PENDAHULUAN
Appendisitis merupakan penyakit abdomen yang sering kita dapatkan.
Appendicitis pada umumnya dapat didiagnosa dengan pemeriksaan klinis, laboratorium
dan radiologis. Tapi juga dapat merupakan suatu penyakit yang sulit didiagnosa. Tidak
jarang pembedahan terhadap appendicitis dilakukan, ternyata didapatkan appendiks
yang normal.
Insiden gangrene dan perforasi appendicitis dalam sejumlah laporan
memperlihatkan hanya sedikit fluktuasi dalam 30 tahun terakhir, stabil pada 25-30%.
Appendicitis dengan masa teraba terdapat pada 1-13% dari penderita appendicitis.
Belum ada kesepakatan pendapat diantara para ahli dalam pengelolaan appendicitis
dengan massa, sehingga didapatkan pendapat yang kontroversial.
1
adanya
kesulitan saat deseksi yang menimbulkan trauma usus yang sudah rapuh
2
TINJAUAN PUSTAKA
BAB II
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama
: Rafidzon Mawardi
Usia
: 43 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Status Pernikahan
: Menikah
Alamat
Agama
: Islam
ANAMNESIS
Diperoleh dengan cara autoanamnesis (kepada pasien sendiri)
Keluhan Utama : Pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 5 hari
SMRS.
Keluhan Tambahan : Nyeri ulu hati, BAB mencret 10x sejak satu hari sebelumnya,
Demam naik-turun dan menggigil kurang lebih 4 hari, Nafsu makan menurun, Mual (+)
muntah
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien laki-laki usia 43 tahun datang ke UGD RSUD Budhi Asih pada tanggal 5 Januari
2015 dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 5 hari SMRS, nyeri perut kanan
bawah dirasa bertambah jika digunakan untuk berjalan. Pasien juga merasakan nyeri ulu
hati, perut terasa kembung dan membesar. BAB mencret 10x sejak satu hari
sebelumnya, BAB konsistensi cair, tidak terdapat lendir (+) dan darah. Demam naik-
turun dan menggigil kurang lebih 4 hari, Nafsu makan menurun, Mual (+) muntah.
Badan terasa lemas, kepala pusing.
Riwayat Kebiasaan
Riwayat merokok
(+)
(-)
(+)
(+)
PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan tanggal 7 Januari 2015 di ruang Bangsal 602 barat RSUD Budhi Asih.
I.
II.
Keadaan Umum
a. Kesan Sakit : Tampak Sakit Sedang, kooperatif
b. Kesadaran
: Compos Mentis
c. Status Gizi
: Gizi cukup
d. Tidak ada sesak
Tanda Vital dan Antropometri
PEMERIKSAAN
NILAI
NORMAL
HASIL PASIEN
Suhu
36,5o - 37,2o C
38,4oC
Nadi
60-100 x/mnt
Tekanan darah
120/80 mmHg
110/80 mmHg
Nafas
14-18 x/mnt
22x/mnt
Berat badan
62 kg
Tinggi badan
Sekitar 165 cm
BMI
18,5-22,9
Wajah
Mata
Telinga
Hidung
: Bentuk normal, deviasi septum (-), sekret (-/-), nafas cuping hidung (/-)
Mulut
Leher
Paru-paru:
Inspeksi
Palpasi
: tidak dilakukan
Perkusi
Auskultasi
Jantung :
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen:
Inspeksi
tanda peradangan.
Auskultasi
: Bising usus (+) meningkat
Palpasi
: Sedikit tegang pada seluruh abdomen dan teraba massa pada
regio hipokondrium kanan, nyeri tekan (+) terutama pada daerah
kanan bawah, nyeri tekan dan nyeri lepas (+) pada daerah
Perkusi
kontrolateral.
