Anda di halaman 1dari 39

ANEMIA

PENDAHULUAN
Anemia merupakan kelainan laboratorium yang paling sering ditemukan, 1 sekaligus masalah
medis yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh dunia 2, dan masalah kesehatan
masyarakat yang mempengaruhi populasi baik negara berkembang maupun negara maju3.
Oleh karena frekuensinya yang demikian sering, anemia (terutama anemia ringan) seringkali
tidak mendapat perhatian oleh para dokter.2
Anemia bukanlah suatu entitas penyakit, melainkan merupakan gejala berbagai
penyakit dasar.2 Oleh karena itu dalam hal diagnosis tidaklah cukup dengan hanya
mencantumkan label anemia tetapi harus dapat ditetapkan penyakit yang mendasari anemia
tersebut.
Dalam pandangan medis, anemia merupakan indikator nutrisi dan kesehatan yang
buruk. Hal ini dapat terlihat jelas pada dampak anemia terhadap meningkatnya risiko
kematian ibu dan anak.3 Selain itu, anemia defisiensi besi (ADB) sebagai kasus anemia paling
sering mengakibatkan defek perkembangan kognitif dan fisik pada anak, dan berkurangnya
produktifitas bekerja pada dewasa.3
Hal yang cukup penting adalah wacana dan persepsi masyarakat tentang anemia.
Sebagian masyarakat menganggap gejala 3L (lemah, letih dan lesu) merupakan patokan
seseorang menderita anemia. Kemudian mereka mengkonsumsi hematinik yang mereka kenal
sebagai obat penambah darah sebagai langkah pertama yang diambil, tanpa konsultasi
kepada tenaga kesehatan.
Pendekatan terhadap pasien anemia memerlukan pemahaman yang komprehensif
sehingga dapat terbentuk diagnosis dan tata laksana (termasuk edukasi) yang holistic. Pada
tingkat pelayanan kesehatan komunitas dipersiapkan program dan sarana pada pelayanan
kesehatan primer yang sesuai dengan kondisi populasi masing-masing.

PREVALENSI
Berdasarkan data WHO, prevalensi anemia di dunia pada tahun 1993-2005 adalah 1,62
milyar orang, sekitar 24,6 % dari jumlah penduduk. Data ini diperoleh melalui data survey
dan estimasi regression-based. Prevalensi tertinggi terdapat pada kelompok anak usia pra
sekolah sedang prevalensi terendah terdapat pada laki-laki dewasa. Walaupun begitu, jumlah
populasi terbesar terjadinya anemia terdapat pada wanita yang tidak hamil.3

Tabel 1 Prevalensi dan Jumlah Penderita Anemia di Dunia Tahun 1993-2005 menurut WHO
Grup Populasi

Prevalensi (%)

Jumlah yang Terkena pada


Populasi (dalam juta orang)
293

Anak usia pra sekolah

47,4

Anak usia sekolah

25,4

305

Wanita hamil

41,8

56

Wanita dewasa tidak hamil

30,2

468

Laki-laki dewasa

12,7

260

Usia lanjut

23,9

164

Dari tabel 1 dapat kita lihat adanya prevalensi yang tinggi pada 3 golongan yang
dipertimbangkan sebagai golongan yang rentan, yaitu anak usia pra sekolah, wanita hamil
dan wanita produktif yang tidak hamil.

Tabel 2 Prevalensi dan Jumlah Populasi yang Terkena pada 3 Golongan Populasi yang Rentan
menurut WHO
2

Dari tabel 2 didapatkan bahwa secara proporsi pada ketiga golongan yang rentan
terbanyak terdapat di Afrika, sedangkan jumlah individu yang terkena terbanyak adalah di
Asia Tenggara.
Selain data WHO ini, American Society of Hematology memaparkan prevalensi
anemia meningkat seiring bertambahnya usia.4,5 Proporsi anemia pada usia lanjut meningkat
dengan adanya komorbiditas seperti diabetes mellitus dan penyakit ginjal kronik. 4,5 Anemia
terkait dengan meningkatnya risiko hospitalisasi dan kematian.5 Selain itu, anemia juga
menunjukkan dampak yang negatif terhadap kualitas hidup dan fungsi fisiologi pada usia
lanjut.4,5 Suatu studi lain di Biella, Italia, bahwa lebih dari satu di antara 10 orang dengan usia
lanjut (lebih dari 65 tahun) mengalami anemia dan sebagian besar anemia ringan (Hb lakilaki 10-12,9 g/dl dan Hb wanita 10-11,9). 6 Jenis anemia yang didapatkan adalah anemia pada
penyakit kronik, thalassemia trait (karena 83 % dari yang mengalami thalassemia ini tinggal
di daerah dengan prevalensi thalassemia tinggi) dan anemia yang tidak dapat dijelaskan. 6 Satu
per tiga dari anemia yang tidak dapat dijelaskan memperlihatkan gambaran myelodysplastic
syndrome.6
Dari data WHO ini menggambarkan bahwa 1 dari 4 orang terkena anemia dengan
wanita hamil dan anak usia pra sekolah adalah kelompok risiko tertinggi. 3 Selain itu, anemia
3

merupakan masalah kesehatan komunitas.3 Anemia pada wanita dan anak-anak di sebagian
besar negara anggota WHO (132 dari 159 negara) tercatat dalam derajat sedang-berat. 3 Hal
ini menjadi urgensi untuk mengevaluasi ulang strategi yang ada untuk menangani anemia,
dan dibutuhkan penanganan dengan pendekatan terintegrasi.
Dalam hal pelayanan kesehatan primer, anemia merupakan salah satu masalah yang
sering sekaligus penting untuk diidentifikasi dan ditata laksana secara holistik.

KRITERIA ANEMIA
Parameter yang paling diyakini dan paling umum 2 dipakai untuk menunjukkan penurunan
massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. 2,7-9
Eritrosit bersirkulasi dalam darah perifer selama 100-120 hari dan sekitar 1 % eritrosit hilang
dan diganti setiap hari.8,10,11 Eritrosit tua dikeluarkan dari sirkulasi oleh makrofag di limpa,
hepar dan sumsum tulang.8 Sistem feedback loop eritropoiesis harus menjamin massa eritrosit
total tetap konstan.8 Berkurangnya massa eritrosit yang melebihi produksinya mengakibatkan
peningkatan klirens eritrosit, penurunan produksi eritrosit atau kedua-duanya.8
Secara fungsional, anemia merupakan pengurangan jumlah massa eritrosit.2,8 Anemia
secara umum terkait dengan berkurangnya oxygen-carrying capacity pada darah, sehingga
secara praktis ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung
eritrosit.2,7-9 Namun, terdapat keadaan-keadaan tertentu dimana ketiga parameter tersebut
tidak sejalan dengan massa eritrosit, seperti pada dehidrasi, perdarahan akut dan
kehamilan.2,8,9 Masalah lain adalah berapa kadar hemoglobin, hematrokrit dan hitung eritrosit
yang dianggap anemia.2,7-9
Distribusi nilai Hb bervariasi yang dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin dan status
fisiologis (misal kehamilan). WHO menetapkan nilai ambang Hb dalam kriteria anemia
sebagai berikut.

