Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Sakit kepala (Headache) merupakan keluhan yang sering diutarakan oleh orang
dewasa. Headache dapat menimbulkan dampak negatif dalam kehidupan, aktivitas
sosial dan kapasitas kerja. Hal ini berakibat pada penurunan derajat kualitas hidup
(The Federation, 2012).
Headache terbagi menjadi beberapa tipe yaitu simple headache, migrain,
tension-type headache dan cluster headache. Tipe headache pada setiap orang dapat
berbeda meskipun dalam satu keluarga. Episode headache dapat semakin memburuk
atau bahkan menghilang secara tiba-tiba untuk beberapa waktu, lalu akan timbul
kembali (The Federation, 2012). Di dalam literatur kedokteran, Tension-type
headache

(TTH) memiliki multisinonim, seperti: tension headaches, muscle

contraction headache, sakit kepala tegang otot, nyeri kepala tegang otot dan stress
headache (NINDS, 2009).
TTH adalah nyeri kepala bilateral yang menekan (pressing/sequeezing),
mengikat, tidak berdenyut, tidak dipengaruhi dan tidak diperburuk oleh aktivitas fisik,
bersifat ringan hingga sedang, tidak disertai (atau minimal) mual dan/atau muntah,
serta disertai fotofobia atau fonofobia (Anurogo D, 2014).
Sekitar 93% laki-laki dan 99% perempuan pernah mengalami nyeri kepala. TTH
dan nyeri kepala servikogenik adalah dua tipe nyeri kepala yang paling sering
dijumpai. TTH adalah bentuk paling umum nyeri kepala primer yang mempengaruhi
hingga dua pertiga populasi. Sekitar 78% orang dewasa pernah mengalami TTH
setidaknya sekali dalam hidupnya (Anurogo D, 2014).
TTH episodik adalah nyeri kepala primer yang paling umum terjadi, dengan
prevalensi 1-tahun sekitar 38-74%. Penelitian Lyngberg et al (2005) menyebutkan
prevalensi TTH sebesar 87%. Prevalensi TTH di Korea sebesar 16,2% sampai 30,8%,
di Kanada sekitar 36%, di Jerman sebanyak 38,3%, di Brazil hanya 13%. Insiden di
Denmark sebesar 14,2 per 1000 orang per tahun. Survei di USA menemukan
prevalensi tahunan TTH episodik sebesar 38,3% dan TTH kronis sebesar 2,2%
(Anurogo D, 2014).

TTH dapat menyerang segala usia. Usia terbanyak adalah 25-30 tahun, namun
puncak prevalensi meningkat di usia 30-39 tahun. Sekitar 40% penderita TTH
memiliki riwayat keluarga dengan TTH. Prevalensi seumur hidup pada perempuan
mencapai 88%, sedangkan pada laki-laki mencapai 69%. Onset usia penderita adalah
pada dekade ke-dua atau ke-tiga kehidupan yaitu antara 25-30 tahun (Anurogo D,
2014).