: Timpani seluruh lapang abdomen
Genitalia/ Anorektal
: tidak dinilai
Ekstremitas:
Ekstremitas
Deformitas
Akral dingin
Akral sianosis
Ikterik
CRT
Tonus
Superior
-/-/-/-/< 2 detik
Baik
Tabel 2. Ekstremitas pada pemeriksaan fisik
Inferior
-/-/-/-/< 2 detik
baik
Kulit
tidak ikterik ataupun sianotik
STATUS LOKALIS
Regio Lumbar Illiaka Kanan
Sign
: Mc Burney (+),
: Rovsing (+)
7
: Blumberg (+)
: Psoasign (-)
: Obturator (+)
Rectal Touche: Tidak dilakukan (penolakan pasien)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium tanggal 5 Februari 2015
Leukosit
Eritrosit
Hemoglobin
Hematokrit
Trombosit
LED
MCV
MCH
: 24.700 / L
: 3,2 juta / L
: 11,2 g/Dl
: 2.8%
: 345.000 / L
: 5 mm / jam*
: 88 Fl
: 34,5 pg
8
MCHC
RDW
: 39,2 g/Dl
: 13,6 %
Metabolisme Karbohidrat
GDS
: 463 mg/dL
Elektrolit
AST/SGOT
ALT/SGPT
Protein Total
Albumin
Globulin
: 12 mU/dl
: 26 mU/dl
: 4,9 g/dL
: 3,2 g/dL
: 1,7 g/dL
Ureum
Kreatinin
: 42 mg/dL
: 1,36 mg/dL
Foto Rontgen
Foto diambil pada tanggal 06 Februari 2015
Tampak Kyphosis
Tampak destruksi dari corpus vertebra L1 serta penyempitan intervertebralis
RESUME
Pasien datang pada tanggal 5 Januari 2015 dengan keluhan nyeri perut kanan bawah
sejak 5 hari SMRS, nyeri perut kanan bawah dirasa bertambah jika digunakan untuk
berjalan. Pasien juga merasakan nyeri ulu hati, perut terasa kembung dan membesar.
Pasien 2 tahun yang lalu pernah dirawat di RSUD Budhi Asih dengan keluhan diare.
Pada saat dirawat, diketahui bahwa pasien menderita Diabete Mellitus tipe 2. Tetapi
pasien tidak teratur meminum obat dan kontrol DM nya.
DIAGNOSIS KERJA
Appendicitis Infiltrate
PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
o OAT I
10
- Rifampisin 1 x 600 mg
- INH 1 x 400 mg
- Etambutol 2 x 500 mg
- Pirazinamid 2 x 500 mg
o OAT II
- Rifampisin 1 x 450 mg
- Etambutol 2 x 500 mg
- INH 1 x 450 mg
o Ranitidine 2 x 1
o Asam Mefenamat 3 x 500 mg
o Ceftriaxone 2 x 500
o Vitamin B6 1 x 1
o Vitamin Bc 1 x 1
o Laxative 3 x 1
o Dulcolax 1 x 1
Non medikamentosa
o Bed Rest
o EXT Brace
PROGNOSIS
Ad Vitam
: dubia ad bonam
Ad Fungtionam
: dubia ad malam
Ad Sanationam
: dubia ad malam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
APPENDISITIS
III.1.
Definisi Appendisitis
Appendisitis merupakan penyakit abdomen yang sering kita dapatkan.
adanya
kesulitan saat deseksi yang menimbulkan trauma usus yang sudah rapuh
dengan kemungkinan timbulnya ristula.
2. Melakukan operasi hanya pada appendiks infiltrate yang mobil, dengan
pertimbangan operasi dapat lebih mudah dikerjakan karena proses walling
off belum sempurna.
3. Melakukan terapi konservatif terhadap appendicitis infiltrate yang fixed,
dengan pemberian antibiotic dan observasi ketat bila gagal dan terbentuk
abses maka dilakukan drainase dengan atau tanpa appendiktomi. Bila
berhasil penderita dipulangkan dengan pesan datang kembali untuk
appendiktomi interval.
Didapatkan perbedaan pandangan, apakah appendiktomi interval eprlu
dilakukan pada penderita dengan tanpa keluhan. Pertimbangan dilakukan nya
appendiktomi interval ialah : tinggi nya angka kekambuhan setelah serangan yang
pertama, bahaya hilangnya diagnose yang benar pada keadaan yang mirip dengan
appendicitis infiltrate.
