Anda di halaman 1dari 3

NAMA

NIM

: MOHAMMAD ALFIAN IRSYADUL IBAD


: 131910201085

Setujukah Anda jika kolom Agama pada KTP dihapus atau dikosongkan?
Akhir tahun 2014, polemik pengosongan kolom agama di kartu tanda penduduk (KTP) mulai dan
terus bergulir. Sebagian besar mempertanyakan maksud dari pernyataan Menteri Dalam Negeri
(Mendagri) Tjahjo Kumolo terkait wacana tersebut. Banyak pihak yang menentang apabila
kolom agama pada KTP dihapus atau dikosongkan, namun tidak sedikit pula pihak yang
mendukung usulan tersebut.
Baiklah di sini sebagai rakyat demokratis, saya pun ingin memberi pendapat dan argumen
mengenai hal tersebut. Sebelum saya memutuskan untuk setuju atau tidak, pada tulisan ini saya
akan mencoba untuk memberikan argumen dengan menyertakan pernyataan dari berbagai pihak,
terutama pernyataan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama karena menurut saya pribadi
pernyataan setuju atau tidak seharusnya memandang dari segi manfaat dan kekurangannya bagi
mayoritas pihak.
Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 sebagai perubahan atas UU Nomor 23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan telah disebutkan bahwa agama yang dicantumkan
dalam e-KTP adalah agama resmi yang diakui oleh Pemerintah yakni Islam, Kristen, Protestan,
Hindu, Buddha, dan Kong Hu Chu.
Dilihat dari Undang Undang tersebut, sudah sewajarnya akan menimbulkan polemik baru yaitu
bagaimana nasib warga yang memiliki agama atau kepercayaan selain yang disebutkan di atas.
Akankah harus mengisi identitas di antara agama yang diakui dengan rasa terpaksa atau
mengosongkan kolom tersebut? Oleh sebab itu mari kita simak berbagai pernyataan dari pihak
pro dan kontra di bawah ini dan setelah itu saya akan memaparkan argumen serta pernyataan
setuju atau tidak dengan kebijakan Mendagri.
Pernyataan pertama pihak kontra dari anggota DPR Fraksi PKS, Aboe Bakar Al-Habsy, menurut
beliau ada 4 hal yang harus diperhatikan Mendagri sebelum memutuskan pengosongan kolom
agama di e-KTP. Pertama, harus disadari bahwa negara Indonesia berdasarkan Pancasila. Dalam
sila Pertama Pancasila terkandung Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Aboe Bakar, bila
Indonesia berlandaskan Pancasila, maka tak perlu kolom agama dikosongkan. "Bila kita percaya
bahwa Pancasila merupakan dasar negara dan identitas jati diri bangsa, kenapa harus malu
mencantumkan agama pada kolom KTP kita? Ini kan bisa dikatakan sudah tidak Pancasilais
lagi,"
Kedua, pengosongan kolom agama akan menyulitkan pengangkatan para pejabat. Meski
Indonesia bukan negara agama, namun sangat mengakui keberadaan agama. Oleh karenanya
setiap pejabat, sebelum memangku jabatannya akan selalu diwajibkan mengambil sumpah.
Sumpah jabatan itu menunjukkan bahwa jabatan yang dianut bukan sekadar kontrak sosial
dengan masyarakat belaka, namun juga merupakan perjanjiannya dengan Tuhan. Oleh karenanya
Ketua Mahkamah Agung (MA) senantiasa akan menyumpah para anggota DPR dan Presiden
sebelum menjalankan tugas.

