Anda di halaman 1dari 6

KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI

KUALITAS GURU SEBAGAI KUNCI UTAMA"Educational change depends on what teachers do and

think - it's as simple and as complex as that. It would all be so easy if we could legislate changes in

thinking. Classrooms and schools become effective when (1) quality people are recruited to teaching, and

(2) the workplace is organized to energize teachers and reward accomplishments. The two are intimately

related. Professionally rewarding workplace conditions attract and retain good people." The New Meaning

of Educational Change, 3rd ed. Fullan (2001:115).

MENGAPA PERLU KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI?Ide lahirnya KBK didasarkan pada

pemikiran bahwa bakat dan kemampuan peserta didik pada tiap jenjang dalam satuan pendidikan

berbeda-beda sehingga diperlukan suatu kurikulum yang memungkinkan setiap anak didik memiliki

kompetensi dasar sesuai dengan bakat dan kemampuan masing-masing. Kurikulum lama dianggap telah

tidak memadai lagi untuk mencapai tujuan pendidikan modern. Pada dasarnya kurikulum ini hanya dilihat

sebagai acuan dasar yang harus diterjemahkan lebih jauh oleh guru dengan melihat potensi masing-

masing anak. Guru bertindak sebagai fasilitator dengan siswa sebagai subyek. Siswa harus aktif

mempresentasikan ide-idenya, mencari solusi atas masalah yang dihadapi dan menentukan langkah-

langkah yang harus diambilnya.

Perlu disadari bahwa KBK menuntut adanya perubahan paradigma dari guru. Guru tidak lagi

bertumpu pada paradigma lamanya dimana dirinya sebagai pusat kegiatan dan tujuan perubahan. Tidak

ada lagi kegiatan 'talk and chalk' dan siswa hanya 'sit, listen, and quote'. Ada perubahan mendasar pada

konsep, metode dan strategi dalam mengajar termasuk assesmentnya. KBK menuntut guru untuk familiar

dengan teknologi informasi, dapat mengakses internet, akrab dengan ilmu pengetahuhan, teknologi dan

seni, memahami hubungan antara bidang studinya dengan bidang studi lannya dan terutama adalah

penerapannya dalam kehidupan nyata.

MUTU GURU KENDALA TERBESAR KURIKULUM 2004.Fakta menunjukkan bahwa mutu guru di

Indonesia masih jauh dari memadai untuk melakukan perubahan yang sifatnya mendasar macam

kurikulum berbasis kompetensi ini. Berdasarkan statistik 60% guru SD, 40% guru SLTP, 43% SMA, 34 %

SMK dianggap belum layak untuk mengajar di jenjang masing-masing. Selain itu 17,2 % guru atau setara

dengan 69.477 guru mengajar bukan bidang studinya. Kualitas SDM kita adalah urutan 109 dari 179

negara berdasarkan Human Development Index Berdasarkan pengamatan, pemahaman dan penerapan

KBK masih jauh dari harapan. Bahkan secara nasional tidak tersedia tutor yang benar-benar paham

prinsip-prinsip maupun penerapan dari KBK ini secara tuntas.


Para guru bahkan belum mengenal pengajaran dengan menggunakan proyek-proyek yang

menggabungkan beberapa mata pelajaran sekaligus. Pengajaran tematik bahkan masih asing terdengar

oleh para guru. Kurikulum ini hanya dipahami secara parsial sehingga juga diterapkan secara parsial.

Ketidakmampuan memahami pendekatan yang mendasari kurikulum ini membuat para guru tidak

berusaha untuk mengubah pola pengajaran lama mereka secara mendasar. Mereka belum mampu untuk

melaksanakan KBM dalam sebuah proyek secara bersama dengan guru-guru dari bidang studi lain. Guru

belum memahami konstelasi bidang studi yang diajarkannya dalam kaitan dan hubungannya dengan

bidang studi lain dan masih melihat berbagai bidang studi secara terpisah dan tersendiri tanpa ada

hubungan dengan bidang studi lain.

