Sepsis Dan Nyeri
Sepsis Dan Nyeri
STASE EMERGENSI
Oleh:
dr. Michael Tetan El
SEPSIS
Terminologi
Infeksi : Merupakan suatu SIRS (Sistemic Inflamatory Respn Syndrome) yang dicetuskan oleh
proses infeksi
SIRS : merupakan respon inflamasi sistemik yang dapat dicetuskan oleh berbagai insult klinis
yang berat.Respon ini ditandai dengan 2 atau lebih gejala berikut :
1. Temperatur >38C atau <36C (diukur melalui suhu rektal)
2. Denyut nadi > 90 x/menit
3. Pernapasan >20 x/menit atau PaCO2 < 4,3 kPa
4. Leukosit >12.000 sel/mm atau <4.000 sel/mm atau 10% dalam bentuk imatur
3. Sel Mast
Sel mast yang distimulasi oleh faktor XII aktif dan produk platelet yang merangsang
dilepaskannya histamin dan produk vasoaktif yang lain. Histamin yang khas dari mast sel
akan segera merelaksasi oto polos pembuluh darah dan merangsang vasodilatasi
mikrosirkulasi paa jaringan disekitar luka. Vasodilatasi ini akan mengakibatkan peningkatan
permeabilitas vaskuler, peningkatan aliran daah dan penurunan kecepatan aliran darah.
4. Contact
activating system
Prekalikrein adalah serum protein yang ada dimana-mana dan menunggu aktivasi oleh
stimulusyang tepat. Keberadaan fakto XII yang akti akan menyebabkan konversi prekalikrein
menjadi klkrein. Kalikrein ini kemudian berperan sebagai katalisator pembentkan bradikinin
dan kininogen berat moekul tinggi. Bradikinin adalah kode yang poten yang akan terikat pada
endotel reseptor dan merangsang pembentukan nitrit oksida pada sel tersebut. Nitrit oksida ini
akan berdifusi pada otot pembuluh darah dan akan menyebabkan relaksasi. Efek yang terjadi
sama dengan histamin, yaitu vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas mikrovaskuler tetapi
dengan mekanisme yang unik dan berbeda dengan histamin.
5. Kaskade komplemen
Aktivasi komplemen dapat terjadi melali 2 cara yaitu konvensional dan alternatif. Aktivasi ini
akan menghasilkan suatu bentukan protein yang akan melarutkan sel patogen. Lebih penting
lagi, aktivasi kaskade komplemen oleh inflamasi akan menghasilkan produk yang berperan
penting dalam fungsi vsoaktif dan Chmoattractan. Hal yang menarik adalah aktivasi protein
komplemen akan juga mengaktivasi protein koagulasi, platelet, sel mast dan secara tidak
langsung produksi bradikinin.
Gejala Klinis
Ada tahap perubahan patofisilogi hemodinamik dan dan metabolik yaitu :
1. Tahap A (Fase respon SIRS transien)
Mencerminkan adanya respon normal terhadap stres seperti operasi berat, trauma atau
penyakit, fase ini ditandai dengan penurunan ringan tahanan vaskular sistemik dan
peningkatan COP yang sepadan. Beda kadar oksigen arteri dan vena tetap sama dengan
keadaan normal.
Peningkatan cardiac index ini menunjukan adanya peningkatan kebutuhan oksigen yang
sesuai dengan respon hipermetabolik terhadap stres dengan kadar laktat yang masih normal.
