Anda di halaman 1dari 21

25

BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Pada bab ini diuraikan mengenai beberapa landasan teori dan rumus-rumus
yang diperlukan untuk mencapai tujuan dari penelitian ini. Berdasarkan teori dan
rumus tersebut maka dapat dilakukan analisis perhitungan kinerja dari ruas jalan
penelitian ini.
2.1

Jalan Perkotaan (Urban Road)


Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,

termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi


lalu-lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di
bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan
kereta api, jalan lori dan jalan kabel (UU No.38 tahun 2004 tentang Jalan).
Sementara itu yang dimaksud dengan jalan perkotaan adalah jalan yang
mempunyai perkembangan secara permanen dan menerus sepanjang seluruh atau
hampir seluruh jalan, minimum pada satu sisi jalan, apakah berupa perkembangan
lahan atau bukan, jalan di atau dekat pusat perkotaan dengan penduduk lebih dari
100.000 jiwa. Jalan di daerah perkotaan dengan penduduk kurang dari 100.000
jiwa juga digolongkan ke dalam jalan perkotaan bila mempunyai perkembangan
samping jalan yang permanen dan menerus (Anonim, 2004 : 1-2). Jalan menurut
fungsinya terbagi atas jalan arteri, jalan kolektor, dan jalan lokal.
2.1.1 Jalan arteri
Jalan arteri adalah jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri
perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi dan jumlah jalan masuk dibatasi
secara efisien (Anonim, 2004 : 1-2). Jalan arteri ini ada yang tergolong jalan arteri
primer yaitu jalan yang menghubungkan secara efisien antara pusat kegiatan
wilayah atau menghubungkan antara pusat kegiatan wilayah dengan pusat
kegiatan lokal dan jalan arteri sekunder yaitu jalan yang menghubungkan kawasan

26

primer dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder


kesatu dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder
kedua dengan kawasan sekunder kedua.
2.1.2 Jalan kolektor
Anonim (2004 : 1-2) menyebutkan jalan kolektor adalah jalan yang
melayani angkutan pengumpulan/pembagian dengan ciri-ciri perjalanan jarak
sedang, kecepatan rata-rata yang sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi. Jalan
kolektor ini ada digolongkan sebagai jalan kolektor primer yaitu jalan yang
menghubungkan

secara

efisien

antara

pusat

kegiatan

wilayah

atau

menghubungkan antara pusat kegiatan wilayah dengan kegiatan lokal serta jalan
kolektor sekunder yaitu jalan yang menghubungkan kawasan sekunder kedua
dengan kawasan sekunder kedua atau menghubungkan kawasan sekunder kedua
dengan kawasan sekunder ketiga.
2.1.3 Jalan lokal
Jalan lokal adalah jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri
perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah dan jumlah jalan masuk tidak
dibatasi (Anonim, 2004 : 1-2). Adapun jalan lokal ini hanya digolongkan menjadi
jalan lokal sekunder yaitu jalan yang menghubungkan kawasan sekunder kesatu
dengan perumahan, menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan perumahan,
kawasan sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan.

2.2

Karakteristik Geometrik

27

Karakteristik geometrik dalam analisis perhitungan kinerja jalan perkotaan


(Anonim, 1997 : 5-6) meliputi tipe jalan, lebar jalur lalu-lintas, kereb, bahu jalan,
median dan alinyemen jalan.
2.2.1 Tipe jalan
Berbagai tipe jalan akan menunjukan kinerja yang berbeda pada
pembebanan lalu-lintas tertentu. Adapun tipe jalan menurut Anonim (1997 : 5-22)
yaitu:
1. Jalan dua-lajur dua-arah (2/2 UD)
Tipe jalan ini meliputi semua jalan perkotaan du-lajur dua-arah dengan lebar
jalur lalu-lintas lebih kecil dari dan sama dengan 10,5 meter. Untuk itu jalan
dua-arah yang lebih lebar dari 11 meter, jalan yang sesungguhnya selama
beroperasi pada kondisi arus tinggi sebaikmya diamati sebagai dasar
pemilihan prosedur perhitungan jalan perkotaan dua-lajur atau empat-lajur
tak-terbagi (Anonim,1997 : 5-22). Kondisi dasar tipe jalan ini didefinisikan
sebagai berikut:
-

