Anda di halaman 1dari 31

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Penyakit Hirschsprung atau megakolon aganglionik bawaan disebabkan
oleh kelainan inervasi usus, mulai pada sfingter ani interna dan meluas ke
proksimal, melibatkan panjang usus yang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus
dan setidak-tidaknya sebagian rektum. Tidak adanya inervasi saraf adalah akibat
dari kegagalan perpindahan neuroblast dari usus proksimal ke distal. Segmen yang
aganglionik terbatas pada rektosigmoid pada 75% penderita, 10% sampai seluruh
usus, dan sekitar 5% dapat mengenai seluruh usus sampai pylorus.1
Tidak adanya ganglion sel ini mengakibatkan hambatan pada gerakan
peristaltik sehingga terjadi ileus fungsional dan dapat terjadi hipertrofi serta
distensi yang berlebihan pada kolon yang lebih proksimal.2
Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Herald Hirschsprung tahun
1886, dan belum diketahui secara pasti patofisiologi terjadinya penyakit ini hingga
tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang
dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltic dibagian distal
usus akibat defisiensi ganglion pada usus tersebut.3
Insidensi penyakit Hirschprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti,
tetapi berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup, dengan jumlah penduduk
Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 per mil, maka diprediksikan setiap
tahun akan lahir sekitar 1400 bayi dengan penyakit Hirschprung. Laki-laki 4 kali
lebih banyak dibanding perempuan.2
Pengetahuan masyarakat mengenai penyakit megakolon kongenital masih
rendah, terutama masyarakat yang tinggal di pedesaan. Hal ini menyebabkan
keterlambatan dalam diagnosis penyakit megakolon kongenital yang berujung
pada keterlambatan dalam penatalaksanaan penyakit ini.4
Trias klasik gambaran klinis pada neonatus adalah pengeluaran mekonium
yang terlambat, yaitu lebih dari 24 jam pertama, muntah hijau, dan perut
membuncit keseluruhan.4

Pengobatan penyakit Hirschsprung terdiri atas pengobatan non bedah dan


pengobatan bedah. Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mengobati
komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan
umum penderita sampai pada saat operasi definitif dapat dikerjakan.4
Tindakan bedah pada penyakit Hirschsprung terdiri atas tindakan bedah
sementara dan tindakan bedah definitif. Tindakan bedah sementara dimaksudkan
untuk dekompresi abdomen dengan cara membuat kolostomi pada kolon yang
mempunyai ganglion normal bagian distal.4
Diagnosis penyakit Hirschsprung harus dapat ditegakkan sedini mungkin
mengingat berbagai komplikasi yang dapat terjadi dan sangat membahayakan jiwa
pasien seperti enterokolitis, pneumatosis usus, abses perikolon, perforasi, dan
septikimia yang dapat menyebabkan kematian. Enterokolitis merupakan
komplikasi yang amat berbahaya sehingga mortalitasnya mencapai 30% apabila
tidak ditangani dengan sempurna. Mortalitas dari kondisi ini dapat dikurangi
dengan peningkatan dalam diagnosis, perawatan intensif neonatus, teknik
pembedahan, dan diagnosis dan penatalaksanaan penyakit Hirschprung
dengan enterokolitis. 4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi dan embriologi kolon
Secara embriologik , kolon kanan berasal dari usus tengah, sedangkan kolon kiri
sampai dengan rectum berasal dari usus belakang. Dalam perkembangan embriologik
kadang terjadi gangguan rotasi usus embrional sehingga kolon kanan dan sekum
mempunyai mesenterium yang bebas. Keadaan ini memudahkan terjadinya putaran atau
volvulus sebagian besar usus yang sama halnya dapat terjadi dengan mesenterium yang
panjang pada kolon sigmoid dengan radiksnya yang sempit.5
Usus besar merupakan tabung muscular berongga dengan panjang sekitar 5 kaki
(sekitar 1,5 m) yang terbentang dari sekum sampai kanalis ani. Diameter usus besar
lebih besar daripada usus kecil. Rata-rata sekitar 2,5 inchi (sekitar 6,5 cm), tetapi makin
dekat anus diameternya makin kecil. Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan
rektum. Pada sekum terdapat katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung
sekum. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar. Katup
ileosekal mengontrol aliran kimus dari ileum ke sekum. Kolon dibagi lagi menjadi
kolon ascendens, transversum, descendens, dan sigmoid. Tempat dimana kolon
membentuk kelokan tajam yaitu pada abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut
dinamakan fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon sigmoid mulai setinggi krista
iliaka dan berbentuk suatu lekukan berbentuk S. Lekukan bagian bawah membelok ke
kiri waktu kolon sigmoid bersatu dengan rektum. Rektum terbentang dari kolon sigmoid
sampai dengan anus. Satu inci terakhir dari rektum terdapat kanalis ani yang dilindungi
oleh sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum sampai kanalis ani adalah 5,9
inci.6