Pendapat lain menyebutkan bahwa appendiktomi interval merupakan prosedur yang
berlebihan oleh karena serangan apendisitis akut jarang, adanya laporan appendiktomi
negative atau appendiks sudah dalam keadaan rusak/obliterasi setelah serangan yang
pertama kali. Kesalahan diagnosis terjadi karena sampai saat ini belum ada satu
carapunn yang dapat membantu kita untuk menegakkan diagnosis appendicitis secara
pasti. teknik-teknik diagnosis dari yang non invasive seeprti USG, semi invasive seperti
BNO dan foto kontras bahkan yang invasive seperti laparoskopi dalam rangka
menunjang diagnosis tapi belum memberikan hasil yang menggembirakan. Menurut
12
para ahli kesalahan diagnose sebesar 5-25% dapat dianggap kesalahan yang dapat
diterima.
III.2.
Anatomi Apperndiks(1)(2)
13
retroperitoneal dimana appendiks berputar ke atas di belakng caecum. Selain itu juga
terdapat posisi pelvic (panggul) 31,01% (appendiks menggantung ke arah pelvic
minor), subcaecal ( dibawah caecum) 2,26% retroileal (dibelakang usus halus) 0,4%,
retrokolika, dan pre-ileal. (1)
14
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir
di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendisitis.
Awalnya, apendiks dianggap tidak memiliki fungsi. Namun akhir-akhir ini,
appendiks dikatakan sebagai organ imunologi yang secara aktif mensekresikan
Imunoglobulin A (IgA). Walaupun appendiks merupakan komponen integral dari sistem
Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT), imunoglobulin ini sangat efektif sebagai
pelindung terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta
mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Namun, pengangkatan
appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah jaringan sedikit sekali
jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh tubuh.
III.4.
Histologi
Komposisi histologi serupa dengan usus besar, terdiri dari empat lapisan yakni
mukosa, submukosa, muskularis eksterna, dan lapisan serosa. Permukaan dalam atau
mukosa secara umum sama seperti mukosa colon, berwarna kuning muda dengan
gambaran nodular, dan komponen limfoid yang prominen. Komponen limfoid ini
mengakibatkan lumen dari appendiks seringkali berbentuk irreguler (stelata) pada
potongan melintang. Dindingnya berstruktur sebagai berikut :(3)
A Tunica mucosa
Tidak mempunyai villi intestinalis.
1
nodulus
Lymmphaticus
yang
tersusun
berderet-deret
D Tunica serosa
Tunica serosanya mempunyai struktur yang tidak pada intestinum tenue.
Kadang-kadang pada potongan melintang dapat diikuti pula mesoappendix yang
merupakan alat penggantung sebagai lanjutan peritoneum viserale.berbeda
dengan yang terdapat
16
(1)
III.5.
berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun bermakna. Hal
ini disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu seharihari. Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu
tahun jarang dilaporkan. Insidens tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah
itu menurun. Insidens pada lelaki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada
umur 20-30 tahun, insidens pada lelaki lebih tinggi. Meskipun jarang, pernah
dilaporkan kasus appendiks neonatal dan prenatal. Pasien dengan usia yang lebih dari
60 tahun dilaporkan sebanyak 50% meninggal akibat apendisitis.
17
III.7.
sehingga terjadi kongesti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi.
Appendisitis akut dapat disebabkan oleh proses radang bakteria yang dicetuskan oleh
beberapa faktor pencetus diantaranya hiperplasia jaringan limfa, fekalith, tumor
apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat.
Beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang appendiks, diantaranya :
a
Faktor sumbatan
Faktor
obstruksi
merupakan
faktor
terpenting
terjadinya
Faktor bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada
apendisitis akut. Adanya fekalith dalam lumen apendiks yang telah
terinfeksi memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi
peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks. Pada kultur
didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes
fragilis
dan
E.coli,
Splanchicus,
Lacto-bacilus,
Pseudomonas,
18
Bakteri anaerob
Escherichia coli
Bacteroides fragilis
Viridans streptococci
Peptostreptococcus micros
Pesudomonas
Bilophila species
aeruginosa
Lactobacillus species
Enterococcus
sumbatan
fungsional
apendiks
dan
meningkatkan
memberikan
efek
merubah
suasan
flora
usus
dan
Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang
herediter dari organ, appendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang
tidak baik dan letaknya yang mudah terjadi appendisitis. Hal ini juga
dihubungkan dengan kebiasaan makanan dalam keluarga terutama denga
diet
rendah
serat
dapat
memudahkan
terjadinya
fekalith
dan
19
III.8.