BAB II
2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Tension Type headache (TTH)
Tension-type headache adalah suatu keadaan yang melibatkan sensasi nyeri atau
rasa tidak nyaman di daerah kepala, kulit kepala atau leher yang biasanya
berhubungan dengan ketegangan otot. Tension-type headache sebelumnya disebut
muscle contraction headacheatau nyeri kepala tegang otot, merupakan tipe nyeri
kepala terbanyak yang dikeluhkan. Sebutan tersebut diberi berdasarkan adanya stres
atau konflik mental emosional yang mencetuskan terjadinya nyeri dan kontraksi otot
di leher, kepala, muka dan rahang (NINDS, 2009).
TTH adalah nyeri kepala bilateral yang menekan (pressing/sequeezing),
mengikat, tidak berdenyut, tidak dipengaruhi dan tidak diperburuk oleh aktivitas fisik,
bersifat ringan hingga sedang, tidak disertai (atau minimal) mual dan/atau muntah,
serta disertai fotofobia atau fonofobia (Anurogo D, 2014).
2.2 Epidemiologi Tension Type Headache
Sekitar 93% laki-laki dan 99% perempuan pernah mengalami nyeri kepala. TTH
adalah bentuk paling umum dari nyeri kepala primer yang mempengaruhi hingga dua
pertiga populasi. Sekitar 78% orang dewasa pernah mengalami TTH setidaknya sekali
dalam hidupnya (Anurogo D, 2014).
TTH episodik adalah nyeri kepala primer yang paling umum terjadi, dengan
prevalensi 1-tahun sekitar 38-74%. Penelitian Lyngberg et al (2005) menyebutkan
prevalensi TTH sebesar 87%4.Prevalensi TTH di Korea sebesar 16,2% sampai 30,8%,
di Kanada sekitar 36%, di Jerman sebanyak 38,3%, di Brazil hanya 13%. Insiden di
Denmark sebesar 14,2 per 1000 orang per tahun. Survei di USA menemukan
prevalensi tahunan TTH episodik sebesar 38,3% dan TTH kronis sebesar 2,2%
(Anurogo D, 2014).
TTH dapat menyerang segala usia. Usia terbanyak adalah 25-30 tahun, namun
puncak prevalensi meningkat di usia 30-39 tahun. Sekitar 40% penderita TTH
memiliki riwayat keluarga dengan TTH. Prevalensi seumur hidup pada perempuan
mencapai 88%, sedangkan pada laki-laki mencapai 69%. Onset usia penderita adalah
pada dekade ke-dua atau ke-tiga kehidupan yaitu antara 25-30 tahun (Anurogo D,
2014).
2.3 Etiopatofisiologi Tension-type Headache
3

Etiologi TTH diklasifikasikan sebagai berikut (Anurogo D, 2014):


a. Organik, seperti: tumor serebral, meningitis, hidrosefalus dan sifilis
b. Gangguan fungsional, seperti: lelah, bekerja tak kenal waktu, anemia, gout,
ketidaknormalan endokrin, dan nyeri yang direfeleksikan.
TTH terjadi karena adanya asosiasi positif antara nyeri kepala dan stress. Hal ini
terbukti nyata pada penderita TTH. Nyeri kepala dapat terjadi akibat cetusan dari
faktor resiko yaitu: gangguan tidur, perubahan pola tidur, kelaparan, dehidrasi, caffein
withdrawal, dan fluktuasi hormonal wanita. Stress menjadi faktor pemicu tersering
TTH (Anurogo D, 2014). Namun tidak ada yang dapat menjelaskan mekanisme yang
mendasari hal tersebut dapat terjadi (Kaniecki RG, 2012).
Penyebab utama TTH belum diketahui. Dari beberapa dekade telah dijelaskan
aspek dan patofisiologi dari TTH yang menyatakan penyebab TTH adalah proses
multifaktorial yang melibatkan faktor myofascial perifer dan komponen CNS.
Mekanisme myofasial perifer sangat penting untuk menjelaskan kejadian ETTH
(Episodic Tension-type Headache), sedangkan jalur sensitisasi nosiseptif central
terlihat berhubungan dengan mekanisme kejadian CTTH (Chronic Tension-type
Headache) (Dewanto G dkk, 2009).
Penelitian menunjukkan aktivitas myofascial sebagai sumber potensial dari TTH
dimana terjadi aktivasi persisten dari trigger poin yang memimpin sensitisasi pada
nosiseptor perifer dan pada neuron kedua di nukleus spinal trigeminus. Mekanisme
sentral tampak lebih berhubungan dengan patogenesis CTTH. Ambang nyeri tampak
normal pada infrequent ETTH tetapi tampak menurun pada frequent ETTH dan
CTTH. Penderita dengan CTTH memiliki tingkat hipersensitivitas tinggi terhadap
stimulus dari tekanan (pressure), panas (thermal), dan modalitas listrik. Sensitivitas ini
juga terlihat pada jaringan (otot, tendon dan saraf) selama nyeri kepala dan diantara
nyeri kepala (Dewanto G dkk, 2009).
Sensitisasi jalur nyeri (pain pathways) terjadi pada sistem saraf pusat karena
perpanjangan rangsang nosiseptif (prolonged nociceptive stimuli) dari jaringanjaringan miofasial perikranial. Sensitisasi ini bertanggung jawab untuk konversi TTH
episodik menjadi TTH kronis (Anurogo D, 2014).
Individu yang rentan secara genetis, stres kronis menyebabkan elevasi glutamat
yang persisten. Stimulasi reseptor NMDA mengaktivasi NFkB yang memicu
transkripsi iNOS dan COX-2, diantara enzim-enzim lainnya. Tingginya kadar nitric
4