Dinding kolon terdiri dari empat lapisan yaitu tunika serosa, muskularis, tela
submukosa, dan tunika mukosa akan tetapi usus besar mempunyai gambaran-gambaran
yang khas berupa: lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna tetapi terkumpul
dalam tiga pita yang disebut taenia koli yang bersatu pada sigmoid distal. Panjang taenia
lebih pendek daripada usus sehingga usus tertarik dan berkerut membentuk kantongkantong kecil yang disebut haustra. Pada taenia melekat kantong-kantong kecil
peritoneum yang berisi lemak yang disebut apendices epiploika. Lapisan mukosa usus
besar lebih tebal dengan kriptus lieberkuhn terletak lebih dalam serta mempunyai sel
goblet lebih banyak daripada usus halus.
Vaskularisasi usus besar diatur oleh arteri mesenterika superior dan inferior.
Arteri mesenterika superior memvaskularisasi kolon bagian kanan (mulai dari sekum
sampai dua pertiga proksimal kolon transversum). Arteri mesenterika superior

mempunyai tiga cabang utama yaitu arteri ileokolika, arteri kolika dekstra, dan arteri
kolika media. Sedangkan arteri mesenterika inferior memvaskularisasi kolon bagian kiri
(mulai dari sepertiga distal kolon transversum sampai rektum bagian proksimal). Arteri
mesenterika inferior mempunyai tiga cabang yaitu arteri kolika sinistra, arteri
hemorroidalis superior, dan arteri sigmoidea.
Vaskularisasi tambahan daerah rektum diatur oleh arteria sakralis media dan
arteria hemorroidalis inferior dan media. Aliran balik vena dari kolon dan rektum
superior melalui vena mesenterika superior dan inferior serta vena hemorroidalis
superior, yaitu bagian dari sistem portal yang mengalirkan darah ke hati. Vena
hemorroidalis media dan inferior mengalirkan darah ke vena iliaka dan merupakan
bagian dari sirkulasi sistemik. Ada anastomosis antara vena hemorroidalis superior,
media, dan inferior sehingga peningkatan tekanan portal dapat mengakibatkan aliran
balik ke dalam vena-vena ini dan mengakibatkan hemorroid. Aliran pembuluh limfe
kolon mengikuti arteria regional ke limfenodi preaorta pada pangkal arteri mesenterika
superior dan inferior. Aliran balik pembuluh limfe melalui sistrna kili yang bermuara ke
dalam sistem vena pada sambungan vena subklavia dan jugularis sinistra. Hal ini
menyebabkan metastase karsinoma gastrointestinal bisa ada dalam kelenjar limfe leher
(kelenjar limfe virchow). Aliran balik pembuluh limfe rektum mengikuti aliran
pembuluh darah hemorroidalis superior dan pembuluh limfe kanalis ani menyebar ke
nodi limfatisi iliaka interna, sedangkan aliran balik pembuluh limfe anus dan kulit
perineum mengikuti aliran limfe inguinalis superficialis.

Inervasi usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom kecuali sfingter
eksternus yang diatur secara voluntar. Serabut parasimpatis berjalan melalui saraf vagus
ke bagian tengah kolon transversum, dan saraf pelvikus yang berasal dari daerah sakral
mensuplai bagian distal. Serabut simpatis yang berjalan dari pars torasika dan lumbalis
medula spinalis melalui rantai simpatis ke ganglia simpatis preortika. Disana bersinaps
dengan post ganglion yang mengikuti aliran arteri utama dan berakhir pada pleksus
mienterikus (Aurbach) dan submukosa (meissner). Perangsangan simpatis menyebabkan
penghambatan sekresi dan kontraksi, serta perangsangan sfingter rektum, sedangkan
saraf parasimpatis mempunyai efek yang berlawanan. Kendali usus yang paling penting
adalah aktivitas refleks lokal yang diperantarai oleh pleksus nervosus intramural
(Meissner dan Aurbach) dan interkoneksinya. Jadi pasien dengan kerusakan medula
spinalis maka fungsi ususnya tetap normal, sedangkan pasien dengan penyakit
hirschsprung akan mempunyai fungsi usus yang abnormal karena pada penyakit ini
terjadi keabsenan pleksus aurbach dan meissner.7

2.2. Fisiologi Kolon


Fungsi usus besar ialah menyerap air, vitamin, dan elektrolit, ekskresi mucus
serta menyimpan feses, dan kemudian mendorongnya keluar. Dari 700-1000 ml cairan
usus halus yang diterima oleh kolon, hanya 150-200 ml yang dikeluarkan sebagai feses
setiap harinya. Udara ditelan sewaktu makan, minum, atau menelan ludah. Oksigen dan
karbondioksida di dalamnya di serap di usus, sedangkan nitrogen bersama dengan gas
hasil pencernaan dari peragian dikeluarkan sebagai flatus. Jumlah gas di dalam usus
mencapai 500 ml sehari. Pada infeksi usus, produksi gas meningkat dan bila mendapat
obstruksi usus gas tertimbun di saluran cerna yang menimbulkan flatulensi.8
2.3. Penyakit Hirschsprung
2.3.1.Definisi
Penyakit Hirschsprung atau megakolon aganglionik bawaan disebabkan
oleh kelainan inervasi usus, mulai pada sfingter ani interna dan meluas ke
proksimal, melibatkan panjang usus yang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus
dan setidak-tidaknya sebagian rectum. Tidak adanya inervasi saraf adalah akibat
dari kegagalan perpindahan neuroblast dari usus proksimal ke distal. Segmen yang
aganglionik terbatas pada rektosigmoid pada 75% penderita, 10% sampai seluruh
usus, dan sekitar 5% dapat mengenai selruh usus sampai pylorus.9

Gambar 6. Gambaran Megacolon Kongenital10


2.3.2.

