melalui ginjal, saluran cerna, paru-paru dan keringat. Rata-rata kebutuhan cairan 30-40 mL/kgBB/24
jam. Bila pasien tidak dapat minum, cairan diberikan melalui infus atau pipa lambung. Dalam
perhitungan pemberian cairan selain dihitung jumlah cairan, juga dihitung kebutuhan elektrolit
terutama natrium dan kalium. Kebutuhan natrium harian yaitu 2-4 mEq/kgBB/hari sedangkan
kebutuhan kalium harian sebesar 1-2 mEq/kgBB/hari. Pada hari pertama atau kedua pascabedah
biasanya tidak diperlukan pemberian kalium kecuali jika hasil pemeriksaan laboratorium
menunjukkan hipokalemia.
muntah/diare, seberapa banyak muntahnya atau berapa kali mengalami diare, jumlah cairan yang
masuk, jumlah kencing terakhir, obat apa yang sedang diminum. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk
memeriksa turgor kulit, adanya mata cowong, keadaan mukosa mulut, tekanan darah, nadi (kekuatan
pengisian, irama, frekuensi), perfusi perifer, waktu pengisian kapiler (normal <2 detik). Dari
pemeriksaan fisik, dapat diperkirakan beratnya kekurangan cairan terutama jika karena kehilangan
cairan isotonis atau kehilangan cairan ke rongga ketiga.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk melihat kadar hematokrit, kadar albumin,
BUN/serum kreatinin, kadar natrium, osmolaritas urin. Sebelum dilakukan pembedahan sebaiknya
masalah dehidrasi diatasi lebih dahulu, karena induksi anestesia pada dehidrasi berat akan
membahayakan pasien. Resusitasi cairan menggunakan larutan ringer laktat atau ringer asetat.
jenis cairan yang dipilih untuk terapi harus menyerupai komposisi cairan ekstrasel. Cairan pengganti
juga harus disesuaikan dengan komposisi cairan tubuh yang hilang selama perawatan, misalnya cairan
lambung, keringat, atau diare. Dalam memilih jenis cairan, juga perlu diketahui komposisi dan tujuan
terapi cairan.
Selama pembedahan, pemberian cairan didasarkan pada (1) jumlah cairan untuk
menggantikan darah yang keluar yaitu cairan NaCI 0,9% atau ringer laktat sebanyak 3 kali jumlah
perdarahan; (2) perkiraan defisit cairan yang belum sepenuhnya terkoreksi (misalnya defisit cairan 5
liter, diberikan resusitasi cairan awal 3 liter, dan kekurangan 2 liternya dibagi menjadi: 1 liter
diberikan dalam 8 jam sedangkan 1 liter sisanya diberikan dalam 16 jam); (3) cairan rumatan selama
1
pembedahan, bergantung pada jenis operasinya, berkisar antara 2,5mL/kg/jam (untuk operasi pada
permukaan/ superfisial) hingga 15ml/kg/jam (untuk operasi yang membuka rongga abdomen).
ditambah kebutuhan pengganti. Kebutuhan basal adalah kebutuhan normal per hari, sedangkan
kebutuhan pengganti adalah sejumlah cairan yang hilang akibat demam tinggi, poliuria, drainase
lambung, muntah, diare, atau perdarahan.
2. Tetesan mikro dan makro
Tetesan/ Menit
faktor tetes
faktor tetes
Macro:Jika yang ingin dicari tahu adalah berapa tetesan yang harus kita cari dengan modal
kita tahu jumlah cairan yang harus dimasukkan dan lamanya waktu, maka rumusnya adalah:
MACRO = 1 cc = 20 tts/mnt
Tetes/menit : (jumlah cairan x 20) / (Lama Infus x 60)
Jika yang dicari adalah lama cairan akan habis, maka rumusnya adalah sebagai berikut:
Lama Infus: (Jumlah Cairan x 20) / (jumlah tetesan dlm menit x 60)
Misal: seorang pasien harus mendapat terapi cairan 500 ml dalam waktu 4 jam, maka jumlah tetesan
yang harus kita berikan adalah (500 x 20 ) / ( 4 x 60 ) = 10000 / 240 = 41,7 = 42 tetes/menit begitupun
untuk rumus lama infuse tinggal dibalik aja.
Micro: Selang infuse micro adalah selang infuse yang jumlah tetesannya lebih kecil dari
macro, biasanya terdapat besi kecil di selangnya, dan biasanya digunakan untuk bayi, anak dan pasien
jantung dan ginjal. Rumus untuk menghitung jumlah tetesannya adalah sebagai berikut:
Jumlah tetes/menit : (Jumlah cairan x 60 ) / (Lama Infus x 60)
Sedangkan rumus lamanya cairan habis adalah sebagai berikut:
Lama waktu : ( Jumlah Cairan x 60) / (jumlah tetesan dalam menit x 60)
3. a. Sistem buffer
2
Agar sel tubuh berfungsi optimal, keseimbangan asam basa perlu dipertahankan. Pemeriksaan
keasaman (pH) arteri mencerminkan konsentrasi ion hidrogen (H+). Makin tinggi konsentrasi ion
hidrogen, makin asam larutan tersebut, dan pH-nya semakin rendah. Sebaliknya, semakin rendah
konsentrasi ion H+, larutan tersebut makin bersifat alkalis dan pH-nya semakin tinggi. Keasaman juga
dapat menggambarkan perbandingan antara CO2 (dikendalikan sistem paru- paru) dan HC03- (basa
yang dikendalikan oleh ginjal). Rasio normal asam: basa = 1: 20 akan memberi nilai pH normal 7,40.
Terdapat beberapa mekanisme untuk mempertahankan keseimbangan asam-basa yaitu sistem
bufer (bikarbonat, fosfat, amonium, dan proteinyang penting adalah hemoglobin), sistem
pernapasan (melalui pengaturan CO ), dan sistem ginjal (meliputi pengaturan H+, Na+, dan HCOmelalui sekresi, reabsorbsi dan konservasi).
Pemeriksaan yang paling tepat untuk mengetahui adanya gangguan keseimbangan asam basa
adalah dengan melakukan pemeriksaan gas darah arteri, yang akan mendapatkan kadar pH, pC02 ,
p02, HC03- dan kelebihan basa (base excess, BE).
Tahapan interpretasi hasil analisis gas darah yaitu (1) menentukan apakah nilai pH, normal
(7,40), alkalosis bila pH dan asidosis bila pH >7,40; (2) memperhatikan nilai pC02 sebagai parameter
respirasi (normalnya 40 mmHg), asidosis bila pC02 >40 mmHg dan alkalosis bila pC02 <40mmHg;
(3) memperhatikan nilai HC03- sebagai parameter metabolik, asidosis bila HC03- <25mEq/L dan
alkalosis bila HC03- >25mEq/L; (4) menentukan manakah komponen (pC02 dan HC03-) yang sesuai
dengan perubahan pH. Hal ini dapat dikonfirmasi dengan hasil BE; (5) bila kedua komponen
abnormal, mana yang lebih mendekati ke arah perubahan pH; (6) selanjutnya diperhatikan nilai p02
dan saturasi oksigen (target p02 80-100mmHg, sedangkan Sa02 >96%).
Asidosis Metabolik
Diagnosis ditegakkan bila pH <7,35 dan HC03-<21mmol/L. Asidosis metabolik dapat terjadi
dengan atau tanpa anion gap (AG = Na+- [Cl-+ HC03-]). AG normal 114. Penyebab asidosis
metabolik dengan AG normal antara lain diare, hipovolemia, penurunan curah jantung, gagal ginjal,
gagal hati, sepsis, dan hipotermia. Sedangkan penyebab asidosis metabolik yang disertai peningkatan
AG antara lain peningkatan kadar laktat, ketoasidosis, keracunan aspirin, dan keracunan golongan
alkohol.
Asidosis metabolik dapat mengakibatkan gangguan kontraktilitas otot jantung, penurunan
tahanan sirkulasi perifer, hiperventilasi, meningkatnya efek simpatis sehingga menurunkan perfusi ke
usus dan ginjal, serta berkurangnya respons terhadap terapi inotropik. Prinsip terapi asidosis
metabolik yaitu ditangani sesuai dengan penyebabnya (hipotensi, hipoksia, sepsis), mempertahankan
kompensasi hiperventilasi, berikan natrium bikarbonat 8,4% bila pH <7,20. Natrium bikarbonat baru
perlu diberikan bila pH di bawah 7,2 atau BE >-10, dan koreksinya tidak perlu dilakukan secara
drastis, cukup hingga pH beranjak ke daerah aman yaitu 7,25.
Alkalosis metabolik
Diagnosis dapat ditegakkan bila pH >7,45 dan kadar HCO- >27mmol/L. Penyebab alkalosis
metabolik antara lain kehilangan ion H+ dan Cl- melalui muntah atau drainase lambung (pemasangan
pipa lambung), pemberian diuretik jangka panjang, hipokalemia, dan gangguan sirkulasi yang
mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal.
