Anda di halaman 1dari 35

On the subject of Java

John Pemberton

introduction
1982; Pemberton tidak bisa segera
melakukan penelitian ttg the construct
ritual in Javanese cultural discourse
karena demi menjaga keamanan dalam
rangka Pemilihan Umum ala Orde Baru.
Pemilihan Umum= keriuhan yang
mengganggu/disrupted ketenangan
yang aneh pemerintahan Orde Baru.
Aneh dinamika politik di Indonesia
sebelum Orde Baru partai politik
(1950), revolusi petani (1960an),
pembunuhan politis 1965-1966

Oposisi => jarang terjadi, kemudian


diisolasi, ditangkapa, ditindas, dan
disebut sebagai peristiwa (kecelakaan)
yang sungguh disayangkan
(unfortunate incidents)
Orde Baru = ketertiban umum/stillness
(seperti yang dikehendaki pemerintah)
meski terdapat kondisi sosial yang
sulit.
Kehidupan ideal: nothing is happens!
Normal : depolitisasi Pemilu
dimaksudkan untuk sukses dalam arti

Pesta Demokrasi = Formal Democracy


Reception = upacara nasional atau ritual
nasional tidak boleh dipakai untuk
menciptakan ketegangan yang mencekam
Menjelang Pemilu: selalu ada insiden
kekerasan dan penangkapan kecemasan
terhadap massa yang bergerak di jalan
Menjelang Pemilu: ekses => antisipasi
terhadap kerusuhan pasukan pengaman
hadir di ajang kampanye: menggambarkan
keamanan sekaligus tidak aman karena
(akan) ada kerusuhan yang diantisipasi
terjadi

Menjelang Pemilu: the way rumors


circulate yaitu kecemasan
kemenangan oposisi.
Setelah Pemilu: nothing happened at
all, dont worry kecemasan itu tidak
terjadi, kehidupan normal telah
kembali.

Tujuan penulisan buku


Genealogis ketidakhadiran (kesenyapan
tanpa insiden) yang bersifat kultural.
Fokus: Jawa Tengah sebagai asal fantasi
elite Jakarta.
Penelaahan etnografis dan historis atas
wacana yang melaluinya ketidakhadiran
ideal ini diartikulasikan.
Teror yang diam yang menjadi budaya:
represi terhadap ketakutan yang
dibiasakan yang menghasilkan
kehidupan normal.

Cara-cara yang memberi efek penampakan


ketenangan dan ketertiban: melalui hal rutin
nilai-nilai tradisional, warisan budaya dan
upacara.
Misal: pemilu nasional adalah suatu ritus
untuk mengembalikan keseimbangan
masyarakat dan alam yang rusak. Adanya
kekacauan selama kampanye harus diatasi.
Namun pemilu ini menjadi sangat politis
karena diperlakukan sebagai ritual oleh rejim
Suharto.
Sesuatu yang politis menjadi sebuah ritual
dengan menghapuskan isu-isu kelas dan
kekuasaan

Keberagaman (diversity) menjadi


tradisi Indonesia yang di-ritual-kan
melalui minimisasi Indonesia menjadi
Jawa (TMII), yaitu sebuah keindahan
atas keberagaman setelah
berlalunya peristiwa 1965-1966.
Minimisasi ini, bagi Orde Baru,
adalah tradisi yang harus dipulihkan
dan dijaga.
Stabilitas dan ketertiban : obsesi
Orde Baru, yang diambil dari budaya

slametan
Tidak akan ada apa-apa (terhadap
siapapun)
Penegasan dan penguatan kembali
tatanan kultural umum dan kekuasaannya
untuk menahan tekanan kekacauan
(Clifford Geertz, 1950)

Konsep ini diambil oleh Orde Baru dan


memunculkan tata, tertib, aman,
keamanan yang untuk mewujudkannya
dibutuhkan pasukan pengaman.

Dari manuskrip2 Jawa


Kata ini muncul sebagai terjemahan dari
kata ritual terjadi konstruk epistemologi
yang membingkai kejadian-kejadian
tertentu sebagai bentuk perilaku simbolis.
Tersebarnya jejak-jejak kolonial di seluruh
arsip.
Terlibatnya kolonial dalam penciptaan
Jawa, penciptaan Jawa oleh orang Jawa
sebagai pembeda diri dengan yang bukan
Jawa.

Tujuan Pemberton:
Menyebutkan asal-usul Jawa yakni kondisikondisi wacana kultural Orde Baru, kondisikondisi yang menuntut bahwa asal usul itu
harus digali kembali berkali-kali.
Menunjukkan kemunculkan suatu masa kini
kultural yang menjadikan tokoh seperti
Jawa sangat urgen bagi Indonesia yang
ingin menebus kembali kekalahankekalahan masa lalu.

Bab 1-3
Upaya Pemberton menelaah
berbagai manuskrip untuk melihat
bagaimana kesadaran asli Jawa
terus membayangi dan digali melalui
kehadiran dan dinamika keraton
Surakarta.