Epidemiologi
Insidensi penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara pasti, tetapi
berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200
juta dan tingkat kelahian 35 permil, maka diprediksikan akan lahir 1400 bayi
dengan penyakit hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit
hirschsprung akan dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto MAngunkusumo
Jakarta.10
Menurut catatan Swenson, 81,1% dari 880 kasus yang diteliti adalah lakilaki, sedangkan Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor keturunan
pada penyakit ini (ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga). Beberapa kelainan
kongenital dapat ditemukan bersamaan dengan penyakit Hirschsprung, namun
hanya 2 kelainan yang memiliki angka yang cukup signifikan, yaitu Down
Syndrome (5-10%) dan kelainan urologi seperti refluks vesikoureter, hydronefrosis
dan gangguan vesica urinaria (mencapai 1/ kasus).4

2.3.3.

Etiologi
Penyakit Hirschprung terjadi saat perkembangan fetus dimana terjadi

kegagalan perkembangan serabut saraf, kegagalan migrasi serabut saraf, atau


terhentinya perkembangan serabut saraf pada segmen usus. Faktor genetik juga
berperan dalam menyebabkan penyakit Hirschprung. 10% anak dengan Down
syndrome (abnormalitas kromosom) menderita penyakit Hirschprung. Tahun 2001

teknik diagnostik molekuler menemukan 6 gen yang terlibat sebagai penyebab


seseorang rentan menderita penyakit Hirscprung. Enam gen tersebut adalah gen
RET, gen sel glial yang berperan sebagai neurotropik, gen reseptor B-Endothelin,
enzim pengubah endothelin, gen Endothelin-3, SRY berhubungan dengan faktor
transkripsi SOX 10.11
Penyakit Hirschsprung ditemukan pada kelainan-kelainan Kongenital
sebagai berikut:12
1.

Sindroma Down

2.

Sindroma Neurocristopathy

3.

Sindroma Waardenburg-Shah

4.

Sindroma buta-tuli Yemenite

5.

Piebaldism

6.

Sindroma Goldberg-Shprintzen

7.

Neoplasia endokrin multiple tipe II

8.

Sindroma hypoventilasi Kongenital terpusat

9.

Cartilage-hair hypoplasia

10.

Sindroma hypoventilasi entral primer (Ondines curse)

11.

Penyakit Chagas, pada penyakit ini tripanosoma menginvasi


langsung dinding usus dan menghancurkan pleksus.
Penyakit Hirschsprung juga bisa timbul karena ibu polyhidramnion saat

hamil ; adanya obstruksi usus organik karena neoplasma dan penyempitan usus
karena inflammasi; toxic Megakolon komplikasi dari colitis ulceratif atau penyakit
Crohn ; dan gangguan psychosomatic fungsional. Kondisi-kondisi ini tidak
berhubungan dengan berkurangnya ganglia dinding usus.12
2.3.4.

Gambaran Klinis

Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan usia gejala
klinis mulai terlihat :
(1). Periode Neonatal. Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni
pengeluaran mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen.
Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan

10

tanda klinis yang signifikans. Swenson (1973) mencatat angka 94% dari
pengamatan terhadap 501 kasus , sedangkan Kartono mencatat angka 93,5% untuk
waktu 24 jam dan 72,4% untuk waktu 48 jam setelah lahir. Muntah hijau dan
distensi abdomen biasanya dapat berkurang manakala mekonium dapat dikeluarkan
segera. Sedangkan enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi
penderita penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia kapan saja,
namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada
usia 1 minggu. Gejalanya berupa diarrhea, distensi abdomen, feces berbau busuk
dan disertai demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang
dengan manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah
dilakukan kolostomi.13

11

(ii). Anak. Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah
konstipasi kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan
peristaltik usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka
feces biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap.
Penderita biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan
biasanya sulit untuk defekasi.

2.3.5. Patofisiologi
Istilah megakolon aganglionik menggambarkan adanya kerusakan primer
dengan tidak adanya sel-sel ganglion parasimpatik otonom pada pleksus submukosa
(Meissner) dan myenterik (Auerbach) pada satu segmen kolon atau lebih.

12

Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga


pendorong (peristaltik), yang menyebabkan akumulasi/ penumpukan isi usus dan
distensi usus yang berdekatan dengan kerusakan (megakolon). Selain itu, kegagalan
sfingter anus internal untuk berelaksasi berkontribusi terhadap gejala klinis adanya
obstruksi, karena dapat mempersulit evakuasi zat padat (feses), cairan, dan gas.
Persarafan parasimpatik yang tidak sempurna pada bagian usus yang aganglionik
mengakibatkan peristaltik abnormal, konstipasi dan obstruksi usus fungsional. Di
bagian proksimal dari daerah transisi terjadi penebalan dan pelebaran dinding usus
dengan penimbunan tinja dan gas yang banyak.
Penyakit Hirschsprung disebabkan dari kegagalan migrasi kraniokaudal
pada prekursor sel ganglion sepanjang saluran gastrointestinal antara usia
kehamilan minggu ke-5 dan ke-12. Distensi dan iskemia pada usus bisa terjadi
sebagai akibat distensi pada dinding usus, yang berkontribusi menyebabkan
enterokolitis (inflamasi pada usus halus dan kolon), yang merupakan penyebab
kematian pada bayi/anak dengan penyakit Hirschsprung.13