Alkalosis metabolik mengakibatkan hipokalemia, hipokalsemia, hipoventilasi dan retensi
C02, kurva disosiasi oksigen bergeser ke kiri, dan penurunan curah jantung. Terapi alkalosis
metabolik meliputi koreksi hipokalemia, terapi muntah yang berlebihan, hindari hiperventilasi,
berikan terapi cairan dengan 0,9% NaCl, dan jika pH >7,55 dan BE >+5 dapat dipertimbangkan
pemberian tablet asetazolamid 250-500 mg.
Asidosis respiratorik
Diagnosis ditegakkan bila pH <7,35 dan pC02 >45 mmHg, peningkatan pC02 dapat
dikompensasi dengan menahan bikarbonat. Membedakan apakah asidosis respiratorik terjadi akut atau
kronik dipastikan dengan memeriksa kadar bikarbonat. Asidosis respiratorik terjadi karena produksi
C02 yang berlebihan (asupan karbohidrat berlebihan) atau ketidakmampuan paru-paru untuk
mengeluarkan C02 (pada PPOK). Pemberian anestetik (misalnya opioid dan sedatif) dapat
membahayakan penderita, seringkah pada pascabedah diperlukan perawatan di ICU.
Penyebab asidosis respiratorik yaitu gangguan ventilasi alveoler (depresi pusat napas, PPOK,
gagal napas akut, pemberian ventilasi yang tidak adekuat) atau peningkatan produksi C02
(hipermetabolisme, sepsis, hipertermia maligna).
Terapi asidosis respiratorik, yaitu pemberian antidot penyebabnya yaitu antidot opioid atau
antidot pelumpuh otot, bantuan napas, dan terapi suportif lainnya.
Alkalosis respiratorik
Diagnosis ditegakkan bila pH >7,45 dan pC02 <35 mmHg, biasanya pH cenderung ke arah
normal karena kompensasi penurunan kadar bikarbonat dalam serum. Alkalosis respiratorik akan
mengakibatkan hipokalemia, hipokalsemia, dan penurunan aliran darah ke otak. Penyebab alkalosis
respiratorik antara lain nyeri, ansietas, sepsis (fase awal), pemberian napas bantuan yang berlebihan,
hipoksia, dan sindrom hiperventilasi (proses sentral).
4. Syok
a. definisi: Sindrom gangguan perfusi dan oksigenisasi sel secara menyeluruh sehingga kebutuhan
metabolisme jaringan tidak terpenuhi
b. jenis-jenis
Syok terbagi atas empat jenis, yaitu syok hipovolemik, obstruktif, kardiogenik, distributif, dan
syok endokrin, yang disebabkan oleh kelainan hormon yaitu berupa kelebihan maupun kekurangan
hormon.
Menurut nilai curah jantung, syok terbagi menjadi dua yaitu syok hipodinamik dan syok
hiperdinamik. Pada syok hipodinamik, curah jantung di bawah normal dan tekanan vena sentral
melebihi normal. Syok hipovolemik, kardiogenik, dan obstruktif termasuk dalam jenis syok ini. Di
lain pihak, pada syok hiperdinamik, nilai curah jantung melebihi normal dan tekanan vena sentral
kurang dari normal. Syok distributif termasuk dalam jenis syok ini.
1. Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik merupakan jenis syok yang paling sering ditemukan, dan hampir semua
jenis syok memiliki komponen syok hipovolemik di dalamnya akibat nenurunnya beban hulu
(preload). Syok hipovolemik disebabkan oleh tidak cukupnya volume sirkulasi, seperti akibat
perdarahan dan kehilangan cairan tubuh lain.
Menurut derajat volume sirkulasi yang hilang, syok hipovolemik dibagi menjadi empat kelas.
Namun, perbedaan ini mungkin tidak terlalu jelas pada penderita syok hemoragik sehingga resusitasi
cairan harus diarahkan pada respons terhadap tindakan awal dan bukan hanya mengandalkan
klasifikasi awal saja. Pengelompokan ini berguna untuk memastikan tanda dini dan patofisiologi
keadaan syok.
Syok hipovolemik dapat digolongkan lebih lanjut ke dalam syok hemoragik atau nonhemoragik. Perdarahan dapat bersifat terlihat (misalnya, akibat luka atau hematemesis pada tukak
lambung) atau tidak terlihat (perdarahan dari saluran cerna, seperti pada tukak duodenum, cedera
limpa, kehamilan di luar uterus, patah tulang pelvis, dan patah tulang besar atau majemuk).
Perdarahan dalam jumlah banyak akan mengganggu perfusi jaringan sehingga timbul hipoksia.
Respons jaringan terhadap hal ini bervariasi menurut jenis jaringan. Otot merupakan jaringan yang
lebih tahan terhadap hipoksia dibandingkan dengan otak.
Syok hipovolemik non-hemoragik terjadi akibat hilangnya cairan tubuh total dan keluarnya
cairan intravaskular ke kompartemen ekstravaskular atau interstisial, seperti pada luka bakar luas,
muntah hebat atau diare, obstruksi ileus, diabetes atau penggunaan diuretik kuat, sepsis berat,
pankreatitis akut, atau peritonitis purulenta difus.
2. Syok obstruktif
Syok obstruktif terjadi akibat obstruksi mekanis aliran darah di luar jantung, paling sering
akibat tamponade jantung, sehingga perfusi sistemik menurun. Akibatnya, terjadi gangguan pengisian
ventrikel dan perubahan volume aliran balik vena akibat kompresi cairan perikardium yang
mengganggu curah jantung. Jika hal ini berlangsung lama, akan terjadi gangguan perfusi sistemik dan
oksigenasi jaringan sehingga timbul kerusakan sel. Jumlah cairan perikardium yang dapat
mempengaruhi pengisian diastolik jantung bergantung pada akumulasi cairan dan daya regang
perikardium. Selain itu, syok obstruktif disebabkan juga oleh tromboemboli paru, obstruksi mekanis
a.pulmonalis, hipertensi pulmonal, dan tension pneumothoraks yang mengganggu curah jantung.
3. Syok kardiogenik
Penyebab primer syok kardiogenik adalah kegagalan fungsi jantung sebagai pompa sehingga
curah jantung menurun. Delapan puluh persen syok kardiogenik disebabkan oleh gangguan fungsi
ventrikel kiri akibat infark miokard dengan elevasi ST. Selain karena disfungsi miokard, penurunan
kontraktilitas jantung, obstruksi aliran ventrikel ke luar jantung, kelainan pengisian ventrikel,
disritmia, dan defek septum juga turut menggagalkan fungsi jantung. Mortalitas akibat syok
kardiogenik adalah sekitar 50%.
Menurut penelitian terakhir, sindrom peradangan sistemik ternyata menjadi komponen
penting dalam timbulnya syok kardiogenik. Kriteria diagnosis syok kardiogenik adalah (1) tekanan
darah sistol 90 mmHg atau penurunan tekanan darah sistol sebesar 30 mmHg secara mendadak; (2)
hipoperfusi yang ditandai dengan produksi urin 20 cc/jam, gangguan fungsi saraf pusat, dan
vasokonstriksi perifer (akral dan keringat dingin).
4. Syok distributif
Syok distributif adalah jenis syok yang timbul akibat kesalahan distribusi aliran dan volume
darah. Berbagai keadaan yang termasuk ke dalam kelompok syok distributif antara lain syok septik,
syok anafilaktik, dan syok neurogenik.
a. Syok septik
Profil hemodinamik pada syok septik dipengaruhi oleh berbagai perubahan fisiologis yang
dipicu oleh sepsis. Syok septik disebabkan oleh septisemia yang biasanya disebabkan oleh kuman
Gram negatif dan menyebabkan kolaps kardiovaskular. Endotoksin basil Gram negatif menyebabkan
vasodilatasi kapiler dan terbukanya hubungan pintas arteriovena perifer. Selain itu, terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler. Peningkatan kapasitas vaskular akibat vasodilatasi perifer
menyebabkan hipovolemia relatif, sedangkan peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan
kehilangan cairan intravaskular yang terlihat sebagai udem.
Pada syok septik, gambaran hemodinamik yang klasik adalah peningkatan curah jantung
(kadang sampai tiga kali normal), dan percepatan peredaran darah, tetapi terjadi hipotensi sistemik.