Lebar jalur lalu-lintas 7,0 meter

Lebar bahu efektif paling sedikit 2 meter pada setiap sisi

Tidak ada median

Pemisah arah lalu-lintas 50 - 50

Hambatan samping rendah

Ukuran kota 1,0 3,0 juta

Tipe alinyemen datar

2. Jalan empat-lajur dua-arah (4/2)

28

Tipe jalan ini meliputi semua jalan dua arah dengan lebar jalur lalu-lintas lebih
dari 10,5 meter dan kurang dari 16,0 meter (Anonim,1997 : 5-23) dan terbagi
2, yaitu:
a. Jalan empat-lajur terbagi (4/2 D)
Kondisi dasar tipe jalan ini didefinisikan sebagai berikut:
-

Lebar lajur 3,5 meter (lebar jalur lalu-lintas total 14,0 meter)

Kereb (tanpa bahu)

Jarak antar kereb dan penghalang terdekat pada trotoar 2 meter

Median

Pemisah arah lalu-lintas 50 50

Hambatan samping rendah

Ukuran kota 1,0 3,0 juta

Tipe alinyemen datar

b. Jalan empat-lajur tak-terbagi (4/2 UD)


Kondisi dasar tipe jalan ini didefiniskan sebagai berikut:
-

Lebar lajur 3,5 meter (lebar jalur lalu-lintas total 14,0 meter)

Kereb (tanpa bahu)

Jarak antara kereb dan penghalang terdekat pada trotoar 2 meter

Tidak ada median

Pemisah arah lalu-lintas 50 50

Hambatan samping rendah

Ukuran kota 1,0 3,0 juta

Tipe alinyemen datar

3. Jalan enam-lajur dua-arah terbagi (6/2 D)


Tipe jalan ini meliputi semua jalan dua-arah dengan lebar jalur lalu-lintas
lebih dari 18 meter dan kurang dari 24 meter (Anonim,1997 : 5-23). Kondisi
dasar tipe jalan ini didefiniskan sebagai berikut:
-

Lebar lajur 3,5 meter (lebar jalur lalu-lintas total 21,0 meter)

Kereb (tanpa bahu)

29

Jarak antara kereb dan penghalang terdekat pada trotoar 2 meter

Median

Pemisahan arah lalu-lintas 50 50

Hambatan samping rendah

Ukuran kota 1,0 3,0 juta

Tipe alinyemen datar

4. Jalan satu-arah (1-3/1)


Tipe jalan ini meliputi semua jalan satu-arah dengan lebar jalur lalu-lintas dari
5,0 meter sampai 15,0 meter (Anonim,1997 : 5-24). Kondisi dasar tipe jalan
ini dari mana kecepatan arus bebas dasar dan kapasitas ditentukan
didefinisikan sebagai berikut:
-

Lebar jalur lalu-lintas 7 meter

Lebar bahu efektif paling sedikit 2 meter pada setiap sisi

Tidak ada median

Hambatan samping rendah

Ukuran kota 1,0 - 3,0 juta

Tipe alinyemen datar

2.2.2

Lebar jalur lalu-lintas


Menurut Anonim (1997 : 5-6), kecepatan arus bebas dan kapasitas akan

meningkat dengan pertambahan lebar jalur lalu-lintas.


2.2.3

Kereb
Kereb sebagai batas antara jalur lalu-lintas dan trotoar berpengaruh

terhadap dampak hambatan samping pada kapasitas dan kecepatan. Kapasitas


jalan dengan kereb lebih kecil dari jalan dengan bahu. Selanjutnya kapasitas
berkurang jika terdapat penghalang tetap dekat tepi jalur lalu-lintas, tergantung
apakah jalan mempunyai kereb atau bahu (Anonim, 1997 : 5-6).

30

2.2.4

Bahu jalan
Anonim (1997 : 5-6) menyebutkan jalan perkotaan tanpa kereb pada

umumnya mempunyai bahu pada kedua sisi jalur lalu-lintasnya. Lebar dan kondisi
permukaanya mempengaruhi penggunaan bahu, berupa penambahan kapasitas dan
kecepatan pada arus tertentu akibat pertambahan lebar bahu terutama karena
pengurangan hambatan samping yang disebabkan kejadian di sisi jalan seperti
kendaraan angkutan umum berhenti, pejalan kaki dan sebagainya.
2.2.5

