DT Anemia Fariz
DT Anemia Fariz
PENDAHULUAN
Anemia merupakan kelainan laboratorium yang paling sering ditemukan, 1 sekaligus masalah
medis yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh dunia 2, dan masalah kesehatan
masyarakat yang mempengaruhi populasi baik negara berkembang maupun negara maju3.
Oleh karena frekuensinya yang demikian sering, anemia (terutama anemia ringan) seringkali
tidak mendapat perhatian oleh para dokter.2
Anemia bukanlah suatu entitas penyakit, melainkan merupakan gejala berbagai
penyakit dasar.2 Oleh karena itu dalam hal diagnosis tidaklah cukup dengan hanya
mencantumkan label anemia tetapi harus dapat ditetapkan penyakit yang mendasari anemia
tersebut.
Dalam pandangan medis, anemia merupakan indikator nutrisi dan kesehatan yang
buruk. Hal ini dapat terlihat jelas pada dampak anemia terhadap meningkatnya risiko
kematian ibu dan anak.3 Selain itu, anemia defisiensi besi (ADB) sebagai kasus anemia paling
sering mengakibatkan defek perkembangan kognitif dan fisik pada anak, dan berkurangnya
produktifitas bekerja pada dewasa.3
Hal yang cukup penting adalah wacana dan persepsi masyarakat tentang anemia.
Sebagian masyarakat menganggap gejala 3L (lemah, letih dan lesu) merupakan patokan
seseorang menderita anemia. Kemudian mereka mengkonsumsi hematinik yang mereka kenal
sebagai obat penambah darah sebagai langkah pertama yang diambil, tanpa konsultasi
kepada tenaga kesehatan.
Pendekatan terhadap pasien anemia memerlukan pemahaman yang komprehensif
sehingga dapat terbentuk diagnosis dan tata laksana (termasuk edukasi) yang holistic. Pada
tingkat pelayanan kesehatan komunitas dipersiapkan program dan sarana pada pelayanan
kesehatan primer yang sesuai dengan kondisi populasi masing-masing.
PREVALENSI
Berdasarkan data WHO, prevalensi anemia di dunia pada tahun 1993-2005 adalah 1,62
milyar orang, sekitar 24,6 % dari jumlah penduduk. Data ini diperoleh melalui data survey
dan estimasi regression-based. Prevalensi tertinggi terdapat pada kelompok anak usia pra
sekolah sedang prevalensi terendah terdapat pada laki-laki dewasa. Walaupun begitu, jumlah
populasi terbesar terjadinya anemia terdapat pada wanita yang tidak hamil.3
Tabel 1 Prevalensi dan Jumlah Penderita Anemia di Dunia Tahun 1993-2005 menurut WHO
Grup Populasi
Prevalensi (%)
47,4
25,4
305
Wanita hamil
41,8
56
30,2
468
Laki-laki dewasa
12,7
260
Usia lanjut
23,9
164
Dari tabel 1 dapat kita lihat adanya prevalensi yang tinggi pada 3 golongan yang
dipertimbangkan sebagai golongan yang rentan, yaitu anak usia pra sekolah, wanita hamil
dan wanita produktif yang tidak hamil.
Tabel 2 Prevalensi dan Jumlah Populasi yang Terkena pada 3 Golongan Populasi yang Rentan
menurut WHO
2
Dari tabel 2 didapatkan bahwa secara proporsi pada ketiga golongan yang rentan
terbanyak terdapat di Afrika, sedangkan jumlah individu yang terkena terbanyak adalah di
Asia Tenggara.
Selain data WHO ini, American Society of Hematology memaparkan prevalensi
anemia meningkat seiring bertambahnya usia.4,5 Proporsi anemia pada usia lanjut meningkat
dengan adanya komorbiditas seperti diabetes mellitus dan penyakit ginjal kronik. 4,5 Anemia
terkait dengan meningkatnya risiko hospitalisasi dan kematian.5 Selain itu, anemia juga
menunjukkan dampak yang negatif terhadap kualitas hidup dan fungsi fisiologi pada usia
lanjut.4,5 Suatu studi lain di Biella, Italia, bahwa lebih dari satu di antara 10 orang dengan usia
lanjut (lebih dari 65 tahun) mengalami anemia dan sebagian besar anemia ringan (Hb lakilaki 10-12,9 g/dl dan Hb wanita 10-11,9). 6 Jenis anemia yang didapatkan adalah anemia pada
penyakit kronik, thalassemia trait (karena 83 % dari yang mengalami thalassemia ini tinggal
di daerah dengan prevalensi thalassemia tinggi) dan anemia yang tidak dapat dijelaskan. 6 Satu
per tiga dari anemia yang tidak dapat dijelaskan memperlihatkan gambaran myelodysplastic
syndrome.6
Dari data WHO ini menggambarkan bahwa 1 dari 4 orang terkena anemia dengan
wanita hamil dan anak usia pra sekolah adalah kelompok risiko tertinggi. 3 Selain itu, anemia
3
merupakan masalah kesehatan komunitas.3 Anemia pada wanita dan anak-anak di sebagian
besar negara anggota WHO (132 dari 159 negara) tercatat dalam derajat sedang-berat. 3 Hal
ini menjadi urgensi untuk mengevaluasi ulang strategi yang ada untuk menangani anemia,
dan dibutuhkan penanganan dengan pendekatan terintegrasi.