Timbul perfusi berlebihan akibat bertambah banyaknya volume darah yang beredar (karenanya, syok
ini termasuk jenis syok hiperdinamik). Hipoksia sel di sini tidak disebabkan oleh penurunan perfusi
jaringan melainkan karena ketidakmampuan sel menggunakan zat asam karena toksin kuman.
b. Syok anafilaktik
Jika seseorang hipersensitif terhadap suatu antigen dan kemudian terpajan lagi pada antigen
tersebut, akan timbul reaksi hipersensitivitas umum tipe I. Antigen yang bersangkutan terikat pada
antibodi di permukaan sel mast sehingga terjadi degranulasi, pengeluaran histamin dan zat vasoaktif
lain. Akibatnya, permeabilitas meningkat dan seluruh kapiler berdilatasi. Hipovolemia relatif akibat
Gambaran klinis pada syok distributif terbagi menurut jenis syoknya. Pada syok septik,
vasodilatasi perifer tidak dipengaruhi oleh katekolamin. Kulit penderita hangat sehingga syoknya
disebut juga syok panas. Kulit menjadi merah karena vasodilatasi, sedangkan peredaran darah
meningkat pesat untuk mengompensasi ruang vaskular yang meluas. Denyut nadi menguat sebagai
tanda peningkatan curah jantung. Tekanan nadi, yaitu perbedaan antara tekanan sistolik dan tekanan
diastolik, juga meningkat. Suhu badan mungkin tidak meningkat. Hipoksia otak menyebabkan
kegelisahan dan akhirnya koma. Perfusi ginjal yang tidak mencukupi menyebabkan oliguria. Pada
syok anafilaktik, dapat dijumpai tanda berupa reaksi dermatologik (eritema), dan obstruksi jalan
napas, yang ditandai dengan bunyi mengi.
d. Tatalaksana
Tata laksana syok dimulai dengan pemulihan perfusi jaringan dan oksigenasi sel. Tindakan ini
tidak bergantung pada penyebab syok. Diagnosis harus juga segera ditegakkan sehingga dapat
diberikan pengobatan kausal.
Kebutuhan oksigen jaringan harus segera dicukupi dengan mengoptimalkan penyediaan
oksigen dalam darah. Volume cairan intravaskular juga harus dicukupi agar volume beban hulu
maksimal. Selain itu, harus dipertimbangkan pemberian zat inotropik untuk merangsang miokard dan
vasokonstriktor untuk mengatasi vasodilatasi perifer, kecuali jika ada syok kardiogenik.
Curah dipengaruhi oleh frekuensi denyut jantung dan isi sekuncup. Isi sekuncup dipengaruhi
oleh kecukupan cairan dalam sistem kardiovaskular (beban hulu), kemampuan kontraksi otot pancung
(kontraktilitas), dan tahanan dalam pembuluh darah (beban hilir). Kandungan oksigen dalam darah
dihitung dengan rumus sebagai berikut
(134 x Hb x Sa02) + (0,003 x Pa02)
Dengan demikian, untuk mengoptimalkan kandungan oksigen dalam darah, komponen yang
harus diperbaiki ialah hemoglobin (Hb), saturasi oksigen (SaO2), dan tekanan parsial oksigen dalam
darah arteri (PaO2). SaO2 dan PaO2 dioptimalkan melalui pemberian terapi oksigen dan/atau bantuan
napas.
Kebutuhan oksigen jaringan (V02) sangat bervariasi antara satu pasien dengan yang lain,
tetapi secara keseluruhan dipengaruhi oleh suhu tubuh, aktivitas, angkat metabolisme jaringan, dsb.
Kecukupan oksigen jaringan ditentukan oleh keseimbangan antara D02 dan VO2.
Agar perfusi dapat memenuhi kebutuhan metabolit dan oksigen jaringan, tekanan darah harus
sekurang- kurangnya 70-80 mmHg, yang dicapai dengan memperhatikan prinsip resusitasi ABC. Jalan
napas (atrway, A) harus bebas, bila perlu menggunakan intubasi. Pernapasan (breathing, B) harus
terjamin, bila perlu menggunakan ventilasi buatan dan pemberian oksigen 100%. Pada pasien syok
yang menggunakan ventilasi mekanis, kebutuhan oksigen dapat dipenuhi sebesar 20 25%. Defisit
volume peredaran darah (circulation) pada syok hipovolemik sejati atau hipovolemik relatif (syok
septik dan anaftlaksis) dapat diatasi dengan pemberian cairan intravena dan mempertahankan fungsi
jantung,
8
Jenis cairan resusitasi yang sebaiknya diberikan masih menjadi perdebatan. Kristaloid
merupakan cairan yang murah dan mudah didapat, tetapi karena mudah keluar dari pembuluh darah,
diperlukan banyak cairan kristaloid untuk mencukupi volume intravaskular. Kerugian lain dari cairan
kristaloid ialah mudah menyebabkan edem interstitial, terutama pada syok septik, ketika terjadi
kenaikan permeabilitas kapiler. Udem interstitial pada paru akan mengganggu difusi oksigen ke
kapiler paru, apalagi kalau sudah terjadi ALI (acute lung injury) atau ARDS (acute respiratory distress
syndrome). Udem jaringan akan mengganggu difusi oksigen ke sel.
Cairan koloid mempunyai partikel yang lebih besar sehingga tidak mudah keluar dan lebih
lama berada dalam pembuluh darah. Dengan demikian, hemodinamika relatif lebih cepat membaik.
Kerugian cairan koloid ialah harganya mahal, dan beberapa jenis dapat menyebabkan gangguan
pembekuan darah bila diberikan dalam jumlah yang besar. Kebocoran cairan koloid ke interstitial
hanya dapat dikeluarkan melalui saluran limf sehingga berlangsung lambat. Perbaikan perfusi secara
kuantitatif diperiksa melalui metode invasif (pengukuran tekanan arteri pulmonalis, tekanan vena
sentral, selisih tekanan nadi, echo Doppler) dan secara laboratoris dari adanya penurunan kadar laktat
dan perbaikan base excess.
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Penunjang diagnosis yang dapat digunakan pada syok antara lain ekokardiografi untuk memastikan
tamponade jantung, EKG untuk membedakan oklusi koroner dengan infark miokard atau embolus
paru yang besar, dll. Pemantauan dilakukan terus-menerus terhadap suhu badan, denyut nadi, tekanan
darah, pernapasan, dan kesadaran. Pemantauan tekanan vena sentral diperlukan sebagai pegangan
untuk mengatur pemberian cairan parenteral dan pengawasan jantung. Pemasangan kateter di bulibuli dibutuhkan untuk mengukur diuresis setiap jam. Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk
mengetahui kadar hemoglobin, hematokrit, ureum, elektrolit, keseimbangan asam-basa, kadar gas
darah, dan biakan darah.
Tata laksana syok obstruktif yang disebabkan oleh tamponade jantung terdiri atas oksigenasi,
pemberian cairan, tirah baring dengan posisi Trendelenburg, dan pemberian zat inotropik. Ventilasi
mekanis bertekanan- positif harus dihindari karena dapat menurunkan alir balik vena. Tindakan medis
definitif berupa perikardiosentesis, drainase perkutaneus subxifoid darurat, atau perikardiotomi. Jika
hemodinamika pasien tetap tidak stabil atau jika perikardiosentesis gagal (biasanya karena darah
dalam di kantung perikardium sudah membeku), harus dilakukan torakotomi atau perikardiotomi
terbuka untuk membuat pericardial window, perikardiodesis, pirau perikardioperitoneal, atau
perikardiektomi.
Tata laksana syok kardiogenik terdiri dari tata laksana cairan, oksigenasi, pengendalian
disritmia, penggunaan inotropik dan vasopresor. dan bila perlu penggunaan IABP (intra aortic baloon
pump) yang diikuti dengan revaskularisasi. Pemilihan inotropik harus cermat sebab inotropik vang
bekerja melalui sistem simpatis dapat meningkatkan kematian.
Pada penanggulangan infark miokard harus dicegah pemberian cairan berlebihan yang akan
membebani jantung. Selain itu, harus diperhatikan juga oksigenasi darah yang memadai dan tindakan
untuk menghilangkan nyeri.
Resusitasi cairan pada syok septik dilakukan menggunakan cara early goal directed therapy
(EGDT). Angka kematian pada cara ini adalah sebesar 30,5% sedangkan angka kematian dengan cara
konvensional adalah sebesar 46,5%. Target resusitasi ialah mencapai tekanan vena sentral sebesar
8-12 mmHg dan tekanan arteri rerata sekitar 60-90 mmHg. Untuk mencapai nilai tekanan arteri rerata
ini, digunakan zat vasoaktif (dalam hal ini vasokonstriktor). Vasokonstriktor yang dianjurkan menurut
survivalsepsis campaign ialah noradrenalin, sedangkan pada pasien yang refrakter terhadap
noradrenalin, dapat digunakan vasopresin. Resusitasi pada kegagalan sirkulasi akibat sepsis dilakukan
dengan cara memperbaiki variabel hemodinamik dan oksigenasi sistemik. Akan tetapi, kegagalan
mikrosirkulasi dapat terus berlanjut tanpa diketahui, diikuti dengan gangguan fungsi respirasi internal
mitokondria, gangguan fungsi organ, dan berakhir dengan kematian. Keadaan ini disebut sebagai
microcirculatory and mitochondrial distress syndrome (MMDS), yang ditandai dengan peningkatan
laktat, gangguan keseimbangan asam-basa dan kadar CO2 gastrik dan oral meskipun hemodinamik
sistemik telah normal, bahkan supranormal, demikian juga dengan berbagai variabel oksigenasi.