Median
Median atau pemisah tengah adalah suatu jalur bagian jalan yang terletak

di tengah, tidak digunakan untuk lalu-lintas kendaraan dan berfungsi memisahkan


arus lalu-lintas yang berlawanan arah, yang terdiri dari jalur tepian dan bangunan
pemisah (Anonim, 1990 : 1). Median yang direncanakan dengan baik akan
meningkatkan kapasitas (Anonim, 1997 : 5-6).
2.2.6

Alinyemen jalan
Lengkung horizontal dengan jari-jari kecil mengurangi kecepatan arus

bebas. Tanjakan yang curam juga mengurangi kecepatan arus bebas. Karena
secara umum kecepatan arus bebas di daerah perkotaan rendah maka pengaruh ini
diabaikan (Anonim, 1997 : 5-6).
2.3

Kemacetan Lalu-lintas (Traffic Jam)


Kemacetan lalu-lintas terjadi akibat volume lalu-lintas hampir mendekati

kapasitas jalan (Alhadar, 2011 : 327-336). Menurut Anonim (1997 : 1-2), yang
dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga, meningkatnya kemacetan pada
jalan perkotaan maupun jalan luar kota yang diakibatkan bertambahnya

31

kepemilikan kendaraan, terbatasnya sumber daya untuk pembangunan jalan raya


dan belum optimalnya pengoperasian fasilitas lalu-lintas yang ada merupakan
persoalan utama di banyak negara, kondisi inilah yang mengganggu kenyamanan
dan kemamanan berlalu lintas secara keseluruhan di jalan raya.
2.4

Karakteristik Arus Lalu-lintas


Karakteristik arus lalu-lintas perlu diketahui dan dipelajari untuk

menganalisis arus lalu-lintas. Untuk mempresentasikan karakteristik arus lalulintas, maka dikenal 3 parameter utama yang saling berhubungan secara
matematis (Tamin, 2008), yaitu volume lalu-lintas, kecepatan (speed) dan
kepadatan (densiy).
2.4.1

Volume lalu-lintas
Arus lalu-lintas sering juga disebut volume lalu lintas timbul karena adanya

proses perpindahan dari suatu tempat ke tempat lainnya dalam rangka proses
pemenuhan kebutuhan, yang mana dalam melakukan perpindahan/pergerakan ini
diperlukan sarana dan prasarana transportasi beserta lingkungan dimana prasarana
tersebut berada. Adapun volume lalu-lintas (Tamin, 2008) merupakan jumlah lalulintas yang melewati titik pengamatan pada ruas jalan selama suatu interval
waktu. Volume lalu-lintas ini punya satuan kendaraan per jam. Namun untuk
meningkatkan ketelitian dalam pengambilan data maka arus lalu-lintas ini dapat
dihitung dengan berbagai selang waktu dan dalam penelitian ini selang waktu
yang diambil adalah per 15 menit.
Volume lalu-lintas adalah jumlah kendaraan yang melewati satu titik pada
suatu ruas jalan pada periode waktu tertentu (Tahir, 2011 : 129-138). Selain itu,
volume lalu-lintas menurut (Bukhari dan Saleh, 2002) diperoleh dengan
pengamatan langsung di lapangan tentang jumlah kendaraan yang lewat pada
periode waktu tertentu (detik, menit, jam dan sebagainya). Volume lalu lintas ini

32

juga berpengaruh terhadap waktu, komposisi lalu-lintas, pembagian jurusan,


klasifikasi fungsional jalan, jenis penggunaan daerah serta geometrik jalan.
Adapun persamaan matematis volume lalu-lintas ditetapkan sebagai berikut:

N
.(2.1)
t

Dimana :
q

= volume lalu lintas dalam satuan kendaraan per satuan waktu;

N = jumlah kendaraan yang melewati suatu penggal ruas jalan tertentu


dalam selang waktu tertentu;
t

= selang waktu peninjauan.


Anonim (1997 : 5-11) yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bina

Marga menyebutkan volume lalu-lintas adalah jumlah kendaraan bermotor yang


melalui titik tertentu persatuan waktu, dinyatakan dalam kendaraan perjam atau
smp/jam. Dalam perhitungan volume lalu-lintas perkotaan maka masing-masing
kendaraan ada penggolongannya. Adapun penggolongan jenis kendaraan untuk
perkotaan terbagi menjadi 4 yaitu:
1. Kendaraan ringan / light vehicle (LV)
Meliputi kendaraan bermotor 2 as beroda empat dengan jarak as 2,03,0 m
(termasuk mobil penumpang, mikrobis, pick-up, truk kecil, sesuai sistem
klasifikasi Bina Marga).
2. Kendaraan berat/ heavy vehicle (HV)
Meliputi kendaraan motor dengan jarak as lebih dari 3,5 m biasanya beroda
lebih dari empat (termasuk bis, truk dua as, truk tiga as, dan truk kombinasi).
3. Sepeda motor/ motor cycle (MC)
Meliputi kendaraan bermotor roda 2 atau tiga (termasuk sepeda motor dan
kendaraan roda tiga sesuai sistem klasifikasi Bina Marga).
4. Kendaraan tidak bermotor / unmotorized (UM)