Guru masih melihat bidang studinya berupa 'text' dan belum 'context' karena metode CTL masih

berupa wacana dan belum menjadi pengetahuan, apalagi ketrampilan, bagi para guru. Guru-guru masih

terjebak pada filosofi dan pendekatan lamanya. Hal ini nampak jelas pada evaluasi yang mereka lakukan.

Evaluasi yang digunakan oleh para guru dilapangan masih berpedoman pada paradigma lama yang hanya

mengukur kemampuan kognitif dengan bentuk-bentuk evaluasi yang hampir tidak berubah sama sekali

dengan kurikulum sebelumnya. Kesulitan utama pada guru-guru adalah ketidakpahaman mereka

mengenai apa dan bagaimana melakukan evaluai dengan portofolio.

Karena ketidakpahaman ini mereka kembali kepada pola assesment lama dengan tes-tes dan

ulangan-ulangan yang cognitive-based semata. Tidak adanya model sekolah yang bisa dijadikan sebagai

rujukan membuat para guru tidak mampu melakukan perubahan, apalagi lompatan, dalam proses

peningkatan kegiatan belajar mengajarnya. Sebagian besar guru, bahkan pada sekolah-sekolah yang

dianggap unggulan, bahkan belum paham benar dengan prinsip 'student-centered' dan kegiatan belajar

mengajar masih berpusat pada gurunya. CBSA yang sebelum ini telah dikenalkan masih berupa wacana

dan belum menjadi kegiatan sehari-hari di kelas. Secara makro hal ini disebabkan karena secara nasional

maupun lokal guru tidak ditempatkan sebagai SDM strategis untuk melakukan perubahan (dibandingkan

dengan negara-negara tetangga sekalipun).

Disamping kualitas guru yang masih rendah, mereka juga masih dibayar rendah - honor guru

kontrak masih dibawah UMR. Sebaliknya di Jepang, meskipun bukan profesi dengan pendapatan tertinggi,

guru adalah warganegara terhormat dimana semua profesi lainnya hormat padanya. Persiapan untuk

perubahan ke kurikulum KBK ini juga terlalu tergesa-gesa. KBK dirancang dan diujicobakan hanya pada

36 sekolah (masing-masing 12 sekolah tiap tingkatan SD, SMP dan SMA) di empat provinsi sebagai syarat

dasar empiris sebelum dianggap layak untuk disebarkan sebagai kebijakan baru. Artinya guru dan sekolah
tidak secara substansial terlibat dalam perancangan KBK. Guru dan sekolah hanyalah pelaksana dan

mereka tidak dipersiapkan untuk menjadi pembawa perubahan

Selain itu, karena keterbatasan kemampuan untuk mensosialisasikan seminar dan pelatihan-

pelatihan untuk KBK ini biasanya hanya diberikan pada guru-guru negeri saja. Padahal guru swasta 8

(delapan) kali lebih banyak daripada guru negeri dan rata-rata sekolah swasta kualitasnya masih di bawah

sekolah negeri. Mereka jarang sekali mendapatkan pelatihan baik dari pemerintah maupun dari yayasan

dimana mereka bekerja. Kesalahpahaman mendasar juga terlihat bahwa kompetensi masih dilihat secara

sempit sebagai upaya untuk memberi ketrampilan vokasional agar siswa dapat terjun langsung ke tengah

kehidupan. KBK disejajarkan dengan program Life Skills yang kebetulan diluncurkan hampir bersamaan

dengan KBK ini.

Faktor lain adalah inkonsistensi pemerintah dalam menerapkan KBK ini. Disatu pihak

menyatakan komitmennya dalam menerapkan KBK tapi dilain pihak masih bersikeras menggunakan

bentuk evaluasi Ujian Nasional (UN) untuk menentukan kelulusan siswa. Ujian Nasional yang cognitive-

based sama sekali tidak sejalan dengan KBK secara filosofis. Seperti yang dikatakan oleh Bagong

