Perjalanan yang
panjang dari Paris akhirnya selesai. Aku sudah tidak tahan lagi berada di kabin pesawat
yang membosankan, makanan yang membuat asam lambungku meningkat, dan toilet
yang sangat sempit sehingga berputar badanpun harus bersenggolan dengan dinding besi
yang dingin.
Aku segera merapikan rambutku yang sudah tidak karuan. Mengikatnya dengan karet
ikat rambut kesayanganku yang telah kumiliki 6 bulan terakhir ini.
Karet gelang berwarna pink dan putih pemberian sahabatku Sabine di sekolahku di Lyon,
Perancis.
Sudah lama aku tidak melihat bandara Soekarno-Hatta. Melihatnya dari kaca pesawat,
sepertinya tidak ada perubahan yang berarti, mungkin perubahan yang aku notice hanya
sinar matahari yang lebih terang dari 5 tahun yang lalu. Berita buruk buatku yang sangat
mencintai udara dingin dan kulit putih.
Pesawat bergerak perlahan merapat ke bangunan besar berwarna pudar dan berkaca
hitam. Belalai besar mengulurkan diri menempelkan bagian moncongnya ke pintu pesawat.
Tidak berapa lama, terdengar suara lembut pramugari mengucapkan selamat datang di
Jakarta dan memberikan instruksi yang mungkin ia telah ulang lebih dari ratusan kali selama
karirnya.
Bapak-bapak sebelah ku yang thank god selama perjalanan hanya tidur dan
mendengarkan mp4 nya berdiri menggapai tas besarnya yang ada di bagasi tepat di
atasnya.
Walaupun aku sudah terlalu bosan berada di situ, namun melihat antrian panjang
penumpang yang menunggu giliran untuk keluar, membuatku lebih betah sedikit di tempat
dudukku.
Aku kembali menatap keluar jendela, sinar mentari menerpa landasan beton dan
memanrul terang ke arahku. Berapa derajat kira-kira udara di luar? pikirku.
Kata Papah, jakarta tidak seperti dulu lagi. Lebih panas, lebih penuh dan lebih jahat.
Ingatku.
Betapa membosankan bepergian sendiri seperti ini. Kalau mengingat lagi sahabatsahabatku di Lyon, aku jadi kesal dengan papah. Kenapa aku harus kembali ke Indonesia.
Kenapa aku tidak diperbolehkan meneruskan sekolahku di sana. Dimana aku mempunyai
banyak sahabat, dimana aku merasa comfortable. Sedangkan di sini aku terpaksa
mengulang kembali semuanya. Membiasakan diri dengan hal-hal yang telah kutinggalkan 5
tahun yang lalu. Ah! Menyebalkan!
Maaf Dik, Adik sudah bisa turun. Sudah kosong kok. Suara lembut seorang pramugari
berkostum rapih menyadarkanku dari lamunanku.
Aku menengok ke belakang, ke arah pintu pesawat. Orang terakhir telah keluar melewati
pintu pesawat. Aku buru-buru merapikan semua bawaanku dan berjalan cepat
meninggalkan kabin pesawat yang menjemukan dan memulai kembali hidup yang telah
kutinggalkan 5 tahun yang lalu.
Hawa panas dengan udara yang lembab mulai terasa di wajahku. Orang-orang
bersliweran di depanku. Orang-orang yang itu-itu saja. Aku tidak tahu apa yang mereka
kerjakan, mondar-mandir di dalam bandara. Di luar, di balik dinding kaca bandara berjejal
orang-orang yang berusaha melihat ke dalam. Ada sebagian yang berusaha memberi
tanda dengan lambaian-lambaian. Aku mencari orang yang dimaksud di sekitarku. Tapi
tidak ada yang menyambut lambaiannya. Semua orang sibuk menunggu koper-kopernya di
rel yang sedari tadi berputar perlahan. Aku mulai berpikir apa yang ada di balik tembok
bandara. Apa saja yang dilakukan petugas bandara dengan koper-koper itu? Mungkin saja
mereka membuka-buka koper penumpang dan menguncinya kembali. Kenapa memakan
waktu begini lama hanya untuk menurunkan koper-koper dari pesawat. Kulihat jam
tanganku, sudah hampir setengah jam aku duduk di atas ranselku dan tidak ada tandatanda koperku akan muncul di atas rel karet hitam yang sudah usang itu.
Mungkin mereka memindai satu persatu tas-tas penumpang yang jumlahnya puluhan
bahkan ratusan. Wow, kalau benar begitu, kapan aku akan menerima tas-tasku?
Huuuhh! aku menghela napas panjang. Bosan, sungguh bosan! pikirku. Andai ada
sand sac di bandara ini, akan kupukul berkali-kali untuk menghilangkan kekesalanku.
Sand sac di bandara? Hmmm sepertinya ide yang bagus. Setelah memperhatikan
sekitar sepertinya tidak hanya aku saja yang sedang kesal. Mungkin orang yang mondarmandir tadi sedang mencari sesuatu untuk dipukuli. kataku dalam hati.
Pantatku mulai terasa sakit karena lamanya aku duduk di atas tas ranselku. Aku berdiri
dan memakai kembali tas ransel pink-ku. Aku mendekati lobang munculnya koper-koper
penumpang yang ditutupi lembaran karet hitam yang melambai-lambai tertabrak koperkoper.
Nah, ini dia. kataku setelah melihat koperku muncul dari lobang itu. Aku langsung
memeriksa namaku yang tergantung di handle koperku, memeriksa gemboknya dan
langsung menarik koperku yang beratnya mungkin hampir sama dengan beratku sendiri.
Aku membayangkan apa jadinya kalau tidak ada yang menciptakan koper beroda?
Nightmare!!
Pintu otomatis bandara yang di dominasi kaca itu terbuka. Hawa panas menghantam
wajahku. Suara bising memenuhi gendang telingaku. Suara mobil bercampur manusiamanusia yang berebutan memanggil-manggil sanak keluarganya, relasinya, sahabatnya
yang keluar dari pintu yang sama denganku.
Neng, taksi Neng? Kemana Neng? Sini saya bantu angkat? pertanyaan bertubi-tubi
dilontarkan orang tak kukenal.
Hah? Apa? Enggak, enggak. Sudah ada yang jemput. tolakku. Aku agak khawatir, aku
teringat kata-kata papah, Jakarta itu jahat.. Tapi kalo Jakarta jahat, kenapa aku disuruh
berangkat ke Jakarta sendirian. Aduuh, papah gimana sih!
Mirel! Mirel! Aku mencari sumber suara yang memanggil-manggil namaku. Tak berapa
jauh kulihat seorang lelaki yang sudah cukup berumur bersama seorang wanita yang
berpenampilan sangat rapih bahkan terlalu rapih untuk berada di sebuah bandara.
Mirel! teriak bapak itu lagi seraya mendekatiku.
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri untuk meyakinkan diri bahwa yang dituju si bapak itu
adalah aku.
Mirel kan? Lupa ya? Ini Om Bayu. Katanya sambil menyalami dan merangkulku dengan
erat.
Waahhh Mirel dah gede ya. Cantik lagi. tambah si wanita.
Iya, ya Bu. Cantik. Kamu masih inget kan Tante Mirna, istri Om? kata om Bayu.
Oo jadi ini om Bayu dan tante Mirna yang kata papah akan menjemputku di Jakarta.
Tadinya kupikir om Bayu itu lebih muda dari ini dan istrinya tante Mirna jauh berbeda dari
ingatanku, sepertinya 5 tahun lalu tidak seglamor dan seputih ini.
Bawaan kamu cuma ini? tanya om Bayu sambil menunjuk koper yang kupegang
dengan tangan kanan.
Iya om. Cuma ini. Barang yang lain nyusul. jawabku
Ya udah, To! Ranto! teriak om Bayu memanggil seorang lelaki berseragam safari hitam.
Kamu bawa nih kopernya. Tasnya juga. Mirel, kasih tasnya ke pak Ranto. Biar di taruh di
mobil.
Iya Om. Terima kasih. Aku hanya menuruti saja kata-kata om Bayu dan menyerahkan
backpack ku ke pak Ranto.
Gimana penerbangannya? Enak? tanya tante Mirna.
Biasa aja kok tante. Agak ngebosenin. Abis lama banget sih. keluhku.
Iya, ya berapa jam? 12 jam? tanya tante Mirna lagi.
14 jam. jawabku
Tante pengen banget loh ke sana. Tapi ga sempet. Eehh kalian keburu pulang.
Aku hanya menjawab dengan anggukan dan senyum basa-basi sedikit tidak peduli.
Panas sinar matahari ditambah lembabnya udara membuatku sedikit pusing. Angin yang
cukup kencang membaut rambutku sedikit berantakan. Mungkin setelah beberapa hari
disini aku akan memotong rambutku yang sudah mulai panjang.
Mobil bersliweran dengan kecepatan yang cukup tinggi di jalan bandara. Kami yang
berdiri di pinggir jalan terkena hempasan angin mobil-mobil terpaksa menutup mulut dan
hidung untuk menghindari debu yang terlihat seperti asap berwarna kelabu.
Tidak berapa lama sebuah Toyota Fortuner hitam menepi dan berhenti tepat di depan
kami. Pak Ranto keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk kami.
Mirel di depan aja. Sambil liat-liat Jakarta. kata tante Mirna.
Aku hanya menuruti perintah tante Mirna dan duduk di sebelah pak Ranto.
Mobil melaju kencang melintas jalan tol yang panjang.
Di Perancis lagi musim apa Mirel? tanya om Bayu.
Lagi mulai musim panas Om.
Kamu masih inget Imelda kan. Anak Tante.
Masih tante.
Nanti kamu sekolah sama Imel di SMA Magna Nimus. Imel masih kelas 11. Kalo kamu
nanti masuk kelas 12. jelas tante Mirna.
Kelas 12? tanyaku bingung.
Kamu bingung ya? Dulu kelas 3 SMA sekarang nyebutnya kelas 12. kata om Bayu
menerangkan.
Imelda, satu-satunya saudara yang dekat denganku sejak SD. Pada setiap acara
keluarga yang sangat membosankan, kami selalu berdua,
Biasanya kita ke Paris atau ke Belgia om. Abis murah sih, tinggal naik kereta TGV 1 aja,
sampe deh.
Setiap tahun begitu? tanya om Bayu lagi.
Enggak sih om. Tahun kemarin kita di Lyon aja. Mungkin lagi pada nabung buat pulang
tahun ini om.
Om Bayu dan tante Mirna spontan tertawa. Iya, ya, Mirel. Papah kamu mungkin nabung
buat pulang sekeluarga. Sekarang memang mahal tiketnya. Belum lagi biaya kirim barangbarangnya. tambah om Bayu.
Aku hanya tersenyum tanda setuju dan kembali mengamati rawa-rawa sekitar jalan tol
yang tidak berubah sedikitpun sejak 5 tahun yang lalu.
Bosen ga sih jadi ikan yang terperangkap di rawa itu yang gak ada perubahan sama
sekali dari tahun ke tahun? Mungkin juga mereka lebih memilih di situ dengan sahabatsahabatnya daripada dipindahkan ke rawa lain yang lebih bagus.
j
Akhirnya kami meninggalkan jalan tol yang panjang dan mombosankan. Dari
pemandangan yang itu-itu saja, memasuki pemandangan yang jauh lebih enak dipandang
mata.
Selama 10 menit, aku sempat tertidur karena terbuai dengan hembusan AC yang dingin
dan lagu-lagu pop Indonesia yang mendayu-dayu yang tidak pernah aku dengar
sebelumnya.
Tidak kusangka, Jakarta akan sepenuh ini. Jauh dari bayanganku dan berita-berita
tentang Indonesia di Lyon.
Aku bahkan sempat bingung sewaktu aku pindah ke Perancis 5 tahun yang lalu, banyak
yang tidak mengetahui Indonesia. I mean, helloo, Indonesia tuh lebih besar dari Perancis
dan ada di tengah-tengah bumi. Apa gak ada yang belajar geografi?
Lebih parah lagi, mereka tahu Bali tapi tidak tahu Indonesia. Dan ada yang nanya
Indonesia dimananya Malaysia. Aduuuh gimana sih, ngeselin banget!
Kami memasuki perumahan di daerah Pondok Indah. Wow, ternyata om Bayu sekarang
kaya raya. Bisnisnya apa ya, sampai bisa pindah ke perumahan elit seperti Pondok Indah.
Kami masuk jauh ke dalam komplek perumahan itu. Mobil berhenti di depan pintu garasi
yang menjulang tinggi di sebuah rumah besar.
Akhirnya sampai juga ya Mirel. kata tante Mirna yang langsung turun dari mobil.
Aku keluar dari mobil sambil mengagumi rumah yang ada di hadapanku. Rumah 2 lantai
dengan garasi yang berada di basement.
Gila nih rumah. Baru sekali masuk ke rumah sebesar ini. kataku dalam hati.
Ayo masuk Mirel. ajak tante Mirna.
Pak Ranto, tasnya langsung bawa masuk aja ke kamar tamu ya. perintahnya lagi.
Aku menapaki tangga marmer yang super duper mengkilap. Tak ada sedikitpun debu
yang menempel. Mungkin saking licinnya, debupun sampai terpeleset di lantai ini.
Pintu utama yang terdiri dari dua daun pintu yang sangat besar kulewati. Mulutku semakin
menganga ketika memasuki ruang tamu utama yang luasnya menyamai appartemenku di
Lyon, bahkan mungkin lebih.
Di sebelah ruang tamu, terlihat jelas ruang keluarga yang dihuni sofa kulit yang sangat
besar berwarna hitam dan TV LCD 42 dilengkapi home theater.
Tangga besar dengan reling besi tempa berwarna hitam dan emas mendominasi ruang
tengah.
Ayo. Kok malah bengong. Ayo naik. Kamar kamu di atas. panggil tante Mirna yang
sudah menunggu di ujung tangga.
Eh, iya Tante. jawabku.
Ck, ck, ck. Hebat, hebat. Ga nyangka banget. kagumku.
Di dinding yang dilapisi wallpaper bermotif garis tipis berwarna krem muda, terpampang
foto-foto keluarga berbingkai emas.
Wow, itu Imel? Kok beda banget ya? Apa gua juga sebeda itu sekarang? pikirku.
Aku melanjutkan langkahku ke dalam sebuah kamar yang cukup besar untuk dihuni
sebuah keluarga dengan satu anak.
Nah, kamu tidur di sini. Maaf ya kamarnya kosong. Memang biasanya untuk tamu. Jadi
ga ada apa-apanya. jelas tante Mirna.
Ah Tante bisa aja. Enak banget kamarnya. jawabku.
Ya sudah. Kamu bisa pindahin baju-baju kamu ke lemari. Trus remote AC-nya ada di
nakas sebelah tempat tidur. Kalo mo nonton TV, nyalain aja TV di bawah ya. kata tante
Mirna lembut.
Iya, makasih banyak tante. Maaf nih dah ngerepotin. ujarku berbasa-basi.
Ah, enggak apa-apa kok. Imel blom pulang. Biasa deh, maen, katanya sih nonton. Tadi
tante udah SMS biar cepet pulang.
Oo, ga usah Tante. Nanti ganggu acaranya Imel. Ga papa kok.
Biarin. Biar gak maen terus.
Loh, jadi Imel disuruh pulang untuk gua atau untuk tante Mirna. Huh! Dasar ibu-ibu!
kataku dalam hati.
Oh iya, nanti Mba Ati bawain makanan buat kamu ya.
Aduh, makasih Tante. Ngerepotin aja.
Tante Mirna keluar dengan senyum lebar di wajahnya. Bagaimana senyumnya tidak
lebar, dengan mempunyai rumah sebesar, selengkap, senyaman ini. Orang yang sakit
gigipun akan tersenyum lebar bahkan tertawa terbahak-bahak. gumamku dalam hati.
Aku menjatuhkan badanku di atas kasur springbed yang begitu empuknya sehingga aku
serasa dilontarkan kembali berkali-kali.
Aku menatap langit-langit tinggi berwarna putih. Kemudian aku teringat rumahku
tercinta. Rumah yang kami tinggalkan beberapa tahun yang lalu. Rumah kecil yang teduh,
tempatku bertumbuh. Bagaimana nasibnya sekarang? Kata papah, rumah itu ditempati
keluarga teman papah. Apakah keadaannya masih sama?
Bagaimana dengan pohon mangga tempat aku biasa bermain, dan bagaimana
mainan-mainan Barbieku? Siapa yang menyimpan? Atau sudah dibuang entah kemana?
Kangen juga memikirkannya. Ayo dong Pah, Mah, cepet nyusul. I feel lonely already!
j
Perut ini langsung merespon mataku. Rasa lapar mengalahkan rasa lemasku. Bagaimana
tidak, makanan di pesawat seperti lewat begitu saja. Penyajian yang seadanya di tambah
lagi dengan rasanya yang tak karuan. Bwek!
Pada waktu keberangkatanku dari Paris. Aku cukup bersemangat. Apalagi di pesawat,
pramugari menawariku menu yang cukup menggiurkan,Chicken or turkey?
Wow! Aku belum pernah merasakan kalkun. Turkey! jawabku pasti.
Setelah
menu
itu
datang,
bau
yang
muncul
dari
piring
sepertinya
tidak
Aku menghampiri piring yang seperti terus memanggil-manggil. aku sendok nasi beserta
sedikit lauk.
MIREEELLL!! teriakan dan suara pintu kamar yang tiba-tiba terbuka membuatku
menjatuhkan sendok yang sudah hampir sampai ke dalam mulutku.
Mireell kapan sampe? tanya Imel yang masih mengenakan seragam sekolahnya.
Tadi siang. Gila lo ya Mel, cantik banget sekarang. pujiku.
Emang dulu enggak cantik? canda Imel.
Iya, cantik. Tapi sekarang lo beda banget.
Masa sama terus si Mir, emangnya gua hobbit.
Kami berdua tertawa dan saling berpelukan. Kemudian terduduk di atas kasur.
Kok lo ga pernah nelpon ke sini sih? tanya Imel.
Mahal banget kali. Tapi kan gua ngirim kartu pos.
Iya. Thanks ya. Walaupun dah ga zaman. canda Imel.
Huh, dasar!
Bokap nyokap kapan nyusul?
6 bulan lagi. Soalnya bokap tinggal tesis aja. Abis itu langsung balik.
Berani juga lo ya, sendirian ke sini.
Abis gimana lagi? Kan gua musti ngurus sekolah. Katanya sekarang tahun ajaran baru.
Iya. Baru banget masuk. Eh, lo masuk sekolah gua kan?
Ya iyalah. Mo kemana lagi? jawabku.
Yeeeaahh!
Enak ga skolah lo? tanyaku penasaran.
Enak? Ya enak lah! Cowoknya ok-ok banget.
Ah, masa?
Ih, lo liat aja nanti. Kapan mulai?
Besok. Gua dateng sendiri apa sama nyokap lo ya?
Wah, gak tau gua. Lo dah nanya blom? tanya Imel.
Belom. Gua tadi ketiduran, capek banget. Gua lupa nanya. Tolong tanyain dong Mel.
Ah, lo kayak anak kecil aja.
Iya, gua ga enak mo nanya.
Ya udah, nanti gua tanya abis gua mandi. Nanti dia merepet lagi kalo liat gua baru
pulang.
Aku geli mendengar imel menggunakan kata merepet, apa sih artinya? Kok
kedengarannya lucu. batinku.
Kenapa sih ketawa? tanya Imel heran.
Enggak. Gak papa. Merepet artinya apa sih?
Ya ilah, sok banget sih lo, baru lima tahun di luar aja dah lupa bahasa sendiri.
Tapi gua bener-bener baru dengar kata itu.
Marah-marah. Artinya tuh marah-marah yang gak berhenti.
Ooo.
Udah? Ngerti? Apalagi yang enggak ngerti? canda Imel.
Aku kembali tertawa sambil menepuk lengan Imel.
Ya udah. Gua mandi dulu ya. Nanti gua kesini lagi. kata Imel sambil berjalan
meninggalkan kamar.
Imel, Imel. Kriuuuk! suaraku disusul dengan suara perut yang merepet minta di beri
makan.
j
Kutunggu beberapa saat, tidak ada jawaban dari tante Mirna. Air shower kembali
membasahi rambutku.
Botol shampo kutuangkan ke telapak tangan kiri. Kuusap shampo ke rambutku yang
kupikir sudah saatnya untuk dipotong. Mungkin besok atau lusa.
Busa shampo memenuhi kepalaku. Kupejamkan mata untuk menikmati harumnya
shampo, sejuknya air dan damainnya sua
Mirel, kita tunggu di bawah ya. Sudah mau makan malam. Suara tante Mirna tiba-tiba
berada disebelahku.
AAHH, Tante!! pekikku kaget melihat tante Mirna sudah berada di dalam kamar mandi.
Kaget ya Mirel, maaf loh, abis tadi dipanggil-panggil enggak jawab. Ya tante masuk aja.
Lainkali kunci kamar mandinya ya. ujar tante Mirna santai.
Aku tak berkomentar. Tanganku sibuk menutupi bagian tubuhku.
Ga usah ditutupin. Kan sama-sama cewek. Lagipula tante dah mandiin kamu dari kecil.
Udah ga ada rahasia lagi. Ya udah. Cepetan mandinya. Ya.
Wow, apa itu tadi? Momen yang sangat aneh! Jantungku masih berdegup kencang.
Sepertinya aku punya firasat kalau keanehan seperti tadi bukan yang terakhir.
yang
sedang
asyik
mengunyah
kontan
berhenti.
Wajahnya
menunjukkan
Belum lengkap 24 jam ku lalui, aku sudah merasakan bahwa keputusan papah
memulangkanku lebih dulu adalah keputusan yang keliru. Belum lagi menitipkanku di rumah
Imel.
Walaupun mereka sekarang sudah kaya raya, tapi ada yang berbeda dengan mereka
dan aku kurang menyukainya.
Perut ini terasa sangat kenyang bahkan seperti mau meledak setelah diisi berbagai
macam makanan yang dijejali tante Mirna.
Kupandangi koper yang nasibnya sama seperti perutku. Malas, rasanya untuk
mengeluarkan begitu banyak pakaian dan memindahkannya ke lemari pakaian, apalagi
setelah enam bulan, aku harus memindahkannya kembali ke koperku.
Tapi, apa boleh buat. Cest la vie! Kadang kita harus siap untuk sebuah perubahan
cepat maupun lambat. No arguing!
Satu persatu kupindahkan pakaian-pakaian ke dalam lemari dua pintu yang bersandar di
tembok terjauh kamar.
Setiap baju yang kupindahkan, mengingatkanku pada sebuah memori perjalanan
hidupku di Lyon. Yang kini sudah menjadi bagian dari sejarah, kecuali jika ada sebuah
keajaiban, papah kembali kuliah di sana dan membawa seluruh keluarga ke sana atau aku
belajar dengan keras dan mendapat beasiswa ke Lyon. Kemungkinan lain adalah aku
menabung sebanyak mungkin untuk membeli tiket bolak-balik serta biaya hidup disana.
Untuk yang satu itu, mungkin agak sedikit jauh dari kenyataan. Kecuali kalau aku anak tante
Mirna.
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku.
Hai, ganggu nggak? tanya Imel dengan kepala yang menyembul dari balik pintu.
Eh, enggak kok. Masuk Mel.
Imel langsung melompat ke atas kasur.
Gila ya lo, akhirnya balik lagi ke sini, kalo gua jadi lo, gua mendingan tinggal di sana,
kata Imel.
Iya. Gua juga pengennya gitu. Tapi, ya, apa boleh buat. Bokap nyuruh balik.
Lo punya cowok ga di sana?
Enggak lah. Kerjaan gua di sana tuh belajar doang. Paling maen sama temen-temen
cewek.
Iiihh, ga asyik banget! Yang bener, ah! Masa gebetan juga ga ada?
Bener!
Gila! Padahal cowoknya kan lucu-lucu!
Hahaha, ah, elo Mel.
Satu aja satu ga ada?
Enggak! Enggak ada! tegasku.
Eh, nanti gua kenalin sama Alvin, tuh anak cute abis!
Aku hanya tertawa memperhatikan cara bicara Imel yang menurutku agak aneh dan
berlebihan.
Kok, lo ketawa terus sih?? Gua serius.
Abis lo lucu banget sih.
Apanya yang lucu sih.
Eh, Mel, rumah lo gede banget sih?
Tau nih, nyokap. Kita baru-baru aja kok pindahnya. Eh, ke kamar gua yuk. Di sini ga
enak.
Yuk.
Wow, kamar lo enak banget. komentarku setelah menapaki kamar Imel yang berada di
lantai yang sama dengan kamar tamu.
Iya, dong! Imel gitu loh! Sini Mir, duduk. Imel menepuk-nepuk kasurnya yang empuk dan
bermotif boneka berwarna pink dan biru muda.
Jauh lebih empuk dari kasurku di Lyon, begitulah kesanku kasur Imel menahan separuh
beban tubuhku.
Gimana disana? tanya Imel.
Yah ada enaknya, ada enggaknya. jawabku.
Enaknya?
Enaknya sekolah gratis, makan siang murah soalnya ada diskon pelajar trus enak lagi, bis
gratis kalo untuk pelajar, ada empat musim, bagus banget kalo musim gugur. Mmm apa lagi
ya? pikirku.
Cowok? Cowok? tanya Imel.
Ih, kok lo pikirannya cowok mlulu sih?
Ga seru lagi, kalo ga ada cowok lucu.
Ada sih yang lucu, lucu, tapi ya gitu deh, ceweknya juga cantik banget.
Iya, ya. Cewek-cewek kaya kita, enggak laku kali ya di sana? Cewek sana kan tinggitinggi, sedangkan kita pendek-pendek gitu.
Bukan masalah itu aja kali, putihan mereka juga kulitnya. tambahku.
Iya, belum lagi matanya, aneka warna,
Kami berdua tertawa, entah menertawai kekurangan kita atau tergelak karena kalimat
aneka warna.
Lo besok bareng kita berangkatnya? tanyaku.
Enggak, gua agak siangan.
Knapa ga bareng aja?
Aduh! Kepagian bo!
Emang lo berangkat jam berapa?
5:40 an
Ih, Cuma beda sepuluh menit?
Eh, 10 menit tuh berharga banget. Udah lo berangkat aja sama nyokap, nanti
pulangnya bareng gua.
Eh, gimana tinggal disini? Enak ga? tanyaku.
Ya enak lah, semua ada gitu loh. Dulu gua ke sekolah naek angkot. Sekarang gua dah
bawa mobil. Dulu gua di sekolah ga punya banyak temen, sekarang temen gua
segambreng, blom lagi yang di luar sekolah. Jajan banyak, bisa beli macem-macem.
Gila ya, hidup lo dah beda banget. Ada kejadian apa nih, bisa sampe begini?
Tau tuh, Bokap, kayaknya dapet proyek M-M-an
Apa tuh?
Milyaran! Wah lo parah banget ya Mir! Masak lupa bahasa Indonesia?
Aku kembali tergelak. Aku benar-benar lupa beberapa istilah bahasa Indonesia, apalagi
yang jarang dipakai di Lyon.
Di sana, keluargaku memang sehari-hari tetap menggunakan bahasa Indonesia tapi
dengan berjalannya waktu, kosa kata kami mulai terkikis, dan terganti dengan bahasa
Perancis.
Di tambah, kami jarang bertemu orang Indonesia. Akhir-akhir ini jarang sekali pelajar
Indonesia yang menuntut ilmu di Lyon. Mungkin mereka lebih prefer di Paris, yang notabene
ibukota dan pusat mode Perancis.
Eh, kenapa sih lo gak pulang-pulang? tanya Imel.
Emang murah?!
Ya, sekali-kali, kek!
Kalo Bokap gua sekaya Bokap lo sih ga masalah.
Loh? Emang di sana ga digaji?
Eh, gimana sih nih anak? Ya enggak lah! Kan Bokap cuma dapet beasiswa dari
kantornya.
O, gitu. Ga enak dong?
Kalo lagi end season sale ya enggak enak, tapi selebihnya, biasa-biasa aja.
Kami bertukar cerita hingga larut malam. Tak terasa jarum jam telah melewati angka satu.
Kekuatan mulut berbicara telah dikalahkan beratnya mata.
Kutinggalkan Imel di kamarnya dan kembali ke kamar tamu yang menjemukan. Kuikuti
keinginan mata ini untuk dipejamkan. Beberapa jam lagi akan kuarungi lembaran lama
yang pernah ku tutup untuk sementara.
2
Suara ketuk pintu membangunkanku dari tidur yang tak nyenyak. Sejak semalam, mata
terasa berat, namun otak ini tidak mau diistirahatkan.
Otak ini terus membayangkan apa yang sebaiknya aku lakukan di hari pertama sekolah.
Apa yang akan aku katakan atau kerjakan. Atau apakah sebaiknya aku tidak berkata dan
berbuat banyak. Untuk berjaga-jaga agar tidak melakukan hal-hal stupid yang dapat
merusak jalan hidupku. Ah! Bingungnya!
Ku lihat jam dihadapanku, jarum pendek menunjuk di angka lima. Aku mengusap-usap
wajahku yang terus membayangkan hal-hal buruk yang mungkin kuhadapi di hari
pertamaku.
Handukku? Mana dia? gumamku sambil celingak-celinguk mencari ke sudut-sudut
ruangan.
Suara ketokan pintu kembali terdengar.
Mir! Mirel! Banguunn! Sudah pagi! suara tante Mirna terdengar lantang dari balik pintu.
Iya tante! jawabku.
Seketika aku teringat bahwa handuk biru itu kugantung di balik pintu kamar mandi.
Kuambil langkah seribu, ku tutup pintu kamar mandi dan tidak mungkin lupa untuk
menguncinya agar tante Mirna tidak mengagetkanku lagi seperti kemarin.
Kran shower kuputar cepat ke kanan. Air menerpa deras tubuhku. Aaaaahhhh! pekikku
seraya sedikit meloncat-loncat.
Diiingiiin!!! teriakku lagi. Aku lupa, selama di Lyon aku tidak pernah mandi dengan air
dingin.
Cepat-cepat kuraih sabun cair yang ada dihadapanku. Ku seka tubuh dengan gerakan
cepat dan kubilas dengan lebih cepat sabun yang menempel.
Aku mengurungkan niat untuk membasahi rambutku. Tidak cukup waktu untuk
mengeringkan rambut dan bersiap-siap.