2.3.6. Pemeriksaan Radiologi


Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada penyakit
Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus
letak rendah, meski pada bayi sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar.
Pemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosa Hirschsprung
adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas :
1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya
bervariasi.
2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah daerah
dilatasi.
3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.14

13

Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit Hirschsprung,
maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium
dibiarkan membaur dengan feces. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang
membaur dengan feces kearah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang bukan
Hirschsprung namun disertai dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat
menggumpal di daerrah rektum dan sigmoid.12
2.3.7. Pemeriksaan patologi anatomi
Diagnosa histopatologi penyakit Hirschsprung didasarkan atas absennya sel
ganglion pada pleksus mienterik (Auerbach) dan pleksus sub-mukosa (Meissner).
Disamping itu akan terlihat dalam jumlah banyak penebalan serabut syaraf
(parasimpatis). Akurasi pemeriksaan akan semakin tinggi jika menggunakan pengecatan
immunohistokimia asetilkolinesterase, suatu enzim yang banyak ditemukan pada
serabut syaraf parasimpatis, dibandingkan dengan pengecatan konvensional dengan
haematoxylin

eosin.

Disamping

memakai

asetilkolinesterase,

juga

digunakan

pewarnaan protein S-100, metode peroksidase-antiperoksidase dan pewarnaan enolase.


Hanya saja pengecatan immunohistokimia memerlukan ahli patologi anatomi yang
berpengalaman, sebab beberapa keadaan dapat memberikan interpretasi yang berbeda
seperti dengan adanya perdarahan.14

14

Swenson pada tahun 1955 mempelopori pemeriksaan histopatologi dengan eksisi


seluruh tebal dinding otot rektum, untuk mendapatkan gambaran pleksus mienterik.
Secara tekhnis, metode ini sulit dilakukan sebab memerlukan anastesi umum, dapat
menyebabkan inflamasi dan pembentukan jaringan ikat yang mempersulit tindakan
bedah definitif. Noblett tahun 1969 mempelopori tekhnik biopsi hisap dengan
menggunakan alat khusus, untuk mendapatkan jaringan mukosa dan sub-mukosa
sehingga dapat melihat keberadaan pleksus Meissner. Metode ini kini telah
menggantikan metode biopsi eksisi sebab tidak memerlukan anastesi dan akurasi
pemeriksaan mencapai 100%. Biasanya biopsi hisap dilakukan pada 3 tempat : 2,3,dan
5 cm proksimal dari anal verge. Apabila hasil biopsi hisap meragukan, barulah
dilakukan biopsi eksisi otot rektum untuk menilai pleksus Auerbach. Dalam laporannya,
Polley (1986) melakukan 309 kasus biopsi hisap rektum tanpa ada hasil negatif palsu
dan komplikasi.
2.3.8. Manometri anorektal
Pemeriksaan

manometri

anorektal

adalah

suatu

pemeriksaan

objektif

mempelajari fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan spinkter anorektal.
Dalam prakteknya, manometri anorektal dilaksanakan apabila hasil pemeriksaan klinis,
radiologis dan histologis meragukan. Pada dasarnya, alat ini memiliki 2 komponen
dasar : transduser yang sensitif terhadap tekanan seperti balon mikro dan kateter mikro,
serta sisitem pencatat seperti poligraph atau computer.15
Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik bagi penyakit Hirschsprung adalah :
1.

Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi.

2.

Tidak dijumpai kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada segmen


usus aganglionik.

3.

Sampling reflex tidak berkembang. Tidak dijumpai relaksasi spinkter


interna setelah distensi rektum akibat desakan feces. Tidak dijumpai
relaksasi spontan.1

15

2.3.9. Penatalaksanaan
Tatalaksana Terapi terbaik pada bayi dan anak dengan Hirschsprung tergantung
dari diagnosis yang tepat dan penanganan yang cepat. Keputusan untuk melakukan
Pulltrough ketika diagnosis ditegakkan tergantung dari kondisi anak dan respon dari
terapi awal.. Decompresi kolon dengan pipa besar, diikuti dengan washout serial, dan
meninggalkan kateter pada rektum harus dilakukan. Antibiotik spektrum luas diberikan,
dan mengkoreksi hemodinamik dengan cairan intravena. Pada anak dengan keadaan
yang buruk, perlu dilakukan colostomy Step 1: The diseased segment is removed. Step
2: The healthy intestine is moved to an opening in the abdomen where a stoma is
created. Diagnosis dari penyakit hirschsprung pada semua kasus membutuhkan
pendekatan pembedahan klinik terdiri dari prosedur tingkat multipel. Hal ini termasuk
kolostomi pada neonatus, diikuti dengan operasi pull-through definitif setelah berat
badan anak >5 kg (10 pon). Ada 3 pilihan yang dapat digunakan, untuk setiap
prosedurnya, prinsip dari pengobatan termasuk menentukan lokasi dari usus di mana
zona transisi antara usus ganglionik dan aganglionik, reseksi bagian yang aganglionik
dari usus dan melakukan anastomosis dari daerah ganglionik ke anus atau bantalan
mukosa rektum.12
Dewasa ini ditunjukkan bahwa prosedur pull-through primer dapat dilakukan
secara aman bahkan pada periode neonatus. Pendekatan ini mengikuti prinsip terapi
yang sama seperti pada prosedur bertingkat melindungi pasien dari prosedur
pembedahan tambahan. Banyak dokter bedah melakukan diseksi intra abdominal
menggunakan laparoskop. Cara ini terutama banyak pada periode neonatus yang dapat