Ketiga, pengosongan kolom agama di e-KTP juga akan membawa ketidakpastian hukum.
Misalkan saja, saat seseorang akan memberikan kesaksian, pembagian waris, melangsungkan
perkawinan, atau bahkan ketika akan dilakukan pemakaman. Selama ini tindakan hukum
tersebut didasarkan pada identitas di KTP. Bila nanti dikosongkan, lantas apa yang akan menjadi
dasar hukumnya?
Keempat, rencana pengosongan kolom agama oleh Mendagri Tjahjo itu juga akan berseberangan
dengan janji Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) saat kampanye dulu. Di
mana, Jokowi-JK berjanji akan mempertahankan kolom agama di e-KTP. Saat kampanye dulu
Jokowi-JK berjanji akan tetap mempertahankan kolom agama di KTP.,ujarnya
Senada dengan Aboe Bakar dan Fahri Hamzah, Ketua Fraksi PKS di DPR Jazuli Juwaini
megatakan bahwa bagi semua orang beragama di Indonesia pasti kolom agama di KTP dirasa
penting untuk diisi. Karena menurutnya, hal tersebut memiliki implikasi jangka panjang ke
depannya. "Buat orang Islam dan saya yakin juga pemeluk agama lain yang sudah diakui, kolom
agama ini sangat penting. Itu karena ada implikasinya terkait dengan pernikahan, kematian dan
warisan. Ketika tidak tercantum kolom agama, bagaimana mengidentifikasi dan implementasi
persoalan-persoalan itu?. Dia juga mempertanyakan jika ada sebagian orang menganggap
kolom agama itu sebuah bentuk diskriminasi, padahal semua agama yang sudah diakui oleh
pemerintah dicantumkan semua dalam kolom agama tersebut.
Baiklah, setelah kita menyimak beberapa pernyataan dari pihak kontra di atas, saya akan
berargumen bahwa apabila perihal ini (kolom agama tetap diisi dengan agama yang ditetapkan
pemerintah) diterapkan dalam jangka waktu yang lama atau selamanya, maka hal ini akan
menimbulkan kecemburuan sosial bagi penganut kepercayaan. Memang benar kolom agama
haus diisi tapi marilah kita menyimak terlebih dahulu alasan-alasan Mendagri perihal
pengosongan kolom agama ini.
Mendagri Tjahjo menegaskan bahwa pengosongan kolom agama hanya bersifat sementara. Pihak
Kemendagri tengah mengupayakan untuk merevisi Undang-Undang agar penganut kepercayaan
disahkan pemerintah dan bisa disertakan dalam kolom agama. "Itu kepercayaan, sementara
kosong, sedang dinegosiasikan. Kami akan segera ketemu Menteri Agama (Lukman Hakim
Saifuddin) untuk membahas ini. Pemerintah tidak ingin ikut campur pada WNI yang memeluk
keyakinannya sepanjang itu tidak menyesatkan dan mengganggu ketertiban umum," kata Tjahjo.
Menurut Tjahjo, setiap warga negara dilindungi untuk memiliki keyakinan atau percaya pada
agama tertentu. Namun, yang jadi permasalahan apakah keyakinan tersebut termasuk sesat atau
tidak. Hal inilah yang tengah didalami Kemendagri dengan cara berkonsultasi ke Kemenag.
Tjahjo pun menegaskan bahwa pengosongan kolom agama di KTP bukan berarti orang tersebut
tak memiliki agama. Ia menuturkan kolom itu baru diisi setelah ada kepastian sesat atau tidak.
Nah, setelah melihat alasan tersebut, akhirnya saya menyatakan bahwa pengosongan kolom
agama bisa dibilang boleh atau tidak karena terkait kepercayaan itu merupakan urusan antara
manusia dengan Tuhan dengan catatan agama dan kepercayaan yang dianut tidak sesat dan
merugikan agama lain. Namun saya sepaham dengan Mendagri Tjahjo. Mengapa demikian?
Karena sifatnya yang sementara. Saya setuju dengan pernyataan beliau yang mengatakan bahwa

setiap warga Negara dilindungi untuk memiliki kepercayaan pada agama tertentu. Lagipula
kolom agama yang dikosongkan itu bukan berarti seseorang tersebut Atheis, melainkan
menunggu kepastian. Hal itu merupakan cara halus agar semua pihak tidak dirugikan, misalnya
jika kolom agama dihapus, maka semakin tidak jelas warga tersebut menganut agama apa. Atau
dimisalkan kolom agama diisi dengan status atau kalimat belum diakui, maka akan semakin
menimbulkan sakit hati bagi warga yang bersangkutan dan pemerintah pun bisa juga dinilai tidak
mengurus status agama dari warga tersebut. Jika kolom agama dipermasalahkan, akan ada
kemunduran pemahaman di Indonesia. Indonesia sebagai negara Pancasila seharusnya tidak
mempermasalahkan keyakinan yang dianut hingga menjadikan polemik masuk kolom e-KTP
atau tidak.
Dan kesimpulannya yaitu saya lebih condong untuk setuju dengan usulan Mendagri ini
mengingat kondisi yang terjadi pada sekarang ini. Untuk keberlanjutan kolom agama dihapus
atau tidak, saya terima dengan sepenuh hati dengan catatan iman kita masih kuat dan tetap
berpegang teguh pada Pancasila. Untuk keyakinan yang belum diakui secara formal, harusnya
Mendagri memberi solusi seperti membuka dan memfasilitasi pengurusan pengakuan keyakinan
mereka secara formal melalui mekanisme yang berlaku di negeri ini. Ingat demokrasi di negeri
ini adalah demokrasi Pancasila bukan demokrasi liberal, kita punya jati diri.
Namun, solusi atau jalan tengah dari prmasalahan ini yaitu apabila seseorang memiliki agama di
luar enam agama yang diakui di Indonesia, maka kolom agama di KTP dikosongkan, namun
tercatat dalam administrasi kependudukan.

Anda mungkin juga menyukai