Anda di halaman 1dari 4

PARADIGMA PEPERANGAN DAN PERDAMAIAN DI MILENIUM KE TIGA

Sebuah Pemikiran Mengenai Pergeseran Peperangan Yang Menjadi Terlalu Penting Untuk
Menjadi Urusan Para Jendral Saja, dan Perdamaian Yang Menjadi Terlalu Rumit Untuk
Dikendalikan Para Politisi Saja
By : Edi S Saepudin., SP.

Negara Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 14 PRP (UU No. 14 PRP) tahun 1980 dan
dengan ratifikasi United Nations Convention Law of the Sea III (UNCLOS III) dalam UU No. 17
tahun 1985, memiliki luas 5 juta km 2, ditambah dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sesuai
dengan UU No.5 tahun 1983 seluas 2.7 juta km 2, sehingga total memiliki luas 7.7 juta km 2, tentu
saja kini, minus luas yang hilang sebagai akibat lepasnya Sipadan-Ligitan dan Timor Timur.
Sebagai sebuah negara Kepulauan, negeri ini demikian besar, terdiri atas 13.677 pulau dengan
jarak Sabang sampai Merauke sejauh 5.400 Km, setara dengan jarak dari London hingga Teheran.

Jika membayangkan menjadi seorang pemimpin disebuah negara sebesar ini, padahal jika melihat
Globe, jarak sejauh itu dipisahkan atau dengan kata yang lebih tepat, terbentang menjadi lebih dari
10 negara. Dan jika harus membayangkan bagaimana mempertahankan dan menjaga keutuhan
negara ini, betapapun falsapah pada jaman kekinian adalah “ Imagination is more fowerfull”, yang
terbayang bukan bagaimana caranya tetapi malah kebesaran dan kepiawaian sesepuh negeri
dalam meletakan dasar dan falsapah negara ini, sehingga jiwa bangsa ini, jiwa seluruh rakyat
negeri ini begitu kuat terekat, bahkan hingga kini saat menjelang memasuki generasi ke-tiga.

Mempertahankan keutuhan negara memiliki arti mempersiapkan diri, berfikir dan bertindak dalam
mempertahankan negara, dari setiap jenis ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan,
terhadap negara. Dalam konteks yang lebih spesifik akan menyangkut, kesiapan untuk
menghadapi sebuah kondisi terburuk, kondisi dimana kita harus berhadapan secara frontal dengan
siapapun yang berniat dan melakukan tindakan-tindakan nyata, mengganggu keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dalam arti perang.

Dalam perjalanannya, perang dan peperangan telah mengalami metamorfosa atau evolusi bentuk
serta palagan. Siapapun yang secara intens mempelajari strategi peperangan dan sejarah
peperangan di berbagai belahan dunia, dari jaman oriental hingga peperangan dunia I dan II, akan
sepakat, bahwa pemikiran dan penyusunan strategi perang sangat dipengaruhi oleh tulisan
seorang pemikir strategi (filsup) China yang bernama Tsun Tzu (500 SM).

Dasar pemikiran Tsun Tzu yang kemudian diadopsi jendral-jendral terkenal kelas dunia, antara lain
“Perang adalah sebuah perkara yang sangat serius bagi suatu bangsa” dan, bahwa ”kekuatan
moral dan intelektual bersifat menentukan dalam memenangkan perang” beliau menjabarkan
“Strategi yang baik adalah, strategi yang dapat membawa kemenangan perang tanpa banyak
penggunaan kekerasan dan pertumpahan darah, oleh sebab itu yang penting adalah penentuan
dan pelaksanaan tindakan-tindakan sebelum perang yang sebenarnya”.

Tercatat Napoleon Bonaparte (Abad 19), selama kampanye peperangannya di Eropa, yang
mengadopsi strategi Tsun Tzu, ia kombinasikan dengan kecemerlangan dirinya, jurnal dan grand
strateginya dituliskan oleh dua orang jendralnya, pertama Henri Jomini (1779 – 1869) seorang
jendral berkebangsaan Swiss, dan kedua Karl von Clausewitz (1780 – 1831) berkebangsaan
Jerman.
Jendral Jepang yang mengadopsi strategi Tsun Tzu adalah Yamashita, disepanjang kampanyenya
di asia tenggara, terutama saat menggulung semenanjung Malaysia, Singapura, dan Hindia
Belanda dengan menggembor-gemborkan propaganda “Asia Timur Raya”.

