Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang
kekurangan nutrisi, atau nutrisinya di bawah standar. Gizi buruk
masih menjadi masalah yang belum terselesaikan sampai saat ini.
Gizi buruk banyak dialami oleh bayi dibawah lima tahun (balita).
Masalah gizi buruk dan kekurangan gizi telah menjadi
keprihatinan dunia sebab penderita gizi buruk umumnya adalah
balita dan anak-anak yang tidak lain adalah generasi generus
bangsa. Kasus gizi buruk merupakan aib bagi pemerintah dan
masyarakat karena terjadi di tengah pesatnya kemajuan zaman
(Republika, 2009). Dengan alasan tersebut, masalah ini selalu
menjadi program penanganan khusus oleh pemerintah. Upaya
pencegahan yang dilakukan di antaranya dengan selalu
meningkatkan sosialisasi, kunjungan langsung ke para penderita
gizi buruk, pelatihan petugas lapangan, pengarahan mengenai
pentingnya ASI eksklusif pada ibu yang memiliki bayi, serta
koordinasi lintas sektor terkait pemenuhan pangan dan gizi
(Antara News, 2011), Namun sampai saat ini penanganan yang
diberikan, hanya mampu mengurangi sedikit kasus gizi buruk
pada balita. Hal ini membuktikan bahwa penanganan dan
program yang diberikan oleh pemerintah belum mampu menekan
jumlah kasus gizi buruk yang ada. Ketidakberhasilan penanganan
dan program tersebut mungkin dikarenakan kurang tepatnya
perbaikan terhadap faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi
kasus gizi buruk pada balita. Jika faktor-faktor yang
mempengaruhi kasus gizi buruk pada balita diketahui dan diatasi
dengan tepat, otomatis kasus gizi buruk akan berkurang.
Banyak faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi gizi
buruk. Namun penyebab dasar terjadinya gizi buruk ada dua hal
yaitu sebab langsung dan sebab tidak langsung. Sebab langsung
adalah kurangnya asupan gizi dari makanan dan akibat terjadinya
1

2
penyakit bawaan yang mengakibatkan mudah terinfeksi penyakit
DBD, HIV/ AIDS, dan lain-lain. Sedangkan kemiskinan diduga
menjadi penyebab utama terjadinya gizi buruk. Kurangnya
asupan gizi bisa disebabkan oleh terbatasnya jumlah makanan
yang dikonsumsi atau makanannya tidak memenuhi unsur gizi
yang dibutuhkan karena alasan sosial dan ekonomi yakni
kemiskinan (Republika, 2009). Selain kemiskinan, faktor
lingkungan dan budaya turut andil dalam kasus gizi buruk.
Surabaya adalah salah satu kota yang memiliki kasus gizi
buruk yang relatif tinggi. Kenaikan angka gizi buruk di daerah
lain di Jawa Timur mencapai 2% sedangkan di Surabaya tahun
2010 mencapai 1,06%. Namun Dinas Kesehatan berupaya
menekan angka tersebut sesuai dengan target harapan yakni 0%.
(Surabayakita, 2010). Oleh sebab itu gizi buruk menjadi
perhatian khusus oleh pemerintah kota Surabaya untuk ditangani.
Salah satunya dengan melakukan pendampingan keluarga menuju
keluarga sadar gizi, pelatihan petugas lapangan, sosialisasi
pemberian ASI eksklusif. Namun upaya yang dilakukan
pemerintah Surabaya belum berhasil secara maksimal. Untuk
mengetahui secara tepat program-program apa saja yang harus
dilakukan pemerintah, maka perlu diketahui faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap gizi buruk. Menurut Ikatan Dokter Anak
Indonesia (IDAI) faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap
kasus gizi buruk pada balita adalah kemiskinan, tingkat
pengetahuan orang tua, asupan gizi, dan faktor penyakit bawaan.
Sedangkan menurut UNICEF faktor-faktor secara langsungnya
adalah asupan makanan, infeksi penyakit, dan faktor tak langsung
meliputi pola asuh anak, ketersedian pangan, layanan kesehatan/
sanitasi. Dengan mengetahui faktor-faktor tersebut, peneliti ingin
mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi jumlah
kasus jumlah kasus gizi buruk pada balita khususnya di
Surabaya.
Analisis regresi merupakan salah satu analisis statistika
yang bertujuan untuk memodelkan hubungan antara variabel
respon Y dengan variabel prediktor X. Regresi spasial adalah