Ku berlari keluar kamar mandi dan meraih
Merde3! Seragam! Seragamnya mana? panikku. Aku lupa membawa seragam Imel ke
kamar.
Kepanikkanku disambut dengan ketukan pintu dan suara mba Ati dari balik pintu,Mba!
Mba Mirel! Ini seragamnya saya gantung di pintu.
Aah! Thank God! pikirku. Kubuka pintu sedikit untuk memberi ruang menarik seragam
yang digantung digagang pintu luar.
Lucu juga! gumamku setelah melihat rok berwarna biru dongker dengan garis tipis
merah dan kuning.
Tidak sampai lima menit, aku sudah meninggalkan kamar tamu dan menuju ke lantai
bawah yang sudah penuh dengan aktifitas.
Tante Mirna sibuk mengolesi roti panggang dengan mentega, Mba Ati mengepel lantai,
Om Bayu mengemasi isi kopernya, dan Imel Imel sudah siap dengan seragam rapih dan
mengunyah roti panggang buatan ibunya.
Mel! Berangkat bareng? tanyaku.
Iya! Nyokap yang suruh! gerutunya.
Tawaku tertahan dengan rasa tidak enak terhadap tante Mirna yang masih mengoles roti.
Ayo Mirel, sarapan dulu. Sebentar lagi kita berangkat, perintah tante Mirna.
Roti panggang yang setengah sejuk itu terasa renyah di mulut. Mentega yang diolesi
berlebihan membuatku haus.
3. Sh*t
Tak berapa lama, mobil kami memasuki pelataran parkir sekolah yang dipadati dengan
mobil-mobil mewah.
Puluhan pasang mata mengiringi langkah kami ke kantor kepala sekolah yang berada
tidak jauh dari pintu utama.
Kesan pertama ketika melihat kantor kepala sekolah, Ini kantor apa living room?
Betapa tidak, kantor yang sangat terang dilengkapi dengan sofa yang kelihatan sangat
cozy, kulkas, TV LCD dan tidak ketinggalan lantai ditutupi karpet bermotif yang tebal dan
lembut.
Selamat siaang ibuuu Bayuuu. sambut kepala sekolah.
Selamat siang Pak Warno. jawab tante Mirna seraya menjabat tangan pak Warno.
Bagaimana? Bagaimana? Silahkan duduk!
Sofa yang sangat empuk. pikirku.
Ini loh Pak, Mirel. Calon siswa yang kemarin saya bicarakan. Semua administrasi sudah
saya selesaikan,
Iya, iya, terserah Ibu dan Mirel. Mau dimulai hari ini atau besok. Terserah. Belajar
mengajar sudah dimulai seminggu yang lalu. Jadi, Mirel belum terlalu jauh ketinggalan,
Kepalaku hanya menengok ke kanan dan ke kiri mengikuti sumber suara. Aku tidak berani
menyelak pembicaraan para tetua. Salah kata sedikit bisa menimbulkan kesialan yang
sangat besar.
Setelah melalui pembicaraan yang ngalor-ngidul, jauh dari topik awal yaitu Hari
pertamaku sekolah. Akhirnya diputuskan agar aku memulai sekolah hari ini.
Kami berjalan menuju kelas baruku melalui lorong yang sudah tak berpenghuni. Kelaskelas hening memperhatikan penjelasan guru di depan kelas.
Sekali-kali aku menengok ke dalam kelas yang ku lewati dan kuperhatikan nama-nama
kelas yang tercantum di atas pintu setiap ruangan.
Tante Mirna dan pak Warno terus melanjutkan perbincangan mereka yang terputus tadi.
Perbincangan para orangtua yang menjemukan.
Aku berjalan perlahan di belakang mereka,
Suara ketukan pak Warno mengagetkan seisi kelas 12 IPS 8 yang tadinya sedang khidmat
mendengarkan Iibu Irma menjelaskan pelajaran bahasa Indonesia, yang dari dulu isinya ituitu saja.
Selamat pagi, Buuu! sapa pak Warno.
Eh, Bapak! Ada apa pak? tanya bu Irma.
Ini loh, ada murid baru.
Ooo iya, iya.
Pak Warno mendorongku pelan agar masuk ke dalam kelas 12 IPS 8, melangkah pelan
menghampiri ibu Irma.
Titip ya bu, ujar tante Mirna.
Ya sudah. Mirel, ini kelas kamu. Anak-anak, ini Mirel. Baru aja pindah dari ucapan pak
Warno terputus.
Perancis. bantu tante Mirna.
Iya, Perancis. Nama lengkapnya siapa? tanya pak Warno yang langsung menatapku,
menuntut jawaban instan.
Mirel Chandra. jawabku singkat.
Ah,
sangat
mengganggu!
Puluhan
mata
yang
memandangku,
sangat
Bel
sekolah
berbunyi nyaring,
memekakkan
telingaku
yang
sedari
tadi
pusing
Hawa lembab di luar kelas kembali menerpa padahal langit terlihat mendung. Agh!
Panasnya! Harus potong rambut nih! kataku dalam hati.
Eh, kita blom kenalan ya? Nama gua Joanna. Panggil aja Nana, katanya,
memperkenalkan diri.
Gua Mirel. jawabku sambil menyodorkan jabatan tangan.
Panggilnya apa? Mir? Rel? Eh, kok, rel? Emangnya kereta?! ujar Joanna disusul tawa
geli.
Mir, aja, jawabku.
Lo bener, pindahan dari Perancis? tanya Joanna.
Iya, bener. Baru sampe kemaren, jawabku.
Wah, masih anget-angetnya dong. Coba gua cium, masih bau menara Eiffel ga?
canda Joanna dengan gaya mengendus-endus badanku.
Nih cewek kok tomboy banget sih! Seru juga! pikirku.
Aku terus di bawa berjalan entah kemana. Sepanjang perjalanan Joanna sekali-kali
menarik beberapa temannya dan memperkenalkannya kepadaku.
Tidak sedikit pula yang dengan mengagetkan muncul di depan kami dan memaksa
untuk berkenalan.
Miirrrr!! terdengar teriakan yang kukenal.
Dari belakang Imel berlari mengejarku.
Gimana? tanya Imel.
Joanna memandang Imel dengan tampang beringas. Seperti ingin menghancurkan Imel.
Imel yang tersadar dengan bahaya yang ada di sebelahnya, langsung menyapa
dengan ramah,Eh, hai Na.
Joanna tidak membalas sapaan Imel. Ia hanya tersenyum kecut dan terus memandangi
Imel.
Nanti jadi pulang bareng kan? tanya Imel.
Ya iyalah. Gua kan ga ngerti jalan ke rumah. jawabku.
Ya udah. Sampe nanti ya. Tunggu gua di gerbang aja! teriak Imel yang berlari menjauh
dariku.
Kok, lo kenal Imel sih? tanya Joanna dengan tampang sinis.
Dia kan saudara gua. jawabku.
Tiba-tiba raut wajah sinis Joanna berubah menjadi tampang tidak enak.
Oo saudara. katanya.
Emang kenapa sih? tanyaku.
Enggak! Enggak apa-apa!
Aneh banget sih! Pasti ada apa-apa, ga mungkin si Nana pasang tampang merengut
gitu kalo enggak ada apa-apa. batinku.
Kami meneruskan perjalanan yang sepertinya menuju sebuah kantin besar yang sudah
penuh sesak.
Teriakan cowok-cowok menyambut kedatangan kami di kantin sekolah.
Na! Siapa Na? kenalin dong! teriak mereka.
Udah, cuekin aja Mir! Maklum aja ya, kurang perhatian dari orang tua ya begitu itu. Jadi
norak! kata Joanna.
Aku hanya berlindung di balik tubuh besar Joanna yang terus berjalan ke pojok kantin di
depan kios bakso yang bertuliskan Bakso Aseli Mang Dana.
MANG! BAKSO DUA! teriak Joanna lantang.
Lo cobain nih! Baksonya enak banget! kata Joanna lagi.
Bakso, sudah lama aku tidak merasakannya lagi. Yang kuingat dari bakso, hanya
kuahnya yang khas dengan rasa mecin dan pedasnya sambal.
Lo suka bakso kan? tanya Joanna.
Suka, suka. jawabku.
Ku baca lagi stiker yang menempel di kaca etalase Bakso Aseli Mang Dana. Walaupun
aku sedikit lupa bahasa Indonesia. Tapi aku yakin sekali, kata asli tidak pakai e dan aku
bertanya-tanya, memang ada yang palsunya ya?
Mang Dana membawa dua mangkuk berisi bakso panas yang beraroma sangat santer.
Joanna menyambut mangkuknya dengan antusias, menuangkan sambal dengan
takaran yang luar biasa banyaknya, dan menambahkan sedikit kecap serta garam.
Loh, kok bengong? Gak makan? tanya Joanna.
Eh, iya! jawabku terkaget karena masih takjub dengan tuangan sambal Joanna.
Ku ambil sendok besi kusam yang sepertinya telah melalui jam terbang sangat tinggi.
Wow! Memang enak! itulah kesanku setelah lidahku menyentuh kuah Bakso Aseli Mang
Dana
Enak, kan Mir?! tanya Joanna.
Iya, enak. jawabku dengan tetap berusaha jaim.
Lo sodaraan sama Imel-nya jauh apa deket? tanya Joanna lagi.
Lumayan jauh sih. Bapaknya Imel itu, sepupunya nyokap.
O, gitu,
Aku semakin curiga melihat gelagat Joanna yang menunjukkan ketidaksukaannya
terhadap Imel.
Tidak berapa lama, dari pintu kantin muncul si wajah manis yang kulihat di 12 IPS 4.
Kenapa aku jadi begini? Kenapa aku jadi begitu tertarik dengan cowok? Apakah aku
tertular syndrom Imel? Atau hawa Jakarta yang membuatku seperti ini? Kenapa baru
sekarang? Kenapa tidak sewaktu aku di Lyon? pertanyaan demi pertanyaan muncul di
kepalaku namun tidak kutemukan jawaban.
Mir! Kok ga dimakan sih? Ada yang kurang ya? Tuker aja.
Eh, enggak kok Na. jawabku kaget.
Aku berusaha tidak memperhatikan cowok itu. Ku teguk lagi kuah bakso mang Dana.
Tapi yang kurasakan hanya degup jantungku yang semakin keras.
Hi, Na! sapa seorang cowok yang menghampiri kami.
Gila! Semua pelajaran yang dijelaskan di kelas; tidak ada satupun yang kumengerti!
Gawat! kepanikan mulai merasukiku.
Apakah segini sulitnya pelajaran SMA di Jakarta? Atau ini berlaku di semua kota?
Agh! Pusiiing!
Otak seperti mau pecah! Les! Aku ingat! Aku harus ikut les! Tapi uangnya? Ah! Ada!
Di tante Mirna! Tapi berapa uang yang diberikan mamah? Aku akan meminta uang
tambahan untuk les dan. Handphone! Aku butuh handphone!
Aku terus berpikir untuk mencari solusi demi solusi permasalahanku.
Bel sekolah tiba-tiba berbunyi.
Tidak terasa semua mata pelajaran telah kujalani. Akhirnya! Selesai juga! gumamku.
Joanna menghampiriku, Mir! Lo langsung balik?
Gua janjian sama Imel di gerbang.
Ooo ya udah, sampe besok ya, daahh!
Daaahh!
Aku merapikan rambutku dan mengikatnya ke belakang. Aku melenggang keluar hanya
membawa dompet kecilku. Aneh juga rasanya ke sekolah tanpa bawa apa-apa. Apalagi
kalau kita tidak mengerti apa-apa, kataku dalam hati.
Perbedaan hawa AC dalam kelas dan hawa lembab di luar seperti berpindah dari satu
dunia ke dunia yang lain.
Benar juga kata orang: Mendung tak berarti hujan. Sampai sekarang tak sebutirpun
tetes hujan yang turun ke bumi.
Di luar Alvin bersender di tembok kelasku.
Hai, Mir! sapanya.
Hai,
Mau langsung pulang ya? tanyanya.
Iya,
Mo bareng ga?
Gua udah janjian sama Imel. jawabku.
Ooo
Imel dah keluar? tanya Alvin.
Enggak tau deh. jawabku.
Gua anterin ke kelasnya, yuk! ajak Alvin.
Tapi gua udah janjian di gerbang. kataku
Mungkin aja, dia blom keluar. kata Alvin.
Ngotot banget, sih! Ah, ya sudah lah! Ikutin aja. pikirku.
Ya, udah. kataku.
Kami pun berjalan menelusuri kelas-kelas yang sebagian besar sudah kosong.
Wah! Ternyata sudah pada keluar! ujar Alvin di depan kelas 11 IPS 8.
Ya udah deh, yuk buruan ke gerbang. Jangan-jangan Imel dah nunggu di sana. kataku
agak panik karena takut ditinggal Imel.
Kami pun berjalan dengan terburu-buru. Alvin seperti ingin mengajakku bicara, namun ia
mengurungkan niatnya karena melihat kepanikanku.
Lewat sini Mir! ujar Alvin, sambil menarik tanganku.
Dari berjalan cepat, kini kami berlari kecil melewati pelataran parkir yang dipenuhi siswasiswa. Pandangan-pandangan mata mereka menyiratkan gosip baru di sekolah. Sebagian
ada yang berbisik ke teman sebelahnya.
Aku tersadar, tangan Alvin yang memegang tanganku bisa berakibat fatal!
Gerbang sudah tak jauh di depan kami. Langkah kamipun melambat. Aku menarik pelan
tanganku dari genggaman Alvin.
Alvin yang merasa kerisihanku, langsung melepas genggamannya.
Imel terlihat sedang bersender di kap mobil Yaris merah-nya.
Mel! panggilku.
Haii! sambut Imel dengan lambaian tangan.
Imel merekahkan senyum karena melihatku berjalan dengan Alvin. Imel sedikit
menyenggol sikutku dan memberi tanda dengan matanya.
Apa sih? bisikku.
Eh, Vin! Lo gebet sodara gua ya? celetuk Imel.
Aku agak kaget dengan perkataan Imel, Gila! Frontal banget! pikirku.
Gua nganterin doang. Katanya Mirel nyariin lo, jawab Alvin dengan sedikit malu.
Tuh, kan bener ada di sini! terdengar suara lantang dari mobil Imel.
Mana? Emang ada ya? Lagian HP ditinggal-tinggal! ujar Imel.
Sumber suara itupun keluar dari mobil Imel sambil membawa HP Blackberry-nya.
AAAHHHH! Tidak mungkin! Si Pusat perhatianku! teriakku dalam hati.
Eh, kenalin, Mir! Cowok gua, Tristan. ujar Imel.
Cest pas vrai!4 Cowok Imel?! Si pusat perhatian, cowoknya Imel! batinku bertarung
dengan rasa tidak percayaku.
Untuk pertama kalinya aku merasakan un coup de foudre5, ternyata pacar saudaraku!
Benar-benar sial!
Aku berusaha untuk terlihat biasa. Kujabat tangannya, badanku terasa lemas. Dia begitu
mignon6, tinggi, putih dan ikal rambutnya sangat cocok dengan penampilannya.
Woi! Mir! Jangan ngiler gitu dong ngeliat cowok gua! canda Imel.
6.Cute
Bener-bener deh si Imel! Tega banget! Masak gua seharian di tinggal sendirian
bareng Alvin? gerutuku.
Alvin memang cowok yang ganteng tapi aku tidak merasakan hal yang sama ketika aku
melihat Tristan.
Aku sendiri pun bingung dengan perasaan ini. Seharusnya aku tetap fokus pada
pendidikanku. Hari pertamaku saja sudah membuktikan bahwa aku tidak dapat mengikuti
pelajaran-pelajaran disini.
Tapi, siapa yang dapat menduga kalau rasa ini muncul begitu saja? Siapa yang bisa
menahan atau menghindarinya?
Its really a pain in the ass, but beautiful in the same time.
Mungkin aku terlalu berlebihan. Walaupun aku sangat menyukai Tristan, belum tentu
berlaku sebaliknya. Maybe hes not the right guy for me.
Mirel! Lupakan saja Tristan! Dia punya Imel! Lo harus fokus sama sekolah! kataku
pada diriku sendiri.
Imel hanya asyik bercanda dengan Tristan tanpa menghiraukanku. Lain kali aku lebih
baik pulang sendiri, naik angkot! pikirku.
Namun aku merasa sesekali Tristan memperhatikanku dari spion tengah. Atau itu hanya
harapanku saja?
Ku
berkali-kali
membuka-pasang
karet
kuncirku.
Merapikan
rambutku,
untuk
menghilangkan rasa bosan di dalam mobil. Tapi tidak membantu sama sekali.
Mel? Emang selalu macet begini ya? tanyaku.
Iya. Emang begini. Biasa deh! Rebutan sama orang pulang kantor jawabnya.
Bosen ya? tanya Tristan.
Hah? Enggak kok. jawabku berbohong.
Emang di sana gak ada macet? tanya Imel.
Gak kaya gini sih,
Enak ya, ga ada macet, ujar Tristan.
Ada juga sih, tapi kalo yang kayak gini sih kayaknya cuma di Paris deh, kataku.
Gimana Alvin? celetuk Imel.
Gimana apanya sih?
Cieee olok Imel.
Apa sih, Imel! Norak banget! Bikin malu aja di depan Tristan! gerutuku dalam hati.
Aku tidak ingin menanggapi olokan Imel, semakin aku menanggapinya, akan semakin
terpuruk posisiku di depan Tristan.
Si Alvin kalo gak salah pernah menang lomba model gitu, Mir, kata Imel.
Iya! Iya! Bener! Apa ya, pokoknya pernah di TV deh acaranya, tambah Tristan.
Oya? jawabku hambar.
Imel mulai sadar akan ketidak tertarikanku dengan Alvin,emang lo ga suka ya sama
Alvin?
Enggak ah. Baru hari pertama gua sekolah, belum mikirin yang gitu-gitu.
Ah, lo mah serius banget!
Udah, jangan dipaksa gitu. Kasian anak baru! canda Tristan.
Disusul dengan tawa Imel dan Tristan. Aku hanya berusaha tertawa dan tidak terlihat
aneh di depan mereka.
Mobil kami memasuki daerah perumahan yang tidak ku kenal. Kawasan yang sedikit
padat dan diramaikan dengan Bajaj.
Minum soda dingin di saat haus memang nikmat. Sepertinya aku membutuhkan waktu lebih
lama dari yang aku perkirakan untuk beradaptasi lagi dengan udara Jakarta saat ini.
7.So cute!
Aku berusaha mencari tombol on TV LCD yang berada di ruang keluarga. Tiba-tiba
suara tante Mirna mengagetkanku.
Bagaimana sekolahnya Mir? tanya tante Mirna.
Eh Tante! Eeng masih bingung. Belum terbiasa Tante, jawabku.
Papah kamu dah transfer uang. Kalo kamu mau belanja peralatan sekolah buat besok,
tante dah ambil uang kamu dua juta. kata tante Mirna.
Dua juta? Banyak banget cuma untuk peralatan sekolah? pikirku.
Iya Tante, terima kasih. ucapku.
Kamu mau pergi dengan supir atau sama Imel? Terserah,
Kalo sama Imel, Mirel musti tanya dulu. Takutnya capek.
Ah! Dia mah kalo urusan ke mal ga pernah capek! ujar tante Mirna.
Aku tertawa mendengar komentar tante Mirna. Sepertinya tante Mirna agak kesal
dengan kelakuan Imel. Yang kudengar dari mulut tante Mirna hanya pernyataanpernyataan sinis tentang Imel.
Sama supir aja deh. kataku.
Ya sudah. Terserah. Tapi hati-hati ya! Uangnya jangan sampai hilang! kata tante Mirna
seraya menyerahkan uang kepadaku.
Dua juta. Aku tidak pernah memegang uang sebanyak itu. Dan aku tidak tahu apa saja
yang dapat aku beli dengan uang sebanyak itu. Sedikitkah? Banyakkah? Ternyata papah
sangat baik, mengirimkanku uang sebanyak ini kepadaku. Atau lebih banyak lagi?
Maaf Tante. Kalo boleh tahu, Papah kirim uang berapa ya? tanyaku.
Ooo pokoknya cukup kok buat keperluan kamu sekolah selama sebulan,
Cukup untuk sebulan? Kira-kira berapa ya? Kenapa sih, tante Mirna enggak kasih
tahu? tanyaku dalam hati.
Kamu mau berangkat sekarang? tanya tante Mirna.
Iya, tante. Keburu kemaleman. jawabku.
Hati-hati ya!
Ku jawab dengan anggukan dan ku melangkah cepat menaiki anak tangga menuju
kamar tamu untuk mengganti baju seragam Imel yang masih kukenakan.
Seharusnya sebelum berangkat, gua tanya ke Imel, buku-buku apa yang dibeli. Buku
tulis seperti apa yang dipakai? batinku sambil memandangi peralatan tulis yang ada
dihadapanku.
Begitu banyak jenis buku tulis membuatku bingung. Seandainya aku punya HP, mungkin
akan lebih mudah buatku.
Kira-kira si Imel dah bangun belum ya? pikirku.
Aku mengitari lemari-lemari alat tulis dan belum juga dapat membuatku menentukan
pilihan.
Bingung ya? suara dari belakang mengagetkanku dan tidak cukup sampai di situ.
Setelah ku lihat siapa yang menyapaku, keterkejutanku bertambah.
Tristan berada di depan mataku. Sungguh aneh!
Eh, Tristan! Sampe kaget. ujarku.
Sama Imel? tanyanya.
Enggak, sama supir. jawabku.
Emang Imel kemana? tanyanya.
Tidur, jawabku singkat.
Tristan hanya tertawa kecil sambil sedikit menggelangkan kepalanya.
Iya, gua bingung, buku tulis yang kayak gimana sih yang dipake? tanyaku.
Yang mana aja! Yang penting bisa untuk nulis,
Ooo kirain ada jenis khusus!
Tristan kembali tertawa.
Kenapa sih kok ketawa terus? tanyaku dengan sedikit perasaan malu.
Enggak, gaya ngomong lo, lucu banget. jawabnya.
Lucu? Lucu dalam arti baik atau buruk? Kayaknya cara ngomong gua biasa aja
deh.pikirku.
Aku kembali memilih-milih buku tulis yang beraneka warna dan bentuk. Tristan tetap
berdiri di dekatku sambil memencet-mencet HP-nya.
Kosentrasiku sedikit terganggu dengan keberadaan Tristan. Aku merapikan rambutku
yang kurasa sedikit berantakan.
Loh, kok gua jadi grogi gini? Aduh! Gawat! Jangan sampe ketahuan! batinku.
Nah, iya. Yang itu aja. Bagus kok. Coba liat kertasnya. ujar Tristan.
Hah? konsentrasiku masih belum pulih benar.
8.Apayangterjadipadaku?
Kok bisa si Imel tahu gua suka sama Tristan! Merde! Mati gua! segiru obvious-nya
kah? batinku.
Udah tahu kalo gua nemenin lo di sini. jelas Tristan.
Diam-diam aku menarik napas panjang. Bodohnya diriku bisa jatuh cinta dengan cowok
saudaraku. Tapi siapa yang bisa menebak kapan perasaan itu muncul. Unfortunately, aku
jatuh cinta di waktu dan cowok yang tidak tepat.
Oh, gitu? jawabku.
Jadi gimana? mo makan ga?
Enggak deh. Ga laper juga.
Kalo enggak, minum aja. gimana?
Nih orang persistent juga ya. Tapi ga ada salahnya juga minum sebentar
Gimana? Mo ke Coffee Bean ga? Di sana ada Coffee Bean kan? tanya Tristan.
Coffee Bean? Kayaknya pernah denger deh! Tapi kayak gimana ya? di majalah
pernah lihat logonya. Tapi sampai sekarang belum pernah ngerasain minumannya.
Masak gua bilang enggak tahu?! Gengsi!
Ada! Ada! jawabku tegas.
Mau ga?
Ya, udah. Yuk.
Aku mengikuti langkah pelan Tristan. Tubuh tegapnya sesekali berputar ke arahku.
Senyuman manis terlontar dari wajahnya.
Ku atur langkahku agar aku tidak berdiri sejajar dengannya. Aku berada selangkah di
belakangnya. berpura-pura melihat-lihat etalase sekeliling seraya memperlambat jalanku
agar kegugupanku tidak terlihat Tristan sekaligus dapat memperhatikan Tristan dari
belakang.
Kenapa sih jalan di belakang terus? tanya Tristan.
Enggak! Lagi liat-liat. jawabku beralasan.
Tristan menghentikan langkahnya. Lagi liat yang mana?
Spontan aku menunjuk ke arah kiriku, sebuah toko karpet Pakistan!
Tristan memperhatikan toko karpet dengan tampang sedikit bingung. Kemudian dia
melihatku dengan wajah Karpet? Yang bener aja lo!.
Aku tidak bisa berkata-kata lagi, hanya senyum getir yang menghiasi wajah mencoba
menutupi rasa malu.
Ooo lo suka karpet ya? tanya Tristan dengan wajah serius.
Man! What a humiliating moment ever! Aku mencoba untuk tidak panik, Iya, bagus ya
karpetnya. jawabku sekenanya.
Aku tidak berani menatap wajah tampan Tristan. Rasa maluku sepertinya sudah di ubunubun.
Iya, bagus. sahut Tristan.
Mau ditaruh dimana muka ini? Dari awal aku bertemu dia, aku seperti bukan diriku. Aku
tidak ingat lagi diriku yang dulu. Tubuh ini seperti tidak sejalan dengan pikiranku.
Di hadapannya, aku seperti ingin menjadi sosok lain. Sosok yang ingin disukai dan dicintai
Tristan.
Tapi akal ini melarangku. Akal sehat yang mengingatkanku akan kewajibanku. Yang
memberiku sinyal akan unpleasant things yang mungkin aku alami jika aku mengikuti
keinginan tubuhku.
Mo lihat ke dalam? ajak Tristan.
Ah, enggak! Yuk! Udah yuk! Aku berjalan cepat meninggalkan Tristan yang masih
bingung dengan gelagatku.
Tristan menyusulku dengan langkah cepat. Aku berhenti di depan escalator, Tris, kita ke
atas apa ke bawah?
Ke atas.
Aku kembali melangkah cepat menaiki anak tangga satu persatu. Tristan kembali
terbengong-bengong melihatku berjalan di atas tangga jalan.
Semakin cepat sampai, semakin kecil kemungkinanku melakukan hal-hal aneh!
pikirku.
Mir! Mir! panggil Tristan sambil mengejarku.
Jalannya cepet-cepet banget! ujarnya.
Hah? Iya ya? jawabku dengan wajah sok bingung.
Pelan-pelan aja. Buru-buru ya?
Enggak kok.
Emang, lo kalo jalan secepet ini ya?
Hah? Gak tau deh. Kayaknya biasa aja. jawabku berpura-pura tidak mengerti.
Aku menarik napas panjang kemudianku usap wajah agar aku dapat berpikir dengan
jernih. Aku harus me reset ulang semua.
This is not good! Gua harus menanamkan pada diri bahwa Tristan hanya teman dan
tidak ada intention untuk mendekatinya.
Ku tarik lagi napas untuk menutup resolusi singkatku. Sori, sori. Ga maksud ninggalin lo
kok.
Kecil-kecil langkahnya besar. canda Tristan.
Enak aja! Daripada lo, gede-gede langkahnya kecil kayak pengantin! balasku.
Yes! Berhasil! Aku tidak lagi grogi! keep it this way and everything will be alright!
kataku dalam hati.
Mo mesen apa? tanya Tristan.
Mataku menjelajah daftar minuman yang terpampang di atas. Semua nama-nama yang
tidak ku kenal tapi terlihat sangat nikmat.
Namun aku tidak dapat memutuskan, semua nama begitu asing. Tapi aku tidak boleh
terlihat norak! Bukan salahku kalau tidak ada Coffee Bean di kotaku dulu.
Sama aja deh sama lo. jawabku.
Espresso Machiato aja mba dua. pinta Tristan ke pelayan Coffee Bean.
Aku mengeluarkan dompetku namun Tristan dengan sigap menyerahkan lembaran
seratus ribu ke pelayan.
Eh, kok lo bayarin? Ga usah. Gua ada kok. ujarku.
Ga papa. sekali-kali nraktir. Lain kali lo yang bayarin. canda Tristan.
Iya, iya. Thanks ya. ucapku walaupun aku agak sungkan,
Tak berapa terdengar panggilan nama Tristan. Dua Espresso Machiato pun telah tersedia.
Tristan mengambil dua gelas itu dan duduk di sofa caf.
Gimana? tanya Tristan.
Gimana apanya?
Ya gimana menurut lo Jakarta sekarang?
Lebih rame. jawabku singkat.
Udah? gitu doang?
Hmmm lebih banyak mal.
Kalo di sana gimana?
Eh! Ga usah, ga usah! Udah kok! Yang ini aja. Udah ga panas kok.
Beneer?
Bener!
Air mineral aja ya?
Iih, ga usah. cegahku sambil menarik ujung kaos Tristan yang berjalan menuju kasir.
Langkah Tristan pun terhenti dan ia kembali ke sofanya. Tristan meminum espressonya
seraya tertawa kecil. Makanya, kalo mo minum air panas, ditiup dulu. candanya.
Aku hanya tertunduk kemudian dan berusaha menahan rasa geli mengingat wajah
Tristan saat tersembur dan membayangkan betapa jeleknya tampangku tadi.
Tristan mengambil gelasku kemudian melongok ke dalamnya. Masih panas nih. Jangan
diminum dulu. Tapi sekarang tinggal setengah. Setengahnya lagi di muka gua.
Tawaku tak dapat lagi ku tahan. Rasa malu dan sungkanku pun hilang. Tristan berhasil
membuatku comfortable dalam situasi yang imposible.
Tidak ada yang kurang dalam diri Tristan, hes the guy! Cute, lucu, baik Aku belum
mengenalnya lama tapi aku merasa telah bersahabat dengannya for a long time.
Mungkin malam ini adalah saat yang paling memalukan yang pernah kualami tetapi
malam ini pasti menjadi saat yang paling berkesan seumur hidupku.
Aku menjatuhkan tubuhku di kasur. Pikiranku masih tertinggal di PIM bersama Tristan.
Malam yang ku pikir akan terlewat begitu saja. Ternyata menjadi malam yang sangat
berkesan.
Beruntung juga si Imel punya pacar kayak Tristan. pikirku.
