Anda di halaman 1dari 36

c.

1)
2)

1)
2)
3)

2.

3.
a.
1)
2)
b.

Validasi
Merupakan suatu tindakan pembuktian dengan cara yang sesuai bahwa tiap bahan, proses,
prosedur, kegiatan, sistem, perlengkapan atau mekanisme yang digunakan dalam produksi
dan pengawasan mutu akan senantiasa mencapai hasil yang diinginkan. Dalam melakukan
validasi ada beberapa dokumen yang harus disiapkan diantaranya:
Rencana induk validasi
Suatu dokumen yang menyajikan informasi mengenai program kerja validasi perusahaan itu.
Dokumen ini hendaklah memberikan rincian jadwal kerja validasi yang harus dilaksanakan.
Protokol validasi
Suatu rencana tertulis mulai dari bagaimana validasi akan dilaksanakan termasuk parameter
pengujian, karakteristik produk, peralatan dan batas pengambilan keputusan terhadap hasil uji
yang dapat diterima. PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Jakarta melakukan beberapa
validasi meliputi:
Validasi metode analisa
Validasi metode analisa merupakan proses yang dilakukan melalui kebenaran dan kesesuaian
metode analisa yang digunakan.
Validasi pembersihan
Tujuannya adalah untuk mengetahui bahwa prosedur pembersihan yang dilakukan sudah
efektif.
Validasi proses
Validasi proses dilaksanakan setelah metode analisa divalidasi dan personel mendapat
pelatihan. Validasi proses dibagi menjadi 3 macam yaitu validasi prospektif, retrospektif dan
konkuren. Validasi prospektif dilakukan untuk produk baru dengan 3 batch pertama harus
memenuhi syaratdilakukan oleh R & D di Bandung sedangkan Plant Jakarta sendiri hanya
melakukan validasi konkuren untuk pemantauan proses produksi sebanyak 3
batch berurutan dan validasi retrospektif pada produk yang sudah beredar berdasarkan
dokumentasi dari 10-30 batch.
Inspeksi diri dan Audit
Tujuan inspeksi diri untuk mengevaluasi apakah semua aspek produksi dan pengawasan mutu
industri farmasi memenuhi ketentuan CPOB. Sedangkan, penyelenggaraan audit mutu
berguna sebagai pelengkap inspeksi diri. Audit mutu meliputi pemeriksaan dan penilaian
semua atau sebagian dari sistem manajemen mutu dengan tujuan spesifik untuk
meningkatkannya. Audit ada dua, yaitu audit internal dan audit eksternal. Audit internal
mengevaluasi perusahaan internal oleh perusahaan tetapi bagian yang berbeda divisi atau dari
luar, seperti BPOM. Sedangkan audit eksternal mengevaluasi supplier atau perusahaan
kerjasama (tol manufacturing) oleh Pabrik pengguna bahan dari supplier itu sendiri.
Frekuensi pelaksanaan inspeksi diri dan audit internal biasanya bersamaan 1 tahun dua kali,
sedangkan untuk audit eksternal supplier 2 tahun sekali, sedangkan perusahaan kerjasam (tol
manufacturing) 1 tahun sekali.
Stabilitas
Untuk pengujian stabilitas diambil dari 1% dari batch per tahun.
Stabilitas produk baru
Pengujian terhadap contoh uji meliputi uji stabilitas On going dan dipercepat.
On Going Stability: Dimasukkan ke dalam climatic chamber suhu 30 2 C dengan
kelembaban relatif 75 5%. Jadwal pengujian 0, 3, 6, 9, 12, 18, 24, 36, 48, 60 bulan.
Stabilitas dipercepat: Dimasukkan ke dalam climatic chamber suhu 40 2 C dengan
kelembaban relatif 75 5%. Jadwal pengujian 0, 1, 2, 3, 6 bulan.
Stabilitas produk yang sudah beredar dan sudah tetap

4.

a.
b.
c.
d.
5.

Pengujian stabilitas terhadap produk-produk yang sudah beredar di pasaran dan sudah tetap
cukup dengan on going stability. Produk dimasukkan ke dalam climatic chamber suhu 30
2 C dengan kelembaban relatif 75 5%.
Pengendalian dokumen
Pengendalian dokumen berfungsi mengganti, mendistribusikan dan memastikan dokumen
yang mengalami perubahan. Ada beberapa level dokumen yang menjadi tanggung jawab
divisi pengendalian mutu, yaitu:
Level 1 : Manual mutu
Level II : Prosedur sistem mutu
Level III : Prosedur-prosedut tetap
Level IV : Formulir-formulir
Dokumentasi, Regulasi, dan Penanganan keluhan pelanggan
Dokumentasi berfungsi mengarsip seluruh dokumen catatan pengolahan bets dan catatan
pengemasan bets yang diproduksi untuk mempermudah penelusuran jika ada permasalahan/
keluhan. Penyimpanan dokumen selama 6 tahun (expired date paling lama +1). Pemusnahan
catatan produksi disaksikan oleh 2 saksi dari bagian sistem mutu. Pemusnahan dilakukan
dengan menggunakan gunting atau mesin penghancur kertas. Pemusnahan dibuat Berita
Acara Pemusnahan. Selain pemusnahan catatan produksi juga dilakukan pemusnahan contoh
pertinggal. Pada pemusnahan contoh pertinggal disertai dengan Berita Acara Penyerahan
Barang Limbah B3 yang akan diberikan kepada K3L. Contoh pertinggal ini dimaksudkan
untuk investigasi atas klaim keluhan eksternal terhadap mutu.
Penanganan keluhan pelanggan terhadap permasalahan internal, seperti keluhan yang
disebabkan kerusakan pada saat distribusi, transportasi maupun penyimpanan baik untuk
bahan baku, bahan kemas, produk antara, produk ruahan dan produk jadi. Bagian ini akan
mengawasi dan melaksanakan pencatatan NCP (Non Conforming Product), suatu catatan
kegiatan perlakuan terhadap suatu produk yang tidak sesuai hasil pemeriksaannya yaitu dapat
berupa reproses atau kegagalan produksi. Sedangkan, untuk permasalahn eksternal seperti
keluhan pelanggan terhadap jumlah dan mutu misal dari konsumen, Apotek, UBL, PBF dan
BPOM. Dalam menanggapi keluhan pelanggan perlu dilakukan investigasi. Keluhan terhadap
mutu maka investigasi yang dilakukan adalah membandingkannya dengan contoh pertinggal.
Sedangkan keluhan terhadap jumlah dilakukan investigasi terhadap dokumentasi yang ada.
Sistem penarikan produk kembalian adalah Plant Manager akan membuat surat disposisi ke
Pedagang Besar Farmasi (PBF). Selanjutnya PBF akan membuat surat disposisi kepada
apotek-apotek dimana produk itu terdistribusi. Penarikan akan dibawa ke Unit Bisnis Logistik
(UBL).

Uji Klinik dan Uji PraKlinik

Uji farmakologi merupakan salah satu persyaratan uji untuk calon obat. Dari
uji ini diperoleh informasi tentang efikasi (efek farmakologi) dan profil farmakokinetik
(meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi obat) calon obat. Hewan
yang baku digunakan adalah galur tertentu dari mencit, tikus, kelinci, marmot,
hamster, anjing atau beberapa uji menggunakan primata, hewan-hewan ini sangat
berjasa bagi pengembangan obat (http://healthcare-pharmacist.blogspot.com)
Semua hasil pengamatan pada hewan menentukan apakah dapat diteruskan
dengan uji pada manusia. Ahli farmakologi bekerja sama dengan ahli teknologi
farmasi dalam pembuatan formula obat, menghasilkan bentuk-bentuk sediaan obat
yang akan diuji pada manusia (http://healthcare-pharmacist.blogspot.com)
Tahap-Tahap Pengembangan dan Penilaian Obat
1. Meniliti dan skrining bahan obat.
2. Mensintesis dan meneliti zat/senyawa analog dari obat yang sudah ada dan
diketahui efek farmakologinya
3. Meneliti dan mensintesis dan membuat variasi struktur
4. Dikembangkan obat alami dengan serangkaian pengujian yang dilaksanakan
secara sistematik, terencana dan terarah untuk mendapatkan data farmakologik
yang mempunyai nilai terapetik (http://jendelafarmasi.blogspot.com)
Pengembangan dan penilaian obat ini meliputi 2 tahap uji :
1. Uji Praklinik
Suatu senyawa yang baru ditemukan (hasil isolasi maupun sintesis) terlebih dahulu
diuji dengan serangkaian uji farmakologi pada hewan. Sebelum calon obat baru ini
dapat dicobakan pada manusia, dibutuhkan waktu beberapa tahun untuk meneliti
sifat farmakodinamik, farmakokinetik, farmasetika, dan efek toksiknya pada hewan
uji. Serangkaian uji praklinik yang dilakukan antaralain :
(http://jendelafarmasi.blogspot.com)
a)

Uji Farmakodinamika

Untuk mengetahui apakah bahan obat menimbulkan efek farmakologik seperti yang
diharapkan atau tidak, titik tangkap, dan mekanisme kerjanya. Dapat dilakukan
secara in vivo dan in vitro.
b) Uji Farmakokinetik
- Untuk mengetahui ADME (Absorpsi, Distribusi, Metabolisme dan Eliminasi)

- Merancang dosis dan aturan pakai


c) Uji Toksikologi
- Mengetahui keamanannya
d) Uji Farmasetika
- Memperoleh data farmasetikanya, tentang formulasi, standarisasi, stabilitas, bentuk
sediaan yang paling sesuai dan cara penggunaannya.
2. Uji Klinik
Uji Klinik Yaitu suatu pengujian khasiat obat baru pada manusia, dimana
sebelumnya diawali oleh pengujian pada binatang atau pra klinik (Katzung, 1989)
UJI KLINIK: Pada dasarnya uji klinik memastikan efektivitas, keamanan dan
gambaran efek samping yang sering timbul pada manusia akibat pemberian suatu
obat. Uji klinik ini terdiri dari uji fase I sampai fase IV (Ganiswara, 1995).
a)

