaman yang kahat P tumbuhnya kerdil karena selnya tidak
dapat membelah, pertumbuhan terhambat dan hasil rendah dengan mutu jelek.
Fosfor berperan dalam pembelahan sel, pembentukan bunga, buah dan biji,
kematangan tanaman dan meningkatkan kualitas tanaman. Selain itu fosfor juga
berperan sebagai penyusun metabolit dan senyawa kompleks, sebagai aktivator
dan kofaktor atau penyusun enzim, serta berperan dalam proses fisiologi
(Soepardi, 1983).

Havlin (2005) menyatakan bahwa kahat P pada tanaman muda


menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat. Fosfor di dalam tanaman bersifat
mobil sehingga jika terjadi kekahatan, fosfor dari daun akan dipindahkan ke daun
yang lebih muda. Hal ini mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan dan tanaman
tidak mampu berproduksi secara optimal. Kadar fosfor di dalam tanaman 0,10,5% lebih rendah dari kadar nitogen dan kalium. Marschner (1985) menyatakan
bahwa kebutuhan fosfor untuk pertumbuhan optimum tanaman berkisar 0,3-0,5%
dari berat kering tanaman selama pertumbuhan vegetatif, pada konsentrasi lebih
tinggi dari 1% dalam bahan kering kemungkinan tanaman akan keracunan.
Pegagan dapat dipanen apabila akan dikonsumsi atau digunakan. Bila akan
diolah pemanenan dapat dilakukan 3 bulan setelah penanaman. Pegagan dapat
digunakan dalam bentuk segar dan kering. Pengeringan dapat dilakukan dengan
cara diangin-anginkan, tidak dijemur di bawah sinar matahari langsung karena
akan merusak fisik dan kandungannya. Setelah kering bahan dapat dikemas dan
simpan dalam kantungan plastik. Pegagan kering dapat digunakan dalam bentuk
serbuk atau serbuk teh yang diminum airnya. Pegagan juga dapat digunakan
dalam bentuk krim, salep dan body lotion.
2.1.8

Kandungan Bahan Aktif Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban)


Pegagan mengandung asiaticoside, thankuniside, isothankuside,

madecassoside, brahmoside, brahmic acid, madasiatic acid, hydrocotyline,


mesoinositol, centellose, carotenoids, garam mineral (seperti garam kalium,
natrium, magnesium, kalsium, besi), zat pahit vellarine, dan zat samak
(Dalimartha, 2004).
Menurut Winarto (2003) pada pegagan (Centella asiatica (L.) Urban)
mengandung berbagai bahan aktif meliputi: 1) triterpenoid saponin, 2) triterpenoid
genin, 3) minyak essensial, 4) flavonoid, 5) fitosterol, dan bahan aktif lainnya.
Kandungan bahan aktif yang terpenting dari beberapa bahan aktif lainnya adalah
triterpenoid saponin. Bahan aktif triterpenoid saponin meliputi: 1) asiatikosida, 2)
centellosida, 3) madekossida, 4) dan asam asiatik.
Pegagan (Centella asiatica (L) Urban) yang banyak digunakan sebagai
obat alami mengandung berbagai bahan aktif, kandungan bahan aktif itu adalah
10

triterpenoid saponin. Bahan aktif triterpenoid saponin itu meliputi asiatikosida,