Ku tumpahkan buku-buku dari dalam plastik. Ku tata buku di atas meja nakas.
Seandainya gua udah di rumah sendiri. dambaku.
Suara ketokan membuatku terbangun dari tempat tidur. Sesaat kemudian muncul tante
Mirna dengan telpon di tangannya.
Mir, ini telpon dari papahmu. ujarnya.
Terima kasih Tante.
Ku tempelkan wireless itu di kupingku. Terdengar suara berat papah
membuat diriku merasa aman.
Gimana sekolahnya? tanya Papah
Enak kok. Teman Mirel baik-baik.
yang selalu
Udah berteman?
Ya iya dong Pah! Masa diem aja.
Hahaha Papah senang dengernya. Kemungkinan kita pulang lebih cepat, soalnya
papah dapet tanggal sidang lebih cepat satu bulan.
Hah? Bener Pah? Yeeesss! teriakku.
Papah juga sudah transfer uang buat beli Handphone, 3 jutaan, besok kamu tanya
sama Tante Mirel ya.
Iya Pah. Makasih Pah.
Nih, mamah mo ngomong.
Kemudian hening sesaat.
Halo, Mirel.
Iya Mah.
Kamu di situ jangan lupa bantu-bantu tante Mirel. Jangan diem aja.
Aduh, mamah gak tau sih. Sekarang tante Mirel tuh kaya banget. Ga ada yang mustu
dikerjain. Semuanya dah ada yang handle.
Iya. Tapi kamu jangan malu-maluin.
Aduuhh Mamah. Ya iyalah! Masa Mirel tega mempertaruhkan nama keluarga.
Jangan pacaran juga.
Hah? Kok mamah bisa tahu sih kalo gua lagi naksir cowok? batinku.
Iiihh Mamah apaan sih?!
Iya, belajar aja dulu yang bener. Pacaran nanti aja kalo udah kerja. tambah mamah.
Di
belakang
suara
mamah,
terdengar
papah
memintanya
untuk
menyudahi
pembicaraan.
Ya udah ya. Hati-hati. Pinter-pinter jaga diri.
Iya Mah. Makasih Mah. ucapku.
Daahh.
Daaah.
Aku keluar kamar mencari tante Mirna untuk mengembalikan wireless dan berterima
kasih. Tapi aku tidak berhasil menemukannya di atas.
Kasih ke Imel aja deh. ujarku pelan.
Pintu kamar Imel berada di depanku, namun ketika aku akan membuka pintu tersebut,
terdengar suara keras dari dalam kamar.
Aku mengurungkan niat untuk masuk dan mengembalikan wireless. Tapi aku juga
penasaran apa yang sedang Imel lakukan.
Tubuhku mematung di depan pintu kamar Imel. Aku mencondongkan sedikit tubuhku
agar dapat mendengar lebih jelas.
Dari dalam terdengar jelas pembicaraan Imel dengan seseorang di telpon. Aku
mengambil satu langkah lebih dekat.
Suara terdengar lebih jelas lagi. Imel berbicara dengan Tristan. Sepertinya bukan
percakapan yang baik-baik. Bisa terdengar jelas nada suara Imel yang meninggi.
Aku terbenam dalam percakapan mereka. Berkali-kali Imel mengatakan sayang kepada
Tristan. Tapi satu yang membuatku terhenyak. Ternyata mereka sudah tidak jadian lagi.
Kata sahabat terlontar dari mulut Imel. Namun sepertinya Imel tidak rela menjadi sahabat
Tristan, ia lebih memilih menjadi pacarnya.
Kenapa Imel mengatakan di depanku bahwa Tristan adalah pacarnya? pikirku.
Aku kembali berusaha mendengarkan kelanjutan pembicaraan mereka. Tetapi tidak ada
lagi suara yang muncul dari dalam kamar.
Dengan sedikit keraguan, aku mengetuk pintu kamar Imel dengan pelan. Satu ketukan,
dua ketukan, tidak dijawab.
Mungkin Imel tidak ingin diganggu kataku dalam hati.
Aku melangkah menuju kamarku kembali. Belum sempat aku membuka pintu, terdengar
panggilan pelan dari Imel.
Wajah Imel terlihat sangat sedih bercampur kesal. Aku khawatir, jangan-jangan Imel kesal
gara-gara aku ke Coffee Bean dengan Tristan. Seharusnya aku menolak ajakan Tristan.
Kenapa Mel? tanyaku sedikit ragu.
Lo mau nemenin gua sebentar ga? tanya Imel.
Iya, ga papa, kenapa emang Mel.
Enggak.
Imel kemudian masuk ke dalam kamarnya kemudian terduduk lesu di atas tempat
tidurnya yang kini sudah ber bed cover warna biru muda.
aku mengikutinya dari belakang dan menutup pintu kamar dengan perlahan. Jantungku
berdetak kencang. Aku takut kesedihan Imel akibat ulahku sendiri. Bagaimana aku meminta
maaf kepada Imel. Baru dua hari aku menumpang di rumahnya, sudah berulah. Mungkin
jika aku ribut dengan Imel, bukan tidak mungkin Tante Mirna mengusirku.
9.HubunganTanpaStatus
10.Mygod!
Pagi yang cerah. Kali ini aku jauh lebih siap dari kemarin. Dengan buku tulis, alat-alat tulis
dan tas pinjaman dari Imel. Harus ingat-ingat, beli HP dan tas sekolah.
Wajah Imel tidak menunjukkan bekas-bekas kesedihan. Wajahnya telah dipenuhi
keceriaan. Mungkin kalau aku di posisi Imel. Minimal seminggu aku akan uring-uringan.
Udah? tanya Imel.
Udah kok. jawabku sambil berdiri dari kursi makan.
Mah, berangkat ya! teriak Imel kepada mamahnya yang ada di dapur.
Eh tunggu! cegah tante Mirna.
Ini uang jajan Mirel. ujar tante Mirna sambil menyerahkan selembar uang seratus ribuan.
Makasih tante. ucapku.
Uang kamu sebagian tante simpen. Kata mamah kamu, disisihin buat beli HP. Terus tante
bilang mendingan beli BB aja. Jatohnya lebih irit.
Ooo.. gitu. Terserah Tante. Mirel ga ngerti. jawabku.
Nanti belinya pake uang tante aja dulu. Kalo pake kartu kredit, diskonnya gede.
Iya tante.
Mah, tambahin uang jajan Imel dong. Yang di ATM abis.
AH! Kamu gimana sih! Itu kan udah banyak! Kamu buat apa aja?
Cuman nonton kok!
Nonton berapa puluh kali? Gak sampe seminggu udah abis aja!
Aahh Mamah pelit! Terus gimana dong? Imel gak punya uang.
Ya udah nih. gerutu tante Mirna sambil mengambil seratus ribuan dari dompetnya.
Yes! Makasih Mah. ucap Imel sambil ngeluyur meninggalkan tante Mirna.
Aku pun berlari kecil menusul Imel. Seratus ribu? banyak juga ya. Seinget gue, dulu
jajan gue seminggu seratus ribu.
Kami berjalan keluar rumah, Imel asyik memencet-mencet BB-nya. Sepertinya Imel punya
mata di atas kepalanya. Dengan mudah ia berjalan menuju mobilnya yang sudah
mengkilap dicuci oleh supir.
Mesin Yaris Imel menderu meninggalkan garasi rumah terbesar yang pernah aku lihat.
Mungkin kalau dijejer cukup tiga sampai empat mobil.
Imel mengeraskan volume tape mobilnya yang sedang memutar lagu Im Yours, Jason
Mraz. Aku masih bingung. Sebenarnya Imel jatuh cinta dengan Tristan atau hanya
keinginannya untuk memiliki Tristan. Sepertinya Imel tidak menunjukkan sedang jatuh cinta.
Penolakan Tristan kepadanya mungkin sudah berlangsung cukup lama dan pasti ada
sebabnya. Siapa menyakiti siapa? Jadi penasaran!
Aku agak khawatir dengan cara mengemudi Imel, belok tanpa sign, ngerem mendadak.
Klakson-klakson kekesalan bersahut-sahutan di belakang kami.
Kupegang erat-erat seat beltku dan terkadang memejamkan mata dengan rasa ngilu
takut celaka.
Kenapa lo Mir? merem-merem gitu? tanya Imel sambil melihat ke arahku tanpa
memerhatikan jalan.
Enggak, enggak. Liat depan aja!
Emang nyetir gua separah itu apa? tanya Imel.
Enggak kok, gua cuma ga biasa duduk di depan. jawabku beralasan.
Kalo di Jakarta nyetir musti gini. Kalo enggak, gak nyampe-nyampe.
Kalo semua orang mikir kaya Imel, ya pasti semrawut banget Jakarta. Tapi aku lebih
memilih di Jakarta daripada di Lyon. Aku lebih suka keramaian walaupun itu berarti
menempuh kemacetan dan udara panas.
Di Lyon menurutku terlalu sepi dan terlalu teratur. Tidak seperti di sini, baru beberapa hari
di Jakarta aku sudah mengalami rentetan peristiwa yang memacu adrenalin.
Mir, lo gua turunin deket sekolah ya?
Maksudnya?
Gua ga masuk dulu.
Loh, emang lo mau kemana?
Mo ke rumah temen gua. Males masuk ah!
Tapi kalo nyokap lo nanya gimana?
Mo nanya gimana? Kan lo ga punya HP.
O iya bener juga! Bener-bener nih anak. Berubah banget dibanding dulu. Apa dulu
bandelnya gak keliatan?pikirku.
Enggak, maksud gua, kalo nanti pas pulang nanya gimana?
Siang gua udah di sekolah lagi, emang lo mo pulang sama siapa?
O iya ujarku sadar.
Mobil mendekati gerbang sekolah yang sudah dipenuhi mobil murid-murid yang baru
berdatangan. Berita krisis dunia sepertinya tidak berpengaruh di sini. Sepertinya tidak ada
satupun murid yang menggunakan angkutan umum, minimal menggunakan sepeda motor
yang harganyapun hampir seharga mobil termurah di pasaran.
Mir, nanti siang lo ke tempat parkir gua yang kemaren aja. Biasanya udah ada Tristan kok
di situ. ujar Imel.
Hah! Tristan? Aku bersama Tristan? Oh, non!Ce nest pas une bonne idee! 11Ini sama saja
Imel menyodorkan Tristan kepadaku. Bagaimana aku menolaknya? Sedangkan aku tidak
berani pulang sendiri. Apa yang akan aku bicarakan dengan Tristan? Bagaimana jika aku
mengatakan sesuatu yang seharusnya aku tidak katakan? Bagaimana jika rasa sukaku
kepadanya tumbuh menjadi rasa cinta? Bagaimana dengan Imel jika itu terjadi? Quest-ce
que je vais dire elle?12Non, non! je prefer de lattendre seule13.
Eh, Mel. Gua tunggu lo di kantin aja ya? Males gua ngobrol sendirian sama cowokcowok.
Enggak apa-apa kok? Emang lo takut apa sih?Udah ya! jangan lupa! pulang sekolah di
tempat kemaren! teriak Imel sambil berlalu dengan Yarisnya.
11.Oh,tidak!Itubukanideyangbagus!
12.ApayangakansayakatakankeImel?
13.Tidak,tidak!MendinganguatungguImelsendirian.
14.Gila!Guagakngertisamasekali!
Aku memperhatikan Joanna yang dekat konsentrasi penuh memerhatikan guru yang
menjelaskan pelajaran akuntansi di papan whiteboard.
Ingatanku kembali pada wajah Joanna yang sangat jutek ketika bertemu dengan Imel.
Ada apa antara Joanna dan Imel? Kenapa dia kelihatan begitu membenci Imel? Sepertinya
Imel banyak menyembunyikan cerita-cerita yang membuatku sangat penasaran.
Suara bel seperti hawa sejuk yang masuk ke gendang telingaku. Sampai saat ini aku
cukup menyukai sekolah ini. Tidak ada satu hal pun yang aku deteste
15
angkatan-angkatan?
Imel suruh ke kantin aja. usul Nana.
Gua ga ada HP.
Nih. ujar Nana sambil memberikan BB Bold-nya kepadaku.
Tapi gua ga ada nomornya. Lupa nyatet.
Huh! Gimana sih ini orang Perancis. canda Nana.
Yaahh gua musti ke sana sendirian dong?
Iya. Sori ya Mir, tapi gua males kalo ke sana. Udah jauh, tempatnya ga enak, terus gua
ga terlalu akrab sama mereka.
Aku menghela napas. Gawat, gua musti gimana di depan Tristan? Kalo sebelah dia,
kayaknya jantung dah mau copot! batinku.
Ya udah, ga papa kok. Daahh.
15.Benci
Daaahh.
Aku berjalan menuju parkiran sudah terlihat jelas dihadapanku. Di situ sudah menunggu
Alvin dan Tristan bersandar di sebuah mobil Vios hitam.
Kuhentikan langkahku, kemudian berbalik arah kemudian menyenderkan tubuhku di balik
tembok.
Oh lala! Mon coeur!16 Deg-degan abis! batinku
ku condongkan kepalaku untuk mengintip parkiran. Terlihat jelas Tristan yang sedang
tersenyum manis sambil bercerita seru dengan Alvin.
Tunggu di sini aja deh! Salah-salah mereka bisa tahu kalo gua suka banget sama
Tristan! kataku dalam hati.
Beberapa murid melewatiku dan menyapaku. sebagian menanyakan apa yang aku
lakukan di situ. Tapi aku hanya menjawab dengan senyum.
Sudah hampir setengah jam aku berdiri di sini. Kaki rasanya pegal juga. Aku kembali
mengintip untuk yang ke seribu kali. Imel belum juga muncul, Tristan dan Alvin pun
menghilang.
Gawat! kataku pelan.
Aku keluar dari persembunyianku berusaha mencari mereka. Mobil Vios tempat Tristan
dan Alvin bersender masih terparkir rapih.
Mampus! Gua pulang sama siapa?gumamku.
Sama gua! suara berat menyahut dari belakang.
Suara berat itu mengagetkanku dan dengan cepat ku balikkan badan. Betapa lemas
kaki ini melihat Tristan telah berdiri selangkah dariku.
Ngapain di sini? Kita dah nungguin lo dari tadi.
Ooo eh sori gua kirain janjiannya di sini. jawabku terbata.
Tristan hanya merespon dengan senyum karismatiknya dan membuatku menjadi
bertambah grogi. Yang bisa kulakukan hanya berdiri dan menggenggam erat taskuyang
kupinjam dari Imel
Emmm emang Imel udah datang? basa-basiku.
Enggak, tapi nelpon gua, katanya ketemuan di citos aja.
16.ohlala!Jantungku!
Ooogitu. aku kembali terdiam. Tidak tahu harus bagaimana. Pandangan Tristan
kepadaku, membuatku salah tingkah. Setelah mengetahui status Tristan yang sekarang
menjomblodan bukan cowok Imelmembuatku semakin deg-degan.
Tristan meraih lenganku dan menarik perlahan menuju area parkir. Genggaman
lengannya membuatku tak berdaya.
Tubuhku hanya mengikuti kemana Tristan membawaku. Pandanganku tetap tertuju ke
kepalaTristan yang membelakangiku.
Aku tidak mengerti kenapa semakin aku berusaha menghindari Tristan, perasaanku
kepadanya semakin kuat.
Perasaan yang membuatku senang, deg-degan dan cemas di saat yang sama.
Perasaan yang ingin kurasakan setiap hari, setiap saat.
Kehidupanku di Lyon yang tadinya ku sukai karena begitu nyaman dan teratur, telah
tergantikan dengan kehidupan yang unpredictable dan anehnya I like it a lot.
Aku juga tidak mengerti apakah ini karena memang aku cinta Jakarta atau Tristan. Or
both.
Tristan memang cowok yang sangat menarik. Tadinya kupikir Tristan adalah seorang yang
snob, sok cool atau sok keren, seperti kebanyakan cowok-cowok yang menyadari bahwa
dirinya di atas rata-rata .
Cowok sok cool berlaku di mana saja, di belahan dunia manapun. Di Lyon pun aku
mempunyai teman yang merasa dirinya paling cakep sedunia, memang sih, tampangnya
sangat mirip dengan Tom Cruise, tapi caranya menunjukkan bahwa dirinya mirip Tom Cruise
malah membuatku malas untuk dekat dengannya.
Berbeda dengan Tristan, walaupun ia tidak mirip Tom Cruise atau Tom welling still, hes
cute. Dan yang membuatnya seperti magnet berjalan adalah pembawaannya yang
santai , sangat baik dan tidak pernah memberikan kesan bahwa dirinya termasuk cowok
yang wow.
j
Sinar matahari yang terik menembus atap Cilandak Town Square menerpa lantai beton
berwarna abu-abu lusuh. Kami berdiri di atas tangga jalan menuju lantai atas yang dipenuhi
restoran-restoran yang beberapa terlihat sangat asing olehku.
Tristan dan Alvin berjalan perlahan di depanku. Sesekali Tristan menengok ke belakang
seperti memeriksa apakah aku masih ada atau tidak. Aku hanya melempar senyum manis
saat ia menatapku. Ku tatapi kaca-kaca restoran yang memantulkan refleksi wajahku. Ku
rapikan tatanan rambutku, kuberpura-pura memperhatikan jalan saat Tristan menengok ke
arahku dan kembali bercermin saat ia tidak memperhatikanku.
Kok, kayaknya tidak pernah rapih ya? Rambut ini benar-benar harus dipotong! Mungkin
aku akan memotong sangat pendek atau hanya dirapikan saja. Tapi bagaimana menurut
Tristan? Apakah dia lebih suka pendek atau panjang? Jangan sampai aku salah potong.
Aku bisa tanya ke Imel potongan rambut yang eperti apa yang Tristan sukaitunggu dulu,
itu sama saja bunuh diri. Jelas-jelas Imel masih tergila-gila dengan Tristan. Masa, aku musti
nanya ke Tristan langsung, Tris, lo suka gaya rambut apa? that would be so weird!
Untuk sementara, harus memaksimalkan yang sudah kumiliki; rambut panjang yang
sangat sulit untuk diatur.
Kami memasuki restoran chopstik yang di dalamnya sudah ada Imel yang asik
menyatapmie dengan mangkok besar.
Haaiii Miiirr!!! Gimana sekolah? Enak?
Aku speechless, begitu santainya Imel setelah membolos, tanpa beban sedikitpun.
Sepertinya ia sering cabud seperti ini. Tapi melihat Tristan dan Alvin, mereka juga santaisantai saja. Apakah hanya aku saja yang terlalu serius menanggapi hal ini?
Ya, mungkin aku terlalu serius menjalani masa sekolahku, tapi bagaimana tidak serius,
mencerna istilah-istilah dalam pelajaran dan aku sama sekali tidak mengerti sistem penilaian
di sini. Mungkin sedikit-sedikit aku ingat semasa aku SMP, tapi sekarang sama sekali berbeda.
Tris, kamu mo makan apa? tanya Imel.
Apa ya? Vin lo mo makan ga? ujar Tristan.
Ya iyalah, dari tadi udah laper banget gua. jawab Alvin spontan dengan tampangnya
yang super laper sambil memegang perutnya seakan belum makan sejak kemarin.
Alvin langsung menyabet buku menu yang ada di atas meja.
Ngapain aja lo di sekolah? tanya Imel.
Ya belajar lah. Jawabku.
Lo ke kiri aja Mir, terus aja, nanti juga ketemu. jelas Imel.
Ok.
Saking cerahnya hari, Citos tidak memerlukan sedikitpun cahaya pembantu. AC-AC
besar yang menyemburkan hawa dingin seperti tidak berfungsi. Hawa hangat matahari
tetap terasa.
Kenapa aku dulu tidak pernah ke sini? Apa yang mamah dan aku kerjakan dulu sampai
aku tidak pernah menginjakkan kaki di Citos.
Di dalam toiletsudah ada beberapa anak SMA yang sedang merapikan rambutnya.
Sepertinya wajah-wajah yang sangat familiar. Mungkin dari sekolah yang sama denganku.
Setelah melihatku, mereka kasak-kusuk membisikkan sesuatu yang sepertinya menyangkut
diriku. Kalau mereka mengenalku, berarti benar, mereka memang berasal dari SMA yang
sama.
lo Mirel bukan? salah satu dari mereka bertanya kepadaku.
Iya bener. Jawabku.
Lo tadi jalan sama Tristan ya? tanyanya.
Hah? Eeeng iya.
Mereka
kembali
kasuk-kusuk
dengan
suara
kecil
yang
sangat
mengganggu
keingintahuanku.
Eh iya, kita belom kenal ya? Nama gua Friska. kata salah sstu dari mereka yang terlihat
sedikit jutek.
Mirel. Sambutku seraya bersalaman.
Dinda
Mirel
Joyce
Mirel
Ku salami mereka satu per satu. Wajah mereka memberikan kesan kurang bersahabat.
Tidak tahu kenapa, mungkin hanya perasaanku saja.
Lo di kelas berapa? tanya Friska.
IPS 8
Ooo...
Sori, gua musti buru-buru, sampe ketemu besok ya. kataku berusaha meninggalkan
mereka di toilete.
Mangkok Imel sudah bersih, yang tersisa hanya sedikit kuah mie dan beberapa potongan
daging. Sedangkan pesanan Tristan dan Alvin baru saja sampai.
Kok lama banget sih lo? Nyasar? tanya Imel.
Enggak kok. Jawabku singkat. Aku tidak ingin membicarakan masalah Friska di depan
Tristan.
Lo mo mesen apa? tanya Imel.
Ehm, minum aja deh. Napsu makanku hilang setelah kejadian di toilet tadi. Aku tidak
menyangka akan jadi sejauh ini. Padahal aku belum berbuat apa-apa.
Bagaimana seandainya aku memang berniat mendekati Tristan atau sebaliknya.
Bagaimana jika aku dan Tristan jadian, pasti masalah yang aku dapati akan bertambah
banyak dan rumit. Sedangkan aku anak baru di sini. Yang kubutuhkan saat ini adalah teman
bukan saingan.
Yakin lo? Udah makan aja. Gua yang traktir. ujar Imel.
Bener nih Mel? sahut Alvin.
Bukan elo! Mirel! balas Imel.
Sudah beberapa hari minggu aku kembali ke Jakarta. Tout va bien19. Memang awalnya
butuh adjustement yang cukup membuat kepalaku pusing. Tapi sekarang aku sudah bisa
mengikuti pelajaran di sekolah, ritme kehidupan Jakarta dan pertemanan di sekolah.
Semua kebutuhan ku telah terpenuhi, mulai dari baju-baju, buku-buku sampai HP yang
tidak pernah aku tinggalkan sedikitpun.
18.Thatsall
19.Semuaberjalanbaik
Mamah dan papah selalu menelponku memberiku semangat ketika aku merasa putus
asa menngikuti pelajaran, menghillangkan rasa kesendirianku, membuatku merasa aman.
Seharusnya kita memberikan penghargaan bagi pencipta HP terutama yang membuatnya
menjadi sangat murah.
Kemarin ini aku ke Mal Ambasador untuk membeli HP. Cukup membingungkan dengan
berbagai macam tipe. Tapi aku tetap fokus pada satu; harga! Secara, dana yang kupunya
sangat terbatas. Dan aku juga mencari GSM yang ga aneh-aneh. Dan pastinya yang
tarifnya murah dan kualitasnya baik. Gila, semua iklannya bilang murah dengan berbagai
macam cara. Jadi bingung abis, agh. Tapi setelah lama mempertimbangkan dan masukkan
dari beberapa pemilik toko HP. Aku memilih memakai GSM yang baik, AXIS. Kata mereka
hitungan pulsanya ga ngebohong, makenya ga ribet terus murah banget pulsanya.
Well, sekarang aku punya HP. Aku mulai memasukkan nomor-nomor teman-teman baruku
didalamnya. Lumayan juga menghabiskan waktu memencet-mencet HP baru. Seru.
Aku berhenti di nama Tristan. Hmmmshortcut call ku yang pertama adalah Imel, kedua
tante Mirna, ketiga rumah Imel, keempat Tristan ga ya?
Ternyata menemukan teman yang cocok, sangat sulit, apalagi jika semua orang mulai
menganggap kalau aku adalah CCP-nya Tristan. Aku baru menyadarinya setelah bertemu
Friska.
Gila! Baru beberapa hari di sekolah ini, aku langsung menjadi sumber gosip. Sebegitu
pentingnyakah aku sampai-sampai aku menjadi the center of attention. Atau memang figur
Tristan begitu menonjol di sini?
CCP baru-nya Tristan,Gelar itu membuatku menjadi popular instantly, Betapa tidak,
saudaraku sendiri juga pernah menjadi pacar Tristan dan teman seangkatanku tergila-gila
untuk mendapatkan Tristan.
Padahal sampai saat ini aku sama sekali tidak berupaya mendapatkan Tristan, walaupun
memang aku sangat menyukainya.
Cukup kesal juga digosipin di sekolah. Mata-mata yang memandang ku dengan diiringi
dengungan suara yang menyebut-nyebut namaku dan Tristan membuatku sedikit banyak
terganggu. Tapi ada sedikit rasa bangga dalam diriku. Merasa sebagai orang penting di
duniaku yang baru, sangat memudahkanku untuk melewati masa transisi dari Lyon ke sini.
Aku sempat merasa menjadi salah satu cewek terpopuler di sekolah yang di antaranya
Friskadan aku berusaha tidak menghilangkan perasaan itu karena hal itu membantu
menumbuhkan rasa percaya diriku.
Baru sekarang kusadari bahwa selama ini di Lyon, aku bukanlah diriku. Aku dihantui rasa
minder dan inferior di antara teman-teman Perancisku. Dan seharusnya itu tidak boleh
kulakukan.
Di sini aku seperti mendapatkan kesempatan kedua untuk menjadi diriku yang
sebenarnya. Well, thanks to Tristan yang membuatku populer dan memberiku rasa
percaya diri.
Mirel,
apa
hubungannya
cost
dan
demand?
suara
menggelegar
tiba-tiba
21.AkuharapiamenceritakannyakeTristan
Hatiku terasa lega sekali. Walaupun kecil, kepedulian Tristan terhadapku terasa sangat
besar dan berarti. Ke-bete-anku terasa hilang begitu saja. Andaikan Tristan pacarku.
Mel, ke kantin yuk. Anak-anak di sana.
Ok
Seperti biasa, kantin sudah penuh dengan murid-murid yang bergegas menggunakan
waktu istirahatnya, berbanding terbalik dengan menggunakan BB-nya sehemat mungkin
untuk menelpon. Pikir-pikir lucu juga ya. Mereka sibuk beristirahat dan berkumpul di kantin,
tapi sebenarnya mereka tidak berkumpul pikirannya berada di layar BB, ngobrol dengan
dunia lain, malah kadang cuma berbeda beberapa meter, mereka chatting menggunakan
BB. Nothings wrong with that but itsjust little bit weird. Emang sih chatting lebih asik dari
ngobrol, ga tau kenapa. Maybe someday if Axis release BB I will buy it. Pasti lebih murah
dari yang lain.
Tapi memang tidak semua menggunakan BB, sebagian lagi masih menggunakan HP
seperti aku. Itu sangat membantuku karena mereka menggunakan provider yang sama
sepertiku. Penghematan, penghematan, penghematan!
Selama tidak ada papah dan mamah, aku harus berhemat. Aku tidak mungkin meminta
uang terus ke tante Mirna walaupun uang itu akan diganti nantinya oleh papah. Untungnya
pulsaku hemat. Aku juga agak bingung, kok pulsaku ga habis-habis padahal aku sangat
sering menelpon terutama untuk menanyakan solusi soal-soal yang bikin pala mumet sampai
berjam-jam. Belum lagi SMS yang berpuluh-puluh.
kantin didominasi oleh cewek-cewek kelas 12 tapi Imel tidak kelihatan canggung ataupun
sungkan. Ia dengan santainya duduk di salah satu bangku panjang kantin yang di ujungnya
cewek-cewek kelas 12 yang melihatnya dengan tatapan sinis.
Berbeda denganku, aku adalah cewek satu spesies dengan mereka, jadi pas de
probleme! 22
Biarin. Nanti gua bilang nyokap gua, biar rasa! gerutu Imel.
22.Tidakmasalah!
Eh, jangan. Biarin. Lagipula gua udah ga papa kok. Mungkin pak Dartoyo lagi dapet!
Kami berdua tertawa kecil membayangkan pak Dartoyo menggunakan pembalut
wanita.
Anak-anak yang lain gimana? tanya Imel.
Diem aja.
Gimana sih!
Ya abis mo gimana lagi? mo teriak-teriak belain gua, yang cuma anak baru?
Huh! Iya juga ya. Kadang kesel juga ngeliat arogansi guru-guru. kayak mereka dewa
aja.
Ya sudahlah, itu kan cuma beberapa guru, yang lain tetep baik kok sama gua.
tenangku.
Lo mo minum ga?
Boleh.
Apaan?
Teh botol aja.
Imel memesan dua Teh Botol di salah satu sisi terpojok kantin.
Tiba-tiba seseorang menyolekku dari belakang.
Hi, Mir.
Friska. Ah! satu lagi yang bisa membuat hariku tambah runyam.
Hi. balasku agak malas.
Eh, kenapa pak Dartoyo? tanya Friska dengan tampang sok ingin tahu.
Enggak, kok gak pa pa.
Kata anak-anak, lo dipermalukan ya, sama dia? tanyanya dengan nada sedikit
melecehkan diiringi tawa kecil.
Loh, ini anak maksudnya apa sih? sudah tahu kok malah nanya lagi. kayaknya Friska
cuma ingin membuatku bete. Temen-teman Friska yang berada di sekelilingnya hanya
senyum-senyum mengejek.
Sebenernya apa sih yang mereka mau? Aku sudah berusaha mengikuti keinginan mereka
menjauh dari Tristan. Aku hanya ingin melewati satu tahun menuju dunia kampus.
Eh, ya udah ya. daaahh. ujar Friska sambil ngeloyor meninggalkan ku.
Imel datang dengan dua botol Teh Botol dingin kemudian meletakkan satu di
hadapanku.
Nada sambung berbunyi ditelingaku. Sejak keluar kelas aku berusaha menghubungi Imel,
tapi tidak berhasil. Ku redial kembali nomor BB imel sambil berjalan menuju tempat parkir.
Tetap tidak ada tanda-tanda Imel akan mengangkat BB-nya.