Untuk menanggulangi syok septik, sumber sepsis harus dicari. Pada masa pascabedah sumber
sepsis sering berasal dari lapangan pembedahan, paru-paru (bronkopneumonia), sistitis (kateter), atau
kateter infus. Abses di lapangan pembedahan harus disalir. Kanul infus harus dicabut dari ujungnya
dan dilakukan biakan pus. Kateter buli-buli harus dicabut atau diganti dan dibuat biakan urin.
Biakan darah harus dilakukan berulang-ulang untuk menentukan kuman penyebab dan
memastikan ke rentanan serta resistensinya terhadap berbagai antibiotik. Antibiotik diberikan
berdasarkan hasil biakan.
Cairan diberikan berdasarkan hasil pemantauan. Karena biasanya terjadi gagal organ
majemuk, penderita harus dipantau dengan saksama, khususnya sistem saraf pusat karena mungkin
terjadi ensefalopati, paru karena kemungkinan terjadi ARDS, jantung karena ancaman miokardititis,
hati karena mungkin terjadi gangguan faal atau hepatitis, ginjal karena mungkin terjadi gagal ginjal,
sistem hemopoietik karena mungkin terjadi koagulasi intra vaskular tersebar (DIC), dan saluran cerna
karena ancaman tukak peptik stres dengan perdarahan atau perforasi. Dilakukan pemantauan
mikrosirkulasi, yang meliputi pengukuran C02 sublingual, bukal, subkutan, NIRS (near infrared
spectroscopy), atau pencitraan OPS (orthogonal polarization spectral) untuk mengetahui dan menilai
resusitasi mikrosirkulasi. Akan tetapi, pemantauan dengan alat canggih, pemberian cairan secara
sempurna, pemberian antibiotik menurut hasil biakan, dan perawatan optimal tidak dapat
menyelamatkan penderita jika sumber sepsis tidak diberantas secara radikal umpamanya dengan
tindak bedah dan penyaliran.
Syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat karena penderita berada dalam keadaan gawat.
Segera berikan 1 ml larutan adrenalin 1/1.000 secara subkutan untuk menimbulkan vasokonstriksi.
10
Hidrokortison 200-500 mg diberikan intravena untuk menstabilkan sel mast, dan sediaan antihistamin
intravena untuk menghambat reseptor histamin. Infus diberikan untuk mengatasi hipovolemia.
Tindakan pencegahan syok anafilaksis harus diperhatikan sebelum melakukan penyuntikan. Bila tidak
ada kepastian mengenai kemungkinan akan terjadi syok anafilaksis, sebaiknya dilakukan tes kulit dan
selalu harus disiapkan sediaan adrenalin, hidrokortison, dan antihistamin
Syok Perdarahan
a. Derajat:
Perdarahan adalah penyebab syok yang paling sering terjadi pada penderita trauma. Respon
penderita trauma terhadap kehilangan darah menjadi lebih rumit karena pergeseran cairan di antara
kompartemen cairan di dalam tubuh (khususnya di dalam kompartemen cairan ekstraseluler).
Definisi dari perdarahan adalah kehilangan akut volume peredaran darah.
Hebatnya
kehilangan darah dapat ditentukan pada evaluasi awal dengan menilai pulsasi, tekanan darah, dan
pengisian kembali kapiler. Sistem klasifikasi ATLS dari American College of Surgeons berguna
untuk memahami manifestasi sehubungan dengan syok hemoragik pada orang dewasa (tabel 1).
Volume darah diperkirakan 7% dari berat badan ideal, atau kira-kira 4900 ml pada pasien dengan
berat badan 70 kg (155 lb).
Perdarahan kelas 1, didefinisikan sebagai kehilangan darah <15% dari total volume darah,
mendorong pada tidak adanya perubahan terukur pada kecepatan jantung atau pernafasan, tekanan
darah, atau tekanan nadi dan membutuhkan sedikit atau tidak adanya perawatan sama sekali.
Perdarahan kelas 2 didefinisikan sebagai kehilangan darah 15-30% volume darah (750-1500
ml), dengan tanda-tanda klinis termasuk takikardia dan takipnoe. Tekanan darah sistolik mungkin
hanya sedikit menurun, khususnya ketika pasien berada pada posisi supinasi, akan tetapi tekanan nadi
menyempit. Urin output hanya menurun sedikit (yaitu, 20-30 ml/jam). Pasien dengan perdarahan
kelas 2 biasanya dapat diresusitasi dengan larutan kristaloid saja, namun beberapa pasien mungkin
membutuhkan transfusi darah.
Perdarahan kelas 3 didefinisikan sebagai kehilangan 30-40% (1500-2000 ml) volume darah.
Perfusi yang tidak adekuat pada pasien dengan perdarahan kelas 3 mengakibatkan tanda takikardia
dan takipnoe, ekstremitas dingin dengan pengisian kembali kapiler yang terhambat secara signifikan,
11
hipotensi, dan perubahan negatif status mental yang signifikan. Perdarahan kelas 3 menampakkan
volume kehilangan darah terkecil yang secara konsisten menghasilkan penurunan pada tekanan darah
sistemik. Resusitasi pada pasien ini seringnya membutuhkan transfusi darah sebagai tambahan
terhadap pemberian larutan kristaloid.
Perdarahan kelas 4 didefinisikan sebagai kehilangan darah > 40% volume darah (> 2000 ml)
mewakili perdarahan yang mengancam jiwa. Tanda-tandanya termasuk takikardia, tekanan darah
sistolik yang tertekan secara signifikan, dan tekanan nadi yang menyempit atau tekanan darah
diastolik yang tidak dapat diperoleh. Kulit menjadi dingin dan pucat, dan status mental sangat
tertekan. Urin output sedikit. Pasien-pasien ini membutuhkan transfusi segera untuk resusitasi dan
seringkali membutuhkan intervensi bedah segera.
Ketika terjadi perdarahan derajat I, perfusi jaringan masih tidak terganggu dan produksi ATP
masih mencukupi kebutuhan sehingga kehidupan sel atau jaringan tidak terganggu. Pada derajat II,
sudah terjadi gangguan perfusi sehingga untuk mempertahankan kehidupan sel atau jaringan yang
vital, diperlukan penarikan aliran kapiler dari jaringan yang kurang vital ke jaringan yang vital untuk
menjamin tercukupinya kebutuhan ATP. Pada perdarahan derajat III dan IV, mulai terjadi gangguan
kehidupan sel akibat produksi ATP yang lebih kecil daripada kebutuhan. Kegagalan kompensasi
terjadi jika kehilangan cairan intravaskular hampir mendekati 50%. Jika ketidakseimbangan ini terus
berlangsung sampai pada taraf yang berat, terjadi kematian sel atau jaringan.
Prinsip pengelolaan syok perdarahan ialah menghentikan sumber perdarahan dan resusitasi
cairan (darah) yang hilang. Terdapat kontroversi antara resusitasi segera secara agresif atau secara
perlahan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa resusitasi secara perlahan tidak banyak
menimbulkan penyulit. Terdapat beberapa kasus perdarahan yang bisa berhenti spontan, sehingga ada
yang menganjurkan agar resusitasi dengan cepat dikerjakan bila tidak ada tanda perdarahan akan
berhenti.
Target resusitasi sebaiknya tidak hanya didasarkan atas parameter tekanan darah dan produksi
urin semata sebab bila hanya didasarkan atas parameter tersebut, 85% kasus ternyata menunjukkan
bahwa resusitasi belum optimal. Target yang lebih logis adalah tingkat oksigenasi sel atau jaringan,
yang dapat dilihat dari konsentrasi laktat, konsumsi oksigen jaringan, defisit basa, pH mukosa
lambung, dan tekanan parsial oksigen jaringan.
Penderita dengan perdarahan kelas IV hampir selalu segera memerlukan transfusi darah serta
tindak bedah darurat untuk menghentikan perdarahan. Keputusan tersebut bergantung pada respons
terhadap resusitasi cairan. Kehilangan darah lebih dari 50% volume darah mengakibatkan kehilangan
kesadaran, hilangnya denyut nadi, dan turunnya tekanan darah. Keadaan ini dianggap sebagai keadaan
praterminal, dan kalau tidak dilakukan tindakan yang agresif, penderita akan meninggal dalam
beberapa menit.
Pemantauan tekanan vena sentral penting untuk mencegah pemberian cairan berlebihan,
sedangkan diuresis diperlukan untuk mencegah pemberian yang kurang. Sedapat mungkin diberikan
12
jenis cairan yang sama dengan yang keluar, darah pada perdarahan dan plasma pada luka bakar. Akan
tetapi, penanggulangan segera dengan resusitasi dapat dimulai dengan pemberian cairan Ringer laktat
atau kristaloid.