Tabel 3 Kriteria Anemia menurut WHO


Kelompok Usia dan Gender

Ambang Hemoglobin (g/dl)


4

Anak (< 5 tahun)

< 11,0

Anak (5-12 tahun)

< 11,5

Anak (12-14 tahun)

< 12,0

Laki-laki dewasa

< 13,0

Wanita hamil

< 11,0

Wanita dewasa tidak hamil

< 12,0

Selain itu, ada terdapat beberapa acuan penetapan kadar Hb untuk penilaian anemia.

Tabel 4 Beberapa Acuan Penetapan Kadar Hb untuk Penilaian Anemia pada Dewasa

Sedangkan American Society of Hematology mengajukan batasan nilai hemoglobin


untuk anemia dengan penggolongan populasi berdasar umur dan warna kulit. Nilai ajuan ini
didasarkan pada data base NHANES-III (The third US National Health and Nutrition
Examination Survey) dan data base Scripps-Kaiser selama tahun 1993-2002.7

Tabel 5 Nilai Ajuan Kadar Hb untuk Penilaian Anemia menurut American Society of
Hematology

Untuk keperluan klinik di Indonesia, kriteria-kriteria yang telah disebutkan sulit untuk
dilaksanakan. Apabila digunakan secara ketat maka sebagian besar pasien yang mengunjungi
poliklinik atau dirawat di rumah sakit akan memerlukan permeriksaan work up anemia lebih
lanjut. Oleh karena itu beberapa peneliti di Indonesia memakai kriteria Hb kurang dari 10
g/dl sebagai awal dari work up anemia.2

HEMATOPOIESIS
Hematopoiesis merupakan proses pembentukan elemen-elemen darah, yaitu sel darah merah,
granulosit, monosit, trombosit dan sel-sel imun.1 Sel darah yang berbeda ini merupakan
turunan dari sel prekursor tunggal yang disebut pluripotent hematopoietic stem cell (PHSC).
1,10-15

PHSC sebagian besar terdapat di sumsum tulang. PHSC memiliki kemampuan dalam

penyusunan (assortment) committed stem cell, kemudian sel tersebut akan berdiferensiasi
menjadi eritrosit, leukosit dan megakarosit.1,10-15 Diperkirakan hanya sekitar 1 dari 100.000 sel
di sumsum tulang merupakan stem cell yang tidak mengalami diferensiasi.11

Gambar 1. Hematopoiesis

Hematopoiesis bermula pertama kali saat perkembangan embrio dan berlangsung


selama manusia hidup.11-15 Pada sekitar minggu ketiga perkembangan fetus, terdapat sel
tertentu pada yolk sac membentuk cluster.11 Cluster ini sebagian ditujukan untuk
pembentukan endotel vaskuler sedangkan sebagian lagi membentuk sel darah. Seiring dengan
perrkembangan embrio produksi sel darah menyebar dari yolk sac, hepar (organ utama
eritropoiesis pertengahan trimester gestasi), limpa, limfonodus dan sumsum tulang. 11-15 Saat
bulan terakhir dan sesudah lahir hanya sumsum tulang yang memproduksi sel darah. 11,12,14,15
Setelah lahir hematopoiesis berlangsung di seluruh tulang hingga usia 5 tahun. 11,12,14,15
Walaupun begitu, apabila terjadi kebutuhan eritropoiesis meningkat (blood loss, hipoksia,
thallasemia atau hemolisis) dapat mengaktifkan eritropoiesis ekstramedula di hepar dan limpa
sebagai mekanisme kompensasi.13

Pada manusia dewasa (lebih dari 20 tahun) hanya vertebrae, sternum, costae,
tulang pelvis (ileum) dan tulang panjang pada ujung proksimal (humerus dan tibia)
yang memproduksi sel darah.11--15 Sumsum tulang yang aktif berwarna merah karena
adanya hemoglobin11 sedang sumsum tulang yang inaktif berwarna kuning karena
banyaknya sel lemak. 11,12,14,15 Namun seiring dengan bertambahnya usia, daerah aktif
pada sumsum tulang berkurang11-13 seiring dengan meningkatnya jaringan lemak
secara bertahap13. Mekanisme hematopoiesis ekstramedula lebih diindikasikan kondisi
yang patologis dibandingkan kondisi kompensatorik.13
Sekitar 25% yang dihasilkan dari sumsum tulang yang aktif adalah eritrosit dan 75%
adalah leukosit.11 Umur leukosit lebih singkat dibandingkan umur eritrosit sehingga leukosit
harus diproduksi lebih sering.11

Gambar 2. Regulasi Fisiologis Eritropoiesis

Pada studi saat ini akan lebih diulas mengenai eritropoiesis, dalam kaitannya dengan
anemia.

ERITROPOIESIS
Massa eritrosit berkembang menjadi besar untuk mentranspor oksigen ke jaringan. Maka dari
itu, ukuran massa eritrosit dan laju produksi eritrosit harus terkait erat dengan suplai dan
kebutuhan oksigen di jaringan.13

Peran Komponen Seluler pada Eritropoiesis


Sel Progenitor
Eritroid progenitor yang paling dini adalah burst forming unit-erythroid (BFU-E),
mengandung sel yang dapat bermigrasi. Sel-sel ini membentuk cluster yang lebih kecil di
sekitar koloni sentral (Sunburst appearance). BFU-E mengekspresikan reseptor Epo (EpoR).
Selain itu, BFU-E berdiferensiasi menjadi colony forming unit-erythroid (CFU-E). Densitas
EpoR dan kebergantungan Epo meningkat secara bertahap seiring dengan pematangan sel
progenitor.13,16
Sel Prekursor
Jumlah sel prekursor eritroid menentukan jumlah eritrosit yang diproduksi. Sel prekursor
pertama adalah proeritroblast.12,13,16 Proeritroblast mengandung EpoR, yang dapat
mengakselerasi divisi mitosis pertama bila kadar Epo tinggi. Proses ini mengakibatkan masa
transit eritroblast di sumsum tulang memendek sehingga menghasilkan pelepasan retikulosit
imatur (stress reticulocytes).12,16
Pembentukan eritrosit yang normal merupakan hasil akhir dari transformasi
proeritroblast yang berinti besar dengan volume 900 fl menjadi diskus tanpa inti dengan
volume 90 fl. Setiap proeritroblast mengalami 5 kali pembelahan selama 5 hari hingga
proeritroblas kehilangan inti sel lalu terjadi maturasi (2-3 hari), dan akhirnya dilepaskan dari
sumsum tulang. Pada suatu pengukuran langsung didapatkan sekitar 50 eritroblast dan 113
retikulosit untuk setiap proeritroblast. Hal ini menjelaskan distribusi jumlah sel dalam teori
pyramid eritroid.13,16
9