Aduh si Imel, percuma HP canggih tapi susah dihubungi. Aku berjalan cepat menuju
mobil Imel yang masih terparkir rapih.
Ku rapikan ikatan rambutku yang semakin lama semakin panjang. Tekadku sekarang
sudah sangat bulat. HARUS POTONG RAMBUT!
Hai. suara Tristan dari belakang mengejutkanku. Kejutan yang menyenangkan.
Hai. Ngagetin aja.
Nungguin Imel ya?
Iya.
Biasa banget emang si Imel. Kalo janji susah tepatnya.
Kubalas komentar Tristan dengan senyum yang kuusahakan semanis mungkin. Ikatan
rambutku masih berantakan aku kembali menarik rambutku dan menguncirnya sambil sedikit
menarik napas.
Kenapa? tanya Tristan.
Enggak. Rambutnya kepanjangan. Tadinya cuma sepundak, tapi sekarang tambah
panjang, tambah ribet. Rencananya sih mo dipotong, tapi blom sempet.
Hah? jangan! Jangan dipotong. Sayang, rambut lo kan bagus banget.
Aku hanya tersipu malu mendengar pujian Tristan. Bener ga sih apa yang dikatakan
Tristan? Aku jadi berpikir dua kali untuk memotong rambut panjangku.
Tapi panas banget. jawabku.
Itu cuma perasaan lo aja.
Masa sih? Kalo lo mah enak, rambutnya pendek.
Kalo gua punya rambut kaya lo, pasti gua panjangin. jawab Tristan sambil tertawa.
Tidak berapa lama terlihat Imel berlari menuju kami sambil memanggil-manggil namaku.
Eh, sori ya. Gua ga denger suara HP. kata Imel beralasan.
Gua telponin dari tadi.
Iya, gua lihat missed call lo lebay banget. ujar Imel. Tris, lo ngapain di sini? berduaan
aja sama Mirel? Nah ya. Lo PDKT yaaa?
Ih, apaan sih lo Mel? kataku salting.
Imel menatap mata Tristan seperti berusaha mncari kebenaran di baliknya.
Enggak, gua liat Mirel sendirian di sini, kasian gua, kaya anak hilang. jelas Tristan.
Awas lo! ancam Imel.
Awas kenapa sih? tanya Tristan.
Imel hanya menunjuk ke arah Tristan denagn mata melotot dan bibir agak monyong.
Lebih ke lucu daripada menakutkan. Tristan hanya tertawa kecil melihat lagak Imel.
Eh, iya, gimana si Dartoyo? tanya Tristan kepadaku.
Iya tuh rese banget! Kenapa sih dia ga diem aja. Mulut kok ga dijaga. Dia kan guru,
kewajibannya ngajar bukan mempermalukan anak baru. cerocos Imel tanpa memberiku
kesempatan menjawab.
Emang awalnya gimana? tanya Tistan lagi.
Awalnya emang agak-agak salah gua sih.
Loh kok salah lo? tanya Imel.
Iya, gua bengong. jelasku.
Yaaahhh... itu mah biasa. Emang pelajaran dia tuh bikin bengong. jawab Imel.
Emang bengong mikirin apa? tanya Tristan.
Pertanyaan Tristan membuatku gugup. Masa aku harus menjawab jujur kalo aku bengong
memikirkan dia. Kan tidak mungkin.
Apa? tanyaku lagi karena tidak tahu mo jawab apa.
Bengong mikir apa? tanya Tristan lagi.
Seperti biasa, jalan arteri sudah dijejali kendaraan bermotor. Mobil Yaris Imel memang cocok
untuk kondisi jalan di Jakarta yang padat dan memerlukan kesigapan dalam berkendara.
Tapi aku sendiri lebih menyukai Jazz. Keren banget apalagi kalo warnanya putih.
Panasnya cuaca bercampur dengan asap kendaraan yang menambah penatnya
suasana jalanan. Aku membayangkan betapa panas dan sesak para penumpang
angkutan umum. Besyukur aku berada di dalam mobil yang nyaman dan ber AC.
Mir, lo masih bete? tanya Imel.
Enggak.
Ga kok.
Gara-gara ketemu Tristan ya? tembak Imel.
Badanku seperti tersengat aliran listrik mendengar pertanyaan Imel yang sangat to the
point.
Apaan sih lo? elakku.
Kayaknya lo kalo ketemu Tristan agak beda. ujar Imel.
Lo aja yang ngerasa gitu kali?
Tristan juga beda kalo ngobrol sama lo, kayak waktu dia masih deket sama gua.
Waduh, gimana ini? Apa yang sebaiknya aku katakan? Tidak mungkin aku katakan
perasaanku yang sesungguhnya. Aku tahu Imel masih suka dengan Tristan, masa aku curhat
tentang rasa sukaku terhadap Tristan.
Kebohongan juga bukan solusi terbaik. Biasanya kebohongan akan terus ditutupi dengan
kebohongan. Itu akan memperparah keadaan. Aku juga tidak dapat memilih diam karena
itu sama saja dengan mengiyakan pertanyaan Imel.
Kenapa aku selalu berada di situasi yang sulit. Ah! Rasanya saat ini aku lebih memilih di
dalam bis yang panas dan padat ketimbang di sini menjawab pertanyaan Imel.
Udah ah, ngobrol yang lain aja.
Loh kok gitu? Ngalihin pembicaraan?
Enggak.
Enggak apa nih? enggak ngalihin pembacaraan atau enggak suka sama Tristan.
Dua-duanya. jawabku tegas walaupun jawabanku keduanya adalah bohong.
Masa sih, lo ga suka Tristan? Apa coba yang kurang dari Tristan? Gak ada kan? cecar
Imel.
Kok aku merasa si Imel sudah mengetahui perasaanku terhadap Tristan ya? Apakah aku
se-obvious itu? Memang aku belum menemukan kekurangan Tristan. Semua kualitas cowok
idaman ada pada dirinya. Yang jadi permasalahan, apa reaksi Imel jika aku berkata jujur
padanya.
Apakah dia akan bersikap supportif atau sebaliknya, memusuhi dan membenciku karena
menyukai ex-nya.
Loh kok malah diem aja sih lo Mir? tanya Imel curiga.
Enggak, enggak kok, gua cuma agak masih kebayang-bayang kejadian di kelas tadi.
Kan gua udah bilang, kalo itu mah ga usah dipikirin, emang itu guru agak-agak stres.
Eh, kita langsung pulang kan? tanyaku.
Ya enggak lah! Gila apa! makan dulu dong.
Gagal rencanaku untuk langsung tidur. Tapi tidak apa lah, hitung-hitung refreshing.
Sekali-kali aku harus memanjakan diriku daripada nanti stres kayak pak Dartoyo.
Bagus juga nih mall Itulah yang ada di kepalaku ketika memasuki Pejaten Village.
Seingatku tempat ini dulunya terbengkalai. Tapi tak disangka menjadi mall yang sangat
megah dan cozy.
Makan di Solaria aja yuk. ajak Imel.
Ya udah.
Kami menaiki tangga jalan lantai demi lantai. Lebih enak daripada naik lift, sekalian cuci
mata liat-liat etalase.
Langit-langit mall yang tinggi serta di hiasi kaca-kaca bening yang memberi kesempatan
sinar matahari memasuki atrium mall yang menggema membuat suasana mall terlihat
terang dan menyenangkan.
Solaria berada di lantai 4 di bawah lantai tertinggi Pejaten Village. Pengunjung solaria
tidak begitu ramai. Mungkin karena kami datang setelah jam makan siang.
Suasana cafe sungguh terasa di retoran ini. Kenapa di desain seperti cafe? sedangkan
makanannya, seperti makanan rumahan? Mungkin akan lebih nyambung kalo desainnya
seperti rumah? Oh well, i dont really care, selama makanannya enak dan affordable.
Duduk di situ aja yuk. ajak Imel menunggu salah satu sudut restoran yang menghadap
keluar gedung.
Enak juga melihat perempatan yang dipenuhi kendaraan dari atas gedung. Mobil dan
motor teratur bergantian melewati perempatan Pejaten. Kadang terlihat pengendara
sepeda dengan peralatan lengkap. Siang-siang begini naik sepeda, its a suicide.
Pelayan Solaria memberikan selembar kertas yang didalamnya berisi tabel daftar
makanan yang sangat bervariasi. Siapapun kokinya di dalam sana, pastinya ia adalah koki
super. Bisa memasak sekian banyak menu yang dipesan dengan kecepatan luar biasa.
Imel langsung menulis angka satu di samping nasi goreng udang dan es teh manis. Lo
mo mesen apaan? tanya Imel.
Kayaknya pesenan lo enak deh. Gua sama deh sama lo. jawabku.
Imel menghapus angka satu dan menggantinya dengan angka dua. Kertas pesanan
diserahkan kepada pelayan Solaria yang menurutku mahal senyum.
Tangannya dengan sigap menghitung harga pesanan dan menyebutkannya di depan
kami. Imel memberikan lembaran uang seratus ribuan kemudian pelayan itu ngeluyur
meninggalkan kami tetap dengan tampang tanpa senyum.
Jadi, lo bayarin gua nih? tanyaku.
Iya. Sekarang-sekarang sih ga papa. Tapi jangan terus-terusan.
Ya iyalah. Thanks ya Mel.
Mir, gimana? lo betah ga di sini? tanya Imel.
Ya iyalah. gua kan orang sini. Masa ga betah.
Bukan, maksud gua di sekolah.
Ah, lo ngaco.
Gua kan tahu Tristan. ujar Imel.
Aku tidak berani menanggapi Imel. Takut salah ngomong, bisa-bisa gawat.
Eh, gua bisa minjem HP lo ga?
Loh emang BB lo kemana?
Blom bayar.
Gaya doang lo!
Abis gua kebanyakan nelpon. Tagihan jadi mahal. Mo minta ke nyokap, takut
dimarahain.
Loh, gua kirain tagihannya fix.
Ya enggak lah. kalo nelpon mah tetep bayar
Gua sampe sekarang pulsa gua ga abis-abis, padahal gua pake nelpon ke Joanna,
Deby, ke anak-anak sekelas gua.
Ya kan temen-temen lo pake AXIS juga. Ya iyalah, lo telpon-telponan jadi murah banget
Nih udah pake aja. ujarku sambil menyerahkan HP. Emang mo nelpon siapa sih lo?
Tristan.
Ngapain?
Suruh ke sini jawab Imel sambil menunggu nada sambung.
Ga usah lah.
Loh kok ga usah?
Hah?
Tuh kan. Lo salting. Pasti lo suka sama Tristan, Gua udah curiga. Kalo ketemu dia, pasti
kelakuan lo aneh.
Loh apa hubungannya kelakuan gua sama Tristan.
Imel hanya menatapku dengan tampang kemenangan. Matanya tak berkedip
menunggu pengakuanku.
Apaan sih Mel, ngapain sih ngeliatin gua begitu?
Udah ngaku aja. ga papa kok.
Ternyata susah mengatakan kejujuran terutama dihadapan sahabat. Apalagi jika
didahului dengan kebohongan. Pastinya harus meminta maaf setelah atau sebelum
kejujuran itu keluar dari mulutku.
Tapi nanti lo marah lagi. tanyaku.
Ya enggak lah.
Kejujuran itu tetap tidak keluar dari mulutku yang kelu.
Tuh kan! bener! pekik Imel.
Sssstttjangan teriak-teriak gitu dong. malu.
Nih HP lo. ujar Imel seraya mengembalikan HP ku.
Loh ga jadi nelpon? tanyaku.
Loh, gimana sih, tadi lo ga mau Tristan ke sini?
Bukan gitu, maksud gua kalo lo mo pake HP gua ya pake aja.
Ku ambil HP dari meja dan kuperiksa panggilan Imel. Ternyata Imel benar-benar
mengerjaiku. Ia bukan menelpon Tristan tapi rumah.
Loh kok lo nelpon rumah. Sialan lo. Gua kirain nelpon Tristan.
Ciiieee jadi lo mau gua telponin.
Apaan sih?! Gak lah! jawabku tegas sambil memasukkan HP ke kantong.
Imel hanya tertawa puas melihatku tersiksa oleh keisengannya. Ku ambil sendok dan
garpu dan aku mulai melahap nasi goreng yang sudah mulai dingin.
Porsi yang tadinya kukira untuk dua orang, ternyata kuhabiskan dengan sukses. Perut ini
seperti mau meledak. Memang penyesalan selalu datang belakangan. Setelah makan ini
minimal beratku akan bertambah 1 kg. Di tambah lagi, selama di Jakarta, aku tidak pernah
bergerak banyak. Berbeda sewaktu di Lyon. Aku harus berjalan kaki ke halte bus dekat
apartemen ku kemudian berjalan lagi dari halte ke sekolahku. Jaraknya lumayan jauh dan
menanjak.
Mir, tunggu dulu ya. Gua kenyang banget nih.
Iya. Gua juga.
Lo kok bisa abis sih? tanya Imel dengan wajah tak berdaya.
Lo sendiri juga abis.
Iya nih. aduh kenapa gua abisin ya?
Mustinya di sini ada tanda warning ya. Tulisannya; Nasi goreng dapat menyebabkan
kekenyangan, susah bergerak, ngantuk dan penyesalan.
Imel tertawa lemah,lo bisa ngelawak juga ya Mir. ujar Imel.
Kami berdua bersandar di kursi empuk Solaria. memandangi suasana di luar Pejaten
Village.
Mir, gua serius nih. Kalo Tristan suka sama lo, trus jadian. its ok. Secara, lo saudara dan
sahabat gua. Tapi gua juga ga mau gitu aja ngelepasin Tristan. Kalo masih ada peluang
buat gua. Kenapa enggak. Gimana menurut lo Mir? Kita bersaing sehat. Fair and square.
Wow! Bagaimana ya? Penawaran yang sangat menggiurkan. Tapi bagaimana kalau Imel
tidak menepati janjinya? Ah, je men fou!23Kalaupun ia melanggar janjinya berarti bukan
salahku.
OK! Tapi Friska gimana? tanyaku.
Your enemy is my enemy!
Bukannya, the enemy of my enemy is my friend?
Oh gitu ya? berarti Friska temen gua dong? Ih, amit-amit.
Kami berdua tergelak di Solaria dalam keadaan kekenyangan. Well, jalan-jalan hari ini
ada manfaatnya juga. Membuat posisiku jauh lebih enak daripada sebelumnya. Aku tidak
perlu lagi berbohong kepada Imel atau menjauh dari Tristan.
Friska tidak perlu kupikirkan. Track recordnya yang buruk membuat peluangnya
mendapatkan Tristan sangat kecil. Memang saingan terberatku adalah Imel. Well, bring it
on sis! Imel my frienemy.
7
Halo mah?
Lagi ngapain? Di kamar ya? tanya mamah.
Iya. Di kamar. jawabku sambil memegang HP di telinga kananku.
Mah, tunggu sebentar. Aku taruh HP ku di atas tempat tidur dan ku aktifkan speakernya.
Gimana sekolahnya? tanya mamah.
Baik. Udah bisa ngikutin pelajarannya.
Jangan lupa makan. biar ga sakit.
Iya, mah.
Uang masih dikasih kan?
Iya. seratus setiap hari.
Gimana Imel? sering main bareng ga?
23.Bodoamat!
Sama gimana?
Nih, ya. artis main di sinetron terus dibayar. uangnya dari mana?
PH24
Terus PH uangnya darimana?
Dari TV.
TV uangnya dari mana?
Iklan.
Terus produk-produk yang masang iklan di TV dapet duit dari mana?
Dari keuntungan produk yang dijual.
Nah, yang beli produknya siapa?
Oooo iya ya.
Iya, jadi yang bayar artis ya kita-kita juga.
Jadi mustinya artis yang manjain kita, bukan sebaliknya.
Manjainnya pake acara gosip.
Aku tertawa gelak mendengar jawaban spontan Imel yang mungkin ada benarnya juga.
Acara gosip semacam bonus tmbahan atau layanan tambahan para artis untuk para
konsumennya sekaligus sebagai popularity booster.
Emang di sana ga ada acara gossip?
Ga sebanyak disini.
Kok lo ga kontak sama temen-temen lo di sana?
Iya kok. pake FB.
Emang HP lo bisa?
Ya bisa lah. Huh, pelecehan.
Hahahahajangan marah dong, becanda, becandaaa.
Enaknya ada facebook. Bisa komunikasi dengan mudah ke beberapa orang. Coba kalo
sekarang seperti jaman dahulu. Kalo komunikasi musti pake telpon. Agh, betenya.
Eh, lo mau Indomie ga? tanya Imel.
Boleh.
Imel berlari kecil ke arah pintu kemudian berteriak dari pintu yang hanya dibuka selebar
kepalanya.
24.ProductionHouse.
MBAAABUATIN MI DUA!!
Eh, pake telor ga Mir? tanya Imel.
Ga usah deh.
POLOS AJA MBAAAJANGAN LUPA MINUMNYA YANG DINGIIIINNN!!!
Iyaa mbaaa. terdengar jawaban kecil dari bawah.
Lo mau dibawain TV dari bawah? usul Imel.
Ga, ga usah. Ga ditonton juga.
Daripada bengong-bengong sendiri.
Ya gak lah, kan gua musti ngejar pelajaran. Gila. susah banget pelajarannya.
Emang, gua aja pusing.
Terus, lo ga belajar?
Gila apa? di sekolah udah kayak gitu, terus sekarang gua musti belajar lagi? Hiiii!
Kalo ujian soalnya susah ga?
Ulangan biasa mah enggak. Tapi kalo ujian akhir. Ampun! Bisa migren!
Waduh, gimana dong? Gua minta tolong siapa ya?
Buat apa?
Bantuin belajar?
Joanna aja. usul Imel.
Enak ga ya?
Ya gimana lagi?
Tapi dia ga mau ke sini.
Pastinya.
Jadi gua musti ke sana dong?
Ke rumahnya?
Ya eyalah.
Tapi si Joanna pinter ga? Percuma kalo lo ke rumahnya tapi ga bisa bantuin.
Bener juga.
Les aja.
Dimana?
Banyak. MSC, NPtinggal pilih.
Iya ah, gila. Masa ga lulus. Malu-maluin aja.
Banyak banget lagi yang ga lulus.
25.OverDosis
Maksud lo?
Ya lu cari tahu aja sendiri. Kan kita saingan.
Nah, itu tuh yang gua ga mau. Nanti kalo kita berantem gimana?
Ya jangan sampe. Emang gua bi**h apa? Kalo gua ga dapet ya udah. Mengaku kalah
dan bersyukur kalo yang dapetin Tristan adalah saudara gua sendiri. Bukan si Friskapsycho.
Iya, tuh orang kok psycho banget sih? kayak preman gitu. Ga cocok sama
tampangnya.
Emang dia ngancem lo gimana sih?
Yaaa...gitu deh. Ga nakutin juga sih. Cuma ngomong-ngomong ga jelas gitu.
Ya gimana? Malah lo yang ga jelas.
Yaaa... intinyak karena gua anak baru. Jadi stay low aja.
Hahahaha...ada-ada aja tuh anak. Lo ga usah takut Mir, lo kan seangkatan. Gua aja
yang di bawahnya ga takut.
Ya enggak lah. Gua cuma males semuanya jadi ribet.
Hidup emang udah ribet, jadi cuek aja, nikmatin aja.
Ah, filosofi lo aneh! Yang ada, hidup udah ribet jangan dibuat tambah ribet!
Kami berdua tergelak. Setelah tawa kami mereda, raut muka Imel berubah menjadi serius
dan menatapku tajam.
Mulai besok, persaingan kita di mulai. ujar Imel sambil menjulurkan jabatan tangan.
Aku menjabat tangan Imel dengan erat. Tapi ingat ya, jangan sampe berantem.
Iya, iya. jawab Imel sambil tersenyum.
Benarkah Imel bisa menerima kekalahan? Sepertinya dia bukan tipe cewek yang kuat
menghadapi kenyataan. Tapi penampilan bisa menipu. Atau jangan-jangan malah aku
yang tidak bisa menerima jika nanti Tristan berhasil direbut kembali oleh Imel. Karena aku
sama sekali tidak mengerti bagaimana jatuh hati dan bagaimana rasanya patah hati.
Pagi ini cuaca sangat cerah. Tidak ada sedikitpun awan yang menghalangi sinar mentari.
Kemalasan mulai menghantui diriku. Gawat! belum sampai sebulan sekolah, aku sudah
mulai malas. Mungkin malas itu karena rasa putus asa untuk mengerti pelajaran sekolah
yang menurutku pantas untuk dikategorikan soal-soal khusus buat para profesor dan
kekesalanku pada Pak Dartoyo yang mempunyai mulut seperti silet.
Ayo Mirel! Semangat! Semangat! kataku dalam hati.
Langkahku keluar kamar berbarengan dengan suara ketukan pintu dan suara Imel
memanggil dari luar. Mir, udah siap belom? teriak Imel.
Saat aku keluar kamar, Imel sudah berdiri di depan pintu dengan senyum sumringah.
Pakaiannya keliatan lebih rapih dan tatanan rambutnyapun berbeda dari biasanya.
Udah kok. Tumben semangat. ujarku.
Loh. Gimana sih? Sekolah tuh musti rajin.
Alasan yang sangat tidak cocok untuk Imel. Aku mulai sadar, penampilan berbeda Imel
pasti karena persaingan kami menggaet Tristan.
Ternyata Imel sangat serius dalam hal ini. Sebetulnya in iadalah persaingan yang tidak
seimbang jika dilihat keunggulan finansial Imel dan kelengkapan kendaraan yang dimilikinya.
Tapi sebaiknya aku tidak memikirkan itu. Putus asa adalah awal dari kekalahan.
Iya deh. Pulang sekolah temenin gua ke salon ya.
Ok. Gua ada salon langganan. Lo udah minta les belom sama nyokap lo?
Belom.
Gimana sih?
Iya. gua lupa. Abis kenyang banget sih tadi malem. Gua langsung ketiduran.
Sekarang aja telpon.
Ah, vite accompli banget sih?
Apa tuh?
Buru-buru!
Ya emang harus gitu. Di Jakarta itu harus berburu dengan waktu.
hari ini liat-liat aja dulu tempat lesnya sekalian minta brosur.
Ya udah. Terserah lo.
Yuk berangkat. ajakku.
Eh, gua minta jajan dulu. Lo ga minta jatah lo.
Masih ada kok yang kemaren. Kan ga kepake.
O iya, lo kan gua traktir terus. Gua bilang ke nyokap ah, duit gua diabisin lo. canda Imel.
EH! Enak aja! Kan lo yang mau! Jangan gitu dong!
Becanda, becandaaa... ujar Imel puas mengerjaiku.
Kami menuju ruang makan di bawah. Seperti hari-hari sebelumnya, tante Mirna telah
menyediakan roti, jus jeruk dan susu.
Sampai sekarang, saya tidak bisa mengerti bagaimana orang bisa tahan meminum jus
jeruk di pagi hari. Perut rasanya pasti melilit.
Ayo di makan rotinya. Cepetan udah telah loh. kata tante Mirna pelan.
Mah, si Mirel mo les tapi lupa bilang ibunya tuh.
Aku kaget bukan kepalang mendengar perkataan Imel. Gila nih anak. Udah dibilangin,
biar gua ijin dulu ke nyokap, malah ngomong langsung. batinku.
Ooohh, bagus tuh Mir, jadi kamu bisa ngikutin pelajaran di sekolah. Kalo Imel mah males
ikut les-les gitu.
Imel hanya asik mengunyah rotinya seperti tidak mendengar sindiran tante Mirna.
Kamu perlu berapa Mir? tanya tante Mirna.
Belum Tante, belum tahu. Rencananya mo liat-liat dulu sama Imel.
Ooo gitu. Ya udah, kalo udah dapet tempat lesnya, kasih tau tante biayanya ya. Nanti
tante talangin dulu. Ngomong ke mamah kamu belakangan ga papa kok. Pasti boleh. Kan
buat sekolah. ujar tante Mirna.
Terima kasih banyak Tante. Maaf nih ngerepotin terus. basa-basiku.
Ga papa Mirel. Kamu sudah tante anggap anak sendiri.
Ma kasih Tante.
Bener-bener nih si Imel. Bikin aku sport jantung aja. Bagaimana kalau tante Mirna
tersinggung. Kan berabe.
Aku memelototi Imel yang senyam-senyum sambil mengunyah roti yang hampir habis.
Makan Mir rotinya. perintah tante Mirna.
Eh, iya Tante.
Aku melahap dengan cepat roti gandum isi selai strawberry yang sesuai dengan
kegemaranku. Aku sangat menyukai rasa strawberry. Di Lyon aku sering ngemil selai
strawberry Bonne Maman. Kadang keju La Vache Qui Rit ku campur dengan selai strawberry.
Hmmm....yummie.
Di sini mungkin ada merek-merek itu. Jika ku temukan, pasti aku langsung beli.
Udah yuk Mir. ajak Imel.
Yuk. jawabku.
Mah, jajan mah. pinta Imel.
Tante Mirna mengambil dompetnya di meja makan dan mengeluarkan uang seratus
ribuan dua lembar.
Bareng Imel?
Iya.
Eh, nanti abis pulang sekolah lo kemana?
Hah? Ada apa ini? kenapa Tristan menanyakan hal itu padaku? Apakah dia ingin
mengajaku jakan? Tapi aku belum siap. Ini bukan penampilan terbaikku.
Kenapa emang? tanyaku.
Enggak. Tadinya gua mo ngajak makan bareng.
Tuh kan bener. Aduh jangan sekarang. Kenapa ga tepat banget sih waktunya.
Yaaahhh...gua ga bisa. Gimana kalo besok.
Wajah Tristan kontan berubah mendengar penolakanku. Mungkin ia tidak menyangka
sama sekali kalo aku akan menolaknya. Dan tentunya aku juga tidak ingin menolak
ajakannya. Tapi aku tidak bisa berpenampilan begini dihadapan Tristan.
Ooo...ya udah. Iya mungkin besok ya.
Sori ya Tris, gua udah keburu ada acara.
Ga papa kok.
Bel pun berbunyi. Tristan berjalan meninggalkan ku dengan senyum hambar. Aku telah
menyianyiakan peluangku untuk dekat dengan Tristan. Tapi tidak apa-apa. rugi sedikit untu
mendapatkan keuntungan berlipat.
Eh, Mir, lo emang lagi gebet Tristan ya? bisik Joanna di tengah jam pelajaran
Sssst... jangan ngobrol.ujarku.
Kata anak-anak lo saingan sama Friska
Hah! Apaan sih?Gosip dari mana tuh?
Ga tau. Tapi dah rame banget
Kok bisa?
Ga tau. Pokoknya lo udah beken banget deh. Saingannya sama Friska lagi. si rese.
Ah, biarin aja. Namanya juga gosip. Kalo didiemin ila sendiri.
Tapi lo suka sama Trisan, itu bukan gosip kan.
SSSSSTTT...JANGAN BERISIK! bentak pak Kosasih guru bahasa Indonesia.
Kami tertunduk dan pura-pura menulis. Kemudian Joanna memandangiku seolah ia
seorang mama Lauren ng berusaha membaca jalan pikiranku.
Apaan sih? ujarku risih.
Kemudian Joanna memberikan secarik kertas yang bertulisakan benerkan lo suka sama
Tristan!
Aku lempar kembali kertas itu ke Joanna. Yang menahan tawanya.
Joanna kembali menulis pesan di secari k kecil kertas dan memberikannya padaku.
Kubaca isi kertas itu, Siap ga lo saingan sama si rese?
Kali ini aku menulis balasan pesan Joanna. Itu mah bukan saingan. Kelas cere.
Belum sempat aku kembalikan kertas itu, Pak Kosasih sudah berada di sebelah kami.
Ngapain kalian?
Enggak pak. jawab Joanna.
Bukannya merhatiin pelajaran, malah becanda. Udah pada pinter ya?
Kami tidak berani menjawab pertanyaan pak Kosasih yang memang tidak menuntut
jawaban.
Kamu berdua ke kantor kepala sekolah sana!
Iya pak.
Sial! Pasti aku kena semprot mamah nih. Belum apa-apa sudah dapet satu peringatan.
Gara-gara Joanna nih, jadi begini.
Kami keluar kelas dengan langkah lunglai. Anak-anak lain hanya memperhatikan kami
tanpa berani berkomentar sedikitpun.
Di luar Joanna langsung tertawa. Entah apa yang ditertawakannya. Di saat seperti ini, dia
malah tertawa terbahak-bahak. Sungguh cewek yang aneh.
Santai aja lagi Mir. Paling kita diceramahin dikit. Lagian orang cuma ngobrol gitu kok.
Tapi kan nanti ngaruh ke laporan kelakuan.
Apa tuh?
Di rapor. Kelakuan baik atau buruk.
Ya elah. itu mah ga penting.
Tapi lo benerkan gebet Tristan.
Aduuh, masih ngebahas itu aja?
Loh, gua harus tahu kebenaran gosip yang beredar. Kalo ternyata tidak benar, gua akan
klarifikasi ke yang lain.
Emang si Friska masih gebet Tristan?
Buset, itu anak emang ga ada mundurnya. Selalu deketin Tristan tiap tahun. Emang sih
dia cantik, kaya, tapi murah. Jadi cowok ill fil duluan.
Joanna berjalan ke arah salah satu stand makanan di kantin. Tidak berapa lama, Joanna
membawa dua botol Teh Botol yang terlihat sangat dingin dan menyegarkan.
Thanks. ucapku.
Eh, bahasa Perancisnya makasih apa?
Merci
Mersi. Kayak mersi mobil?
Iya. spell nya kayak gitu.
Jadi gimana ceritanya lo bisa ngambil Tristan dari Imel?
Pertanyaan yang sangat mengagetkan. aku sampai tersedak Teh Botol mendengarnya.
Apaan sih lo? Emang nya Tristan barang?
Iya, barang rebutan.
Tapi siapa yang merebut Tristan. Aku malah berusaha menghindarinya. Walaupun
sekarang malah berusaha mendekatinya tapi aku tidak merebutnya dari siapapun.
Kasian banget si Tristan di sebut barang rebutan. Kesannya murah banget.
Iyaaa deeeh yang belain cowoknya.
Hahahahahaha.... Bukannya gitu. Tristan kan juga manusia. masak disamain sama
barang.
Barang yang sangat bagus ya.
Kami tertawa geli sampai-sampai Teh Botol Joanna hampir saja tumpah.
Udah ah, jangan ngomongin itu lagi.