Uji Klinik Fase I


Fase ini merupakan pengujian suatu obat baru untuk pertama kalinya pada

manusia. Yang diteliti disini ialah keamanan dan tolerabilitas obat, bukan efikasinya,
maka dilakukan pada sukarelawan sehat, kecuali untuk obat yang toksik (misalnya
sitostatik), dilakukan pada pasien karena alasan etik Tujuan fase ini adalah
menentukan besarnya dosis maksimal yang dapat toleransi (maximally tolerated
dose = MTD), yakni dosis sebelum timbul efek toksik yang tidak dapat diterima.
Pada fase ini, diteliti juga sifat farmakodinamik dan farmakokinetiknya pada
manusia. Hasil penelitian farmakokinetik ini digunakan untuk meningkatkan
ketepatan pemilihan dosis pada penelitian selanjutnya. Uji klinik fase I dilaksanakan
secara terbuka, artinya tanpa pembanding dan tidak tersamar, dengan jumlah
subyek bervariasi antara 20-50orang (http://jendelafarmasi.blogspot.com)
Pada fase ini obat dicobakan untuk pertama kalinya pada sekelompok kecil
penderita yang kelak akan diobati dengan calon obat. Tujuannya ialah melihat
apakah efek farmakologik yang tampak pada fase I berguna atau tidak untuk
pengobatan. Fase II ini dilaksanakan oleh orang-orang yang ahli dalam masingmasing bidang yang terlibat. Mereka harus ikut berperan dalam membuat protocol
penelitian yang harus dinilai terlebih dulu oleh panitia kode etik lokal. Protokol
penelitian harus diikuti dengan dengan ketat, seleksi penderita harus cermat, dan
setiap penderita harus dimonitor dengan intensif (Ganiswara, 1995).
Pada fase II awal, pengujian efek terapi obat dikerjakan secara terbuka
karena masih merupakan penelitian eksploratif. Pada tahap biasanya belum dapat

diambil kesimpulan yang mantap mengenai efek obat yang bersangkutan karena
terdapat berbagai factor yang mempengaruhi hasil pengobatan, misalnya perjalanan
klinik penyakit, keparahannya, efek placebo (Ganiswara, 1995).
Untuk membuktikan bahwa suatu obat berkhasiat, perlu dilakukan uji klinik
komparatif yang membandingkannya dengan placebo; atau bila penggunaan
placebo tidak memenuhi syarat etik, obat dibandingkan dengan obat standard yang
telah dikenal. Ini dilakukan pada akhir fase II atau awal fase III, tergantung dari siapa
yang melakukan, seleksi penderita, dan monitoring penderitanya. Untuk menjamin
validitas uji klinik komparatif ini, alokasi penderita harus acak dan pemberian obat
dilakukan secara tersamar ganda. Ini dsebut uji klinik acak tersamar ganda
berpembanding.
Pada fase II ini tercakup juga penelitian dosis-efek untuk menentukan dosis optimal
yang akan digunakan selanjutnya, serta penelitian lebih lanjut mengenai eliminasi
obat, terutama metabolismenya. Jumlah subjek yang mendapat obat baru pada fase
ini antara 100-200 penderita (Ganiswara, 1995).
b ) Uji Klinik Fase II
Pada fase ini dicobakan pada pasien sakit. Tujuannya adalah melihat apakah
obat ini memiliki efek terapi. Pada fase II awal, pengujian efek terapi obat dikerjakan
secara terbuka karena masih merupakan penelitian eksploratif, karena itu belum
dapat diambil kesimpulan yang mantap mengenai efikasi obat yang bersangkutan.
Untuk menunjukkan bahwa suatu obat memiliki efek terapi, perlu dilakukan uji klinik
komparatif (dengan pembading) yang membandingkannya dengan plasebo; atau jika
penggunaan plasebo tidak memenuhi persyaratan etik, obat dibandingkan dengan
obat standar (pengobatan terbaik yang ada). Ini dilakukan pada fase II akhir atau
awal, tergantung dari siapa yang melakukan, seleksi pasien, dan monitoring
pasiennya. Untuk menjamin validasi uji klinik komparatif ini , alokasi pasien harus
acak dan pemberian obat dilakukan secara tersamar ganda. Ini disebut uji klinik
berpembanding, acak, tersamar ganda. Fase ini terjakup juga studi kisaran dosis
untuk menetapkan dosis optimal yang akan digunakan selanjutnya(Ganiswara,
1995).
c ) Uji Klinik Fase III
-Pada manusia sakit, ada kelompok kontrol dan kelompok pembanding
- Cakupan lebih luas baik dari segi jumlah pasien maupun keragaman (misal : intra
ras

Setelah

terbukti

efektif

dan

aman

obat

siap

untuk

dipasarkan

(http://jendelafarmasi.blogspot.com)
Uji klinik fase III dilakukan untuk memastikan bahwa suatu obat-baru benarbenar berkhasiat (sama dengan penelitian pada akhit fase II) dan untuk mengetahui
kedudukannya dibandingkan dengan obat standard. Penelitian ini sekaligus akan
menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang (1) efeknya bila digunakan secara luas
dan diberikan oleh para dokter yang kurang ahli; (2) efek samping lain yang belum
terlihat pada fase II; (3) dan dampak penggunaannya pada penderita yang tidak
diseleksi secara ketat (Ganiswara, 1995).
Uji klinik fase III dilakukan pada sejumlah besar penderita yang tidak
terseleksi ketat dan dikerjakan oleh orang-orang yang tidak terlalu ahli, sehingga
menyerupai keadaan sebenarnya dalam penggunaan sehari-hari dimasyarakat.
Pada uji klinik fase III ini biasanya pembandingan dilakukan dengan placebo, obat
yang sama tapi dosis berbeda, obat standard dengan dosis ekuiefektif, atau obat lain
yang indikasinya sama dengan dosis yang ekuiefektif. Pengujian dilakukan secara
acak dan tersamar ganda.
Bila hasil uji klinik fase III menunjukan bahwa obat baru ini cukup aman dan efektif,
maka obat dapat diizinkan untuk dipasarkan. Jumlah penderita yang diikut sertakan
pada fase III ini paling sedikit 500 orang (Ganiswara, 1995).
d) Uji Klinik Fase IV
- Uji terhadap obat yang

telah dipasarkan

Mamantau

efek samping

yang

Dug

safety

drug

belum

(post marketing surveilance)

terlihat

mortality

pada
atau

uji-uji

sebelumnya

drug

morbidity

- MESO : Monitoring Efek Samping Obat


Fase ini sering disebut post marketing drug surveillance karena merupakan
pengamatan terhadap obat yang telah dipasarkan. Fase ini bertujuan menentukan
pola penggunaan obat di masyarakat serta pola efektifitas dan keamanannya pada
penggunaan yang sebenarnya. Survei ini tidak tidak terikat pada protocol penelitian;
tidak ada ketentuan tentang pemilihan penderita, besarnya dosis, dan lamanya
pemberian obat. Pada fase ini kepatuhan penderita makan obat merupakan
masalah.Penelitian fase IV merupakan survey epidemiologic menyangkut efek
samping maupun efektif obat. Pada fase IV ini dapat diamati (1) efek samping yang
frekuensinya rendah atau yang timbul setelah pemakaian obat bertahun-tahun
lamanya, (2) efektifitas obat pada penderita berpenyakit berat atau berpenyakit
ganda, penderita anak atau usia lanjut, atau setelah penggunaan berulangkali dalam

jangka panjang, dan (3) masalah penggunaan berlebihan, penyalah-gunaan, dan


lain-lain. Studi fase IV dapat juga berupa uji klinik jangka panjang dalam skala besar
untuk menentukan efek obat terhadap morbiditas dan mortalitas sehingga datanya
menentukan status obat yang bersangkutan dalam terapi.
Dewasa ini waktu yang diperluka untuk pengembangan suatu obat baru,
mulai dari sintetis bahan kimianya sampai dipasarkan,mencapai waktu 10 tahun
atau lebih.
Setelah suatu obat dipasarkan dan digunakan secara luas, dapat ditemukan
kemungkinan manfaat lain yang mulanya muncul sebagai efek samping. Obat
demikian kemudian diteliti kembali di klinik untuk indikasi yang lain, tanpa melalui uji
fase I. Hal seperti ini terjadi golongan salisilat yang semula ditemukan sebagai
antireumatik dan anti piretik. Efek urikosurik dan antiplateletnya ditemukan
belakangan. Hipoglikemik oral juga ditemukan dengan cara serupa (Ganiswara,
1995)

UJI KLINIS
Uji klinis merupakan penelitian eksperimental terencana yang dilakukan pada
manusia, pada uji klinis peneliti memberikan perlakuan atau intervensi pada subyek
penelitian, kemudian efek perlakuan tersebut diukur dan dianalisis. Bila dibandingkan dengan
study observasional, uji klinis mempunyai kapasitas yang lebih tinggi dalam menerangkan
hubungan sebab akibat. Dalam rancangan ini pula, pariabel perancu dapat dikontrol dengan
baik.
Uji klinis sering dilaksanakan untuk membandingkan satu jenis pengobatan dengan
pengobatan lainnya. Dalam arti kata yang luas, pengobatan dapat berarti medikamentosa,
perasat bedah, terapi psikologis, diet, akupuntus, pendidikan atau intervensi kesehatan
masyarakat dan lain-lain. Uji klinis ini telah dikenal dalam penelitian kedokteran sejak 50
tahun yang lalu, dan kini makin menjadi penting dengan kemajuan teknologi kedokteran.
Pada penelitian uji klinis dikenal uji klinis acak terkontrol atau randomized control
trial= RCT, yang merupakan standar obtimal uji klinis. Dalam istilah tersebut termasuk aspek
ketersamaran atau pembuatan (masking,blinding), hal yang amat penting disamping
randominasi, oleh karena itu maka hulley dan cummings lebih menyukai istilah randomisszed
blinded trial = RBT.
Uji klinis bervariasi dari uji efektivitas obat yang sederhana, yang hanya melibatkan
beberapa puluh kasus dan dapat dikerjakan oleh satu orang peneliti, sampai uji klinis
multisenter yang menuntut organisasi yang rumit, disamping jumlah subjek dan peneliti yang
banyak, factor logistic, system informasi serta manajemen yang rumit.
JENIS UJI KLINIS
Uji klinis pada dasarnya merupakan suatu rangkaian proses pengembangan
pengobatan baru. Biasanya jenis obat ataupun cara pengobatan yang akan diuji diharapkan
memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pengobatan yang telah ada. Uji klinis
dibagi dalam 2 tahapan, yaitu:
1. Tahapan 1
Pada tahapan ini dilakukan penelitian laboratorium yang disebut juga sebagai uji pre-klinis,
dikerjakan in vitro dengan menggunakan benatan percobaan. Tujuan penelitian tahapan 1 ini
adalah untuk mengumpulkan informasi farmakologi dan toksikologi dalam rangka untuk
mempersiapkankan penelitian selanjutnya yakni dengan menggunakan manusia sebagai
subjek penelitan
2. Tahapan 2
Pada uji klinis tahapan 2, digunakan manusia sebagai subjek penelitian. Tahapan ii
berdasarkan tujuannya dapat dibagi menjadi 4 fase, yaitu:
Fase 1 :bertujuan untuk meneliti keamanan serta toleransi pengobatan, dengan
mengikutsertakan 20-100 orang subjek penelitian.
Fase II : bertujuan untuk menilai system atau dosis pengobatan yang paling efektif, biasanya
dilaksanakan dengan mengikutsertakan sebanyak 100-200 subjek penelitian.
Fase III : bertujuan untuk mengevaluasi obat atau cara pengobatan baru dibandingkan
dengan pengobatan yang telah ada (pengobatan standal). Uji klinis yang banyak dilakukan
termasuk dalam fase ini. Baku emas uji klinis fase III adalah uji klinis acak terkontrol.