Seminal Contradiction:
Founding The Palace of Surakarta
Perarakan Kerajaan 20 Februari 1745
Kerajaan Pakubuwana II pindah dari
Kartasura ke Surakarta, berjarak hanya 10
km, namun dengan arak-arakan yang
heboh. Penyebab kepindahan-nya
disebutkan hanya karena ada huru-hara di
dalam negeri (keraton telah porak
poranda karena berbagai manuver politik
keluarga raja Kartasura, pasukan Kompeni,
orang-orang Cina, Jawa dan Madura)

Babad Giyanti
Arak-arakan dimulai dengan salvo,
dentuman meriam, terompet, tambur,
gamelan, serta tembakan bedil.
Cara raja keluar diceritakan sebagai suatu
barisan kerajaan yang menandai saat agung
ketika raja melakukan perjalanan dengan
segala jenis pusakanya dimaksudkan
untuk memamerkan kerajaan dengan
segenap keagungannya yang tertib dan
agung dengan membawa pusaka-pusaka
sakti oleh pribadi-pribadi yang berkuasa.
Kosmos mewujud dalam diri Pakubuwana

Bahkan bangsal raja dan pohon


beringin ikut dibawa seluruh milik
kerajaan dibawa
Seolah raja pindah bukan karena ada
masalah, namun memindahkan
kerajaan ke pusat kosmik yang baru
perpindahan yang diarak ini menjadi
sebuah upacara.
Kini Yang Mulia sudah
Bertahta di kota Surakarta
Tidak ada lagi kemalangan

Kerajaan baru (Keraton Surakarta


Hadiningrat) didirikan secara
seremonial dalam prosesi adat arakarakan raja dengan kawalan pasukan
Kompeni.
The procession of Solo became a
celebrated scene of origin not only for
the Kraton Surakarta but for all the
kinglike grooms and groomlike kings
who would ritually follow in
Pakubuwana IIs legendary steps (p. 39)

Keraton Surakarta pecah menjadi 3


(Surakarta, Yogyakarta di bawah
Hamengkubuwana, dan
Mangkunegara) dengan bantuan
Kompeni.
3 kerajaan ini kemudian ber-manuver
melalui perkawinaan politis.

Babad Prayut
Pernikahan putri Pakubuwana III dengan
putra Mangkunegara.
Terjadi arak-arakan megah dalam proses
pertemuan kedua pengantin, upacara
militer disertai sorak-sorak rakyat.
Pengantin laki-laki diibaratkan sebagai
Abimanyu (epik Bharatayuda) sebagai
pengganti komando militer
(senapati)kemudian menurut adat
Jawa pangantin sama seperti jendral,
maka tembakkanlah meriam banyakbanyak!

konstruk
Mitis (kedewaan) kultural
(Mangkunegaran) militer asing /
Belanda (Jenderal).
Seremonial 3 kekuasaan
Bharatayudan Jawa Belanda
pertunjukan keter-tata-an kerajaan.
Kisah yang agak berbeda terjadi
dalam proses pelamaran putra
Hamengkubuwana I kepada putri
Pakubuwana III.

Babad Prayut = naskah Keraton Surakarta yang


ditulis untuk melintasi kontradiksi yang terjadi
akibat serangkaian substitusi yang dikonstruk.
Substitusi:
Pengantin jendral
Jendral Belanda senapati
Peristiwa arak-arakan dan upacara menjadi
acara resmi untuk membunyikan tembakan
meriam beruntun seakan-akan untuk
menghormati seorang jenderal, teristimewa
untuk pengantin laki-laki pribumi. tembakan
meriam menjadi sah sebagai adat Jawa

Serat Adhel (Kitab


Keningratan)
Salah satu kompedium yang berisi
tentang sejarah aturan perilaku
Surakarta dan aturan-aturan tata
kultural.
Memuat motif di balik aturan-aturan:
Aturan kerajaan rusak, kawula tidak
lagi mematuhi aturan, rakyat berbuat
semaunya dan memakai pakaian
sesuka mereka, pemberontaj
semakin rusak.

Pakubuwana dan Hamengkubuwana


menerapkan kembali ke undang-undang
lama, menetapkan denda dan hukuman
berat.
Hasil: para ningrat terkesima, para kawula
bersikap sebagai kawula (para kawula
kumawula), para petani takut kepada
bencana alam, daerah-daerah luar semua
patuh, dan para pejabat tanpa daya.
Demikianlah asal-usul dari suatu kerajaan
yang teratur dan tenteram (tata tentrem),
dari kebijaksanaan yang menjadi tiang
kerajaan

Tata tentrem adalah hasil dari anugrah


dewa.
Tata (keteraturan) adalah prakondisi
yang diperlukan untuk adanya suatu
kerajaan yang tenteram.
Kerajaan didasarkan pada sesuatu
yang negatif: ketakutan terhadap
bencana alam, pelanggaran hukum,
dan kekeliruan berperilaku.
Naskah-naskah: berisi tata secara
detail (upacara perkawinan, penari
yang ditata koreografinya,