oxide menyebabkan vasodilatasi struktur intrakranial, seperti sinus sagitalis superior,


dan kerusakan nitrosative memicu terjadinya nyeri dari beragam struktur lainnya
seperti dura. Nyeri kemudian ditansmisikan melalui serabut-serabut C dan neuronneuron nociceptive A menuju dorsal horn dan nukleus trigeminal di TCC
(Trigeminal Complex), tempat mereka bersinaps dengan second-order neurons
(Anurogo D, 2014).
Beragam sinap ini, terjadi konvergensi nosiseptif primer dan neuron-neuron
mekanoreseptor yang dapat direkrut melalui fasilitasi homosinaptik dan heterosinaptik
sebagai bagian dari plastisitas sinaptik yang memicu terjadinya

Gambar 2.1. Patofisiologi TTH (Anurogo

D, 2014).

sensitisasi sentral. Pada tingkat molekuler, sinyal nyeri dari perifer menyebabkan
pelepasan beragam neuropeptida dan neurotransmitter (misalnya: substansi p dan
glutamat)

yang

mengaktivasi

reseptor-reseptor

di

membran

postsynaptic,

membangkitkan potensial-potensial aksi dan berakumulasi pada plastisitas sinaptik


serta menurunkan ambang nyeri (pain thresholds) (Anurogo D, 2014).
Sirkuit spinobulbospinal muncul dari RVM (rostoventral medulla) secara normal
melalui sinyal-sinyal fine-tunes pain yang bermula dari perifer, namun pada individu
yang rentan disfungsi dapat memfasilitasi sinyal-sinyal nyeri, serta membiarkan
terjadinya sensitisasi sentral (Anurogo D, 2014). Proses ini dapat dilihat pada skema 1.
Nyeri perikranial berkembang seiiring waktu oleh recruitment serabut-serabut C
dan mekanoreseptor A di sinaps-sinaps TCC, membiarkan perkembangan allodynia
dan hiperalgesia. Intensitas, frekuensi dan nyeri perikranial berkembang seiring
waktu, berbagai perubahan molekuler di pusat-pusat lebih tinggi seperti thalamus
memicu terjadinya sensitisasi sentral dari neuron-neuron tersiar dan perubahanperubahan selanjutnya pada persepsi nyeri (Anurogo D, 2014).
Konsentrasi platelet factor 4, beta-thromboglobuli, tromboxane B2, dan 11dehydrothromboxane B2 plasma meningkat signifikan di kelompok TTH episodik
dibandingkan dengan di kelompok TTH episodik dibandingkan dengan di kelompok
TTH episodik dibandingkan dengan di kelompok TTH kronis dan kelompok kontrol
(sehat) (Anurogo D, 2014).
Pada penderita TTH episodik, peningkatan konsentrasi substansi P jelas terlihat
di platelet dan penurunan konsentrasi beta-endorphin dijumpai di sel-sel mononklear
darah perifer. Peningkatan konsentrasi metenkephalin dijumpai pada CSF (Cairan
serebrospinal) penderita TTH kronis, hal ini mendukung hipotesis ketidakseimbangan
mekanisme pronociceptive dan antinociceptive pada TTH (Anurogo D, 2014).
2.4 Gejala dan Tanda Tension-type Headache
Gejala klinis yang dapat ditemukan pada tension-type headache (TTH) adalah
(Dewanto G dkk, 2009).
1. Tidak ada gejala prodromal
2. Nyeri dapat ringan hingga sedang maupun berat
3. Tumpul, seperti ditekan atau diikat.
4. Nyeri tidak berdenyut