Pergeseran orientasi peperangan terjadi saat ahli-ahli strategi dinegara-negara maju mengadopsi
pemikiran Jomini dan Von Clausewitz, dan mengejawantahkannya dalam bentuk penggalian
sumberdaya inovasi dan teknologi, untuk kepentingan kemajuan dan pengembangan strategi dan
peralatan persenjataan. Puncak dari segala pengembangan persenjataan berdasarkan konsep
Karl von Clausewitz adalah senjata nuklir (bom atom).

Segera setelah itu, muncul kesadaran baru, bahwa eksplorasi “perlunya penggunaan kekerasan
tanpa batas untuk memperoleh kemenangan perang”, seperti apa yang menjadi inti pemikiran Karl
von Clausewitz telah mencapai puncaknya, dan bahwa dengan senjata yang tercipta itu, bahkan
bukan hanya kemenangan perang yang dapat diraih, tapi sekaligus penghancuran peradaban
manusia. Kepemilikan senjata nuklir oleh pihak musuh dalam tanda kutip, adalah sebuah deterent
tak terkira dalam kapasitasnya sebagai alat tindak balas, dan bahwa penggunaan nuklir secara
masif dalam sebuah peperangan, akan mempertaruhkan dunia dan seisinya..

Orientasi perang pada masa kekinian telah benar-benar berubah, metamorfosa strategi
peperangan telah mengalami perubahan bentuk menjadi bentuk-bentuk halus, bentuk-bentuk yang
tercipta, lebih mengutamakan kecerdasan dengan dukungan teknologi yang semakin canggih.
Konsep ”kekuatan moral dan intelektual bersifat menentukan dalam memenangkan perang” dan
“Strategi yang baik adalah, strategi yang dapat membawa kemenangan perang tanpa banyak
penggunaan kekerasan dan pertumpahan darah”, serta “yang penting adalah penentuan dan
pelaksanaan tindakan-tindakan sebelum perang yang sebenarnya”, telah diadopsi dan
dikembangkan menjadi bentuk-bentuk strategi halus, dalam bentuk tipu muslihat dan misi-misi dis-
informasi canggih serta kasat mata.

Sebuah pertunjukan akan keberhasilan dan efek dari pelaksanaan strategi Tsun Tzu, di awal
millenium ketiga ini, dipertontonkan para pemikir strategi Amerika Serikat. Mereka mampu
membuktikan kepiawaian mereka dalam mengadopsi strategi Tsun Tzu saat menginvasi Irak.
Bagaimana perang Opini yang dilancarkan dan misi-misi dis-informasi mereka, telah berhasil
menipu dan meluluhkan hati rakyat Irak, sehingga ketika mereka masuk Baghdad, mereka dielu-
elukan sebagai “tentara pembebas, sebagai pahlawan”, sebuah kejadian tragis dan ironis bagi
kesejarahan bangsa besar dan tua sekelas Bangsa Irak.

Pada dua dekade terakhir abad 20, semua ekonom telah mengatakan dan sepakat, bahwa
milenium ketiga akan menjadi milik wilayah asia pasifik. Sekali lagi “kepentingan” menjadi sentral
ide dan bahasan, fakta akan munculnya negara industri baru memunculkan asumsi-asumsi.
Betapapun hal tersebut adalah sebuah proses alamiah dari pertumbuhan sebuah peradaban
manusia, perkembangan positif ini telah dipandang sebagai resiko, akan munculnya saingan/rival
baru dalam percaturan perekonomian dunia.