Ada beberapa jenis apendisitis yang memiliki perubahan yang berbeda berhubungan
dengan apendisitis, sehingga ada perbedaan gejala, pengobatan dan prognosis.
Appendisitis diklasifikasikan sebagai berikut :
1
Appendisitis akut
a
Appendisitis infiltrat
Appendisitis infiltrat adalah proses radang appendiks yang penyebarannya dapat
dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga
membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya.
3
Appendisitis abses
Terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus), biasanya di fossa
Appendisitis perforasi
Adalah pecahnya appendiks yang sudah gangren yang menyebabkan pus masuk
kedalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding appendiks
tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.
5
Appendisitis kronis
Merupakan lanjutan appendisitis akut supuratif sebagai proses radang yang
21
mengalami fibrosis. Terdapat infiltrat sel radang limfosit dan eosinofil pada sub
mukosa, muskularis propia, dan serosa. Pembuluh darah serosa tampak dilatasi.
III.9.
infeksi. Beberapa hal ini dpat menyebabkan sumbatan, yaitu hiperplasia jaringan
limfoid, fekalith, benda asing, striktur, kingking, perlengketan.
Bila bagian proksimal appendiks tersumbat, terjadi sekresi mukus yang
tertimbun dalam lumen appendiks, sehingga tekanan intra luminer tinggi. Tekanan ini
akan mengganggu aliran limfe sehingga terjadi edema dan terdapat luka pada mukosa,
stadium ini disebut Appendisitis Akut Ringan. Tekanan yang meninggi, edema dan
disertai inflamasi menyebabkan obstruksi aliran vena sehingga menyebabkan trombosis
yang memperberat iskemi dan edema. Pada lumen appendiks juga terdapat bakteri,
sehingga dalam keadaan tersebut suasana lumen appendiks cocok buat bakteri untuk
diapedesis dan invasi ke dinding dan membelah diri sehingga menimbulkan infeksi dan
menghasilkan pus. Stadium ini disebut Appendisitis Akut Purulenta.
Proses tersebut berlangsung terus sehingga pada suatu saat aliran darah arteri
juga terganggu, terutama bagian ante mesenterial yang mempunyai vaskularisasi
minimal, sehingga terjadi infark dan gangren, stadium ini disebut Appendisitis
Gangrenosa. Pada stadium ini sudah terjadi mikroperforasi, karena tekanan
intraluminal yang tinggi ditambah adanya bakteri dan mikroperforasi, mendorong pus
serta produk infeksi mengalir ke rongga abdomen. Stadium ini disebut Appendisitis
Akut Perforasi, dimana menimbulkan peritonitis umum dan abses sekunder. Tapi
proses perjalanan appendisitis tidak mulus seperti tersebut di atas, karena ada usaha
tubuh untuk melokalisir tempat infeksi dengan cara Walling Off oleh omentum,
lengkung usus halus, caecum, colon, dan peritoneum sehingga terjadi gumpalan massa
plekmon yang melekat erat. Keadaan ini disebut Appendisitis Infiltrate.
Appendisitis infiltrate adalah suatu plekmon yang berupa massa yang
membengkak dan terdiri dari appendiks, usus, omentum, dan peritoneum dengan sedikit
22
atau tanpa pengumpulan pus. Usaha tubuh untuk melokalisir infeksi bisa sempurna atau
tidak sempurna, baik karena infeksi yang berjalan terlalu cepat atau kondisi penderita
yang kurang baik, sehingga appendikular infiltrate dibagi menjadi dua :
terbentuk abses primer. Sedangkan pada walling off yang belum sempurna akan
terbentuk abses sekunder yang bisa menyebabkan peritonitis umum.
Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya
dan menimbulkan obstruksi. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di
perut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan
dinyatakan sebagai mengalami eksaserbasi akut. Appendisitis terjadi dari proses
inflamasi ringan hingga perforasi, khas dalam 24-36 jam setelah munculnya gejala,
kemudian diikuti dengan pembentukan abses setelah 2-3 hari.
23
III.10.