Gambar 3. Peran Reseptor Transferrin dan Fibronectin dalam Eritropoiesis

Ukuran dan bentuk pyramid eritroid beragam. Saat terjadi supresi produksi, seperti
anemia pada penyakit ginjal kronik, distribusi eritroblast terlihat normal, tanpa adanya
gambaran morfologi atau ferrokinetic suatu eritropoiesis yang inefektif atau apoptosis
eritroblast yang abnormal. Saat produksi meningkat, seperti pada anemia hemolitik berat,
pyramid eritroblast juga terlihat nornmal, tanpa adanya mitosis tambah. Hal ini menunjukkan
bahwa laju eritropoiesis tampaknya bergantung pada jumlah pyramid eritroid (progenitor)
yang dibentuk dan bukan pada bentuknya.13,16
Saat eritroblast matur, aktifitas sintesis meningkat cepat, yaitu produksi seluruh
protein yang karakteristik untuk eritrosit matur, khususnya globin. Sembilan puluh lima
persen protein dalam eritrosit adalah hemoglobin, pada dewasa sebagian besar Hb A, dengan
sedikit Hb F dan Hb A2.11,12,13,16
Terjadi beberapa perubahan saat maturitas eritroblast. Densitas EpoR menurun secara
tajam saat awal terbentuk eritroblast dan hilang saat terbentuk eritroblast matur. Namun
terjadi peningkatan tajam jumlah reseptor transferrin, yang menunjukkan meningkatkan
kebutuhan besi untuk sintesis heme. Selain itu, dibutuhkan pula lingkungan mikro untuk
proliferasi dan maturasi eritroblast. Molekul adhesi interseluler menjaga integritas struktur
10

sumsum tulang dan fibronectin memiliki kepentingan tersendiri untuk eritroblast. Hilangnya
reseptor fibronectin menandakan adanya migrasi retikulosit ke darah namun sebagian
retikulosit tetap kaku bahkan setelah dilepas ke darah dan disekuestrasi sementara oleh limpa.
Adanya enukleasi dapat diinduksi oleh stroma sumsum tulang atau sel endotel.13,16
Pematangan eritrosit dibantu oleh dua vitamin, yaitu vitamin B12 dan asam folat.12

Gambar 4. Skema Diferensiasi Eritroid

Regulasi Eritropoiesis
Eritropoiesis dipengaruhi oleh hormon/sitokin, reseptor dan faktor transkripsi.11,13,16 Faktor
transkripsi GATA-1 berperan penting dalam eritropoiesis normal dan mengaktifasi beberapa
gen spesifik eritroid termasuk globin dan protein sitoskeleton eritrosit. GATA-1 bersama Epo
menginduksi ekspresi protein anti apoptosis (Bcl-Xl) dan berinteraksi dengan beberapa
11

protein (FOG-1 & PU.1). Interaksi fisis secara langsung antara GATA-1 dan FOG-1 penting
dalam maturasi eritroid dan megakariosit normal manusia. Sebaliknya, interaksi GATA-1
dengan PU.1 menginhibisi eritropoiesis dan diperlukan augmentasi yang tepat pada
eritropoiesis manusia dewasa dengan stres. Tidak adanya PU.1 dibutuhkan pada akhir proses
diferensiasi eritroid.1,11,13
PHSC dan BFU-E membutuhkan stem cell factor, interleukin-3, granulocytemacrophage colony stimulating factor dan trombopoietin untuk pertumbuhan dan
keberlangsungan hidupnya.11,13,16

Gambar 4. Regulasi Eritropoiesis oleh Hipoksia dan Peran Sitokin

Eritropoietin
Hormon utama yang meregulasi eritropoiesis adalah eritropoietin (Epo). Selama
perkembangan fetus, sebagian besar Epo diproduksi hepar. Saat lahir terjadi peralihan
produksi Epo secara bertahap oleh ginjal. Pada dewasa, ginjal memproduksi 90-95 % Epo,
sisanya dibentuk di hepar (7 %). Progenitor eritroid mengekspresikan Epo masing-masing
dan dibutuhkan kadar yang berbeda untuk optimalisasi proses maturasi eritroid.13,16
Produksi Epo diatur oleh kondisi hipoksia pada level transkripsi. Epo tidak disimpan
melainkan segera disekresi. Epo diekskresi melalui urin sejumlah 10 % dari seluruh Epo
dalam tubuh dan didegradasi setelah berikatan dengan EpoR.13,16

12

Gambar 5. Respon Eritropoietin terhadap Hemoglobin

Hypoxia Inducible Faktor-1 (HIF-1)


Pada kondisi normal produksi Epo diperantarai oleh menurunnya saturasi oksigen
hemoglobin

(hipoksemia).

Regulasi

homeostasis

oksigen

sangat

penting

untuk

keberlangsungan hidup. Beberapa mekanisme kompensasi terjadi sebagai respon terhadap


hipoksia.13
HIF-1 berperan dalam kondisi hipoksia melalui regulasi transkripsi Epo. HIF-1
merupakan

bagian

dari

mekanisme

oxygen-sensing.

HIF-1

mengatur

gen

yang

mempertahankan kebertahanan hidup sel dalam kondisi iskemia.13


Terdapat 2 sub unit HIF-1, yaitu HIF-1 alpha dan HIF-1 beta. Hanya HIF-1 alpha
yang diregulasi oleh hipoksia, dan didegradasi secara cepat saat terjadi normoxia. Kondisi
yang kompleks ini membentuk sensor terhadap oksigen.13

13

Gambar 6. HIF-1 dalam Eritropoiesis

Reseptor Eritropoietin (EpoR)


Interaksi antara Epo dan EpoR mengakibatkan :

Stimulasi pembelahan sel eritroid

Diferensiasi eritroid yang diinduksi oleh ekspresi protein spesifik eritroid

Prevensi apoptosis progenitor eritroid

Sitoplasma EpoR mengandung domain regulasi positif yang berinteraksi dengan janus kinase
2 (JAK2). Setelah Epo dan EpoR berikatan, terjadi fosforilasi JAK2, EpoR dan protein
lainnya (STAT-5) yang mengakibatkan inisiasi kaskade erythroid-spesific signaling untuk
terjadinya diferensiasi PHSC menjadi BFU-E. Selain itu, sitoplasma EpoR pun mengandung
domain regulasi negatif yang berinteraksi dengan hematopoietic cell phosphatase (HCP) dan
menginaktifasi transduksi sinyal.13,16

14

Gambar 7. Interaksi EPO dan EPOR

Sistem Renin Angiotensin Aldosteron


Sistem renin angiotensin aldosteron (SRAA) mengatur homeostasis cairan dan elektrolit serta
tekanan darah. Dalam kaitannya dengan eritropoiesis, didasarkan pada berkurangnya tekanan
oksigen di ginjal memicu HIF-1 untuk menginduksi pelepasan Epo. Selain itu, Angiotensin II
secara bermakna memodulasi eritropoiesis.13,16

Hemoglobin
Hemoglobin merupakan substansi nyawa pada setiap eritrosit, karena merupakan komponen
pembawa oksigen. Setiap eritrosit tak lain merupakan kantong berisi cairan dalam hal ini
hemoglobin. Selama 120 hari, eritrosit dengan kadar hemoglobin yang normal berada dalam
sirkulasi. Setiap organ mayor pada tubuh manusia bergantung pada oksigenasi untuk
pertumbuhan dan menjalankan fungsinya. Proses ini secara tepat berada dalam kendali
hemoglobin.16,17
Molekul hemoglobin terdiri dari 2 struktur primer, yaitu :
1. Heme. Struktur ini melibatkan 4 atom besi dalam bentuk ferro (Fe2) besi dalam bentuk
ferri (Fe3) tidak dapat mengikat oksigen- yang dilingkupi oleh protoporphyrin IX
(porphyrin ring) struktur yang dibentuk di dalam eritrosit berinti. Protoporphyrin IX
15

merupakan produk akhir dalam sintesis heme. Saat besi terinkorporasi, besi bergabung
dengan protoporphyrin untuk membentuk molekul heme yang lengkap.17
2. Globin. Globin mengandung asam amino yang saling terhubung membentuk rantai
polipeptida. Rantai yang paling penting pada hemoglobin dewasa adalah rantai alpha dan
beta. Heme dan globin terhubung oleh ikatan kimia.17
Struktur tambahan yang menyokong molekul hemoglobin adalah 2,3-DPG substansi yang
dihasilkan melalui jalur Embden-Meyerhof selama glikolisis anaerob. Struktur ini yang
berkaitan dengan afinitas oksigen hemoglobin.16,17