5. Menyeluruh atau difus, tidak hanya pada satu titik atau satu sisi), nyeri lebih hebat
did aerah kulit kepala, oksipital dan belakang leher.
6. Terjadi secara spontan
7. Memburuk atau dicetuskan oleh stres, dan kelelahan
8. Adanya insomnia
9. Kelelahan kronis
10. Iritabilitas
11. Gangguan konsentrasi
12. Kadang-kadang disertai vertigo
13. Beberapa orang mengeluhkan rasa tidak nyaman di daerah elher, rahang dan
temporomandibular.
TTH dirasakan di kedua sisi kepala sebagai nyeri tumul yang menetap atau
konstan, dengan intensitas bervariasi, juga melibatkan nyeri leher. Nyeri kepala ini
terkadang dideskripsikan sebagai ikatan kuat di sekitar kepala terasa kencang. Kualitas
nyeri nya khas, yaitu: menekan (pressing), mengikat (tightening), tidak berdenyut
(non-pulsating). Rasa menekan, tidak enak, atau berat dirasakan di kedua sisi kepala
(bilateral), juga di leher, pelipis, dahi. Leher dapat terasa kaku. TTH tidak dipengaruhi
aktivitas fisik rutin. Dapat disertai anoreksia, tanpa mual dan muntah. Dapat disertai
photophobia (sensasi nyeri/tidak nyaman di mata saat terpapar cahaya) atau
phonophobia (sensasi tak nyaman karena rangsang suara). TTH terjadi dalam waktu
relatif singkat, dengan durasi berubah-ubah (episodik) atau terus menerus (TTH
kronis) (Anurogo D, 2014).

2.5 Klasifikasi Tension-type Headache


TTH dibedakan menjadi tiga subklasifikasi (Gambar 2.2):
1. TTH episodik yang jarang (infrequent episodic): 1 serangan per bulan atau kurang
dari 12 sakit kepala per tahun.
2. TTH episodik yang sering (frequent episodic): 1-14 serangan per bulan atau
antara 12 dan180 hari per tahun.
3. TTH menahun (chronic): lebih dari 15 serangan atau sekurangnya 180 hari per
tahun.
Gambar 2.2. Klasifikasi TTH ICHD-II tahun 2004 (Dewanto G dkk, 2009).

Headache Classification Commite of the Internasional Headache Society 2013,


TTH diklasifikasikan menjadi 4 subklasifikasi yaitu menambahkan probable tensiontype headache sebagai subklasifikasi ke empat. Subklasifikasi ICHD-III tertera pada
Gambar 2.3 (IHS, 2013).

Gambar 2.3. Klasifikasi TTH ICHD-III Tahun 2013 (Popp AJ et al, 2007).

2.5.1 Infrequent episodic TTH (Popp AJ et al, 2007).


Infrequent episodic TTH atau TTH episodik jarang, biasanya bilateral, terasa
menekan atau mengikat dengan intensitas nyeri ringan hingga sedang dalam
hitungan menit hingga hari. Rasa nyeri tidak memburuk dengan aktivitas fisik dan
tidak berhubungan dengan muntah, tetapi fotofobia atau fonofobia mungkin
diketemukan.
Kriteria diagnosis:
1. Minimal 10 episode nyeri kepala < 1 hari per bulan atau < 12 hari per tahun
dan memenuhi kriteria (2) hingga (4).
2. Dirasakan selama 30 menit hingga 7 hari
3. Memenuhi minimal 2 dari 4 kriteria berikut:
a. Lokasi bilateral
b. Kualitas nyeri berupa rasa mengikat atau menekan tidak disertai denyut
c. Intensitas ringan hingga sedang
d. Tidak dipengaruhi oleh aktivitas fisik misalnya berjalan atau naik tangga.
4. Memenuhi 2 kriteria berikut:
a. Tidak ada mual muntah
9

b. Hanya memiliki salah satu dari fotofobia atau fonofobia.


2.5.1.1 Infrequent episodic TTH asosiasi dengan nyeri perikranial
Kriteria diagnosis:
a. Memenuhi kriteria infrequent episodic TTH
b. Nyeri perikranial meningkat ketika dilakukan palpasi manual
2.5.1.2 Infrequent episodic TTH tanpa asosiasi dengan nyeri perikranial
a. Memenuhi kriteria infrequent episodic TTH
b. Nyeri perikranial tidak meningkat ketika dilakukan palpasi manual
2.5.2

Frequent episodic TTH (Popp AJ et al, 2007).