Darah merupakan cairan resusitasi yang optimal bagi pasien trauma dengan syok bila cairan
elektrolit tidak mampu memulihkan tekanan darah pasien. Bila perdarahan melebihi 25% volume
darah dan hematokrit sekitar 40%, transfusi sel darah merah harus diberikan untuk mencegah
hematokrit turun di bawah 30% ketika isovolume dicapai. Cara lain untuk menentukan apakah
transfusi diperlukan atau tidak bisa dilihat dari nilai saturasi oksigen vena sentral; bila <75%, transfusi
dapat dipertimbangkan. Salah satu tujuan transfusi darah adalah meningkatkan kandungan oksigen
dalam darah, dengan harapan jaringan cukup mendapatkan oksigen. Namun, perlu diingat bahwa Hb
bukan satu-satunya faktor yang menentukan kecukupan oksigenasi jaringan karena masih ada faktor
lain seperti curah jantung, Sa02, dan Pa02. Oleh karena itu, ditinjau dari segi kecukupan oksigen
jaringan, cukup sulit menentukan kapan perlu transfusi darah. Konsensus yang dibuat oleh American
College of Physicians, American Society of Anesthesiology, dan Canadian Medical Association
menganjurkan bahwa Hb sebesar 6-8 gr% merupakan batas ambang untuk transfusi darah.
Transfusi darah sebaiknya berupa darah segar yang sesuai dan yang masih mengandung
semua komponen darah, tetapi pemeriksaan terhadap penyakit menular (seperti HIV, sifilis, dan lainlain) mutlak dilakukan dulu. Untuk efisiensi dan ketepatan pemakaian darah, dapat diberikan transfusi
komponen darah seperti packed red cell (PRC), plasma beku segar, trombosit, dan lain-lain. Akan
tetapi, karena pertimbangan waktu, pada penderita syok hemoragik yang gawat sering terpaksa
digunakan darah donor universal. Pada lelaki, sebaiknya diberikan darah golongan O dengan Rh (+),
yang mudah didapat, sedangkan pada perempuan usia subur, sebaiknya diberikan golongan O dengan
Rh (-) untuk menghindari sensitisasi ketika wanita itu hamil kelak. Transfusi darah golongan O dalam
jumlah kecil dapat ditoleransi dengan baik, sedangkan dalam jumlah banyak dapat menyebabkan
koagulopati, asidosis, hipokalsemia, hipomagnesemia, dan hipotermia.
Keadaan yang dapat memengaruhi syok pada pasien trauma antara lain defisiensi tiamin,
alkoholisme, dan hipotermia. Tiamin merupakan vitamin penting yang bila terdapat dalam jumlah
kurang, dapat menyebabkan disfungsi jantung maupun neurologi. Penderita beri- beri dapat
mengalami biventricular myocardial failure dengan vasodilatasi perifer. Pada pasien dengan defisiensi
tiamin, dapat juga ditemukan takikardia, hipotensi, tekanan pengisian jantung yang tinggi, dan
asidosis.
Pada alkoholisme, keadaan mabuk dapat memperburuk syok hemoragik. Gejala putus alkohol
seperti delirium tremens dengan hiperaktivitas autonomik dan dehidrasi dapat menyerupai syok
Hipotermia merupakan keadaan rendahnya suhu tubuh sampai di bawah 35C. Tanpa disertai
trauma lain, suhu 35-32C disebut hipotermia ringan, suhu 32-30C adalah hipotermia sedang, dan
suhu di bawah 30C tergolong hipotermia berat. Penderita trauma rawan mengalami hipotermia dan
setiap derajat dari hipotermia sistemik pada penderita trauma, akan diperberat oleh cederanya. Suhu
13
inti di bawah 36C pada pasien trauma sudah dianggap hipotermia dan suhu inti di bawah 32C
merupakan hipotermia berat. Secara fisiologis tubuh memberikan respons kompensasi dengan
menaikkan suhu tubuh dan ini dapat mengganggu usaha resusitasi. Termogenesis dengan menggigil
meningkatkan konsumsi oksigen. Sementara itu, asidosis metabolik dan syok hipovolemik dapat
terjadi atau kambuh pada pasien yang suhu badannya kembali normal karena vasodilatasi.
Selain dapat terjadi pada pasien cedera berat dengan syok hemoragik, hipotermia juga dapat
terjadi secara cepat bila tubuh terendam di dalam air bersuhu di bawah titik beku, atau terjadi perlahan
bila berada dalam lingkungan suhu dingin. Orang tua juga lebih rentan terhadap trauma dingin karena
terganggunya
kemampuan
menghasilkan
panas
dan
menekan
kehilangan
panas
melalui
vasokonstriksi, sedangkan anak-anak lebih rawan terhadap trauma dingin karena luas permukaan
tubuhnya yang relatif lebih besar dan juga sumber energinya yang terbatas. Pengukuran suhu inti
dapat dilakukan di daerah esofagus dan rektosigmoid. Suhu inti badan dapat juga diukur dengan
electronic thtrmistor di arteri pulmonalis dan di buli-buli. Suhu juga dapat diukur pada membran
timpani menggunakan pengajuk {prob) inframerah. Hasil pengukuran ini 0,3-0,4 lebih tinggi
dibandingkan dengan suhu inti badan.
5. Transfusi
a. Definisi: Transfusi Darah adalah proses pemindahan darah dari seseorang yang sehat (donor) ke
orang sakit (respien). Darah yang dipindahkan dapat berupa darah lengkap dan komponen darah.
b. Pemeriksaan:
c. Jenis-jenis transfusi
1.
Darah lengkap (whole blood). Isi : eritrosit, trombosit & plasma (450ml) serta antikoagulan
CPDA (63 ml). Transfusi sebaiknya dilakukan dalam 30 menit setelah darah dikeluarkan dari
pendingin. Pemberian 1 unit (500 ml), menaikkan Hb kira-kira 1 gr% atau hematokrit 3-4%.
Indikasi pemberian:
1. Perdarahan >30% total body volume (syok hemovolemik), stabilkan dulu dengan cairan
elektrolit. Pada bayi, perdarahan >10% total body volume, dilakukan transfusi.
2. Bedah mayor dengan perdarahan >1500 ml.
Ada 3 jenis:
1. Darah segar: <6 jam dari pengambilan. faktor pembekuan masih lengkap termasuk faktor V dan
VIII, fungsi eritrosit masih relatif baik
2. Darah baru: 6 jam-6 hari sesudah pengambilan. Faktor pembekuan sudah hampir habis.
Peningkatan kadar kalium, ammonia dan asam laktat.
3. Darah simpan: >6hari. Faktor pembekuan sudah habis. Penurunan kadar 2,3 DPG sehingga
afinitas Hb terhadap oksigen tinggi, sehingga oksigen sulit dilepas ke jaringan. Kadar kalium,
ammonia dan asam laktat tinggi.
14
2.
Packed Red Cells (PRC). Sebahagian besar terdiri dari sel darah merah/ eritrosit, akan tetapi
masih mengandung sedikit sisa-sisa leukosit dan trombosit. Indikasi pemberiannya adalah pada
pasien anemia tanpa penurunan volume dan disertai tanda oxygen need (rasa sesak, mata
berkunang, berdebar, gelisah, pusing, Hb<6 gr/dl), dengan syarat: akan dilakukannya operasi
besar, tetapi Hb < 10; atau anemia yang menimbulkan keluhan dan mengancam keselamatan.
Sebaiknya transfusi selesai dalam waktu 4 jam.
Volume RBC = (Hematokrit yang diinginkan hematokrit sekarang) x estimated blood vol.
Hematokrit PRC
3.
Washed Red Cells (WRC). Bedanya dengan PRC adalah, kadar sisa leukosit dan
trombositnya jauh lebih rendah. Indikasinya adalah untuk mencegah terjadinya febris (demam)
atau alergi akibat aktifitas leukosit maupun trombosit. Misalnya pada penderita thalassemia yang
sering dilakukan transfusi, jika bukan WRC yang diberikan, bisa saja terjadi reaksi
hipersensitifitas pada pasien tersebut akibat pemaparan leukosit asing yang berulang.
4.
Deep Freezing Red Cells. Yaitu eritrosit yang didinginkan, untuk mencegah adanya virus,
akan tetapi belum menjamin sepenuhnya.
5.
Trombosit konsentrat. Terdiri dari komponen trombosit saja, dan hanya bertahan paling
lama sekitar 3 hari. Diberikan pada pasien yang mengalami trombositopenia berat dengan kadar
trombosit <100.000/mm3 dan ditemukannya perdarahan serta sindroma perdarahan (ptekie,
purpura, ekimosis, pendarahan gusi, dll). Atau juga diberikan pada pasien trombositopenia sangat
berat dengan kadar trombosit <40.000/mm3 dengan atau tanpa perdarahan, karena ditakutkan
akan terjadinya perdarahan serebral.
6.