33

Meliputi kendaraan beroda yang menggunakan tenaga manusia, hewan, dan


lain-lain (termasuk becak, sepeda, kereta kuda, kereta dorong dan lain-lain
sesuai sistem klasifikasi Bina Marga).
Berbagai jenis kendaraan harus diekivalensikan ke satuan mobil
penumpang dengan menggunakan faktor ekivalensi mobil penumpang (emp).
Pengaruh kendaraan tidak bermotor dimasukkan sebagai kejadian terpisah dalam
penyesuaian hambatan samping dan bukan ke dalam volume lalu-lintas (Anonim,
1997 : 5-17). Ekivalensi mobil penumpang adalah faktor yang menunjukan
berbagai tipe kendaraan dibandingkan dengan kendaraan ringan. Nilai emp untuk
bebagai jenis kendaraan ini dapat dilihat dari Tabel 2.1 berikut:
Tabel 2.1 Daftar Konversi ke Satuan Mobil Penumpang.
Tipe Jalan
Dua-lajur satu-arah (2/1)
Empat-lajur terbagi (4/2 D)
Tiga-lajur satu-arah (3/1)
Enam-lajur terbagi (6/2 D)
Sumber: Anonim (1997)
2.4.2

Arus lalu-lintas
perlajur (kend/jam)
0
1050
0
1100

Emp
HV
1,30
1,20
1,30
1,20

MC
0,40
0,25
0,40
0,25

Kecepatan lalu-lintas (Speed)


Kecepatan lalu-lintas adalah perubahan jarak dibagi dengan waktu tempuh.

Kecepatan dapat diukur sebagai kecepatan setempat, kecepatan perjalanan,


kecepatan ruang dan kecepatan gerak (Tahir, 2011 : 130). Kecepatan lalu-lintas
dirumuskan sebagai berikut:

d
.(2.2)
t

Dimana :
v

= kecepatan (km/jam);

34

= jarak tempuh (km);

= waktu yang diperlukan untuk menempuh jarak (jam).

2.4.3

Kepadatan lalu-lintas (Density)


Kepadatan (kerapatan) lalu-lintas adalah rata-rata jumlah kendaraan per

satuan panjang jalan pada suatu saat dalam waktu tertentu (Tahir, 2011 : 130).
Kepadatan lalu-lintas dirumuskan sebagai berikut:

n
.(2.3)
L

Dimana :
k

= kepadatan;

= rata-rata jumlah kendaraan;

L = panjang segmen jalan.


2.5

Kecepatan Arus Bebas


Kecepatan arus bebas didefinisikan sebagai kecepatan pada tingkat arus

nol, yaitu kecepatan yang akan dipilih oleh pengemudi jika mengendarai
kendaraan bermotor tanpa terpengaruh oleh kendaraan bermotor lainnya.
Persamaan penentuan kecepatan arus bebas dapat digunakan persamaan
berdasarkan (MKJI 1997 : 5-18) dengan rumus berikut:
Fv = (Fvo + FVw) x FFsf x FFVcs

.......(2.4)

Dimana:
Fv

= kecepatan arus bebas (km/jam);

Fvo

= kecepatan arus bebas dasar (km/jam);

FVw

= penyesuaian lebar lajur lalu-lintas jalan (km/jam);

FFVsf = faktor penyesuaian hambatan samping dan lebar bahu;


FFVcs = faktor penyesuaian kecepatan arus bebas untuk ukuran kota
(jumlah penduduk).