Frequent episodic TTH atau TTH episodik jarang, biasanya bilateral, terasa
menekan atau mengikat dengan intensitas nyeri ringan hingga sedang dalam
hitungan menit hingga hari. Rasa nyeri tidak memburuk dengan aktivitas fisik dan
tidak berhubungan dengan muntah, tetapi fotofobia atau fonofobia mungkin
diketemukan.
Kriteria diagnosis:
1. Minimal 10 episode nyeri kepala dalam 1- 14 hari per bulan atau 12 180 hari
per tahun dan memenuhi kriteria (2) hingga (4).
2. Dirasakan selama 30 menit hingga 7 hari
3. Memenuhi minimal 2 dari 4 kriteria berikut:
a. Lokasi bilateral
b. Kualitas nyeri berupa rasa mengikat atau menekan tidak disertai denyut
c. Intensitas ringan hingga sedang
d. Tidak dipengaruhi oleh aktivitas fisik misalnya berjalan atau naik tangga.
4. Memenuhi 2 kriteria berikut:
a. Tidak ada mual muntah
b. Hanya memiliki salah satu dari fotofobia atau fonofobia.

2.5.2.1 Frequent episodic TTH asosiasi dengan nyeri perikranial


Kriteria diagnosis:
1. Memenuhi kriteria frequent episodic TTH
2. Nyeri perikranial meningkat ketika dilakukan palpasi manual
2.5.2.2 Frequent episodic TTH tanpa asosiasi dengan nyeri perikranial
10

Kriteria diagnosis:
1. Memenuhi kriteria frequent episodic TTH
2. Nyeri perikranial tidak meningkat ketika dilakukan palpasi manual
2.6.3. Chronic TTH (Popp AJ et al, 2007).
Suatu kelainan dari frequent episodic TTH dengan episode serangan harian
yang lebih sering dibandingkan frequent episodic TTH, biasanya bilateral,terasa
menekan atau mengikat dengan intensitas nyeri ringan hingga sedang dalam
hitungan menit hingga hari. Rasa nyeri tidak memburuk dengan aktivitas fisik dan
tidak berhubungan dengan muntah, tetapi fotofobia atau fonofobia mungkin
diketemukan.
Kriteria diagnosis:
1. Minimal 10 episode nyeri kepala dalam >15 hari per bulan atau >3 bulan per
tahun dan memenuhi kriteria (2) hingga (4).
2. Dirasakan selama 30 menit hingga 7 hari
3. Memenuhi minimal 2 dari 4 kriteria berikut:
a. Lokasi bilateral
b. Kualitas nyeri berupa rasa mengikat atau menekan tidak disertai denyut
c. Intensitas ringan hingga sedang
d. Tidak dipengaruhi oleh aktivitas fisik misalnya berjalan atau naik tangga.
4. Memenuhi 2 kriteria berikut:
a. Tidak ada mual muntah
b. Hanya memiliki salah satu dari fotofobia atau fonofobia.
2.5.3.1 Chronic TTH asosiasi dengan nyeri perikranial
Kriteria diagnosis:
1. Memenuhi kriteria Chronic TTH
2. Nyeri perikranial meningkat ketika dilakukan palpasi manual
2.5.3.2 Chronic TTH tanpa asosiasi dengan nyeri perikranial
Kriteria diagnosis:
1. Memenuhi kriteria Chronic TTH
2. Nyeri perikranial tidak meningkat ketika dilakukan palpasi manual

2.5.4

Probable TTH (Popp AJ et al, 2007).