Gambar 8. Struktur Hemoglobin

Setiap hemoglobin terdiri dari 4 struktur heme dengan besi di tengah dan 2 pasang
rantai globin. Hemoglobin mulai disintesis pada stadium normoblast polikromatis. Enam
puluh lima persen hemoglobin disintesis sebelum nucleus dikeluarkan, dan sisanya disintesis
saat stadium retikulosit. Eritrosit matur yang normal memiliki komplemen hemoglobin yang
lengkap.17

Jenis Hemoglobin
Terdapat 3 jenis hemoglobin yang disintesis : hemoglobin embrionik, hemoglobin fetus dan
hemoglobin dewasa. Setiap jenis hemoglobin memiliki penyusunan rantai globin yang
spesifik dan setiap globin dipengaruhi oleh kromosom yang spesifik pula.17
Kromosom 11 mengandung gen untuk produksi rantai epsilon, beta, gamma dan delta.
Setiap individu memiliki 2 gen untuk produksi rantai-rantai ini karena tiap parent
memberikan 1 gen. Kromosom 16 mengandung gen untuk produksi rantai alpha dan zeta.
16

Terdapat 2 gen untuk produksi rantai alpha dan 1 gen untuk rantai zeta sehingga tiap individu
memiliki 4 gen untuk rantai alpha dan 2 gen untuk rantai zeta. Rantai alpha merupakan
komponen yang konstan pada hemoglobin dewasa. Maka dari itu, setiap hemoglobin
memiliki 2 rantai alpha sebagai bagian dari konfigurasi kimiawinya. Rantai epsilon dan zeta
digunakan untuk produksi hemoglobin embrionik.16,17
Seiring dengan perkembangan embrio, hemoglobin Gower I dan II dan hemoglobin
Portland disintesis, lalu bertahan di embrio selama 3 bulan. Lalu beralih pada perkembangan
fetus dan mulailah sintesis hemoglobin F. Hemoglobin F merupakan hemoglobin terbanyak
hingga lahir. Antara bulan ketiga dan keenam post partum jumlah rantai gamma menurun dan
jumlah rantai beta meningkat, sehingga hemoglobin A terdapat paling banyak di hemoglobin
dewasa (95-98 %). Hemoglobin A2 (1-3 %) dan hemoglobin F(kurang dari 1 %) juga
merupakan bagian dari hemoglobin dewasa komplemen.16,17

Gambar 9. Sintesis Hemoglobin

Asam amino merupakan komponen esensial pada setiap rantai globin. Posisi asam
amino yang unik pada setiap rantai yang menunjukkan spesifisitas asam amino itu sendiri
juga esensial dalam menentukan fungsi normal molekul hemoglobin. Adanya abnormallitas
pada sintesis atau struktur rantai protein dapat menyebabkan defek pada hemoglobin.16,17

17

Fungsi Hemoglobin
Transport oksigen merupakan fungsi utama hemoglobin. Selain itu, hemoglobin memiliki
kemampuan menarik CO2 dari jaringan untuk menjaga keseimbangan pH darah. Molekul
hemoglobin mengangkut O2 dengan dasar one-to-one, 1 molekul hemoglobin dengan 1
molekul O2 di lingkungan alveoli paru yang kaya oksigen. Hemoglobin menjadi tersaturasi
dengan O2 (oksihemoglobin) dan memiliki afinitas tinggi terhadap oksigen di lingkungan
paru, karena network kapiler di paru mengakibatkan difusi oksigen berlangsung cepat.
Sebagaimana molekul yang transit melalui sirkulasi, deoksihemoglobin berkemampuan
mentranspor oksigen dan mengirim ke jaringan dia area dengan afinitas oksigen rendah.
Proses loading dan unload ini memungkinkan hemoglobin mengalami perubahan bentuk,
yang disebut perubahan allosterik.16,17
Perubahan allosterik ini menjelaskan cara hemoglobin mengalami rotasi di aksisnya,
menentukan aksi salt bridge di antara struktur globin dan menentukan arah gerakan 2,3-DPG.
Ada 2 bentuk hemoglobin yaitu tense dan relaxed. Bentuk tense terjadi saat hemoglobin tidak
teroksigenasi, 2,3-DPG berada di tengah molekul, dan salt bridge antara rantai globin berada
di tempatnya. Saat teroksigenasi, terbentuk formasi relaxed, 2,3-DPG dilepas, salt bridge
rusak dan molekul dapat diisi oksigen.16,17

Gambar 10. Bentuk hemoglobin

Destruksi Eritrosit
18

Eritrosit hidup di sirkulasi sekitar 120 hari.

11-13,16

Walaupun eritrosit matur tidak berinti,

mitokondria atau reticulum endoplasma, namun memiliki enzim sitoplasmik yang mampu
mengadakan metabolisme glukosa dan membentuk sedikit ATP dan terutama dalam bentuk
NADPH. Selanjutnya NADPH berfungsi dalam :

mempertahakan kelenturan membran sel

mempertahankan transport ion melalui membran

mempertahankan besi hemoglobin sel agar tetap dalam bentuk fero

mencegah oksidasi protein dalam eritrosit.

Sistem metabolisme dalam eritrosit makin lama makin kurang aktif dan akhirnya sel menjadi
rapuh. 13,16

Destruksi Intravaskuler
Bila membran eritrosit rusak saat berada dalam sirkulasi, maka terjadi destruksi eritrosit
intravaskuler. Hal ini jarang, biasanya terjadi pada kasus hemolisis seperti transfusi
inkompatibel ABO dan hemoglobinuria nokturnal paroksismal dimana terdapat kompleks
komplemen yang membuat membran eritrosit berlubang. 13

Destruksi Ekstravaskuler
Sebagian besar hidup eritrosit berakhir saat dimakan oleh makrofag. Terdapat mekanisme
signaling agar makrofag dapat membedakan eritrosit muda normal dengan eritrosit yang
rusak, melalui berkurangnya deformabilitas eritrosit karena rusaknya membran sel atau
berubahnya viskositas dan/atau berubahnya properti permukaan eritrosit akibat ikatan
antigen-antibodi, berikatan dengan komponen komplemen atau suatu ikatan kimia, khususnya
yang menyebabkan kerusakan membran secara oksidatif.13

ETIOPATOGENESIS

19

Anemia merupakan suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh pelbagai penyebab. Pada
dasarnya anemia disebabkan oleh :
1.
2.
3.
4.

Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang


Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan)
Proses penghancuran dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis)
Patogenesis yang kompleks atau tidak diketahui.2

Tabel 6 Klasifikasi Anemia menurut Etiopatogenesis


Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang
1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
a. Anemia defisiensi besi
b. Anemia defisiensi asam folat
c. Anemia defisiensi vitamin B12
2. Gangguan penggunaan (utilisasi) besi
a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sumsum tulang
a. Anemia aplastic
b. Anemia mieloptisik
c. Anemia pada keganasan hematologi
d. Anemia diseritropoieik
e. Anemia pada sindrom mielodisplastik
Anemia akibat kekurangan eritropoietin : anemia pada gagal ginjal kronik
Anemia akibat hemoragi
1. Anemia pasca perdarahan akut
2. Anemia akibat perdarahan kronik
Anemia hemolitik
1. Anemia hemolitik intrakorpuskular
a. Membranopati
b. Enzimopati : anemia akibat defisiensi G6PD
c. Hemoglobinopati : thalassemia, hemoglobinopati structural (HbS, HbE)
2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskular
a. Anemia hemolitik autoimun
b. Anemia hemolitik mikroangiopatik
c. Lain-lain
Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang kompleks

PATOFISIOLOGI
Derajat berat ringannya hipoksia jaringan dan adanya etiologi atau patogenesis yang spesifik
yang mengakibatkan beragamnya manifestasi klinis pada anemia. 1,8,18 Berkurangnya oxygencarrying capacity menggerakkan mekanisme kompensasi untuk mencegah atau memperbaiki
anoksia jaringan.1,8,18
20

Efek pada Transpor Oksigen


Hipoksia jaringan terjadi bila tekanan oksigen di kapiler terlalu rendah untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme sel. Pada orang normal, eritrosit harus memenuhi kebutuhan oksigen
untuk jaringan tubuh total sekitar 250 mL/menit. Kebutuhan tersebut dipenuhi mengingat
oxygen-carryong capacity pada darah normal sekitar 200 mL/L darah dan curah jantung
berkisar 5000 mL/menit, hal ini berarti terdapat 1000 mL/menit oksigen pada tingkat
jaringan. Ekstraksi bagian ini mengakibatkan adanya gradien tekanan oksigen. Gradien ini
yang mempertahankan tekanan difusi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
sel. Pada anemia, adanya ekstraksi tersebut menyebabkan desaturasi hemoglobin yang lebih
besar dan tekanan oksigen yang lebih rendah pada kapiler (venous end). Anoksia yang terjadi
mengakibatkan sejumlah kompesasi dan penyesuaian suplai darah dan oksigen, dan
mengakibatkan munculnya gejala-gejala pada anemia.8,18

Gambar 11. Pengaruh Gradien Tekanan Oksigen

Hypoxia-Inducible Trancscription Faktor 1


Peran HIF-1 dalam regulasi proteksi terhadap hipoksia meliputi control respirasi, regulasi
transkripsi gen glikolisis, angiogenesis dan metabolisme energi.8,18
21

Gambar 12. HIF-1 sebagai Regulator pada Eritropoiesis

Berkurangnya Konsumsi Oksigen


Metabolisme energi pada suplai oksigen yang optimal dihasilkan melalui fosforilasi oksidatif
yang efisien. Pada kondisi hipoksia energi dihasilkan oleh glikolisis yang kurang efisien,
dibantu oleh up-regulation transkripsi gen enzim glikolisis dan peningkatan transport glukosa
(Pasteur effect).8,18

Berkurangnya Afinitas Oksigen


Meningkatnya pengiriman oksigen jaringan yang efisien diiringi oleh berkurang afinitas
hemoglobin dengan oksigen. Hal ini mengakibatkan meningkatnya ekstraksi oksigen. Dalam
kondisi akut perubahan pH yang sangat kecil mengakibatkan efek yang besar terhadap kurva
disosiasi karena adanya Bohr effect. Dalam kondisi kronik adanya peningkatan pengiriman
oksigen jaringan diiringi peningkatan jumlah 2,3-diphosphoglycerate (2,3-DPG). Pada
anemia peningkatan 2,3-DPG ini disertai peningkatan pH intrasel eritrosit melalui alkalosis
respiratorik.8,18

22

Gambar 13. Kurva Disosiasi

Peningkatan Perfusi Jaringan


Seiring dengan berkurangnya oxygen-carrying capacity, tekanan oksigen jaringan dapat
dikompensasi dengan peningkatan perfusi jaringan melalui perubahan aktifitas vasomotor
dan angiogenesis. Hal ini bersifat selektif terhadap organ yang dilengkapi dengan adanya
pengalihan darah dari area donor non vital menuju organ resipien yang sensitif terhadap
oksigen. Pada anemia akut area donor yang utama adalah bantalan mesenterium dan iliaka
sedangkan pada anemia kronis area donor adalah jaringan kutaneus dan ginjal.8,18
Vasokonstriksi dan penurunan oksigen di kulit menyebabkan gambaran pucat di kulit.
Di ginjal suplai oksigen pada kondisi di bawah normal melebihi kebutuhan oksigen, dan
perfusi ginjal dapat ditoleransi meskipun pada penurunan oksigen yang berat. Walaupun
begitu, organ dengan kebutuhan oksigen yang besar (miokardium, otak dan otot) sebagian
besar tidak terpengaruh oleh penurunan ringan oxygen-carrying capacity.8,18

Peningkatan Curah Jantung

23

Kondisi anemia menurunkan fraksi oksigen yang harus diekstraksi dalam setiap sirkulasi
sehingga dapat mempertahankan tekanan oksigen yang tinggi. Karena viskositas darah pada
anemia berkurang dan adanya dilatasi vaskuler secara selektif menurunkan resistensi perifer,
peningkatan curah jantung dapat dipertahankan tanpa peningkatan tekanan darah. Pada orang
yang sehat, peningkatan curah jantung saat istirahat terjadi bila konsentrasi hemoglobin
kurang dari 7 g/dl dan adanya hipereaktifitas jantung terjadi pada konsentrasi hemoglobin
yang lebih rendah lagi.8,18
Tanda hipereaktifitas jantung meliputi takikardia, peningkatan pulsasi arteri dan
kapiler dan adanya murmur akibat aliran hemodinamik. Murmur biasanya terdengar saat
sistol di apeks jantung atau sekitar katup pulmonal. Murmur dan bruit dapat juga terjadi di
beberapa tempat, seperti vena juguler, mata yang tertutup, regio parietal, dan dapat juga
berupa tinnitus (terutama malam hari). Tanda klinis ini menghilang bila konsentrasi
hemoglobin kembali normal. Miokardium dapat mentoleransi kondisi hipereaktifitas dalam
jangka waktu yang lama. Walaupun begitu, pada anemia yang berat atau pasien dengan
penyakit jantung koroner dapat terjadi angina pectoris dan gagal jantung dengan high-output.
Selain itu, juga ditemukan adanya kardiomegali, kongesti paru, asites dan edema.8,18

Peningkatan Fungsi Paru


Anemia dapat dikompensasi dengan meningkatnya laju respirasi. Hal ini mengurangi gradien
oksigen dan meningkatkan jumlah oksigen yang tersedia untuk oksigenasi melebihi curah
jantung normal. Secara klinis dapat ditemukan sesak saat beraktifitas dan orthopnea pada
anemia berat.8,18

Peningkatan Produksi Eritrosit


Respon paling tepat terhadap anemia adalah adanya kompensasi berupa peningkatan produksi
eritrosit yang dapat berkisar 2-3 kali lipat pada kasus akut atau 4-6 kali lipat pada kasus
kronik. Peningkatan ini diperantarai oleh peningkatan eritropoietin. Perubahan kadar
eritropoietin secara logaritmik merupakan kompensasi untuk menjamin keseimbangan
produksi eritrosit terhadap destruksi eritrosit atau blood loss ringan yang kronik.8,18

24

Aktifitas eritroid yang teraugmentasi memperlebar area sumsum tulang yang dapat
menyebabkan nyeri sternal dan nyeri tulang yang difus. Jumlah dan proporsi retikulosit
meningkat.8,18