3.

a.
b.

4.

Fase IV : bertujuan untuk mengevaluasi obat baru yang telah dipakai dimasyarakat dalam
jangka waktu yang relative lama (5 tahun atau lebih). Fase ini penting karena terdapat
kemungkinan efek samping obat timbul setelah lebih banyak pemakai. Fase ini disebut juga
sebagai uji klinis pascapasar (post marketing).
DESAIN UJI KLINIS
Pada uji klinis dilakukan untuk mengetahui hubungan sebab akibat antara variable
bebas (predictor) dengan variabel tergantung (efek) dalam periode waktu tertentu. Hasil uji
klinis ditentukan berdasarkan atas perbedaan efek yang terjadi pada kelompok perlakuan
dengan pada kelompok control. Efek yang dinilai dapat merupakan kematian, kejadian klinis
ataupun hasil laboratorium dan dapat berskala nominal, ordinal ataupun numeric.
Uji klinis sesungguhnya sangat mirif dengan study kohort, karena kelompok
perlakuan dan control diikuti diobservasi sampai terjadi efek. Perbedaannya, pada uji klinis
baik alokasi subjek maupun metode perlakuan pada subjek ditentukan oleh peneliti untuk
memastikan bahwa kedua kelompok subjek sebanding dengan sedikit mungkin bisa.
Hal 122
Analisis interim
Dalam beberapa keadaan mungkin teori dan pengalaman tidak cukup untuk meyakinkan
bahwa perbedaan yang akan ditemukan antara kelompok terapi dan kelompok control tidak
terlalu besar. Dalam keadaan tersebut, yakni bila dengan subyek yang sedikit susah dapat
diperoleh kesimpulan yang definitive, bila peneliti meneruskan uji klinis berarti ia
membiarkan salah satu kelompok memperoleh pengobatan yang inferior, keadaan ini jelas
tidak etis. Karenanya, bila terdapat kemungkinan beda efek yang sangat besar antara
kelompok pengobatan dan kelompok control, maka diperlukan suatu prosedur untuk menilai
hasil antara sebelum penelitian selesai dilakukan. Prosedur ini disebut sebagai analisis interin.
Bagaimana patokan untuk melakukan analisis interin? Seyogyanya terdapat criteria
objektif untuk menghentikan uji klinis, yakni criteria statistic. Untuk hal ini perlu
diperhatikan 2 hal yakni:
Nilai kemaknaan yang semula dipilih
Berapa kali analisis interin diperlukan.
Dengan subyek yang lebih sediki dari yang dihitung semula, nilai p<0,05 mungkin ditemukan
meskipun sebenarnya kebenarannya tidak dapat perbedaan. Oleh karena itu pada analisis
interim nilai kemaknaan yang semula dipilih tidak dapat dipakai sebagai batas untuk
menghentikan uji klinis, melainkan harus dipilih nilai yang lebih rendah. Sebagai batasan
umum,bila rencana analisis interim tidak lebih dari 5 kali, batas p<0,01 dapat dipakai sebagai
batas untuk menghentikan uji klinis.
Analisis interim dapat pula dilakukan atas alas an praktis, misalnya masalah biaya,
kendala waktu, keterbatasan jumlah subyek, dan sebagainya; akan tetapi karena prosedur ini
mempunyai konsekuensi yang penting, uji klinis yang terencana dengan baik seyogyanya
tidak dipergunakan hal-hal tersebut untuk alas an melakukan analisis interim. Analisis interim
juga hanya dibenarkan terhadap efek yang penting, misalnya hidup-mati, dan bukan terhadap
efek yang tidak berbahaya, misalnya kadar kolesterol atau kenaikan berat badan.
Pemantauan pselama penelitian

a.

b.

c.

d.

5.

6.

7.

Pemantauan kemajuan penelitian penting untuk menilai kelanjutan penelitian, hal-hal yang
perlu dipantau adalah:
Kepatuahan pasien (compliance)
Kurang lebih separuh subjek penelitioan cenderung tidak memenuhi petunjuk penelitian.
Banyak factor yang mempengaruhi kepatuhan pasien ini, antara lain sifat obat (rasa, frekuensi
pemberian, efek samping), biaya, penjelasan sebelum penelitian, sikap dan cara pendekatan
peneliti kepada subyek, tingkat pendidikan subyek, lokasi klinik, dan lain-lain. Untuk
mengurangi ketidakpatuhan, subyek perlu diberi pengertian mengenai tujuan dan cara
penelitian, penjelasan dosis dan cara pemberian obat dan untuk pasien rawat inap dapat
diawasi oleh perawat khusus.
Drop out
Criteria drop out dan cara mengatasinya harus dijelaskan dalam usulan. Yang termasuk drop
out adalah pasien yang telah masuk dalam randominasi akan tetapi oleh suatu sebab tidak
dilanjutkan pengobatan. Pasien yang menolak atau mengundurkan diri sebelum dilakukan
randominasi tidak dihitung sebagai drop out. Pasien yang tidak datang untuk tindak lanjut
perlu dikunjungi kerumahnya untuk mengetahui sebabnya tidak datang. Bila pasien
menghentikan pengobatan dengan alasan obat tidak bermanfaat atau perjalanan penyakit
memburuk harus dilaporkan sebagai kegagalan pengobatan dan bukan drop out. Perlu diingat
bahwa dalam uji klinis pragmatis pasien drop out harus dimasukan di dalam pengolahan data.
Efek samping
Dalam uji klinis laporan mengenai efek samping obat sangat penting. Didalam usulan
penelitian harus sudah dicantumkan bagaimana mengatasi efek samping dan disebutkan
institusi atau orang yang harus dihubungi bila hal ini terjadi.
Penyimpangan protocol
Didalam usulan sebaiknya dikemukakan pula bagaimana cara mengatasi bila terjadi hal yang
menyimpang dari protocol, tanpa haru menunggu sampai hal itu terjadi. Misalnya pelajari
dulu kepatuhan pasien terhadap obat yang diberikan, juga modifikasi dosis obat pada pasien
yang mengalami efek samping pada dosis yang ditentukan, deperti halnya dengan upaya
menghindarkan drop out, peneliti harus berupaya untuk menghindarkan penyimpangan dari
proposal.
Rencana data
Walaupun masalah pencatatan data tidak merupakan hal istimewa didalam uji klinis, kualitas
formulir pencatatan pasien sangat menentukan kualitas data yang akan diolah; karena
pencatatan berperan pada keberhasilan penelitia.
Organisasi uji klinis
Struktur organisasi uji klinis perlu dibuat, khususnya pada uji klinis multisenter, sehingga
dapat diketahui dengan jelas tugas dan tanggung jawab personil yang turut dalam penelitian.
Surat persetujuan penelitian (informet consent)
Surat ini diperlukan sebelum pengobatan dilakukan, informed consent ini berisi penjelasan
kepada calon subyek mengenai tujuan, untung rugi turut didalam uji klinis dan apa yang akan
dilakukan bila timbul efek smaping. Pada dasarnya informed consent ini dibuat sebagai bukti

1.
2.
3.
a.
b.
4.
5.

1.
2.
3.

4.
1.

2.

3.

4.

pengakuan dari komite etik bahwa penelitian ini dikerjakan dengan mengacuhkan kode etik
penelitian.
KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN UJI KLINIS
KEUNTUNGAN UJI KLINIS
Secara epidemiologi sebenarnya uji klinis terasa agak kaku, walaupun demikian uji klinis
mempunyai keuntungan antara lain:
Dengan dilakukannya randominasi maka dapat dikontrol secara efektif, oleh karena factor
confounding akan terbagi secara seimbang diantara kedua kelompok subyek.
Criteria inklusi, perlakuan dan outcome telah ditentuakan terlebih dahulu.
Statistic akan lebih efektif, oleh karena :
Jumlah kelompok perlakuan dan control sebanding
Kekuatan atau power statistic tinggi
Uji klinis secara teori sangat menguntungkan oleh karena banyak metode statistic harus
berdasarkan pemilihab subyek secara random.
Kelompok subyek merupakan kelompok sebanding sehingga intervensi dari luar setelah
randominasi tidak banyak berpengaruh terhadap hasil penelitian selama intervensi tersebut
mengenai kedua kelompok subyek.
KERUGIAN
Desain dan pelaksanaan uji klinis kompleks dan mahal
Uji klinis mungkin dilakukan dengan seleksi tertentu sehingga tidak representative terhadap
populasi terjangkau atau populasi target.
Uji klinis paling sering dihadapkan kepada masalah etik, misalnya apakah etis bila kita
memberikan pengobatan pada kelompok perlakuan namun tidak mengobati kelompok
control.
Kadang-kadang uji klinis sangat tidak praktis.
RINGKASAN
Uji klinis merupakanstudi eksperimental yang dilakukan pada manusia berbeda pada study
observasional, pada uji klinis peneliti mengalokasi subyek yang menerima pengobatan dan
yang tidak menerima pengobatan tertentu. Uji klinis obat yang banyak dilakukan merupakan
uji klinis fase ke III.
Diantara banyak jenis desain uji klinis , yang banyak digunakan adalah desain perbandingan
parallel dan desain menyilang. Dari desain parallel, uji klinis tersamar ganda dianggap
sebagai baku emas untuk menguji pengobatan baru. Dalam desain ini telah tercakup alokasi
random serta pelaksana penelitian yang memungkinkanpasien serta peneliti tidak mengetahui
jenis obat yang diberikan.
Alokasi random merupakan salah satu langkah yang penting pada uji klinis, karena apabila
dilakukan dengan baik dan jumlah subyek cukup, semua variabel pada kedua kelompok akan
sebanding sehingga bila ada perbedaan efek, perbedaan tersebut oleh perbedaan perlakuan
dan bukan oleh factor lain.
Factor lain yang cukup berat pada uji klinis adalah mempertahankan agar setiap pasien yang
masuk penelitian dapat diobservasi sampai selesai.makin banyak pasien yang keluar dari
penelitian, kesahihan hasil penelitian makin berkurang.