Granulosit konsentrat. Indikasi yaitu pada kasus netropenia berat (<100/uL),sepsis akibat
kuman gram negatif, dan inflamasi jaringan lunak yang progresif. Berasal dari ABO-matched
donors. Dianjurkan untuk HLA matching. Granulosit konsentrat diradiasi 1.500 gy untuk
mematikan limfosit (penyebab Graft Versus Host Disease), tanpa merusak granulosit.
7.
Plasma.
Jenisnya ada 7 macam:
(1) Plasma Protein Fraction: mengganti plasma yang hilang pada luka bakar, kedaruratan abdomen
dan jika ada trauma yang luas.
(2) Fresh frozen plasma: Berisi semua faktor koagulasi (1 unit /cc). Manfaatnya sebagai
pergantian defisiensi faktor koagulasi seperti penyakit hati, overdosis warfarin, deplesi faktor
koagulasi, terapi thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP), disseminated intravascular
coagulation (DIC). Kriteria pemberian:
1. Perdarahan yang tidak dapat dihentukan dengan jahitan bedah atau kauter
2. Peningkatan PT atau aPTT minimal 1,5 kali dari nilai normal
3. Hitung trombosit >70.000/mm3, untuk menjamin bahwa trombositopenia bukan
merupakan penyebab perdarahan.
15
(3) Kriopresipitat: mengandung 80-100 unit F.VIII dan faktor von willebrand, F.XIII, fibronektin
dan 250 mg fibrinogen. Indikasi untuk pasien hemofilia A (defisiensi faktor VIII), penyakit von
willebrand, hipofibrinogenemia, defisiensi f.VIII yang didapat (DIC dan transfusi massif dilusi)
dan sindroma defibrinektin akut.
Indikasi transfusi sel darah merah
Gagal ginjal
Anemia berat yang berkaitan dengan gagal ginjal seharusnya diobati dengan transfusi sel darah merah
maupun dengan eritropoetin manusia rekombinan.
Pintas kardiopulmoner
Neutropenia persisten dan infeksi berat Jika dihitung neutrofil terus-menerus kurang dari
0,2 x 109/L dan terdapat bukti jelas infeksi bakteri atau jamur yang tidak dapat dikendalikan dengan
pengobatan menggunakan antibotik yang tepat dalam 48-72 jam.
Sepsis neonatus
e. Cara pemberian
Sebelum melakukan transfusi darah, diperlukan persiapan sebagai berikut:
1.
Cari pendonor dengan golongan darah yang cocok dengan resipien. Terutama golongan darah
mayor: ABO dan Rh.
2.
Pendonor harus bebas dari penyakit menular, untuk itu dilakukan pemeriksaan skrining
terhadap antibodi dalam serum donor dengan tes antiglobulin indirek (tes Coombs indirek), dan
tes serologik untuk mendeteksi apakah adanya infeksi hepatitis, HIV, sifilis dan CMV.
3.
Dilakukan crossmatch, yaitu suatu uji kompatibilitas donor dan resipien darah. Ada dua
macam: (1) mayor crossmatch: sel darah merah donor ditempatkan dalam serum resipien (untuk
mendeteksi antibodi resipien). (2) minor crossmatch: sel darah merah resipien ditempatkan dalam
serum donor (mendeteksi antibodi donor). Jika terjadi aglutinasi, maka tidak boleh dilakukan
transfusi.
4.
Pemeriksaan klerikal. Setelah langkah 1-3 terpenuhi, lakukan pengambilan darah donor, bawa
ke dalam ruangan khusus. Jika sudah tersedia darah sebelumnya, pastikan label darah resipien dan
donor benar-benar cocok, baik etiket, nama, golongan darah, dan umur pendonor. Jangan sampai
tertukar (faktanya di lapangan banyak yang kurang teliti karena hal ini).
5.
Hangatkan darah yang akan ditransfusi, dengan suhu lebih kurang sama dengan suhu tubuh.
6.
Pasang infus dengan infus set darah (dengan alat penyaring), pertama diberi dulu larutan
NaCl fisiologik.
17
2.
Kemudian teteskan darah pelan-pelan pada 5 menit pertama, awasi jika ada reaksi alergi
seperti urtikaria, bronkospasme, rasa tidak enak dan menggigil. Tanda vital resipien harus
dipantau secara ketat.
3.
Perhatikan kecepatan transfusi setelah 5 menit pertama: (1) untuk syok hipovolemik, beri
tetesan cepat. (2) normovolemik, tetesan 500 ml/6 jam. (3) pasien anemia kronis, penyakit jantung
dan paru, tetesan lambat yakni 500 ml/24 jam.
4.
Jika terjadi reaksi yang tidak diinginkan, langsung stop transfusi, dan cari penyebab reaksi
tranfusi yang terjadi.
6. a. Primary Survey
Look: lihat adanya agitasi (tanda hipoksia), sianosis, retraksi dan penggunaan otot nafas
tambahan
Listen: dengar adanya suara nafas tambahan misalnya snoring, gurgling, crowing sound,
dan stridor. Suara nafas tambahan menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.
2. Pengelolaan
a. Melakukan triple air maneuver (head tilt, chin lift, jaw thrust)
b. Membersihkan airway dari benda asing
c. Memasang pipa nasofaringeal atau orofaringeal
o
Cara memasang pipa nasofaringeal: Masukkan pipa nasofaring melalui lubang hidung
dengan arah posterior membentu geris tegak lurus dengan permukaan wajah. Masukkan
dengan lembut sampai dasar nasofaring.
18
Exposure / Environment
Buka seluruh pakaian penderita (dengan cara digunting) untuk memeriksa dan evaluasi
penderita. Setelah dibuka pasien harus diselimuti agar tidak kedinginan.
b. Secondary Survey
1. Riwayat AMPLE dan mekanisme cedera:
Dapatkan riwayat AMPLE dari penderita, keluarga atau petugas pra rumah sakit
Trauma tumpul
Trauma tajam
Penilaian
1. Inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya laserasi, kontusio, fraktur,
dan luka termal
2. Re-evaluasi pupil
3. Re-evaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS
4. Penilaian mata untuk perdarahan, luka tembus, ketajaman penglihatan, dislokasi lensa,
dan adanya lensa kontak
5. Evaluasi saraf kranial
6. Periksa telinga dan hidung akan adanya kebocoran cairan serebrospinal
7. Periksa mulut untuk adanya perdarahan dan kebocoran cairan i serebrospinal, perlukaan
jaringan lunak, dan gigi goyang.
Pengelolaan
1. Jaga airway, pernapasan, dan oksigenasi
20
2. Kontrol perdarahan
3. Cegah kerusakan otak sekunder
4. Lepaskan lensa kontak (jika ada)
3. Vertebra servikalis dan leher
Penilaian
1. Periksa adanya cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan penggunaan otot pernapasan
tambahan
2. Palpasi adanya nyeri, deformitas, pembengkakan, emfisema subkutan, deviasi trakea,
simetri pulsasi
3. Auskultasi arteri karotis akan adanya murmur
4. Minta foto servikal lateral
4. Thoraks
Penilaian
a) Inspeksi dinding dada bagian depan, samping, dan belakang untuk adanya trauma tumpul
ataupun tajam, penggunaan otot pernapasan tambahan dan ekspansi kedua dinding thoraks
b) Auskultasi pada bagian depan dan basal untuk mendengarkan bunyi napas dan bunyi
jantung
c) Palpasi seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul, emfisema subkutan,
nyeri tekan, dan krepitasi
d) Perkusi untuk menilai adanya redup atau hipersonor
Pengelolaan
a) Dekompresi rongga pleura dengan jarum atau tube thoracostomy sesuai indikasi
b) Sambungkan chest tube ke alat WSD
c) Jika terdapat luka terbuka thoraks, tutup luka dengan benar
d) Lakukan perikardiosintesis bila terdapat indikasi
e) Transfer penderita ke ruang operasi bila diperlukan
5. Abdomen
Penilaian
a) Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang untuk menilai adanya trauma tajam/tumpul
dan adanya perdarahan internal.
b) Auskultasi bising usus
c) Perkusi abdomen untuk menemukan nyeri lepas (ringan)
d) Palpasi abdomen untuk nyeri tekan, defans muskuler, nyeri lepas yang jelas, atau uterus
yang hamil
e) Lakukan foto pelvis
21
Pengelolaan
a) Transfer penderita ke ruang operasi bila diperlukan
b) Bila ada indikasi, pasang PASG untuk kontrol perdarahan dari fraktur pelvis
Penilaian rektum: Perdarahan rektum, tonus sfingter ani, keutuhan dinding rektum, fragmen
tulang, posisi prostat.
7. Muskuloskeletal
Penilaian
Inspeksi lengan dan tungkai akan adanya trauma tumpul / tajam, termasuk adanya laserasi,
kontusio, dan deformitas .
Palpasi lengan dan tungkai akan adanya nyeri tekan, krepitasi, pergerakan abnormal, dan
sensorik.