16

menyediakan visualisasi pelvis yang baik. Pada anak-anak dengan distensi usus yang
signifikan adalah penting untuk dilakukannya periode dekompresi menggunakan rectal
tube jika akan dilakukan single stage pull-through. Pada anak-anak yang lebih tua
dengan kolon hipertrofi, distensi ekstrim, kolostomi dilakukan dengan hati-hati
sehingga usus dapat dekompresi sebelum dilakukan prosedur pull-through. Namun,
harus ditekankan, tidak ada batas umur pada prosedur pull-through. Dari ketiga
prosedur pull-through yang dilakukan pada penyakit Hirschsprung yang pertama adalah
prosedur Swenson. Pada operasi ini rektum aganglionik diseksi pada pelvis dan
dipindahkan ke anus. Kolon ganglionik lalu dianastomosis ke anus melalui pendekatan
perineal. Pada prosedur Duhamel, diseksi di luar rektum dibatasi terhadap ruang
retrorektal dan kolon ganglionik dianastomosis secara posterior tepat di atas anus.
Dinding anterior dari kolon ganglionik dan dinding posterior dari rektum aganglionik
dianastomosis menggunakan stappler. Walaupun kedua prosedur ini sangat efektif,
namun keterbatasannya adalah adanya kemungkinan kerusakan syaraf parasimpatis
yang menempel pada rektum. Untuk mengatasi masalah ini, prosedur Soave
menyertakan diseksi seluruhnya dari rektum. Mukosa rektum dipisahkan dari mukosa
muskularis dan kolon yang ganglionik dibawa melewati mukosa dan dianastomosis ke
anus. Operasi ini dapat dilakukan sepenuhnya dari bawah. Dalam banyak kasus, sangat
penting untuk menentukan dimana terdapat usus yang ganglionik. Banyak ahli bedah
mempercayai bahwa anastomosis dilakukan setidaknya 5 cm dari daerah yang sel
ganglion terdeteksi. Dihindari dilakukannya pull-through pada zona transisi yang
berhubungan dengan tingginya angka komplikasi karena tidak adekuatnya pengosongan
segmen usus yang aganglionik. Sekitar 1/3 pasien yang di pull-through pada zona
transisi akan membutuhkan reoperasi. 11
Komplikasi utama dari semua prosedur diantaranya enterokolitis post operatif,
konstipasi dan striktur anastomosis. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, hasil
jangka panjang dengan menggunakan prosedur sebanding dan secara umum berhasil
dengan baik bila ditangani oleh tangan yang ahli. Ketiga prosedur ini juga dapat
dilakukan pada aganglionik kolon total dimana ileum digunakan sebagai segmen yang
di pull-through. 3 Beberapa metode operasi biasa digunakan dalam penatalaksanaan
penyakit hirschsprung: Secara klasik, dengan melakukan insisi di bagian kiri bawah

17

abdomen kemudian dalakukan identifikasi zona transisi dengan melakukan biopsy


seromuskuler. Terapi definitive yang dilakukan pada penyakit hirschprung ada 3
metode:
1. Metode Swenson: pembuangan daerah aganglion hingga batas sphincter ani
interna dan dilakukan anastomosis coloanal pada perineum.
2. Metode Duhamel: daerah ujung aganglionik ditinggalkan dan bagian yang
ganglionik ditarik ke bagian belakang ujung daerah aganglioner. stapler GIA
kemudian dimasukkan melalui anus. 3. Teknik Soave: pemotongan mukosa
endorectal dengan bagian distal aganglioner.
Setelah operasi pasien-pasien dengan penyakit hirschprung biasanya berhasil baik,
walaupun terkadang ada gangguan buang air besar. Sehingga konstipasi adalah gejala
tersering pada pascaoperasi.
Secara garis besarnya, komplikasi pasca tindakan bedah penyakit Hirschsprung dapat
digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis, enterokolitis dan gangguan fungsi
spinkter.
1. Kebocoran Anastomose
Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh ketegangan yang
berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang tidak adekuat pada kedua
tepi sayatan ujung usus, infeksi dan abses sekitar anastomose serta trauma colok
dubur atau businasi pasca operasi yang dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati.
Manifestasi klinis yang terjadi akibat kebocoran anastomose ini beragam, mulai
dari abses rongga pelvik, abses intraabdominal, peritonitis, sepsis dan kematian.
2. Stenosis
Stenosis yang terjadi pasca operasi tarik terobos dapat disebabkan oleh
gangguan penyembuhan luka di daerah anastomose, serta prosedur bedah yang
dipergunakan. Stenosis sirkuler biasanya disebabkan komplikasi prosedur
Swenson atau Rehbein, stenosis posterior berbentuk oval akibat prosedur
Duhamel sedangkan bila stenosis memanjang biasanya akibat prosedur Soave.
Manifestasi yang terjadi dapat berupa kecipirit, distensi abdomen, enterokolitis
hingga fistula perianal.