Ini adalah respon normal yang terjadi pada setiap pasien yang mengalami trauma berat atau
tindakan operasi berat
Bila tidak terjadi komplikas, respon SIRS singkat ini menggambarkan efek sistemik dari
reaksi inflamasi. Reaksi ini akan kembali ke keadaan fisiologis yang normal seiring dengan
penyembuhan penyakit
2. Tahap B (fase MODS)
Menunjukan respon terhadap stres yang berkelebihan. Terjadi penurunan tajam tahanan
vaskular sistemik. Hal ini akan merangsang jantung meningkatkan COP, sebagai akibat
kedua hal ini, dibutuhkan ekspansi cairan unutk mencukupi tekanan preload jantung
(sebaiknya dengan cairan kristaloid) bila hal ini tidak tercapai maka pasien akan mengalami
hipotensi. Sementara itu, selisih antara kadar O2 arteri dan vena mulai menyempit, hal ini
juga diikuti dengan meningkatnyakadar laktat, sehingga dapat disimpulkan telah terjadi
gangguan pemanfaatan O2 oleh jaringan karena abnormalitas enzim metabolisme sel.
Pada tahap ini, mulai tampak tanda-tanda awal MODS. Serum laktat tampak meningkat dan
terjadi desaturasi darah arteri. Kadar bilirubin serum mulai meningkat dan terjadi desaturasi
darah arteri. Kadar bilirubin serum mulaimeningkat diatas normal. Pada masa sebelum
penggunaan metode pencegahan stres ulser mukosa gaster, aspirasi dari pipa lambung
menunjukan cairan yang berwarna kehitaman bahkan bedarah. Kadar srum kreatinin mulai
naik diatas 1 mg/dl
3. Stase C (Fase dekompensasi)
Penurunan tahanan vaskuler sistemik menjadi nyata sementara kemempuan kompensasi
jantung tak mamu lagi mempertahankan tekanan arteri karena penurunan tekanan afterload
yang drastis. Cardia output dapat normal atau sedikit meninggi tetapi pada keadaan tekanan
keadaan afterload yang sangat rendah, tekanan arteri tidak dapat dipertahankan lagi.
Hipotensi akan terjadi meskipun tekanan preload mencukupi. Karena hipotensi ini biasanya
disebut septik syok. Secara klinis pasien ini menunjukan suatu kontradiksi, meskipun dalam
keadaan hipotensi namun tetap teraba hangat.
4. Stase D (Fase terminal)
Adalah gambaran hemodinamik pasien pada fase pre terminal. Keadaan sirkulasi
menjadihipodinamik dengan cardiac output rendah, dimana hal ini akan menyebabkan
respon vasokonstriksi otonom sebagai reaksi tubuh untuk mempertahankan tekanan darah,
tahanan vaskuler sistemik meningkat jauh diatas normal. Konsumsi oksigen sistemik juga
sangat rendah sebagai akibat gangguan pemanfaatan oksigen oleh jaringan perifer, cardiac
output yang tidak adekuat dan vasokonstriksi perifer yang eksrim. Kadar laktat menjadi
sangat tinggi. Sebagian besar pasien akan mengalami kematian pada fase ini
Tahapan SIRS
Fase
Transien
MODS
Dekompensasi
Terminal
COP
SVR
Laktat
N
Sejalan dengan pembagian diatas, berdasarkan pemantauan keadaan pasien dengan sepsis, pasien
tersebut bisa beraa dalam keadaan hiperdinamik (juga biasa disebut sindrom sepsis) atau dalam
keadaan hipodinamik (yang biasa disebut syok septik)
Perbandingan sepsis hiperdinamik (sindrom sepsis) dan hipodinamik (syok septik)
Klinis
Laboratorium
Fisiologi
Suhu
Kulit
Jantung
Paru
Tekanan darah
Status mental
Produksi urine
Leukosit
Keasaman
Gula darah
Laktat
Trombosis
Vo2
(A-V) O2
Tekanan Baji