11

Probable TTH adalah TTH yang tidak memenuhi satu kriteria yang menjadi
kriteria diagnosis dari sub-type TTH dan tidak memenuhi kriteria lain dari Headache
Disorders.
2.5.4.1 Probable infrequent episodic tension-type headache
Kriteria diagnosis: Mengalami satu atau lebih episode infrequent episodic TTH tetapi
tidak memenuhi 1 kriteria dari kriteria diagnosis (1) hingga (4)
2.5.4.2 Probable frequent episodic tension-type headache
Kriteria diagnosis: Mengalami satu atau lebih episode frequent episodic TTH tetapi
tidak memenuhi 1 kriteria dari kriteria diagnosis (1) hingga (4)
2.5.4.3 Probable chronic tension-type headache
Kriteria diagnosis: Mengalami satu atau lebih episode chronicTTH tetapi tidak
memenuhi 1 kriteria dari kriteria diagnosis (1) hingga (4).
2.6 Anamnesis, Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang
2.6.1 Anamnesis
Nyeri kepala (Headache) merupakan salah satu penyebab tersering
permasalahan di bidang neurologi. Etiologi nyeri kepala bervariasi, begitu pula
pencetusnya. Nyeri kepala merupakan keluhan subjektif, dimana hanya penderita
saja yang bsia merasakannya. Hal ini menyebabkan anamnesis menjadi hal paling
penting dalam mendiagnosa nyeri kepala (Popp AJ et al, 2007).
Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan neurologis komprehensif
adalah kunci evaluasi klinis TTH dan dapat menyediakan petunjuk potensial
terhadap penyebab penyakit (organik atau gangguan fungsi) yang mendasari
terjadinya TTH (Anurogo D, 2014).
Anamnesis mesti meliputi riwayat perjalan nyeri kepala penderita, dimulai dari
lokasi, onset, kualitas dan intensitas. Selain itu juga harus diperhatikan apakah ada
gejala neurologis seperti muntah,mual atau perubahan sensoris. Cidera kepala dalam
48 jam juga mesti ditanyakan (Popp AJ et al, 2007).
2.6.2 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan adalah palpasi manual. Palpasi manual
dilakukan untuk menilai perikranial tenderness. Palpasi manual dilakukan di daerah
delapan pasang otot dan insersi tendon yaitu frontal,temporal, masetter, processus
coronoid, sternocleidomastoid, suboccipital, mastoid dan otot-otot trapezius. Cara
12

melakukan palpasi manual adalah dengan melakukan gerakan memutar kecil dengan
tekanan kuat menggunakan jari ke dua dan ke tiga di daerah-daerah tersebut selama
4-5 detik. Penilaian palpasi manual dibantu dengan palpometer (Anurogo D, 2014).
Pericranial tenderness dicatat dengan Total Tenderness Score. Tenderness
dinilai dengan empat poin yatu 0,1,2 dan 3 di setiap lokasi otot. Nilai dari sisi kiri
dan kanan dijumlahkan menjadi total skor (maksimum skor 48 poin) (Anurogo D,
2014). Penderita TTH diklasifikasikan sebagai terkait (asosiasi) dengan pericranial
tendernessapabila skor total > 8 poin dan dikatakan tidak terkait (asosiasi) dengan
pericranial tenderness apabila skor < 8 poin (Anurogo D, 2014). Tidak ada uji
spesifik untuk mendiagnosa tension-type headache. Pada pemeriksaan neurologis
tidak ditemukan kelainan apapun (IHS, 2013).
2.6.3 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan darah, rontgen, CT-Scan kepala
atau MRI tidak perlu dilakukan jika tidak ada indikasi apapun (IHS, 2013).
Neuroimaging yaitu pecitraan otak atau cervical spine, terutama direkomendasikan
untuk (Anurogo D, 2014):
1. Nyeri kepala dengan pola atipikal
2. Riwayat kejang
3. Dijumpai tanda/gejala neurologis
4. Penyakit simptomatis, seperti: AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome),
tumor, atau neurofibromatosis.
Pemeriksaan funduskopi untuk papiloedema atau abnormalitas lainnya penting
untuk evaluasi nyeri kepala sekunder (Anurogo D, 2014).
2.6 Penatalaksanaan
Manajemen terapi untuk TTH adalah kombinasi dari gaya hidup, fisik dan
terapi farmakologi. Kombinasi dari gaya hidup dan fisik adalah bentuk terapi nonfarmakologis (Dewanto G dkk, 2009). Tujuan penatalaksanaan adalah reduksi
frekuensi dan intensitas nyeri kepala (terutama TTH) dan menyempurnakan respon
terhadap abortive. Tetapi dapat dimulai lagi jika nyeri kepala berulang (Anurogo D,
2014).
Intervensi non-farmakologis tetap menjadi pilihan meskipun hasil penelitian
di bidang ini terbatas. Terapi non-farmakologis berupa latihan relaksasi, relaksasi
progresif, terapi kognitif, biofeedback training, cognitive-behavioural therapy atau
13