Inspeksi dan palpasi vertebra torakalis dan lumbalis untuk adanya trauma tajam/tumpul,
termasuk adanya kontusio, laserasi, nyeri tekan, deformitas, dan menilai sensorik
Pengelolaan
Pasang PASG sesuai indikasi untuk kontrol perdarahan dari fraktur pelvis, atau pasang kain
sekitar pelvis
8. Neurologis
Penilaian
o
Pengelolaan:
o
perlukaan tempat lain ataupun mengenai pembuluh darah. Bila benda yang menusuk sudah dicabut,
maka yang harus kita lakukan adalah membersihkan
luka dengan cara menggunakan H2O2, kemudian
didesinfktan. Lubang luka ditutup menggunakan kasa,
namun dimodifikasi sehingga ada aliran udara yang
terjadi
Vulnus contussum (Luka kontusio) : Penyebabnya
adalah benturan benda yang keras. Luka ini merupakan luka tertutup,
akibat dari kerusakan pada soft tissue dan ruptur pada pembuluh
darah menyebabkan nyeri dan berdarah (hematoma) bila kecil maka
akan diserap oleh jaringan di sekitarya jika organ dalam terbentur
dapat menyebabkan akibat yang serius. Yang perlu dilakukan adalah
kompres dengan air dingin, karena akan mengakibatkan vasokontriksi
pembuluh darah, sehingga memampatkan pembuluh-pembuluh darah yang robek.
Vulnus insivum (Luka sayat) : Penyebab dari luka jenis ini
adalah sayatan benda tajam atau jarum merupakan luka terbuka akibat
dari terapi untuk dilakukan tindakan invasif, tepi luka tajam dan
licin.
yang
perlu
dilakukan
adalah
membersihkan
dan
memberikan desinfektan.
Vulnus schlopetorum : Penyebabnya adalah tembakan, granat. Pada pinggiran luka tampak
kehitam-hitaman, bisa tidak teratur kadang ditemukan corpus alienum. jangan langsung mengeluarkan
pelurunya, namun yang harus dilakukan adalah membersihkan luka dengan H2O2, berikan
desinfektan dan tutup luka. Biarkan luka selama setidaknya seminggu baru pasien dibawa ke ruang
operasi untuk dikeluarkan pelurunya. Diharapkan dalam waktu seminggu posisi peluru sudah mantap
dan tak bergeser karena setidaknya sudah terbentuk jaringan disekitar peluru.
Vulnus morsum (Luka gigitan): Penyebab adalah gigitan binatang atau manusia, kemungkinan
infeksi besar bentuk luka tergantung dari bentuk gigi. Cara penanganan: mengeluarkan racun yang
sempat masuk ke dalam tubuh korban dengan menekan sekitar luka sehingga darah yang sudah
tercemar sebagian besar dapat dikeluarkan dari luka tersebut. Tidak dianjurkan mengisap tempat
gigitan, hal ini dapat membahayakan bagi pengisapnya, apalagi yang memiliki luka walaupun kecil
di bagian mukosa mulutnya. Sambil menekan agar racunnya keluar juga dapat dilakukan
pembebatan( ikat) pada bagian proksimal dari gigitan, ini bertujuan untuk mencegah semakin
24
tersebarnya racun ke dalam tubuh yang lain. Selanjutnya segera mungkin dibawa ke pusat
kesehatan yang lebih maju untuk perawatan lanjut.
Vulnus perforatum : Luka jenis ini merupakan luka
tembus atau luka jebol. Penyebab oleh karena panah,
tombak atau proses infeksi yang meluas hingga
melewati selaput serosa/epithel organ jaringan.
Vulnus amputatum : Luka potong, pancung
dengan
benda
tajam
Luka
dengan
ukuran
besar/berat, gergaji.
membentuk
organ
Perdarahan
penyebab
lingkaran
yang
sesuai
dipotong.
hebat,
resiko
infeksi
pathom limb.
Vulnus
Penyebab
combustion
oleh
karena
(Luka
bakar)
thermis,
radiasi,
b. Selulitis/flegmon difus: radang akut jaringan ikat yang luas disertai pembentukan nanah akibat
infeksi streptokokus atau S.aureus.
c. Folikulitis: Radang folikel rambut akibat infeksi stafilokokus
d. Furunkel: Bila radang folikel berlanjut, akan membentuk benjolan yang kemudian melunak,
memberikan gejala fluktuasi (disebut furunkel atau abses). Bila abses ini pecah dan nanah keluar,
furunkel ini dapat sembuh sendiri.
e. Karbunkel: Gabungan furunkel yang letaknya dalam, membentuk beberapa lubang tempat
keluarnya nanah. Tengkuk merupakan lokasi tersering karbunkel. Terapinya berupa berupa
debrideman yang adekuat dan pembukaan sema septa jaringan ikat yang membatasi rongga bases,
diikuti dengan penyaliran.
25
dapat
26
Ganglion adalah kista yang melekat pada sarung tendon atau kapsul sendi, berisi cairan
bening kental hasil sekresi sel sinovial yang melapisi dinding dalamnya. Ganglion terletak di subkutis,
umumnya di atas sendi pergelangan tangan dan pergelangan kaki, atau di daerah prapoplitea. Pada
palpasi, ganglion teraba kenyal karena isinya penuh dan dindingnya liat. Ganglion ditangani dengan
pengangkatan kista atau aspirasi isinya disusul dengan penyuntikan kortikosteroid pada rongga kista
yang telah kosong.
tua.
Tempat
predileksi
utamanya
adalah
Acrochordon (skin tag) : Acrochordon memiliki sinonim skin tag, fibroepitelial polips,
fibroma pendularis, fibroepitelial papilloma. Merupakan tumor epitel kulit yang berupa
penonjolan pada permukaan kulit yang bersifat lunak dan berwarna seperti daging atau
hiperpigmentasi, melekat pada permukaan kulit dengan sebuah tangkai dan biasa juga
tidak bertangkai.
Neurofibromatosis : kelainan genetik, dimana neurofibroma muncul pada kulit dan
bagian tubuh lainnya. Neurofibroma adalah benjolan seperti daging yang lembut, yang berasal
dari jaringan saraf.
27
Neurofibroma
mielin)
dan
Pembentukan jaringan
parut berlebihan
trauma.
Kecenderungan
timbul
keloid
melanosit
mengandung
pigmen melanin.
28
Tumor ganas:
Karsinoma sel basal, adalah keganasan yang
tumbuh lambat dan menyebabkan sedikitnya
tigaperempat keganasanpada seri klinik. Lesi ini
seperti lilin dan berwarna kuning keabuan dan
sering
ada
telangiektasis
di
bawah
kulit.
Kebanyakan kanker sel basal timbul di leher dan kepala. Mereka cenderug
menginvasi dan mengerosi ke dalam struktur profunda termasuk tengkorak, orbita,
atau otak, jika tidak diobati.
Karsinoma sel skuamosa, biasanya muncul sebagai ulserasi kulit yang cenderung
tumbuh cepat daripada karsinoma sel basal.
Biopsy diperlukan untuk membedakan lesi ini
dari jenis karsinoma kulit lainnya. Juga paling
sering terjadi di kepala dan leher. Gambaran
khas
adalah
ulkus
dengan
tepi
timbul
Hemangiomaperisitoma,
tumor
ganas
yang
berasal
adalah
dari
buruk,
dengan
hanya
27%
Keterangan gambar. Jahitan Luka: A. Jahitan simpul tunggal, B, Matras vertikal, C. Matras horizontal,
D. Subkutikuler kontinyu, E. Matras horizontal half burried, F. Continous over and over
b. Macam-macam benang jahit
Menurut kemampuan tubuh untuk menyerap, benang dibagi menjadi:
Benang yang terserap (absorbable) terbuat dari bahan yang umumnya tidak menimbulkan
reaksi jaringan karena bukan bahan biologis
o
Alami
Plain cat gut: murni tanpa campuran, cepat diserap tubuh (1 minggu)
Chromic cat gut: bercampur asam kromat, diserap tubuh lebih lama 2-3
minggu
Biologik: Silk
31
Terdapat 3 macam tipe penyembuhan luka, dimana pembagian ini dikarakteristikkan dengan
jumlah jaringan yang hilang.
1) Primary Intention Healing (penyembuhan luka primer) yaitu penyembuhan yang terjadi
segera setelah diusahakan bertautnya tepi luka biasanya dengan jahitan. Penyembuhan
luka dengan alat bantu seperti jaritan, klip atau tape. Pada penyembuhan primer ini,
kehilangan jaringan minimal dan pinggiran luka ditutup dengan alat bantu.
Menghasilkan skar yang minimal. Misalnya; luka operasi, laserasi dan lainnya. Lukaluka yang bersih sembuh dengan cara ini, misalnya luka karena operasi, luka kecil yang
bersih. Penyembuhannya tanpa komplikasi, penyembuhan dengan cara ini berjalan cepat
dan hasilnya secara kosmetis baik.