COP
SVR
Mikrovaskuler
Hiperdinamik
/Menggigil
Kering, hangat
Takikardi
Takipneu
Berubah
Variabel
Asidosis metabolik
1,5-2 mML
Normal/
Normal/
Kerusakan lokal
Hipodinamk
/
Dingin
Takikardi
Takipneu
Obtudansi
Oligouri
/,geser kekiri
Asidosis metaolik
Hiper/hipoglikemia
> 2mM/L
Trombositopenia
Bervariasi
Tidak adekuat
Kerusakan lokal
Hati
EFEK
Tahanan vaskular pulmonal
ARDS akut
Atelektasis
Emboli paru
Pneumonia
Hipoalbunemia
Bilirubinemia
TANDA KLINIK
Saluran cerna
Ginjal
Kardiovaskular
Koagulasi
As. Amino
Tukak lambung
Gastritis hemoragik
Kolesistitis akut
Trombosis v.mesenterika
Kreatinin
Nitrogen
Osmolaritas urin
CO , gagal atau me
Tahanan Vaskular
Trombositopenia
Fibrinogen (dini), (lanjut)
PT
Penatalaksanaan
Terapi yang dilakukan dapat bervariasi tergantung lamanya waktu setelah insult dan tahapan klinis
sepsis. Hal yang penting adalah meminimalkan trauma langsung terhadap sel serta mengoptimalkan
perfusi dan membatasi iskemia. Sebagai pedoman dalam perencanaan, pendekatan terapi dapat
ditujukan mencapai 3 sasaran :
1. Memperbaiki dan mempertahankan perfusi yang adekuat
Hal ini merupakan faktor kunci untuk meminimalkan trauma iskemia inisial dan mengurangi
iskemia akibat yang terjadi karena respon terhdap stres. Berikut ini adalah tindakan untuk
memperbaiki perfusi :
a. Mempertahankan saturasi oksigen arteri
Dilema yang sering terjadi adalah bagaimana mempertahankansaturasi O2 yang
adekuat tanpa memberikan barotrauma maupun toksik terhadap paru-paru. Tekanan
O2 arterial sebesar 75 mmHg atau diatasnya akan memberikan saturasi O2 yang
cukup (>90)
b. Ekspansi cairan
Merupakan terapi inisial terpilih untuksemua fase sepsis. Peningkatan tekanan
pengisian akan memberikan tekanan kardiak output dan akan membuka kembali
mikrosirkulasi yang hipoperfusi merupakan pendekatan resusitasi primer. Dimana
saturasi O2harus dipertahankan diatas 90%. Cairan inisial yang dipakai adalah cairan
isotonik, yang diberikan cepat sebanyak 3 lt, kemudian dilanjutkan pemberian cairan
koloid. Albumin juga penting untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma, juga
sebagai antioksidan, pengikat asam lemak bebas, endotoksin maupun obet-obatan.
Oleh karena itu kadar albumin harus tetap dipertahankan diatas 2,5 g/dl
c. Inotropik
Hanya diberikan untuk mempertahankan keadaan hiperdinamik bila ekspansi cairan
tidak cukup untuk memperbaiki perfusi. Dopamin dosis rendah akan mencukupi
sebagai pilihan awal, karena biasanya terjadi penurunan perfusi ginjal dan splanknik
walaupn pada keadaan parameter perfusi umm yang mencukupi. Dopamin dipakai
untuk meningkatkan cardiac indeks pada tekanan baji yang normal (14-16 mmHg),
sementara dobutamin digunakan pada tekanan baji lebih dari 16mmHg
d. Transfusi darah
Kadar Hb untuk menjamin perfusi harus ditinjau kembali. Pada pasien yang muda,
stabil dan sehat, kadar Hb 8 gr/dL akan mencukupi. Pasien dengan MOD
membutuhkan kadar Hb sampai 10 g/dL karena pada pasien ini terjadi gangguan
pembentukan sel darah merah.
e. Vasodilator
Penggunaan vasodilator dapat memberikan keuntungan, terutama bila terjadi
peningkatan tekanan vaskular sistemik karena peningkatan tekanan darah sistemik.