Suyanto, Ketua Komisi Litbang Dewan Pendidikan Jawa Timur :"Penilaian yang berorientasi pada hasil

daripada proses ini, sedikit banyak menyebabkan orientasi siswa menjadi bersifat karbitan, cenderung

ingin hasil yang instan, dan ujung-ujungnya yang lahir adalah mental potong kompas: bukan sesuatu

yang substansial. implikasi dari model penilaian prestasi belajar siswa semacam ini sebetulnya rawan,

menyebabkan terjadinya kualitas pembelajaran menjadi stagnan, bahkan kontra-produktif." (Kompas, 31

Januari 2005) Atau seperti yang disampaikan oleh Y Priyono Pasti, Kepala SMA Santo Fransiskus Asisi

Pontianak :" Bagaimana mungkin pendidikan kita akan melahirkan generasi muda yang militan, beretos

kerja tinggi, siap menghadapi tantangan global, dan dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain ketika

proses pembelajaran di sekolah hanya menghamba pada kurikulum, mengabdi pada UN, berkutat pada

bagaimana mengerjakan soal-soal dalam LKS/PR, dan menghafal soal-soal dan kunci-kunci jawaban UN

yang melecehkan itu? Bukankah UN hanya mengukur pencapaian prestasi akademik siswa terhadap

sejumlah tujuan instruksional?

Bagaimana dengan prestasi non-akademik yang telah mereka raih?'" Pertanyaan yang sulit

untuk kita jawab. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebetulnya

sudah sangat jelas mengatur bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik (baca:

guru) untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara

berkesinambungan.
Sifat dan Fenomena Perubahan1. New MaterialsMateri baru, apapun itu, merupakan bagian yang

tangible dalam suatu inovasi, baik itu berupa benda (komputer baru) ataupun kebijakan (kurikulum baru)

sekaligus yang relatif paling mudah diusahakan. 2. New Behaviour/PracticesYang sulit adalah dalam

melakukan perubahan. Keahlian, latihan, dan metoda pelajaran apa yang harus dilakukan jika guru

melaksanakan KBK dibanding saat melaksanakan kurikulum sebelumnya? Perubahan prilaku menunjukkan

hal yang lebih rumit. Bahan pelajaran bisa didapatkan dalam semalam, namun ini tidak menjanjikan

bahwa besoknya kita menjadi ahli dalam melakukannya. Perubahan adalah sautu proses dan bukian

sekedar kejadian. Untuk mengembangkan keahlian secara teus menerus diperlukan upaya pengembangan

profesi. 3. New Belief/UnderstandingBagaimana kita memahami perubahan adalah hal yang sangat

penting untuk membuat penilaian apakah kita akan melaksanakannya atau tidak dan bagaimana

menggunakannya.

BAGAIMANA KUALITAS GURU YANG DIBUTUHKAN AGAR KBK BISA SUKSES?Prof. Suyanto Ph.D,

Rektor Universitas Negeri Yogyakarta :"Guru harus diajak berubah dengan dilatih terus menerus dalam

pembuatan satuan pelajaran, metode pembelajarannya yang berbasis Inquiry, Discovery, Contextual

Teaching and Learning, menggunakan alat bantunya, menyusun evaluasinya, perubahan filosofisnya, dll."

Achmad Sapari, Kasi Kurikulum Subdiknas TK/SD Dindik Kab. Ponorogo "Guru harus terus ditingkatkan

sensifitasnya dan kreatifitasnya. Sensifitas adalah kemampuan guru untuk mengembangkan kepekaan-

kepekaan paedagogisnya untuk kepentingan pembelajaran.

" BAGAIMANA UNTUK MENCAPAI ITU SEMUA?Rekrutlah guru-guru yang memang memiliki

kualifikasi tinggi pada bidangnya. Syarat utama bagi guru untuk dapat mengajarkan KBK dengan baik

adalah guru yang memiliki kapasitas penguasaan materi yang telah memadai. Guru harus benar-benar

kompeten dengan materi yang akan diberikannya. Guru yang tidak kompeten tentu tidak akan dapat

menghasilkan siswa yang kompeten. Selain itu guru juga harus memiliki komitmen yang benar-benar

tinggi dalam usaha untuk mengembangkan kurikulum ini.