35

2.5.1 Kecepatan arus bebas dasar (FVo)


Kecepatan arus bebas dasar segmen jalan pada kondisi ideal tergantung
geometri, pola arus lalu-lintas dan faktor lingkungan. Nilai dari kecepatan arus
bebas dasar (Anonim, 1997 : 5-44) dapat dilihat dalam Tabel 2.2 berikut:
Tabel 2.2 Kecepatan Arus Bebas Dasar (FVo)
Kecepatan arus bebas dasar (Fvo) (Km/jam)

Tipe jalan

Kendaraan
ringan
(LV)

Kendaraan
berat (HV)

Sepeda

Semua

motor

kendaraan

(MC)

(rata rata)

Enam-lajur terbagi
(6/2D) atau tiga lajur

61

52

48

57

57

50

47

55

53

46

43

51

44

40

40

42

satu-arah (3/1)
Empat-lajur terbagi
(4/2 D) atau dualajur satu-arah (2/1)
Empat-lajur tak
terbagi (4/2 UD)
Dua-lajur tak terbagi
(2/2 UD)
Sumber: Anonim (1997)

2.5.2

Faktor penyesuaian kecepatan arus bebas akibat lebar jalur lalulintas (FVw)

36

Lebar jalur lalu-lintas juga akan mempengaruhi kecepatan arus bebas dasar
pada segmen jalan. Adapun faktor penyesuaian kecepatan arus dasar akibat lebar
jalur lalu-lintas (Anonim, 1997 : 5-45) dapat dilihat dalam Tabel 2.3 berikut:

Tabel 2.3 Faktor Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas untuk Lebar Jalur Lalulintas (FVw)

Sumber: Anonim (1997)

2.5.3

Faktor penyesuaian kecepatan arus bebas akibat lebar bahu (FFVsf)

37

Dalam menentukan nilai dari faktor penyesuaian untuk kecepatan akibat


lebar bahu harus lebih dahulu diketahui kelas hambatan samping dari ruas jalan
yang diteliti. Hambatan samping adalah aktivitas samping jalan yang
menimbulkan konflik dan sangat mempengaruhi kapasitas serta kinerja jalan
perkotaan (Anonim, 1997 : 5-7). Untuk menyederhanakan peranan hambatan
samping dalam perhitungan analisis kinerja jalan perkotaan Manual Kapasitas
Jalan Indonesia telah mengelompokannya kedalam lima kelas dari sangat rendah
sampai sangat tinggi. Adapun penentuan kelas hambatan samping (Anonim 1997,
5-39) dapat dilihat dari Tabel 2.4 berikut:
Tabel 2.4 Kelas Hambatan Samping (SFC)
Kelas
hambatan
samping
Sangat
rendah

Kode
VL

Rendah

Sedang

Tinggi

Sangat
VH
tinggi
Sumber: Anonim (1997)

Frekuensi
berbobot
kejadian

Kondisi Khusus

Daerah emukiman, hampir tidak ada


kegiatan
Daerah pemukiman, beberapa angkutan
100 - 299
umum, dll
Daerah industri dengan toko-toko di sisi
300 - 499
jalan
Daerah niaga dengan aktivitas sisi jalan
500 - 899
tinggi
Daerah niaga dan aktivitas pasar sisi jalan
> 900
sangat tinggi
< 100

Bila data rinci hambatan samping tidak tersedia, kelas hambatan samping
dapat ditentukan (Anonim, 1997 : 5-40) dengan memilih salah satu keadaan
segmen jalan paling tepat, kemudian di amati dan dibandingkan secara visual
keadaan di lapangan dengan kondisi khusus dari masing-masing kelas hambatan
samping yang sesuai gambar kelas hambatan samping yang disyaratkan Manual
Kapasitas Jalan Indonesia. Setelah didapat kelas hambatan samping berdasarkan
Tabel di atas, kemudian akan didapat nilai dari penyesuaian kecepatan akibat lebar
bahu yang akan dipakai dalam perhitungan persamaan 2.4. Adapun faktor

38

penyesuaian kecepatan akibat lebar bahu (Anonim, 1997 : 5-46) dapat dilihat
dalam Tabel 2.5 berikut:
Tabel 2.5 Faktor Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas Akibat Lebar Bahu (FFVsf)

Sumber: Anonim (1997)

2.5.4

Faktor penyesuaian kecepatan arus bebas dasar untuk ukuran kota


(FFV cs)
Ukuran kota juga mempengaruhi kecepatan arus dasar, adapun faktor

penyesuaian kecepatan arus dasar terhadap ukuran kota dapat dilihat dalam Tabel
2.6 berikut:
Tabel 2.6 Faktor Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas untuk Ukuran Kota (FFV cs)
Ukuran kota (juta penduduk)
<0,1