18

3. Enterokolitis
Enterokolitis merupakan komplikasi yang paling berbahaya, dan dapat berakibat
kematian. Swenson mencatat angka 16,4% dan kematian akibat enterokolitis
mencapai 1,2%. Kartono mendapatkan angka 14,5% dan 18,5% masing-masing
untuk prosedur Duhamel modifikasi dan Swenson. Sedangkan angka
kematiannya adalah 3,1% untuk prosedur Swenson dan 4,8% untuk prosedur
Duhamel modifikasi. Tindakan yang dapat dilakukan pada penderita dengan
tanda-tanda enterokolitis adalah segera melakukan resusitasi cairan dan
elektrolit, pemasangan pipa rektal untuk dekompresi, melakukan wash out
dengan cairan fisiologis 2-3 kali perhari serta pemberian antibiotika yang tepat.
2.3.10. Komplikasi
Kebanyakan pasien Hirschsprungs disease yang diobati tidak mengalami
komplikasi. Namun demikian, sampai dengan 10% bias mengalami konstipasi, dan
kurang dari 1% mungkin mengalami inkontinensia feses. Enterokolitis dan ruptur kolon
adalah komplikasi yang paling serius berkaitan dengan penyakit ini dan merupakan
penyebab tersering dari kematian akibat Hirschsprungs disease.10
Komplikasi yang unik dan sangat mematikan berkaitan dengan Hirschsprung's
disease, baik sebelum maupun sesudah operasi, adalah enterokolitis. Faktor-faktor yang
meningkatkan resiko terjadinya enterokolitis termsuk penundaan diagnosis, penyakit
segmen panjang, riwayat keluarga positif untuk Hirschsprung's disease, dan adanya
kelainan lain yang terkait, terutama Down syndrome. Enterokolitis terjadi pada sekitar
50% pasien dengan Down syndrome dan mungkin berkaitan dengan defisiensi
imunologis intrinsik yang terdapat pada pasien semacam ini.
Suatu survei oleh anggota dari Surgical Section of the American Academy of
Pediatrics, yang diterbitkan pada tahun 1979, melaporkan suatu tungkat kematian 30%
berkaitan dengan enterokolitis. Sekarang ini tingkat mortalitasnya hanya 1 sampai 3%,
namun masih merupakan penyebab utama kematian pada pasien dengan Hirschsprung's
disease, yang merupakan 50% dari seluruh kematian.10

19

2.3.11. Prognosis
Belum ada penelitian prospektif yang membandingkan masing-masing jenis
operasi. Dalam keseluruhan prosedur, hasil fungsional mengalami perbaikan seiring
dengan waktu, sehingga dalam 10 tahun follow up 90% pasien akan memiliki fungsi
usus yang normal'.

BAB III
LAPORAN KASUS

20

IDENTITAS PASIEN
Nama
: TPW
Jenis Kelamin
: Perempuan
Umur
: 9 hari
No. Rekam Medik
: 00.65.69.69
Ruangan
: RB4 Anak (Perinatologi)
Tanggal masuk
: 16 Oktober 2015
ANAMNESIS
Keluhan utama

: Perut membesar

Telaah

: Hal ini dialami pasien sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit.
Keluhan disertai muntah

(+) berwarna kehijauan,dengan

frekuensi 5x per hari,tidak menyemprot dan tidak berbau atau


bercampur kotoran. Riwayat mekonium keluar saat pasien berusia
2 hari. Pasien baru BAB 3 hari setelah lahir. Setelah itu, pasien
belum BAB lagi dan perut membesar. Pasien muntah setelah
diberi minum.
RPT

: -

RPO

: -

STATUS PRESENS
Sensorium

: Compos Mentis

Tekanan darah

: tidak diukur

Nadi

: 120 bpm

Pernafasan

: 28 rpm

Suhu

: 36,8C

PEMERIKSAAN FISIK
Kepala
Mata : konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga/ hidung/ mulut: dalam batas normal

21

Toraks
Inspeksi

: simetris fusiformis

Palpasi

: stem fremitus kanan = kiri, kesan normal

Perkusi

: sonor pada kedua lapangan paru

Auskultasi

: suara pernapasan vesikuler, suara tambahan (-)

Abdomen
Inspeksi

: simetris, distensi (+)

Auskultasi

: peristaltik (+)

Palpasi

: soepel

Perkusi

: hipertimpani

Ekstremitas : dalam batas normal


DRE
Perianal

: normal

Spfingter

: ketat

Mukosa

: licin, nyemprot (+)

Ampulla

: kolaps

Nyeri

: nyeri tekan (+) di seluruh arah jarum jam

Sarung tangan : feses dijumpai, darah tidak dijumpai, lendir tidak dijumpai.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
16 Oktober 2015 (IGD)
JENIS PEMERIKSAAN
HEMATOLOGI
Darah Lengkap (CBC)