centellosida, madekossida, asam asiatik dan komponen yang lain adalah minyak
volatile, flavonoid, tannin, fitosterol, asam amino dan karbohidrat. Bahan aktif
triterpenoid saponin berfungsi untuk meningkatkan aktivasi makrofag yang
menyebabkan meningkatnya fagositosis dan sekresi interleukin. Sekresi
interleukin ini akan memacu sel untuk menghasilkan antibodi (Besung, 2009).
Bahan aktif asiatikosida dan madekossida mampu memperbaiki kerusakan
sel dan membentuk serat kolagen secara cepat, bahan aktif tersebut juga mampu
memperbaiki sel-sel granulosa pada ovarium (Suhaemi, 2007). Selain itu bahan
aktif asiatikosida diketahui mempercepat penyembuhan luka dengan jalan
meningkatkan kandungan hidroksiplorin dan mukopolisakarida yang merupakan
bahan untuk mensintesis matriks ekstra seluler. Asiatikosida dapat juga
meningkatkan produksi antioksidan baik dari golongan enzimatik dan non
enzimatik ( Kusumawati, 2007).
Triterpenoid saponin pada pegagan (Centella asiatica (L.) Urban)
berfungsi untuk meningkatkan aktivasi makrofag. Bahan triterpenoid saponin
mampu memacu produksi kolagen I, yaitu protein pemacu proses penyembuhan
luka (Winarto, 2003). Dalam kajian fertilitas (terutama pada betina) menurut
Fitriyah (2009) bahan aktif pegagan (Centella asiatica (L.) Urban) dapat
mempengaruhi perkembangan folikel ovarium mencit betina (Mus muculus)
dengan meningkatkan dan menurunkan jumlah folikel primer, tertier, dan degraaf.
Asiatikosida mampu bekerja dalam detoksifikasi pada hati dan merupakan marker
dalam penentuan standar baku pada pegagan (Centella asiatica (L.) Urban).
Madekossida juga berperan penting karena mampu memperbaiki kerusakan sel
dengan sintesis kolagen (Selfitri, 2008). Fibroblast sangat penting dalam
pembentukan serat kolagen, kolagen dibina atas protein dan merupakan 30%
seluruh protein tubuh mamalia, oleh karena serat kolagen berperan dalam
penyembuhan luka atau kerusakan jaringan (Kusumawati, 2007).
Flavonoid adalah suatu kelompok yang termasuk ke dalam senyawa fenol
yang terbanyak di alam, senyawa-senyawa flavonoid ini bertanggung jawab
terhadap zat berwarna ungu, merah, biru dan sebagian zat berwarna kuning dalam

11

tumbuhan. Flavonoid dalam tumbuhan mempunyai empat fungsi: 1) sebagai


pigmen warna, 2) fungsi patologi, 3) aktivasi farmakologi, 4) flavonoid dalam
makanan (Handayani, 2005). Fitosterol merupakan turunan senyawa sterol yang
dahulu hanya ditemukan pada hewan dalam bentuk kolesterol sebagai bahan baku
pembentuk hormon seks. Senyawasenyawa fitosterol yang terdapat pada
tumbuhan antara lain: sitosterol, stimagsterol, dan kampesterol (Tisnajaya dkk,
2005).
2.1.9

Efek Farmakologis dan Hasil Penelitian


Tumbuhan ini bersifat manis: sejuk, anti infeksi, anti racun, penurun panas

(antipiretika), peluruh air seni (diuretikum), anti lepra, anti sifilis sekaligus
merevitalisasi sel kulit. Daun; sebagai astringensia dan tonikum. Pegagan dikenal
untuk merevitalisasi sel tubuh dan untuk kesuburan wanita. Memperbaiki sirkulasi
darah dengan merevitalisasi pembuluh darah (mempertinggi permeabilitas kapiler)
(Redaksi Karyasari, 2006).
Pegagan telah dikenal sebagai obat untuk revitalisasi tubuh dan pembuluh
darah serta mampu memperkuat struktur jaringan tubuh. Tak kalah penting,
pegagan bisa dikonsumsi sebagai brain tonic atau obat anti lupa bagi orang
dewasa dan manula. Pegagan juga bersifat menyejukkan atau mendinginkan,
menambah tenaga, menimbulkan selera makan, memperindah suara, dan
mengurangi dahaga. Disamping itu, pegagan mempermudahkan timbulnya rasa
kantuk bagi penderita sulit tidur, memenangkan saraf, memperbanyak sel-sel
darah merah, serta menyembuhkan gangguan ringan di hati dan limpa yang
membengkak (Winarto dan Surbakti, 2003).
Beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai efek farmakologis
pegagan : Ekstrak pegagan dalam sediaan jelly dapat menyembuhkan luka lebih
cepat dibandingkan sediaan salep dan krim. Sediaan dalam bentuk krim dan jelly
mempunyai stabilitas yang lebih baik dibandingkan salep selama 3 bulan
(Suratman, 1994, JF FMIPA UNPAD). Ekstrak pegagan dengan fraksi petroleum
eter tidak menghambat pertumbuhan bakteri, sedangkan fraksi kloroform dan