Hahahaha... siapa sih yang ga naksir Tristan? Cuman bedanya ada yang agresif ada
yang diem-diem.
Kalo Tristannya? Sekarang dia sama siapa?
Kayaknya sih blom ada. Sejak putus sama saudara lo, dia blom pacaran lagi.
Di sekolah lain? tanyaku penasaran.
Ih, kok lo nanyanya kayak polwan gitu sih?
Kan cuma pengen tahu.
Ampir aja gua panggil pengacara gua. canda Joanna.
Udah ah, lo becanda terus. Orang ngomong serius kok.
Yeee... gitu aja ngambek. kalo mo tahu lebih jelas lagi mah, tanya aja sama yang
bersangkutan.
Gila apa? Dimana harga diri gua. masa gua nanyaTristan, lo punya pacar di luar
sekolah kita ga? Kan aneh banget. Merendahkan harkat dan martabat cewek-cewek
Indonesia aja.
Lo tanya aja sodara lo.
Sama aja. Orang dia masih suka sama Tristan kok. Terus gua nanya ke dia? Gak bakal
dijawab lah.
Mo gua tanyain? usul Joanna.
Ga ah! Ga usah! Nanti malah berantakan lagi.
Apa yang mau diberantakin sih Mir?
Enggak. Maksud gua. Nanti lo malah malu-maluin gua lagi.
Waaahhh...ini anak, udah mau dibantuin malah berprasangka buruk.
Hahaha...bukan begitu.
Ga usah panik. Gua tahu lo becanda. Emang gua bego.
Lo tuh iseng banget ya?!Seneng ya ngeliat temen panik?
Daripada bete di sekolah, mending ngerjain anak-anak. Gratis dan sangat menghibur.
Aku menyedot sisa-sisa Teh Botol yang ada di dasar botol.
Lo mau minum lagi ga?
Ga deh. dah ga haus. Kita ga balik ke kelas? tanyaku.
Ga usah, nanti aja tunggu bel. Kalo lo balik ke kelas pasti kena semprot.
Berapa lama lagi?
Paling 10 menit.
Tidak berapa lama, anak-anak kelas 12 sudah mulai banyak yang datang.
Kok, lo udah pada disini aja sih? tanya Tasya, anak kelas 12 yang hanya kukenal dari
tampangnya saja. Aku tidak pernah ngobrol dengannya.
Tadi kita di suruh ke kantor Kepala sekolah tapi taunya gak ada.
Kenapa lo? tanya Tasya lagi.
Cuma gara-gara ngobrol doang sama Mirel.
Ooo... eh Mir, katanya lo gebet Tristan ya?
Aarrgggghhh. Apa-apaan ini? Kenapa semua jadi gosipin gua gini. Sedangkan gua
bukan artis. gerutuku dalam hati.
Apaan? Enggak! jawabku tegas.
Ah, bohong dia. Biasa, masih malu. Nanti kalo dia udah jadian, baru deh cengangas
cengenges. celetuk Joanna.
Aku langsung menepuk punggung Joanna yang lebar dan membal. Plak!
ADUUUHH! teriak Joanna sambil berusaha mengelus-elus punggungnya namun tidak
berhasil.
Yang bener aja lo! Sakit banget! gerutu Joanna.
Sori! Sori! Refleks! ucapku dengan nada panik.
Kalo refleks tuh ngasih duit bukan mukul. kata Joanna.
Tasya tertawa melihat kelakuan kami yang seperti lawakan jayus di TV.
Akhirnya bel berbunyi. Gelombang murid pun mengisi kantin yang tadinya sepi dan
dingin kini menjadi penuh dan pengap.
Joanna mulai mengitari mej-meja dan menyapa semua teman-temannya diselingi
dengan candaan dan tawa spontannya. Mungkin jika diadakan voting untuk cewek paling
banyak pendukungnya, pasti Joanna yang dipilih. Anaknya supel banget, lucu, gak
gampang marah, kecuali sama Imel, ga tau kenapa, mungkin arogansi angkatan.
Aku memegang-megang rambutku yang nanti pulang sekolah akan menjadi sejarah.
Beberapa cowok memperhatikanku seperti ingin menerkam. Pandangan yang sangat
mengganggu sebetulnya, tapi kuanggap mereka losers yang ga punya keberanian untuk
berkenalan.
Joanna memanggil aku dari kejauhan untuk bergabung dengannya serta bebrapa anakanak sekelas.
Gila lo! Di kelas si Pak Kosasih masih aja marah-marah tau gak. Dia ngomongin lo berdua
sampe mo abis jam pelajaran tau ga sih. kata Kiara dengan tampang seru.
Padahal kita lagi santai di kantin, ya kan Mir. ujar Joanna.
Aku hanya mengangguk, tak tahu itu hal baik atau bukan untuk kami.
Eh lo mo makan ga? tanya Joanna kepadaku.
Gak ah, belom laper.
O, ya udah, Gua makan dulu ya. kata Joanna sambil ngeluyur.
Yang lain juga mengiyakan dan mengikuti Joanna berburu jajanan penuh kolesterol nan
lezat. Aku harus menjaga makanku jangan sampai tubuhku menjadi bulat dan sulit kembali.
Ngomong-ngomong dimana Imel, tumben dia tidak kelihatan di kantin? Aku mendial
nomor HP Imel, dan seperti b ias, tidak diangkat.
Bel pulang sekolah akhirnya berdering. Hari yang sangat melelahkan. Pertama kali sekolah
aku merasa, setiap hari adalah hari yang sangat exciting. semuanya seperti hal baru bagiku
untuk di explore tapi lama kelaman, Hal-hal itu menjadi sebuah kewajiban yang mulai
mengganggu pikiranku. Beban mulai terasa dipundakku. Belum lagi tekanan dari guru-guru
yang sepertinya merasa mendidik calon-calon militer.
Cuma satu yang membuat hariku lebih berwarna. persainganku dengan Imel, harus
diakui aku memang sangat excited dengan persaingan ini. Hal ini benar-benar baru bagiku
dan pialanya benar-benar worth it.
Aku kembali mendial nomor HP Imel, tidak ada jawaban. Aku berjalan cepat menuju
tempat parkir yang sudah penuh oleh murid-murid yang bersuara riuh rendah, saling
memanggil dengan sebutan-sebutan yang aneh. Lebih aneh lagi yang dipanggil tidak
merasa tersinggung. Seperti anakcowok yang sedang lewat di depanku. Dia menghampiri
teman-temannya dengan wajah sumringah setelah dipanggil kunyuk.
Tidak berapa jauh terlihat Imel sedang memasukkan tasnya ke mobil. Kuhampiri
diadengan sedikit berlari. Kutepuk punggungnya dengan keras.
Hai! kejutku.
Imel meloncat kaget.Sialan lo!
Kok lo ditelpon ga ngangkat-ngangkat sih?tanyaku.
Sori, ga denger.
Eh, lo jadi kan nemenin gua ke salon?
Jadi. Sekarang aja yuk.
Ayo.
Setelah Imel memberi lambaian ke beberapa teman-teman kelas 11nya dan sedikit
teriakan kanan kiri, kamipun berangkat ke salon langganan Imel yang ternyata berada di
Pondok Indah Mal.
Seharusnya sudah kutebak dari awal. Pasti jatuhnya ke mal-mal juga.
Di mana salonnya Mel? tanyaku.
Di atas.
Kami langsung menuju salon yang berada di lantai 2 mal Pondok Indah.
Lo kalo nyalon disini? ujarku sambil menunjuk salon Irwan.
Iya, nyokap juga.
Ooo...
Kami memasuki salon dan Imel dengan santai berbicara dengan resepsionis. Sedangkan
aku dengan panik memeriksa keuanganku, takut-takut tidak cukup.
Udah Mir, udah gua bilangin. Lo tinggal duduk aja. Eh gua tinggal dulu ya.
Loh lo mo kemana?
Mo nonton.
Yaaa...gua ikut dong.
Gimana sih, katanya mo potong rambut?
Ya, terus... gua sendirian?
Wow. Mukaku kelihatan fresh banget setelah rambut panjangku dirapihkan. Aku tidak jadi
memotong pendek rambutku. hair stylist bilang sayang rambutku dipotong pendek tapi
saran yang paling aku pertimbangkan adalah saran Tristan, akhirnya rambutku hanya
dirapihkan sedikit dan di curly.
Harga yang kubayarkan juga tidak sedikit. Sepertinya aku harus lebih berhemat untuk
beberapa minggu ke depan.
Di luar, mall tidak terlalu ramai. Aku berjalan ke luar salon dan menuju XXI di PIM 2. Perutku
mulai memberi tanda untuk segera diisi.
Aku berjalan perlahan menikmati suasana mal dan cuci mata melihat baju-baju yang
keren dan untuk sementara belum bisa ku beli. Lihat saja nanti, aku akan memborong
semuanya.
PIM 2 kelihatan jauh lebih mewah dari PIM 1. barang-barangnya pun lebih mahal.
Dengan outlet-outlet seperti Mango, Dior, yang membuat mata kita melotot melihat
harganya. Kalau aku mungkin akan menunggu Mango diskon baru bisa membelinya.
Aku menaiki tangga jalan menuju bioskop yang berada di lantai paling atas. Satu demi
satu kunaiki tangga jalan.
Tiba-tiba perhatianku tertuju pada seorang cewek yang berjalan dengan seorang cowok.
Betapa kagetnya aku, ternyata mereka adalah Imel dan Tristan!
Aggghhh!!! Sepertinya aku mau teriak. Imel benar-benar menipuku mentah-mentah. Aku
sudah curiga ketika dia tidak mau menemaniku di salon tadi. Benar-benar mengesalkan!
Sekarang aku harus bagaimana? Apakah sebaiknya aku berpura-pura tidak lihat dan
menghindar? atau langsung menyapa mereka seolah tidak ada apa-apa?
Rasa kesal sudah meliputi seluruh badanku. Aku memutuskan untuk pergi ke toilet untuk
menenangkan diri.
Aku buru-buru masuk ke dalam toilet dan mondar-mandir di dalamnya. Sesekali aku
bercermin dan menarik napas berulang kali.
Sepertinya usahaku berhasil. rasa panas di wajahku berangsur hilang. Pikiranku yang kalut
sedikit demi sedikit mulai jernih.
Aku mencuci tanganku sambil berpikir,Seharusnya gua tidak perlu emosi, ini adalah
kompetisi, jadi yang dilakukan Imel, sah-sah saja. Malah seharusnya gua lebih hati-hati
dalam membaca jebakan si Imel. walaupun dia saudaraku, tapi dia juga saingan
terberatku.
Aku menata kembali rambut baruku, mengoleskan sedikit lipstik dan menarik napas
panjang. Keluar toilet dengan percaya diri yang tinggi.
Di luar, Imel dan tristan sudah menghilang, tidak tahu mereka kemana. aku langsung
menelpon Imel. Aku harus menahan nada suaraku. Jangan sampai aku terdengar kesal
atau sedih, karena itu sama saja menandakan kalau aku telah kalah darinya.
Tidak berapa lama, Imel mengangkat panggilanku.Mir, dimana lo?
Di PIM 2. katanya lo nonton,
Iya, udah keluar kok. Lo ke sini aja. Gua lagi makan di Kono Taki.
Di mana tuh?
Di PIM 1
Yaa... gua balik lagi dong. Ya udah. Tungguin ya.
Kok si Imel ga bilang sih kalo dia sama Tristan? Pasti dia mo ngagetin gua deh.
Kumasuki restoran jepang yang terlihat sangat cozy dengan tampilan luar yang sangat
menarik. Di etalase dipamerkan beberapa menu yang terlihat menggiurkan padahal terbuat
dari lilin.
Imel sudah di dalam bersama Tristan. Imel menatapkan dengan senyum jahilnya. Seperti
ingin mengatakan,Nih liat, lo udah kalah langkah dari gua.
Hai sapaku.
Hai. jawab Imel dengan nada riang.
Tristan memperhatikanku tanpa berkata-kata. Apakah ini pertanda baik atau buruk?
Apakah dia menyukai penampilanku yang sekarang atau dia hanya terdiam karena terlihat
bersama Imel?
Lagi pada ngapain? basa-basiku.
Mo makan lah.
Lo udah pada mesen.
Belom. jawab Imel sambil berusaha duduk berdekatan dengan Tristan.
Aku harus menahan emosiku. Tristan sepertinya tidak nyaman dengan situasinya saat ini.
sama sepertiku sebelum kompetisi ini dimulai.
Aku selalu merasa canggung berada di tengah tengah antara Tristan dan Imel,
canggung dengna keadaan dan perasaanku. Berarti jika aku benar, Tristan memang
menyukaiku. Oui, oui, oui.26
Berarti aku yang one step ahead. Memang posisi Imel yang pernah menjadi pacar Tristan
dan masih menjadi sahabat benar-benar membuatku sedikit gentar. Tetapi ternyata itu
menjadi keunggulanku.
Imel yang sudah menjadi sahabat, akan sulit untuk merebut kembali hati Tristan.
Walaupun aku tidak tahu dengan pasti apa yang menyebabkan mereka putus dan tidak
pernah rujuk lagi, aku harus benar-benar memanfaatkan kesempatan ini. But dont be too
agresive. jangan sampai Tristan ill fil melihatku.
Loh kok bisa bareng? tanyaku.
Udah janjian dari sekolah. Mo nonton.
Ooo...
Tristan hanya diam seribu bahasa. Ia tidak berani menatapku. Biasanya ia cangat chatty
dan penuh percaya diri, kali ini tidak. Ia hanya senyum-senyum dan melihat-lihat sekeliling.
Pada nonton apa?
Night at The museum 2 jawab Imel.
Bagus ga? tanyaku.
Bagus.
Aku menatap Tristan, menunggu jawaban darinya. Tapi ia tetap tidak menjawab.
Potongan rambut gua bagus ga?
Iya, gua kan kenal Tristan. Gua tahu banget kalo dia suka sama lo.
Aku bingung bagaimana menanggapi breaking news yang sangat menggembirakan ini.
Tapi, kalo bener, kok bisa? Gua aja jarang banget ngobrol sama dia. Dia nelpon gua aja
ga pernah.
Imel perlahan memarkin mobilnya di dalam garasi dan mematikan mesin.
Mungkin dia ga enak sama gua. secara gua kan eks dan sahabatnya ditambah lagi lo
saudara gua. tinggal di rumah yang sama pula.
Ooo...
Kami keluar dari mobil dan berjalan ke pintu samping yang berada di dalam garasi.
Kalo lo mo serius sama Tristan, gua bakal bilang ke dia kalo gua ga masalah kalo kalian
jadian.
Hah?
Nah lo! aku harus ngomong apa kalo begini? Masa aku ngomong ,Ooo.. iya deh Mel,
bilang aja ke Tristan kalo lo mendukung hubungan gua sama dia. Jangan lupa juga bilang
kalo gua juga suka sama dia. gak mungkin kan?!
Aneh juga dipikir-pikir, tadinya Imel sangat semangat dengan kompetisi ini, tiba-tiba ia
menyerah begitu saja tanpa ada perlawanan berarti. Apakah ini hanya taktiknya agar aku
lengah?
Sebaiknya aku tidak terlalu menanggapi Imel. Aku harus fokus dengan usahaku. Kalaupun
benar apa yang dikatakan Imel, berarti itu adalah keuntunganku.
Loh kok lo ga jawab sih? tanya Imel dengan nada tinggi.
Ya gua bingung mo ngomong apa. jawabku jujur.
Kan gampang, tinggal jawab iya apa enggak terus bilang makasih.
Ga usah deh Mel, masa gua tega sih gitu sama lo. Walaupun lo ikhlas dengan
hubungan kita tapi ada rasa berat kan di hati lo.
Yaa... i can deal with it. kata Imel.
Ga lah. Biar bagaimanapun, gua ga mau ngorbanin saudara gua sendiri.
Aku menjatuhkan diriku di atas sofa empuk di ruang TV sedangkan Imel langsung menuju
dispenser untuk mengambill air dingin.
Kok, lo tiba-tiba gitu sih Mel?
Maksud lo?
Iya, kayak nyerah gitu.
Ada saat dimana kita tahu kita harus mundur sebelum kita kalah dan malu. ujar Imel
dengan gaya sok bijak.
Bener nih, kalo gua jalan sama Tristan, lo ga marah?
Enggak.
ga ngambek?
Enggak.
Enggak bete.
Eenggaaakkk!! Cerewet banget sih!
Gua kan cuma yakinin kalo lo gak pura-pura.
Eehhh...nih anak baru kerjaannya suuzon terus.
Aku tertawa geli sambil melempar bantal sofa ke Imel.
Thanks ya Mel.
Eh, enak aja thanks doang. Bayar!
Hahahaha...lo mah udah ga perlu duit. Udah kaya raya gini masak masih minta duit.
Jangan salah, ini Jakarta Bu. tempatnya orang berduit nyari duit.
Trus orang miskin?
Ya cari duit juga, masa cari miskin?! hah! Payah lo!
Sepertinya aku sudah salah menilai Imel, ternyata dia adalah saudara yang baik dan
bijak. Walaupun itu sulit dipercaya. Mungkin dengan bertambahnya umur, Imel semakin
dewasa dan bisa menekan egonya.
Berarti aku sekarang dapat fokus ke pelajaran dan membiarkan semuanya berjalan
sebagaimana mestinya. Jika benar apa yang dikatakan Imel bahwa Tristan suka denganku.
Aku hanya tinggal menunggunya. Kalaupun tidak, aku tidak perlu bersaing lagi dengan
siapapunkecuali Friskajadi tidak ada yang perlu aku khawatirkan.
Mel, ngomong-ngomong kita kok malah ga jadi nyari tempat les sih?
Nah, lo malah ke salon.
Iya ya. payah juga gua.
Besok ingetin gua. Kalo gua sih ngikutin lo aja.
Ah, jadi gak enak. Kesannya lo jadi sopir gua dong.
Enak aja lo. Ya udah, gua ga mau nganterin lo ah.
Ah, Imel. Gitu aja ngambek.
Saudara macam apa Anda, menghinanya di rumahnya sendiri. canda Imel.
Tawaku memecah kesunyian di rumah Imel yang besar. Imel tetap bertampang sok serius,
membuatku tidak bisa berhenti tertawa.
Sori deh, sori, lo kan saudara gua yang paling baik dan cantik.
Halah! Rayuan gombal. Aku bukan wanita murahan. godanya terus.
Udah ah becandanya. Beneran nih, besok kita cari tempat les.
Iya, iya. Cerewet banget sih nih cewek. ujar Imel sambil mencubit kedua pipiku.
j
Aku mulai terbiasa dengan kamar tamu. Lama kelamaan, kamar ini terasa sangat
nyaman. Selain luas, terang dan dingin. Kamar ini juga sepertinya sound proof. Tidak
terdengar sedikitpun suara di luar. Ketenangan absolut. Kecuali jika tante Mirna datang atau
Imel yang suka cari teman curhat.
Jangan-jangan nanti aku malah
Aduh, jam segini makan. Yang ada bisa nambah berat badan.
Kan, kalo olah raga terus, ga bakal naik berat badannya. Malah jadi otot.
kayak Arnold gitu maksud lo?
Ya bukan. Maksudnya malah sehat.
Emang lo begitu?
Begitu apanya?
Makan malem terus rajin olah raga?
Iya. Kalo gua emang suka olah raga. Jadi tiap hari olah raga.
Rajin banget.Olah raganya apa?
Lari sama basket.
Waduh, ternyata atlet toooh.
Tristan tertawa di ujung HP. Gaaak, gua hobi aja olah raga.
Lagi ngapain. tanyaku.
Gak ngapa-ngapain. Lagi santai aja.
Kalo tempat les yang bagus dimana sih?
Ooo...yang paling deket sih MSC. Anak-anak di sana kok. Gua juga.
Eh, gua mau dong daftar.
Besok kesana aja. Mo gua anterin?
Hah? Eeng....tapi gua dah janji sama Imel.
Ga papa. Bilang aja gua yang nganterin.
Hmmm...liat besok deh.
Abis itu mau nonton ga?
Hah? Kan tadi lo baru nonton sama Imel.
Yaaa...kan gua tadinya mo ngajak lo.
Loh kok jadi nonton sama Imel?
Kita sering nonton kok. Kalo lagi ga ada kerjaan ya nonton.
Berdua aja?
Kadang sama Alvin.
Oooo..
Emang lo berdua masih jadian? tamyaku pura-pura tidak tahu.
Enggak! udah lama putus.
Loh kok masih bareng aja.
Ga, ga ikut.
Kenapa emang?
Itu mah buat yang jago-jago doang.
Ooo..
Gua juga jago...tapi ga sejago mereka.
Hahahaha...kapan-kapan pegen liat lo main.
Jangan ah, nanti terkagum-kagum lagi.
Ah, paling ketawa ngeliatnya.
Hahahaha... Ya gak lah. masa liat orang main basket malah ketawa. Emangnya nonton
lawak.
Kalo Alvin? Dia jago ga?
Nah, kalo Alvin jago. Dia ikut tim basket.
O gitu.
Gimana, betah ga di sekolah? tanya tristan.
Lo nanyanya kayak nyokap gua.
Hahahaha...masa sih? serius lo?
Iya, serius.
Gawat! Gua tarik lagi deh.
Ga bisa lah...hihihihi.
Memalukan, masa gua ngomongnya kayak ibu-ibu?
Mana gua tahu. Emang jiwa keibu-ibuan lo tinggi kali?
Ada ga ya les untuk menumbuhkan jiwa kelakian dan menghilangkan jiwa keibu-ibuan.
Hahahaha... Aneh banget sih.
Jadi gua musti nanyanya gimana ya? Gimana Mir, sekolahnya? itu malah kayak bokap
lo kali ya?
Aku sangat geli mendengar perkataan-perkataan Tristan. Di luar dugaan ternyata Tristan
anak yang sangat humoris. Aku kira dia anak yang sangat cool. Tapi rasa sukaku kepadanya
menjadi bertambah.
Jadi gimana besok?
Apanya?
Nontoonnya.
Ooo
Jadi?
Ok.
Tapi nonton apa?
Kita lihat aja besok.
Tapi gua ga suka film cowok.
Kayak apa tuh film cowok? Film jorok-jorok gitu?
Bukan.
Ooo jadinya mo nonton yang jorok.
Hahahaha...apaan sih. Maksud gua jangan film action.
Ooo...
Emang film cowok pasti jorok?
Loh, cewek juga suka?
Ya ga tau. Gua ga pernah nonton.
Ah masa?
Iiih...males banget nonton film gitu.
Katanya di sana malah sering di TV?
Di Perancis?
Iya.
Ga tahu. Gua jarang nonton TV sih.
Loh, terus ngapain?
Baca buku. Gua suka banget novel.
Ooo.. gua baru tahu.
Novel apa?
Ya remaja lah. Gua kan ga suka action atau thriller.
Kenapa? kan seru.
Ga ah, bawaannya bete kalo abis baca novel thriller.
Masa baca doang langsung bete?
Iya. Pernah baca novel thriller ga?
Ga pernah.
Yaaaa...
Anak-anak sana gimana?
Baik-baik kok.
27.Sial!
Aku langsung meloncat dari tempat tidur dan membuka lemari pakaian. Ku telusuri satu
persatu pakaian yang kugantung. Kulemparkan keluar semua baju yang kira-kiraa dapat
kupakai.
Kuperhatikan baju yang telah kulempar ke lantai. Ku menghela napas karena yang kulihat
hanya baju-baju casual yang sangat biasa.
Yang kupunya hanya jeans dan beberapa kaos yang masih baru. Ternyata di sana aku
benar-benar tidak bergaul. Jangan-jangan di sana aku termasuk murid yang nerd.
Ya sudahlah, apa boleh buat. Tidak ada waktu buatku untuk membeli pakaian. Mungkin
aku bisa meminjam majalah-majalah fashion yang bisa memberiku inspirasi.
Tapi bagaimana kalo Imel curiga? Apa yang aku katakan padanya? Ah tidak mungkin.
Masa minjam majalah aja curiga.
Aku keluar kamar menuju kamar Imel. Dari luar terdengar suara TV yang cukup kencang.
Kuketuk pintu kamarnya beberapa kali.
Masuk. teriak Imel dari dalam.
Hai Mel. Ganggu ga?
Lo kaya namu aja. Masuk Mir. ujar Imel.
Aku langsung duduk di atas kasur di sebelah Imel yang tetap menonton DVD sambil
tengkurap.
Lo ada majalah ga?
Majalah apaan?
Majalah remaja.
Lo bahasanya baku banget sih. ejek Imel.
Ya pokoknya itulah.
Ada, tunggu. Imel beranjak dan mengambil tumpukan majalah di samping meja
belajarnya.
Nih. kata Imel.
Waduh banyak banget. Kebanyakan.
Udah bawa aja. Lo di kamar kan ga ada TV, bete banget pasti. Lumayan buat bacabaca biar bahasa lo ga baku lagi. Malu-maluin gua aja.
Koleksi majalah Seventeen Imel cukup banyak. Mungkin sudah ia koleksi setahun yang
lalu. Ada benarnya juga kata-kata si Imel. Gua harus catch up ketinggalan gua. Jangan
sampe gua jadi kuper.
Thanks ya Mel.
Yup. jawabnya dengan mata tertuju pada TV-nya.
Untung Imel ga curiga. Kalo tadi dia nanya, bisa gelagapan gua. batinku.
Aku tergopoh-gopoh membawa tumpukan majalah Seventeen yang mungkin beratnya
mencapai 3 kg. Kuletakkan dulu tumpukan majalah di lantai untuk membuka pintu kamar
kemudian kuangkat kembali dan ku taruh di atas kasur.
Aku melemparkan diriku ke atas tempat tidur dan mulai membaca majalah Seventeen
satu persatu. Oui, pas banget. Semua yang kubutuhkan ada disini. Kupisahkan majalahmajalah yang cocok dengan stock bajuku.
Kubuka lagi satu persatu majalah-majalah itu. Hampir semua majalah kupisahkan.
Sekarang aku kebingungan sendiri karena saking banyaknya referensi yang kudapatkan.
Satu-satunya cara adalah mencobanya satu-persatu untuk melihat yang mana yang
paling cocok untukku.
Kupadupadanku satu persatu baju dan celana-celanaku. ternyata cukup memakan
waktu yang lama. Tak terasa jam dinding sudah menunjukkan pukul 1 malam.
Aku setengah kaget melihatnya. Sepertinya tidak berapa lama yang lalu, masih jam 10
malam. Aku harus cepat tidur, jangan sampai aku mengantuk di kelas.
Ku masukkan kembali baju-baju yang tidak cocok ke dalam lemari dengan cepat. dan
baju yang akan kupakai besok, kugantung dipegangan lemari.
Semoga besok, hariku berjalan dengan sempurna.
9
Agh! Benar saja, aku kesiangan. Cara bangun yang paling kuhindari adalah cara bangun
seperti ini. Bangun dlam keadaan full kaget.
Aku mandi dengan kecepatan super kilat. Aku berlari keluar kamar mandi dalam
keadaan setengah basah. Lantai marmer mempersulit pergerakanku. Sesekali aku menjaga
keseimbanganku agar tak terpeleset.
Aku membuka pintu sedikit untuk mengambil seragam yang di taruh digagang pintu oleh
Mba Ati.
Mir! Cepetan Miiirrr! teriak Imel dari bawah.
Merde! Belum sarapan lagi!gerutuku.
IYAAA...!! teriakku.
Kusambar tasku dan berlari kencang ke lantai bawah.
Ayo buruan, nanti gerbang ditutup. kata Imel.
Iya, iya. Sori kesiangan. ucapku.
Maaf Tante, hari ini ga sarapan. Bangunnya kesiangan. kataku ke tante Mirna yang
seperti biasa sudah siap dengan lembaran seratus ribuan.
Ga papa. Bawa aja rotinya. Nih uang jajannya jangan lupa.
Makasih Tante. jawabku. Aku sambar seratus ribu yang dipegang tante Mirna dan
kuambil roti yang tergeletak di meja makan.
Aku kembali berlari menyusul Imel yang sudah berada di dalam mobil dengan wajah
tidak sabar. Mungkin jika aku telat sepesekian detik, dia akan keluar dari garasi dan
meninggalkanku.
Aneh juga. Imel selalu berusaha tidak terlambat ke sekolah tapi sesampai di sekolah, ia
malah cabut. Dasar saudara yang aneh.
Abis itu?
Hah?
Abis dari tempat les.
Ga tau si Tristan. Kemaren sih ngajak nonton.
Gua ikut dong.
Sial! Masa first date gua dikacauin sama Imel. Mentang-mentang dia deket sama Tristan.
Aduh! Bagaimana aku menolakknya?
Tapi kemaren gua janjinya cuma berdua.
Ya udah, nanti gua tanya Tristan aja.
Gila nih anak! Kenapa jadi ngeselin gini. Aaggghhh! pengen gua jambak rambutnya!
Ngapain sih ikut-ikut?
Sisa perjalanan kami akhirnya diisi dengan kesunyian. Aku sangat kesal dengan Imel yang
memaksa untuk ikut. Kenapa dia begitu? Apa dia sengaja mengacaukan acara kami?
Kalau benar begitu, berarti apa yang dikatakan dia kemarin semuanya bull shit. Dia masih
suka dengna Tristan dan tidak ada niatan untuk merelakannya sedikipun.
Kami berpisah di depan sekolah dengan dingin. Benar saja dugaanku. Pasti persaingan ini
akan menjadi masalah.
Akan sangat menyulitkan bagiku jika aku bermusuhan dengan Imel, terutama di pagi hari
saat berangkat sekolah.
Sangat mengesalkan jika kita harus bergantung pada seseorang. Tapi harus bagaimana
lagi? Kalau aku berangkat sendiri, pastinya Imel akan dimarahi oleh tante Mirna. Itu akan
menambah parah keadaan.Tapi di sisi lain, aku harus menghadapai Imel yang pastinya
akan tambah mengesalkan.
Tapi masa aku harus mengalah? Kan tidak mungkin. Jelas-jelas bukan aku yang salah.
Kemarin pun dia nonton dengan Tristan tidak memberitahu aku. Walaupun aku sedikit
kesal,tapi aku berhasil meredam amarah dan egoku. Karena aku sadar Tristan bukan milikku,
well not yet.
Hai Mir. Suara Tristan mengagetkanku.
Eh, hai.
Nanti jadi ya?!