Tanah kekuasaan 3 kerajaan ini sendiri


dibagi oleh Belanda dengan
persetujuan 3 raja yang berkuasa.
Kompeni sangat cermat menaati
semua protokol yang berlaku, untuk
memelihara konstelasi pangeranpangeran Jawa.
Jadi para perwira Belanda, sebagai
Belanda ditarik ke dalam adegan
seremonial penampilan keteraturan
hierarkis (tata) dan model budaya
(cara) yang sepenuhnya Jawa untuk di-

Dibawah Pakubuwana IV, aturan baru


diberlakukan, karena kejengkelan raja
terhadap ayahnya dan kegagalan keraton
menghadapi (membatasi?) Kompeni.
Tidak ada lagi orang Jawa berpakaian
Belanda, aturan keraton baru, aturan
tentang perilaku Belanda, terutama
mengenai hak parade harian dan
menunggang kuda dan kereta.
Pakubuwana IV melakukan pengawasan
seremonial atas Kompeni untuk
memperolah kembali keadaan tata sebagai
cerminan langsung otoritas Pakubuwana.

Fashioning Java
Keraton Surakarta, berbeda dengan
Keraton Yogyakarta, tidak pernah
mengalami konflik terbuka dengan
Belanda.
Tata terjadi keadaan tertib
seremonial berkat struktur kekuatan
protokol yang sudah tertanam
sedemikian dalam meski
kekuasaan Pakubuwana dibatasi oleh
Belanda.

Kerajaan yang tata


Adanya parade yang teratur dengan
barisan yang sudah ditetapkan.
Parade ini juga menarik keriuhan
militer dan penonton yang ribut
(menjadi kekacauannya sendiri).
Dalam seremonial, anggota kerajaan
dan Belanda duduk dan ditonton,
sembari juga menonton acara resmi
dari event/proses ritual yang digelar.

Intervensi Belanda membuat


kekuasaan Keraton Surakarta
dibatasi, sehingga keraton hanya
berfokus pada detail-detail upacara
dan etiket kerajaan.
Tedhak Loji hanyalah arak-arakan
yang menunjukkan pengakuan akan
kekuasaan Belanda

Acara-acara kerajaan diproses secara


ritual , menciptakan ruang bagi sosoksosok yang kemudian dengan sadar
disebut sebagai budaya Jawa.
Adat = gaya = cara; awalnya hanyalah
masalah pakaian.
Jawa menjadi lawan dengan liyannya
yakni Belanda; Jawa adalah opsi
bayangan terhadap budaya Belanda di
Jawa yaitu suatu dunia yang berdiri
sendiri dan ideal serta tak bisa
diganggu.

Namun Jawa tidak melawan dengan cara


mengambil jarak melainkan mengambil
keduanya yakni Jawi maupun Belanda.
Semua yang berasal dari luar (patung
Spanyol, lempu kendela Perancis, ukiran
Italia, potret Belanda) pada akhirnya akan
dipandang sebagai Jawa asli.
Efeknya adalah rasa percaya diri yang cukup
kuat untuk menyingkirkan yang asing keluar
dan mengambil Belanda dan lain-lainnya ke
dalam sembari menghaluskan diri untuk
menarik yang asing (lain) untuk masuk ke
dalam dunia Jawa meski berdasar definisi
berarti tidak bisa dimasuki.

Writing Subjects, Writing Authorities


Jawa di abad 19
1830: akhir Perang Jawa, Belanda
berhasil menaklukkan raja-raja Jawa
Tengah sehingga mereka hanya
menjadi pelaku ritual.
Kerajaan Jawa kehilangan kekuatan
ekonomi dan politik, karena itu
Belanda menjadi tetamu yang wajar
mendapatkan penghormatan.

Namun dengan menciptakan sosok


Jawa sebetulnya keraton tidak
menjadi sekedar pelaku ritual,
namun sebenarnya ada daya tahan
yang meski sepintas tampak lemah
sesungguhnya tetap mampu
menciptakan Jawa dengan percaya
diri.

Upacara perkawinan
Belanda memiliki peran dalam proses
pernikahan Pakubuwana VII dengan putri
dari Madura dan Mangkunegara II dengan
putri dari Mangkunegara III, dalam
keterlibatan di dalam upacara pernikahan,
mendorong calon mempelai dan
pemakaian bahasa, pakaian, dan
penempatan posisi domestikasi otoritas
kolonial, mengubah saingan politis
menjadi besan ritual memperlakukan
Belanda sebagai kerabat Surakarta.

Upacara adat pernikahan tampaknya


menjadi gambaran hubungan keraton
dengan Belanda, namun meski kalah
kuasa pihak Keraton tidak pernah
memposisikan diri seperti pengantin
perempuan.
Jadi antara keraton dan Belanda terdapat
garis batas, yang setelah bertemu
kemudian saling berdiam, berdampingan
dengan damai namun seolah tak dapat
bersatu.

Subjek penulisan:
Otoritas penulisan:
Manuskrip-manuskrip yang ada tampaknya
tidak mempermasalahkan budaya Jawa
yang dikonstruk dalam hubungannya
dengan Belanda, sebagaimana keraton
juga ber-negosiasi dengan situasinya.

Anda mungkin juga menyukai