3
salah satu metode yang bertujuan untuk mengetahui hubungan
antara variabel respon dengan variabel prediktor dengan
memperhatikan aspek keterkaitan wilayah atau spasial. Aspek
wilayah ini dinilai penting untuk dikaji karena antar wilayah
tentunya memiliki karakteristik yang berbeda. Regresi spasial
dibedakan menjadi dua pendekatan yaitu titik dan area. Regresi
spasial titik antara lain Geographically Weighted Regression
(GWR),Geographically Weighted Poisson Regression (GWPR),
Geographically Weighted Logistic Regression (GWLR).
Sedangkan regresi spasial dengan pendekatan area meliputi
Spatial Autoregressive Model (SAR), Spatial Error Model
(SEM), Spatial Autoregressive Moving Average (SARMA).
Regresi spasial ini banyak digunakan di berbagai bidang antara
lain kesehatan, sosial, klimatologi, dan lain-lain.
Berbagai penelitian telah dilakukan terkait dengan faktorfaktor yang mempengaruhi gizi buruk diantaranya Hayati (2009)
meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi gizi buruk balita di
jawa Timur dengan metode Analisis Diskriminan, Marice (2006)
yang meneliti klasifikasi status gizi balita dengan pendekatan
diskriminan bootstrap menyimpulkan bahwa balita yang memiliki
gizi lebih adalah balita yang berumur dibawah dua tahun, bayi
dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan pendapatan dan
pengeluaran keluarga berpotensi mengalami gizi buruk atau
kurang, variabel yang berpengaruh adalah frekuensi pemberian
gizi, analisis diskriminan bootstrap mampu mengklasifikasikan
status gizi sebesar 46,67%. Mugiyono (2000) meneliti analisis
status kesehatan balita di jawa Timur dengan menggunakan
metode regresi logistik polikotomus menyimpulkan bahwa faktor
yang mempengaruhi terhadap status kesehatan balita adalah umur
balita, pemberian ASI, imunisasi, dan sumber air minum.
Berdasarkan penjelasan diatas diketahui bahwa belum ada
penelitian yang mengkaji gizi buruk balita dan faktor-faktornya
dengan memperhatikan aspek spasial. Oleh sebab itu pada
penelitian saat ini akan digunakan Spatial Autoregressive Model
(SAR). Metode SAR dipilih karena dinilai dapat mewakili

4
permasalahan yang ada yaitu perbedaan karakteristik wilayah
berpengaruh terhadap gizi buruk di Surabaya. Karena
karakteristik daerah yang beragam satu sama lainnya, perlu
diakomodir dalam pembuatan suatu model. Oleh sebab itu,
penggunaan model regresi spasial diharapkan mampu
menghasilkan model gizi buruk balita yang spesifik di setiap
daerah sehingga hasilnya diharapkan mampu memberi informasi
serta masukan yang positif bagi pemerintah dalam menekan
jumlah gizi buruk di Surabaya.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas,
maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini
adalah. Bagaimana model gizi buruk pada balita di Kota
Surabaya dengan Spatial Autoregressive Model (SAR) serta
faktor-faktor apa saja yang berpengaruh.
2.3 Tujuan
Berdasarkan permasalahan yang muncul, dapat dirumuskan
tujuan penelitian ini adalah. Mendapatkan model dan mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi gizi buruk pada balita di
Surabaya dengan Spatial Autoregressive Model (SAR).
2.4 Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah
mengembangkan dan mengaplikasikan ilmu statistika, khususnya
tentang pemodelan spasial. Selain itu memberikan metode
alternatif untuk penyelesaian masalah yang melibatkan analisis
regresi. Bagi pemerintah Surabaya, diharapkan bisa memberikan
informasi dalam mengambil kebijakan-kebijakan untuk
meminimalkan jumlah gizi buruk pada balita di kota Surabaya
dengan mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi terlebih
dahulu.

5
2.5 Batasan Masalah
Penelitian ini dibatasi oleh beberapa aspek yaitu
1. Data yang digunakan adalah kasus gizi buruk balita di
Kota Surabaya tahun 2009.
2. Bobot yang digunakan adalah pembobot Queen
contiguity.
3. Uji dependensi spasial dengan menggunakan Morans I.

4. Dalam penelitian ini menggunakan


penimbang yang sama (W1 = W2 = W).

matriks

( Halaman ini Sengaja Dikosongkan)

Anda mungkin juga menyukai