Guru yang memiliki motivasi rendah tidak akan dapat melaksanakan KBK ini karena KBK

menuntut kerja keras guru untuk mempersiapkan dan melaksanakannya di kelas. Setelah itu berikan

pelatihan tentang KBK ini sebanyak-banyaknya dan biarkan mereka berkreasi di kelas. Kalau perlu

magangkan mereka ke sekolah-sekolah internasional agar mereka melihat langsung bagaimana

pendekatan competence- based ini dilakukan di kelas. Berikan otonomi seluas-luasnya pada mereka untuk

mengembangkan kurikulum. Apabila guru telah dapat menguasai materi yang hendak diajarkannya maka

guru harus dapat mengupdate dirinya. Pelatihan terus menerus adalah jawabnya. Baik itu metodologi-
metodologi pengajaran yang berkorelasi dengan penguasan KBK, maupun pemahaman filosofi dan

paradigma yang menyertainya.

Pelatihan ini harus dibarengi dengan usaha-usaha keras untuk mengembangkan sensifitas dan

kreatifitas dari masing-masing guru untuk mengembangkan sendiri metodologi yang tepat bagi siswa

masing-masing. Practice..practice.. and practice. Sekolah juga harus terus aktif untuk meningkatkan

motivasi dari para gurunya dalam memberikan pengajaran yang terbaik bagi siswa-siswanya, Sekolah

berkewajiban untuk meningkatkan kompetensi guru-gurunya dalam memahami materi yang diajarkannya

dan metodologi penyampaiannya. Untuk itu sekolah harus secara berkala menyelenggarakan atau

mengirim guru-gurunya untuk mengikuti seminar, loka-karya, pelatihan, magang, maupun studi banding

ke sekolah-sekolah yang telah mampu melaksanakan sistem pengajaran yang efektif. Minimal guru harus

dapat memperoleh 3 (tiga) kali seminar atau pelatihan mengenai bidang studi yang diajarkannya maupun

tentang metodologi.

Guru juga harus selalu aktif mengikuti perkembangan metodologi pengajaran dengan mengikuti

berbagai kegiatan kelompok profesi sejenis maupun melalui buletin-buletin profesi. Dianjurkan agar

sekolah-sekolah mau belajar ke sekolah-sekolah internasional yang ada di kota masing-masing karena

mereka telah lama melaksanakan pendekatan 'student-centered' maupun 'competence based' ini,

terutama dalam penerapan evaluasi dengan menggunakan portofolio. Ibarat koki yang harus memahami

dasar-dasar tentang segala jenis bahan makanan dan peralatan masak sebelum ia mampu membuat

suatu masakan atau sajian yang benar-benar berkualitas, guru juga harus memahami benar materi yang

hendak diajarkannya dan tahu tentang bagaimana mengolahnya menjadi suatu kegiatan belajar mengajar

yang mampu mengembangkan kompetensi siswa-siswanya.

Dibutuhkan guru -guru profesional untuk dapat mengembangkan KBK ini dan bukan guru

berkualitas 'standar'. Guru KBK bukan hanya harus benar-benar menguasai materi yang harus

disampaikannya kepada siswa dan kaitannya dengan tujuan pendidikan nasional secara filosofis maupun

praktis. Ia juga harus paham hal-hal mendasar seperti prinsip belajar otak kiri dan kanan, pendekatan

Quantum Teaching and Learning, pemahaman tentang Multiple Intelligences dan penerapannya di kelas,

Taksonomi Bloom dan aplikasinya pada proses belajar mengajar, metode pengajaran Contextual Teaching

and Learning, mengakses dan memanfaatkan internet sebagai wahana belajar, mengorkestrasikan materi

yang diajarkannya dengan materi pelajaran lain dalam suatu KBM tematik dalam bentuk project. Guru

KBK bukan hanya harus 'well-performed', tapi juga harus 'well-trained'', 'well-equipped', dan tentunya

juga 'well-paid'. Selamat berjuang dalam pendidikan!"Education is a world of change. If you don't change

you rot.

Anda mungkin juga menyukai