kombinasi. Solusi lain adalah modifikasi perilaku dan gaya hidup berupa (Anurogo
D, 2014):
1. Istirahat di tempat tenang dan gelap
2. Peregangan leher dan otot bahu 20-30 menit, idealnya di pagi hari, selama
minimal seminggu
3. Hindari terlalu lama bekerja di depan komputer. Beristirahat setiap 15 menit
setiap 1 jam berkerja, berselang-seling , iringi dengan instrumen musik
alam/klasik.
4. Tidur dengan posisi yang benar
5. Hindari suhu dingin
6. Bekerja, menonton dan membaca dengan pencahayaan yang tepat
7. Menuliskan pengalaman bahagia
8. Terapi tawa
9. Salat dan berdoa
TTH biasanya diberikan pengobatan selama episode akut. Analgetik tipikal
merupakan obat awal yang diberikan. Berdasarkan evidence, analgetik yang
direkomendasikan adalah golongan NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory Drugs)
seperti ibuprofen, ketoprofen, dll (Tabel 2.1). Banyak studi kontrol yang
membuktikan bahwa golongan NSAID dan kombinasi agen memiliki efikasi yang
bagus dalam memperbaiki episode akut TTH. Penggunaan kombinasi ini dibatasi
rata-rata 2-3 hari per minggu untuk mencegah pengobatan nyeri kepala berlebihan
dan mencegah transformasi ETTH menjadi CTTH (Dewanto G dkk, 2009).

Tabel 2.1. Analgetik yang direkomendasikan untuk terapi TTH episode akut
(Dewanto G dkk, 2009).

14

Kategori NSAID yang digunakan sebagai lini pertama dalam mengatasi TTH
akut adalah simple analgetic berupa ibuprofen dan naproxen, karena toleransinya
terhadap gastrointestinal yang baik. Jika simple analgetic tidak memberikan efek
yang maksimal maka bisa ditambahkan dengan caffeine, karena penelitian
Controlled Clinical Trials menunjukkan peningkatan efikasi simple analgetic dengan
penambahan caffeine 130 mg 200 mg. Butalbital dapat digunakan pada penderita
dengan kontraindikasi konsumsi simple analgetic, tetapi memiliki resiko tinggi
dalam transformasi ETTH menjadi CTTH (Dewanto G dkk, 2009).
Suntikan botulinum toxin (Botox) diduga efektif untuk nyeri kepala primer,
seperti TTH, migren kronis, nyeri ekpala harian kronis. Botulinum toxins adalah
sekelompok protein produksi bakteri Clostridium botulinum. Mekanisme kerjanya
adalah menghambat pelepasan asetilkolin di sambungan otot, menyebabkan
kelumpuhan flaksid. Botox bermanfaat mengatasi kondisi dimana hiperaktivitas otot
berperan penting. Riset tentang Botox ini masih berlangsung (Anurogo D, 2014).

Tabel 2.2. Agent yang direkomendasikan untuk terapi preventif TTH


(Dewanto G dkk, 2009).

Terapi farmakologi preventif digunakan apabila minimal penderita mengalami


2 hingga 3 hari nyeri kepala setiap minggu. Meskipun penangan dari nyeri kepala
TTH ini mungkin menyebakan meningkatnya resiko transformasi menjadi CTTH.
Penatalaksanaanya menggunakan agen tricyclic antidepressant amintryptiline yang
dimulai dengan dosis terendah dan ditingkatkan secara bertahap hingga tercapai
dosis terapi. Berdasarkan penelitian, dimulai dari 10 mg-25 mg dan mencapai final
dose hingga 50 mg-75 mg untuk penderita CTTH. Pemberian agen ini di malam hari,
1-2 jam sebelum tidur untuk meminimalkan pening saat terbangun. Jika dosis terapi
telah tercapai, maka mesti dipertahankan selama 6-12 bulan. Bila tidak efektif, bisa
15

diganti dengan mirtazepine. Selain itu juga bisa digunakan Selective Serotonin
Reuptake Inhibitor (SSRI) (Dewanto G dkk, 2009). Jenis agen yang efektif tercantum
pada Tabel 2.2. Pendekatan multidisiplin adalah strategi efektif mengatasi TTH.
Edukasi baik untuk anak dan dewasa disertai intervensi nonfarmakologis dan
dukungan psikososial amat dipelrukan (Anurogo D, 2014).
2.7 Komplikasi
TTH berhubungan dengan gangguan psikiatri dan kondisi medis, meskipun
penelitian menunjukkan komplikasi tersebut lebih banyak pada migrain. Gangguan
psikiatri teramati lebih dari dua pertiga penderita nyeri kepala kronis. Komplikasi
psikiatri yang sering dijumpai adalah cemas (38,5%), depresi mayor (32,7%), stres
psikososial, gangguan panik, dan tingginya frekuensi bunuh diri. Gangguan ini lebih
banyak dijumpai pada penderita TTH kronis dibandingkan TTH episodik (Anurogo
D, 2014).
Temporomandibular disorders juga berhubungan dengan TTH, meskipun
hubungan

antara

keduanya

adalah

nyeri

kepala

sebagai

gejala

dari

temporomandibulars disorders (Dewanto G dkk, 2009).