Dalam hal pelayanan kesehatan primer, anemia merupakan salah satu masalah yang
sering sekaligus penting untuk diidentifikasi dan ditata laksana secara holistik.
KRITERIA ANEMIA
Parameter yang paling diyakini dan paling umum 2 dipakai untuk menunjukkan penurunan
massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. 2,7-9
Eritrosit bersirkulasi dalam darah perifer selama 100-120 hari dan sekitar 1 % eritrosit hilang
dan diganti setiap hari.8,10,11 Eritrosit tua dikeluarkan dari sirkulasi oleh makrofag di limpa,
hepar dan sumsum tulang.8 Sistem feedback loop eritropoiesis harus menjamin massa eritrosit
total tetap konstan.8 Berkurangnya massa eritrosit yang melebihi produksinya mengakibatkan
peningkatan klirens eritrosit, penurunan produksi eritrosit atau kedua-duanya.8
Secara fungsional, anemia merupakan pengurangan jumlah massa eritrosit.2,8 Anemia
secara umum terkait dengan berkurangnya oxygen-carrying capacity pada darah, sehingga
secara praktis ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung
eritrosit.2,7-9 Namun, terdapat keadaan-keadaan tertentu dimana ketiga parameter tersebut
tidak sejalan dengan massa eritrosit, seperti pada dehidrasi, perdarahan akut dan
kehamilan.2,8,9 Masalah lain adalah berapa kadar hemoglobin, hematrokrit dan hitung eritrosit
yang dianggap anemia.2,7-9
Distribusi nilai Hb bervariasi yang dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin dan status
fisiologis (misal kehamilan). WHO menetapkan nilai ambang Hb dalam kriteria anemia
sebagai berikut.
< 11,0
< 11,5
< 12,0
Laki-laki dewasa
< 13,0
Wanita hamil
< 11,0
< 12,0
Selain itu, ada terdapat beberapa acuan penetapan kadar Hb untuk penilaian anemia.
Tabel 4 Beberapa Acuan Penetapan Kadar Hb untuk Penilaian Anemia pada Dewasa
Tabel 5 Nilai Ajuan Kadar Hb untuk Penilaian Anemia menurut American Society of
Hematology
Untuk keperluan klinik di Indonesia, kriteria-kriteria yang telah disebutkan sulit untuk
dilaksanakan. Apabila digunakan secara ketat maka sebagian besar pasien yang mengunjungi
poliklinik atau dirawat di rumah sakit akan memerlukan permeriksaan work up anemia lebih
lanjut. Oleh karena itu beberapa peneliti di Indonesia memakai kriteria Hb kurang dari 10
g/dl sebagai awal dari work up anemia.2
HEMATOPOIESIS
Hematopoiesis merupakan proses pembentukan elemen-elemen darah, yaitu sel darah merah,
granulosit, monosit, trombosit dan sel-sel imun.1 Sel darah yang berbeda ini merupakan
turunan dari sel prekursor tunggal yang disebut pluripotent hematopoietic stem cell (PHSC).