Iya, pulang sekolah langsung jalan aja deh. Tapi anterin dulu pulang dulu, mau ga?
Pelajaran semakin tidak masuk ke dalam kepalaku. Yang kupkirkan hanya date-ku
dengan Tristan nanti sore. Penjelasan-penjelasan guru seperti bergema tak terdengar
sedikitpun di telingaku.
Aku asyik membayangkan diriku dengan Tristan berjalan bersamaan, menonton sambil
tertawa, makan di restoran yang romantis. Benar-benar seperti hidup di dalam sebuah film.
Sesekali aku sadar dan mulai memerhatikan guru dan keadaan sekitar, namun itu cuma
sementara. Selanjutnya aku kembali berkhayal.
Joanna sepertinya memerhatikan gerak-gerikku yang tidak biasa. ia mulai melirik-lirik ke
arahku. Ia mulai menulis-nulis di selembar sobekan kertas dan kemudian melempar ke
arahku.
Kuambil buntalan kertas yang tergeletak di dekat kakiku. Di dalamnya tertulis,
Knapa lo, senyam-senyu m sendiri gitu?
Aku tidak menjawab pertanyaan Joanna, hanya memelototinya agar tidak melemparkan
lagi bola kertasnya.
Tidak berapa lama, sebuah bola kertas jatuh di rokku. Joanna menahan tawa karena
lemparannya bisa tepat jatuh dipangkuanku.
Aku kembali membuka bola kertas itu, Heh, lo ngelamunin Tristan ya?
Lembaran itu aku remas lagi membentuk bola dan kulemparkan ke arah Joanna. Sialnya
ibu Sulastri, guru geografi melihatku.
Dia langsung menghampiriku dengan wajah beringas, seperti akan menghabisiku
dengan tanpa ampun.
Mirel, apa yang kamu lempar tadi?
Aku hanya terdiam, tidak berani menjawab pertanyaan ibu Sulastri yang suaranya sepertri
halilintar di siang bolong.
28.Masabododengandia.
Ibu Sulastri mencari barang bukti yang kulemparkan tadi. Dan sialnya, Joanna belum
mengambil bola kertas itu sehingga ibu Sulastri dengan mudah menemukannya.
Kamu bukannya merhatiin malah becanda. omelnya sambil membuka bola kertas.
Agh! Sial! Kenapa aku bisa sesial ini. Ini gara-gara si Joanna yang tidak pernah serius.
Seharusnya aku tidak meladeninya tadi. Sekarang yang terburuk adalah aku sendirian ke
ruang kepala sekolah.
Kamu emang ngelamunin tristan? tanya ibu Sulastri dengan suara lantang.
Sontak kelas bergemuruh. Ternyata bukan ke kantor kepala sekolah yang terburuk tapi
ditertawakan anak-anak sekelas yang baru aku kenal adalah pengalaman terburuk dalam
hidupku.
Mau ditaruh dimana wajah ini. Tawa tak kunjung surut. Ibu Sulastri sepertinya sengaja
membuatku ditertawakan agar aku jera. Joanna seperti tidak ingin terbawa. Ia hanya diam
dan berusaha untuk bergerak seminim mungkin.
Siapa yang nulis ini? tanya ibu Sulastri.
Jika aku menjawab pertanyaan itu berarti mengorbankan teman sendiri. Sial! Padahal
Joanna yang bikin gara-gara. Kenapa jadi aku yang kena batunya.
Ya udah, ibu kasih ulangan aja kelas ini.
Yaaaa!!! teriak anak-anak.
Saya bu! aku Joanna.
Kamu berdua ke ruang kepala sekolah sekarang. perintah ibu Sulastri.
Kali ini pasti kami akan bertemu dengan pak Warno. Disaster! Dia tahu ga ya, kemarin
kita kabur dan ga ke kantor dia? Tapi kan kemarin dia tidak datang.
Ayo cepat sana!
Kamu berdua melangkah keluar kelas dengan kepala tertunduk. Di luar Joanna mulai
senyam-senyum bersalah. Berusaha menghibur aku yang cukup kesal dengan kelakuannya.
Sori ya Mir. ucap Joanna.
Ah, lo sih! Gua bisa mampus nih. Masa anak baru dah di panggil ke kantor dua kali?
Kan yang kemaren ga diitung.
Kalo Pak Warno tahu kalo kemaren kita dipanggil gimana? Terus ga ketemu dia lagi.
Loh kan bukan salah kita. Dianya yang ga ada.
Tau ah. Gua jadi panik.
Ya udah, lo tenang aja. Nanti gua yang bilang kalo gua yang mulai.
Bener nih?
bener.
Yes. Thanks Na.
Wuuu! Gitu aja ngambek.
Bukannya gitu. Gua kan baru beberapa hari disini, masa udah bikin masalah. Padahal
gua cuma mau lulus aja.
Gua juga mo lulus aja kok disini. Bedanya gua ampir 3 tahun di sekolah.
Kali ini tidak ada keberuntungan. Ruang kepala sekolah terang benderang. Dari balik
jendela terlihat Pak Warno duduk di belakang mejanya yang sangat besar dengan papan
nama berukir yang di atasnya tertulis nama Warnoto Yudohusodo.
Joanna dan aku saling dorong untuk mengetuk pintu kantor. Akhirnya Joanna
memberanikan diri mengetuk pintu.
Masuk!
Joanna membuka pintu dengan sangat perlahan. Mungkin maksudnya mengulur-ulur
waktu jadi tidak terlalu lama dimarahi Pak Warno.
Pak Warno melirik sebentar ke arah kami kemudian melanjutkan menulis tumpukan kertas
di hadapannya.
Kenapa? tanya Pak Warno.
Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan keramahan. Tidak seperti sewaktu aku datang
pertama kali. Kali ini wajahnya benar-benar angker.
Maaf Pak, Kita disuruh ngadep Bapak.
Kenapa? tanyanya lagi dan masih tetap tidak melihat kami.
Kenapa pak? tanya Joanna.
Pak Warno menghentikan gerak tangannya dan meletakkannya di meja. Ia berjalan
mendekati kami dan duduk di sofa kantor.
Kalian kenapa disuruh ke sini?
Tadi kita dimarahin ibu Sulastri. jawab Joanna
Kenapa? Masa ga ada apa-apa dimarahin?
Awalnya saya yang salah sih pak. Saya lempar-lemparan kertas sama Mirel. jelas
Joanna.
Kayak anak kecil aja lempar-lemparan kertas. Kenapa kamu ga memerhatikan
pelajaran?
Kami hanya terdiam dan menunduk tidak berani menatap Pak Warno yang mulai
melotot.
Kalian berarti tidak menghargai guru yang susah payah mengajarkan kalian ilmu yang
berguna, tidak menghargai orangtua kalian yang sudah susah payah banting tulang
mencari uang untuk membiayai sekolah kalian, dan juga kalian tidak menghargai diri kalian
sendiri. Karena apa yang kalian lakukan hanya membuang-buang waktu percuma.
Sangat mengesalkan jika sudah seumuran kita, masih dimarahi seperti anak kecil, dan
lebih mengesalkan lagi kalau yang memarahi kita benar.
Saat ini yang bisa aku lakukan hanya pasrah kepada keadaan. Berdoa semoga pak
Warno tidak memanggil tante Mirna ke sekolah.
Kamu, Mirel kan? tanya pak Warno.
Kamu di sini murid baru. Seharusnya kamu lebih konsentrasi lagi dalam memperhatikan
pelajaran. Bahkan lebih daripada yang lain. karena kamu harus mengejar ketertinggalan
kamu.
Iya pak, maaf.
Untuk kali ini, bapak maafkan kalian. Tapi sekali lagi, bapak akan panggil orang tua
kalian.
Iya pak. jawab kami berbarengan.
Sudah sana, kembali ke kelas.
Iya Pak, makasih Pak. ucap kami sambil keluar dari kantor.
Selameett... ujar Joanna.
Untung aja! Kalo sampe ada panggilan buat orang tua, bisa malu banget gua sama
tanta Mirna.
bukannya malah enak, kan bukan nyokap lo yang dateng.
Malah malu kali! Bisa-bisa nama keluarga gua tercoreng gara-gara gua.
Mo ke kantin dulu ga? haus banget nih abis dimarahin , tenggorokan kering. ujar
Joanna.
Gila lo ya! belom kapok juga?
Kan sebentar doang.
Ga ah, kalo lo mau ke kantin, lo aja deh. Gua ga mau ambil resiko. Mending gua
kehausan daripada dipanggil lagi.
Ah, ga asik lo.
Bel bubaran sekolah akhirnya berbunyi. Waktu serasa berjalan di tempat. Setiap pelajaran
yang kulewati serasa bertambah satu jam.
Aku buru-buru merapihkan buku-buku ku kemudian berlari menuju parkiran sekolah.
belum sampai pintu sekolah, Tristan sudah menungguku di ujung lorong.
Hai. sapa Tristan.
Hai.
Ngapain lari-lari? tanya Tristan.
Takutnya lo nunggu kelamaan.
Loh kan baru bel.
Yaaa...jaga-jaga aja.
Kalau telat juga ga papa. Pasti gua tungguin.
Thanks.
Mo langsung berangkat?
Yuk.
Kami berjalan berdampingan. Puluhan pasang mata memperhatikan kami. Pasti besok
akan menjadi gosip hangat di sekolah.
But I dont care. Malah itu yang sangat kutunggu. aku harus memberikan signal kepada
yang lain bahwa kini Tristan dekat denganku.
Dari sudut lain parkiran Imel sedang bersama teman kelas 11-nya, mereka sedang masuk
ke mobil Imel. Aku memandangi Imel hendak menyapanya. Tapi sepertinya Imel memasang
tampang bete. Aku yakin dia sangat cemburu melihatku.
Aku urungkan niatku untuk menyapa Imel. Dia kemudian masuk ke mobil dan
meninggalkan sekolah dengan cepat.
Sini Mir. ajak Tristan sambil menunjukkan mobil Livina warna hitam.
Kami pun masuk ke dalam mobil yang kondisinya sangat terawat. Tidak ada sampah atau
debu menempel di interior mobil. Bau harum pewangi mobil semerbak mengisi ruang.
Mobil kami melaju pelan meninggalkan parkiran sekolah. Tristan membuka jendelanya
sambil berpamitan dengan teman-temannya yang memberikan senyum penuh makna
seraya memperhatikanku.
Sekilas aku merasa melihat Friska, namun aku tidak berhasil menemukannya. Mungkin
hanya perasaanku saja yang sangat ingin memperlihatkan kepadanya kalau aku jalan
dengan cowok idamannya yang tak pernah berhasil dia dapatkan.
Deru suara mesin mobil kami membaur dengan puluhan mobil lain di jalan raya. Untuk
pertama kalinya aku hanya berdua dengan Tristan. benar-benar berdua, tidak ada yang
mengganggu.
Tidak ada yang berani membuka pembicaraan. ak umenatap lurus ke depan. Dan Tristan
juga seperti kehabisan kata-kata.
Tristan menyalakan tape mobil untuk mencairkan suasana.
Lo suka ga? tanya Tristan.
Apa? Lagunya? tanyaku.
Iya.
Baru denger.
Masa sih? Ini kan bagus banget.
Tapi kan gua baru beberapa hari disini.
Tristan mengambil kotak cd di sebelah kirinya dan memberikannya kepadaku.
Cover cd yang menarik. batinku.
Ini Maliq and dessential.
Namanya bagus.
Lagunya bagus ga?
Bagus.
Lo sukanya lagu apa?
Hmmm...kebanyakan lagu pop sih.
Apa?
Apa ya?
Kety Perry suka, Rihana suka, apa lagi ya?
Top ten lah ya.
Iya.
Kalo lagu Perancis bagus-bagus ga?
Lumayan sih. Tapi menurut gua. Bahasa Perancis ga cocok buat dinyanyiin.
Ada ya, bahasa yang cocok buat lagu?
Ada. kayak bahasa inggris, indonesia, tuh cocok banget.
Hahahaha...ada-ada aja.
Iya. bener kok.
Emang ada penelitiannya?
Ya enggak lah...iseng banget orang buat penelitian tentang bahasa dan lagu.
Eh, pasti ada tuh. nanti Google ah.
Tidak terasa kami sudah samapi di depan rumah Imel. Tristan memarkirkan mobil di depan
pagar besar rumah berwarna putih.
Aku menyapa Pak Rustam, satpam rumah Imel yang selalu siaga. Setiap tamu selalu
dimintai KTP dan dicatat, bahkan presiden pun mungkin akan dimintai KTP olehnya.
Pak, saya masuk dulu ya. ujarku.
Loh, mba Imel mana? tanya Pak Rustam.
Tadi pergi sama temen-temennya.
Ooo.
Tristan mengikutiku masuk.
Maaf Mas, KTP-nya. pinta Pak Rustam.
Ah, pak Rustam. kan saya biasa kesini.
Iya, Mas Tristan. Tapi ini sudah protap29-nya.
Tristan tersenyum kemudian menyerahkan KTP-nya ke Pak Rustam. Jangan hilang loh
Pak. canda Tristan.
Lah iya dong Mas. masa hilang, kan saya simpan. jawabnya dengan logat jawa yang
medok.
Ayo masuk Tristan. ajak ku.
Tristan masuk ke ruang tamu seperti rumahnya sendiri. Dia tentunya masih sangat ingat
dengan rumah ini. Rumah yang pastinya sering ia datangi semasa ia masih jadian dengan
Imel.
Tunggu sebentar ya. kataku sambil menaiki tangga menuju kamarku.
Kupercepat langkahku dan dalam hitungan detik, aku sudah memakai baju yang telah
kusiapkan sejak malam.
29.ProsedurTetap
Kurapikan rambutku dan kepakai sedikit makeup dan lip gloss. Beberapa detik di depan
kaca, meyakinkan diri bahwa tidak ada yang aneh di wajah dan bajuku. Aku langsung
keluar kamar berlari kecil menuruni tangga.
Aku agak sedikit kaget melihat tante Mirna sudah duduk di hadapan tristan. Mungkin
tante Mirna agak bingung meliat Tristan tidak datang bersama Imel, tetapi malah denganku.
Tante. sapaku.
Kamu mo lihat tempat les ya? tanya tante Mirna.
Iya tante, Tristan mo bantuin nyari. katanya tempat les anak-anak kelas 12 di MSC.
Ooo...iya. Memang kalian sekelas?
Enggak kok tante. Gak sekelas. jawab Tristan.
Ya udah, tante titip Mirel ya Tristan.
Iya tante.
Imel kemna? tanya tante Mirna kepadaku.
Tadi sih pergi sama temennya tante. jawabku.
Biasa deh tuh anak. Kalo pulang sekolah pasti ngeluyur.
Maaf tante. mirel minta izin, abis pulang cari tempat les, Mirel mo nonton.
Ooo ya sudah. tapi jangan pulang malam-malam ya.
Iya tante. Mirel cuma nonton aja kok.
Jangan lupa makan ya.
Iya Tante. jawabku.
Kamu perlu uang ga? tanya tante Mirna.
Ga, kok tante. Masih ada.
Ya sudah. Hati-hati ya.
Wow. Aku kira tante Mirna bakal sinis melihatku dengan Tristan. Ternyata aku salah, tante
Mirna tidak menunjukkan sedikitpun wajah bete ataupun kesal. Mungkin tante Mirna tidak
tahu hubungan Imel dan Tristan dulu.
Permisi Tante pamit Tristan.
Pergi dulu Tante. pamitku juga.
Senangnya hati ini, semua berjalan mulus. Mungkinkah ini pertanda hubunganku dan
Tristan meant to be?
Cest fou!30Sebentar jalan begitu lengang sesaat kemudian sudah dipenuhi kendaraan.
bahkan motorpun harus berjalan zig-zag untuk melewati kepadatan.
Macet banget. ujarku.
Ini mah biasa. paling parah kalo udah jam pulang kantor. Bisa ga jalan.
Tapi kemarin-kemarin ga pernah begini.
Lagi beruntung kali?
Masih jauh ga tempat les nya?
Gak kok. sedikit lagi sampe.
Aduh, aku naik apa ya ke sininya? macet banget. Kalo naik angkutan umum berapa kali
ya?
30.Gila!
Ga usah. Nanti bareng gua aja. Kan jam lesnya pas abis jam sekolah.
Ooh gitu. Jangan ah, nanti ngerepotin.
Ya enggak lah. Sekalian biar ada temen.
Emang Alvin ga les?
Les juga. Tapi dia bawa mobil sendiri.
Ooo
Ternyata tempatnya lumayan dekat. Tapi akan sangat sulit jika naik angkutan umum. Bisa
3 sampai 4 kali. Belum lagi macet, panas, dan aku sangat asing dengan jalan-jalan nya.
Kami tiba di depan sebuah ruko berlantai tiga dengan billboard besar bertulis MSC
Bimbingan Belajar. Kelihatannya tempatnya kurang begitu nyaman. Tapi aku tidak terlalu
peduli. Yang penting aku lulus sekolah.
Sore mas. Minta brosur dong. Ada yang mau daftar.
Oooiya. tunggu sebentar.
Penerima
tamu
mengambil
brosur
dan
satu
lembar
kertas
kosong
kemudian
Enak juga ke Pejaten Village. tempatnya ga terlalu rame dan cozy. Banyak tempat
makan lagi. Aku berusaha untuk menjadi diriku.tanpa ada sedikitpun yang aku tutup-tutupi.
Tristan harus menerimaku apa adanya. Aku tidak mau Tristan suka padaku yang bukan diriku.
Kita liat dulu film-filmnya, abis itu baru kita makan. usul Tristan.
Aku hanya mengangguk mengiyakan.
Mo nonton Drag Me to Hell ga? tanya Tristan.
Yuk turun.
Yuk.
Naek lift aja ya.
Terserah.
Cahaya sore menembus kaca-kaca yang bening di atap mall. Menyinari lantai-lantai mall
yang memantulkan sinarnya kembali ke udara.
Suara para pengunjung bergema ke seluruh dinding mall membuat suasana mall semakin
hidup. Aku sangat menyukai mall, bahkan sewaktu di Lyon, aku sering pergi ke mall-mall
hanya untuk melihat-lihat dan menikmati atmosfernya.
Tempat kedua yang aku sukai adalah perpustakaan. Memang agak lame. Tapi
perpustakaan di Lyon sangat nyaman dan tenang. Aku bisa menghabiskan waktu berjamjam di sana.
Yang paling aku sukai adalah berada di perpustakaan pada saat hujan salju.
Memandangi salju dari balik tembok kaca sungguh pemandangan yang indah untuk
dinikmati.
Walaupun suhu dingin membuat kupingku sakit dan tanganku membeku. tidak
membuatku membenci musim dingin.
Yang palingkubenci adalah musim gugur dengan angin yang tiada henti. Hujan yang
tidak menentu. membuat semua aktifitasku terganggu. Bahkan untuk pergi makan siangpun
aku harus membawa payung. Merepotkan.
Melihat menu Secret Recipe semakin menbuat perutku berteriak. Foto-foto hidangan
membuatku semakin lapar. Sejak siang aku belum menyetuh makanan sedikitpun.
Kok bengong? tanya Tristan.
Iya, kayaknya enak-enak banget.
Ini nih, enak. kata tristan sambil menunjukkan menu irish lamb stew .
Ya udah deh, gua itu aja.
Minumnya apa?
Ice lemon tea aja.
Tristan memanggil pelayan memberikan pesanan. Tempat yang sangat cozy. Berada di
pelataran Mall dengan pohon-pohon rindang yang menghalangi panas matahari sore.
Bingung juga membuka pembicaraan. Sepertinya aku sudah membicarakan semua hal
yang bisa dibahas. Masa aku harus membahas pelajaran, oh no. Enough is enough. jangan
pelajaran lagi.
Udah pernah ke Grand Indonesia belom? tanya Tristan.
Blom.
Mo kesana ga?
Mau dong. Pokoknya gua mau menjelajah Jakarta. Gua dah lama ga ngeliat Jakarta.
Udah pernah ke Monas belum?
Udah lah. Ga segitu parahnya kali?!
Enggak. Maksud gua Monas sekarang.
Belom.
Beda!
Beda gimana sih?
Sekarang tambah tinggi.
Maksudnya ditinggiin gitu?
Ya kan dulu lo liat monas masih kecil, sekarang udah gede dia. Sudah bertumbuh.
Ah, ga lucu. garing. ujarku menahan tawa, agak gengsi karena merasa tertipu.
Tapi serius, bagus banget. Ada kijang segala.
Oo. gitu.
Lo terakhir di Jakarta berapa tahun yang lalu sih?
6 tahunan.
Berarti lo masih SMP ya?
Iya.
Udah lama banget ya.
Iya, terus pas gua berangkat kan gua masih kelas 3 smp jadi blom bisa kemana-mana
juga.
Sekarang nyebutnya bukan 3 tapi 9.
Iya. kelas 9. Kenapa sih diganti?
ga tau. Yang penting gua lulus.
Kalo lo sama anak-anak jalannya kemana sih?
Biasanya nonton atau clubbing kadang bowling atau billiard, pokoknya se mood nya
aja.
Rame-rame?
Ga sih. Seringnya sama Alvin.
Kapan-kapan ikut jalan sama kita.
Kalo clubbing males ah. Kalo maen bowling mau.
Emang bisa?
Bisa dong. Kalo lempar-lempar bola doang mah.
Itu bukan bola doang kali. Beratnya aja bisa bikin pennyok metro mini.
Ya kan digelindingin bukan di dribbel.
Ooo. tau juga kata dribble?
Jangan under estimate gitu dong. Itu pelecehan namanya.
Gitu aja marah.
Tunggu, biar saya telpon lawyer saya dulu. candaku sambil berpura-pura menelpon.
Emang gua ga bisa. balas Tristan sambil ikut bergaya menelpon.
Ternyata Tristan tidak se cool yang ku kira. Tapi ia orang yang sangat menyenangkan.
Sepertinya ia tampil apa adanya. Tidak ada yng dibuat-buat.
Selama ini aku berpikir, cowok yang cocok untukku adalah cowok yang cool. Persis
seperti cowok-cowok di Gossip Girl, 90210, tapi cowok lucu aku rasa lebih menyenangkan
daripada cool.
Pelayan membawa semua pesanan kami, Semerbak aroma makanan menambah rasa
lapar yang sejak tadi menggangguku.
Akan sangat tidak lucu jika tiba-tiba perutku bunyi dan Tristan mendengarnya. malunya
pasti tak termaafkan.
Sudah semua? tanya pelayan.
Sudah. jawab Tristan.
Selamat menikmati.
Kami saling pandang dengan senyum puas karena melihat makanan yang terlihat sangat
enak. Aku menunggu Tristan menyantap makanannya. Sangat tidak etis jika aku langsung
melahap makananku. Harus jaga image. jangan sampe gua terlihat kelaparan dan rakus.
Ayo makan. ajak Tristan.
Iya. jawabku sambil meneguk ice lemon tea ku sedikit.
Tristan sudah melahap makanannya tanpa ampun. Rasa laparnya mungkin lebih dariku.
Aku cukup takjub melihat kecepatan makannya. Napasku pun tak secepat ia melahap
makanan ke mulutnya.
Aku memakan pelan-pelan dan dengan gaya sesopan mungkin ala putri keraton.
Padahal jika aku tidak bersama Tristan, pasti kecepatanku makan takkan kalah dengan
Tristan.
Laper ya? tanyaku.
Tristan menelan paksa makanan di mulutnya,Iya, dari siang belom makan. Gila, perut
kayak belom diisi dua hari. jawab Tristan.
Enak ya makan di sini.
Iya, enak. Gua juga baru pertama kali.
Kirain dah pernah.
Blom, blom pernah.
Tiba-tiba HP ku berbunyi. Ku ambil dari dalam tasku. Halo. Mah. sahutku.
Kamu lagi apa? tanya mamah.
Mirel lagi makan. lanjutku.
Di Mana? Kok rame banget?
Di mall, Mah.
Kok di mall? sama siapa? tanya mamah lagi.
Sama temen.
Cewek apa cowok?
Hah? Apa Mah? jawabku gugup.
Sama cewek atau cowok?
Sama Tristan.
Cowok ya?!
He eh.
Inget loh Mir, jangan pacaran-pacaran dulu. Selesain dulu sekolah kamu. Fokus dulu
beberapa bulan ke depan. Setelah itu kamu bebas.
Iya Mah, Mirel inget kok.
Ya udah. Mamah cuma ngingetin aja. Imel ga ikut?
Ga, dia maen sama temen-temennya.
Ya sudah, Jangan pulang malem-malem ya. Salam buat Tante sama om dan Imel ya.
Iya Mah.
Ya sudah. Pinter-pinter jaga diri ya!
Iyaaaa Maaaahhh.
Ya udah, Nih Papah mo ngomog.
terdengar suara mamah menjelaskan percapakan kami tadi ke papah.
Halo, Mir.
Iya Pah.
Kemungkinan Mamah pulang duluan bulan depan. Biar ngurusin kamu dan rumah. Ga
enak sama Tante Mirna.
Yeeahhh, tanggal berapa Pah?
Belum tahu pastinya. tapi awal-awal bulan kayaknya.
Iya, pah, ga enak sama keluarganya Imel, Mirel juga jadi terbatas mo ngapa-ngapain
ga enak.
Iya, makanya mamah pulang duluan. Ya udah ya, nanti papah kabarin lagi.
Iya pah.
Belajar yang bener ya. Jangan main terus.
Iyaaa.
Dah.
Senangnya mamah menyusul pulang ke sini. Aku ingin lebih bebas lagi. Tidak perlu
merasa risih jika ingin berangkat sekolah atau jalan-jalan.
Yang paling aku tidak suka adalah bergantung kepada Imel. Walaupun dia saudara dan
sahabatku, tetap saja. namanya juga bergantung. Serasa seperti parasit. Bukan gua banget.
Kok kayanya seneng banget?
Iya, nyokap gua dah mo pulang.
Ooo...bagus dong.
Iya, gua bisa pindah ke rumah gua yang dulu.
Di mana?
Di Lebak Bulus.
Deket.
Tapi ga tau sekarang kayak gimana.
Kemarin ini sih dititipin temen bokap.
Paling sekitarnya udah berubah. Secara, lo dah pergi 4 tahun. lama banget.
Malah mungkin karena itu cowok merasa di atas cewek. Masa hanya karena dibayarin
makan, aku akan lebih mudah dirayu sama cowok. kan enggak juga.
Ya, ga semua cowok sih berpikiran begitu. Tapi lebih baik berjaga-jaga kalau menyangkut
harga diri.
Enak juga nonton di XXI. Jauh lebih nyaman dan besar dari bioskop di Lyon. Berbeda
dengan di sini, bioskop di sana bukan cuma dua tapi bisa lebih dari tiga di satu tempat
perbelanjaan.
Dan dari nama yang berbeda. Ada 5 lumieres, Gaumont, UGC. Memang fasilitas yang
diberikan juga berbeda.
Ruang bioskop kembali terang secara perlahan. Film yang lumayan bagus dan lucu.
Para penonton meninggalkan bangkunya satu persatu dan keluar studio melalui pintu
exit.
Udah yu.ajak ku.
Tunggu aja dulu, masih rame. ujar Tristan.
Ok. Aku duduk kembali di bangku bioskop yang empuk dan masih kelihatan baru.
Suka ga filmnya? tanya Tristan.
Suka kok. Bagus.
Ben stiller emang lucu-lucu filmnya.
Iya ya? Gua baru nonton film dia yang ini.
Abis ini mo minum dulu ga?
Kemaleman. Gua ga enak sama nyokapnya Imel.
Oo gitu. Ya udah.
Mengesalkan! Coba mamah dah pulang dan aku sudah tinggal di rumah. Pasti aku bisa
pulang sedikit lebih malam.
Tapi tenang, ga sampe tiga minggu, mamah dah balik. Orang sabar disayang Tuhan.
pasti ada hikmahnya.
Tapi kalo beli minum untuk take away ga papa kan ya? tanya Tristan.
Ga papa. Gua juga agak haus. jawabku. Padahal tenggorokan ini keringnya kaya
gurun sahara.
Mo beli minum dimana? Mo di J Co aja? usul Tristan.
Iya, ga papa.
Kami menuruni escalator satu demi satu. Kadang tatapan kami bertabrakan, saat itu kami
hanya melemparkan senyum saja. Tidak berani berkata-kata.
Mir, lain kali kita jalan lagi yuk.
Ayo.
Tapi jangan nonton. Bosen.
Kemana?
Kita makan aja.
Iya, ga papa. dimana?
Nanti deh, gua kasih tahu tempatnya.
Oke.
Sabtu besok gimana?
Jam berapa?
Jaammm tujuh deh.
Tapi gua izin dulu sama nyokapnya Imel.
Iya.
Yess! Tristan ngajak aku jalan lagi. Kayaknya dia emang dah suka sama aku. Ingin
rasanya berteriak YEAH! sambil loncat-loncat dan memeluk bantalku erat-erat.
Tapi bagaimana bisa terjadi? Aku merasa tidak ada usaha yang berlebh dariku. Aku
hanya menjadi diriku sendiri. Apa yang dilihat Tristan dariku? Apakah aku lebih cantik dari
yang lain?
Aku rasa Imel lebih glamor dariku dan Friska walaupun jutek dan menyebalkan, dia
termasuk cewek yang cantik. Dan belum lagi Tasya, Slavina, Ingrid, aduh banyak banget
yang cantik dan hip.
Apa Tristan hanya mencoba being nice padaku. Karena aku masih baru di Jakarta? Ah
tidak mungkin, masa sih sampai segitu ngototnya ngajak jalan?
Kalo Tristan nembak gimana ya? langsung terima atau pikir-pikir dulu? Aduh bingung! Aku
sama sekali baru dalam hal ini. Yang ada, aku hanya mengikuti apa kata hatiku dan semua
panduan kehidupan yang diajarkan oleh papah dana mamah.
Mo minumapa? tanya Tristan.
hah? responku yang tidak sadar kalo sudah berada di depan kasir J Co.
Gua minum Ice Thai Tea. kata tristan.
Sama deh.
Yakin?
Iya. masa lo mesen minuman ga enak, kan ga mungkin.
Bisa aja lo ga suka.
Hahahah, gua udah pernah nyobain lagi Ice Thai Tea.
Take away ya. ujar Tristan.
Pelayan J Co menyebutkan jumlah pembayaran. Dengan cepat aku memberikan uang
seratus ribuan ke pelayan itu.