2) Secondary Intention Healing (penyembuhan luka sekunder) yaitu luka yang tidak
mengalami penyembuhan primer. Tipe ini dikarakteristikkan oleh adanya luka yang luas
dan hilangnya jaringan dalam jumlah besar. Proses penyembuhan terjadi lebih kompleks
dan lebih lama. Luka jenis ini biasanya tetap terbuka. Penyembuhan luka pada tepi kulit
yang tidak dapat menyatu dengan cara pengisian jaringan granulasi dan kontraksi. Pada
penyembuhan ini, terdapat kehilangan jaringan yang cukup luas, menghasilkan scar
lebih luas, dan memiliki resiko terjadi infeksi. Misalnya pada leg ulcers, multiple
trauma, ulkus diabetik, dan lainnya. Penyembuhan pada luka terbuka adalah
melalui jaringan granulasi dansel epitel yang bermigrasi. Luka-luka yang lebar dan
terinfeksi, luka yang tak dijahit, luka bakar, sembuh dengan cara ini. Setelah luka
sembuh akan timbul jaringan parut
3) Tertiary Intention Healing (penyembuhan luka tertier) yaitu luka yang dibiarkan terbuka
selama beberapa hari setelah tindakan debridement. Setelah diyakini bersih, tepi luka
dipertautkan (4-7 hari). Luka ini merupakan tipe penyembuhan luka yang terakhir.
Ketika luka terinfeksi atau terdapat benda asing dan memerlukan perawatan luka/
pembersihan luka secara intensif maka luka tersebut termasuk penyembuhan primer
yang terlambat. Penyembuhan luka tersier diprioritaskan menutup dalam 3-5 hari
berikutnya. Misalnya luka terinfeksi, luka infeksi pada abdomen dibiarkan terbuka untuk
mengeluarkan drainase sebelum ditutup kembali, dan lainnya. Disebut pula delayed
primary closure. Terjadi pada luka yang dibiarkan terbuka karena adanya kontaminasi,
kemudian setelah tidak ada tanda-tanda infeksi atau granulasi sudah baik, baru dilakukan
jahitan sekunder ( secondary suture ), yang dilakukan setelah hari keempat, bila tandatanda infeksi telah hilang.
Proses Penyembuhan Luka
32
Proses penyembuhan luka merupakan proses yang dinamis 5. Proses ini tidak hanya terbatas
pada proses regenerasi yang bersifat lokal, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh faktor endegon seperti;
umur, nutrisi, imunologi, pemakaian obat-obatan, kondisi metabolik 6. Fase-fase penyembuhan luka
dapat dibagi menjadi tiga fase 1,2,5, yaitu;
nampak tipis, mengkilap (translucent film) melewati luka. Sel tersebut sangat rapuh dan mudah
dihilangkan dengan sesuatu yang lain daripada pembersihan dengan hati-hati. Migrasi berhenti ketika
luka menutup dan mitosis epetilium menebal ke lapisan ke 4-5 yang diperlukan untuk membentuk
epidermis
Fase kontraksi terjadi selama proses rekontruksi yang menggambarkan tepi luka secara
bersamaan dalam usaha mengurangi daerah permukaan luka, sehingga pengurangan jumlah jaringan
pengganti diperlukan. Kontraksi luka terlihat baik diikuti dengan pelepasan selang drainase luka. Pada
umumnya, 24-48 jam diikuti dengan pelepasan selang drain, tepi dari sinus dalam keadaan tertutup
3. Fase maturasi
Merupakan fase remodeling, dimana fungsi utamanya adalah meningkatkan kekuatan
regangan pada luka. Kolagen asli akan diproduksi selama fase rekonstruksi yang diorganisir dengan
kekuatan regangan yang minimal. Selama masa maturasi, kolagen akan perlahan-lahan digantikan
dengan bentuk yang lebih terorganisasi, menghasilkan peningkatan kekuatan regangan. Ini bertepatan
dengan penurunan dalam vaskularisasi dan ukuran skar. Fase ini biasanya membutuhkan waktu antara
24 hari sampai 1 tahun.
Penyembuhan luka adalah suatu proses yang kompleks dengan melibatkan banyak sel. Proses
dasar biokimia dan selular yang sama terjadi dalam penyembuhan semua cedera jaringan lunak, baik
luka ulseratif kronik (dekubitus dan ulkus tungkai), luka traumatis (laserasi, abrasi, luka bakar atau
luka akibat pembedahan 13. Pada gambar 3 dapat dilihat proses penyembuhan luka dari fase
inflamasi, fase proliferatif dan fase maturasi dan pada bagan 1 dapat dilihat bagaimana fisiologi
penyembuhan luka.
Gambar 3. Proses penyembuhan luka sesuai fase inflamasi (6 jam setelh kecelakaan), fase proliferatif
(hari pertama dan hari kedua), dan fase maturasi (Hari ke tujuh)
d. Bahan-bahan asepsis dan antisepsis
1.
2.
3.
34
4.
5.
Biguanida
Halogen dan bahan pelepas halogen
6.
7.
8.
9.
Anilida
Bisphenol
10.
Peroksigen
fungsi tubuh yang penting seperti tekanan darah, pernapasan, dan suhu tubuh dipantau
secara ketat.
11. Bedah minor
Adapun yang termasuk di dalam kelompok alat bedah minor berdasarkan Bachsinar 1992 adalah:
b. Nald vooder/Needle Holder/Nald Heacting. Gunanya adalah untuk memegang jarum jahit (nald
heacting) dan sebagai penyimpul benang.
c. Gunting
-Gunting Diseksi (disecting scissor)
Gunting ini ada dua jenis yaitu, lurus dan bengkok. Ujungnya biasanya runcing. Terdapat dua tipe
yang sering digunakan yaitu tipe Moyo dan tipe Metzenbaum.
-Gunting Benang
Ada dua macam gunting benang yaitu bengkok dan lurus, kegunaannya adalah memotong benang
operasi, merapikan lukan.
-Gunting Pembalut/Perban
Kegunaannya adalah untuk menggunting plester dan pembalut.
d. Pisau Bedah
Pisau bedah terdiri dari dua bagian yaitu gagang dan mata pisau (mess/bistouri/blade).
Kegunaanya adalah untuk menyayat berbagai organ atau bagian tubuh manusia. Mata pisau
disesuaikan dengan bagian tubuh yang akan disayat.
e. Klem (Clamp)
-Klem Arteri Pean. Ada dua jenis yang lurus dan bengkok. Kegunaanya adalah untuk hemostatis untuk
jaringan tipis dan lunak.
-Klem Kocher. Ada dua jenis bengkok dan lurus. Sifatnya mempunyai gigi pada ujungnya seperti
pinset sirugis. Kegunaannya adalah untuk menjepit jaringan.
-Klem Allis. Penggunaan klem ini adalah untuk menjepit jaringan yang halus dan menjepit tumor.
-Klem Babcock. Penggunaanya adalah menjepit dock atau kain operasi.
f. Retraktor (Wound Hook)
Retraktor langenbeck, US Army Double Ended Retraktor dan Retraktor Volkman penggunaannya
adalah untuk menguakan luka.
g. Pinset
Pinset Sirugis. Penggunaannya adalah untuk menjepit jaringan pada waktu diseksi dan penjahitan
luka, memberi tanda pada kulit sebelum memulai insisi.
Pinset Anatomis. Penggunaannya adalah untuk menjepit kassa sewaktu menekan luka, menjepit
jaringan yang tipisdan lunak.
Pinset Splinter. Penggunaannya adalah untuk mengadaptasi tepi-tepi luka ( mencegah
overlapping).
h. Deschamps Aneurysm Needle
Penggunaannya adalah untuk mengikat pembuluh darah besar.
i. Wound Curet
Penggunaannya dalah untuk mengeruk luka kotor, mengeruk ulkus kronis.
j. Sonde (Probe)
Penggunaannya adalah untuk penuntun pisau saat melakukan
eksplorasi,
dan
mengetahuikedalam luka.
k. Korentang
Penggunaannya adalah untuk mengambil instrumen steril, mengambil kassa, jas operasi,
doek,dan laken steril.
36
l.
Jarum Jahit
Penggunaanya adalah untuk menjahit luka yang dan menjahit organ yang rusak
lainnya.Untuk menjahit kulit digunakan yang berpenampang segitiga agar lebih mudah mengiris
kulit (scharpenald). Sedangkan untuk menjahit otot dipakai yang berpenampang bulat ( rounde
nald )
12. Vaksin tetanus toksoid adalah vaksin yang mengandung toksoid tetanus yang telah dimurnikan
dan terabsorbsi ke dalam 3 mg/ml alumunium fosfat. Thimerosal 0,1 mg/ml digunakan sebagai
pengawet. Satu dosis 0,5 ml vaksin mengandung potensi sedikitnya 40 intra unit.
Manfaat:
Mencegah tetanus pada bayi baru lahir (diberikan pada wanita usia subur atau ibu hamil).
Dapat digunakan oleh siapa saja yang terluka seperti terkena benda berkarat, jatuh di jalan
raya.
2.
37
38