12

fraksi sisa dapat menghambat pertumbuhan bakteri (Zuriyati, 1993, JF FMIPA


UNAND).
2.1.10 Khasiat dan Cara Pemakaian
1. Infeksi saluran kencing, susah kencing Bahan : Pegagan kering 15 g,
kumis kucing kering 10 g, akar alang-alang kering 7 rumput mutiara
kering 10 g Pemakaian : Semua bahan dicuci bersih, kemudian direbus
dengan 7 gelas air hingga tersisa 3 gelas. Air rebusan diminum satu jam
sebelum makan sebanyak 3 kali sehari, yaitu pagi, siang, dan sore hari
(Mahendra, 2005).
2. Menambah daya ingat anak Bahan : Pegagan segar 30 g, temulawak 1
jari, madu secukupnya Pemakaian : Pegagan dicuci bersih, temulawak
dipotong tipis-tipis. Masukkan dalam panci keramik dan rebus dalam 2
gelas air hingga tinggal setengahnya. Dinginkan, tambahkan madu dan
minum sebelum makan. Anak-anak 2 5 tahun : 2 x gelas per hari
Anak-anak 6 12 tahun : 2 x gelas per hari (Kurniasih, dkk., 2003).
3. Kencing darah, muntah darah, mimisan Bahan : Pegagan segar 30 g,
urang-aring segar 30 g, akar alang-alang 30 g Pemakaian : Semua bahan
dicuci bersih. Rebus dalam 3 gelas aired sampai tersisa 1 gelas. Setelah
dingin, saring dan air saringannya diminum sekaligus. Lakukan 3 kali
sehari (Dalimartha, 2004).
4. Darah tinggi, jantung, stroke Bahan : Pegagan kering 15 g, sambiloto
kering 10 g, pulai kering 7 g, tempuyung kering 10 g, sambung nyawa
kering 10 g, daun dewa kering 10 g Pemakaian : Semua bahan dicuci
bersih, kemudian direbus dengan 7 gelas air hingga tersisa 4 gelas. Air
rebusan diminum satu jam sebelum makan sebanyak 3 kali sehari, yaitu
pagi, siang, dan sore hari (Mahendra, 2005).
5. Wasir Bahan : Pegagan segar 4 5 tanaman Pemakaian : Pegagan dicuci
bersih direbus dengan air selama 5 menit. Air rebusan diminum 2 kali
sehari selama beberapa hari (Djauhariya dan Hernani. 2004).
2.2 Uji Toksisitas Akut
2.2.1 Pengertian

13

Ketoksikan akut adalah derajat efek toksik suatu senyawa yang terjadi
secara singkat (24 jam) setelah pemberian dalam dosis tunggal. Jadi yang
dimaksud dengan uji toksisitas akut adalah uji yang dilakukan untuk mengukur
derajat efek suatu senyawa yang diberikan pada hewan coba tertentu, dan
pengamatannya dilakukan pada 24 jam pertama setelah perlakuan dan dilakukan
dalam satu kesempatan saja6,14 Data kuantitatif uji toksisitas akut dapat diperoleh
melalui 2 cara, yaitu dosis letal tengah (LD50) dan dosis toksik tengah (TD50).
Namun yang paling sering digunakan adalah dengan metode LD50.
2.2.2

Tujuan
Tujuan dilakukannya uji toksisitas akut adalah untuk menentukan potensi

ketoksikan akut dari suatu senyawa dan untuk menentukan gejala yang timbul
pada hewan coba. Data yang dikumpulkan pada uji toksisitas akut ini adalah data
kuantitatif yang berupa kisaran dosis letal atau toksik, dan data kualitatif yang
berupa gejala klinis.
2.2.3

Hewan Coba
Pada dasarnya tidak ada satu hewan pun yang sempurna untuk uji

toksisitas akut yang nantinya akan digunakan oleh manusia. Walaupun tidak ada
aturan tetap yang mengatur pemilihan spesies hewan coba, yang lazim digunakan
pada uji toksisitas akut adalah tikus, mencit, marmut, kelinci, babi, anjing,
monyet. Pada awalnya, pertimbangan dalam memilih hewan coba hanya
berdasarkan avaibilitas, harga, dan kemudahan dalam perawatan. Namun, seiring
perkembangan zaman tipe metabolisme, farmakokinetik, dan perbandingan
catatan atau sejarah avaibilitas juga ikut dipertimbangkan. Hewan yang paling
sering dipakai adalah mencit dengan mempertimbangkan faktor ukuran,
kemudahan perawatan, harga, dan hasil yang cukup konsisten dan relevan.
2.2.4

Perlakuan Hewan Coba


Hewan coba dikarantina terlebih dahulu selama 7 14 hari.

pengkarantinaan ini bertujuan untuk menghilangkan stres akibat transportasi.