Hipoksia Jaringan yang Tidak Terkoreksi


Hipoksia jaringan tetap bertahan dalam beberapa gradasi tertentu walaupun mekanisme
kompensasi sudah terjadi. Hipoksia merupakan sinyal awal yang penting untuk mekanisme
kompensasi kardiovaskuler dan eritropoiesis yang kuat, namun hipoksia jaringan berat dapat
menyebabkan gejala seperti sesak saat aktifitas atau bahkan saat istirahat, angina, klaudikasio
intermiten, keram otot terutama saat malam hari, nyeri kepala dan lelah. Beberapa gejala
gastrointestinal dan genitourinaria yang difus terkait dengan anemia (seperti keram abdomen,
mual), namun apakah gejala ini menunjukkan hipoksia jaringan, kompensasi redistribusi
darah atau penyakit dasar anemia masih belum dapat dijelaskan.8,18

EVALUASI KLINIS TERHADAP ANEMIA


Evaluasi terhadap pasien dengan anemia membutuhkan anamnesis dan pemeriksaan fisis
yang teliti, serta pemeriksaan penunjang yang tepat.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis anemia dapat dibagi dalam :
1. Gejala dan tanda umum anemia
- muncul bila Hb < 7 g/dl
- sindrom anemia : lemah, lesu, cepat lelah, tinnitus, mata berkunang-kunang, kaki
-

terasa dingin, sesak napas dan dyspepsia


pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak pucat (terutama pada konjungtiva,

mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan di bawah kuku)


- bisa didapatkan pulsasi nadi perifer yang kuat dan mumur flow sistolik2,8,18
2. Gejala dan tanda khas masing-masing anemia
- Anemia defisiensi besi : disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis dan
-

koilonychia
Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologis pada defisiensi vitamin B12
Anemia hemolitik : ikterus, hepato-splenomegali
Anemia aplastik : perdarahan dan tanda-tanda infeksi
25

Nyeri pada tungkai, parestesia dan kesulitan berjalan mengarah pada anemia

pernisiosa2,8,18
3. Gejala penyakit dasar :
- Latar belakang geografis dan etnik yang terkait dengan peningkatan kelainan
herediter (defisiensi G6PD dan hemoglobinopati sering ditemukan di Timur Tengah
-

atau keturunan Afrika)


riwayat keluarga dengan kecurigaan penyakit hemolisis herediter (termasuk
hemoglobinopati) dan kelainan perdarahan herediter, sebagai kata kunci yaitu

riwayat perdarahan, ikterus, batu empedu dan splenektomi


pekerjaan pasien, peralatan rumah tangga yang biasa digunakan dan hobi harus
ditelaah untuk menilai adanya paparan terhadap agen toksik/obat yang dapat

mengakibatkan anemia hemolitik atau anemia aplastik


riwayat berpergian (area endemik)
kebiasaan minum alkohol
perubahan kebiasaan defekasi (mengarah ke neoplasma kolon dan rectum)
untuk wanita, ditanyakan apakah dalam masa menstuasi, banyaknya perdarahan yang

terjadi
bila post partum atau post abortion, ditanyakan banyaknya perdarahan dan interval

antara partus/aborsi hingga saat anamnesis


ada tidaknya demam. Adanya demam dapat mengarah pada infeksi, limfoma atau

keganasan lain, atau penyakit kolagen.


Warna urin yang abnormal (darah atau Hb) dapat mengarah pada penyakit saluran

kemih atau gangguan hematologis.


Ptechiae dan ekimosis dapat mengindikasikan anemia yang terjadi diakibatkan

gangguan pada trombosit atau hepar.


nyeri sternal pada sepertiga tengah atau bawah sternum yang dapat menggambarkan
adanya ekspansi akut sumsum tulang pada pasien leukemia akut. 2,8,18

Selain itu, penting pula membandingkan dengan hasil pemeriksaan sebelumnya, bila ada.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium merupakan pemeriksaan diagnostik pokok dalam mendiagnosis
anemia. Pemeriksaan ini dibagi dalam :
1.
2.
3.
4.

pemeriksaan penyaring
pemeriksaan darah seri anemia
pemeriksaan sumsum tulang
pemeriksaan khusus

26

Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring merupakan pemeriksaan yang rutin dilakukan, yaitu pemeriksaan
darah perifer lengkap sebagai bagian dari evaluasi yang mencakup hemoglobin, hematokrit
dan indeks eritrosit, serta apusan darah tepi.2,8,18
Nilai hemoglobin dan hematokrit bervariasi, dipengaruhi oleh beberapa faktor
fisiologis seperti umur, jenis kelamin, kehamilan, merokok dan ketinggian. Nilai Hb yang
normal tinggi dapat ditemukan pada laki-laki dan wanita yang tinggal di dataran tiggi atau
perokok berat.2,8,18

Tabel 7 Perubahan Nilai Normal Hemoglobin dan Hematokrit


Age/Sex

Hemoglobin g/dL

Hematokrit %

At birth

17

52

Childhood

12

36

Adolescence

13

40

Adult man

16 (2)

47 (6)

Adult woman (menstruating)

13 (2)

40 (6)

Adult woman (postmenopausal)

14 (2)

42 (6)

During pregnancy

12 (2)

37 (6)

Penentuan Hb dan hematokrit dapat bermanfaat pada penentuan penilaian anemia


secara praktis pada sebagian besar pasien, namun memiliki keterbatasan yang harus dikenali.
Perubahan Hb dan hematokrit dapat menggambarkan perubahan volume plasma, namun
bukan perubahan massa eritrosit. Pada kehamilan sebagai contoh, volume plasma meningkat,
sehingga menurunkan konsentrasi Hb. Sebaliknya, pasien luka bakar mengalami kehilangan
plasma melalui kulit yang terjejas, bukan eritrosit, meningkatkan konsentrasi Hb dan
hematokrit. Pada kasus lain, adanya deplesi intravaskular juga menyebabkan tingginya
konsentrasi Hb dan hematrokrit.2,8,18

Tabel 8 Variabel yang Mempengaruhi Hematokrit

27

Indeks eritrosit mencakup Mean Cell Volume (MCV) dalam femtoliter (fl), Mean Cell
Hemoglobin (MCH) dalam pictogram per sel dan Mean Concentration of Hemoglobin per
Volume of Red Cells (MCHC) dalam gram per liter. 2,8,9,18

Tabel 9 Indeks Eritrosit


Index

Normal Value
6

Mean cell volume (MCV) = (hematokrit x 10)/(red cell count x 10 )

90 8 fL

Mean cell hemoglobin (MCH) = (hemoglobin x 10)/(red cell count x 106)

30 3 pg

Mean cell hemoglobin concentration = (hemoglobin x 10)/hematokrit, or


MCH/MCV

33 2%

MCV merupakan parameter yang paling stabil dalam hitung darah lengkap, dengan
variabilitas kurang dari 1 %. Nilai normal MCV menunjukkan bahwa ukuran eritrosit
berkisar 6-8 um. Namun dapat terjadi nilai MCV yang tersamar pada keadaan adanya cold
agglutinin, transfusi dan retikulositosis (adanya polychromatophilic macrocytes). Hal ini
dapat disebabkan oleh:
1. kontaminasi bila sampel diambil dari iv line
2. specimen pada pasien hiperglikema
3. pasien dalam kemoterapi tertentu. 2,8,9,18
MCH dan MCHC menggambarkan hemoglobinisasi eritrosit. Nilai normal MCH (2731 pg) menunjukkan rerata berat Hb pada eritrosit berada dalam kisaran yang sesuai, sedang

