BAB 2 TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Demam Berdarah Dengue 2.1.1 Definisi Demam dengue adalah sindrom
jinak yang disebabkan oleh arthropodborne viruses dengan karakteristik demam
bifasik, nyeri otot dan sendi, ruam kulit, leukopenia, dan limfadenopati. Dengue
hemorrhagic fever adalah demam dengue dengan kondisi hemoragik seperti
trombositopenia, hemokonsentrasi dan dalam beberapa kasus kasus yang parah,
protein-losing shock syndrome (dengue shock syndrome). Kondisi ini dipercaya
memiliki hubungan basis imunopatologis (Halstead, 2011;Dorland, 2012). 2.1.2
Epidemiologi Istilah hemorrhagic fever di Asia Tenggara pertama kali digunakan di
Filipina pada tahun 1953. Di Indonesia DBD pertama kali dicurigai di Surabaya pada
tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970 dan pada
tahun 1993 DBD telah menyebar ke seluruh provinsi di Indonesia (IDAI, 2012).
Dalam 50 tahun terakhir, tercatat insidens kasus demam berdarah dengue telah
meningkat 30 kali seiring dengan perkembangan dan pertambahan penduduk dari kota
ke desa dalam dekade terakhir ini. Di seluruh dunia, diperkirakan sedikitnya terdapat
50 juta dari 2,5 milyar penduduk yang tinggal di daerah endemik terinfeksi virus
dengue setiap tahunnya (WHO, 2009). Dengue merupakan penyebab demam kedua
tertinggi setelah malaria (Shandera & Roig, 2013). Infeksi dengue ini endemis pada
banyak negara Asia Tenggara, Pasifik Barat, Amerika dan hiperendemis di Thailand
(WHO, 1997;Bajaj et al., 2011). Demam berdarah dengue kebanyakan terjadi pada
anak usia kurang dari 15 tahun (Witayathawornwong et al., 2012).
Vektor dari virus dengue adalah nyamuk Aedes aegypti and Aedes albopictus
(Ford-Jones & Artsob, 2003). Hostnya adalah manusia yang digigit oleh nyamuk
betina dan masa inkubasinya selama 4-10 hari (WHO, 2009). 2.1.4 Patogenesis
Gigitan nyamuk Aedes menyebabkan infeksi di sel langerhans di epidermis dan
keratinosit. Kemudian menginfeksi sel - sel lainnya seperti monosit, sel dendritik,
makrofrag, sel endotelial dan hepatosit. Monosit dan sel dendritik yang terinfeksi
memproduksi banyak sitokin proinflammatori dan kemokin yang selanjutnya
mengaktivasi sel T yang diperkirakan menyebabkan disfungsi endotelial. Disfungsi
endotelial menyebabkan peningkatkan permeabilitas pembuluh yang kemudian
menyebabkan perembesan cairan di pleura, rongga peritonium, dan syok. Sel
endotelial juga dirangsang untuk menimbulkan respons imun yang mengakibatkan
permeabilitas vaskular meningkat (Malavige & Ogg, 2012). Menurut IDAI (2012),
patogenesis DHF belum jelas namun terdapat hipotesis yang mendukung seperti
heterologous infection hypothesis atau the sequential infection hypothesis yang
menyatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang setelah terinfeksi virus
dengue pertama kali mendapatkan infeksi kedua dengan virus dengue serotipe lain
dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5 tahun (IDAI, 2012). Banyak para ahli sependapat
bahwa infeksi sekunder adalah penyebab beratnya manifestasi klinis pada penderita
DBD (Ginting, 2004)
10
Menurut hipotesis infeksi sekunder (gambar 2.2), sebagai akibat infeksi sekunder
oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik pasien akan terpicu,
menyebabkan proliferasi dan transformasi limfosit dan menghasilkan titer tinggi IgG
antidengue. Karena bertempat di limfosit, proliferasi limfosit juga menyebabkan
tingginya angka replikasi virus dengue. Hal ini mengakibatkan terbentuknya
kompleks virus-antibodi yang selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen.
Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh
darah dan merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini terbukti dengan
peningkatan kadar hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya cairan dalam
rongga serosa (WHO, 1997).
Infeksi sekuensial dengan serotipe dengue berbeda lebih rentan menjadi bentuk
penyakit lebih berat (demam berdarah dengue/sindrom syok dengue). Hal ini
dijelaskan dengan pembentukan kaskade cross-reactive antibodi heterolog
nonnetralisasi yang diperkuat, sitokin (seperti interferon gamma yang diproduksi o
lek sel T spesifik) dan aktivasi komplemen yang menyebabkan disfungsi endotel,
destruksi trombosit, dan koagulopati konsumtif (Kariyawasam & Senanayake, 2010).