Serta untuk mengkondisikan hewan dengan suasana lab. Pada waktu

14

pengkarantinaan, temperatur dan kelembaban harus diperhatikan. Temperatur


yang cocok untuk karantina adalah temperatur kamar serta kelembapan yang
sesuai antara 40 60%. Pemberian senyawa pada hewan coba (mencit) memiliki
dosis maksimum yaitu 5000mg/KgBB15 dan juga mempunyai batas maksimum
volume cairan yang boleh diberikan pada hewan uji. 6 Dosis yang diberikan
dapat diperhitungkan dengan beberapa cara, yaitu:
1. Berdasarkan ED50 senyawa uji dari hasil uji farmakologi dengan hewan uji
dengan jalur pemberian yang sama.
2. Berdasarkan harga LD50 senyawa uji pada hewan uji yang sama (5 10%
LD50 intra vena).
3. Berdasarkan kelipatan dosis yang disarankan untuk digunakan pada manusia.
4. Berdasarkan tabel konversi perhitungan dosis anta-jenis hewan, berdasarkan
nisbah (ratio luas permukaan badan mereka).
2.2.5

Cara Pemberian Senyawa


Lazimnya senyawa diberikan pada hewan coba adalah dengan cara per

oral, namun cara yang paling tepat adalah dengan mempertimbangkan


kemungkinan cara pemberian senyawa tersebut seperti pada manusia. Kebanyakan
orang lebih memilih memakai obat dari kulit atau melalui inhalasi karena
kemudahannya. Tetapi uji toksisitas melalui cara tersebut sulit dilakukan karena :
1. Uji toksisitas akut melalui inhalasi membutuhkan alat khusus, agar
perhitungan induksi obat sesuai standar, sehingga butuh biaya lebih banyak
serta menggunakan metode yang lebih rumit.
2. Uji toksisitas akut melalui kulit membutuhkan biaya yang lebih besar
dibandingkan dengan pemberian per oral.
3. Sedikit sekali hewan yang memiliki struktur kulit yang sama dengan manusia,
karena manusia mempunyai epidermis (stratum corneum) yang lebih tebal dari
hewan coba pada umumnya. Hewan yang mempunyai tingkat kesamaan
paling tinggi dalam struktur kulit dengan manusia adalah babi.
2.2.6

Pengamatan
Pengamatan dilakukan 24 jam pertama sejak diberikan perlakuan, dan 7

14 hari pada kasus tertentu. Sebaiknya mengamati hewan coba sebelum diberi
perlakuan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui perubahan gejala yang terjadi

15

setelah diberi perlakuan dengan membandingkan gejala atau perilaku sebelum


perlakuan.
Kriteria Pengamatan meliputi:
1.
2.
3.
4.

Pengamatan terhadap gejala gejala klinis.


Perubahan berat badan.
Jumlah hewan yang mati pada masing masing kelompok uji.
Histopatologi organ.

2.2.7

Analisa dan Evaluasi Hasil


Data gejala gejala klinis yang didapat dari fungsi vital, dapat dipakai

sebagai pengevaluasi mekanisme penyebab kematian secara kualitatif. Data hasil


pemeriksaan histopatologi digunakan untuk mengevaluasi spektrum efek toksik.
Data jumlah hewan yang mati digunakan untuk menentukan nilai LD50. Jika pada
batas dosis maksimum tercapai, namun belum diketahui LD50-nya, maka hasil
yang didapat tertulis LD50 lebih dari 5000mg/KgBB Dan jika sampai pada
batas volume maksimum yang boleh diberikan pada hewan uji, namun belum
menimbulkan kematian, maka dosis tertinggi tersebut dinyatakan sebagai LD50
semu (LD0).

