Perasaan yang membuatku senang, deg-degan dan cemas di saat yang sama.
Perasaan yang ingin kurasakan setiap hari, setiap saat.
Kehidupanku di Lyon yang tadinya ku sukai karena begitu nyaman dan teratur, telah
tergantikan dengan kehidupan yang unpredictable dan anehnya I like it a lot.
Aku juga tidak mengerti apakah ini karena memang aku cinta Jakarta atau Tristan. Or
both.
Tristan memang cowok yang sangat menarik. Tadinya kupikir Tristan adalah seorang yang
snob, sok cool atau sok keren, seperti kebanyakan cowok-cowok yang menyadari bahwa
dirinya di atas rata-rata .
Cowok sok cool berlaku di mana saja, di belahan dunia manapun. Di Lyon pun aku
mempunyai teman yang merasa dirinya paling cakep sedunia, memang sih, tampangnya
sangat mirip dengan Tom Cruise, tapi caranya menunjukkan bahwa dirinya mirip Tom Cruise
malah membuatku malas untuk dekat dengannya.
Berbeda dengan Tristan, walaupun ia tidak mirip Tom Cruise atau Tom welling still, hes
cute. Dan yang membuatnya seperti magnet berjalan adalah pembawaannya yang
santai , sangat baik dan tidak pernah memberikan kesan bahwa dirinya termasuk cowok
yang wow.
j
Sinar matahari yang terik menembus atap Cilandak Town Square menerpa lantai beton
berwarna abu-abu lusuh. Kami berdiri di atas tangga jalan menuju lantai atas yang dipenuhi
restoran-restoran yang beberapa terlihat sangat asing olehku.
Tristan dan Alvin berjalan perlahan di depanku. Sesekali Tristan menengok ke belakang
seperti memeriksa apakah aku masih ada atau tidak. Aku hanya melempar senyum manis
saat ia menatapku. Ku tatapi kaca-kaca restoran yang memantulkan refleksi wajahku. Ku
rapikan tatanan rambutku, kuberpura-pura memperhatikan jalan saat Tristan menengok ke
arahku dan kembali bercermin saat ia tidak memperhatikanku.
Kok, kayaknya tidak pernah rapih ya? Rambut ini benar-benar harus dipotong! Mungkin
aku akan memotong sangat pendek atau hanya dirapikan saja. Tapi bagaimana menurut
Tristan? Apakah dia lebih suka pendek atau panjang? Jangan sampai aku salah potong.
Aku bisa tanya ke Imel potongan rambut yang eperti apa yang Tristan sukaitunggu dulu,
itu sama saja bunuh diri. Jelas-jelas Imel masih tergila-gila dengan Tristan. Masa, aku musti
nanya ke Tristan langsung, Tris, lo suka gaya rambut apa? that would be so weird!
Untuk sementara, harus memaksimalkan yang sudah kumiliki; rambut panjang yang
sangat sulit untuk diatur.
Kami memasuki restoran chopstik yang di dalamnya sudah ada Imel yang asik
menyatapmie dengan mangkok besar.
Haaiii Miiirr!!! Gimana sekolah? Enak?
Aku speechless, begitu santainya Imel setelah membolos, tanpa beban sedikitpun.
Sepertinya ia sering cabud seperti ini. Tapi melihat Tristan dan Alvin, mereka juga santaisantai saja. Apakah hanya aku saja yang terlalu serius menanggapi hal ini?
Ya, mungkin aku terlalu serius menjalani masa sekolahku, tapi bagaimana tidak serius,
mencerna istilah-istilah dalam pelajaran dan aku sama sekali tidak mengerti sistem penilaian
di sini. Mungkin sedikit-sedikit aku ingat semasa aku SMP, tapi sekarang sama sekali berbeda.
Tris, kamu mo makan apa? tanya Imel.
Apa ya? Vin lo mo makan ga? ujar Tristan.
Ya iyalah, dari tadi udah laper banget gua. jawab Alvin spontan dengan tampangnya
yang super laper sambil memegang perutnya seakan belum makan sejak kemarin.
Alvin langsung menyabet buku menu yang ada di atas meja.
Ngapain aja lo di sekolah? tanya Imel.
Ya belajar lah. Jawabku.
Ya itu mah gua juga tau. Pas istirahat?
Eeng di kantin aja kok.
Ga ada yang iseng?
Ga, ga ada.
Kok, pada lama banget sih datengnya?
Iya, tadi gua agak-agak bingung, soalnya lo ga ada di depan. Jadi gua nunggu lo di
depan pintu sekolah. jelasku.
Susah juga ya ga punya HP, lo minta dong sama Nyokap lo buat beli HP.
Iya, kata Nyokap lo, pake uang Nyokap lo dulu kok.
Bilang cepetan, kebutuhan mendesak gitu.
Yeee, gimana sih! Ga sopan kali, ngomong gitu ke Nyokap lo.
kembali
kasuk-kusuk
dengan
suara
kecil
yang
sangat
mengganggu
keingintahuanku.
Eh iya, kita belom kenal ya? Nama gua Friska. kata salah sstu dari mereka yang terlihat
sedikit jutek.
Mirel. Sambutku seraya bersalaman.
Dinda
Mirel
Joyce
Mirel
Ku salami mereka satu per satu. Wajah mereka memberikan kesan kurang bersahabat.
Tidak tahu kenapa, mungkin hanya perasaanku saja.
Lo di kelas berapa? tanya Friska.
IPS 8
Ooo...
Sori, gua musti buru-buru, sampe ketemu besok ya. kataku berusaha meninggalkan
mereka di toilete.
Eh, tunggu. Dinda menahan ku dengan menarik lenganku.