Nyeri abdominal
Karena adanya kontraksi appendix, distensi dari lumen appendix ataupun
karena tarikan dinding appendx yang mengalami peradangan. Mula-mula
nyeri dirasakan samar-samar, tumpul dan hilang timbul yang merupakan
nyeri viseral di daerah epigastrium atau sekitar umbilicus karena appendix
dan usus halus mempunyai persarafan yang sama. Setelah beberapa jam (4-6
jam) nyeri berpindah dan menetap di abdomen kanan bawah (titik Mc
Burney). Apabila terjadi inflamasi (>6 jam) akan terjadi nyeri somatik
setempat yang berarti sudah terjadi rangsangan pada peritoneum parietal
dengan sifat nyeri yang lebih tajam, terlokalisir serta nyeri akan lebih hebat
bila batuk ataupun berjalan kaki.
Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai
akibat dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks
ketika meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut :
Demam
Demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,5 0 38,50C tetapi
bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi.
Kelainan patologi
Peradangan awal
Apenditis mukosa
dinding
mual dan muntah.
Rangsangan
26
peritoneum
lokal
interna,
ureter,
m.psoas
Apendisitis gangrenosa
Perforasi
Demam tinggi, dehidrasi,
syok, toksik
Pembungkusan tidak berhasil
Massa perut kanan bawah, keadaan
umum berangsur membaik
Pembungkusan berhasil
Demam remiten, keadaan umum toksik,
keluhan dan tanda setempat
Abses
Tabel 4. Kelainan dan patologi disertai keluhan dan tanda
III.11.
Anamnesis
Untuk menegakkan diagnosis pada apendisitis didasarkan atas anamnesis
Demam
Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita
nampak sakit, menghindarkan pergerakan pada daerah perut.
Pemeriksaan fisik
1
Inspeksi
Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan
memegang perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak
ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita
dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat
pada massa atau abses appendikuler.
Auskultasi
Peristaltik
Palpasi
Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda
peritonitis lokal yaitu:
Nyeri tekan (+) Mc. Burney
Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran bawah atau titik
adanya
rangsangan
peritoneum
parietal.
Pada
Akan didapatkan nyeri pada jam 9-12. Pada apendisitis pelvika akan
didapatkan nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur.
4
c
Obturator sign
29
Pemeriksaan penunjang
1
Pemeriksaan laboratorium
30
Pemeriksaan
laboratorium
lain
yang
mendukung
diagnosa
USG
Merupakan
pemeriksaan
yang
akurat
untuk
menentukan
Barium enema
Yaitu suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon
melalui anus. Barium enema merupakan kontra indikasi pada suspek
appendisitis akut sebab pada apendisitis akut ada kemungkinan sudah
terjadi mikroperforasi sehingga kontras dapat masuk ke intraabdomen
menyebabkan penyebaran kuman ke intraabdomen. Barium enema
indikasi untuk apendisitis kronik. Apendikogram dilakukan dengan cara
pemberian kontras BaSO4 serbuk halus yang diencerkan dengan
perbandingan 1 : 3 secara peroral dan diminum sebelum kurang lebih 8
10 jam untuk anak anak atau 10 12 jam untuk dewasa. Pemeriksaan
ini dikatakan positif bila menunjukkan appendiks yang non-filling
dengan indentasi dari caecum menunjukkan adanya appendisitis kronis.
Hal ini menunjukkan adanya inflamasi pericaecal. False negative
(partial filling) didapatkan pada 10% kasus. Barium enema ini sudah
tidak lagi digunakan secara rutin dalam mengevaluasi pasien yang
dicurigai menderita appendisitis akut.
CT Scan
Sangat berguna pada pasien yang dicurigai mengalami proses
inflamasi pada abdomen dan adanya gejala tidak khas untuk appendisitis.
Appendiks normal akan terlihat struktur tubular tipis pada kuadran kanan
bawah yang dapat menjadi opak dengan kontras. Appendicolith terlihat
sebagai kalsifikasi homogenus berbentuk cincin (halo sign), dan terlihat
pada 25% populasi. (10)
Appendisitis dapat didiagnosa berdasarkan CT-Scan apabila
didapatkan
appendiks
yang
32
abnormal
dengan
inflamasi
pada
Scoring Appendisitis
Skor Alvarado (12)
Semua penderita dengan suspek appendisitis akut dibuat skor alvarado dan
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu : skor <6 dan skor >6.
Selanjutnya dilakukan apendiktomi, setelah operasi dilakukan pemeriksaan
PA terhadap jaringan apendiks dan hasilnya diklasifikasikan menjadi 2
kelompok yaitu : radang akut dan bukan radang akut.