TTH dapat dikatakan memiliki hubungan dengan sleep apnea syndrome,
meskipun belum ada data yang valid mengenai hal tersebut. Nyeri kepala pada sleep
apnea syndrome menyerupai TTH kronis karena baisanya terjadi lebih dari 15 hari
per bulan, bilateral, menekan dan tidak disertai nausea, fotofobia atau fotofonia
(Anurogo D, 2014).
2.8. Prognosis
Informasi mengenai prognosis TTH adalah terbatas, dan tidak ada spesifik
yang menyebutkan prognosis pada pria dewasa. Pada sebuah penelitian dengan
sampel dewasa TTH yang diikuti selama 10 tahun, 44% orang dengan CTTH
dilaporkan mengalami perbaikan komplit, dimana 29% dengan ETTH berubah
menjadi CTTH. Penelitian di Denmark dengan desain potong lintang selama 2 tahun
menyatakan rata-rata remisi 45% diantara penderita ETTH atau CTTH, 39%
berlanjut menjadi ETTH dan 16% CTTH. Secara umum dapat dikatakan prognosis
TTH adalah baik (Anurogo D, 2014).

16

BAB III
KESIMPULAN

TTH adalah nyeri kepala bilateral yang menekan (pressing/sequeezing),


mengikat, tidak berdenyut, tidak dipengaruhi dan tidak diperburuk oleh aktivitas
fisik, bersifat ringan hingga sedang, tidak disertai (atau minimal) mual dan/atau
muntah, serta disertai fotofobia atau fonofobia.TTH mempengaruhi hingga dua
pertiga populasi. Prevalensi TTH 1-tahun sekitar 38-74%.Usia terbanyak adalah 2530 tahun. TTH terjadi karena adanya asosiasi positif antara nyeri kepala dan stress.
Dari beberapa dekade telah dijelaskan aspek dan patofisiologi dari TTH yang
menyatakan penyebab TTH adalah proses multifaktorial yang melibatkan faktor
myofascial perifer dan komponen CNS.
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan disesuaikan dengan
kriteria International Classification of Headache Disorders III (ICHD-III).
Pemeriksaan fisik dapat dilakukan palpasi manual untuk menilai pericranial
tenderness, yang dicatat dengan Total Tenderness Score. Pemeriksaan neurologis
tidak memberikan hasil apa-apa. Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi.
Penatalaksanaan bertujuan untuk reduksi frekuensi dan intensitas nyeri kepala
(terutama TTH) dan menyempurnakan respon terhadap abortive, dengan manajemen
terapi adalah kombinasi dari gaya hidup, fisik dan terapi farmakologi. Prognosis
TTH adalah baik.

17

DAFTAR PUSTAKA
The Federation. 2012. Clinical Practice Guideline for The Management of
Headache Disorders in Adults. Online: www.chiropracticcanada.ca January
2012
NINDS. 2009. Headache. National Institute of Neurological Disorders and Stroke,
U.S. Department of Health and Human Services
Anurogo D. 2014. Tension Type Headache. CDK-214/vol.41 no.3 hlm:186-191
Lyngberg et al. 2005. Has The Prevalence of Migraine and Tension Type Headache
Changed Over a 12-year Period? A Danish Population Survey. Eur J
Epidemiol 2005;20:243-9
Kaniecky RG. 2012. Tension Type Headache. Continum:Life Long Learning Neurol
2012; 18(4):823-834
Dewanto G, dkk. 2009. Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta:
EGC
IHS. 2013. The Internasional Classification of Headache Disorders, 3rd editon (beta
version). International Headache Society. Cephalalgia;33(9):629-808
Pop AJ et al.2007. A Guide to The Primary Care of Neurological Disorders.
American Associatio of Neurological Surgeons. New york: Thieme

18

Anda mungkin juga menyukai