Anda di halaman 1dari 3

DINKES MELALUI PUSKESMAS, GAGAL TANGANI GIZI BURUK

Lokasi : Kabupaten Kebumen


Waktu : 06 Maret 2008
KEBUMEN Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Kebumen dinilai gagal dalam penanganan gizi buruk.
Pasalnya, dalam program, kegiatan dan anggaran pada setiap fasilitas kesehatan yang termasuk
Puskesmas yang dilakukan melum bias memberikan hasil yang signifikan. Untuk itu Dinkes harus kerja
keras merumuskan kembali program-program baru yang betul-betul efektif dan efisien..
Jangan sampai kasus gizi buruk mencuat kembali. Karena berita tentang adanya balita gizi buruk itu
adalah kasus yang sangat memalukan, kata anggota Komisi B DPRD Kabupaten Kebumen, Drs Lulus
Triparyadi yang menanggapi masih ditemukan kasus gizi buruk di Kabupaten Kebumen, Senin (5/11)
Anggota DPRD Kabupaten Kebumen dari Fraksi Golkar ini mendesak Dinkes Kebumen cepat bertindak.
Program yang selama ini dilakukan dalam menangani gizi buruk dievaluasi kembali. Program yang dinilai
bak dan tepat sasaran ditindak lanjuti, sedangkan program yang gagal untuk diperbaharui.
Untuk waktu dekat ini, Dinkes dapat melakukan koordinasi dengan Puskesmas melakukan pendataan,
melakukan pengamatan yang melinbatkan kader posyandu,katanya. Anggota lain, Dian Lestari Pertiwi
mengatakan masalah gizi buruk tidak hanya menjadi tanggung jawab Dinkes namun menjadi tanggung
jawab lintas sektoral. Instansi terkait harus terlibat dalam penanganan gizi buruk tersebut, terlebih lagi
kepala desa dan perangkat desa harus memantau ada kasus gizi buruk atau tidak di Wilayahnya.
Ika di wilayahnya ditemukan ada balita alami gizi buruk maka cepat bertindak. Minimal melaporkan kasus
tersebut ke Puskesmas terdekat supaya dapat langsung ditangani. Apalagi Bupati Rustiningsih telah
membuat kebijakan, bahwa gizi buruk menjadi indicator desa mendapat ADD, kata Dian saat membezuk
dua balita gizi buruk di RSUD bersama dengan Kabid Gizi Dinkes Kebumen dr Sukarni P, Kasi Gizi
Sugihartana, Kabid Pelayanan Medis RSUD Kebumen dr Dhani Eka Rhini dan dokter specialist anak
Rebuwa Hendardi.
Kabid Gizi Dinkes dr Sukarni P menyatakan adanya balita alami gizi buruk bukan karena Dinkes gagal
dalam menanganinya. Karena kebanyakan kasus balita alami gizi buruk disebabkan adanya penyakit
penyerta. Artinya, balita itu sudah mengalami sakit yang membuat daya tahan tubuh melemah.
Peran Posyandu
Untuk mencegah gizi buruk, katanya berbagai program dan kegiatan telah dilakukan. Seperti
meningkatkan peran dan fungsi posyandu, penyuluhan dan pemberian makanan tambahan (PMT).
Untuk tahun anggaran 2008 ini dana perbaikan gizi masyarakat sebesar Rp.500 juta. Sedangkan, untuk
biaya perawatan akan ditanggung biayanya darai APBD tingkat Provinsi Rp 4 juta/kasus.
3.2 Judul : LAYANAN PUSKESMAS DI SURABAYA MASIH BURUK
Lokasi : Surabaya
Waktu : Senin, 5 Januari 2009. 17:12 WIB
SURABAYA, SURYA Online Warga Kota Surabaya, Jawa Timur (Jatim) masih mengeluhkan buruknya
pelayanan kesehatan di sejumlah Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di Surabaya, kata
sekretaris Komisi D Bidang Kesra dan Pendidikan DPRD Surabaya, Muhammad Alyas.
Hasil jarring asmara (jarring aspirasi masyarakat) di lima kecamatan, ternyata banyak warga yang masih
mengeluhkan buruknya pelayanan yang diberikan puskesmas,katanya di Surabaya, Senin (5/1)
Menurutnya warga mengeluhakan mahalnya biaya karcis untuk sekali layanan, yang lebih fatal lagi
kurang ramahnya petugas medis saat memberikan pelayanan. Akhirnya, warga jera untuk berobat ke
puskesmas.