33
57
: observasi
57
: antibiotik
8 10 : operasi dini
Ohmann Score.U (12)
Sign/Symptom
Value
4,5
Rebound pain
2,5
34
2,0
Continuous pain
2,0
1,5
1,5
1,0
1,0
Moderate : 6 11,
High : 12 13
No
Kriteria
Skoring
1.
Gender
1
Laki-laki
Perempuan
2.
Intensitas Nyeri
1
Berat
Sedang
3.
Perpindahan nyeri
1
Ya
Tidak
4.
Nyeri perut kuadran kanan bawah
35
Ya
Tidak
5.
Muntah
1
Ya
Tidak
6.
Suhu badan
1
37,50C
<37,50C
7.
Guarding
1
Ya
Tidak
8.
Bising Usus
1
Absent/meningkat
Normal
9.
Rebound tenderness
Ya
Tidak
0
Tabel 6. Scoring apendisitis pada anak-anak
Appendisitis akut mempunyai nilai 0 sampai nilai maksimal 32. Dan nilai
ini digunakan untuk mendiagnosa ada atu tidaknya appendisitis akut.
36
III.12.
Jika nilai < 15, kemungkinan untuk appendisitis akut adalah rendah.
kelamin :
-
gastroenteritis,
didapatkan
gejala-gejala
yang
mirip
dengan
Pada pria dewasa muda : crohns disease, kolik traktur urogenitalis dan
epididimitis.
Pemeriksaan fisik pada skrotum dapat membantu menyingkirkan diagnosis
epididimitis. Pada epididimitis, pasien merasa sakit pada skrotum. Pada
crohns disease terdapat gejala kram dan diare yang lebih menyolok,
sedangkan anoreksia tidak terdapat. Pada kolik traktus urogenital didapatkan
gejala yang menjalar dari pinggang ke genitalia, pada pemeriksaan urin
37
Pada wanita usia muda : pelvic onflammatory disease (PID), kita ovarium,
infeksi saluran kencing
Pada PID, nerinya bilateral dan dirasakan pada abdomen bawah. Pada kista
ovarium, nyeri dapat dirasakan bila terjadi ruptur ataupun torsi.
38
Tuba Fallopi kanan dan ovarium terletak dekat appendiks. Radang kedua
organ ini sering bersamaan sehingga disebut salpingo-ooforitis atau
adnesitis. Untuk menegakkan diagnosis penyakit ini didapatkan riwayat
kontak seksual. Suhu biasanay lebih tinggi daripada appendisitis dan nyeri
perut bagian bawah lebih difus. Biasanya disertai dengan keputihan. Pada
colok vaginal jika uterus diayunkan maka akan terasa nyeri.
d. Kehamilan Ektopik
Adanay riwayat terhambat menstruasi denga keluhan yang tidak menentu.
Jika terjadi ruptur tuba atau abortus diluar rahim dengan perdarahan akan
timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin akan terjadi
syok hipovolemik. Pada pemeriksaan colok vaginal didapatkan nyeri dan
penonjolan kavum douglas, dan pada kuldosentesis akan di dapatkan darah.
e. Diverticulitis
Meskipun diverculitis biasanya terletak di perut bagian kiri, tetapi kadangkadang dapat juga terjadi di sebelah kanan. Jika terjadi peradangan dan
ruptur pada diverticulum gejala klinis akan sukar dibedakan dengan gejalagejala appendisitis.
f. Batu ureter atau batu ginjal
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan
merupakan gambaran yang khas. Hematuria sering ditemukan. Foto polos
abdomen atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut.
III.13.
perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan
berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan lekuk usus halus.
Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu peritonitis
generalisata.
39
Nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen
menyeluruh
Suhu tubuh naik tinggi sekali.
Nadi semakin cepat.
Defance Muskular yang menyeluruh
Bising usus berkurang
Perut distended
III.14.
oleh omentum dan gulungan usus halus didekatnya. Mula-mula, massa yang terbentuk
tersusun atas campuran membingungkan bangunan-bangunan ini dan jaringan granulasi
dan biasanya dapat segera dirasakan secara klinis. Jika peradangan pada apendiks tidak
dapat mengatasi rintangan-rintangan sehingga penderita terus mengalami peritonitis
umum, massa tadi menjadi terisi nanah, semula dalam jumlah sedikit, tetapi segera
menjadi abses yang jelas batasnya.