Dalam analisis harus diperhatikan apakah uji bklinis tersebut merupakanuji klinis
pragmagmatik (untuk menilai efektifitas obat dalam tata laksana pasien).atau uji klinis
explanatory (menerangkan,efficacy secara farmakologis). Pada uji klinis pregmatik (dengan
efek nominal). Setiap subyek yang telah dirandominasi harus diikut sertakan dalam analisis
dalam kelompok semula (intention to treat analysis). Pada uji klinis explonatory analisis
hanya dilakukan pada subyek yang menyelesaikan penelitian (on treatment analysis), untuk
ini desain harus dibuat ideal sehingga seyogyanya tidak ada subyek yang keluar dari
penelitian.
6. Agar hasil uji klinis sahih, maka pelbagai nilai positif uji klinis harus dibayar dengan
persiapan matang dan rumit, sering mahal dengan memungkinkan peneliti terhadap dengan
masalah etika.
5.

Tahapan Uji klinik atau uji klinis antara lain :


1. Uji Klinik Fase I
Pengujian pada sukarelawan sehat untuk mengetahui keamanan zat aktif pada manusia dan untuk
mengetahui
rentang dosis aman serta profil farmakokinetiknya. (lebih fokus pada keamanan obat)
2. Uji Klinik Fase II
Pengujian pada orang sakit yang sesungguhnya dalam jumlah yang sedikit untuk mengetahui
efektivitas zat aktif tersebut. (lebih fokus pada khasiat/efek farmakologi obat)
3. Uji Klinik Fase III
Pengujian pada pasien yang sesungguhnya dalam jumlah yang lebih besar, (random
control dan double blind, intinya pengujian pada pasien acak dan tanpa ada perlakuan khusus) untuk
melihat efektivitas dan kemungkinan timbulnya efek yang tidak diinginkan.
4. Uji klinik Fase IV
Pengujian saat post marketing surveillance, pengujian ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas
dan efek yang merugikan setelah obat dilepas ke pasar dan dipakai oleh banyak pasien, pengujian ini
dilakukan setelah mendapat ijin edar sementara. pengujian ini dilakukan apabila tidak ditemukan
efek yang merugikan yang cukup serius saat uji klinik fase I sampai fase III. Selama uji klinik fase IV
harus terus dipantau dan dimonitoring mengenai efek obat

1. Drinking Water
Air yang sehari hari kita minum dan berasal dari sumber alam yang tersedia
seperti air sungai, danau, payau, tanah, dan laut. Treatmen yang dilakukan seperti
softening (penghilangan kesadahan /zat Calsium dan Magnesium dihilangkan),
removal of specific ions (ion spesifik yang dihilangkan seperti bebas klorin), particle
reduction (reduksi jumlah partikel dan ukuran partikel yang tidak sesuai seperti
lumpur, pasir), dan antimicrobial treatment (penghilangan microba biasanya dengan
pemanasan ataupun UV panjang gelombang 365).
2. Purified water
Purified water merupakan air yang disiapkan dari sumber air yang dapat diminum.
Di sini sudah harus memenuhi spesifikasi dari pharmacope seperti kandungan kimia
dan mikrobiologi (chemical and microbiological purity) dan diharuskan ada sistem
perlindungan terjadinya recontamination dan microbial proliferation.
3. Highly purified water
Sama halnya purified water, air jenis ini juga hendaknya disiapkan dari sumber air
yang dapat diminum. Highly purified water ini ditemukan hanya di pharmacope
eropa (European pharmacopoeia) karena spesifikasinya yang unik. grade airnya
harus sama dengan standar kualitas dari water for injections (WFI) termasuk limit
for endotoxins, tetapi beda dalam hal pengolahannya (water-treatment methode),
yakni tidak menggunakan destilasi. HPW (highly Purified Water) biasanya disiapkan
menggunakan kombinasi dari berbagai metode seperti RO (Reversed osmosis),
Ultrafiltration, dan Deionization. Nb: mengenai RO akan dibahas lebih lanjut
ditulisan berikutnya.
4. Water for injections
Water For Injections merupakan air yang digunakan untuk produksi sediaan injeksi.
Dengan demikian, syaratnya sangat ketat. Water for Injection bukanlah air steril dan
bukan final dosage form. WFI merupakan produk ruah intermediet (intermediate
bulk product). Di dalam pharmacopoeial WPU, Water For Injection merupakan
kualitas paling tinggi dari jenis air air lainnya untuk industri farmasi. Cara/teknik
pemurnian termasuk bagian dari spesifikasi dari WFI. International pharmacopoeia
dan European Pharmacopoeia mengharuskan Destilasi sebagai tahap final purifikasi.
(Bebas pyrogen, bebas endotoxin, bebas microba, bebas kandungan kimia, dan bebas
partikel, serta menggunakan destilasi sebagai tahap akhir pemurnian).

ackaging Pharmaceutical Product

Disusun oleh :
Yessy Khoiriyani G1F010008
Galih Samodra

G1F010012

Rizki Puspitasari

G1F010031

Abstrak
Pengemasan merupakan suatu perlakuan pengamanan terhadap bahan atau produk
baik yang sudah mengalami pengolahan atau belum sampai ke tangan konsumen
dengan kondisi baik. Dalam dunia farmasi biasa digunakan teknik pengemasan strip
untuk sediaan solid. Untuk mengemas barang yang cukup banyak atau bulk material
digunakan, multi wall paper sack. Saat ini manusia menggunakan teknologi untuk
membuat kemasan plastik sintetik. Banyak faktor yang harus di pertimbangkan
dalam memilih komponen-komponen pengemasan untuk bentuk-bentuk takaran
bahan padat, seperti kecocokan produk hingga aspek kemudahan pengaksesan.
Kata kunci : pengemasan produk farmasi, teknik pengemasan produk farmasi,
packaging pharmaceutical product
Pengemasan dalam dunia farmasi mempunyai peran penting, sebab suatu sediaan
tidak akan berarti apabila pengemasannya buruk atau tidak sesuai dengan bentuk
sediaan tersebut. Hal ini dapat menyebabkan rusaknya bahan yang dikemas baik
karena faktor fisik (penyimpanan) maupun faktor kimia (stabilitas bahan yang
dikemas). Pada umumnya pengemasan berfungsi untuk menempatkan bahan atau
hasil pengolahan atau hasil industri dalam bentuk yang memudahkannya dalam
penyimpanan, pengangkutan, dan distribusi sampai ke tangan konsumen. Secara
garis besar fungsi pengemasan adalah sebagai berikut :
1.

Mewadahi produk selama distribusi dari produsen hingga ke konsumen,


agar produk tidak tercecer, terutama untuk cairan, pasta atau butiran.
2.
Melindungi dan mengawetkan produk, seperti melindungi dari sinar
ultraviolet, panas, kelembaban udara, oksigen, benturan, kontaminasi dari
kotoran dan mikroba yang dapat merusak dan menurunkan mutu produk.

3.

Sebagai identitas produk, dalam hal ini kemasan dapat digunakan sebagai
alat komunikasi dan informasi kepada konsumen melalui label yang terdapat
pada kemasan.
4.
Meningkatkan efisiensi, misalnya : memudahkan penghitungan (satu
kemasan berisi 10, 1 lusin, 1 gross dan sebagainya), memudahkan pengiriman dan
penyimpanan. Hal ini penting dalam dunia perdagangan.
5.
Melindungi pengaruh buruk dari luar, melindungi pengaruh buruk dari
produk di dalamnya, misalnya jika produk yang dikemas berupa produk yang
berbau tajam, atau produk berbahaya seperti air keras, gas beracun dan produk
yang dapat menularkan warna, maka dengan mengemas produk ini dapat
melindungi produk-produk lain di sekitarnya.
6.
Memperluas pemakaian dan pemasaran produk, misalnya penjualan kecap
dan sirup mengalami peningkatan sebagai akibat dari penggunaan kemasan botol
plastik.
7.
Menambah daya tarik calon pembeli.
8.
Sarana informasi dan iklan.
9.
Memberi kenyamanan bagi pemakai (Julianti dan Mimi, 2006).
Klasifikasi kemasan berdasarkan struktur sistem kemas (kontak produk
dengan kemasan):
a) Kemasan primer, yaitu kemasan yang langsung mewadahi atau membungkus
bahan pangan. Misalnya kaleng susu, botol minuman.
b) Kemasan sekunder, yaitu kemasan yang fungsi utamanya melindungi kelompokkelompok kemasan lain. Misalnya kotak karton untuk wadah susu dalam kaleng,
kotak karton untuk wadah strip obat dan sebagainya.
c) Kemasan tersier, kuartener yaitu kemasan untuk mengemas setelah kemasan
primer, sekunder atau tersier. Kemasan ini digunakan untuk pelindung selama
pengangkutan. Misalnya botol yang sudah dibungkus, dimasukkan ke dalam kardus
kemudian dimasukkan ke dalam kotak dan setelah itu ke dalam peti kemas.
Material

Tipe

Kegunaan

Gelas

Primer

Botol, ampul, vial berisi


solution atau tablet

Plastik

PrimerSekunder

Botol, ampul, vial berisi


solution atau tabletPembungkus
yang terdiri dari beberapa
kemasan primer

Wol

Primer

Pengisi kosong

Logam

Primer

Penyusun aerosol, penutup


bahan

Papan

Sekunder

Kotak berisi kemasan primer

Kertas

Sekunder

Leaflet, label

Primer

Penutup yang memberi segel


kompresi

Liners
(Lund, 1994).

