kasusdalm 100.000 populasi terdapat di swedia. Di newzeland, terjadi perbedaan antara etnis
polinesian sebanyak 50 kasus / 100.00 populasi dengan orang kulit putih sebesar14,6 kasus
dalam 100.000 populasi.
2.2 Etiologi
Faktor genetik
Lingkungan
Menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar Uvyang menyebar struktur DNA didaerah yang
terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun didaerah tersebut serta menginduksi
apoptosis dari sel keratonosit.SLE juga dapat diinduksikan oleh obat tertentu khususnya pada
asetelator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat,
obat banyak terakumulasi ditubuh sehingga memberikan kesmpatan tubuh membentuk kompleks
antibodi antinukler ( ANA ) untuk menyerang benda asing tersebut
( herfindal et., al 2000 ).Makanan seperti wijen (alfafa sprouts)yang mengandung asam
amino L-Camavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat
menyebabkan SLE . selain itu virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem
imunabdengan mekanisme menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme
menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik
yang akan memicu terjadinya SLE.
1.2 Patofisiologi
Patofiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut :
Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang
mempunyai predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap
sel T CD4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self-antigen. Sebagai
akibatnya muncullah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik
yang memproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih belum
jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan
berbagai macam infeksi.
Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutama terletak
pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non histon.
Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau
kompleks protein RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen ini
ialah bahwa mereka tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel.
Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan
antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Telah
ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu. Dapat berupa gangguan
klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan
penurun uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan
terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini
akan mengendap pada berbagai maca organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada
organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi
penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/
gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus,
kulit dan sebagainya.
Bagian yang penting dalam patofisiologi ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang
dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resisten.
penyakit mengalami remisi. Fenomen Raynaud pada sebagian pasien tidak mempunyai korelasi
dengan aktivitas penyakit, sedangkan pada sebagian lagi akan membaik jika penyakit mereda.
c. Ginjal
Kelainan ginjal ditemukan pada 68 % kasus SLE.Manifestasi paling sering ialah
proteinuria dan atau hematuria. Hipertensi, sindrom nefrotik dan kegagalan ginjal jarang terjadi;
hanya terdapat pada 25 % kasus SLE yang urinnya menunjukkan kelainan.
Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal, yaitu nefritis penyakit SLE difus dan
nefritis penyakit SLE membranosa. Nefritis penyakit SLE difus merupakan kelauanan yang
paling berat. Klinis biasanya tampak sebagai sindrom nefrotik, hipertensi serta gangguan fungsi
ginjal sedang sampai berat. Nefritis penyakit SLE membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai
dengan sindrom nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin
berlangsung cepat atau lambat tapi progresif.
Kelainan ginjal lain yang mungkin ditemukan pada SLE ialah pielonefritis kronik,
tuberkulosis ginjal dan sebagainya. Gagal ginjal merupakan salah satu penyebab kematian SLE
kronik.
d. Kardiovaskular
Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat (efusi perikard), iskemia
miokard dan endokarditis verukosa (Libman Sacks).
e. Paru
Efusi pieura unilateral ringan lebih sering terjadi daripada yang bilateral. Mungkin
ditemukan sel LE (lamp. dalam cairan pleura. Biasanya efusi menghilang dengan pemberian
terapi yang adekuat.
Diagnosis pneumonitis penyakit SLE baru dapat ditegakkan jika faktor-faktor lain seperti
infeksi virus, jamur, tuberkulosis dan sebagainya telah disingkirkan.
f. Saluran Pencernaan
Nyeri abdomen terdapat pada 25 % kasus SLE, mungkin disertai mual (muntah jarang)
dan diare. Gejala menghilang dengan cepat jika gangguan sistemiknya mendapat pengobatan
adekuat. Nyeri yang timbul mungkin disebabkan oleh peritonitis steril atau arteritis pembuluh
darah kecil mesenterium dan usus yang mengakibatkan ulserasi usus. Arteritis dapat juga
menimbulkan pankreatitis.
g. Hati dan Limpa
Hepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi jarang disertai ikterus.
Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang/ kembali normal.
h. Kelenjer Getah Bening
Pembesaran kelenjer getah bening sering ditemukan (50 %). Biasanya berupa limfa
denopati difus dan lebih sering pada anak-anak. Limfadenopati difus ini kadang-kadang disangka
sebagai limfoma.
i. Kelenjer Parotis
Kelenjer parotis membesar pada 6 % kasus SLE.
Jika hasil test negativ, maka pasien belum tentu negativ terhadap SLE karena harus
dipertimbangkan juga data klinis dan test laboratorium yang lain, jika hasil test posotof maka
sebaiknya dilakukan test laboratorium yang lain tetapi jika hasil test negativ maka sebaiknya
dilakukan test serelogi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita
SLE. ANA dapat meliputi anti-smith ( anti SM ). Anti RNP/antiribonukleo protein.
c.
Antimalaria
Efektifitas antimalaria terhadap SLE yang mengenai kulit dan sendi telah lama diketahui dan
obat ini telah dianggap sebagai obat pilihan pertama untuk cara mengganggu pemoresan antigen
dimakrofag dan sel pengaji antigen yang lain dengan peningkatan PH di dalam
vakuolalisosomal. Juga menghamabat dan mengabsorbsi sinar UV, bebera penelitian melaporkan
bahwa antimalaria dapat menurunkan kolestrol total, HDL, LDL. Pada penderita SLE yang
menerima steroidmaupun yang tidak.
Terdapat 3 obat antimalaria yang tersedia, hidroksikolokulin. Dosis 200-400mg/hari,
klorokuin dan efek sampingnya lebih ringan. Efek samping antimalaria yang paling sering adalah
efek pada saluran pencernaan, kembung, mual dan muntah. Efek ssamping lain adalah timbulnya
ruam, toksisitas retin dan neurologis.
Methoreksat
Methoreksat adalah antagonis folat yang jika diberikan dalam dosis untuk penyakit
rematik efek imunosupresifinyalebih lemah dari pada obat alkilating atau zat hioprin .
methorekxate dosis rendah mingguan 7,5-15mg, efektif sebagai steroid spring agent dan dapat
diterima baik oleh penderita, terutama pada manifestasi klinis dan muskluskletal.
Efek smaping yang paling seringdipakai adalah: lekopenia, ulkus oral, toksisitas
gastrointestinal dan hepaktotoksitas. Untuk pemantauan efek samping diperlukan pemeriksaan
darah lengkap, tes fungsi ginjal dan hepar pada penderita dengan efek samping gastrointestinal,
pemberian asam folat 5mg tiap minggu akan mengurangi efek tersebut.
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala sekarang
dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri,
kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri
pasien.
b. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
c. Kardiovaskuler
Friction
rub
perikardium
yang
menyertai
miokarditis
dan
efusi
pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler
terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi
lateral tanga.
d. Sistem muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
e. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung
serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
f. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
g. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di
ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan
berlanjut nekrosis.
h. Sistem renal
Edema dan hematuria.
i. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun manifestasi SSP
lainnya.
Rasional
1.mengendalikan rasa nyeri dan relaksasi
terhadap nyeri
Daftar Pustaka
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.
Smeltzer. Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi
8. Volume 3. Jakarta : EGC.
Ruth F. Craven, EdD, RN, Fundamentals Of Nursing, Edisi II, Lippincot, Philadelphia, 2000
Wim de Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, Cetakan I, EGC, Jakarta, 1997