Urut-urutan patologis ini merupakan masalah bagi ahli bedah. Masalah ini
adalah bilamana penderita ditemui lewat sekitar 48 jam, ahli bedah akan mengoperasi
untuk membuang apendiks yang mungkin gangrene dari dalam massa perlekatan ringan
yang longgar dan sangat berbahaya, dan bilamana karena massa ini telah menjadi lebih
terfiksasi dan vascular, sehingga membuat operasi berbahaya maka harus menunggu
pembentukan abses yang dapat mudah didrainase.
Massa apendiks terjadi bila terjadi apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi
ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus. Pada massa
periapendikular yang pendidingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus
keseluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata.
40
Oleh karena itu, massa periapendikular yang masih bebas disarankan segera dioperasi
untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi lebih mudah. Pada anak,
dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan massa
periapendikular yang terpancang dengan pendindingan sempurna, dianjurkan untuk
dirawat dahulu dan diberi antibiotik sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta
luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikular hilang, dan
leukosit normal, penderita boleh pulang dan apendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3
bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin.
Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan
suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta
bertambahnya angka leukosit.
Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya dilakukan
tindakan pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena dikuatirkan akan
terjadi abses apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus
dilakukan sebaik-baiknya mengingat penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada
pembedahan pada apendisitis sederhana tanpa perforasi.
Pada periapendikular infiltrat, dilarang keras membuka perut, tindakan bedah apabila
dilakukan akan lebih sulit dan perdarahan lebih banyak, lebih-lebih bila massa apendiks
telah terbentuk lebih dari satu minggu sejak serangan sakit perut. Pembedahan
dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi abses dengan atau pun tanpa peritonitis
umum.
Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada anak kecil,
wanita hamil, dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau
berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya.
Bila pada waktu membuka perut terdapat periapendikular infiltrat maka luka
operasi ditutup lagi, apendiks dibiarkan saja. Terapi konservatif pada periapendikular
infiltrat :
1. Total bed rest posisi fawler agar pus terkumpul di cavum douglassi.
2. Diet lunak bubur saring.
3. Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi yang
aktif terhadap kuman aerob dan anaerob.
41
Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu kemudian, dilakukan
apendiktomi. Kalau sudah terjadi abses, dianjurkan drainase saja dan apendiktomi
dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika ternyata tidak ada keluhan atau gejala
apapun, dan pemeriksaan jasmani dan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang
atau abses, dapat dipertimbangkan membatalakan tindakan bedah.
Analgesik diberikan hanya kalau perlu saja. Observasi suhu dan nadi. Biasanya
48 jam gejala akan mereda. Bila gejala menghebat, tandanya terjadi perforasi maka
harus dipertimbangkan appendiktomy. Batas dari massa hendaknya diberi tanda
(demografi) setiap hari. Biasanya pada hari ke5-7 massa mulai mengecil dan
terlokalisir. Bila massa tidak juga mengecil, tandanya telah terbentuk abses dan massa
harus segera dibuka dan didrainase.
Caranya dengan membuat insisi pada dinding perut sebelah lateral dimana nyeri
tekan adalah maksimum (incisi grid iron). Abses dicapai secara ekstraperitoneal, bila
apendiks mudah diambil, lebih baik diambil karena apendik ini akan menjadi sumber
infeksi. Bila apendiks sukar dilepas, maka apendiks dapat dipertahankan karena jika
dipaksakan akan ruptur dan infeksi dapat menyebar. Abses didrainase dengan selang
yang berdiameter besar, dan dikeluarkan lewat samping perut. Pipa drainase didiamkan
selama 72 jam, bila pus sudah kurang dari 100 cc/hari, drai dapat diputar dan ditarik
sedikit demi sedikit sepanjang 1 inci tiap hari. Antibiotik sistemik dilanjutkan sampai
minimal 5 hari post operasi. Untuk mengecek pengecilan abses tiap hari penderita di
RT.