28

nilai normal MCHC (32-36 %) menunjukkan jumlah Hb dalam eritrosit berada dalam
konsentrasi yang sesuai. 2,8,9,18
Apusan darah tepi merupakan pemeriksaan untuk melihat adanya defek dalam
produksi eritrosit. Sebagai tambahan terhadap indeks eritrosit, apusan darah juga
menunjukkan variasi ukuran sel (anisocytosis) dan bentuk (poikilocytosis). Derajat
anisocytosis biasanya berkaitan dengan peningkatan red cell volume distribution width
(RDW) atau kisaran ukuran sel. Poikilocytosis menggambarkan adanya defek maturasi
prekursor eritrosit di sumsum tulang atau adanya fragmentasi eritrosit di sirkulasi. Apusan
darah dapat juga menunjukkan polychromasia (eritrosit yang sedikit lebih besar dari normal
dan berwarna biru keabu-abuan pada pewarnaan Wright-Giemsa). Sel ini merupakan
retikulosit yang dilepaskan dari sumsum tulang terlalu dini. Sel ini terlihat di sirkulasi sebagai
respon terhadap stimulasi EPO atau adanya kerusakan arsitektur sumsum tulang (fibrosis,
infiltasi sel ganas, dan lain-lain) yang mengakibatkan gangguan pelepasan eritrosit dari
sumsum tulang. Selain itu, adanya eritrosit berinti, Howell-Jolly bodies, sel target, sel sickle
dan lain-lain pada apusan darah dapat mengarah pada gangguan/penyakit yang spesifik. 2,8,18
Robert T. Means Jr. dan Bertil G. mengungkapkan perlunya pemeriksaan rutin
urinalisis pada pasien anemia. Pemeriksaan ini dilakukan walaupun warna urin tidak
mengarah adanya darah, karena masih memungkinkan adanya perdarahan samar. Adanya
reaksi yang positif dapat diakibatkan oleh hematuria, hemoglobinuria atau bahkan
mioglobinuria. Hematuria menggambarkan adanya penyakit pada ginjal atau traktus
urinarius. Hemoglobinuria menggambarkan adanya hemolisis.18

Pemeriksaan Darah Seri Anemia


Pemeriksaan ini meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung retikulosit dan laju endap darah.
Hitung leukosit dan trombosit digunakan untuk menilai adanya keterlibatan gangguan
hematologis selain pada eritrosit. Adanya trombositopenia, jumlah leukosit yang abnormal
atau adanya leukosit yang abnormal yang menyertai anemia memungkinkan adanya
kegagalan sumsum tulang yang diakibatkan oleh anemia aplastik, leukemia atau penyakit
keganasan sumsum tulang lainnya. Pansitopenia dapat merupakan kelainan sekunder akibat
destruksi perifer atau sekuestrasi sel pada hipersplenisme.2,8,18

29

Hitung retikulosit merupakan pengukuran yang menunjukkan produksi eritrosit dan


respon terhadap anemia. Retikulosit secara normal merupakan eritrosit yang baru dilepas dari
sumsum tulang, tak berinti dan berisi sisa materi RNA (reticulum).

Hitung retikulosit

berkisar 1-2 % (normal) yang menggambarkan pergantian harian 0,8-1 % dari populasi
eritrosit di sirkulasi. Hitung retikulosit yang meningkat (retikulositosis) merupakan respon
terhadap adanya stress anemik.2,8,18

Pemeriksaan Sumsum Tulang


Aspirasi dan apusan sumsum tulang atau biopsi jarum dapat bermanfaat dalam evaluasi
beberapa kasus anemia. Pada pasien dengan anemia hipoproliferatif dengan status besi
normal, pemeriksaan sumsum tulang. Pemeriksaan ini juga dapat mendiagnosis gangguan
sumsum tulang primer seperti mielofibrosis, defek maturasi eritrosit dan penyakit infiltratif.
Pemeriksaan sumsum tulang mutlak diperlukan untuk diagnosis anemia aplastik, anemia
megaloblastik serta pada kelainan hematologis yang dapat mensupresi sistem eritroid.2,8,18

Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan ini hanya dilakukan atas indikasi khusus, seperti :

anemia defisiensi besi : serum iron, TIBC (total iron binding capacity), saturasi
transferrin, protoporfirin eritrosit, ferritin serum, reseptor transferrin dan pengecatan besi

pada sumsum tulang


anemia megaloblastik : folat serum, vitamin B12 serum, tes supresi deoksiuridin dan tes

Schiling
anemia hemolitik : bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis hemoglobin
anemia aplastik : biopsi sumsum tulang
Selain itu, diperlukan pula pemeriksaan tertentu, misal pemeriksaan faal hati, faal

ginjal atau faal tiroid.2,8,18

30

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Untuk mengidentifikasi diagnosis anemia, harus dilakukan pemeriksaan yang terintegrasi,
baik anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Alur identifikasi dapat
dilakukan sebagai berikut.

Pendekatan secara Umum

Berikut uraian alur pendekatan klinis untuk mengidentifikasi diagnosis anemia


31

1. Apakah anemia yang terjadi disertai gangguan hematologis yang lain?


Adanya trombositopenia, jumlah leukosit yang abnormal atau adanya leukosit yang
abnormal yang menyertai anemia memungkinkan adanya kegagalan sumsum tulang yang
diakibatkan oleh anemia aplastik, leukemia atau penyakit keganasan sumsum tulang
lainnya. Pansitopenia dapat merupakan kelainan sekunder akibat destruksi perifer atau
sekuestrasi sel pada hipersplenisme. Pada sebagian besar kasus, gangguan ini dapat
dibedakan dengan penelusuran penapisan hematologis yang cermat dan dilakukannya
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik. 2,8,18
2. Apakah terdapat respon retikulosit yang sesuai terhadap anemia?
Jumlah eritrosit di sirkulasi merupakan hasil keseimbangan yang dinamis antara
pengiriman eritrosit ke dalam sirkulasi dan destruksi atau loss eritrosit dari sirkulasi.
Sekitar 1 % eritrosit diganti oleh eritrosit muda yang dilepas dari sumsum tulang setiap
harinya. 2,8,18
Mekanisme homeostasis tubuh dalam menanggapi adanya anemia adalah dengan
akselerasi eritropoiesis, yang diinduksi oleh pelepasan eritropoietin. Sumsum tulang dapat
memproduksi eritrosit 6-8 kali lipat dibandingkan normal pada saat stimulasi maksimal.
Hitung retikulosit merupakan penilaian awal apakah anemia disebabkan oleh gangguan
produksi eritrosit atau oleh meningkatnya loss di sirkulasi perifer (blood loss, hemolisis).
2,8,18

