Anda di halaman 1dari 4

JUSTICE AS FAIRNESS

November 30, 2010ilham76Tinggalkan KomentarGo to comments

Justice as Fairness
A. John Rawls: Biografi Singkat
Pemilik nama lengkap John Borden (Bordley) Rawls lahir dan dibesarkan di Baltimore, Maryland
Amerika Serikat pada tanggal 21 Februari 1921 dari pasangan William Lee Rawls dan Anna Abel
Stump. Ayahnya adalah seorang pengacara terkemuka.[2] John Rawls mengalami dua peristiwa yang
cukup menyedihkan di masa mudanya. Dalam dua tahun berturut-turut, dua adik laki-lakinya
meninggal akibat penyakit yang ditularkan darinya, yaitu diphtheria dan pneumonia. Rawls amat
merasa bersalah atas terjadinya peristiwa tersebut. Namun demikian, kakak laki-lakinya yang dikenal
sebagai seorang atlet ternama di Princeton University selalu memberikan semangat dan dorongan
moral kepada Rawls. Akhirnya, setelah berhasil menyelesaikan sekolahnya, John Rawls menyusul jejak
kakaknya untuk berkuliah di Princeton University pada 1939.[3]
Pada 1943, setelah berhasil lulus dengan gelar Bachelor of Arts (B.A.), John Rawls langsung
bergabung menjadi tentara dengan tugas penempatan di kawasan negara-negara Pasifik, seperti
Papua Nugini, Filipina, dan Jepang. Tidak lama setelah itu, dirinya kembali ke Princeton University dan
menulis disertasi doktoralnya di bidang filsafat moral. Pada masa-masa inilah Rawls pertama kali
dipengaruhi oleh rekan dan pembimbingnya dari Wittgensteinean, Norman Malcolm, yang
mengajarkan dirinya untuk menghindari jeratan kontroversi metafisis.[4]
Setelah sukses mempertahankan disertasi doktoralnya yang berjudul A Study in the Grounds of
Ethical Knowledge: Considered with Reference to Judgment on the Moral Worth of Character, John
Rawls akhirnya menyandang gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) dari Princeton University pada 1950.
John Rawls kemudian dipercaya untuk mengajar pada almamaternya hingga 1952, sebelum akhirnya
melanjutkan studi di Oxford University, Inggris, melalui program Fulbright Fellowship. Di Universitas
inilah dirinya sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran tentang teori kebebasan di bidang hukum
dan filsafat politik, seperti yang dikemukakan oleh Herbert Lionel Adolphus (H.L.A.) Hart dan Isaiah
Berlin.[5]
Sekembalinya ke Amerika Serikat, John Rawls melanjutkan karir akademiknya di Cornell University
dan secara bertahap dirinya diangkat sebagai Guru Besar Penuh pada 1962. Tidak lama kemudian,
Rawls juga memperoleh kesempatan untuk mengajar dan menjadi Guru Besar di Massachusetts
Institute of Technology (MIT). Setelah mengajar di Cornell dan MIT, Rawls mengambil posisi di
departemen filsafat di Harvard pada tahun 1962 tempat dimana dirinya mengabdi hingga akhir hayat.
[6] Sepanjang karirnya, ia mencurahkan perhatian kepada pengajaran-Nya. Dalam kuliah-kuliahnya
tentang filsafat moral dan politik, Rawls terfokus pada filsuf besar di masa lalu-Locke, Hume,
Rousseau, Leibniz, Kant, Hegel, Marx, Mill, dan lain-lain.[7]
B. Justice principle pemikiran dalam A Theory of Justice
Menurut Rawls, keadilan adalah Kejujuran (Justice as Fairness).[8] Masyarakat adalah kumpulan
individu yang di satu sisi menginginkan bersatu karena adanya ikatan untuk memenuhi kumpulan
individu tetapi disisi yang lain masing-masing individu memiliki pembawaan serta hak yang berbeda