11
2.1.5 Diagnosis Menurut WHO 1997 yang dikutip oleh Suhendro 2009 dan IDAI
2012, kriteria diagnosis DBD ditegakkan melalui 2 kriteria :
12
Pemeriksaan Kadar AST dan ALT juga diperlukan karena berhubungan dengan
derajat penyakit DBD. Pada anak dengan infeksi dengue semakin tinggi kadar AST
dan ALT serum, semakin berat derajat penyakit. Kadar AST lebih tinggi
dibandingkan kadar ALT serum dengan rasio 2-3:1 (Darajat et al., 2008). Pada
beberapa kasus dapat ditemukan leukopenia (Sondheimer, 2008).
2.1.6 Karakteristik / Derajat WHO 1975 yang dikutip dari Suhendro 2009 dan
IDAI 2012 membagi derajat penyakit DBD dalam 4 derajat : Tabel 2. 1. Klasifikasi
Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue (Suhendro et al, 2009;IDAI, 2012).
).
Peningkatan
150.000 sel/mm
hematokrit (5% - 10%).
Tidak ada bukti kehilangan plasma
DHF I Demam dan manifestasi pendarahan (uji torniquet positif) dan terdapat
bukti kebocoran plasma
Trombositopenia
; HC T men i n gkat100.000
=20 %sel/mm
Trombositopenia
; HC T men i n gk
at
100.000
=20 %
sel/mm
DHF* III Gejala seperti di Grade I atau II ditambah kegagalan sirkulasi (nasi
Trombositopenia
; HC T men i n gkat100.000
=20 %sel/mm
melemah, tekanan n ad i sempi t (= 20 mmHg), hipotensi disertai kulit dingi,
lembab dan ppasien menjadi gelisah)
DHF* IV Seperti di Grade III ditambah ditemukannya syok berat dengan tekanan Trombositopenia
; HC T men i n gkat100.000
=20 %sel/mm
darah dan nadi tidak teraba
*DHF derajat III dan IV juga disebut sindrom syok dengue/Dengue Shock Syndrome
(SSD/DSS) **Serologi Dengue Positive ditemukan pada semua derajat
13
Berdasarkan kelemahan dari kriteria sebelumnya maka WHO pada tahun 2009
mengeluarkan klasifikasi dan derajat keparahan dari infeksi virus dengue, yaitu
kriteria probable dengue, warning sign dan kriteria severe dengue :
14
Sumber :
2.1.7 Manifestasi Klinis WHO pada tahun 2009 membagi gejala klinis demam
dengue menjadi 3 fase : 1. Fase Demam, 2.Fase Kritis, 3.Fase Recovery. A. Fase I
Fase Demam
Demam akut yang berlangsung 2 - 7 hari dan sering disertai muka kemerahan,
eritema kulit, nyeri seluruh badan, mialgia, atralgia, dan sakit kepala. Beberapa
pasien dapat memiliki gejala sakit tenggorokan, faring hiperemis dan injeksi
konjungtiva. Anorexia, mual, dan muntah sering terjadi dan dapat sulit
dibedakan dengan demam non-dengue pada fase awal. Uji torniquet positif pada
fase ini meningkatkan kepastian dari dengue. Manifestasi perdarahan ringan
seperti petekie dan perdarahan membran mukosa (mis. hidung dan gusi) dapat
terlihat. Gejala tidak khas seperti perdarahan vagina dan perdarahan
gastrointestinal dapat terjadi. Hati dapat
15
membesar dan terasa sakit pada beberapa hari sewaktu demam. Penurunan sel
darah putih dapat memberikan tanda sebagai infeksi dengue (WHO, 2009).
Tanda dan gejala ini kurang dapat membedakan antara severe dan non severe
dengue sehingga perlu monitoring lebih untuk berhati - hati dalam menilai fase
perkembangan ke fase kritis (WHO, 2009).
16
C. Fase III Fase Penyembuhan/Recovery Pasien yang melewati fase kritis akan
memasuki fase recovery dimana terjadi reabsorpsi cairan extravaskular dalam 48-72
jam, dimana keadaan umum akan membaik, nafsu makan bertambah, gejala
gastrointestinal berkurang, status hemodinamik stabil, dan diuresis terjadi. Ruam,
pruritis, bradikardia dapat terjadi pada fase ini (WHO, 2009). Hematokrit dapat
kembali stabil atau menurun akibat efek pengenceran dari absorpsi cairan. Sel darah
putih perlahan mengalami peningkatan setelah suhu tubuh menurun diikuti dengan
peningkatan trombosit. Respiratory distress akibat efusi pleura masif dan ascites
dapat terjadi akibat dari terapi cairan IV yang berlebih sewaktu fase kritis ataupun
fase recovery yang dapat dikaitkan d engan edema paru atau gagal jantung kongestif
(WHO, 2009).