Padahal selama ini, pihaknya terus menekankan kepada Dinas Kesehatan untuk menginstruksikan
Puskesmas di Surabaya agar memberikan pelayanan yang baik. Apalagi hal ini dibarengi dengan
meningkatnya anggaran kesehatan di setiap tahun anggaran.
Petugas Puskesmas masih menganggap pasien sebagai beban. Mestinya Puskesmas harus
membangun paradigma baru yang care dan simpatik, kata Alyas.
Alyas uga menyebutkan, minimnya stok obat-obatan di puskesmas juga menjadi keluhan masyarakat.
Padahal, beberapa warga menuturkan hanya menerima obat yang sama meski keluhan sakit mereka
berbeda. Ini karena stok obat dan variasi obat yang minimkatanya.
Selain itu, lanjut Alyas, beratnya retribusi karcis sangat memberatkan masyarakat. Dalam aturan,
masyarakat hanya dibebani biaya karcis Rp 2.500. Namun, dalam praktiknya mereka harus
mengeluarkan uang antara Rp 10.000 hingga Rp 15.000 sekali berobat. Ini tidak bisa dibenarkan, sebab
anggaran untuk obat-obatan sudah cukup tersedia banyak, kata Alyas.
3.3 Judul : Puskesmas Posyandu Kekurangan Makanan Tambahan untuk Bayi Kurang Gizi
Lokasi : Palembang
Waktu : 23 Oktober 2008
Palembang, Kompas sebanyak 505 anak balita di kota Palembang kurang gizi. Anak balita yang kurang
gizi itu tersebar di semua kecamatan, tetapi sebagian besar berada di Kecamatan Gandus dan Kertapati.
Akan tetapi pemberian makanan tambahan pendamping ASI untuk anak Balita tersebut belum Optimal
Data dari Dinas Kesehatan Palembang menyebutkan, penyebab anak balita kurang gizi antara lain
rendahnya asupan saat giz, seperti karbohidart, protein dan lemak. Selain itu infeksi penyakit pada anak
balita uga membuat kesehatan dan berat badan anak menurun.
Di Posyandu Cempaka, Kelurahan Keramasan, Kecamatan Kertapati, umlah anak balita yang menderita
kurang gizi mencapai 17 anak dari total 197 orang. Sementara di Posyandu Harapan Bunda, Keramasan,
jumlah anak balita kurang gizi mencapai 12 anak dari total 250 anak balita.
Kader kesehatan Posyandu Cempaka, Yuana di Palembang, Rabu (22/10) mengatakan, anak balita yang
kurang gizi itu mendapatkan makanan pendamping Air Susu Ibu (MP ASI) Untuk meningkatkan status gizi
dan berat badannya. MP ASI itu berupa makanan pabrik dalam kemasan, yaitu biscuit untuk anak balita
umur 1-2 tahun dan bubur untuk usia 6-11 bulan.
Meski demikian, MP ASI yang diberikan cuma-Cuma selama tiga bulan itu kerap tidak cocok dengan
balita, sebagian orang tua di posyandu Cempaka menuturkan, bubur dalam kemasan itu baunya tengik
sehingga anak-anak tidak mau memakannya. Padahal bubur itu belum kadaluarsa.
Entah kenapa kok rasa bubur itu aneh bagi anak-anak. Tetapi saya terpaksa tetap memberikannya.
Kalau tidak diberikan, program peningkatan gizi bisa gagal,kata Yuana.
Pemberian MP ASI itu berbeda dibandingkan tahun sebelumnya. Tahun 2006, MP ASI diberikan dalam
bentuk makanan local yang dikelola langsung oleh kader posyandu. Makanan itu diantaranya berupa
donat, bubur kacang hijau, dan lemper. Jumlah anak balita yang memperoleh MP ASI 8.336 orang, 7.836
orang diantaranya dari biaya diantaranya dari biaya APBN dan 500 orang orang dari biaya APBD.
3.4 Judul : Bali Perlu Infestasi Khusus di Bidang Kesehatan Demi Pelayanan Puskesmas yang
Prima
Lokasi : Bali
Waktu : tahun 2008
Salah satu penyakit yang paling menonjol di Bali saat ini adalah demam Berdarah Dengue. Kegagalan
pencegahan penyakit ini merupakan saah satu wuud lemahnya kerja sama lintas sektoral, partisipasi
masyarakat dalam menjaga kesehatan lingkungan, serta pusat pelayanan kesehatan yang tidak tanggap
dalam penanggulangan penyakit yang ada.