SATUAN

HASIL

RUJUKAN

22

Hemoglobin (HBG)
Eritrosit (RBC)
Leukosit (WBC)
Hematokrit
Trombosit (PLT)
MCV
MCH
MCHC
RDW
MPV
PCT
PDW
Hitung jenis
Neutrofil
Limfosit
Monosit
Eosinofil
Basofil
Neutrofil Absolut
Limfosit Absolut
Monosit Absolut
Eosinofil Absolut
Basofil Absolut
HATI
Albumin
GINJAL
Ureum
Kreatinin
Elektrolit
Natrium (Na)
Kalium (K)
Klorida (Cl)
KGD
FAAL HEMOSTASIS
Waktu Pembekuan
Protrombin time
Pasien
Kontrol
INR
APTT
Pasien

g%
105/mm3
103/mm3
%
103/mm
Fl
Pg
g%
%
Fl
%
fL

12.0
4.75
37.58
37.80
123
77,80
27.70
34.60
12.2
9.1
0.17
9,6

12,0-14.4
4.75 4.85
4.5 11.0
36 42
150 450
75 87
25 31
33 35
11.6 14.8
7.0 10.2

%
%
%
%
%
103/l
103/l
103/l
103/l
103/l

85,90
7,40
6.70
0.00
0.40
9,51
0,82
0.69
0.00
0.05

37 80
20 40
28
16
01
2.7 6.5
1.5 3.7
0.2-0.4
0 0,10
0 0,1

g/dL

2,2

3.8 5.4

mg/ dL
mg/ dL

25,2
0.32

<50
0.53 0,79

mEq/L
mEq/L
mEq/L

128
4,7
104

135 155
3.6 5.5
96 106

343,0

Detik

22,2

Detik

14.0
1.05

Detik

36,6

23

Kontrol
Thrombin time
Pasien
Kontrol
Kesimpulan: Leukositosis

Detik

32,8

Detik

15,0

Detik

17.5

BNO/ Abdomen
Hasil: Masih tampak sisa kontras barium di rectum, colon sigmoid, colon desendens
dan colon transversum serta sebagian colon desendens.

24

Usus besar/ Colon in Loop (dengan kontras)


Kontras lancar mengisi rektum, colon sigmoid, decendens dengan terlihat zona transisi
berbentuk cone pada daerah distal desendens. Kesimpulan, mungkin suatu Hirschprung
disease.

BNO/ Abdomen
Kepala saat ini tidak tampak kelainan. Tulang ekstremitas saat ini tidak tampak
kelainan. Thorax saat ini tidak tampak kelainan. Vertebra thorakolumbal saat ini tidak
tampak kelainan. Abdomen: Tampak kalibver usus melebar. Kesimpulan, Ileus
obstruktif letak rendah.
DIAGNOSA KERJA
Susp. Hirschprung disease + sangkaan sepsis
PENATALAKSANAAN
Rawat inkubator dengan target suhu kulit 36,3-37,5C
IVFD NaCl D5%

25

O2 nasal kanul l/menit


Inj. Ceftazidim 150mg/12jam/IV
Inj. Gentamycin 15mg/36jam/IV
Popok basah segera ganti

Follow up Pasien (16-19 Oktober 2015)


Tgl
16-19
Oktober
2015

S
Perut

Sens : CM

O
Susp.

Rawat

membesar

HR : 140 bpm, reg

Hirschprung

dengan

RR : 48 rpm, reg

disease

kulit 36,3-37,5C

T : 36,2 C

+sangkaan

IVFD NaCl D5%

Kepala:UUB terbuka

sepsis

O2 nasal kanul

rata
Mata : Konj. Palpebra
inferior anemis (-/-),
sklera ikterik (-/-)
Toraks :
SP: Vesikular, ST : Abdomen :
Dada: Sim. Fusiformis
Perut: Distensi(+)
Anus dijumpai

P
inkubator
target

suhu

l/menit
Inj.
Ceftazidim
150mg/12jam/IV
Inj.
Gentamycin
15mg/36jam/IV
Popok basah segera
ganti

26

Follow up Pasien (20-22 Oktober 2015)


Tgl
20-22
Oktober
2015

S
Perut

Sens : CM

O
Susp.

membesar

HR : 148 bpm, reg

Hirschprun

Rawat

RR : 46 rpm, reg

g disease

dengan

T : 36,2 C

+sangkaan

kulit 36,3-37,5C

Kepala:UUB terbuka rata

sepsis

IVFD NaCl D5%

inkubator
target

suhu

Mata : Konj. Palpebra

O2 nasal kanul

inferior anemis (-/-),

l/menit
Inj.
Ceftazidim

sklera ikterik (-/-)


Toraks :
SP: Vesikular, ST : Abdomen :
Dada: Sim. Fusiformis
Perut: Distensi(+)
Anus dijumpai

150mg/12jam/IV
Inj.
Gentamycin
15mg/36jam/IV
Inj. Metronidazole
22mg/12jam/IV
Aminosteril 6%
Popok basah segera
ganti

27

PEMBAHASAN
KASUS
TEORI
Pasien datang dengan keluhan utama, perut Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat
membesar. Hal ini dialami pasien sejak 5 hari kita bedakan berdasarkan usia gejala klinis
sebelum masuk rumah sakit. Keluhan disertai mulai terlihat :
muntah

(+)

berwarna

kehijauan,dengan Periode Neonatal : Ada trias gejala klinis yang

frekuensi 5x per hari,tidak menyemprot dan sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium
tidak berbau atau bercampur kotoran. Riwayat yang terlambat, muntah hijau dan distensi
mekonium keluar saat pasien berusia 2 hari. abdomen. Pengeluaran mekonium yang
Pasien baru BAB 3 hari setelah lahir. Setelah terlambat (lebih dari 24 jam pertama)
itu, pasien belum BAB lagi dan perut merupakan tanda klinis yang signifikans.
membesar. Pasien

muntah

setelah

diberi

minum
Pemeriksaan yang merupakan standard dalam
Pada pemeriksaan usus besar/ Colon in Loop menegakkan diagnosa Hirschsprung adalah
(dengan kontras) didapatkan :

barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda


khas :

Kontras lancar mengisi rektum, colon

1. Tampak daerah penyempitan di bagian

sigmoid, decendens dengan terlihat zona

rektum ke proksimal yang panjangnya

transisi berbentuk cone pada daerah distal

bervariasi.

desendens.