2.3 LETHAL DOSE 50


Lethal Dose 50 adalah suatu besaran yang diturunkan secara statistik, guna
menyatakan dosis tunggal sesuatu senyawa yang diperkirakan dapat mematikan
atau menimbulkan efek toksik yang berarti pada 50% hewan coba setelah
perlakuan. LD50 merupakan tolak ukur kuantitatif yang sering digunakan untuk
menyatakan kisaran dosis letal. Beberapa pendapat menyatakan tidak setuju,
bahwa LD50 masih dapat digunakan untuk uji toksisitas akut. Namun demikian,
ada juga beberapa kalangan yang masih setuju,bahwa LD50 masih dapat
digunakan untuk uji toksisitas akut dengan pertimbangan antara lain :
1. Jika lakukan dengan baik, uji toksisitas akut tidak hanya mengukur LD50,
tetapi juga memberikan informasi tentang waktu kematian, penyebab
kematian, gejala gejala sebelum kematian, organ yang terkena efek, dan
kemampuan pemulihan dari efek nonlethal.
16

2. Hasil uji ini dapat digunakan untuk pertimbangan pemilihan design penelitian
subakut.
3. Hasil uji ini dapat langsung digunakan sebagai perkiraan risiko suatu senyawa
terhadap konsumen atau pasien.
4. Uji LD50 tidak membutuhkan waktu yang lama. Hasil dari uji LD50 yang
harus dilaporkan selain jumlah hewan yang mati, juga harus disebutkan durasi
pengamatan. Bila pengamatan dilakukan dalam 24 jam setelah perlakuan,
maka hasilnya tertulis LD50 24 jam. Namun seiring perkembangan, hal ini
sudah tidak diperhatikan lagi, karena pada umumnya tes LD50 dilakukan
dalam 24 jam pertama sehingga penulisan hasil tes LD50 saja sudah cukup
untuk mewakili tes LD50 yang diamati dalam 24 jam. Bila dibutuhkan, tes ini
dapat dilakukan lebih dari 14 hari. Contohnya, pada tricresyl phosphat, akan
memberikan pengaruh secara neurogik pada hari 10 14, sehingga bila
diamati pada 24 jam pertama tidak akan menemukan hasil yang berarti. Dan
apabila demikian maka penulisan hasil harus disertai dengan durasi
pengamatan. Pada umumnya, semakin kecil nilai LD50, semakin toksik
senyawa tersebut. Demikian juga sebaliknya, semakin besar nilai LD50,
semakin rendah toksisitasnya. Potensi ketoksikan akut senyawa pada hewan
coba dibagi menjadi beberapa kelas, adalah sebagai berikut :

Beberapa hal yang dapat mempengaruhi nilai LD50 antara lain spesies,
strain, jenis kelamin, umur, berat badan, gender, kesehatan nutrisi, dan isi perut

17

hewan coba. Teknis pemberian juga mempengaruhi hasil, yaitu meliputi waktu
pemberian, suhu lingkungan, kelembaban dan sirkulasi udara. Selain itu,
kesalahan manusia juga dapat mempengaruhi hasil ini. Oleh karena itu, sebelum
melakukan penelitian, kita harus memperhatikan faktor faktor yang
mempengaruhi hasil ini.

BAB III
METODOLOGI
3.1 Alat
1. Beaker glass
2. Spirtus
3. Kassa dan Kaki tiga
4. Batang Pengaduk
5. Corong
6. Kertas Saring
7. Labu Ukur
8. Gelas Ukur
9. Sonde Oral
10. Dispossible Syringe
11. Toples
12. Alat Bedah
13. Timbangan
3.2 Bahan
1. Herba Pegagan (Centella asiatica)
2. Aquadest
3. Infus Herba Pegagan

18

3.3 Perhitungan Dosis


1. Dosis Empiris 60 gram
- Konversi ke mencit
60 gram 0,0026=
-

0,159 gram
20 gram BB mencit

Pembuatan infus
0,159 gram
19,87 gram
25 ml=
0,2ml
25 ml

2. Dosis Toksik 1 kg
- Konversi ke mencit
1000 gram 0,0026=

2,6 gram
20 gram BB mencit

2,6 gram
65 gram
25 ml=
1ml
25 ml
3.4 Prosedur
A. Pembuatan Infus
1. Simplisia di keringkan dengan cara di angin-angin.
2. Setelah kering, lalu timbang 19, 87 gram dan 65 gram.
3. Masukan dalam gelas kimia dan tambahkan 25 ml aquadest.
4. Panaskan di atas water bath, pada suhu 900C selama 15 menit.
5. Setelah dingin, saring dengan kertas saring, dan filtratnya
ditampung pada labu ukur 25 ml.
6. Apabila volume kurang dari 25 ml ad dengan aquadet sampai
dengan 25 ml.
B. Prosedur Kerja
1. Timbang masing-masing mencit
2. Kemudian hitung volume sediaan yang diberikan pada mencit
3. Sebelum diberi sediaan, mencit di skrining farmakologi terlebih
dahulu.
4. kemudian beri sediaan pada mencit dengan cara oral menggunakan
sonde oral pada kedua mencit, mencit I dosis empiris 0,159 g/20 g
BB mencit dan mencit II dosis toksik 2,6 g/20 g BB mencit.
5. Kemudian amati gejala-gejala yang timbul pada mencit selama 30,
60 dan 90 menit.
6. Apabila mencit mati, lalu bedah mencit dan amati organ-organ
mencit.
19