Cairan salin hipertonik dapat meningkatkan aliran darah mikrovaskular. Sedangkan
obat yang biasa dipakai adalah golongan nitroprussid.
f. Vasokonstriktor
Penambahan Zat -agonis hanya diperlukan bila tekanan sistolik lebih rendah dari
90mmHg atau MAP lebihrendah dari 70 mmHg dengan keadaan tekanan pengisian
yang cukup tinggi dan cardiac indeks lebih dari 4 Lt/menit/m2. Penambahan
dopamin sampai norepinefrin atau fenilefrin dalam dosis rendah nampak dapat
melindungi sirkulasi ginjal dan splanknik dari pengaruh vasokonstriksi zat agonis.
Vasokonstriktor diindikasikan hanya untuk hipotensi yang refrakter dan hanya
digunakan dalam waktu yang terbatas. Terapi yang ideal adalah dengan mengontrol
reaksi yang berlebihan dari vasodilator.
2. Mengontrol respon pasienterhadap trauma
Hal ini dapat dicapai dengan :
a. Mengontrol fokus lokal inflamasi sistemik
Harus dimulai sejak awal perawatan pasien. Ujuan tindakan bedah adalah :
1. Meminimalkan trauma lebih lanjut
2. Debridemen yang agresif
3. Drainase dini misalnya pus
4. Second look procedure
Tindakan ini harus dikrjakan secepatnya sebelum timbulnya respon hemodinamik
yang menunjukan telah terjadinya reaksi inflamasi sistemik. Pemberianantibiotika
spektrum luas secara empirik haris segera imulai sementara menunggu hasil kultur
dan resistensi
b. Modifikasi respon stres hormonal
Peningkatan kadar hormon katekolamin, kortisol dan glukagon berperan penting
dalam terjadinya gangguan metabolisme yaitu peningkatan glkoneogenesis dan
proteolisis yang merupakan karakteristik dari fase hiperdinamik. Reaksi ini akan
meningkatkan kebutuhan metabolik dan dapat mengakibatkan kardiomiopati.
Penggunaan zat Beta anagonis dalam dosis sedang dapat menurunkan kerja janung
dan kebutuhan metabolik, khususnya pada pasien cedera kepala.
c. Mencegah reaksi inflamasi yang berlebihan
Semua fokus infeksi yang belum terangkat dalam fase resusitasi initial harus
secepatnya diangkat, sebelum terjadi respon dari tubuh pasien. Insult sekunder dari
infeksi nosokomial
(kateter pembuluh darah,pneumonia), hipovolemia (sering pada operasi kedua),
pankreatitis ataukomplikasi intra abdomen yang lain dan endotoksin atau bakteri
yang tidak diketahui asalnya seperti dari usus harus dihindari.
Translokasi bakteri dan endotoksin yang dapat keluar melalui barier usus yang
terganggu dapat diusahakan untuk dicegah. Pertama dengan mendeteksi iskemia
splanknik. Teknik gastrik tonometi telah banyak digunakan namun validitasnya
untuk mendeteksi iskemia usus belum dilaporkan. Nutrisi enteral yang dini juga
dinilai efektif untuk mempertahankan barier mukosa. Beberapa studi klinis
membuktikan penurunan kejadian MOD sekunder pada pasien bedah dengan
pemberian nutrisi enteral dini, khususnya pada pasien multitrauma.
3. Menghindari terjadinya penyakit iatrogenik
Setiap
tambahan
insult
pada
fase
initial
atau
disfungsi
organ
sekunder
akan
Benjolan pada lipat paha yang pada awalnya masih dapat keluar masuk, keluar
terutama pada waktu beraktivitas, mengedan dan masuk saat posisi berbaring
Jika benjolan semakin besar pasien mengeluh benjolan tidak hilang secara spontan
semakin terasa nyeri, kadang kala nyeri menjalar sampai kearah scrotum, dan pasien
harus dalam posisi tiduran untuk mengurangi nyeri
Jika hernia strangulata terjadi, keluhan utamanya adalah rasa nyeri disertai tandatanda obstruksi dari usus seperti mual, muntah
2. Pemeriksaan fisik
-
Palpasi pada daerah inguinal (lebih baik bila pasien berdiri dan mengedan atau
batuk)
Meraba kantong hernia dengan jari telunjuk kearah canalis inguinalis. Akan teraba
tonjolan menyentuh ujung jari.