1,10-15
PHSC sebagian besar terdapat di sumsum tulang. PHSC memiliki kemampuan dalam
penyusunan (assortment) committed stem cell, kemudian sel tersebut akan berdiferensiasi
menjadi eritrosit, leukosit dan megakarosit.1,10-15 Diperkirakan hanya sekitar 1 dari 100.000 sel
di sumsum tulang merupakan stem cell yang tidak mengalami diferensiasi.11
Gambar 1. Hematopoiesis
Pada manusia dewasa (lebih dari 20 tahun) hanya vertebrae, sternum, costae,
tulang pelvis (ileum) dan tulang panjang pada ujung proksimal (humerus dan tibia)
yang memproduksi sel darah.11--15 Sumsum tulang yang aktif berwarna merah karena
adanya hemoglobin11 sedang sumsum tulang yang inaktif berwarna kuning karena
banyaknya sel lemak. 11,12,14,15 Namun seiring dengan bertambahnya usia, daerah aktif
pada sumsum tulang berkurang11-13 seiring dengan meningkatnya jaringan lemak
secara bertahap13. Mekanisme hematopoiesis ekstramedula lebih diindikasikan kondisi
yang patologis dibandingkan kondisi kompensatorik.13
Sekitar 25% yang dihasilkan dari sumsum tulang yang aktif adalah eritrosit dan 75%
adalah leukosit.11 Umur leukosit lebih singkat dibandingkan umur eritrosit sehingga leukosit
harus diproduksi lebih sering.11
Pada studi saat ini akan lebih diulas mengenai eritropoiesis, dalam kaitannya dengan
anemia.
ERITROPOIESIS
Massa eritrosit berkembang menjadi besar untuk mentranspor oksigen ke jaringan. Maka dari
itu, ukuran massa eritrosit dan laju produksi eritrosit harus terkait erat dengan suplai dan
kebutuhan oksigen di jaringan.13
Ukuran dan bentuk pyramid eritroid beragam. Saat terjadi supresi produksi, seperti
anemia pada penyakit ginjal kronik, distribusi eritroblast terlihat normal, tanpa adanya
gambaran morfologi atau ferrokinetic suatu eritropoiesis yang inefektif atau apoptosis
eritroblast yang abnormal. Saat produksi meningkat, seperti pada anemia hemolitik berat,
pyramid eritroblast juga terlihat nornmal, tanpa adanya mitosis tambah. Hal ini menunjukkan
bahwa laju eritropoiesis tampaknya bergantung pada jumlah pyramid eritroid (progenitor)
yang dibentuk dan bukan pada bentuknya.13,16
Saat eritroblast matur, aktifitas sintesis meningkat cepat, yaitu produksi seluruh
protein yang karakteristik untuk eritrosit matur, khususnya globin. Sembilan puluh lima
persen protein dalam eritrosit adalah hemoglobin, pada dewasa sebagian besar Hb A, dengan
sedikit Hb F dan Hb A2.11,12,13,16
Terjadi beberapa perubahan saat maturitas eritroblast. Densitas EpoR menurun secara
tajam saat awal terbentuk eritroblast dan hilang saat terbentuk eritroblast matur. Namun
terjadi peningkatan tajam jumlah reseptor transferrin, yang menunjukkan meningkatkan
kebutuhan besi untuk sintesis heme. Selain itu, dibutuhkan pula lingkungan mikro untuk
proliferasi dan maturasi eritroblast. Molekul adhesi interseluler menjaga integritas struktur
10
sumsum tulang dan fibronectin memiliki kepentingan tersendiri untuk eritroblast. Hilangnya
reseptor fibronectin menandakan adanya migrasi retikulosit ke darah namun sebagian
retikulosit tetap kaku bahkan setelah dilepas ke darah dan disekuestrasi sementara oleh limpa.
Adanya enukleasi dapat diinduksi oleh stroma sumsum tulang atau sel endotel.13,16
Pematangan eritrosit dibantu oleh dua vitamin, yaitu vitamin B12 dan asam folat.12
Regulasi Eritropoiesis
Eritropoiesis dipengaruhi oleh hormon/sitokin, reseptor dan faktor transkripsi.11,13,16 Faktor
transkripsi GATA-1 berperan penting dalam eritropoiesis normal dan mengaktifasi beberapa
gen spesifik eritroid termasuk globin dan protein sitoskeleton eritrosit. GATA-1 bersama Epo
menginduksi ekspresi protein anti apoptosis (Bcl-Xl) dan berinteraksi dengan beberapa
11
protein (FOG-1 & PU.1). Interaksi fisis secara langsung antara GATA-1 dan FOG-1 penting
dalam maturasi eritroid dan megakariosit normal manusia. Sebaliknya, interaksi GATA-1
dengan PU.1 menginhibisi eritropoiesis dan diperlukan augmentasi yang tepat pada
eritropoiesis manusia dewasa dengan stres. Tidak adanya PU.1 dibutuhkan pada akhir proses
diferensiasi eritroid.1,11,13
PHSC dan BFU-E membutuhkan stem cell factor, interleukin-3, granulocytemacrophage colony stimulating factor dan trombopoietin untuk pertumbuhan dan
keberlangsungan hidupnya.11,13,16
Eritropoietin
Hormon utama yang meregulasi eritropoiesis adalah eritropoietin (Epo). Selama
perkembangan fetus, sebagian besar Epo diproduksi hepar. Saat lahir terjadi peralihan
produksi Epo secara bertahap oleh ginjal. Pada dewasa, ginjal memproduksi 90-95 % Epo,
sisanya dibentuk di hepar (7 %). Progenitor eritroid mengekspresikan Epo masing-masing
dan dibutuhkan kadar yang berbeda untuk optimalisasi proses maturasi eritroid.13,16
Produksi Epo diatur oleh kondisi hipoksia pada level transkripsi. Epo tidak disimpan
melainkan segera disekresi. Epo diekskresi melalui urin sejumlah 10 % dari seluruh Epo
dalam tubuh dan didegradasi setelah berikatan dengan EpoR.13,16
12
(hipoksemia).