Dalam hal material, tidak semua bahan dapat berfungsi sebagai pengemas demikian
pula persyaratan dan spesifikasi bahan pengemas untuk keperluan yang satu
berbeda dengan yang lain. Beberapa persyaratan bahan pengemas adalah :
a) Memiliki permeabilitas terhadap udara (oksigen dan gas lain) yang baik
b)
harus bersifat tidak toksik dan tidak bereaksi (inert), sehingga tidak terjadi
reaksi kimia yang dapat menyebabkan atau menimbulkan perubahan warna, flavor
dan citarasa produk yang dikemas
c)
harus mampu menjaga produk yang dikemas agar tetap bersih dan merupakan
pelindung terhadap pengaruh panas, kotoran dan kontaminan lain
d) harus mampu melindungi produk yang dikemasnya dari kerusakan fisik dan
gangguan dari cahaya (penyinaran)
e)
harus mudah dibuka dan ditutup dan dapat meningkatkan kemudahan
penanganan, pengangkutan dan distribusi
f)
harus mampu menjelaskan identifikasi dan informasi dari bahan yang
dikemasnya, sehingga dapat membantu promosi atau memperlancar proses
penjualan.
Dengan banyaknya persyaratan yang diperlukan untuk bahan kemas, maka tentu
saja bahan kemas alami tidak dapat memenuhi semua persyaratan tersebut sehingga
manusia dengan bantuan teknologi berhasil membuat bahan kemas sintetik yang
dapat memenuhi sebagian besar dari persyaratan minimal yang diperlukan (Anonim,
2006).
Kualifikasi dan Validasi

CPOB mensyaratkan industri farmasi untuk mengidentifikasi validasi yang perlu


dilakukan sebagai bukti pengendalian terhadap aspek kritis dari kegiatan yang
dilakukan. Perubahan signifikan terhadap fasilitas, peralatan dan proses yang dapat
mempengaruhi mutu Produk hendaklah divalidasi. Validasi adalah tindakan
pembuktian dengan cara yang sesuai bahwa tiap bahan, proses, prosedur, kegiatan,
sistem, perlengkapan atau mekanisme yang digunakan dalam produksi maupun
pengawasan mutu akan senantiasa mencapai hasil yang diinginkan (Anonim, 2006).
Validasi untuk mesin, peralatan produksi dan sarana penunjang disebut
kualifikasi. Dimana kualifikasi tersebut adalah langkah pertama dalam
melaksanakan validasi di industri farmasi (Priyambodo, 2007).
Peralatan
Desain dan kontruksi peralatan pengemasan produk hendaklah memenuhi
persyaratan sebagai berikut:

Peralatan

hendaklah

didesain

dan

dikontruksikan

sesuai

dengan

tujuannya. Permukaan peralatan yang bersentuhan dengan bahan awal, produk


antara, produk jadi tidak boleh menimbulkan reaksi yang dapat menimbulkan
identitas, mutu atau kemurnian di luar batas yang ditentukan.
Bahan yang diperlukan untuk pengoperasian alat khusus, misalnya pelumas

atau pendingin tidak boleh bersentuhan dengan bahan yang sedang diolah
sehingga tidak mempengaruhi identitas, mutu atau kemurnian bahan awal,
produk antara ataupun produk jadi.
Peralatan hendaklah didesain sedemikian rupa agar mudah dibersihkan.

Peralatan tersebut hendaklah dibersihkan sesuai prosedur tertulis yang rinci


serta disimpan dalam keadaan bersih dan kering. Hendaklah tersedia alat
timbang dan alat ukur dengan rentang dan ketelitian yang tepat untuk proses
produksi dan pengawasan. Peralatan yang digunakan untuk menimbang,
mengukur, memeriksa dan mencatat hendaklah diperiksa ketepatannya dan
dikalibrasi sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. Hasil pemeriksaan dan
kalibrasi hendaklah dicatat dan disimpan dengan baik (Anonim, 2006).
Kegiatan pengemasan produk dilaksanakan di bawah pengendalian yang ketat untuk
menjaga identitas, keutuhan dan mutu produk akhir yang dikemas. Semua kegiatan
pengemasan dilaksanakan sesuai dengan instruksi yang diberikan dan menggunakan
bahan pengemas yang tercantum dalam prosedur pengemasan induk. Rincian
pelaksanaan pengemasan dicatat dalam catatan pengemasan batch (Anonim, 2006).

Seluruh wadah, yang digunakan untuk penyimpanan obat dan tutupnya tidak boleh
mempengaruhi kualitas obat yang tersimpan di dalamnya. Wadah dan tutupnya
dibersihkan dulu sebelum digunakan. Dengan menggunakan cara yang cocok dapat
dijamin bahwa persyaratan kemurnian mikrobiologis bagi bahan obat dan sediaan
obat yang tercantum dalam Farmakope dapat terpenuhi. Setelah pembersihan dan
pengeringan wadah, sejauh tidak digunakan, disimpan dalam kondisi tertutup.
Wadah harus diberi tanda yang jelas sesuai dengan persyaratannya setelah diisi
dengan obat. Wadah dan tutup yang terbuat dari plastik dan elastik, diuji seperti
Pengujian barang terbuat dari plastick dan elastik (Voight, 1995).
Beberapa teknologi pengemasan produk farmasi yaitu :
1.
Strip packaging
Merupakan pengemasan yang menganut sistem dosis tunggal, biasanya untuk
sediaan padat (tablet, kapsul, kaplet, dan lain-lain) yang digunakan secara per oral.
Metodenya adalah mengemas dengan dua lapisan atas atau bawah, dan kemudian
diseal dan dicut. Produk akan jatuh kedalam mold yang panas, kemudian dibentuk
kemasan dan mewadahi produk tersebut. Produk yang disegel antara dua lapisan
tipis ini biasanya mempunyai segel dan biasanya dipisahkan dari bungkus-bungkus
yang bedekatan karena adanya perforasi. Pemilihan dari material harus tepat, agar
tidak ada migrasi dari produk keluar. Ukuran dan kedalaman dari mold tersebut
harus cukup untuk menampung produk dan membentuk kantong, dan jangan
sampai produk tertekan. Contoh : noza, obat generik seperti dextromethorphan
(Anandita, 2012).

Gambar contoh kemasan strip

Gambar stripping process


Strip terdiri dari berbagai macam tergantung bahan penyusun dari strip.
Diantaranya ada PLM (polycellonium), PLO (Polycello) dan PLN (Polynium). PLM
merupakan bahan strip yang paling umum, dimana kandungannya adalah polycello
atau cellophan dan alumunium. Cellophan adalah sejenis bahan dari serat selulosa
yang berbentu tipis transparan, fungsinya dalam kemasan adalah untuk
menempelkan pewarna sehingga strip bisa colorfull. Bahan yang biasa dipakai
adalah MST / MT dan PT cellophan. Alumunium sendiri berfungsi untuk menjaga
obat dari pengaruh kelembapan. Semakin tebal alumunium yang digunakan akan
semakin membuat tingkat proteksi menjadi lebih baik. Namun harus dilihat dari sisi
mesin strip, apakah kompatibel atau tidak karena bisa jadi semakin tebal akan
menggangu proses stripping. Antara selophan dan alumunium ini terdapat satu
lapisan yakni PE atau Polyetilen yang berfungsi untuk melekatkan selophan dan
alumunium. Lapisan setelah alumunium sendiri adalah PE lagi, fungsinya kali ini
adalah untuk membuat dua PLM dapat saling melekat saat distripping. Jadi secara
garis besar, ada 4 lapisan dalam PLM yakni selophan (terluar), PE, Alu, PE
(terdalam). Pembuatan PLM secara garis besar yaitu selophan dicetak dan diberi
warna lalu PE dicairkan. Kemudian Alu dan selophan dipasang dalam masingmasing silindernya, saat akan ditemukan maka diberi cairan PE, sehingga keduanya
melekat. Lalu dilapis dengan PE kembali pada bagian dalam. Untuk PLO dan PLN
hampir sama dengan PLM. Hanya saja PLO komposisinya adalah selophan dan PE
sehingga sifatnya elastis dan tembus pandang (contoh : antimo tablet). Sedangkan
PLN kandungannya adalah Alu dan PE (Anandita, 2012).
Sistem kerja mesin strip sendiri cukup sederhana yakni dengan menyiapkan dua
PLM pada rollernya. kemudian ditengahnya dimasukkan dalam strip dan dipanasi
sehingga PE mencair dan akan melekatkan kedua PLM (Anandita, 2012).

Pemeriksaan strip juga sederhana. Saat kedatangan barang, cukup diperiksa


kesesuaian warna dan teks, lebar PLM dalam satu roll, dan kebersihan PLM. Saat
produksi, dilakukan pengecekan kualitas PLM dengan tes kebocoran menggunakan
metilen blue dalam presure chamber (Anandita, 2012).
2.
Blister pack
Dalam proses ini lembar plastik yang tebal dilewatkan pada rol yang telah
dipanaskan, hingga akan terbentuk ruang untuk diisi produk. Produk yang akan
dikemas kemudian dilepas melalui happer, kemudian lembar foil yang sudah
dicoat dengan laquer dipakai untuk menutup lembar plastik yang sudah dibentuk
dan berisi produk lalu dicut. Strip dibentuk dalam tray, dicut sesuai mold dan
dimasukkan dalam karton box. Contoh : panadol atau supra livron (Anandita, 2012).

Gambar contoh kemasan blister

Gambar mesin pengemas blister


Kemasan blister terdiri dari dua lapisan kemasan yang berbeda yakni PTP dan
Plastik. PTP merupakan singkatan dari Press Trough Packaging. Komposisi PTP ini
adalah alu dan PE. Sedangkan plastik yang digunakan bisa PVC atau PVdC,
tergantung dari bahan yang akan diblister. jika bahan sensitif dengan kelembapan
maka akan lebih disarankan PVDC karena lebih protect. Proses produksi awalnya
yaitu PVC dibentuk dengan dipanaskan terlebih dahulu dengan heater namun tidak
sampai cair, lalu dibentuk sesuai dengan cetakannya atau nama kerennya forming.
Proses forming sendiri prinsipnya adalah dengan memberikan tekanan udara untuk
membentuk plastik panas dan cooler sehingga plastik yang tertekan udara dalam
cetakan akan terbentuk namun tidak bisa kembali ke bentuk semula karena ada
proses pendinginan. kemudian tablet dimasukkan dalam forming baik manual atau
otomatis dan disealing dengan PTP menggunakan panas pada bagian sampingnya.
Baru kemudian dipotong sesuai ukuran blister dengan menggunakan cutting khusus
(Anandita, 2012).
3.
Pengemasan bulk produk
Untuk mengemas barang yang cukup banyak atau bulk material digunakan, multi
wall paper sack. Heavy duty bag polyethylene, woven sack polipropylene dan jute
bags, tetapi sekarang ini jute bags sudah kurang popular. Multiwall paper sack :
terdiri dari beberapa lapisan kertas yang saling menunjang, dengan demikian maka
beban yang didukung oleh kantong tersebut akan merata keseluruh lapisan. Jumlah
lapisan bisa antara 2 sampai dengan 6 lapis. Dengan menggunakan beberapa lapisan
kertas yang agak tipis adalah lebih fleksibel dan kuat daripada menggunakan satu

atau dua lapisan kertas yang tebal. Multiwall paper bag dapat digunakan untuk
berbagai produk terutama yang berbentuk bubuk (Julianti dan Mimi, 2006).

