Anda di halaman 1dari 2

Artikel:

HUKUM PERLINDUNGAN HAK CIPTA DI INDONESIA

Di Indonesia Hak Cipta diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang
Hak Cipta, dimana Undang-Undang ini telah menggantikan Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2002 (UU Hak Cipta).
Menurut ketentuan di dalam Pasal 1 ayat (1) UU Hak Cipta, Hak Cipta adalah hak
eksklusif Pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif
setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Dari ketentuan Pasal tersebut dapat diketahui unsur-unsur yang melekat dari Hak
Cipta, yaitu:
1. Hak Eksklusif (Exclusive Rights), yang berarti bahwa tidak ada pihak lain
yang dibenarkan untuk memanfaatkan hak tersebut tanpa adanya izin dari
Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.
2. Hak Eksklusif tersebut timbul secara otomatis sejak diumumkan (deklaratif),
yang menegaskan hak ekonomis dari Hak Cipta.
3. Terdapat batasan-batasan menurut hukum. Hal ini menunjukkan bahwa selain
hak eksklusif tersebut, Hak Cipta juga mempunyai fungsi sosial. Misalnya:
penggunaan Ciptaan untuk kepentingan pendidikan dan penelitian.
Siapa yang dianggap sebagai Pencipta dan apa itu Ciptaan?
Menurut UU Hak Cipta, yang dimaksud dengan Pencipta adalah seseorang atau
beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu
Ciptaan. Bahkan menurut ketentuan Pasal 37, badan hukum juga dapat dianggap
sebagai Pencipta apabila di dalam mengumumkan suatu Ciptaan tidak menyebut
seseorang sebagai Pencipta.
Sedangkan yang dimaksud dengan Ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang
ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan,
pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam
bentuk nyata.
Pada prinsipnya Hak Cipta diperoleh bukan karena pendaftaran, jadi tidak ada
keharusan bagi Pencipta untuk mendaftarkan Ciptaannya, namun apabila terjadi
sengketa di pengadilan mengenai Ciptaan yang terdaftar dan yang tidak terdaftar,
hakim dapat menentukan Pencipta yang sebenarnya berdasarkan pembuktian tersebut.
Untuk kepentingan tersebutlah, maka dipandang perlu untuk melakukan pendaftaran
atas Ciptaan, terutama mengingat era globalisasi sekarang ini dimana hampir setiap
pelaku bisnis berlomba-lomba memenangkan persaingan.

Mengatasi pelanggaran atas Hak Cipta


Pada umumnya pelanggaran atas Hak Cipta meliputi tindakan memperbanyak maupun
menyebarluaskan suatu Ciptaan tanpa adanya hak dan atau izin dari si Pencipta atau
Pemegang Hak Cipta.
Sanksi pidana yang dikenakan terhadap pelanggaran atas Hak Cipta pun tidak mainmain. Mulai dari pidana penjara hingga ancaman denda yang mencapai miliaran
Rupiah (dapat dilihat dalam Bab XVII UU Hak Cipta).
Bertolak dari adanya sanksi pidana yang sedemikian seriusnya, adalah baik bagi para
pelaku bisnis untuk berkonsultasi terlebih dahulu dengan profesional hukum guna
menghindari salah langkah dalam menjalankan bisnisnya. Misalnya dengan
menggunakan jasa ahli hukum di dalam pembuatan perjanjian lisensi.
Namun apabila dipandang perlu, maka guna meneguhkan haknya, Pencipta maupun
Pemegang Hak Cipta dapat menempuh upaya hukum baik secara perdata dengan
mengajukan gugatan atas pelanggaran Hak Cipta kepada Pengadilan Niaga, atau
melaporkan dugaan pelanggaran tersebut kepada pihak yang berwajib.
Hak Cipta sebagai hak eksklusif mempunyai kedudukan yang tinggi sehingga tidak
ada pihak lain yang dibenarkan untuk memanfaatkan hak tersebut tanpa adanya izin
dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.
Pelanggaran atas Hak Cipta bukan saja memiliki konsekuensi hukum secara pidana
namun juga dapat dimintakan ganti rugi secara perdata.
Pasal 97 sampai dengan Pasal 100 juncto Pasal 95 ayat (1) UU Hak Cipta telah
memberi ruang bagi para pihak yang merasa haknya dilanggar untuk mengajukan
gugatan atas pelanggaran Hak Cipta.

Anda mungkin juga menyukai