Faktor penyesuaian untuk ukuran kota


0,90

0,1 0,5

0,93

0,5 1,0

0,95

1,0 3,0

1,00

> 3,0

1,03

Sumber: Anonim (1997)

2.6

Kapasitas

39

Menurut Anonim (1997 : 5-8) kapasitas adalah arus lalu-lintas (stabil)


maksimum yang dapat dipertahankan pada kondisi tertentu (geometri, distribusi
arah dan komposisi lalu-lintas, dan faktor lingkungan). Kapasitas jalan juga
didefinisikan sebagai arus maksimum melalui suatu titik di jalan yang dapat
dipertahankan per satuan jam pada kondisi tertentu (Ing & Effendi, 2007: 60).
Persamaan dasar kapasitas jalan perkotaan (Anonim, 1997 : 5-18) yaitu:
C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs .(2.5)
Dimana :
C

= kapasitas;

Co

= kapasitas dasar (smp/jam) untuk jalan satu arah = 1650 smp/jam;

FCw

= faktor penyesuain kapasitas untuk lebar jalur lalur lalu-lintas;

FCsp = faktor penyesuaian kapasitas untuk pemisah arah jalan


satu arah = 1,0;
FCsf

= faktor penyesuaian kapasitas untuk hambatan samping dan bahu


jalan/kereb;

FCcs = faktor penyesuaian kapasitas untuk ukuran kota.


2.6.1

Kapasitas Dasar
Kapasitas dasar adalah kapasitas segmen jalan pada kondisi geometri, pola

arus lalu-lintas dan faktor lingkungan yang ditentukan sebelumnya (ideal).


Kapasitas dasar ini ditentukan berdasarkan tipe jalan yang dapat dilihat pada Tabel
2.7 berikut:

Tabel 2.7 Kapasitas Dasar Jalan Perkotaan

40

Sumber: Anonim (1997)


2.6.2

Faktor penyesuaian kapasitas untuk lebar jalur lalu-lintas (FCw)


Lebar dari jalur lalu-lintas mempengaruhi besarnya nilai kapasitas dari

suatu ruas jalan. Semakin besar lebar jalur suatu segmen jalan maka semakin
besar pula nilai kapasitasnya. Faktor penyesuaian untuk kapasitas akibat lebar
jalur lalu-lintas (Anonim, 1997 : 5-51) dapat dilihat pada Tabel 2.8:
Tabel 2.8 Faktor Penyesuaian Kapasitas untuk Lebar Jalur Lalu-lintas (FCw)

Sumber: Anonim (1997)

41

2.6.3

Faktor penyesuaian kapasitas akibat hambatan samping (FCSF)


Hambatan samping untuk jalan perkotaan (Anonim, 1997 : 5-10) adalah

dampak terhadap kinerja lalu-lintas dari aktivitas samping segmen jalan, seperti
pejalan kaki (bobot = 0,5), kendaraan umum/kendaraan lain berhenti (bobot =
1,0), kendaraan masuk/keluar sisi jalan (bobot = 0,7) dan kendaraan lambat (bobot
= 0,4). Sementara (Marhush 2013 : 21) menyebutkan bobot untuk pedagang kaki
lima (PKL) adalah 1,0. Faktor penyesuaian untuk kapasitas akibat hambatan
samping sebagai fungsi lebar bahu atau jarak kereb-penghalang akan
mempengaruhi besarnya nilai kapasitas suatu segmen jalan. Adapun faktor
penyesuaian kapasitas akibat hambatan samping dapat dilihat dalam Tabel 2.9
berikut:
Tabel 2.9 Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Hambatan Samping (FCSF )

Sumber: Anonim (1997)

42

2.6.4

Faktor penyesuaian kapasitas akibat ukuran kota (FCCS)


Ukuran dari sebuah kota juga menjadi salah satu parameter yang

mempengaruhi kapasitas. Adapun faktor untuk penyesuaian kapasitas akibat dari


ukuran kota (Anonim, 1997 : 5-55) dapat dilihat dalam Tabel 2.10 berikut:
Tabel 2.10 Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Ukuran Kota (FCCS)
Ukuran kota (juta penduduk)

Faktor penyesuaian untuk ukuran

< 0,1

kota
0,86

0,1 0,5

0,90

0,5 1,0

0,94

1,0 3,0

1,00

> 3,0
Sumber: Anonim (1997)

1,04

2.7

Derajat Kejenuhan (Degree of Saturation)