Gambar contoh kemasan bulk

Gambar mesin pengemas bulk


4.
Pengemasan botol
Kaca merupakan penelitian terdekat untuk bentuk botol yang steril. Hanya sumber
potensial dari pergeresan gas didalam atau diluar botol kaca melalui segel antara
penutup dan leher botol. Teknologi metode-metode evaluasi untuk kaca di dikenal
baik dan dikemas dalam UPS/NF. Bagian-bagian yang penting dari botol kaca adalah
tipe botol, bentuk, isi keseluruhan (juga dikenal dengan kapasitas yang berlebih),
pengakhiran leher botol, warna dan pergeseran bentuk. Hal yang banyak digunakan
tipe NP, sebuah kaca bentuk soda untuk produk yang tidak parental, yaitu produk

yang didasari dengan penggunaan topikal dan oral. Warna yang banyak digunakan
adalah kuning gading (Julianti dan Mimi, 2006).

Gambar kemasan botol

Gambar kemasan botol kaca untuk sediaan injeksi

Gambar mesin pengemas botol


5.
Pengemasan kaleng
Syarat-syarat pengaturan, membutuhkan panduan USP/NF yang mencakup
pengalengan dan penutupan, memberikan petunjukan pengemasan dengan bentukbentuk takaran bubuk dalam pengalengan takaran yang banyak. Seorang ahli obatobatan seharusnya tidak mengemas kembali sebuah produk dalam pengalengan yang
lemah pertahanan. Pengalengan seharusnya bersih dan aman untuk menjamin
identitas kekuatan, kualitas dan kemurnian dari produk-produk obat-obatan untuk
ketahanan hidup. Perusahaan-perusahaan obat dibutuhkan untuk melakukan tes
untuk menemukan hal yang standar ini. Hal yang kecil akan menjadi sebuah
stabilitas penelitian dalam pengalengan bertanda dan penutupan yang digunakan
untuk penjualan produk (Julianti dan Mimi, 2006).

Gambar kemasan kaleng


Perkembangan Teknologi Pengemasan

Saat ini telah dikembangkan teknologi pengemasan bahan pangan dan produk
farmasi yang mencakup :
1.
Pengemasan atmosfir termodifikasi (Modified Atmosfer Packaging/MAP)
Merupakan pengemasan produk dengan menggunakan bahan kemasan yang dapat
menahan keluar masuknya gas sehingga konsentrasi gas di dalam kemasan berubah
dan ini menyebabkan laju respirasi produk menurun, mengurangi pertumbuhan
mikrobia, mengurangi kerusakan oleh enzim serta memperpanjang umur simpan.
Fabrikasi film kemasan dapat menghasilkan kemasan dengan permeabilitas gas yang
luas serta tersedianya adsorber untuk O , CO , etilen, dan air. Keuntungan dari teknik
kemasan aktif adalah tidak mahal (relatif terhadap harga produk yang dikemas),
ramah lingkungan, mempunyai nilai estetika yang dapat diterima dan sesuai untuk
sistem distribusi.
Adanya absorber oksigen dapat menyerap oksigen pada bahan-bahan pangan
sepertihamburger, pasta segar, mie, kentang goreng, daging asap (sliced ham dan
sosis), cakes,dan roti dengan umur simpan panjang, produk-produk konfeksionari,
kacang-kacangan, kopi, herba (dalam farmasi) dan rempah-rempah.
Penggunaan kantung absorber O memberikan keuntungan khususnya untuk
produk-produk yang sensitif terhadap oksigen dan cahaya seperti produk bakery dan
pizza, daging yang dimasak dimana pertumbuhan jamur dan perubahan warna
merupakan masalah utamanya.
2. Pengemasan aktif (Active Packaging) dan Smart Packaging
Merupakan teknik kemasan yang mempunyai sebuah indikator eksternal atau
internal untuk menunjukkan secara aktif perubahan produk serta menentukan
mutunya. Tujuan dari kemasan aktif atau interaktif adalah untuk mempertahankan
mutu produk dan memperpanjang masa simpannya.
2

(Julianti dan Mimi, 2006).


KESIMPULAN
Pengemasan dalam dunia farmasi mempunyai peran penting, yaitu untuk
menempatkan bahan atau hasil pengolahan atau hasil industri dalam bentuk yang
memudahkannya dalam penyimpanan, pengangkutan, dan distribusi sampai ke
tangan konsumen. Teknologi pengemasan sediaan farmasi meliputi strip, blister,
bulk, botol, dan kale

BCS merupakan suatu system yang dimana untuk membedakan obat berdasarkan
kelarutan dan permeabilitasnya. Dimana kelarutan merupakan kemampuan suatu zat kimia
tertentu, zat terlarut (solute), untuk larut dalam suatu pelarut (solvent). Permeabilitas
merupakan kemampuan suatu senyawa untuk menembus suatu membrane plasma.
Makna dari BCS ditentukan dengan rute pemberian oral, obat harus larut dalam pH
darah ( berkisar antara 7,4-7,6), kelarutan obat dari usus dan lambung dan selain itu terlebih
dahulu diuji pada in vivo dan in vitro. Yang dimaksud dengan in vivo yaitu pengujian yang
dilakukan dalam tubuh Sedangkan in vitro yaitu pengujian yang dilakukan pada keadaan
yang dikondisikan dengan kondisi tubuh yang sebenarnya (diluar tubuh).
Sistem Klasifikasi Biofarmasetik dikembangkan pada teori bahwa disolusi obat
terkontrol dari kelarutan dan area permukaan obat digambarkan sebagai dosis dan ukuran
partikel obat. Dalam penerimaan Sistem Klasifikasi Biofarmasetik, harus mengikuti tingkat
teori disolusi obat yang memberikan kelarutan, dosis, ukuran partikel, volume disolusi, dan
kondisi hidrodinamik.

Ada empat system klasifikasi dalam BCS yaitu :


Kelas I (Kelarutan tinggi dan permeabilitas tinggi)
Pada kelas I inilah senyawa akan diserap dengan baik dan tingkat penyerapannya
biasanya lebih tinggi sehingga pada kelas inilah yang sangat diinginkan dalam suatu sediaan.
Senyawa Kelas I diformulasikan sebagai produk dengan pelepasan segera, laju disolusi
umumnya melebihi pengosongan lambung.
Oleh karena itu, hampir 100% penyerapan dapat diharapkan jika setidaknya 85% dari
produk larut dalam 30 menit dalam pengujian disolusi in vitro dalam berbagai nilai pH, oleh
karena itu data bioekivalensi in vivo tidak diperlukan untuk menjamin perbandingan produk.
Kelas II (permeabilitas tinggi dan kelarutan rendah)
Pada kelas ini keadaan sediaannya kurang baik karena sulitnya suatu obat/ senyawa
larut dalam cairan lambung dan usus. Oleh karena itu perlu ditingkatkan kelarutannya dengan
cara merubah senyawa menjadi bentuk kokristal , pembentukan kompleks, penambahan
kosolven dan penambahan surfaktan agar memperoleh kelarutan yang baik.
Kelas III (permeabilitas rendah dan kelarutan tinggi)
Pada kelas ini berbanding terbalik pada kelas ii dimana permeabilitas pada kelas ini
rendah sehingga perlu juga dilakukan modifikasi dengan cara mengionkannya karena obatobat yang dapat terionisasi sempurna tidak dapat menembus bagian lemak pada
membran. obat-obat dibuat tidak mampu terionisasi sempurna dicairan usus atau lambung
agar dapat ditingkatkan permeabilitasnya. Selain itu dapat dilakukan penambahan kosolven.

Dengan penambahan kosolven dapat meningkatkan permeabilitas suatu obat untuk melewati
membran.
Kelas IV (permeabilitas rendah dan kelarutan rendah)
Pada kelas ini permeabilitas dan kelarutannya sama-sama rendah, hal ini membuat
suatu sediaan tidak dapat larut dengan baik dan tidak dapat terabsorbsi dengan baik pula.
Oleh karena itu perlu ditingkatkan permeabilitas dan kelarutannya dengan cara menambahkan
senyawa yang lebih asam pada cairan lambung dan senyawa basa pada cairan usus.
Faktor-faktor yang mempengaruhi BCS diantaranya adalah :
1. Laju disolusi
Dalam pedoman ini, suatu produk obat dikatakan cepat melarut jika tidak kurang dari
85% dari jumlah berlabel bahan obat larut dalam waktu 30 menit, menurut US Pharmacopeia
(USP) alat disolusi I pada 100 rpm (atau alat disolusi II pada 50 rpm) dalam volume 900 ml
atau kurang di setiap media seperti HCl 0,1 N atau cairan lambung buatan tanpa enzim,
larutan buffer pH 4,5, larutan buffer pH 6,8 atau cairan usus buatan tanpa enzim.
2. Kelarutan
Tujuan dari pendekatan BCS adalah untuk menentukan kesetimbangan kelarutan suatu
obat dalam kondisi pH fisiologis. Profil kelarutan terhadap pH suatu obat uji harus ditentukan
pada 37 1oC dalam media air dengan rentang pH 1-7,5. Kondisi pH untuk penentuan
kelarutan dapat didasarkan pada karakteristik ionisasi obat uji. Misalnya, ketika pKa obat
berada di kisaran 3-5, kelarutan harus ditentukan pada pH = pKa, pH = pKa +1, pH = pKa-1,
dan pada pH = 1 dan 7,5. Minimal dilakukan tiga kali percobaan. Larutan buffer standar yang
dijelaskan dalam USP dapat digunakan dalam studi kelarutan. Jika buffer ini tidak cocok
untuk alasan fisik atau kimia, larutan penyangga lainnya dapat digunakan. PH larutan harus
diverifikasi setelah penambahan obat untuk buffer (Wagh dkk., 2010).
3. Permeabilitas
Permeabilitas didasarkan langsung pada tingkat penyerapan usus suatu obat pada
manusia atau tidak langsung pada pengukuran laju perpindahan massa melintasi membran
usus manusia.
Suatu obat dikatakan sangat permeabel ketika tingkat penyerapan pada manusia adalah
90% atau lebih dari dosis yang diberikan, berdasarkan pada keseimbangan massa atau
dibandingkan dengan dosis pembanding intravena.
Rate limiting step adalah tahap yang membatasi pembatas untuk mencapai tingkat
sistemik dalam tubuh hingga masuk kedalam darah. Obat-obat yang mempunyai kelarutan
kecil dalam air tahap pelarutan merupakan tahap yang paling lambat oleh karena itu akan
terjadi efek penentu kecepatan terhadap biovailabilitas obat. Kecepatan disolusi dianggap
selalu lebih lambat daripada kecepatan absorpsi atau dengan kata lain kecepatan disolusi
merupakan rate limiting step.