Upaya menjegal dan menghambat kemunculan negara-negara industri baru ini, telah disusun
dengan begitu brilian, sehingga bukan hanya mampu menjatuhkan mereka, tetapi sekaligus
mampu menggelontorkan keuntungan tak terkira bagi negara-negara maju. Hanya ketika mereka
mengguncang negara maju sekelas Jepang, mereka segera menyadari, bahwa kekuatan ekonomi
negeri itu, memiliki pasukan tersendiri, yang suka atau tidak, mereka harus mengakui, bahwa
mereka merasa gentar untuk berhadap-hadapan secara langsung.
Gelombang terbesar serangan yang dilakukan pada dekade terakhir abad itu, menjadi gelombang
pasang kalau tidak bisa dikatakan tsunami, bagi negara-negara dibelahan pasifik, mulai dari asia
tenggara hingga asia timur. Berapa kerugian Jepang akibat gelombang serangan itu, 1.4 triliun
dolar raib, padahal itu hanya dari bank centralnya saja, dan tanyakan pada diri kita, berapa negara
ini mengalami kerugian?. Peperangan dalam konteks kekinian telah menjadi peperangan non-
kombatan, karena apa yang mejadi persengketaan adalah “kepentingan”.

“Sebuah bentuk peperangan baru yang bisa dilakukan sambil duduk dibelakang meja, tanpa satu
prajuritpun dikirim kemedan laga, yang baru diketahui, dilihat dan dirasakan ketika sebuah negara
telah jatuh. Sebuah bentuk perang baru, yang harus menjadi tantangan bagi para pemikir strategi
Bangsa ini untuk segera diantisipasi dan dilawan”.

Bentuk-bentuk pembangkangan seperti yang dilakukan Korea Utara, Iran dan Venezuela, harus
menjadi contoh negatif, bentuk-bentuk demikian mengandung resiko dan pertaruhan yang teramat
besar. Hanya karena Korea Utara telah memiliki nuklir saja, sehingga negara ini dikeluarkan dari
agenda sebelum Irak, dan hanya karena militansi rakyatnya saja, kenapa hingga saat ini Iran
belum masuk jadwal dalam agenda, sedangkan kenapa Venezuela belum masuk jadwal, lebih
dikarenakan ada beberapa pijakan yang telah mereka tanam dianak benua sana, sehingga tak
perlu terlalu dipedulikan dan dianggap.

Apa yang dilakukan Mesir, Malaysia, dan yang paling menonjol adalah China, India dan Fakistan
adalah sebuah contoh kecerdasan para pemikir strategi bangsa-bangsa itu, dalam memenangkan
peperangan yang sebenarnya pada khazanah kekinian. Contoh kemenangan paling cemerlang
ditunjukan oleh negara tirai bambu, dan sungguh tidaklah aneh, karena strategi yang digunakan
agresor akarnya tumbuh dinegeri ini. Tidak perlu malu kita datangi negeri ini, dan belajarlah dari
mereka, bukankah seperti yang dikatakan BJ. Habibie dalam sebuah tayangan televisi, merekapun
tidak malu untuk bertanya dan belajar pada kita pada suatu masa dulu.

Mencermati langkah yang diambil China, kita melihat sebuah keluwesan dan ketegasan dalam
berdiplomatik.

Bangsa ini berani dengan tegas menunjukkan integritasnya sebagai negara besar, sebagai negara
merdeka dalam arti sebenarnya, ada saatnya mereka mengikuti dan pada saat lain mereka
menolak, bahkan dalam hal yang ekstrim mereka berani menyatakan perang terhadap sebuah
kebijakan dan aturan internasional yang dipaksakan. Mereka berani berdiri menunjukan jati
dirinya, pada satu saat mereka adalah teman atau bahkan sahabat, tapi pada saat lain, mereka
dengan tegas menunjukkan sikap sebagai musuh, “luwes, licin dan Brilian”. Haramkah hal ini,
tentu tidak dalam kacamata politik negara dalam khazanah internasional, “kepentingan” kuncinya.
Apa yang kita lihat sekarang, negeri ini (China) leading dalam berbagai sektor, secara ekonomi
mereka bukan hanya dianggap harus diperhitungkan, malah sudah dianggap ancaman, secara
militer negeri ini dianggap mengkhawatirkan kalau tidak bisa dikatakan mulai menakutkan.

Kembali ke dasar pemikiran Tsun Tzu, “Kenalilah dirimu tapi lebih kenali dan dekati musuhmu”,
semua falsapah dan langkah strategi memenangkan perang inilah, yang nampaknya diterapkan
China dalam meraih kemenangan.