Tristan hanya memandangiku sambil tersenyum seperti ingin mengatakan, aduh, gimana
sih, ini kan acara gua. jadi gua yang bayarin.
Kenapa sih ngeliatin gitu? tanyaku.
Enggak. Thanks ya. jawab Tristan.
Sama-sama.
Tidak berapa lama pelayan J Co memberikan dua gelas Ice Thai Tea dan dua donut.
Ga mau makan di sini aja? tanya Tristan.
Ga deh, di bawa aja.
Ya sudah.
Ada yang musti di beli lagi ga? Apa gitu, buku, ballpoin, baju...? tanya tristan.
Enggak kok, ga ada. jawabku agak sedikit heran dengan pertanyaan Tristan.
Ok, nanti di jalan kalo pengen beli apa-apa, langsung bilang aja. Gua ga papa kok
nganterin.
Iya.
Mungkin ga sih dia mencari-cari alasan agar lebih lama bersamaku? Ah, mungkin hanya
perasaanku saja.
Tanpa ada suara dering HP, Tristan tiba-tiba mengangkat HP-nya, halo, iya
Wajah
Tristan
terlihat
serius
dan
sedikit
menjauh
dariku.
Aku
hanya
berdiri
Mobil Tristan berhenti tepat di depan gerbang rumah. Pak Rustam sudah membukakan
pintu untukku.
Ga mampir dulu?tanyaku.
Ga deh, langsung aja.
Makasih ya, dah nemenin ke MSC terus nraktir nonton.
Ga usah makasih, kan next time lo yang traktir.
Iya, tapi kan makasih sekarang juga ga papa.
Aku turun dari mobil diikuti Tristan.
Ga masuk dulu mas? tanya pak satpam.
Ga pa, mo langsung pulang.
Aku masuk ke balik gerbang bes i yang sangat besar. dan menunggu Tristan masuk
kembali ke mobil.
Tristan membuka jendela mobilnya, Sampai besok ya Mir.
Iya, dah. sahutku sambil melambaikan tangan seiring dengan menghilangnya mobil
Tristan dari pandanganku.
Mba, masuk lewat pintu garasi aja Mba. ujar pak Rustam.
Makasih Pak. ucapku.
Di dalam, ruangan sudah gelap. Para penghuni sudah berada di kamarnya masingmasing. Perutku tiba-tiba merasa sangat lapar. tapi meja makan juga sudah terlihat sangat
bersih.
Ingin ke dapur tapi aku malas untuk menanyakan makanan sisa ke Mba Ati. Untung ada
donut dan Ice Thai Tea.
Aku langsung naik ke kamar. menaruh gelas dan bungkus donut di nakas kemudian
melemparkan tubuhku ke atas kasur.
Melelahkan! Badan ini rasanya mau rontok. Pikiranku masih melayang mengingat saatsaat aku bersama Tristan.
Mungkin ga ya Tristan suka padaku? Aku kemudian beranjak dari tempat tidur dan
berjalan menuju cermin. Aku memandangi diriku di cermin. Agh! What a mess! Kaosku
sudah lecek. dan rambutku sedikit berantakan. Berarti aku dari tadi berpenampilan seperti
ini. memalukan!
Aku mengganti bajuku dengan t shirt kesayanganku yang sudah lusuh. Kaos ter-PW31
untuk tidur atau leha-leha di rumah.
Kemudian aku kembali ke tempat tidur dan duduk bersila di atasnya. Sambil menikmati
donut dan Ice Thai tea.
Seperti biasa, ketukan pintu kamar terdengar.
Masuk.
Imel melongok ke dalam kamarku, Boleh masuk ga?
Ya boleh lah.
Imel yang mengenakan kaos terusan dengan gambar pink panther masuk seraya
menutup kembali pintu kamar.
Eh, lo tadi jadi ke tempat les? tanya Imel.
Jadi lah. jawabku sedikit jutek karena teringat kelakuan Imel tadi siang.
Terus, abis itu lo jalan sama Tristan?
Iya, kita nonton.
Ooo.
Kami terdiam sesaat. aku benar-benar tidak mood untuk berbicara dengan Imel. Rasa
kesal ternyata masih ada di dalam hatiku. Tapi aku berusaha terus untuk meredamnya.
Imel duduk di lantai sambil bersender ke tempat tidur, tepat di sampingku.
Kok lo ga ngajak-ngajak gua sih?tanya Imel.
Aduh! nih anak kenapa sih? kok jadi aneh begini? Masa gua musti ngeladenin dia terus
sih?
Ya, gua kan ga tau lo mo ikut. Pulang sekolah lo bukannya jalan sama temen-temen lo?
Abis, lo batalin jalan bareng gua, ya gua jalan sama anak-anak.
Lo ga marah kan gua jalan sama Tristan?
Ya enggak lah, emang Tristan punya gua? kan enggak.
Tapi kok lo kelihatan marah sih dari pagi?
Enggak kok, gua ga marah. Bener, gua cuma rada bete aja lo batalin rencana kita.
Kok alasannya ga masuk akal ya? Aku yakin dia sangat cemburu melihatku jalan bareng
Tristan.
Kita udah ga saingan lagi kan? tanyaku.
31.PalingWuenak
Ya, nanti juga lo tahu. jawab Imel yang kemudian menghilang dari balik pintu dan
menutup pintu rapat-rapat.
Maksud Imel apa sih dengan kekurangan Tristan? Sok misterius banget! Ah, paling dia
cuma bikin aku ragu unuk menerima Tristan. Bisa saja Imel.
10
Iya, ya bener juga Joanna, berarti mulai sekarang aku harus lebih percaya diri!
Eh, lo dah belajar blom?
Kenapa emang?
Sekarang kan ulangang matematika.
HAAAAAAAAAA!!! IYA GUA BENER-BENER LUPA!teriakku dalam hati.
Oh my god! gua lupa banget! kataku panik.
Yaaahhh...kebanyakan pacaran sih lo. ejek Joanna.
Lo bantuin gua ya?
Iya, tapi kalo bisa ya. Secara kita duduknya makin jauh aja.
Iya.
Siaalll! Beberapa quiz di awal sekolah, nilaiku sudah tidak memuaskan. Di tambah lagi ini,
tambah parah saja.
Kelas lebih sepi dari kuburan. Semua berkonsentrasi menatap soal-soal yang bikin pusing
kepala. Sedangkan aku tidak lagi tega melihat kertas soal. Tak ada satupun soal yang dapat
kukerjakan dengan baik.
Kenapa kamu gak ngerjain soal kamu? tanya Pak Husnin guru matematika.
Ngerjain kok pak. jawabku sambil menutupi kertasku yang hanya ada sedikit coretan.
Pak Husnin kembali berpatroli mengelilingi kelas.
Merde! Cest pas vrai!32 kenapa bisa sampai begini? Gimana nanti kalo mamah tahu
nilaiku bakal hancur-hancuran?batinku.
Aku berusaha mengirimkan sinyal SOS ke Joanna tapi sepertinya dia tidak berani
mengirim bala bantuan.
Benar-benar sebuah mimpi buruk di siang bolong. Ingin rasanya melewati secepatnya
keadaan yang sangat tidak mengenakan ini.
Soal-soal kubaca berulang kali, tapi tidak juga ada jawaban yang dapat kutemukan di
kepalaku.
Seharusnya aku tidak pergi kemarin, atau miinimal pulang sebelum maghrib. Tapi
penyesalan adalah hal yang percuma.
32.Sial!Gamungkin!
Aku menarik napas dalam-dalam. Tidak ada lagi yang dapat aku lakukan selain
mengatur napas dan melewati saat-saat yang sangat menakutkan ini. Ulangan berikutnya
aku harus lebih prepare lagi.
Tidak berapa lama pak Husnain memerintahkan untuk mengumpulkan kertas-kertas
jawaban di mejanya. Aku menunggu sampai hampir semua murid mengumpulkan di
depan. Ketika tumpukan mulai meninggi aku buru-buru memsukkan lembaranku ke tengah
tumpukan. Aaghhh! benar-benar nightmare!
PMS yang menyebalkan. Bawaannya pengen marah terus. Lebih parah lagi, laper ga
ilang-ilang . Untung bukan di rumah sendiri. jadi makannya agak ke rem.
Lama-lama bosen juga di kamar terus. Ga ada TV, majalah dah dibaca semua. Mo
ngapain lagi coba?!
Ketukan pintu terdengar pelan. Tidak biasanya jam 7 malam ada yang mengetuk pintuku.
Biasanya Imel datang sekitar jam 9.
Siapa?
Mba. suara Mba Ati terdengar.
Aku segera membuka pintu kamar.
Ada apa Mba?
Ada yang nyari Mba?
Siapa tanyaku
Ga tahu Mba. Cowok.
Hah!
Jangan-jangan Tristan. batinku.
Iya, ga papa.
Tunggu ya.
Aku berlari ke atas kemudian mengetuk kamar Imel keras-keras.
Mel.
Tidak berapa lama Imel membuka pintu dengan wajah kusut.
Baru bangun tidur? tanyaku.
Iya. jawabnya sambil menggaruk-garuk kepala.
Mo ikut gua sama Tristan ga? kita mo makan.
Hah? Ada tristan? kapan dateng?
Dah dari tadi.
Ooo... mo makan dimana? ga tahu. Kata Tristan sih deket-deket sini.
Ooh.. ya udah. Tunggu ya.
Gua di bawah ya.
Aku kembali berlari ke bawah agar Tristan tidak terlalu lama menunggu.
Tunggu sebentar ya, Tris. Imel masih ganti baju. baru bangun tidur dia. kataku.
Jam segini baru bangun?
Iya. Tunggu sebentar ya.
Tristan kembali masuk ke ruang tamu dan duduk di tempat semula.
Aku ke belakang untuk mengambil minum untuk Tristan. Aku masih tidak enak meminta
tolong Mba Ati.
Tidak sampai 5 menit aku sudah keluar membawa segelas Pepsi untuk Tristan.
Nih minum dulu. kataku.
Makasih Mir.
Sori ya, kalo ga ngajak Imel, kan aneh.
Iya sih. Masa kita pergi gitu aja ya. Gua sama sekali ga masalah kok. Bener.
YAAA...GUA DAH SIIIAAAPPP. teriak Imel dari tangga seraya berlari menghampiri kami.
Yuk, keburu malem. ujarku.
Ya elah Mir, kayak anak kecil aja. ejek Imel.
Ga enak gua sama nyokap lo. jelasku.
Ga, ga papa. Anaknya pulang pagi aja ga papa, apalagi anak orang. jawab Imel.
Memang di Jakarta, hari tidak berpengaruh. Kemacetan selalu saja terjadi di setiap hari di
setiap ruas jalan.
Mo makan dimana nih? tanya Tristan.
Loh, gimana sih? lo yang ngajak, tapi lo yang nanya. ujar Imel dari belakang.
Ya kan, ibu-ibu yang nentuin.
Enak aja lo ibu-ibu. Cantik begini dibilang ibu-ibu. ujar Imel.
Di Kemang mau ga?usul Tristan.
Di La Cote de Fin?tanya Imel.
Iya.
Ya udah, ada sour Sally juga disitu. hmmm...aduh belum apa-apa udah laper nih.
canda Imel.
Lo belum pernah kan Mir? tanya tristan.
Belum.
Nah, pas banget. kata Tristan.
Gua sih ikut aja deh. kataku. Yang penting sekarang, perutku diisi. Laper banget!
Le Code de Fin tempat yang nyaman. Sempit tapi nyaman. Dengan ruangan-ruangan
terbuka dan setiap restoran menyediakan teras untuk makan.
Mo makan apa? tanya Tristan.
Gua makan Burger King aja deh. jawab Imel.
Iya ga papa, gua makan itu aja. jawabku. padahal aku lebih memilih makan nasi
daripada burger. Tapi ya sudahlah. Burger King ga papa juga. Enak juga kok.
Burger King ada di bagian depan La Code de Fin dan terdiri dari dua lantai. Kami masuk
dari atas dan turun ke bagian bawah dimana semua pemesanan terjadi.
Untung ga rame. kata Imel.
Mo duduk di atas apa di bawah? tanya Tristan.
Di atas aja. jawab Imel, tanpa memedulikanku.
Tristan tidak sempat menjawab karena HP-nya berdering. Kemudian ia keluar dari Burger
King dan berbicara di luar.
Aku terus memerhatikan tristan. Sepertinya ia sangat serius menerima telpon itu. Kira-kira
siapa ya? Ah tapi apa peduliku. Gtu aja kok di pikirin.
Paling Friska yang telpon. Dia kan gatel banget sama Tristan.
teriakan
33.Sonof...
sangat jauh. Kalo Friska menceritakan kegagalanku di depan Tristan adalah dengan tujuan
mempermalukanku. Dia berhasil dengan sukses. Kenapa hidupku jadi begini? Sungguh
memalukan dan tidak bisa dihapus atau direwind atau diskip seperti dalam film Click. Its so
embarrasing.
Tristan membayar pesanan yang telah disodorkan pelayan Burger King.
Tris nih uangnya. kataku sambil memberikan uang ke pelayan.
Jangan, jangan, gua aja. cegah Tristan.
Kan lo janji kalo next time gua yang traktir. nah sekarnag udah next time. kataku.
Tristan tidak membantah perkataanku. Mungkin karena kejadian tadi dan wajahku yang
sudah seperti tembok keras.
Kami membawa nampan yang dipenuhi pesanan ke atas. Imel sudah duduk di balkon
atas Burger King dengan santainya menikmati udara malam. Dia tidak tahu kalao ada
kejadian berdarah di bawah.
Akhirnya datang juga. laper banget nih. kata Imel yang langsung melahap french
friesnya.
Tristan menyodorkan whopper dan ice lemon tea ke hadapanku dengan wajahnya yang
manis seperti ingin berkata ga usah dipikirin. I dont really care. I didnt even hear what
Friska has said.
Aku menarik napas dan melahap semua whooper dan french fries yang untungnya
sangat nikmat.
11
Sudah pagi lagi. Tadi malam aku bener-benar kekeyangan. Kayanya Imel juga begitu.
Sesampainya di rumah kami langsung tewas sampai pagi.
Aku beranjak dari tempat tidur dan membuka jendela. Matahari sudah mulai tinggi.
Kenapa pagi ini hari sangat panas? Aku melihat ke jam dinding.
HAH! JAM 7?! pekikku.
Aku langsung lari ke kamar Imel dan mengetuk-ketuk kamarnya. Mel! Mel! panggilku.
Tidak berapa lama Imelpun keluar dengan rambut dan wajah yang kusut.
Apaan sih?
Sekarang udah jam 7! teriakku panik.
Imel hanya menggaruk-garuk kepala dan lehernya. Kemudian ia masuk kembali ke
kamarnya dan menutup pintu kamar.
Aku semakin bertambah panik. Ini pertama kalinya aku terlambat ke sekolah.
MIRRR!! teriak Imel dari dalam kamar.
Kemudian Imel keluar dari kamar dengan wajah panik ia berteriak, UDAH JAM 7!!
Kami lari tunggang langgang kembali ke kamar dan secepat kilat mandi, ganti baju dan
berdandan. Dalam hitungan menit kami sudah berada di jalan raya.
Kalo terlambat biasanya ada hukuman ga Mel? tanyaku.
Ga, ga ada. cuma ga boleh masuk sampe jam kedua. Tapi mobil jadi ga bisa masuk.
Aggghh, parkir di luar panas banget lagi. gerutu Imel.
Aku lebih mengkhawatirkan nilaiku di sekolah. Ulangan yang buruk dan membolos bukan
prestasi yang baik untuk anak baru sepertiku.
Kok nyokap lo ga bangunin sih? tanyaku.
Mungkin dikirain libur.
Pasti ini gara-gara kita pergi tadi malem.
Iya, gua juga tidurnya nyenyak banget.
Mampus deh gua. Udah ulangan jelek, jadi bulan-bulanan guru. Sekarang telat lagi.
Apa mo cabud aja? udah tanggung nih.
Gak deh. Mending telat, ga papa, yang penting gua masuk.
Imel melaju dengan kecepatan tinggi melewati penuhnya jalan raya.tidak sampai 30
menit kami sudah samapi di depan sekolah.
Seperti yang diceritakan Imel, gerbang sekolah memang sudah tertutup rapat. Kami
menunggu di dalam mobil sampai gerbang di buka.
Lo pernah dapet nilai ulangan jelek banget ga? tanyaku.
Pernah, sering. jawab Imel.
Terus, lo diomongin guru ga?
Maksudnya gimana? dipanggil gitu?
Enggak, maksudnya jadi big deal di kalangan guru. Lo dibahas di ruang guru.
Gak, gak pernah.
Kenapa kalo gua jadi big deal ya?
Soalnya lo selebriti. Lo baru pindah dari luar negeri, Perancis lagi. Jadi para guru
berharap lebih dari elo. Makanya pas ternyata lo gagal. Ya begitulah jadinya. Itu menurut
gua loh.
Bisa jadi.
Tapi cuekin aja. Guru-guru tuh pada stres. Biarin aja.
Mel, Sabtu gua diajak jalan sama Tristan.
Terus?
Kemana aja lo? Kok baru masuk? tanya Joanna kepadaku yang baru saja menaruh
pantat di kursi.
Telat bangun. jawabku.
Kok bisa sih?
Kayaknya gara-gara kekenyangan deh.
Gimana sih lo? Padahal tadi quiz.
Yang bener lo!Bisa susulan ga ya?
Ga tau deh gua.
Ga usah deh, nanti gua jadi bulan-bulanan di kantor.
Minta aja Mir, kalo dapet syukur kalo ga dapet ya udah.
Iya, nanti deh.
Minta kuis ke Pak Dartoyo? Sama aja bunuh diri. Yang ada gua jadi bahan ejekan belom
lagi guru-guru lain. Mengerikan!
Sesaat kemudian Ibu Irma, guru bahasa Indonesia masuk, kuis ya, ayo, masukkan semua
buku bahasa Indonesia dan catatannya.
Yuk, jalan. ajak ku ke Imel yang masih asyik ngobrol bareng teman-temannya.
Buru-buru banget.
Iya, bete nih gua di sini. Yuk.
Huh! Ya udah, bye guys!! pamit Imel
Kenapa sih? tanya Imel.
Pengen cepet-cepet keluar dari sini aja?
Ada masalah?
Enggak, cuma bete suasana sekolah.
Jadi beli bajunya?
Jadi dong.
HP-ku berdering di dalam tas. Ku rogoh tasku, Tristan. kataku pelan.
Hai. sapaku.
Lo dmana Mir?tanya Tristan.
Gua sama Imel. di parkiran.
Gua ke situ ya.
Kita dah mau jalan.
Yaaabareng deh.pinta Tristan.
Yaaa gua buru-buru. Sori Tris, tapi kalo mo ke rumah, sore ga papa.
O gitu. Ya udah, sore gua ke rumah.
Ok.
Bye
Bye.
Mo ngapain Tristan? tanya Imel sambil masuk ke mobil.
Mo ikut.
Suruh ikut aja. ujar Imel.
Gila lo. Masa gua beli baju bareng dia? tanyaku.
Emang kenapa? tanya Imel.
Kan bajunya buat jalan sma dia.
O iya ya. Aneh banget. hihihi.
Udah yuk, biar ga kemaleman.
Aku sangat berharap dapat melewati tahun terakhirku di SMA dengan selamat. Karena
sampai saat ini cest une catastrophe.34
Pilihan baju Imel benar-benar berbeda dariku. Imel sangat suka baju-baju minimalis
yang menampilkan kelebihan cewek.
Sedangkan aku sangat risih memakai baju-baju seperti itu. Bahkan memakai high heels
pun aku tidak pernah betah.
Kami berhasil pulang ke rumah sebelum jam 5 sore. Walaupun Imel masih ingin berkeliling
karena katanya tidak sah kalau pulang ke rumah sebelum gelap.
Sampai sekarang tidak ada telpon atau SMS dari Tristan. Mungkin dia tidak jadi ke rumah.
Tetapi kenapa dia tidak mengabariku? Tidak mungkin. Sekarang baru jam 5. mungkin
sebentar lagi dia datang. Apa aku telpon saja ya? Ah, kesannya aku nunggu dia banget.
Tunggu dulu deh.
Aku membongkar belanjaanku dan mencobanya. Lucu juga. Coba aku tanya Imel,
bagaimana pendapatnya.
Dari kamar Imel terdengar musik yang sangat keras. Aku mengetuk kamar Imel tapi tidak
ada yang menyahut. Kuketuk lagi sekuat tenaga.
Apaan sih keras banget ngetoknya?
Sori, tadi gua ketok lo ga dengar.
Cieeelo nyoba baju baru nih?
Iya, bagus ga?
Bagus, bagus.
Perlu apa lagi?
Hmmapa ya?
Mbaa panggil Mba Ati dari bawah.
Ada apa Mba?tanya Imel.
Ada tamu. Mas Tristan.
Ooosuruh tunggu di bawah aja.
Aku buru-buru mengganti bajuku dan turun ke bawah. Tristan sudah bersama Imel di
ruang tamu.
34.Sebuahbencana.
Aku sudah rapih sejak jam 4 sore menunggu Tristan yang belum datang juga sampai jam
6 ini. Aku sudah mencoba menghubunginya berkali-kali tapi HP-nya selalu tidak aktif.
35.MaafMel,tapiitulahkehidupan
Bagaimana ini? Sepertinya rencana pergi malam Minggu gagal dan aku akan sukses
ditertawakan Imel.
Suara gerbang terbuka membuatku terhenyak dari lamunan. Pasti Tristan.
Mba ada Mas Tristan. kata Mba Ati.
Iya, saya turun.
Aku berlari ke bawah, tristan belum ada di ruang tamu. Jangan-jangan dia tidak
membawa KTP.
Hai Mir. sapa Tristan dari balik pintu.
Eh, Hai.
Sori telat.
Ga papa kok.
Langsung berangkat? tanya Tristan.
Iya. yuk.
Tristan terlihat sangat tampan malam ini. Aku belum pernah melihat Tristan serapih ini dan
sewangi ini.
Tristan mengambil KTP yang dipegang pak Rustam.
Tristan membukakan pintu mobil untukku.
Kenapa jantungku berdebar sangat kencang? Bukannya aku sudah biasa pergi dengan
Tristan? Kenapa sekarang aku merasa seperti baru pertama kali pergi dengannya.
Mo kemana kita? tanyaku.
Nanti liat aja.
Begitu banyaknya wahana di Dufan, kami hanya menaiki empat saja. Merry go around,
ferries wheel, Dunia boneka dan Bom bom car. Selebihnya, kami hanya berjalan-jalan,
duduk, chit-chat di depan halilintar yang tidak mungkin aku naiki.
Tristan benar. Restoran ini sangat ramai pengunjung. Menjual view pantai yang bisa
dicapai dengan jembatan yang menjorok sampai ke tengah pantai.
Bagus kan? tanya Tristan.
Iya. bagus banget.
Angin malam berhembus cukup kencang. Tristan meberikan jaketnya kepadaku.
Hihihihihihilucu juga. hal yang kuanggap cheesy di film-film ternyata terjadi padaku.
Eh, kita foto yuk. ajak Tristan.
Tristan mengambil BB-nya dan memfoto ku dan dirinya.
Lo dulu sama Imel juga sering ke sini? tanyaku.
Enggak, Gua kesini sama keluarga.
Ga pernah malem Minggu begini sama Imel?
Ga pernah.
Terus ngapain aja?
Paling ke mall. Si Imel suka banget ke mall. Dia ga suka pergi kaya gini.
Hahahahiya, anak mall banget.
Maaf mah, aku sudah melanggar janji untuk ga pacaran. Tapi aku tidak dapat menolak
cinta Tristan. I hope youll understand.
j
Sinar matahari menembus tirai jendela kamar, membangunkanku dari tidurku yang lelap.
Aku melihat jam di dinding yang sudah menunjukkan jam 11.
Mata ini rasanya ingin terus terpejam. Tapi hari sudah terlalu siang untuk tidur. perlahan
aku duduk dan mengusap-usap wajahku.
Kejadian semalam memang benar-benar terjadi. Aku masih memakai kalung yang
diberikan Tristan kepadaku. rasa bahagia iu masih ada di hatiku.
Apa benar ini yang namanya kasmaran? Benar-benar menyenangkan. Kalau tahu begini
rasanya, sejak lama aku sudah pacaran.
Kuturunkan kakiku dari tempat tidur kemudian berjalan ke kamar mandi. memulai ritualku
setiap hari yang biasanya aku lakukan di pagi buta.
Betapa malasnya aku hari ini. Melihat showerpun rasanya aku tidak tega untuk
menyalakannya. Aku hanya terbengong memandangi wajahku sendiri di cermin kamar
mandi.
Suara HP terdengar sayup-sayup. Aku langsung berlari keluar kamar mandi dan mencari
sumber suara.
Dimana tuh HP? ujarku sambil membuka-buka bantal dan baju yang masih berserakan.
Suara HP kembali hilang. Aku berdiri sambil memandangi setiap pojok kamar. Kenapa aku
bisa lupa di taruh dimana Hpku?
Suara HP kembali berbunyi. Kali ini suara HP semakin jelas terdengar. Pelan-pelan aku
telusuri sumber suara.
Loh, ini kan jaket tristan. pekikku.
Aku lupa aku terus mengenakan jaketnya sampai pulang tadi malam. Kurogoh sakujaket
itu. Ternyata benar, HP ku memang ada di dalam saku jaket.
Gila! ada 12 missed call. Mungkin Tristan sudah menelponku sejak pagi tadi.
Tiba-tiba terdengar lagi suara Hp dari dalam jaket Tristan. Ku rogoh kembali saku jaket
tristan.
Loh, ini kan BB Tristan. kataku.
Terlihat nama Lovely_Clara di layar BB Tristan. Siapa ini Clara? Kenapa nama ini baru ku
dengar? Kenapa Tristan tidak menceritaan kepadaku?
Hatiku mulai bimbang dengan berbagai pertanyaan. Tidak mungkin Tristan punya pacar
di luar sekolah. Pasti Imel sudah memberitahuku jauh-jauh hari. Masa Imel menjerumuskanku,
mungkin ga sih?
Kumasukkan kembali BB Tristan ke kantungnya. Aku berusaha untuk berpikir positif.
Mungkin itu hanya temannya. Tapi hati ini sangat ingin membaca message di BB-nya.
Gua harus menahan diri. Walaupun sekarang gua pacarnya Tristan dan berhak melihat
message-nya, tapi gua ga mau lihat.
Aku harus segera menyingkirkan BB itu dari pandanganku. Jika tidak, aku pasti akan
membaca message dari Clara dan aku sangat tidak ingin tahu jika itu message yang buruk
buatku.
Tapi bagaimana caranya? Masa aku ke rumahnya? Nomor telpon rumahnya aku tidak
tahu.O, iya, Tanya Imel!
Mel, Mel. panggilku sambil mengetuk pintu kamar Imel.
Iyaaa. sahut Imel bukan dari kamarnya.
Mel. panggilku lagi.
Di bawaahh.
Aku menuruni tangga dengan langkah cepat.
Tumben di bawah.
Lagi nonton DVD. Kenapa?
Lo ada telpon rumah Tristan ga?
Ada. Kenapa emang? tanyanya.
BB-nya ketinggalan.
Ooo.
Imel memencet-mencet BB-nya dan memberikannya kepadaku, Nih!
Mudah-mudahan dia ada di rumah.
Suara nada sambung terdengar beberapa kali. Kemudian telpon di angkat.
Halo? tanya suara wanita di ujung telpon.
Siang, Tristannya ada?
Ada. dari siapa?
Dari temennya. Mirel.
Yaaa
Kemana lagi ya? Nanti deh gua pikirin.
Ya udah. Mandi dulu gih, bau! godaku.
mana mungkin.
Hahaha ya udah, daaahh.
Daaahh.
Mesra banget. ujar Imel sambil menonton DVD-nya.
Apaan sih?
Lo dah jadian ya.
Hah? Eengiya.
Selamet ya. ujar Imel dengan suara jutek.
Thanks. ucapku.
Sejenak aku terdiam. Ada sedikit perasaan tidak enak di hatiku. Mustinya aku
memberitahunya dari tadi. Tapi bagaimana caranya?
Aduh, filmnya boring banget nih. Ke kamar dulu ah. kata Imel seraya pergi begitu saja
meninggalkan ruang TV dan diriku yang masih berdiri kebingungan.
Belum sempat Mba Ati mengetuk pintu kamarku, Aku sudah keluar dari kamar.
Eh, mba, itu ada
Tristan kan. Iya, saya turun. makasih ya Mba.
Benar-benar beruntung diriku mendapatkan cowok seganteng Tristan. Kaya hidup dalam
sebuah mimpi.
Pertama kali aku jatuh cinta, langsung mendapatkan cowok yang sempurna. Tanpa
menunggu waktu lama lagi. hihihi.
Haiiii! sapaku kepada Tristan yang berdiri menghadapku di ujung anak tangga.
Hai.sahut Tristan.
Ga nunggu kan? tanyaku dengan senyum lebar.
Ga, baru banget sampe.
Nih BB sama jaketnya.
Thanks.
Ada message lagi ga?
Ga tau.
Ooo
Mo ketemu orangnya? tanya Tristan.
Ih, apa sih. Ga ah, enggak. Udah ah, ga usah ngomongin itu lagi.
Mo makan di luar ga? tanya Tristan.
Mau. yuk.
Sekarang perasaanku jadi tidak menentu. Ingin marah tetapi Tristan sudah menceritakan
segalanya. walaupun belum kuketahui kebenarannya. Tidak marah tapi hati ini panas 40
derajat celcius.
Apakah ini bagian dari cinta? Mudah-mudahan tidak selalu begini.
12
Maaf mba. Mba daftarnya telat. Jadi sudah penuh semua. Mungkin nanti kalau sudah ada
yang mengundurkan diri, kita hubungi mba.
Yaa masa sih mas ga bisa? Tolong deh. masa satu aja ga bisa? pintaku kepada
pegawai MSC.
Ga mba. Maaf. Kita langsung hubungi kok. tambahnya.
Mas, saya digantiin Mirel aja. ujar Tristan.
Oo gitu?
Iya, dia perlu banget. Buat ngejar pelajaran. Soalnya baru pindah ke Indonesia.
Ooo..gitu, tapi musti isi ini dulu mas. form ini sama mba nya yang ini. ujarnya sambil
menyerahkan dua lembar form.
Bener Tris? Yakin? Nanti lo gimana?