3. Radiografi
-
Dengan foto polos abdomen akan tampak obstruksi usus pada kasus inkarserata
4. Pengobatan
-
Prinsipnya setiap hernia inguinalis harus selalu diperbaiki kecuali ada kontraindikasi
yang spesifik.
Bila kecurigaan kearah hernia strangulasi maka tidak boleh dilakukan reduksi karena
merupakan potensial untuk reduksi massa dari segmen usus yang tela mengalami
gangren. Terapi terbaik adalah dengan pembedahan segera ( emergency operation).
Bila hernia inkarserata tereduksi tanpapembedahan maka selalu diobservasi tandatanda perkembangan dari peritonitis karena peforasi dari loop usus yang telah
terjepit.
Bila pasien memiliki leukositosis atau memiliki tanda klinis peritonitis atau jika
kantong hernianya mengandung cairan kemerahan atau darah maka rongga abdomen
harus segera dieksplorasi.
Nyeri
Jenis nyeri :
1. Nyeri visceral
-
Terjadi bila ada rangsangan organ dalam rongga perut, misalnya karena ada cedera
atau radang. Bila dilakukan tarikan atau regangan pada organ maka akan terjadi
kontraksi atau kolik yang berlebihan pada otot yang menyebabkan iskemia misalnya
kolik atau radang seperti apendisitis maka akan timbul nyeri.
Bila nyerinya pada saluran yang berasal dari foregut misalnya lambung, duodenum,
sistem hepatobilier dan pankreas menyebabkan nyeri di uluhati atau epigastrium.
Bila dari midgut misalnya dari usus halus sampai pertengahan kolon transversum
menyebabkan nyeri disekitar umblikus. Bila berasal dari hindgut yaitu dari
pertengahan kolon sampai colon sigmoid maka nyerinya diperut bagian bawah.
Karena tidak disertai ragsang peritoneum nyeri ini tidak dipengaruhi oleh gerakan
sehingga penderita biasanya dapat aktif bergerak.
2. Nyeri somatis
-
Terjadi karena rangsangan pada bagian saraf yang dipersarafi oleh saraf tepi,
misalnya pada regangan pada peritoneum parietale dan luka pada dinding perut.
Letak nyeri
Letak
Abdomen kanan atas
Epigastrium
Abdomen kiri atas
Abdomen kanan bawah
Abdomen kiri bawah
Suprapubik
Peri umbilikal
Pinggang/punggung
Bahu
Sifat nyeri
Organ
Kandung empedu, hati, duodenum, pankreas, kolon, paru, miokard
Lambung, pankreas, duodenum, paru, kolon
Limpa, kolon, ginjal, pankreas, paru
Apendiks, adneksa, caecum, ileum, ureter
Kolon, adneksa, ureter
Buli-buli, uterus, usus hlus
Usus halus
Pankreas, aorta, ginjal
Diafragma
1. Nyeri alih
-
Terjadi bila suatu segmen persarafan melayani lebih dari suatu daerah
Misalnya rangsangan pada diafragma akan dirasakan pada bahu, juga pada
kolesistitis akut, nyeri dirasakan pada ujung belikat
2. Nyeri radiasi
-
Nyeri ini menyebar dalam sistem atau jalur anatomi yang sama
Misalnya pada kolik ureter nyeri biasa dirasakan sampai pada alat kelamn luar
seperti labium mayor pada wanita atau testis pada pria
3. Nyeri proyeksi
-
Disebabkan oleh rangsangan saraf sensorik sebagai akibat cedera pada saraf
4. Hiperestesi/Hiperalgesi
-
5. Nyeri kontinyu
-
Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan setempat & adanya defans muskular untuk
Lebih lanjut akan tampak tanda intoksikasi umum dansyok karena reabsorbsi toksin
dari jaringan nekrosis
7. Nyeri pindah