Regulasi
homeostasis
oksigen
sangat
penting
untuk
bagian
dari
mekanisme
oxygen-sensing.
HIF-1
mengatur
gen
yang
13
Sitoplasma EpoR mengandung domain regulasi positif yang berinteraksi dengan janus kinase
2 (JAK2). Setelah Epo dan EpoR berikatan, terjadi fosforilasi JAK2, EpoR dan protein
lainnya (STAT-5) yang mengakibatkan inisiasi kaskade erythroid-spesific signaling untuk
terjadinya diferensiasi PHSC menjadi BFU-E. Selain itu, sitoplasma EpoR pun mengandung
domain regulasi negatif yang berinteraksi dengan hematopoietic cell phosphatase (HCP) dan
menginaktifasi transduksi sinyal.13,16
14
Hemoglobin
Hemoglobin merupakan substansi nyawa pada setiap eritrosit, karena merupakan komponen
pembawa oksigen. Setiap eritrosit tak lain merupakan kantong berisi cairan dalam hal ini
hemoglobin. Selama 120 hari, eritrosit dengan kadar hemoglobin yang normal berada dalam
sirkulasi. Setiap organ mayor pada tubuh manusia bergantung pada oksigenasi untuk
pertumbuhan dan menjalankan fungsinya. Proses ini secara tepat berada dalam kendali
hemoglobin.16,17
Molekul hemoglobin terdiri dari 2 struktur primer, yaitu :
1. Heme. Struktur ini melibatkan 4 atom besi dalam bentuk ferro (Fe2) besi dalam bentuk
ferri (Fe3) tidak dapat mengikat oksigen- yang dilingkupi oleh protoporphyrin IX
(porphyrin ring) struktur yang dibentuk di dalam eritrosit berinti. Protoporphyrin IX
15
merupakan produk akhir dalam sintesis heme. Saat besi terinkorporasi, besi bergabung
dengan protoporphyrin untuk membentuk molekul heme yang lengkap.17
2. Globin. Globin mengandung asam amino yang saling terhubung membentuk rantai
polipeptida. Rantai yang paling penting pada hemoglobin dewasa adalah rantai alpha dan
beta. Heme dan globin terhubung oleh ikatan kimia.17
Struktur tambahan yang menyokong molekul hemoglobin adalah 2,3-DPG substansi yang
dihasilkan melalui jalur Embden-Meyerhof selama glikolisis anaerob. Struktur ini yang
berkaitan dengan afinitas oksigen hemoglobin.16,17
Setiap hemoglobin terdiri dari 4 struktur heme dengan besi di tengah dan 2 pasang
rantai globin. Hemoglobin mulai disintesis pada stadium normoblast polikromatis. Enam
puluh lima persen hemoglobin disintesis sebelum nucleus dikeluarkan, dan sisanya disintesis
saat stadium retikulosit. Eritrosit matur yang normal memiliki komplemen hemoglobin yang
lengkap.17
Jenis Hemoglobin
Terdapat 3 jenis hemoglobin yang disintesis : hemoglobin embrionik, hemoglobin fetus dan
hemoglobin dewasa. Setiap jenis hemoglobin memiliki penyusunan rantai globin yang
spesifik dan setiap globin dipengaruhi oleh kromosom yang spesifik pula.17
Kromosom 11 mengandung gen untuk produksi rantai epsilon, beta, gamma dan delta.