BAB IV
HASIL dan PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengamatan
1. Timbang mencit
Mencit I

11,73 gram

Mencit II

14,40 gram

2. Pemberian volume sediaan mencit


Mencit I ( Empiris)
11,73 gram
0,2 ml=0,1173 ml
20 gram

Mencit II ( Toksik)
14,40 gram
1 ml=0,72 ml
20 gram

3. Gejala yang timbul


Mencit

Gejala
Sebelum

Mencit I

Mencit 2

Mood Grooming

Seizure

20

Sesudah
- Mood Grooming
- Cenderung diam
- Mood Grooming
- Seizure
-Cenderung diam

Cenderung diam

4. Hasil Bedah

Mencit
I

Mencit
III

a. Lambung

Mencit
I

b. Hati

Mencit
III

Mencit
I

c. Paru-paru dan ginjal

Mencit
I
d. Lambung

Mencit
III

21

Mencit
III

Mencit
III

Mencit
I

e. Limfa

f. Otak

Mencit
I

Mencit
II

Mencit
II

Mencit
II

4.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini yaitu uji toksisitas dari infusa herba pegagan
(Centella asiatica), herba pegagan ini mempunyai berbagai manfaat bagi
tubuh manusia sehingga tanaman ini sering dikonsumsi oleh masyarakat
banyak. Salah satu maanfaat dari herba pegagan yang sering digunakan oleh
masyarakan yaitu kemampuan herba pegagan ini sebagai hemostatika.

22

Hemostatika adalah suatu zat yang dapat menghentikan pendarahan, yang


sering digunakan terutama dalam mengobati luka sehingga luka yang diberi
herba pegagan ini akan lebih cepat sembuh dibandingkan yang luka tanpa
diberi perlakuan apa-apa. Pada saat adanya luka, herba pegagan ini berperan
dalam menghentikan pendarahan atau adstringen yaitu zat yang bekerja lokal
dengan mengendapkan protein darah sehingga perdarahan dapat dihentikan.
Senyawa kimia terbesar yang terkandung dalam herba pegagan ini adalah
asiatikosida 85%, nah senyawa ini juga yang berperan dalam hemostatik.
Setelah dilihat bahwa herba pegagan ini mempunyai banyak khasiat, sehingga
tujuan dari uji toksisitas dari herba pegagan agar mengetahui dosis toksik dari
herba pegagan ini serta mampu mengetahui gejala-gejala yang timbul pada
dosis toksik herba pegagan. Uji toksisitas yang dilakukan disini yaitu uji
toksisitas akut, karena pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul
dalam waktu yang singkat setelah pemberian sediaan uji yang diberiakan
dalam dosis tunggal atau dosis berulang yang diberikan dalam waktu 24 jam.
Pada dosis 2,6 gram/ 20 gram BB mencit, tidak menimbulkan toksik
karena pada dosis sekian mencit tidak menimbulkan kematian. Tetapi hanya
gejala-gejala yang timbul yaitu grooming, seizure dan cenderung lebih diam.
Pada dosis empiris mencit cenderung lebih diam dibandingkan dengan mencit
dengan dosis toksik, karena pada dosis empiris herba pegagan ini selain
mempunyai khasiat sebagai hemostatik juga bisa sebagai penenang, sehingga
mencit ini cenderung lebih diam karena dari efek penenang ini, dan mencit
lebih dalam kondisi tenang, dibandingkan dengan sebelum pemberian dosis
uji.
Selain melihat gejala-gejala yang timbul, kami pun mengamati bagian
organ dalam mencit dengan cara membedahnya. Mencit dengan dosis toksik,
pada saat proses pembedahan tidak terdapat darahah sedangkan pada dosis
empiris terdapat darah, dalam hal ini membuktikan kerja hemostatik pada
herba pegagan, semakin dosis tinggi maka potensi hemostatika lebih besar.
Organ pertama yang diamati yaitu usus, pada usus mencit dengan dosis
toksik, usus berwarna pucat sedangkan pada usus dosis empiris usus terlihat
normal. Begitupula pada organ hati, otak, lambung, nampak terlihat jelas