yang semua itu tidak dapat dilebur dalam kehidupan sosial. Oleh karena itu Rawl mencoba
memberikan jawaban atas pertanyaan, bagaimana mempertemukan hak-hak dan pembawaan yang
berbeda disatu pihak dengan keinginan untuk bersama demi terpenuhnya kebutuhan bersama?
Jawaban Rawls secara sederhana adalah setiap manusia dapat diperlakukan secara sama, tidak
dengan menghapuskan semua ketimpangan (inequalities). Jawaban tersebut didasarkan dari
penyataan bahwa masyarakat sebagai sistem kerjasama sosial yang fair secara berkesinambungan
dari satu generasi ke generasi berikutnya dan manusia sebagai mahluk moral.[9]
Pemikiran keadilan Rawls, didasari teori keadilan imperatif kategoris Kant. Rawls memulai bukunya
mengkotraskan dua pemikiran filsafat yang dominan pada saat itu; di satu pihak utilitarianisme, dan
di pihak lain campuran berbagai gagasan dan prinsip yang tidak koheren dan mungkin saling
bertentangan. Rawls menyebut alternatif kedua ini sebagai intuisionisme, sebuah pendekatan
didasarkan pada intuisi tertentu mengenai berbagai isu tertentu. Kritik terhadap utilitarianisme, yakni
terhadap keberatan pokok pada aliran ini yakniPertama, utilitarian menerima adanya ketidaksetaraan
sosial (kemungkinan ada pihak yang memperoleh benefit/keuntungan yang lebih dari pihak yang lain,
hal ini sesuai dengan prinsipthe greatest happiness of the greatest number). Kedua, utilitraian
menentang prinsip kemerdekaan dan hak-hak politik. Ketiga, konsep kesejahteraan Rawls berbeda
dengan golongan utilitarian.[10]
Menurut Rawls, utilitarianisme mereduksi nilai-nilai individu menjadi manfaat dan kebaikan bersama.
[11] Kesejahteraan masyarakat yang diinginkan oleh utilitarianisme tidak memperhatikan
kesejahteraan individu, yang diperhatikan memaksimalkan jumlah terbesar kesejahteraan untuk
jumlah terbanyak. Rawls juga mengkritik institusionalisme karena dinilai tidak memiliki jaminan
rasionalitas yang memadai.[12] Menurut Rawls keadilan bukan salah satu prinsip atau salah satu
prioritas diantara banyak prinsip utama, melaikan satu-satunya prinsip utama yang harus diwujudkan.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 (tiga) pandangan dominan yakni utilitarianisme
yang mengejar kebahagian manusia dengan mengindentifikasi kepentingan individu dengan
kepentingan umum. Libertarian dengan klaim hak-hak kodrati individu, dan kontraktarian yang
mendasarkan pada kerjasama yang fair. [13]
Dengan latar belakang tersebut, Rawls melahirkan Teori Keadilan, teori tersebut memiliki 3 (tiga)
prinsip kedilan, yakni:
1.
Prinsip Kebebasan yang sama (equal liberty of principle)
2.
Prinsip perbedaan (differences principle)
3.
Prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle)
Sebagaimana dinyatakan Rawls, sebagai berikut:[14]
Prinsip PertamaTiap-tiap orang menerima hak yang sama atas keseluruhan sistem yang paling luas
dari kebebasan-kebebasan dasar yang sama sesuai dengan sistem kebebasan serupa bagi semua
orang.
Prinsip Keduaketimpangan sosial dan ekonomi diatur sedemikian rupa sehingga keduanya:
1.
memberikan keuntungan terbesar untuk yang paling tidak diuntungkan, dan
2.
membuka posisi-posisi dan jabatan bagi semua dibawah persyaratan-persyaratan persamaan
kesempatan yang fair.
Aturan Prioritas Pertama (Prioritas Kebebasan)Prinsip-prinsip keadilan diurutkan dalam tertib lexical
(lexical order) dan karena itu kebebasan hanya dapat dibatasi demi kebebasan itu sendiri.
Aturan Prioritas Kedua (Prioritas Keadilan atas Effisiensi dan Kesejahteraan)Prinsip keadilan yang
kedua secara lexical lebih penting daripada prinsip efisiensi dan daripada prinsip memaksimalkan
jumlah total keuntungan-keuntungan; dan kesempatan yang fair lebih penting daripada prinsip
perbedaan.
Prisip umum semua barang-barang sosial utama (sosial primary goods) kebebasan dan kesempatan,
pendapat dan kesejahteraan dan dasar-dasar kehormatan diri harus didistribusikan secara setara
kecuali jika distribusi yang tak setara terhadap salah satu atau semua barang-barang ini
menguntungkan yang paling tidak diuntungkan.