3. Apabila anemia disertai dengan retikulositosis, adakah hemolisis?


Tanda paling karakteristik untuk hemolisis adalah adanya retikulositosis disertai
hiperbilirubinemia sebagai penanda adanya peningkatan katabolisme heme. Selain itu,
dapat pula disertai penanda lain, misal meningkatnya LDH serum yang menunjukkan
adanya jejas eritrosit atau adanya hemoglobinemia, hemoglobinuria dan peningkatan
hemosiderin urin menggambarkan peningkatan ekskresi Hb. 2,8,18
4. Apabila anemia tidak disertai respon retikulosit yang sesuai, bagaimana penilaian
indeks eritrosit?
Anemia yang disertai dengan retikulosit yang rendah biasanya menggambarkan adanya
gangguan pada eritropoiesis. Hal ini dapat disebabkan oleh 2 jenis defek, yaitu reduksi
prekursor eritrosit (hipogeneratif) atau eritropoiesis yang inefektif yang ditandai dengan
hiperplasia eritroid di sumsum tulang. 2,8,18
Identifikasi selanjutnya kita menilai klasifikasi anemia berdasarkan indeks eritrosit
dan penilaian ada tidaknya kelainan pada apus darah. 2,8,18

32

33

Pendekatan Anemia Makrositik

34

Pendekatan Anemia Normositik

35

Pendekatan Anemia Mikrositik

36

PENDEKATAN TATA LAKSANA


Seiring dengan perkembangan teknologi, pilihan terapi pada tata laksana anemia telah
berkembang pesat. Blood component therapy aman dan terjangkau. EPO rekombinan sebagai
terapi tambahan pada tata laksana anemia telah meningkatkan kualitas hidup pasien dengan
gagal ginjal kronis yang menjalani dialisis dan pasien kanker dengan anemia yang mendapat
kemoterapi. 2
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam tata laksana pasien dengan anemia, yaitu:
1. Tata laksana sebaiknya dilakukan berdasarkan diagnosis definitif yang telah ditegakkan
terlebih dahulu
2. Pemberian hematinik tanpa indikasi yang jelas tidak dianjurkan
3. Pengobatan anemia dapat berupa terapi untuk keadaan darurat (misal perdarahan akut
akibat anemia aplastik yang mengancam jiwa), terapi yang khas untuk masing-masing
anemia, terapi kausal untuk mengobati penyakit dasar yang menyebabkan anemia.2
Selain itu, seringkali kausa anemia dapat bermacam-macam. Misalnya, pasien dengan
rheumatoid arthritis berat yang mengkonsumsi OAINS dapat mengalami anemia
hipoproliferatif terkait dengan inflamasi kronik, juga dengan adanya blood loss yang kronik
terkait dengan perdarahan gastrointestinal yang intermiten. 2
Transfusi hanya merupakan salah satu bagian dalam tata laksana anemia. Tranfusi
diberikan pada anemia pasca perdarahan akut dengan tanda-tanda gangguan hemodinamik.
Pada anemia kronik transfusi hanya diberikan jika anemia bersifat simtomatik atau adanya
ancaman gagal jantung. Beberapa kaidah yang perlu diperhatikan mengenai transfusi :
1. Tindakan prevensi atau diagnosis dini dan tata laksana penyebab anemia dapat
meminimalisasi transfusi darah.
2. Pada pasien dengan blood loss akut sebaiknya dilakukan resusitasi yang efektif
(oksigenisasi, terapi penggantian cairan dengan kristaloid atau koloid) selama penilaian
perlu tidaknya transfusi masih dilakukan.19

37

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim. Chapter 58 : Anemia and Polycythemia. In : Fauci AS, Kasper DL, Longo DL,
Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, et al, editor. Harrisons Principles of Internal Medicine.
17th edition. New York: The McGraw-Hill Companies; 2008.
2. Bakta IM. Pendekatan terhadap Pasien Anemia. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Kelima. Jilid II. Jakarta:
InternaPublishing; 2009. Hal 1109-15.
3. WHO. Worldwide Prevalence of Anaemia 1993-2005 : WHO Global Database on Anaemia.
Spain: WHO; 2008.
4. Guralnik JM, Eisenstaedt RS, Ferrucci L, Klein HG, Woodman RC. Prevalence of anemia in
persons 65 year and older in United States: evidence for a high rate of unexplained anemia. Blood
2004
104:
2263-68.
Diunduh
dari
http://bloodjournal.hematologylibrary.org/misc/rights.dtl#repub_requests
5. Culleton BF, Manns BJ, Zhang J, Tonelli M, Klarenbach S, Hemmelgarn BR. Impact of anemia
on hospitalization and mortality in older adults. Blood 2006 107: 3841-46. Diunduh dari
http://bloodjournal.hematologylibrary.org/misc/rights.dtl#repub_requests
6. Tettamanti M, Lucca U, Gandini F, Recchia A, Mosconi P, Apolone G, et al. Prevalence, incidence
and types of mild anemia in the elderly: the Health and Anemia population-based study.
Haematologica 2010 95:xxx. Diunduh dari www.haematologica.org
7. Beutler E, Waalen J. The definition of anemia: what is the lower limit of normal of the blood
hemoglobin
concentration?
Blood
2006
107:
1747-50.
Diunduh
dari
http://bloodjournal.hematologylibrary.org/misc/rights.dtl#repub_requests
8. Means RT. Jr, Glader B. Chapter 26 Anemia : General Considerations. In : Greer JP, Foerster J,
Rodgers GM, Paraskevas F, Glader B, Arber DA, et al, editor. Wintrobes Clinical Hematology.
12th edition. Philadephia: Lippincott Williams & Wilkins; 2009.
9. Hove LV, Schisano T, Brace L. Anemia Diagnosis, Classification, and Monitoring Using Cell-Dyn
Technology Reviewed for the New Millenium. Laboratory Hematology 2000 6:93-108.
10. Soebandiri. Hemopoiesis. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Kelima. Jilid II. Jakarta: InternaPublishing; 2009. Hal
1105-8.
11. Anonym. 16 : Blood. In : Silverthorn DU. Human Physiology : An Integrated Approach. 2 nd
edition. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.; 2001. p. 474-96
12. Anonym. Bab 32 Sel-sel Darah Merah, Anemia dan Polisitemia. Dalam : Guyton AC, Hall JE.
Setiawan I, editor. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 1996. Hal 529-42
13. Anonym. Chapter 30. Production of Erythrocytes. In : Lichtman MA, Beutler E, Seligsohn U,
Kaushansky K, Kipps TO. Williams Hematology. 7th Edition. McGraw-Hill Medical;
14. Ciesla B. Chapter 2 From Hematopoiesis to the Complete Blood Count. In : Ciesla B.
Hematology in Practice. Philadelphia: F.A. Davis Company; 2007. P 15-22
15. Ciesla B. Chapter 3 Red Blood Cell Production, Function, and Relevant Red Cell Morphology.
In : Ciesla B. Hematology in Practice. Philadelphia: F.A. Davis Company; 2007. P 33-50
16. Dessypris EN, Sawyer ST. Chapter 6 Erythropoiesis. In : Greer JP, Foerster J, Rodgers GM,
Paraskevas F, Glader B, Arber DA, et al, editor. Wintrobes Clinical Hematology. 12 th edition.
Philadephia: Lippincott Williams & Wilkins; 2009.
17. Ciesla B. Chapter 4 Hemoglobin Function dan Principles of Hemolysis. In : Ciesla B.
Hematology in Practice. Philadelphia: F.A. Davis Company; 2007. P 51-64

38

18. Anonim. Chapter 32. Clinical Manifestations and Classification of Erythrocyte Disorders :
Overview. In : Lichtman MA, Beutler E, Seligsohn U, Kaushansky K, Kipps TO. Williams
Hematology. 7th Edition. McGraw-Hill Medical;
19.WHO. The Clinical Use of Blood. Geneva:WHO; 2002

39

Anda mungkin juga menyukai