Derajat kejenuhan (DS) didefinisikan sebagai rasio arus lalu-lintas

terhadap kapasitas jalan. Derajat kejenuhan digunakan sebagai faktor utama dalam
penentuan tingkat kinerja suatu ruas jalan dengan didapat nilai derajat kejenuhan
akan menunjukan apakah segmen jalan tersebut mempunyai masalah kapasitas
atau tidak (Kayori et al, 2013 : 611). Untuk menghitung derajat kejenuhan pada
suatu ruas jalan perkotaan digunakan persamaan dalam Manual Kapasitas Jalan
Indonesia (1997) yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga yaitu:
DS = Q/C

(2.6)

Dimana :
DS = derajat kejenuhan;
Q

= arus lalu-lintas (smp/jam);

= kapasitas (smp/jam).

43

2.8 Kecepatan Tempuh dan Waktu Tempuh

Kecepatan tempuh adalah besaran yang menunjukkan jarak yang ditempuh


kendaraan dibagi waktu tempuh. Biasanya dinyatakan dalam km/jam. Kecepatan
tempuh ini menggambarkan nilai gerak dari kendaraan. Perencanaan jalan yang
baik tentu saja haruslah berdasarkan kecepatan yang dipilih dari keyakinan bahwa
kecepatan tersebut sesuai dengan kondisi dan fungsi jalan yang diharapkan
(Sukirman, 1999: 38). Kecepatan tempuh didefiniskan sebagai perbandingan
antara panjang jalan dengan waktu tempuh (Suryawan et al, 2013 : 13). Anonim
(1997 : 5-19), kecepatan tempuh dinyatakan sebagai ukuran utama kinerja suatu
segmen jalan, karena hal ini mudah dimengerti dan diukur. Kecepatan tempuh
didefinisikan sebagai kecepatan rata-rata ruang dari kendaraan ringan (LV)
sepanjang segmen jalan. Besaran nilai kecepatan tempuh ini dapat dicari dengan
menggunakan rumus:
V

= L/TT

.(2.7)

Dimana:
V

= kecepatan rata-rata ruang (km/jam);

= panjang segmen jalan (km);

TT

2.8

= waktu tempuh rata-rata sepanjang segmen jalan (jam).

Hubungan Kecepatan dengan Derajat Kejenuhan


Kemampuan prasarana jalan dapat diukur secara kualitatif berdasarkan

kecepatan, namun derajat kejenuhan (DS) juga merupakan salah satu dari
indikator kinerja lalu lintas (Kayori et al, 2013 : 611). Kecepatan ini sendiri juga
ada hubungan dengan derajat kejenuhan. Adapun hubungan kecepatan dengan
derajat kejenuhan disajikan dalam bentuk grafik (Anonim, 1997 : 5-58) dimana
kecepatan disini adalah kecepatan kendaraan ringan, untuk grafiknya dapat dilihat
pada Gambar 2.1 dan Gambar 2.2.

44

Gambar 2.1 Grafik kecepatan sebagai fungsi dari DS untuk jalan banyak-lajur
dan satu arah
Sumber: Anonim, 1997
.

Gambar 2.1 Grafik kecepatan sebagai fungsi dari DS untuk jalan banyak-lajur
dan satu arah
Sumber: Anonim, 1997

2.9

Pertumbuhan Lalu-lintas

45

Menurut Gurning (2010 : 21), berdasarkan data lalu-lintas di atas


menunjukkan bahwa dari tahun ketahun terjadi peningkatan arus lalu-lintas pada
ruas jalan tersebut. Pertumbuhanlalu-lintas (LHR) ini mungkin saja dipengaruhi
oleh faktor-faktor, yaitu :
a) Jumlah Penduduk;
b) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB);
c) Jumlah Kepemilikan Kendaraan.
Perhitungan pertumbuhan lalu-lintas dengan metode eksponensial dihitung
berdasarkan lalu lintas awal perencanaan dan laju pertumbuhan lalu lintas serta
umur rencana yang ingin dicapai (Gurning, 2010 : 21). Rumus umum yang
digunakan adalah :
n

Pt=Po x (1 + i ) ............. (2.7)

Di mana :
Pt

= lalu-lintas harian tahun yang dicari;

Po

= lalu-lintas harian tahun awal perencanaan;

= laju pertumbuhan lalu-lintas;

= umur rencana.

Anda mungkin juga menyukai