Masalah Askes masyarakat dalam ke pelayanan kesehatan juga masih terganjal oleh rendahnya cakupan
jaminan pembiayaan kesehatan masyarakat. Paradigma sakit masih menonjol disemua lini pelayanan
kesehatan di Bali, padahal pemerintah sudah mencanangkan paradigma hidup sehat sejak tahun 2001.
potret belum berhasilnya pembangunan kesehatan tahun 2005 juga tercermin pada indeks pembangunan
manusia Kabupaten/kota di Bali sejak beberapa tahun terakhir masih tetap rendah.
Kondisi kesehatan seperti yang digambarkan di atas adalah beban yang harus dihadapi pemerintah dan
masyarakat Bali di bidang pembangunan kesehatan. Untuk itu, strategi pembangunan kesehatan
di Bali tahun 2009 harus lebih diarahkan untuk mereposisi peran institusi kesehatan dan askes
masyarakat ke pelayanan kesehatan lebih ditingkatkan.
Citra Puskesmas
Reposisi dan perbaikan askes pelayanan kesehatan bisa dimulai dari Puskesmas. 109 puskesmas
dengan jaringan kerjanya (puskesmas pembantu) yang tersebar merata di seluruhBali harus dijadikan
sasaran utama reposisi. Semua puskesmas sudah dilengkapi SDM dengan umlah yang memadai,
termasuk dana operasional dan enam program pokok. Semuanya adalah modal dasar pengembangan
mutu pelayanan kesehatan yang bisa diakses oleh masyarakat di wilayah kera masing-masing. Ironisnya,
semua modal dasar tersebut belum mampu dikelola secara efisien, padahal infestasi pemerintah tidaklah
kecil untuk mendukubg pengembangan program puskesmas setiap tahunnya. Puskesmas nyaria
bersaing dengan pelayanan kesehatan swasta dan cenderung ditinggalkan oleh masyarakat disekitarnya.
Pencitraan Puskesmas yang cenderung belum pernah mendapat perhatianyang serius dari penanggung
jawabnya yang baru yaitu pemerintah kabupaten/kota. Sosialisasinya ke masyarakat juga kurang
dirasakan oleh masyarakat setempat sehingga masyarakat merasa tidak memiliki puskesmas. Sebagai
tempat pelayanan kesehatan terdekat dengan pemukiman penduduk, masyarakat menganggap
pelayanan di puskesmas kurang bermutu, stafnya kurang antipasif terhadap keluhan pasien, obatnya
juga itu-itu saja dan menu pelayanannya juga kurang dipahami oleh masyarakat setempat. Jam kerja
puskesmas juga terbatas sampai pukul 14.00 WIB. Kondisi dan pencitraan puskesmas yang seperti ini
semakin menjauhkan puskesmas dari masyarakat yang dilayani. Yang lebih paradoks lagi adalah
masyarakat yang lebih suka mencari pertolongan ke swasta.
Untuk itu staf puskesmas dilatih untuk mengidentifikasi factor resiko lingkungan dan perilaku masyarakat
terkait dengan berbagai jenis penyakit yang khas berkembang di wilayah kerja puskesmas. Staf Dinkes
Kabupaten/Kota sebagai pelatih juga perlu dikembangkan kapasitasnya di bidang administrasi kesehatan
agar mampu sebagai pelatih puskesmas.
Infestasi sector pelayanan kesehatan di era desentralisasi juga harus memperhatikan system jaminan
pemeliharaan kesehatan masyarakat. Dua model asuransi kesehatan di Bali sudah dirintis oleh
Jembrana dan Tabanan. Dengan UU No. 40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), asuransi
social sebaiknya dikembangkan di tingkat propinsi dengan mendapat dukungan kabupaten/kota sehingga
dana yang dihimpun dari berbagai sumber akan dapat dimanfaatkan lebih efisien dan efektif. Jaminan
pemeliharaan kesehatan akan mendorong puskesmas dan RS daerah mengembangkan mutu
pelayanannya karena mereka harus bersaing dengan pelayanan swasta.
Reformasi puskesmas dan pengembangan system jaminan pemeliharaan kesehatan akan bisa segera
terwujud, kalau Gubernur dan Bupati sebagai motor penggerak pembangunan sesuai dengan ruang
lingkup wilayahnya masing-masing memiliki komitmen politis untuk menjadikan kesehatan sebagai pilar
utama pembangunan manusia di daerah ini.

Anda mungkin juga menyukai