Setiap individu memiliki 2 gen untuk produksi rantai-rantai ini karena tiap parent
memberikan 1 gen. Kromosom 16 mengandung gen untuk produksi rantai alpha dan zeta.
16
Terdapat 2 gen untuk produksi rantai alpha dan 1 gen untuk rantai zeta sehingga tiap individu
memiliki 4 gen untuk rantai alpha dan 2 gen untuk rantai zeta. Rantai alpha merupakan
komponen yang konstan pada hemoglobin dewasa. Maka dari itu, setiap hemoglobin
memiliki 2 rantai alpha sebagai bagian dari konfigurasi kimiawinya. Rantai epsilon dan zeta
digunakan untuk produksi hemoglobin embrionik.16,17
Seiring dengan perkembangan embrio, hemoglobin Gower I dan II dan hemoglobin
Portland disintesis, lalu bertahan di embrio selama 3 bulan. Lalu beralih pada perkembangan
fetus dan mulailah sintesis hemoglobin F. Hemoglobin F merupakan hemoglobin terbanyak
hingga lahir. Antara bulan ketiga dan keenam post partum jumlah rantai gamma menurun dan
jumlah rantai beta meningkat, sehingga hemoglobin A terdapat paling banyak di hemoglobin
dewasa (95-98 %). Hemoglobin A2 (1-3 %) dan hemoglobin F(kurang dari 1 %) juga
merupakan bagian dari hemoglobin dewasa komplemen.16,17
Asam amino merupakan komponen esensial pada setiap rantai globin. Posisi asam
amino yang unik pada setiap rantai yang menunjukkan spesifisitas asam amino itu sendiri
juga esensial dalam menentukan fungsi normal molekul hemoglobin. Adanya abnormallitas
pada sintesis atau struktur rantai protein dapat menyebabkan defek pada hemoglobin.16,17
17
Fungsi Hemoglobin
Transport oksigen merupakan fungsi utama hemoglobin. Selain itu, hemoglobin memiliki
kemampuan menarik CO2 dari jaringan untuk menjaga keseimbangan pH darah. Molekul
hemoglobin mengangkut O2 dengan dasar one-to-one, 1 molekul hemoglobin dengan 1
molekul O2 di lingkungan alveoli paru yang kaya oksigen. Hemoglobin menjadi tersaturasi
dengan O2 (oksihemoglobin) dan memiliki afinitas tinggi terhadap oksigen di lingkungan
paru, karena network kapiler di paru mengakibatkan difusi oksigen berlangsung cepat.
Sebagaimana molekul yang transit melalui sirkulasi, deoksihemoglobin berkemampuan
mentranspor oksigen dan mengirim ke jaringan dia area dengan afinitas oksigen rendah.
Proses loading dan unload ini memungkinkan hemoglobin mengalami perubahan bentuk,
yang disebut perubahan allosterik.16,17
Perubahan allosterik ini menjelaskan cara hemoglobin mengalami rotasi di aksisnya,
menentukan aksi salt bridge di antara struktur globin dan menentukan arah gerakan 2,3-DPG.
Ada 2 bentuk hemoglobin yaitu tense dan relaxed. Bentuk tense terjadi saat hemoglobin tidak
teroksigenasi, 2,3-DPG berada di tengah molekul, dan salt bridge antara rantai globin berada
di tempatnya. Saat teroksigenasi, terbentuk formasi relaxed, 2,3-DPG dilepas, salt bridge
rusak dan molekul dapat diisi oksigen.16,17
Destruksi Eritrosit
18
11-13,16
mitokondria atau reticulum endoplasma, namun memiliki enzim sitoplasmik yang mampu
mengadakan metabolisme glukosa dan membentuk sedikit ATP dan terutama dalam bentuk
NADPH. Selanjutnya NADPH berfungsi dalam :
Sistem metabolisme dalam eritrosit makin lama makin kurang aktif dan akhirnya sel menjadi
rapuh. 13,16
Destruksi Intravaskuler
Bila membran eritrosit rusak saat berada dalam sirkulasi, maka terjadi destruksi eritrosit
intravaskuler. Hal ini jarang, biasanya terjadi pada kasus hemolisis seperti transfusi
inkompatibel ABO dan hemoglobinuria nokturnal paroksismal dimana terdapat kompleks
komplemen yang membuat membran eritrosit berlubang. 13
Destruksi Ekstravaskuler
Sebagian besar hidup eritrosit berakhir saat dimakan oleh makrofag. Terdapat mekanisme
signaling agar makrofag dapat membedakan eritrosit muda normal dengan eritrosit yang
rusak, melalui berkurangnya deformabilitas eritrosit karena rusaknya membran sel atau
berubahnya viskositas dan/atau berubahnya properti permukaan eritrosit akibat ikatan
antigen-antibodi, berikatan dengan komponen komplemen atau suatu ikatan kimia, khususnya
yang menyebabkan kerusakan membran secara oksidatif.13
ETIOPATOGENESIS
19
Anemia merupakan suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh pelbagai penyebab. Pada
dasarnya anemia disebabkan oleh :
1.