1.
2.
3.
4.
5.

Rawls berpendapat jika terjadi benturan (konflik), maka: equal liberty principle harus diprioritaskan
dari pada prinsip-prinsip yang lainnya. Dan, equal opportunity principle harus diprioritaskan dari
pada differences principle.
Dari ketiga prinsip tersebut, rawls memberikan prioritas utama pada prinsip kebebasan yang sama
(equal liberty of principle), yang sebenarnya merupakan standar hak-hak politik dan sipil yang diakui
dalam demokrasi liberal yakni hak untuk memilih, mencalonkan diri dalam jabatan, membela diri,
kebebasan berbicara, bergerak, dan sebagainya.[15] Equal liberty of principlemengasumsikan setiap
orang memiliki hak yang sama untuk kebebasan dasar yang luas, setiap orang memiliki hak untuk
kebebasan dan kesamaan.[16] Hak-hak ini sangat penting untuk liberalisme, satu cara membedakan
liberalisme adil adalah bahwa liberalisme memberikan prioritas pada kebebasan-kebebasan dasar ini.
Secara terperinci hak kebebasan-kebebasan dasar yang dimaksud antara lain seperti misalnya:[17]
kemerdekaan berpolitik (political of liberty),
kebebasan berpendapat dan mengemukakan ekspresi (freedom of speech and expression),
kebebasan personal (liberty of conscience and though).
kebebasan untuk memiliki kekayaan (freedom to hold property)
Kebebasan dari tindakan sewenang-wenang.
Kemudian, yang dimasud oleh Rawls, prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity
principle) bukan melihat ketidak setaraan sosial melaikan ketidak setaraa alamiah.[18] Rawls
mengkritik konsepsi umum yang menggap kesempatan sudah kesetaraan ketika semua orang
diberikan kesempatan yang sama hanya memandang jenis kelamin, agama, ras dan latar belakang
sosial. Menutur Rawls, harus juga dilihat ketidak setaraan alamiah, misalnya orang cacat tidak akan
dapat bersaing meskipun berasal dari ras dan jenis kelamin yang sama.
Dengan demikian menurutt Rawls, berbagai ketimpangan dalam pendapatan dan kesejahteraan yang
didasarkan pada kondisi sosial dan alamiah tidak memiliki landasan moral. Namum hal tesebut tidak
bisa dihapus begitu saja. Cara yang tepat dengan mengatur stuktur dasar masyarakat sehingga halhal yang bersifat kebetulan tesebut bekerja demi kebaikan mereka yang paling kurang beruntung. Ini
yang dinyatakan dalam prinsip perbedaan (differences principle).
Rawls mengklaim bahwa jika orang dalam keadaan pra-sosial tertentu dipaksa memutuskan prinsipprinsip yang harus mengatur masyarakat, mereka akan memilih prinsip-prinsipnya. Tiap-tiap orang
yang oleh Rawls disebut dalam posisi asli (original position) memiliki kepentingan rasional
mengadopsi prinsip-prinsip Rawl untuk mengatur kerjasama sosial. Rawls menggambarkan pada posisi
asli ini orang-orang bersifat rasional, insan bermoral dan sederajat. Argumen yang kedua ini
menerima perhatian kritis yang paling luas, dan merupakan argumen yang membuat Rawls terkenal.
Tetapi, ini bukan argumen yang mudah diinterpretasikan, dan kita dapat menangani argumen ini
dengan baik jika kita memulai dengan argumen pertama yakni tentang selubung ketidaktahuan (Veil
of Ignorance). Untuk memastikan imparsialitas, pihak-pihak ini berada di selubung ketidaktahuan (Veil
of Ignorance), yang menghalangi mereka untuk tahu posisi mereka dalam masyarakat, kemapuan dan
bakat alamiah mereka, preferensi dan pandangan mereka mengenai kehidupan yang baik, bahkan
pada generasi yang mana mereka hidup.[19] Dalam keadaan ini pihak-pihak yang terlibat akan
memilih prisip keadilan seperti yang dirumuskan Rawls.
Selubung ketidaktahuan (Veil of Ignorance) tidak diketahui posisi apa yang akan diraih oleh seseorang
di kemudian hari. Tidak diketahui bakatnya, inteligensinya, kesehatannya, kekayaannya, rencana
hidupnya, keadaan psikisnya.[20] Juga tidak diketahui apakah seseorang teramasuk golongan tua
atau muda. Juga tidak diketahui mengenai situasi sosial, politik dan ekonomi dari seseorang individu
masyarakat.[21] Setiap orang terlebih dahulu akan mengejar kepentingan individu dan kerabatnya
baru kemudian kepentingan umum.[22]Pada keadan ini manusia mencapai Posisi Originalnya.
Dalam posisi asli (original position) terdapat situasi yang sama dan setara antara tiap-tiap orang di
dalam masyarakat. Tidak ada pihak yang memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya.
Pada keadaan ini orang-orang dapat melakukan kesepakatan dengan pihak lainnya secara seimbang,
disinilah disebut sebagai teori kontrak Rowls. Posisi Original yang bertumpu pada pengertian

ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri Rasionalitas (rationality), Kebebasan (freedom), dan
Persamaan (equality). Guna mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure of society).[23]
[1] M.D.A Freeman, Introduction of Jurisprudence, (London: Swett & Maxwell Ltd, 2001), hlm. 523524
[2] Leif Wenar, Jhon Rawls dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy, terdapat di situs
<http://plato.stanford.edu/entries/rawls/> diakses tanggal 26 Oktober 2010
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid
[6] Ridha Ahida, Konsep Keadilan pada Masyarakat Multikultural di Lihat dari Pespektif John Rawl dan
Will Kymlicka, (Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 2005), hlm. 99.
[7] Henry S. Richardson, John Rawls (1921-2002), terdapat disitus < http://www.iep.utm.edu/rawls/>
diakses tanggal 26 Oktober 2010
[8] Ridha Ahida, Op. Cit., hlm 108
[9] Bur Rasuanto, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas, (Disertasi Doktor
Universitas Indonesia, Jakarta, 1999), hlm. 52.
[10] M.D.A Freeman, Op., Cit. hlm. 524.
[11] John Rowls, A Theory of Justice, (Cambridge: Harvard University Press, 2001), hlm. 27
[12] Ibid., hlm. 30
[13] Bur Rasuanto, Op. Cit., sebagimana dikutip dari Philip Petit, An Introduction to Contemporary
Political Philosophy, (London: Routledge, 1980), hlm. 75.
[14] M.D.A Freeman, Op. Cit. hlm. 577, atau dalam Jhon Rowls, Op. Cit., hlm. 302
[15] Will Kymlicka, Pengantar Folsafat Kontemporer: Kajian Khusus atas Teori-teori Keadilan,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm 72
[16] Ridha Ahida, Op. Cit. hlm. 123.
[17] Suri Ratnapala, Jurisprudence, (Cambridge: Cambridge Univ. Press, 2009), hlm. 343.
[18] Indi Aunullah, Justice as Fainess dalam Netralitas Negara:Sebuah Seketsa Etika Liberal,terdapat
di situs <http://www.scribd.com/doc /19222202/ Justice- as-Fairness- Dan-Netralitas-Negara-SketsaEtika- Politik-Liberal> diakses tanggal 25 Oktober 2010.
[19] Ibid.
[20] M.D.A Freeman, Op. Cit. hlm. 572
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23] Henry S. Richardson, Op. Cit

http://ilhamendra.wordpress.com/2010/11/30/justice-as-fairness/

Anda mungkin juga menyukai