“Adalah sebuah fakta, bahwa jiwa agresor dan penjarah dari satu bangsa atau ras, tak akan
pernah lekang oleh jaman, dalam tatanan aturan internasional yang mengikat semua negara
didunia saat ini. Salah satu langkah cerdas yang harus diambil untuk memenangkan peperangan
yang mereka lancarkan adalah masuk kedalam perangkat yang mereka ciptakan, dan kemudian
mengatur strategi tindak balas dengan menggunakan perangkat yang mereka ciptakan sendiri.

Demikian kira-kira apa yang ada dibenak para pemimpin dan ahli strategi China, sehingga mereka
bisa mennghindarkan diri dari serangan dan leading diberbagai sektor kini. Sehingga pola
serangan tanpa mengirimkan prajurit oleh agresor pada kasus Thian Anmen 1989, dapat mereka
patahkan, dan pola serangan melalui Bursa Vallas (Bursa Efek) pada 1998 juga dapat mereka
patahkan.

Yang lebih brilian adalah bagaimana China mampu menempatkan dirinya dalam posisi menyerang
dalam perangkat yang diciptakan musuh-musuh tersembunyi ini. Sehingga siapapun yang
mencoba menyerang China melalui jalur Vallas kini, bukan hanya akan dicari dan jadikan target
negeri tirai bambu ini, tapi oleh “orang lain” sebuah negara super power!!. Hanya dibutuhkan
sebuah proses dalam bentuk berkas-berkas dokumen pengalihan rekening, “orang lain ini” akan
langsung kebakaran jenggot, karena perekonomian negeri “orang lain ini” taruhannya.

Masa damai adalah masa yang terbaik bagi sebuah bangsa dalam mengenal dirinya, pengenalan
terhadap segenap potensi dan sumberdaya yang dimiliki, serta penyusunan strategi bagi
pendayagunaannya. Kita adalah bangsa maritim, kita adalah bangsa agraris, sehingga segala
kemajuan ilmu dan teknologi seyogyanya diarahkan dan difokuskan untuk membangun segala
bentuk industri yang menyokong kedua pilar bangsa ini. Demikian juga dengan perencanaan
pembangunan pertahanan negara, negara ini adalah negara kepulauan, dengan luas laut yang
jauh lebih besar dari daratan. Bayangkan berapa besar potensi lautan yang dicuri, dan berapa
potensi daratan yang dicuri dengan menggunakan lautan sebagai jalurnya, semua karena tidak
terawasi, bayangkan jika jumlah yang dicuri itu masuk kas negara, seberapa banyak hal bisa kita
perbuat dengan-nya.

Sekali lagi, kewaspadaan pada masa damai jauh harus lebih tinggi dibanding jika situasi terburuk
terjadi, karena situasi terburuk akan bisa dIantisipasi, selama kewaspadaan dimasa damai tak
pernah bisa ditembus.

Kita pernah punya Bapak Soekarno, yang mampu memerankan hal ini dengan sangat cemerlang
pada suatu masa dulu, belajarlah dari apa yang beliau tinggalkan saat merebut Irian Barat, atau
belajarlah dari Bpk. Soeharto, saat masa Orde Baru, bagaimana dunia segan pada Bangsa ini,
tanpa harus unjuk otot. Jangan sampai sejarah hanya menjadi ingatan yang dicatat semata,
bukankah mereka yang tidak memiliki ingatan dan menolak relevansi masa lalunya, baik
perorangan, lembaga atau bahkan sebuah bangsa, adalah mereka yang sakit mental. – JAYALAH
NEGERIKU -

Bandung, 21 April 2009


Penulis
Edi S Saepudin., Sp
Alumni Universitas Padjadjaran

Rujukan/Sumber pustaka :
- Terjemahan Makalah Philip A Crowl, yang Digunakan Air War College dan US Air Force Academy
Colorado Spring, AS. (TSM, Edisi No. 3 Tahun I / 1997)
- Perang Terlalu Penting Untuk Jadi urusan Jendral Saja, Damai Begitu Rumit Untuk Dikendalikan
Politisi Saja., Letjen TNI. Pur. Sayidiman Suryohadiprojo. 1997.
- K3I Dari Sultan Agung Sampai Masa Kini., Laksda TNI Pur. Koen Djelani, 1997.

Anda mungkin juga menyukai