2.
3.
4.
PATOFISIOLOGI
Derajat berat ringannya hipoksia jaringan dan adanya etiologi atau patogenesis yang spesifik
yang mengakibatkan beragamnya manifestasi klinis pada anemia. 1,8,18 Berkurangnya oxygencarrying capacity menggerakkan mekanisme kompensasi untuk mencegah atau memperbaiki
anoksia jaringan.1,8,18
20
22
23
Kondisi anemia menurunkan fraksi oksigen yang harus diekstraksi dalam setiap sirkulasi
sehingga dapat mempertahankan tekanan oksigen yang tinggi. Karena viskositas darah pada
anemia berkurang dan adanya dilatasi vaskuler secara selektif menurunkan resistensi perifer,
peningkatan curah jantung dapat dipertahankan tanpa peningkatan tekanan darah. Pada orang
yang sehat, peningkatan curah jantung saat istirahat terjadi bila konsentrasi hemoglobin
kurang dari 7 g/dl dan adanya hipereaktifitas jantung terjadi pada konsentrasi hemoglobin
yang lebih rendah lagi.8,18
Tanda hipereaktifitas jantung meliputi takikardia, peningkatan pulsasi arteri dan
kapiler dan adanya murmur akibat aliran hemodinamik. Murmur biasanya terdengar saat
sistol di apeks jantung atau sekitar katup pulmonal. Murmur dan bruit dapat juga terjadi di
beberapa tempat, seperti vena juguler, mata yang tertutup, regio parietal, dan dapat juga
berupa tinnitus (terutama malam hari). Tanda klinis ini menghilang bila konsentrasi
hemoglobin kembali normal. Miokardium dapat mentoleransi kondisi hipereaktifitas dalam
jangka waktu yang lama. Walaupun begitu, pada anemia yang berat atau pasien dengan
penyakit jantung koroner dapat terjadi angina pectoris dan gagal jantung dengan high-output.
Selain itu, juga ditemukan adanya kardiomegali, kongesti paru, asites dan edema.8,18
24
Aktifitas eritroid yang teraugmentasi memperlebar area sumsum tulang yang dapat
menyebabkan nyeri sternal dan nyeri tulang yang difus. Jumlah dan proporsi retikulosit
meningkat.8,18
koilonychia
Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologis pada defisiensi vitamin B12
Anemia hemolitik : ikterus, hepato-splenomegali
Anemia aplastik : perdarahan dan tanda-tanda infeksi
25
Nyeri pada tungkai, parestesia dan kesulitan berjalan mengarah pada anemia
pernisiosa2,8,18
3. Gejala penyakit dasar :
- Latar belakang geografis dan etnik yang terkait dengan peningkatan kelainan
herediter (defisiensi G6PD dan hemoglobinopati sering ditemukan di Timur Tengah
-
terjadi
bila post partum atau post abortion, ditanyakan banyaknya perdarahan dan interval
Selain itu, penting pula membandingkan dengan hasil pemeriksaan sebelumnya, bila ada.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium merupakan pemeriksaan diagnostik pokok dalam mendiagnosis
anemia. Pemeriksaan ini dibagi dalam :
1.
2.
3.
4.