17
Tabel 2.2. Fase Demam, Kritis dan Penyembuhan pada Dengue (WHO, 2009).
18
Lelah, sakit pada retro orbital, mialgia, dan atralgia juga dirasakan pada penderita
DBD (Polin & Ditmar, 2011;Green et al., 2005). 2.1.8 Diagnosa Banding Demam
pada fase akut mencakup spektrum infeksi bakteri dan virus yang luas. Pada hari
hari pertama DBD sulit dibedakan dari morbili dan Immune Thrombocytopenic
Purpura (ITP) yang disertai demam (IDAI, 2012). Diagnosa banding DBD juga
dapat dilihat terhadap kesesuaian klinis dengan demam tifoid, campak, influenza,
chikungunya, dan leptospirosis (Suhendro et al., 2009). Tabel 2.3. Diagnosa
Banding Demam Dengue (WHO, 2009).
Kondisi mirip dengan fase demam Flu-like syndromes Influenza, measles, Chikungunya, infectious
mononucleosis , HIV seroconversion illness Illnesses with a rash Rubella, measles, scarlet fever, meningococcal
infection, Chikungunya, drug reactions Diarrhoeal diseases Rotavirus, other enteric infections Illnesses with
neurological manifestations Meningo/encephalitis Febrile seizures Kondisi mirip fase kritis Infectious Acute
gastroenteritis, malaria, leptospirosis,
Malignancies Acute leukaemia and other malignancies Gambaran Klinis lainnya Akut abdomen
Apendisitis akut
Kolesititis akut
perforated viscus
Diabetik ketoasidosis
Laktat asidosis
Leucopenia dan trombositopenia pendarahan
Gangguan trombosit Gagal ginjal
19
Namun Diagnosa banding DBD WHO pada Asia Tenggara memiliki perbedaan
karena dikhususkan untuk Asia Tenggara Menurut WHO SEARO (2011), diagnosa
banding yang dikhususkan untuk Asia Tenggara adalah :
20
tanda kegawatdaruratan seperti gelisah, nafas cepat, bibir biru, tangan dan kaki
dingin, kulit lembab dan sebagainya. Jika ditemukan kejang, muntah berulang,
kesadaran menurun, hematemesis melena, sebaiknya dilakukan rawat inap. Apabila
tidak dijumpai tanda kegawatdaruratan, lakukan pemeriksaan uji torniquet diikuti
dengan pemeriksaan trombosit. Apabila uji torniquet (-) atau uji torniquet (+) dengan
jumlah trombosit >100.000/ul dapat dilakukan rawat jalan dengan kontrol tiap hari
hingga demam hilang dan pemberian obat antipiretik berupa parasetamol. Apabila
jumlah trombosti <100.000/ul perlu dirawat untuk observasi. Pada pasien rawat jalan,
di beri nasehat kepada orang tua apabila terdapat tanda-tanda syok maka pasien harus
di bawa ke rumah sakit untuk diperiksa lebih lanjut (IDAI, 2012) .
21
22
untuk mengetahui pembesarannya oleh karena pembesaran hati yang disertai nyeri
tekan berhubungan dengan perdarahan saluran cerna. Apabila sudah didapati
perbaikan klinis dan laboratoriu m, anak dapat pulang jika memenuhi kriteria (IDAI,
2012).
23
jumlah trombosit > 50.000/ul dan cenderung meningkat, serta tidak dijumpai distres
pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis) (IDAI, 2012). Pemberian
cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun, sekitar 40%. Jumlah
urin 12ml/kgBB/jam atau lebih merupakan indikasi bahwa keadaan sirkulasi
membaik (IDAI, 2012). Sedatif dapat diberikan untuk menenangkan pasien tapi
keadaan gelisah akan hilang dengan sendiri nya apabila pemberian cairan sudah
adekuat dan perfusi jaringan membaik (IDAI, 2012).
24
manifestasi perdarahsn yang nyata. Penurunan hematokrit (dari 50% ke 40%) tanpa
perbaikan klinis walau diberikan cairan menunjukkan tanda adanya perdarahan.
Pemberian darah dilakukan untuk menaikkan konsentrasi sel darah merah sedangkan
plasma segar dan atau suspensi trombosit untuk pasien dengan DIC. DIC biasanya
terjadi pada syok berat dan menyebabkan perdarahan masif. DIC dipicu oleh
hiponatremia dan asidosis metabolik sehingga pada keadaan syok berat sebaiknya
dilakukan perbaikan pada asidosis sebelum berkembang menjadi DIC. Tatalaksana
DBD derajat III & IV selanjutnya dapat dilihat di gambar 2.9. (IDAI, 2012) .