-
Misalnya pada permulaan apendisitis nyeri yang terjadi adalah nyeri visceral, setelah
itu radang akan terjadi diseluruh dinding usus maka terjadi nyeri somatis, pada saat
ini nyeri akan terjadi pada peritoneum yang meradang yaitu pada kanan bawah dan
jika apendisitis mengalami nekosis maka nyeri akan terasa sangat hebat dan menetap
sampai penderita jatuh kedalam keadaan toksis
Contoh
Apendisitis akut
Perforasi apendiks
Perforasi tukak lambung
Perforasi usus tifus
Pankreatitis akut
Kolesistitis akut
Ileus Obstruktif
Adnesitis akut
Hernia inkarserata
Iskemia
Volvulus usus
Hernia strangulata
Volvulus
Perdarahan
Cedera
Kelainan
Apendisitis akut
Perforasi tukak peptik
Perforasi usus karenan tifus
Obstruksi usus halus atau usus besar
Hernia inkarserata
Volvulus usus
Kandung/salran empedu
Gastroenteritis (*)
Kolesistitis akut
Kolangitis akut
Saluran kemih
Ruptur limpa
Kolik ureter (*)
Kelainan vaskular
Rongga peritoneum
Enterokolitis nekrotikans
Abses intraabdomen
Peritonitis primer (*)
Ruang retroperitoneal
Peritonitis TB (*)
Perdarahan
tekanan positif dari ventilasi mekanik sehingga menyebabkan barotrauma dan volutrauma.
Barotrauma dapat melampaui tekanan sehingga menghancurkan sel alveoli dan menyebabkan ruptur
dari alveoli. Jika alveoli ruptur dari pleura viseralis ke dalam cavum pleura maka pneumothoraks
dapat terjadi. Bila rupturnya meluas sepanjang plane subvisceral maka diseksi akan meluas ke
mediastinum dan kedalam jaringan subkutaneus yang menyebabkan empisema subkutan tanpa
pneumothoraks.
Pengobatan penderita yang terkena pneumothoraks karena tekanan mekanik ini adalah secara umum
dengan insersi CTTdengan WSD.
Diagnosis
Sebab
Secara klinis dengan Barotrauma
bunyi
napas
Pengobatan
dari Lakukan
yang ventilasi
unilateral
positif
Distres pernapasan
Ruptur
Hipoksia
melalui
Foto thoraks
visceralis
tube
tekanan torakostomi
Jika dalam ventilasi
dari
ke
alveoli tekanan
positif,
pleura tekanan
puncak
dalam inspirasi
dapat
cavum pleura
diturunkan
Krepitasi
paru-paru
CVP)
daripalpasi Barotrauma
pada kulit
untuk
Tidak ada terapi yang
spesifik, ikuti dengan
hati-hati
Obati
penyakit
penyebab.
Sumber :
1. Andre T. Raftery. In: Applied Basic Science for Basic Surgical Training. 3th eds. Edinburg,
London, Newyork, Philadelphia, St. Louis, Sidney, Toronto 2000 p 155-156.
2. Lippincott Wiliams & Wlkins. In: The Washington Manual Surgery. 4th eds. Philadelphia,
Newyork, London, Sidney, Tokyo. W.B Saunders Company 2005. p 191. p 510
3. Wim De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta. 1997
4. Lawrence M. Way & Gerard M. Doherty. In : Current Surgical Diagnosis & Treatment. 11th
eds. Boston, New York, San Fransisco, St. Louis, Taipei, Toronto 2003. The McGraw-Hill
Companies.p 111-115. p786-788
5. F. Charles Brunicardi. In : Principles of Surgery. 8th eds. New York, Chicago, San
Fransisco, Lisbon, London, Madrid, Singapore, Sidney, Toronto 2005. p 610.
6. Robert J. Baker & Josef E. Fishcer. In :Master of Surgery. 4th eds. Philadelphia, Baltimore,
New York, London, Buenos Ares, Hong Kong, Sydney, Tokyo 2001. p 124-125