pemeriksaan penyaring
pemeriksaan darah seri anemia
pemeriksaan sumsum tulang
pemeriksaan khusus
26
Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring merupakan pemeriksaan yang rutin dilakukan, yaitu pemeriksaan
darah perifer lengkap sebagai bagian dari evaluasi yang mencakup hemoglobin, hematokrit
dan indeks eritrosit, serta apusan darah tepi.2,8,18
Nilai hemoglobin dan hematokrit bervariasi, dipengaruhi oleh beberapa faktor
fisiologis seperti umur, jenis kelamin, kehamilan, merokok dan ketinggian. Nilai Hb yang
normal tinggi dapat ditemukan pada laki-laki dan wanita yang tinggal di dataran tiggi atau
perokok berat.2,8,18
Hemoglobin g/dL
Hematokrit %
At birth
17
52
Childhood
12
36
Adolescence
13
40
Adult man
16 (2)
47 (6)
13 (2)
40 (6)
14 (2)
42 (6)
During pregnancy
12 (2)
37 (6)
27
Indeks eritrosit mencakup Mean Cell Volume (MCV) dalam femtoliter (fl), Mean Cell
Hemoglobin (MCH) dalam pictogram per sel dan Mean Concentration of Hemoglobin per
Volume of Red Cells (MCHC) dalam gram per liter. 2,8,9,18
Normal Value
6
90 8 fL
30 3 pg
33 2%
MCV merupakan parameter yang paling stabil dalam hitung darah lengkap, dengan
variabilitas kurang dari 1 %. Nilai normal MCV menunjukkan bahwa ukuran eritrosit
berkisar 6-8 um. Namun dapat terjadi nilai MCV yang tersamar pada keadaan adanya cold
agglutinin, transfusi dan retikulositosis (adanya polychromatophilic macrocytes). Hal ini
dapat disebabkan oleh:
1. kontaminasi bila sampel diambil dari iv line
2. specimen pada pasien hiperglikema
3. pasien dalam kemoterapi tertentu. 2,8,9,18
MCH dan MCHC menggambarkan hemoglobinisasi eritrosit. Nilai normal MCH (2731 pg) menunjukkan rerata berat Hb pada eritrosit berada dalam kisaran yang sesuai, sedang
28
nilai normal MCHC (32-36 %) menunjukkan jumlah Hb dalam eritrosit berada dalam
konsentrasi yang sesuai. 2,8,9,18
Apusan darah tepi merupakan pemeriksaan untuk melihat adanya defek dalam
produksi eritrosit. Sebagai tambahan terhadap indeks eritrosit, apusan darah juga
menunjukkan variasi ukuran sel (anisocytosis) dan bentuk (poikilocytosis). Derajat
anisocytosis biasanya berkaitan dengan peningkatan red cell volume distribution width
(RDW) atau kisaran ukuran sel. Poikilocytosis menggambarkan adanya defek maturasi
prekursor eritrosit di sumsum tulang atau adanya fragmentasi eritrosit di sirkulasi. Apusan
darah dapat juga menunjukkan polychromasia (eritrosit yang sedikit lebih besar dari normal
dan berwarna biru keabu-abuan pada pewarnaan Wright-Giemsa). Sel ini merupakan
retikulosit yang dilepaskan dari sumsum tulang terlalu dini. Sel ini terlihat di sirkulasi sebagai
respon terhadap stimulasi EPO atau adanya kerusakan arsitektur sumsum tulang (fibrosis,
infiltasi sel ganas, dan lain-lain) yang mengakibatkan gangguan pelepasan eritrosit dari
sumsum tulang. Selain itu, adanya eritrosit berinti, Howell-Jolly bodies, sel target, sel sickle
dan lain-lain pada apusan darah dapat mengarah pada gangguan/penyakit yang spesifik. 2,8,18
Robert T. Means Jr. dan Bertil G. mengungkapkan perlunya pemeriksaan rutin
urinalisis pada pasien anemia. Pemeriksaan ini dilakukan walaupun warna urin tidak
mengarah adanya darah, karena masih memungkinkan adanya perdarahan samar. Adanya
reaksi yang positif dapat diakibatkan oleh hematuria, hemoglobinuria atau bahkan
mioglobinuria. Hematuria menggambarkan adanya penyakit pada ginjal atau traktus
urinarius. Hemoglobinuria menggambarkan adanya hemolisis.18
29
Hitung retikulosit
berkisar 1-2 % (normal) yang menggambarkan pergantian harian 0,8-1 % dari populasi
eritrosit di sirkulasi. Hitung retikulosit yang meningkat (retikulositosis) merupakan respon
terhadap adanya stress anemik.2,8,18
Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan ini hanya dilakukan atas indikasi khusus, seperti :
anemia defisiensi besi : serum iron, TIBC (total iron binding capacity), saturasi
transferrin, protoporfirin eritrosit, ferritin serum, reseptor transferrin dan pengecatan besi
Schiling
anemia hemolitik : bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis hemoglobin
anemia aplastik : biopsi sumsum tulang
Selain itu, diperlukan pula pemeriksaan tertentu, misal pemeriksaan faal hati, faal
30
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Untuk mengidentifikasi diagnosis anemia, harus dilakukan pemeriksaan yang terintegrasi,
baik anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Alur identifikasi dapat
dilakukan sebagai berikut.