Adapun makna dari BCS adalah bagaimana mengetahui rate limiting step, yaitu
tahapan penentu cepatnya tercapai bioavabilitas obat-obat dengan rute pemberian secara oral.
Kelarutan adalah kemampuan suatu senyawa untuk terlarut dalam cairan fisiologis baik
yang pada saluran pencernaan ada cairan dalam lambung yang bersifat asam kuat, dan ada
cairan di usus yang bersifat basa lemah.
Sedangkan permeabilitas adalah kemampuan suatu zat untuk menembus membran sel.
Dari bagan di atas, pada kelas satu kelarutan dan permeabilitasnya tinggi, sehingga
merupakan kelas yang paling baik untuk bisa membuat obat terabsorbsi dan menuju target
organ dengan baik. Sedangkan pada kelas II, III, dan IV, baik kelarutan maupun permeabilitas
masih dengan salah satu bagian yang rendah sehingga adalah tugas seorang pharmacist untuk
memodifikasi suatu sediaan oral agar dapat di tingkatkan bioavailabilitasnya. Dimana faktor
yang mempengaruhi tercapainya bioavabilitas yang baik adalah kelarutan dan permeabilitas
suatu obat/senyawa.
Pada kelas II, dimana kelarutannya rendah sedangkan permeabilitasnya tinggi, masalah
yang timbul adalah sulitnya suatu obat/senyawa larut dalam cairan lambung ataupun usus,
sehingga salah satu hal yang menyebabkan efek dari suatu obat menjadi berkurang. Untuk
memulihkannya, dapat di modifikasi dengan menaikkan/meningkatkan kelarutannya.
Mengecilkan ukuran partikelnya. Disalut dengan senyawa ampifilik, contoh surfaktan.
Pada kelas III, dimana kelarutannya yang tinggi sedangkan permeabilitasnya rendah.
Oleh karena itu, keadaan seperti ini sangat perlu untuk di modifikasi, salah satunya yaitu
dengan mengionkannya. Karena bagaimanapun, obat-obat/senyawa yang dapat terionisasi
sempurna tidak dapat menembus bagian lemak pada membran. Sehingga, obat-obat di buat
tidak mampu terionisasi sempurna di cairan usus atau lambung, agar dapat ditingkatkan
permeabilitasnya.
Pada kelas IV, dimana kelarutannya dan juga permeabilitasnya yang rendah Adalah hal
yang fatal yang harus segera di modifikasi agar senyawa yang seharusnya terabsorbsi di
membran target dapat di pertahankan lebih lama, sehingga lambat laun akan dapat
terabsorbsi. Salah satunya yaitu menambahkan senyawa yang lebih asam untuk senyawa yang
tidak mampu terabsorbsi sempurna pada cairan lambung, dan senyawa yang lebih basa pada
daerah usus. . Disalut dengan senyawa ampifilik, contoh surfaktan, karena surfaktan sifatnya
sama dengan membran lipid.

PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN OBAT


Industri farmasi merupakan salah satu industri farmasi yang mengalokasikan dana
yang cukup besar untuk penelitian dan pengembangan. Dari data IMS Health World
Review tahun 2004, industri farmasi membelanjakan tidak kurang dari US$ 100 Miliar
per tahun untuk penelitian dan pengembangan. Dana terbesar terutama digunakan
untuk uji klinik yaitu sekatar 40%.
Proses penemuan obat baru merupakan langkah yang sangat panjang dan
melibatkan berbagai disiplin ilmu. Secara garis besar, penelitian dan pengembangan
suatu obat dibagi menjadi beberapa tahapan sbb:
1. Sintesis dan screening molekul
2. Studi pada hewan percobaan
3. Studi pada manusia yang sehat (healthy volunteers)
4. Studi pada manusia yang sakit (pasien)
5. Studi pada manusia yang sakit dengan populasi diperbesar
6. Studi lanjutan (post marketing surveillance)
Sintesis dan screening molekul, merupakan tahap awal dari rangkaian penemuan
suatu obat. Pada tahap ini berbagai molekul atau senyawa yang berpotensi sebagai
obat disintesis, dimodifikasi atau bahkan direkayasa untuk mendapatkan senyawa
atau molekul obat yang diinginkan. Oleh karena penelitian obat biasanya ditargetkan
untuk suatu daerah tertapetik yang khas, potensi relatif pada produk saingan dan
bentuk sediaan untuk manusia bisa diketahui. Serupa dengan hal tersebut, ahli kimia
medisinal mungkin mendalami kelemahan molekul tersebut sebagai hasil usaha
untuk mensintesis senyawa tersebut.
Ada dua paradigma teknologi baru yang berpengaruh radikal terhadap industri
farmasi yaitu teknologi informasi dan komunikasi (information and communication
technologies/ICT) dan bioteknologi. Dalam hal R&D, ICTmemungkinkan mekanisasi
dan automatisasi penemuan obat dan proses pengembangannya.
Dengan Combinatorial Chemistry dapat dilakuakn sintesis molekul yang lebih masal
yang dikontrol oleh robot komputer. Dengan menggunakan teknologi ini permutasi
dan kombinasi building block kimia dapat dilakukan secra cepat, mencapai ratusan
ribu senyawa tiap minggu.
Dengan metode yang lama hanya mengasilkan beberapa ratus senyawa kimia.
Kombinasi dariCombinatorial Chemsitry dan High Throuhput Screening (HTS) dapat
meningkatakan 7 kali lipat dalam pengujian (test) senyawa kimia untuk
dikembankan lebih lanjut sebagai obat penemuan baru. Pada saat yang sama telah
dikembangkan program komputer yang dapat menunjukkan (display) tiga
dimensi images of molecule ketika dirotasi dan juga memberikan representasi
dinamik dari potensi reaksi antara obat dengan enzim tertentu. Selain itu komputer
dapat menunjukkan manipulasi dari sites of biochemical action dan prediksi tentang
toksisitas dan khasiat (efficacy) dari struktur kimia termaskud serta efek biologisnya
(baca: Bionformatika Docking).

Selain itu, penelusuran literatur juga harus dilakukan untuk memberikan pengertian
tentang mekanisme pelapukan yang mungkin terjadi dan kondisi-kondisi yang dapat
meningkatkan peruraian obat. Informasi ini dapat menyarankan suatu cara
stabilisasi, kunci uji stabilitas atau senyawa acuan stabilitas. Informasi tentang cara
atau metode yang diusulkan dari pemberian obat, seperti juga melihat kembali
literatur tentang formulasi, bioavaibilitas, dan farmakokinetika dari obat-obat yang
serupa, seringkali berguna bila menentukan bagaimana mengoptimumkan
bioavaibilitas suatu kandidat obat baru. Jika suatu senyawa atau molekul aktif telah
dibuktikan secara farmakologis, maka senyawa tersebut selanjutnya memasuki
tahap pengembangan dalam bentuk molekul optimumnya.
Setelah disintesis, suatu senyawa melalui proses screening, yang melibatkan
pengujian awal obat pada sejumlah kecil hewan dari jenis yang berbeda (biasanya 3
jenis hewan) ditambah uji mikrobiologi untuk menemukan adanya efek senyawa
kimia yang menguntungkan. Meskipun ada faktor lucky (kebetulan) dalam upaya ini,
umumnya pendekatannya cukup terkontrol berdasarkan struktur senyawa yang telah
diketahui. Pada tahap ini sering kali dilakukan pengujian yang melibatkan
teratogenitas, mutagenesis dan karsinogenitas, di samping pemeriksaan LD50,
toksisitas akut dan kronik. Uji praklinik merupakan persyaratan uji untuk calon obat.
Dari uji ini diperoleh informasi tentang efikasi (efek farmakologi), profil
farmakokinetik dan toksisitas calon obat. Pada mulanya yang dilakukan pada uji
praklinik adalah pengujian ikatan obat pada reseptor dengan kultur sel terisolasi
atau organ terisolasi, selanjutnya dipandang perlu menguji pada hewan utuh. Hewan
yang baku digunakan adalah galur tertentu dari mencit, tikus, kelinci, marmot,
hamster, anjing atau beberapa uji menggunakan primata. Hewan-hewan ini sangat
berjasa bagi pengembangan obat. Karena hanya dengan menggunakan hewan utuh
dapat diketahui apakah obat menimbulkan efek toksik pada dosis pengobatan atau
tidak.
Penelitian toksistas merupakan cara potesial untuk mengevaluasi:
a. Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis
b. Kerusakan genetik (genotoksisitas atau mutagensis)
c. Pertumbuhan tumor (onkogenesis atau karsinogenesis)
d. Kejadian cacat waktu lahir (teratogenik)
Selain toksisitasnya, uji pada hewan dapat mempelajari sifat farmakokinetika obat
meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Semua hasil pengamatan
pada hewan tersebut menetukan apakah calon obat tersebut dapat diteruskan
dengan uji pada manusia atau tidak. Ahli farmakologi bekerja sam dengan ahli
teknologi farmasi dalam pembuatan formula obat, menghasilkan bentuk-bentuk
sediaan obat yang akan diuji pada manusia. Di samping uji pada hewan untuk