Kesimpulan,

Hirschprung disease.

mungkin

suatu

2. Terdapat

daerah

transisi,

terlihat

di

proksimal daerah penyempitan ke arah


daerah dilatasi.

28

3. Terdapat

daerah

pelebaran

lumen

di

proksimal daerah transisi.


PENATALAKSANAAN

Tatalaksana terapi terbaik pada bayi dan anak

Rawat inkubator dengan target suhu kulit dengan penyakit Hirschsprung tergantung dari
diagnosis yang tepat dan penanganan yang

36,3-37,5C
IVFD NaCl D5%
O2 nasal kanul l/menit
Inj. Ceftazidim 150mg/12jam/IV
Inj. Gentamycin 15mg/36jam/IV

Popok basah segera ganti

Decompresi kolon dengan pipa besar, diikuti

cepat. Keputusan untuk melakukan Pulltrough


ketika diagnosis ditegakkan tergantung dari
kondisi anak dan respon dari terapi awal..
dengan washout serial, dan meninggalkan

TINDAKAN
Pada saat ini pasien masih diobservasi
dan belum direncanakan untuk tindakan
lanjut.

kateter

pada

Antibiotik

rektum

spektrum

mengkoreksi

harus

luas

hemodinamik

dilakukan.

diberikan,
dengan

dan
cairan

intravena. Pada anak dengan keadaan yang


buruk, perlu dilakukan kolostomi.

29

BAB 4
KESIMPULAN
Pasien perempuan, TPW, 9 hari, datang ke IGD HAM dengan keluhan
perut membesar. Hal ini dialami pasien sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit.
Keluhan disertai muntah (+) berwarna kehijauan,dengan frekuensi 5x per hari,tidak
menyemprot dan tidak berbau atau bercampur kotoran. Riwayat mekonium keluar
saat pasien berusia 2 hari. Pasien baru BAB 3 hari setelah lahir. Setelah itu, pasien
belum BAB lagi dan perut membesar. Pasien muntah setelah diberi minum. Pada
pemeriksaan fisik, dijumpai distensi abdomen, hiperperistaltik. Pada pemeriksaan
DRE, dijumpai nyeri tekan pada seluruh arah jam. Pada pemeriksaan laboratorium
dijumpai leukositosis, dan pasien masih diobservasi di Ruangan Perinatologi dan
belom direncanakan untuk tindakan lanjut.

30

DAFTAR PUSTAKA
1. KA Sari. 2011. Penyakit Hirschsprung. Medan: Universitas Sumatra Utara
2. Sjamsuhidajat dan Wim de jong. Tindakan Bedah: organ dan sistem organ, usus
halus, apendiks, kolon, dan anorektum, Kelainan bawaan, In: Buku Ajar Ilmu
Bedah. Jakarta: EGC; 2004: 908-10.
3. Hidayat M, Nurmantu F, Bahar B. Anorectal Function of Hirsphrungs Patients After
Definitive Surgery. The Indonesian Journal of Medical Science. 2009 June;2(2): 7778
4. Swenson O. Hirschsprungs disease : A Review. J Pediatr 2002 ; 109 : 914-918
5. Sadler,T.W, 2000. Sistem Pencernaan. Dalam : Embriologi Kedokteran Langman.
Edisi 7, Jakarta : EGC, 243-271.
6. Lindseth, Glenda N, 2005. Gangguan Usus Besar. Hartanto Huriawati. Dalam:
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Volume 1, Edisi 6. Jakarta.
EGC. 456-468.
7. Taylo,Clive R, 2005. Struktur dan Fungsi, Sindrom Malabsorbsi, Obstruksi usus.
Mahanani, Dewi Asih,dkk. Dalam: Ringkasan Patologi Anatomi. Jakarta. EGC5.
532-538.
8. Pieter, John, 2005. Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum. Sjamsuhidajat.R,
De Jong,Wim. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi II. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 646-647.
9. Wyllie, Robert, 2000. Megakolon Aganglionik Bawaan (PenyakitHirschsprung)
.Behrmann, Kliegman, Arvin. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi 15, Jilid
II. Jakarta: EGC, 1316-1319
10. Kartono, Darmawan, 2004. Penyakit Hirschsprung. Jakarta : Sagung Seto, 3-82
11. Richard E. Behrman dan Victor C. Vaughan, (1993), Nelson: Ilmu Kesehatan Anak
bagian 2, Bab 29, hal. 426-29, EGC, Jakarta
12. Kartono D. Penyakit Hirschsprung : Perbandingan prosedur Swenson dan Duhamel
modifikasi. Disertasi. Pascasarjana FKUI. 1993.

31

13. Irwan, Budi. 2003. Pengamatan Fungsi Anorektal Pada Penderita Penyakit
Hirschsprung Pasca Operasi Pull-Through. Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
14. Shafik, A. 2000. Surgical Anatomy of the Anal Canal. Brazil.

Anda mungkin juga menyukai