25
Tatalaksana syok perlu dilakukan secara agresif dan simultan mulai dari ABC
hingga resusitasi cairan untuk meningkatkan preload yang diberikan secara cepat dan
kurang dari sepuluh menit. Resusitasi cairan paling baik dilakukan pada tahap syok
hipovolemik kompensasi, sehingga mencegah terjadinya syok dekompensasi dan
ireversibel. Cairan kristaloid diberikan 10-30ml/kgBB/6-10 menit kemudian lihat
tekanan darah apabila tekanan darah masih rendah (hipotensi) ulangi pemberian
cairan kristaloid apabila normotensi diberikan tetesan rumatan kemudian dilakukan
pemeriksaan urin apabila didapati >1ml/kgBB/jam maka diberikan tetesan rumatan,
apabila <1ml/kgBB/jam dan anuri, diulangi pemberian kristaloid kemudian dilakukan
pengecekan urin kembali. Pemasangan CVP dilakukan ketika volume yang diberikan
lebih dari 50-100ml/kgBB dalam 1-2 jam pertama untuk menilai fungsi miokard. Bila
CVP <10mmHg berarti fungsi miokard masih baik dan resusitasi cairan dapat
diteruskan. Bila CVP >10mmHg berarti terdapat disfungsi miokard atau penurunan
kontraktilitas ventrikel kanan, peningkatan resistensi vaskular paru (afterload
ventrikel kanan) atau syok kardiogenik sehingga diperlukan pemberian obat-obatan
resusitasi seperti epinefrin, sodium bikarbonat, dopamin, glukosa, kalsium klorida,
atropin, atau dobutamin (Darwis, 2003). 2.1.10 Prognosis Prognosis demam
dengue berhubungan dengan antibodi yang didapat atau infeksi awal dengan virus
yang menyebabkan terjadinya DBD (Halstead, 2011). Keparahan terlihat dari usia,
dan infeksi awal terhadap serotipe dengue virus yang lain sehingga dapat
mengakibatkan komplikasi hemorhagik yang parah (Levin & Weinberg, 2009).
Prognosis di tentukan juga oleh lamanya penanganan terhadap terjadinya syok pada
sindroma syok dengue (SSD). Prognosis baik jika diatasi maksimal 90 menit.
Prognosis akan terlihat buruk jika melebihi 90 menit (Citraresmi et al., 2007).
26
2.1.11 Komplikasi Pada umumnya infeksi primer dapat sembuh sendiri dan tidak
berbahaya. Komplikasi pada bayi dan anak usia muda biasanya berupa kehilangan
cairan dan elektrolit, hiperpireksia, dan kejang demam (Halstead, 2011) . Pada usia 1
4 tahun wajib diwaspadai ensefalopati dengue karena merupakan golongan usia
tersering terjadinya kejang demam (IDAI, 2012). Kegagalan dalam melakukan
tatalaksana komplikasi ini, dapat memberikan jalan menuju DSS (Dengue Shock
Syndome) dengan tanda kegagalan sirkulasi, hipotensi dan syok (Levin & Weinberg,
2009).
2.1.12 Pencegahan
Menurut WHO (1997) deteksi dini gejala DBD dapat mengurangi penyebaran
penyakit DBB melalui pemeriksaan laboratorium dan tanda adanya demam tinggi
disertai ruam pada kulit. Vaksin untuk DBD sampai saat ini belum tersedia
sehingga dilakukan tindakan pencegahan berupa pengendalian vektor nyamuk Aedes
sp.. Ada beberapa cara yang dianjurkan WHO untuk mengurangi terjadinya kasus
DBD seperti penggunaan alat pelindung diri, penggunaan insektisida aerosol, jaga
sanitasi air, pengurangan sampah di sekitar wilayah rumah ataupun di dalam rumah
(Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2008).
Depkes sendiri telah menetapkan 5 kegiatan pokok sebagai kebijakan dalam
pengendalian penyakit DBD yaitu menemukan kasus secepatnya dan mengobati
sesuai protap, memutuskan mata rantai penularan dengan pemberantasan vektor
(nyamuk dewasa dan jentik jentiknya), kemitraan dalam wadah POKJANAL
DBD (Kelompok Kerja Operasional DBD), pemberdayaan masyarakat dalam
gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN 3M Plus) dan peningkatan
profesionalisme pelaksana program (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan, 2008). Kegiatan yang paling utama dalam menanggulangi
peningkatan kasus adalah program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) melalui
gerakan 3M
27
2.2 Anak Menurut WHO, Asiosiasi perlindungan anak dan Undang undang
No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak didefinisikan sebagai individu
dengan umur di bawah 18 tahun dihitung dari sejak di dalam masa kandungan.
Adapun klasifikasi anak anak adalah sebagai berikut :