Penderita periapendikular infiltrat diobeservasi selama 6 minggu tentang:
-LED
-Jumlah leukosit
-Massa
Pemeriksaan fisik:
42
Tidak didapatkan massa atau pada pemeriksaan berulang massa sudah tidak me ngecil
lagi
43
Indikasi Appendiktomi :
Appendisitis akut
Appendisitis kronik
Apendisitis perforata
Open Appendectomy
-
Lokasi Insici
Incisi Grid Iron (McBurney Incision)
Insisi Gridiron pada titik Mc Burney. Garis insisi paralel dengan otot
oblikus eksternal, melewati titik Mc Burney yaitu 1/3 lateral garis yang
menghubungkan spina illiaka anterior superior kanan dan umbilikus.
Lapisan kulit yang dibuka pada Appendiktomi : cutis - sub cutis - fascia
scarfa - fascia camfer - aponeurosis MOE MOI - M. Transversus - fascia
transversalis - pre peritoneum peritoneum.
Sayatan ini mengenai kutis, subkutis dan fasia. Otot otot dinding perut
dibelah secara tumpul menurut arah serabutnya. Setelah itu akan tampak
peritoneum parietal ( mengkilat dan berwarna biru keabu-abuan) yang
disayat secukupnya untuk meluksasi sekum. Sekum dikenali dari ukurannya
yang besar dan mengkilat dan lebih kelabu/putih, mempunya haustrae dan
taenia koli, sedangkan ileum lebih kecil, lebih merah dan tidak mempunyai
haustrae dan taenia koli. Basis appendiks dicari pada pertemuan ketiga
taenia koli. Teknik inilah yang paling sering dikerjakan karena
keuntungannya tidak terjadi benjolan dan tidak mungkin terjadi herniasi,
44
trauma operasi minimum pada alat alat tubuh, dan masa istirahat pasca
bedah lebih pendek karena masa penyembuhannya lebih cepat. Kerugiannya
adalah lapangan iperasi terbatas, sulit diperluas, dan waktu operasi lebih
lama. Lapangan operasi dapat diperluas dengan memotong secara tajam.
Disiapkan tabac sac mengelilingi basis apendiks dengan sutra, basis apendiks
kemudian dijahit dengan catgut.
Jahitan tabac sac disimpulkan dan puntung dikuburkan dalam simpul tersebut.
Mesoapendiks diikat dengan sutera.
46
47
48
49
Laparoscopic Appendectomy
Pertama kali dilakukan pada tahun 1983. Laparoscopic dapat dipakai sarana diagnosis
dan terapeutik untuk pasien dengan nyeri akut abdomen dan suspek appendisitis akut.
Laparoscopic kemungkinan sangat berguna untuk pemeriksaan wanita dengan keluhan
abdomen bagian bawah. Membedakan penyakit akut ginekologi dari appendisitis akut
sangat mudah dengan menggunakan laparoskop.
Prognosis Appendisitis
Mortalitas adalah 0,1% jika appendisitis akut tidak pecah, dan 15% jika pecah
pada orang tua. Kematian biasanya akibat dari sepsis, emboli paru, atau aspirasi.
Prognosis membaik dengan diagnosis dini sebelum perforasi terjadi dan dengan
antibiotik yang adekuat. Morbiditas meningkat seiring dengan perforasi dan usia tua
50
BAB IV
KESIMPULAN
1
terpuntir.
Terapi appendisitis infiltrat adalah operasi elektif appendiktomy jika massa
dianggap tenang dengan sebelumnya diberikan terapi konservatif dengan
kombinasi antibiotik dosis tinggi untuk kuman aerob dan anaerob selama 6-8
minggu. Apabila massa mengecil pembedahan dapat dibatalkan tetapi apabila
massa tetap dan nyeri perut pasien bertambah berarti sudah terjadi abses dan massa
apendisitis
yang
dapat
mengakibatkan peritonitis yang pada akhirnya akan terjadi kegagalan organ dan
kematian. Komplikasi terjadi biasanya akibat keterlambatan diagnosa apendisitis
akut.
51
DAFTAR PUSTAKA
1
5
6
Kevin P. Lally, Charles S. Cox JR. Dan Richard J. Andrassy. Appendix on Chapter 47 in
Sabiston Textbook of Surgery 17ed ebook. New york: Saunders; 2004.h 1381-1400
Brunicardi C, Anderson DK, Billiar T, Duhn DL, Hunter JG, Mathews JB, Pallock RC.
2010. The Appendix on Chapter 30 in Schwartzs Principles of Surgery 9ed ebook. New
York: McGraw-Hills.
52
53