mengurangi penggunaan hewan percobaan telah dikembangkan pula berbagai uji in


vitro untuk menentukan khasiat obat contonya uji aktivitas enzim, uji antikanker
menggunakan cell line, uji antimikroba pada pembenihan mikroba, uji antioksidan
dengan DPPH, uji antiinflamasi, dll untuk menggantikan uji khasiat pada hewan.
Akan tetapi belum semua uji dapat dilakukan secara in vitro. Uji toksistas sampai
saat ini masih tetap dilakukan pada hewan percobaan, belum ada metode lain yang
menjamin hasil yang dapat menggambarkan toksisitas pada manusia. Di samping
itu, uji pada hewan percobaan ini juga dirancang dengan perhatian khusus pada
kemungkinan pengujian obat itu lebih lanjut pada manusia atau uji klinis. Oleh
karenanya, pada uji pra-klnis ini dirancang dengan pertimbangan:
a. Lamanya pemberian obat itu menurut dugaan lepada manusia
b. Kelompok umur dan kondisi fisik manusia yang dituju dengan pertimbangan
khusus untuk anak-anak, wanita hamil atau orang usia lanjut.
c. Efek obat menurut dugaan pada manusia.
Setelah melewati uji pra klinis, maka senyawa atau molekul kandidat calon obat
tersebut menjadi IND (Investigasional New Drug) atau obat baru dalam penelitian.
Setelah calon obat dinaytakan mempunyai kemanfaatan danaman pada hewan
percobaan maka selanjutnya diji pada manusia (uji klinik). Uji pada manusia Uji klinis
pada manusia harus diteliti dulu kelayakannya oleh komite etik mengikuti Deklarasi
Helsinki.
Uji klinik terdiri dari 4 fase yaitu:
Fase I, calon obat diuji pada sukarelawan sehat untuk mengetahui apakah sifat yang
diamati pada hewan percobaan juga terlihat pada manusia. Pada fase ini ditentukan
hubungan dosis dengan efek yang ditimbulkannya dan profil farmakokinetik obat
pada manusia.
Fase II, calon obat diuji pada pasien tertentu diamati efikasi pada penyakit yang
diobati. Yang diharapkan dari obat adalah mempunyai efek yang potensial dengan
efek samping rendah atau tidak toksik. Pada fase ini mulai dilakukan pengembangan
dan uji stabilitas bentuk sediaan obat.
Fase III, melibatkan kelompok besar pasien. Di sini obat baru dibandingkan efek dan
keamanannya terhadap obat pembanding yang sudah diketahui. Semula uji klinik
banyak senyawa calon obat dinyatakan tidak dapat digunakan. Akhirnya obat baru
hanya lolos satu atau lebih kurang 10.000 seyawa yang disintesis karena risikonya
lebih besar dari manfaatnya atau kemanfaatnnya lebih kecil dari obat yang sudah
ada. Keputusan untuk mengakui obat baru dilakukan oleh badan pengatur nasional
di Indonesia oleh BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan), di AS adalah FDA
(Food and Drug Administration), di Kanada oleh Health Canada, di Inggris oleh MHRA
(Medicine and Healthcare Product Regulatory Agency), di negara Eropa lain oleh
EMEA (European Agency for the Evaluation of Medicinal Product) dan di Australia

oleh TGA (Therapeutics Good Administration). Untuk dapat dinilai oleh badan
tersebut, industri pengusul harus menyerahkan data dokumen uji praklinik dan klinik
yang sesuai dengan indikasi yang diajukan, efikasi dan keamanannya harus sudah
ditentukan dari bentuk produknya (tablet, kapsul, dll) yang telah memenuhi
persyaratan produk melalui kontrol kualitas. Pengembangan obat tidak terbatas pada
pembuatan produk dengan zat baru, tetapi dapat juga dengan memodifikasi bentuk
sediaan yang sudah ada atau meneliti indikasi baru sebagai tambahan dari indikasi
yang suda ada. Baik bentuk sediaan baru maupun tambahan indikasi atau
perubahan dosis dalam sediaan harus didaftarkan ke Badan POM dan dinilai oleh
Komisi Nasional Penilai Obat Jadi. Pengembangan ilmu teknologi farmai dan
biofarmasi melahirkan new drug delivery system terutama bentuk sediaan seperti
tablet lepas lambat, sediaan liposom, tablet salut enterik,mikro-enkapsulasi, dll.
Kemajuan dalam teknik rekombinasi DNA, kultur sel dan kultur jaringan telah
memicu kemajuan dalam produksi bahan baku obat seperti produksi insulin dll.
(Baca lebih lengkap : Perkembangan Produk Bioteknologi di Dunia) Setelah calon
dapat dibuktikan berkhasiat sekurang-kurangnya sama dengan obat yang sudah ada
dan menunjukkan keamanan bagi si pemakai maka obat baru diizinkan untuk
diproduksi oleh industri sebagai legal drug dan dipasarkan dengan nama dagang
tertentu serta dapat diresepkan oleh dokter.
Fase IV, setelah obat dipasarkan masih dilakukan studi pasca pemasaran (post
marketing surveillance) yang diamati pada pasien dengan berbagai kondisi, berbagai
usia dan ras. Studi ini dilakukan dalam jangka panjang untuk melihat terapetik dan
pengalaman jangka panjang dalam menggunakan obat. Setelah hasil studi IV
dievaluasi masih memungkinkan obat ditarik dari perdagangan jika membahayakan.
Sebagai contoh cerivastatin (suatu antihiperkolesterolemia yag dapat merusak
ginjal), entero-vioform (kliokuinol suatu anti-disentri amuba yang pada orang Jepang
bisa menyebabkan kelumpuhan pada otot mata/SMON disesase), fenil pranol
amin/PPA yang sering terdapat pada obat flu harus diturunkan dosisnya dari 25 mg
menjadi tidak lebih dari 15 mg karena dapat meningkatkan tekanan darah dan
kontraksi jantung, triglitazon (antidiabetes yang bisa merusak hati), dan Viox
(rofecoxib) yang bisa merusak jantung. Penemuan obat baru chemotheraupetica
(New Chemical Entity/NCE) saat ini cenderung mengalami penurunan karena
diberlakukannya syarat yang sangat ketat untuk dapat diterima, diregistrasi dan
diizinkan beredar sebagai obat. Hal ini berlaku di negara-negara Eropa, AS dan
negara maju lainnya. Persyaratan ketat ini memerlukan penelitian farmakologi dan
kemanan yang jauh lebih luas dan dengan sendirinya memerlukan biaya yang
sangat tinggi. Jangka penemuan obat baru sejak awal ditemukan suatu bahan kimia
harus sampai menjadi obat baru yang diizinkan beredar memerlukan waktu 10-12
tahun dan biaya peneltian lebih kurang USD 350-800 juta.
Referensi:

Penelitian dan Pengembangan di Industri Farmasi


PROPOSAL UNTUK R and D DI INDUSTRI FARMASI
Tinjauan
Dengan meningkatnya penggunaan outsourcing global, offshoring, jaringan distribusi internasional
dan saluran internet, jelas bahwa buruh rendah, faktor biaya dan akses pasar tidak lagi kompetitif
differentiators. Semakin banyak perusahaan yang mencari inovasi sebagai sumber penting
keunggulan kompetitif. Merancang dan mengembangkan produk-produk baru telah menjadi kunci
untuk menjaga diferensiasi, pertumbuhan dan profitabilitas.
Tujuan Manager R and D : untuk memberikan lebih banyak dan lebih baik inovasi produk.
Langkah-langkah R and D :
Potensi dan Masalah Mengumpulkan informasi dan studi literatur Rancangan produk Validasi
rancangan Revisi rancangan Percobaan batch skala lab Test QC dan Uji stabilitas dipercepat
Scaling up Validasi proses Uji stabilitas jangka panjang Registrasi.
Kegiatan Penelitian dan Pengembangan
1.
Kegiatan penelitian di industri farmasi di Indonesia tidak mungkin untuk diarahkan pada
penemuan obat-obat molekul baru (New Chemical Entity/NCE). Kendala utamanya adalah besarnya
biaya penelitian yang dapat mencapai lebih dari US$ 300 juta untuk setiap NEC. R&D industri farmasi
Indonesia dapat diarahkan terutama untuk pengembangan new delivery system (NDS) dan penelitian
obat herbal. Kegiatan penelitian yang dilakukan adalah untuk menemukan suatu model, pola atau
sistem penanganan terpadu yang efektif yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah.
2.
Kegiatan Pengembangan di Industri Farmasi bertujuan untuk menemukan suatu cara/metode
yang efektif (need to do). Pengembangan meliputi: Formula, Cara Pembuatan, Bahan Pengemas dan
Metode Analisis. Pengembangan dilakukan terhadap obat copy (me too product).

Tujuan dan Rencana Kegiatan R and D :


1.
Memperoleh formula sediaan obat jadi yang memenuhi kriteria khasiat, aman, stabil dan cost
effective.

a.
b.
c.
d.
e.

Meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian penelitian/pengembangan serta


dokumentasi untuk memperoleh sediaan obat jadi yang memenuhi khasiat, aman, stabil dan cost
effective.
Kegiatan :
Melakukan studi pustaka mengenai speifikasi bahan aktif, bahan tambahan, proses pembuatan dan
interaksi obat.
Memperoleh pengetahuan tentang sifat-sifat bahan baku dan MSDS
Menentukan zat aktif dan bahan tambahan yang tepat
Menyusun formula
Melakukan penelitian dan pengujian laboratorium hingga diperoleh formula yang memenuhi kriteria
yang ditentukan.
2.
Memperoleh prosedur pembuatan produk yang efisien, memenuhi spesifikasi dan tervalidasi.

Meliputi kegiatan perencanaan dan pemilihan mesin serta melakukan trial skala produksi (scale-up),
validasi proses dan transfer teknologi.
Kegiatan :
a. Melakukan pemilihan mesin dan pemilihan parameter-parameter kritis prosedur pembuatan

b.
c.
d.
e.

a.
b.
c.
d.
e.

Melakukan trial skala produksi (scale-up), pengujian dan evaluasinya


Melakukan validasi proses
Menyiapkan dokumen proses induk berdasarkan hasil scale up dan validasi proses
Melakukan transfer teknologi
3.
Mendapatkan bahan pengemas yang sesuai, dapat menjamin kualitas produk dan cost
effective.
Meliputi kegiatan studi pustaka, pemilihan bahan pengemas, penelitian dan pengujiannya.
Kegiatan :
Melakukan studi pustaka
Memperoleh pengetahuan tentang sifat-sifat bahan pengemas dan perkembangannya
Melakukan pemilihan bahan pengemas, penelitian dan pengujiannya
Melakukan trial pengemasan dan evaluasinya
Melakukan pengujian stabilitas bahan pengemas
4.
Menyediakan data-data penunjang registrasi

Meliputi kegiatan penyusunan data penunjang registrasi antara lain formula, prosedur pembuatan,
spesifikasi, validasi proses dan rancangan kemasan.
Kegiatan :
a. Mengevaluasi dan memperoleh pengetahuan tentang data-data yang menunjang proses registrasi
baik untuk pemasaran lokal maupun ekspor seperti data kualitas, formula, prosedur pembuatan,
speifikasi (bahan baku, bahan pengemas dan produk obat jadi)
b. Validasi proses dan rancangan kemasan
5.
menemukan suatu model, pola atau sistem penanganan terpadu yang efektif yang dapat
digunakan untuk mengatasi masalah.

Anda mungkin juga menyukai