Ya ga gimana-gimana.
Gua ga papa kok, gua bisa cari di tempat lain.
Ga. ini udah yang paling bagus. Lo musti ikut.
Ya udah deh. Thanks ya Tris, tapi gua jadi sendirian dong.
Gua tungguin kok.
Bener?
Bener.
Ok.
Beruntungnya punya pacar baik. Hihihi, I really enjoy this moment.
Hari yang melelahkan. Aku melempar tasku ke atas kasur kemudian menyalakan AC
kamar. Belum sempat aku merebahkan tubuh, HP-ku berteriak kencang.
Nomor yang terpampang di layar tidak kukenal. Nomor siapa ya? Aku diamkan atau ku
angkat? What the hell.
Halo?
Halo bisa bicara dengan Mirel?
Iya. ini Mirel.
Hai. Mir, gue Clara.
Hah, Clara? Ngapain dia nelpon ke sini? Tahu darimana nomor gua?
Iya?
Kita bisa ketemu ga?
Hah?
Ketemu. sekarang?
Ada apa sih?
Gua mo ngomong sama lo penting. Tentang Tristan.
Maksudnya?
Pokoknya kita harus ketemu. suara Clara sedikit menegang.
Wow! kayanya serius. Aku jadi sedikit panik mendengar nada suara Clara.
Ketemu dimana?
Di Mc D kemang aja.
Ooo.. iya, tapi belum sempat aku menyelesaikan perkataanku, Clara sudah menutup
telponnya.
Ada apa ini? Ada apa lagi? Hidup baru saja mulai indah, kenapa ada ini? Terus
bagaimana aku kesana? masa aku sendiri bertemu Clara yang aku tidak kenal dan
terdengar sangat emosional?
Aku sebaiknya meminta tolong Imel menemaniku bertemu Clara psycho. Aku melihat jam
di dinding. Jam menunjukkan pukul 5 sore. Mudah-mudahan Imel sudah ada di kamarnya.
Aku tidak menyangka perasaan Imel ternyata begitu terhadapku. Aku sungguh tidak
menyadarinya. Untung Imel sangat pemaaf.
Mao ga lo nemenin gua?
Emang siapa sih nih Clara?
Katanya Tristan dia pernah jadian sama dia.
Hah? Masa?
Iya.
Jangan-jangan, dulu dia mutusin gua gara-gara dia.
Masa sih?
Jadi penasaran gua. Yuk gua temenin.
Kapan ketemuannya?
Sekarang.
Ya udah. Tunggu gua siap-siap dulu.
Yes, thanks Mel.
Iya, buruan lo ganti baju.
Bener-bener nih, kalo emang bener gara-gara dia bikin gua sama Tristan putus, gua
cakar-cakar tuh anak. gerutu Imel sambil memarkir mobilnya di parkiran MC D.
Aku menelpon Clara dari dalam mobil sambil celingukan melihat keluar.
Halo. Clara ya? tanyaku.
Iya. Gua di deket playground anak.
Ok.
Udah di dalem dia. kataku kepada Imel.
Yuk.
Kami berdua berjalan memasuki Mc D yang cukup sepi. Seperti yang dikatakan, Seorang
cewek dengan kulit sawo matang rambut panjang yang dikuncir
Aku dan Imel duduk berhadapan dengannya. Wajah Clara terlihat sangat bete. Entah
apa penyebabnya aku sama sekali tidak ingin tahu.
Kenapa ya, kok pengen ngomong sama gua? Masalah apa sih?
Lo cewe ga tau malu ya! ujar Clara.
Lo ngomong apa?! celetuk Imel sambil melotot.
Heh! jangan ikut campur deh! bentak Clara.
Imel langsung berdiri siap menyerang Clara. Tapi aku menahannya,Udah Mel. Biar gua
aja yang ngomong sama dia. Pasti ada salah paham.
Iya. lo ga usah ikut campur. Ini masalah gua sama dia. ujar Clara sambil menunjuk ke
arahku.
Sori nih Clara. Tapi masalahnya apa ya?
Lo jangan sok ga tau deh. Lo sengaja deketin cowok gua kan?
Hah? Maksud lo siapa? Tristan?
Iya, siapa lagi?!
Hah? Lo sama dia kan dah putus.
Jangan banyak bacot deh lo! teriak Clara sambil menyiramku dengan ice lemon tea
yang ada di hadapannya.
Kagetnya bukan main. Belum lagi rasa dingin dari es yang masih membatu. Imel langsung
menarik lengan Clara sehingga bangku sebelah Clara roboh dan membuat suasana gaduh
di dalam Mc D.
Heh! Anjir nih anak. Ngapain lo nyiram dia.
Keamanan Mc D langsung melerai mereka dan membawa mereka.
Ada apa ini? teriak satpam.
Clara langsung mengambil tasnya, Heh, pe**n! Awas lo kalo deketin Tristan lagi!
ancamnya.
Lo tuh yang pe**n! teriak Imel.
Maaf mba, kalo ada masalah tolong selesaikan di luar. Jangan buat keributan disini.
ujar satpam.
Iya pak. Ini juga mo keluar. kata Imel.
Udah Mir, ga papa. Biar gua cari tuh anak. Liat aja nanti.
Aku masih terpana dan bajuku basah kuyup. Ada apa ini? Apa yang baru terjadi? Apa
benar Tristan masih punya pacar selain aku? Berarti aku sudah merusak hubungan orang?
Kenapa Tristan tega melakukan hal ini?
Udah yuk Mir, pulang, lo basah kuyup tuh.
Aku beranjak dari tempat duduk tanpa berkata apa-apa. Masih shock dan speechless.
Yang ada di otakku hanya Tristan dan cewek itu berduaan.
Ngeselin banget tuh cewek! Ga ada ba bi bu langsung nyrocos. Pake nyiram lo segala
lagi. Monyet banget! gerutu Imel sambil menyetir mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Rasa shock berangsur berubah menjadi rasa kesal. Kesal terhadap Clara dan terlebih
terhadap Tristan. Kenapa dia berbohong padaku?
Gua musti ngomong sama Tristan. ujarku.
Jangan. Jangan dulu. Lo masih emosi. Nanti aja. Paling dia duluan yang nelpon lo. kata
Imel.
Gua masih ga percaya Tristan bisa begini? kataku.
Gua masih penasaran, dulu dia giniin gua juga ga?
Aku menghela napas panjang. Tidak terasa air mata sudah menetes di pipiku. Semua
rasa bercampur menjadi satu. Rasa sakit hatiku membuatku sulit untuk berpikir.
Napasku mulai tersedak. Air mata semakin membanjiri pipiku. Seandainya mamah ada di
sini. Aku pasti akan memeluknya dan meinta maaf. Ternyata apa yang dikatakannya untuk
tidak pacaran ternyata benar. Sekarang aku merasakannya. merasakan apa yang ditakuti
mamah. Patah hati!
Sepanjang jalan Imel terus mengeluarkan sumpah serapah yang ditujukan kepada Clara.
Sedangkan aku mulai menggigil karena ice lemon tea di bajuku dan dinginnya AC mobil.
Aku mengeluarkan HP dari kantong.
Gua tadi ketemu Clara
Ku send SMS ku ke Tristan.
Biar dia tahu kalau sekarang aku sudah mengetahui semuanya.
Tidak berapa lama HP ku berdering.
Siapa Mir? Clara ya? tanya Imel.
Tristan. jawabku.
13
Seharusnya aku berterima kasih ke Imel karena mau menemaniku selalu di masa sulitku dan
selalu mendukungku. Aku seharusnya malu karena sampai saat ini aku belum berbuat apaapa untuk Imel. Padahal aku menumpang di rumahnya. Yang ada, aku hanya
merepotkannya dan tante Mirna.
Kumatikan HP-ku dan kuletakan di dalam laci nakas. Aku sedang ingin istirahat total. Tidur
sampai besok pagi.
Kusiramkan shower ke atas kepalaku. Air dingin mengalir deras membasahi tubuhku.
Keputusan yang tepat untuk mandi air dingin. Pikiranku kembali jernih dan masalah menjadi
terlihat sangat jelas.
Keputusanku untuk memutuskan Tristan adalah keputusan terburukku. Aku bertindak
tanpa mencari kebenaran perkataan Clara.
Tapi bagaimana aku menariknya kembali? Nanti saja. Jika Tristan telah menjelaskan
semuanya.
Aku menutup kran shower dan menatap wajahku di kaca. Mataku sedikit sembap. pasti
karena tangisanku tadi.
Mba.Mba Ati memanggilku diiringi ketukan pintu.
Ada apa Mba? tanyaku.
Ada mas Tristan.
Hah! Cepat banget. gumamku.
Mba panggil Mba Ati lagi.
Iya mba. Suruh tunggu.
Aku buru-buru memakai pakaian dan menarik napas beberapa kali agar tenang dan
dapat menghadapi Tristan dengan kepala dingin.
Pintu kamar ku buka perlahan. Ada sedikit keraguan di hatiku, bagaimana jika semua
perkataan Clara benar? Berarti Tristan benar-benar mengkhianati aku dan Clara.
Imel juga keluar dari kamarnya kemudian berbisik, Tristan ya?. Aku mengangguk
mengiyakan.
Mo gua temenin? tanya Imel.
Ga, ga usah. Biar gua selesaiin sendiri.
Yakin?
Yakin.
Ya udah. Kalo ada apa-apa panggil gua aja ya. Gua tunggu di sini. kata Imel.
Iya.
Aku turun menghampiri Tristan yang berdiri di sebelah sofa.
Mir. panggil Tristan.
Aku tidak membalas. Aku hanya duduk di sofa dengan muka datar dan menunggu
penjelasan dari Tristan.
Ada apa sih? Emang Clara bilang apa? Kok bisa ketemu? tanya Tristan.
Emang lo sama dia masih jadian? tanyaku langsung.
Kan gua udah jelasin kalo gua udah ga sama dia lagi.
Kok dia bisa marah-marah gitu? Katanya gua ngerebut lo.
Hah?! Dia bilang begitu?!
Ga usah bohong deh. Jujur aja. Gua ga mau hubungan kita didasari kebohongan.
Bener. Sumpah gua udah ga sama dia lagi.
Emang yang mutusin siapa? Dia apa lo?
Hah?
Yang mutusin siapa? tanyaku lagi.
Yaaa..bukan siapa-siapa.
Maksudnya?
Eengtapi
Maksud lo apa? Lo belum putus sama dia?
Gini. Kita sempet berantem dulu. Terus gua bilang, Ra, kayaknya kita udah ga cocok
deh, gua dah ga kuat berantem gini terus.
Terus?
Terus dia ga mau.
Tapi lo udah tegesin kalo lo putus?
Abis itu gua ga ketemu-ketemu lagi sama dia. Abis dia ga mau kita selesai.
Berarti lo sama sekali belum putus dong?!
Yaa technically udah.
Ga tau deh. Gua mau kita pisah dulu. Sampe semuanya jelas.
Kok gitu?
Please, gua ga mau lagi di serang kayak gitu lagi. Lo ga tahu sih perasaan cewek kalo
tahu cowoknya ternyata masih punya pacar. Terus di caci maki didepan orang banyak
kesannya gua tukang rebut cowok orang. Mendingan lo selesain dulu masalah lo sama
Clara. Baru kita omongin lagi masalah kita.
Ya udah. Hari ini gua selesaiin. Nanti malem gua ke sini lagi.
Gak. gak usah. Gua mo istirahat. Kita omongin lagi besok aja. kataku sambil berdiri dan
berniat meninggalkan Tristan. Tapi Tristan menahan lenganku.
Gua ga bakal ngecewain lo Mir. Gua bener-bener sayang sama lo. Gua ga mungkin
duain lo.
Aku tidak menjawab. Aku hanya melepaskan genggaman Tristan dan berjalan
meninggalkannya.
Gimana? tanya Imel.
Aku hanya menjawab dengan senyuman kecil. Sesungguhnya aku benar-benar tidak
tahu keadaan dan statusku saat ini. Yang dapat kulakukan hanya menunggu sampai esok
hari.
j
Pagi hari ini aku benar-benar tidak bersemangat sekolah. Perasaanku yang hancur lebur
dan pelajaran yang menunggu membuatku tidak bertenaga.
MirMir. panggil Imel dari luar.
Iya.
Lo sekolah ga?
Iya.
Ok.
Aku melihat jam dinding. Jarum pendek menunjuk angka 5 dan jarum panjang menunjuk
angka 3.
Ayo Mirel, kamu bisa! batinku.
Dengan satu gerakan besar, aku bangkit dari tempat tidur dan menuju kamar mandi.
Siraman pertama air hangat membuat mataku terbuka. Ritual hari sekolah kujalani satu
persatu.
Kalau hari ini ada quiz atau ulangan lagi, lengkap sudah kesialanku.
Di bawah suasana sedikit intens. Imel tidak berbicara begitu juga tante Mirna yang hanya
menatapku dengan senyuman misterius,tante tahu kejadian yang baru kamu alami.. Aku
hanya diam dan menyantap roti tawar dan susu putihku.
Aku sangat tidak ingin mengingat hari kelabuku. Sampai sekolahpun aku tidak
menyalakan HP-ku. Aku berusaha keras untuk tidak bertemu Tristan.
Aku sangat khawatir dengan berita buruk yang mungkin akan aku terima.
Tidak jauh dari kelas, aku berlari secepat aku bisa. Aku ingin bersembunyi di tempat
dimana biasanya aku selalu merasa tidak nyaman.
Aku langsung duduk di kursiku dan menyalakan HP-ku.
Rentetan SMS langsung memberondong HP-ku. Sebagian besar dari Clara. Aku menulis
namanya dengan kata bi**h.
Kubuka satu-satu SMS-nya. Mengesalkan, isinya hanya ancaman dan kata-kata kasar
yang ditujukan kepadaku. Cewek ini bener bener full of hatred.
Satu SMS dari Tristan. Gua coba telpon lo tp mati. Gw udah selesain semuanya.
Ketemuan after skul ya?
Semuanya dah beres tapi kenapa aku masih menerima SMS gila dari si bi**h?
WOI!teriak Joanna mengagetkanku.
Aduh Joanna, ngagetin aja.
Lagian, pagi-pagi dah bengong.
Enggak kok ga bengong. lagi baca SMS.
Hari ini lo pucet banget sih? tanya Joanna.
Ah masa?
Iya. Lo sakit?
Enggak. Biasa aja.
36.Guaberharapmelewatihariyangbaik
Saya diintimidasi pak. Katanya karena saya, rata-rata sekolah bisa turun dan akan bisa
berakibat nama sekolah jadi jelek karena peringkatnya turun. Bukannya tugas guru
membimbing muridnya yang kesulitan? Bukannya malah tambah menjatuhkan.
Begitu? Coba, saya konfirmasi dulu. Kamu balik aja dulu ke kelas.
ga mau pak. Nanti saya dipermalukan lagi.
Kemudian Pak Warno menuliskan pesan di secarik kertas. Aku tidak tahu isinya apa. Pak
Warno langsung memasukkan ke dalam amplop.
Ini, berikan kepada Pak Dartoyo. kamu ga akan dipermalukan. Sana, balik lagi ke kelas.
Iya pak, makasih pak.
Rasain! Emang enak! pasti dia dipanggil Pak Warno!batinku.
Aku masuk kelas tanpa mengetuk dan memberikan surat kepada Pak Dartoyo. Semua
mata memperhatikanku.
Ssstabis dari mana lo? bisik Joanna.
Kepala sekolah.
Mirel. Bawa buku latihan kamu ke sini. kata Pak Dartoyo.
Aneh! Buat apa buku latihanku? pikirku.
Aku ambil dan kuberikan buku latihanku kepadanya. Ia menulis sesuatu di dalamnya. Aku
tidak dapat melihat dari tempatku duduk.
Tadi emang buku latihan dikumpulin? tanyaku ke Joanna.
Enggak.
Aneh!
Sampai akhir pelajaran buku latihanku tidak dikembalikan. Aneh banget ini guru mungkin
stress dilaporkan ke kepala sekolah.
Jam istirahat Tristan sudah menungguku di depan pintu kelas. Wajahnya memancarkan
keputusasaan. Tapi hari ini aku bertekad bulat untuk bersikap tegas kepada siapapun yang
ingin menyakitiku.
Mir, gua udah ngomong ke Clara. Semuanya udah beres kok. Gua udah bilang ke dia,
jangan ganggu kita lagi.
Gitu? Tapi lo bilang ga kalo kalian ga ada hubungan lagi?
Dia udah ngerti kok.
Tris, gua udah punya banyak masalah di hidup gua dan gua ga mau lagi nambahnambah masalah. HP gua penuh banget kata-kata kasar sama ancaman dari Clara.
Iya. Dia tuh emosianal banget, diemin aja.
Gimana bisa didiemin. Lo diem aja pacar lo diancam sama orang gila?!
Bukan begitu maksud gua.
Menurut gua, lo egois. Lo ga mikirin gua tapi cuma mikirin diri lo yang cuma pengen
jadian sama gua.
Enggak, lo salah mengerti Mir.
Udah kok. gua dah ngerti. Lo cuma cowok yang ga tegas mo membela yang mana dan
pengen disukain semua orang. Iya kan?
Loh kok lu ngomong gitu sih?
Udah ah, gua pusing. Mending kita udahan aja.
Aku menarik kalung pemberiannya. Kukembalikan kalung itu ke Tristan dan langsung
meninggalkannya . Tristan terpaku dan diam seribu bahasa.
Aku berjalan cepat menuju toilet dan menutup pintu rapat-rapat.Aku berusaha
menenangkan diri. Jantungku seperti berdetak 100 km per jam. Hari ini aku benar-benar
merasa tak karuan. Aku duduk di atas toilet dan mengusap-usap wajahku. Aku merasa Im
not being myself today.
Bel akhir jam istirahat sudah berbunyi. Aku membasahkan wajahku dan merapikan
rambutku. Allez Mirel!38Setengah hari lagi sekolah selesai. Semangat!
Akhirnya bel pelajaran terakhir berbunyi. Bersamaan dengan itu speaker kantor
administrasi memanggil namaku untuk menghadap kepala sekolah.
Pasti masalah pak Dartoyo. batinku.
Mir, ati-ati kalo ngomong. Jangan sampe malah lo yang kena.kata Joanna.
Iya. Thanks Na. ucapku.
Aku men-dial nomor HP Imel. Tidak seperti biasa, kali ini HP langsung diangkat olehnya.
Mel, gua dipanggil pak Warno dulu. Lo tungguin gua ya. pintaku.
Iya. Gua denger tadi. Lo gua tungguin di kantin ya.
Ok.
38.AyoMirel!
Good luck.
Yes. Thanks. I really need it.
Di perjalanan menuju kantor Pak Warno, aku menyusun kata-kata yang tepat untuk
mempersiapkan sanggahan-sanggahan jika pak Dartoyo menyangkal apa yang telah ia
katakan di depan anak-anak.
Aku mengetuk ruang pak Warno.
Ya, masuk.
Di dalam sudah ada Pak Dartoyo di sebelah Pak Warno.
nah Mirel, gimana tadi? Tolong ceritakan lagi.
Aku mengulang komplainku di depan mereka berdua. Secara mendetil dan jauh lebih
jelas dari penjelasanku sebelumnya.
Pak Warno kemudian tersenyum begitu juga pak Dartoyo. Perasaanku jadi tidak enak
melihat mereka.
Mirel, Pak Dartoyo sudah menjelaskan semua. Mungkin kamu salah tangkap apa yang
dikatakan Pak Dartoyo.
Ga mungkin pak. Banyak kok saksinya.
Ini lihat. Bukti kalo Pak Dartoyo peduli dengan kamu.. Pak Warno menyerahkan sebuah
buku yang sepertinya ku kenal. Loh itukan buku latihan gua. batinku.
Di dalamnya tertulis dengan tulisan pak Dartoyo. Mirel, kamu harus banyak belajar untuk
mengejar ketertinggalan. jangan ragu menanyakan kepada Bapak apa yang kamu tidak
mengerti. dan di bawahnya tercantum tanda tangan pak Dartoyo.
Merde! gua dijebak! gerutuku dalam hati.
Nah, mungkin ini hanya salah paham saja. Ya Pak, Mirel. Saya rasa semuanya sudah
cukup jelas ya. Mirel. Ini surat buat wali kamu, bu Bayu. Ini untuk membicarakan nilai kamu
yang cukup di bawah rata-rata dan kamu tiap pulang sekolah harus ke BP ya untuk
konsultasi masalah-masalah kamu. jelas pak Warno.
No, no, no, kenapa jadi begini? Kenapa jadi aku yang pesakitan? Ini ga fair.
Wajah Pak Dartoyo terlihat puas sekali dengan penjelasan Pak Warno. Ingin rasanya
mencakar wajahnya. Tapi sekali lagi ini salahku bertindak gegabah tanpa memikirkan
akibatnya. Well done Mirel! youve done it again!
Gua udah ga tau mau kesel, marah, bete apa nangis? Nangis gua dah ga bisa. Gua
udah ngabisin stok air mata gua.
Emang kenapa?
Aku ceritakan semua kesialan yang terjadi padaku. Imel benar-benar menganga
mendengarnya.
Gila lo. Sial banget ya. ujar Imel.
Thanks.
Biar nanti pas jelasin ke nyokap gua, gua bantuin.
Iya, Mel. Tolong ya. Gua bener-bener ga enak nyusahin nyokap lo.
Iya ga papa.
HP-ku bergetar kencang. Nama bi**h muncul di layar.
Agh, dia lagi.
Siapa? si rese ya? tanya Imel.
Iya.
Angkat aja Mir. Labrak sekalian.
Halo sapaku.
Heh! Lo bener-bener pe**n ya! Gua bilang jangan deketin cowok gua lagi!
Ga usah ngomong kasar dong!
Halah! emang lo pe**n!
Aku menarik napas panjang, Heh! Denger ya! Gua udah putus sama Tristan, jadi jangan
ganggu gua lagi ok!. Aku langsung menutup HP ku.
Imel mengusap-usap punggungku dan memelukku. Kali ini air mata tak tertahankan. Aku
ingin semua masalah ini selesai secepatnya dan kembali ke kehidupanku yang tenang.
14
I moved on with my life. Hidup tanpa cowok memang sangat simple dan predictable.
Setelah kejadian yang menguras emosi dan air mataku, semua apa yang kulakukan ku
kerjakan dengan pertimbangan yang matang.
Seperti hari-hari pertamaku aku selalu berusaha menghindar dari Tristan dan berjuang
keras untuk mendapatkan nilai yang bagus.
Sudah lebih dari 7 bulan aku menahan diri untuk tidak memikirkan selain sekolah.
Aku sudah menghapal semua jalur angkutan umum tapi aku lebih prefer naik ojek. cepat
dan murah.Jadi aku tidak bergantung lagi dengan Imel. Walaupun sering juga kami jalan ke
mal berdua.
Beberapa kali aku masih menerima SMS dari Clara. Tapi aku sudah tidak peduli lagi
dengannya. Tristan juga beberapa kali menelponku tapi kutolak.
Pulang les pun Tristan sering menungguku tapi aku selalu menolaknya. Jika melihat Tristan
menjemputku. Ada perasaan senang di hatiku tapi perasaan itu aku pendam dalam-dalam.
Ku mencoba menguburnya dengan melakukan hal-hal lain bersama mamah dan papah
yang sudah pulang ke Jakarta.
Salah satu usahaku melupakan Tristan adalah mengganti HP-ku dengan BB. Ternyata
memang BB membuat kita ketagihan. Friends-ku di FB sudah banyak. Teman YM-kupun tidak
kalah jumlahnya. tetapi aku tetap merasa ada yang hilang dalam hidupku.
Aku tahu bagian itu adalah Tristan. Tapi aku tidak dapat mengambil resiko
mempertaruhkan sekolahku untuk Tristan. Sedikit lagi aku lulus.
Aku tidak lagi punya keberanian untuk menghadapi hidup yang penuh gelombang dan
unpredictable.
Sampai saat ini nilaiku sudah di atas rata-rata dan cukup memuaskan.
Beberapa hari belakangan ini kepalaku seperti mau pecah. Semua mata pelajaran
menumpuk dan terpaksa dijejalkan di kepalaku.
Tidak ada hari yang kosong buatku. Setiap hari diisi dengan belajar, belajar, belajar.
Intensitas belajar yang cukup gila dan bisa membuat orang depresi kelas berat jika gagal
lulus.
Pelajaran pak Dartoyo adalah pelajaran paling nightmare buatku. Karena intimidasi terus
berlanjut and I have to deal with it.
Hari ini adalah hari terakhir Ujian Akhir Nasional. Aku sudah selesai mengerjakan semua
soal. Aku melihat jam di dinding dan menunggu dengan tidak sabar akhir dari semua ini.
Detik-detik terakhir ketegangan bersekolah akan segera berakhir. Tidak terasa aku akan
meninggalkan sekolah ini.
Sepuluh bulan berjalan seperti mobil yang melaju dengan kecepatan penuh di jalan tol.
Tapi detik-detik terakhir ujian seperti siput yang berjalan di atas bebatuan. Sooo looong!!
Suara bel diikuti dengan teriakan gembira anak-anak yang terlepas dari beban berat
dipundaknya. Walaupun mereka belum tentu lulus, tapi tahapan terberat dalam hidup
sampai saat ini sudah terlewati.
Aku memeluk Joanna erat-erat.YeaahhAkhirnyaaa
Iyaaa teriak Joanna juga.
Seneng banget gua akhirnya semua selesai.
Bisa ga lo?
Alhamdulillah bisa.
Mudah-mudahan kita lulus ya.
Iyaa
Hai.sapaan yang mengejutkanku. Tristan sudah berada di sampingku dengan senyum
manisnya.
Eh, Mir, gua ke toilet dulu ya. kata Joanna yang sengaja ingin meninggalkan ku dengan
Tristan.
Gimana sukses? tanya Tristan.
Iya Alhamdulillah bisa.
Sudah dua hari ini aku di rumah terus. benar-benar bete. Sebagian waktu yang aku
lakukan adalah menelpon anak-anak berjam-jam , chatting dan online.
Kenapa
Tristan
tidak
menghubungiku.
Padahal
kali
ini
aku
mengharapkannya
menelponku. Aku membuka contact dan terus melihat nama Tristan. Tapi aku tidak berani
memencet tombol yes.
Kulempar BB ku ke atas sofa kemudian aku memilih-milih DVD yang tertumpuk di depan
TV ruang keluarga. Tidak ada yang menarik. Aku menghela napas panjang.
Tiba-tiba BB-ku berbunyi. Aku langsung meloncat menyambar BB ku berharap tristan
menelpon. Ternyata di layar yang muncul nama cute_imel. ku buka message Imel.
Nanti malem jalan yuk.
Klakson mobil Imel terdengar kencang. Tidak berapa lama suara Imel terdengar di dalam
rumah.
Mirel, ada Imel nih. teriak mamah.
Iya Maahhsuruh tunggu.
Aku keluar dari kamar dengan langkah terburu-buru.
Sori Mel. Yuk berangkat. Dah mamah.
Hati-hati ya, jangan pulang malem-malem. ujar mamah.
Iya. jawabku sambil meninggalkan rumah buru-buru.
Mobil langsung melesat meninggalkan komplek rumahku.
Mo kemana nih?
Ada tempat makan enak.
Dimana?
Di daerah Grogol.
Hah? Jauh banget.
Masa mo yang deket-deket aja sih?
Hahahahaok siapa takut. masa kelas 12 gua udah selesai. Ngajakin apa aja gua
berani.
Kalo ketemu Clara?
Itu lagi! Berani lah.
Hahahaha.
Gimana Tristan?
Ga tau.
Kok ga tau?
Imel memarkir mobilnya di dalam parkiran mal Taman Anggrek yang memusingkan
untukku. Dasar si Imel, sukanya maen ke mall.
Ayo cepetan.desak Imel.
Buru-buru banget sih?
Udah mo jam 9 nanti tutup.
Lagian berangkatnya malem banget sih?
Udah ah, yuk buruan. ujar Imel sambil menarik tanganku.
Kami berlari melewati lorong-lorong mall yang sudah mulai sepi. Imel menarikku ke
belakang tempat ice skating.
Loh katanya mo makan?
Udah pake aja sepatunya.
Hah?
Lo ga pake? tanyaku.
Iya, lo dulu. Udah sana masuk duluan. perintah Imel.
Aku tertatih-tatih menaiki lantai es.
Susah ya Mir. terdengar suara dari tengah lantai es.
Tristan? Kenapa Tristan ada disini? Aku melihat ke belakang. Imel sudah
tidak ada.
Aku melihat keluar, terlihat Imel dan Alvin sedang tertawa puas dan
melambai-lambaikan tangan diikuti acungan jempol.
Aku dijebak habis-habisan sama mereka. Jebakan yang menyenangkan.
Tristan menghampiriku dan mengulurkan tangannya.
Dulu gua pernah janji ngajak jalan lo ke tempat yang lebih seru kan?
Maksud lo ke sini? Ice skating?
Iya.
Tapi gua ga bisa.
Ga papa. pegang tangan gua.
Aku menggapai uluran tangan Tristan kemudian Tristan menarikku perlahan
ke tengah lantai. Aku berusaha menahan keseimbanganku.
Pelan-pelan. gua takut jatuh.ujarku
Tiba-tiba lantai terasa lebih licin dan aku tidak dapat menahan tubuhku lagi.
Aku memejamkan mata menunggu tubuhku menghujam lantai es yang dingin.
Tapi itu tidak terjadi. Kubuka mataku dan aku berada dipelukkan Tristan. Aku
menjadi sangat salah tingkah. Pelan-pelan aku melepas pelukanku.
Mir. Gua minta maaf ya kalo gua ngecewain lo.
Enggak kok. Gua yang salah terlalu menuntut banyak dari lo.
Gua udah selesain semuanya. Gua udah bilang ke Clara kalo ga ada apa-apa
lagi antara gua dan dia. Dan yang paling penting jangan ganggu lo lagi.
Thanks. I really appreciate it
Ini gua punya sesuatu buat lo. Tristan mengeluarkan sekotak kecil coklat
Cadburry almond dan kalung yang dulu ku kembalikan.Nih. Udah lama kan ga
makan coklat ini
Siapa bilang? jawabku.
Tristan hanya menatapku dengan wajah curiga.
Iya sih. Makasih ya.
Sama kalungnya. ujar Tristan sambil memakaikannya di leherku.