32
33
34
35
36
37
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim. Chapter 58 : Anemia and Polycythemia. In : Fauci AS, Kasper DL, Longo DL,
Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, et al, editor. Harrisons Principles of Internal Medicine.
17th edition. New York: The McGraw-Hill Companies; 2008.
2. Bakta IM. Pendekatan terhadap Pasien Anemia. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Kelima. Jilid II. Jakarta:
InternaPublishing; 2009. Hal 1109-15.
3. WHO. Worldwide Prevalence of Anaemia 1993-2005 : WHO Global Database on Anaemia.
Spain: WHO; 2008.
4. Guralnik JM, Eisenstaedt RS, Ferrucci L, Klein HG, Woodman RC. Prevalence of anemia in
persons 65 year and older in United States: evidence for a high rate of unexplained anemia. Blood
2004
104:
2263-68.
Diunduh
dari
http://bloodjournal.hematologylibrary.org/misc/rights.dtl#repub_requests
5. Culleton BF, Manns BJ, Zhang J, Tonelli M, Klarenbach S, Hemmelgarn BR. Impact of anemia
on hospitalization and mortality in older adults. Blood 2006 107: 3841-46. Diunduh dari
http://bloodjournal.hematologylibrary.org/misc/rights.dtl#repub_requests
6. Tettamanti M, Lucca U, Gandini F, Recchia A, Mosconi P, Apolone G, et al. Prevalence, incidence
and types of mild anemia in the elderly: the Health and Anemia population-based study.
Haematologica 2010 95:xxx. Diunduh dari www.haematologica.org
7. Beutler E, Waalen J. The definition of anemia: what is the lower limit of normal of the blood
hemoglobin
concentration?
Blood
2006
107:
1747-50.
Diunduh
dari
http://bloodjournal.hematologylibrary.org/misc/rights.dtl#repub_requests
8. Means RT. Jr, Glader B. Chapter 26 Anemia : General Considerations. In : Greer JP, Foerster J,
Rodgers GM, Paraskevas F, Glader B, Arber DA, et al, editor. Wintrobes Clinical Hematology.
12th edition. Philadephia: Lippincott Williams & Wilkins; 2009.
9. Hove LV, Schisano T, Brace L. Anemia Diagnosis, Classification, and Monitoring Using Cell-Dyn
Technology Reviewed for the New Millenium. Laboratory Hematology 2000 6:93-108.
10. Soebandiri. Hemopoiesis. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Kelima. Jilid II. Jakarta: InternaPublishing; 2009. Hal
1105-8.
11. Anonym. 16 : Blood. In : Silverthorn DU. Human Physiology : An Integrated Approach. 2 nd
edition. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.; 2001. p. 474-96
12. Anonym. Bab 32 Sel-sel Darah Merah, Anemia dan Polisitemia. Dalam : Guyton AC, Hall JE.
Setiawan I, editor. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 1996. Hal 529-42
13. Anonym. Chapter 30. Production of Erythrocytes. In : Lichtman MA, Beutler E, Seligsohn U,
Kaushansky K, Kipps TO. Williams Hematology. 7th Edition. McGraw-Hill Medical;
14. Ciesla B. Chapter 2 From Hematopoiesis to the Complete Blood Count. In : Ciesla B.
Hematology in Practice. Philadelphia: F.A. Davis Company; 2007. P 15-22
15. Ciesla B. Chapter 3 Red Blood Cell Production, Function, and Relevant Red Cell Morphology.
In : Ciesla B. Hematology in Practice. Philadelphia: F.A. Davis Company; 2007. P 33-50
16. Dessypris EN, Sawyer ST. Chapter 6 Erythropoiesis. In : Greer JP, Foerster J, Rodgers GM,
Paraskevas F, Glader B, Arber DA, et al, editor. Wintrobes Clinical Hematology. 12 th edition.
Philadephia: Lippincott Williams & Wilkins; 2009.
17. Ciesla B. Chapter 4 Hemoglobin Function dan Principles of Hemolysis. In : Ciesla B.
Hematology in Practice. Philadelphia: F.A. Davis Company; 2007. P 51-64
38
18. Anonim. Chapter 32. Clinical Manifestations and Classification of Erythrocyte Disorders :
Overview. In : Lichtman MA, Beutler E, Seligsohn U, Kaushansky K, Kipps TO. Williams
Hematology. 7th Edition. McGraw-Hill Medical;
19.WHO. The Clinical Use of Blood. Geneva:WHO; 2002
39