23

perbedaannya bahwa organ-organ dengan dosis toksik berwarna pucat. Selain


itu yang membedakan yang signifikan adalah pada organ paru-paru, ditengah
bagian paru-paru mencit pada dosis toksik terdapat gumpalan berwarna hitam
merah yakni darah yang menggumpal dalam paru-paru sedangkan pada mencit
dengan dosis empiris tidak terjadi penggumpalan darah. Itu artinya, herba
pegagan dengan dosis toksik ini dapat menimbulkan penggumpalan darah di
daerah paru-paru.

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Uji toksisistas yang dilakukan pada saat praktikum adalah uji toksisitas
akut, karena pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul dalam
waktu singkat setelah pemberian sediaan uji dalam dosis tunggal atau
dosis berulang yang diberikan dalam waktu 24 jam.
2. Kandungan kimia yang khas dari pegagan ini adalah asiatikosida yang
salah satu khasiatnya sebagai hemostatika.
3. Hemostatik adalah zat atau obat yang digunakan untuk menghentikan
pendarahan. Pendarahan dapat disebabkan oleh defisiensi satu faktor
pembekuan darah.
4. Pada dosis 2,6 gram/ 20 gram BB mencit atau dosis 1 kg pada manusia,
tidak menimbulkan toksik karena pada dosis sekian mencit tidak
menimbulkan kematian.
5. Gejala-gejala yang timbul yaitu mood grooming, seizure dan cenderung
lebih diam (tenang).
6. Dari hasil pemeriksaan organ-organ mencit, terlihat perbedaan yang
signifikan pada mencit dengan dosis empiris dan dosis toksik, organorgan (hati, lambung, usus, otak, dll) pada dosis toksik berwarna pucat
dibandingkan dengan mencit dengan dosis empiris.
7. Pada mencit dengan dosis toksik, menyebabkan penggumpalan darah di
dekat daerah paru-paru sedangkan pada dosis empiris tidak.

24

Daftar Pustaka
Winarto, W.P., dan Surbakti, M. 2005. Khasiat dan Manfaat Pegagan Tanaman
Penambah Daya Ingat. (Cetakan ke 4). Agro Media Pustaka. Jakarta.
Gupta, Y. K., and Kumar, M. H.V. 2003. Effect of Centella asiatica on Cognition
and Oxidative Stress in an Intracerebroventricular Streptozotocin Model of
Alzheimers Disease in Rats. ClinExp. Pharmacol. Physiol 30:336-342.
Herlina. 2007. Pengaruh Triterpenoal Pegagan (Centella asiatica (L) Urban)
Terhadap Fungsi Kognitif (Belajar dan Mengingat) pada Mencit Jantan
Albino (musousculus) Yang Dihambat Dengan Skopolamin. Program
Pascasarajana Universitas Sriwiajaya. Tidak dipublikasikan.
Hayes, A. W. 2001. Principles and Methods Toxicology. (4th Edition). Taylor &
Francis, Philadelphia. USA.
Jarvik, M. E., and Kopp, R. 1967. San Improved On Trial Passive Avoidence
Learning Situation. Phycol. Rep. 21:221-4.
Jorge, O.A., and Jorge, A. D. 2005. Hepatoxicity Associated with the Ingestion of
Centella asiatica. Revisi Espanola de Enfermedades Digestivas. 97(2).
Madrid.
Kamaludain, M.T. 2003. Disertai S3 Regulasi Reseptor Muskarinik M1 Korteks
Frontoparietalis dan Hipokampus Tikus Wistar oleh Pirasetam dan Piritinol
dan kaitanya dengan Proses Belajar dan Mengingat. Program Pascasarjana
Universitas Padjajaran Bandung. Tidak dipublikasikan.
Noer, L. S., Kusumo, J. Anugrahwati, P. R. T dan Ramlan, A. 2003. Toksisitas
Beberapa Tumbuhan Apocynaceae pada Hati dan Ginjal Mencit Swiss
Webster. J. Ilmu Biologi Biotika 2. Jakarta.
Plaa, G. L. 2000. Toxic Response of Liver. In : Casaret and Doulls Toxicology.
Edition 3ed. Macmilan. New York

25

26

Anda mungkin juga menyukai